Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KeNUan

Disusun guna memenuhi tugas


Dosen Pengampu : ------------

Disusun Oleh Kelompok 3 :

1.
2. Mohammad Bagus Eriyanto ( 171240000713 )
3. Ahmad Fahmi ( 171240000642 )
4. Yehezkiel Dany Prabowo ( 171240000721 )
5. Muhammad Afif Ashar ( 171240000724 )
6. Muhammad Yusrul Hana ( 171240000727)
7.
8.
9.
10.

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


PRODI TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA
( UNISNU ) JEPARA
Jl.Taman Siswa No. 9 Pekeng Tahunan Jepara
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-nya
makalahyang berjudul “NU DAN DEMOKRASI” ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah KE-NUan.
Dalam makalah ini membahas tentang NU DAN DEMOKRASI.

Akhirnya kami penyusun sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap


makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
penyusun sendiri dan khususnya pembaca pada umumnya. Tak ada gading yang
tak retak, begitulah adanya makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, tapi penyusun telah melakukan yang terbaik dalam penulisannya.
Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan positif bagi kita semua.

Jepara, 6 Juni 2018

Penyusun
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ……………………………......……………...ii


BAB I ………………………………………………………..……….2
PENDAHULUAN………………………………………….…….......2
1.1 Latar Belakang ……………………………………………….2
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………3
BAB II………………………………………………………………...4
PEMBAHASAN……………………………………………………...4
2.1 Pengertian Demokrasi………………………………………..4
2.2 Peran Nahdlatul Ulamaa’ Dalam pembentukan Negara
Republik Indonesia…………………………………………..6
2.3 Pandangan Nahdlatul Ulama Tentang Dasar Negara
Pancasila…………………………………………..................
2.4 Demokrasi Di Indonesia……………………………………..
2.5 NU menerima Demokrasi……………………………………
2.6 Prinsip-Prinsip Aswaja Dalam Bidang Sosial Politik……….
BAB III…………………………………………………………………...
PENUTUP………………………………………………………………..
3.1Kesimpulan ……………….………………………………….
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
NU adalah organisasi keagamaan sekaligus organisasi kemasyarakatan
terbesar dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, mempunyai makna penting
dan ikut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia, NU lahir dan
berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. Sebagai organisasi berwatak
keagamaan Ahlussunnah Wal Jama'ah, maka NU menampilkan sikap
akomodatif terhadap berbagai madzhab keagamaan yang ada di sekitarnya. NU
tidak pernah berfikir menyatukan apalagi menghilangkan mazdhab-mazdhab
keagamaan yang ada. Dan sebagai organisasi kemasyarakatan, NU
menampilkan sikap toleransi terhadap nilai-nilai lokal. NU berakulturasi dan
berinteraksi positif dengan tradisi dan budaya masyarakat lokal. Dengan
demikian NU memiliki wawasan multikultural, dalam arti kebijakan sosialnya
bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, tetapi mengakui manifestasi
tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup di Republik Indonesia
tercinta ini.
Sebagai warga negara Indonesia, terkhusus sebagai warga Nahdlatul
‘Ulama alangkah baiknya kita mengetahui lebih dalam mengenai apa itu
Nahdlatul ‘Ulama. Banyak hal yang bisa kita temukan dan kita kaji dalam
perkembangan organisasi ini sehingga kita dapat memetik segala hikmah
kebaikan yang bisa dijadikan motivasi dan semangat untuk kehidupan kita.
Dalam Makalah ini, penulis akan mencoba menguraikan sedikit tentang apa itu
Nahdlatul ‘Ulama, bagaimana sejarah terbentuknya dan apa saja ajaran/pokok
pikiran yang mendasar di Nahdlatul ‘Ulama ini.

B. Rumusan masalah
1. Pengertian Demokrasi
2. Peran Nahdlatul Ulama’ Dalam Pembentukan Negara Republik Indonesia
3. Demokrasi di Indonesia
4. NU Menerima Demokrasi
5. Prinsip-prinsip NU dalam bidang politik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya
memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah
hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik
secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan,
dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas
dan setara.

Kata ini berasal dari bahasa Yunani dēmokratía (kekuasaan rakyat),


yang terbentuk dari: dêmos (rakyat) dan kratos (kekuatan atau kekuasaan)
pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah
satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari aristocratie (kekuasaan
elit). Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun
kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik, misalnya,
memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan
tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua
pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern,
kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua
penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar
bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata
demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari
bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama.

Pandangan para Ahli tentang demokrasi


 Aristoteles Demokrasi adalah suatu kebebasan, yang artinya
kebebasan setiap warga negara dapat berbagi kekuasan, Aristoteles
mengutarakan bahwa setiap warga negara itu setara dalam jumlah,
yaitu satu individu, dalam demokrasi tidak ada penilaian terhadap
tingginya nilai individu tersebut, setiap warga negara sama.

 Abraham Lincoln Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari


rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

 Sidney Hook Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana


keputusan penting dalam suatu pemerintah yang baik secara
langsung maupun tidak langsung didasarkan oleh kepentingan
mayoritas dengan berdasarkan hak yang diberikan kepada rakyat
biasa.

 Samuel Huntington Demokrasi ada jika setiap pemegang kekuasaan


dalam suatu negara dipilih secara umum, adil, dan jujur, para peserta
boleh bersaing secara bersih, dan semua masyarakat memiliki hak
setara dalam pemilihan.

Berbeda dengan tokoh-tokoh di atas, KH. Wahab Hasbullah dalam


buku Biografi Wahab Hasbullah karangan Saifudin Zuhri, disebutkan
sebagai berikut:
“Kami bertiga, Kiai Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-
sama duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan
dewasa ini membicarakan “sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila”
dan lain-lain. Ada dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam
pembahasan tersebut. Sosialisme Indonesia menurut NU haruslah sosialisme
ala Indonesia dan bukanlah sosialisme ala komunisme, baik Moskow atau
Peking. Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan adalah dibentengi
ideology Negara ualah Pancasila dan UUD Negara yang menjamin setiap
penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara itu, tentang landasan
“landreform”, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini
tidak mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara.
Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan dipertahankan,
namun juga diwajibkan menegakkan keadilan.” (Zuhri, 1983:72-73).

Bagi Wahab Hasbullah, nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia


dan mengaturnya agar pola hubungan antar-manusia itu dapat saling
menghormati perbedaan dan mampu bekerjasama sehingga menciptakan
kesejahteraan bersama.

B. Peran Nahdlatul Ulama’ Dalam Pembentukan Negara Republik


Indonesia
Setelah mengurai secara singakt namun jelas dan gamblang berdirinya
organisasi Nahdhatul Ulama dari mulai menjelaskan embrio-embrio dari
fenomena kemunculan Nahdhathul Ulama sampai pada akhirnya terbentuk
secara de facto dan de jure organisasi yang bernama Nahdhatul Ulama yang
bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai tradisionalis seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka dalam pembahasan selanjutnya penulis akan
membahas peran Nahdhatul Ulama dalam pembentukan Negara Republik
Indonesia.
Tidak diragukan lagi bahwa peranan NU dalam pembentukan NKRI
sangat berperan aktif dalam pergerakannya. NU bukan hanya organisasi yang
berbicara masalah keagamaan yang menjunjung nilai-nilai tradisionalis.
Namun, NU juga berbicara mengenai motif Nasionalisme atau kemerdekaan
atas Negara yang pada waktu itu dijajah oleh colonial Belanda.
Sepeti yang telah dibahas dibagian sebelumnya, NU dalam lintasan
sejarah secara tidak langsung mempersiapkan kekuatan untuk pengusiran
penjajah di Nusantara, salah satunya Nahdhatul Wathan yang didirikan pada
tahun 1916 oleh kiai Wahab Hasbullah, sebagai pondasi awal semangat
nasionalisme. Pembentukan Nahdhatul Wathan ditujukan untuk menggarap
para murid-muridnya untuk menanamkan rasa nasionalisme, jalur ini memang
lebih cendrung berorientasi pendidikan.
Namun setelah organisasi yang bernama Nahdhatuhul Ulama ini
terbentuk, nahdhathul Ulama dalam anggaran dasarnya tidak menyebutkan
kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya. Baru dikemudian hari, anti-
kolonialisme diajarkan dan tertuang dalam buku-buku pegangan sekolah
kaum tradisionalis. Bahkan Kiai HM dachlan menjelaskan bahwa perjuangan
anti-penjajah merupakan asal usl Nahdhathul Ulama.
Akan tetapi, mengutip dari Choirul Anam, Nahdhatul Ulama, secara
implicit bertujuan melawan Belanda. Empat tahun setelah berdirinya NU,
yakni sekitar tahun 1930-an, dalam pesantren-pesantren dan madrasah-
madrasah yang didirikan oleh para kiai NU, diwajibkannya menyanyikan lagu
kebangsaan setiap hari kamis setelah mata pelajaran selesai. Bukan hanya itu,
tapi buku-buku yang dilarang dipelajari di sekolah-sekolah oleh penjajah,
beredar di pesantren-pesantren serta madrasah-madrasah. Hal ini jelas bahwa
Nahdhatul Ulama serius dalam pengusiran penjajah dengan menanamkan rasa
nasionalisme sebagai pondasi awal perlawanan terhadap Belanda.
Dalam bidang hokum khususnya pada urusan keagamaan umati islam,
Nahdhathul Ulama secara tegas untuk menolak interfensi dari pemerintahan
Belanda. Pada tahun 1931, masalah warisa ditarik dari wewenang Pengadilan
Agama, artinya bahwa hokum adat yang kembali diberlakukan di Pulau jawa,
Madura dan Klaimantan selatan. Hal ini bukan semata-mata diberlakukannya
hokum adat akan tetapi penggrogotan wewenang Pengadilan Agama yang
merupakan lambing wewenang kaum muslimin yang menimbulkan rasa tidak
senang tersebut.
Di massa-masa persiapan kemerdekaan, meskipun NU tidak melibatkan
diri secara langsung dalam dunia politik, para pemimpin NU memperhatikan
juga bentuk Negara Indonesia yang akan datang. Hal ini dipertegas dalam
Muktamar XV pada tahun 1940, Muktamar ini sekaligus Muktamar terakhir
pada masa Colonial Belanda, dalam muktamar tersebut berkesimpulan
menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai calon presiden yang
pantas memimpin bangsa. Muktamar tersebut dihadiri oleh 11 tokoh NU yang
dipimpin oleh Mahfudz Shidiq.
Selanjutnya, di masa proklamasi kemerdekaan, berdebatan sengit
mengenai bentuk Negara yang dimulai dari tahun 1920-an, akhirnya
memuncak saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945. Sebenarnya
bukan hanya bentuk Negara yang diperdebatkan, akan tetapi banyak hal lain
yang diperdebatkan mengenai jati diri negar kedepannya, antara lain :
mengenai batas wilayah, bentuk Negara, dan bentuk pemerintahan.
Yang pada akhirnya, di Bulan April 1945, dalam pidatonya, Soekarno
meletakan dasar Negara dengan dasar 5 sila atau yang masyhur disebut
dengan pancasila.
Peranan NU dalam melegalkan pancasila ini tercermin dalam iskusi
antara Soekarno, kiai Wahab Hasbullah, kiai Masykur dan kahar Muzakar
yang berkesimpulan bahwa 5 sila tersebut representasi dari ajaran Islam.
Akan tetapi titik tekan yang dilakukan oleh para pemimpin Islam tersebut
lebih kepada persatuan Indonesia yang terdiri dari beberapa agama dan
banyak suku bangsa yang tersebar luas di belahan nusantara.
Lagi-lagi, pancasila kembali menimbulkan diskursus dengan golongan
islam kanan dan golongan nasionalis, hingga pada akhirnya Soekarno
memanggil panitia 62 kemudian membentuk panitia kecil yang terdiri dari 9
orang yang akan membahas kompromi antara kaum islam dan nasionalis. Kiai
Wahid Hasyim sebagai representasi dari golongan islam tradisional atu NU,
dalam rapat panitia tersebut membuahkan hasil dengan menambahkan acuan
syariat islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan
beradab.
Tidak berhenti disitu perdebatan mengenai 5 sila tersebut, pada rapat
selanjutnya, piagam Jakarta tersebut dipertanyakan kembali oleh tokoh
nasionalis dan Kristen. Latuharahray, dari protestan, melontarkan dengan
tegas kekhawatirannya mengenai ditambahkannya syariat islam dalam sila
tersebut, yang berdampak pada perpecahan. Dari NU sendiri yang diwakili
oleh Wahid Hayim mengusulkan agar agama Negara adalah islam, dengan
jaminan bagi pemeluk lain untuk dapat beribadah menurut agamanya masing-
masing.
Perdebatan sengit mengenai piagam jakarta ini, saat dua hari setelah
jepang menyerah, yakni pada tanggal 17 Agustus malam, pada hari
proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad
Hatta, menerima kunjungan perwira jepang yang menyampaikan keberatan-
kebeatan penduduk di Indonesia Timur, yang tidak beragama Islam mengenai
dimuatnya piagam Jakarta pada mukaddimah UUD, bila tidak diuabah,
mereka lebih suka berdiri diluar republic Indonesia. Artinya mereka tidak
akan bergabung dengan Indonesia dan perpecahan ini diakibatkan oleh
piagam Jakarta pada muqadimahnya. Pada akhirnya pada tanggal 18 agustus
Muhamad Hatta memanggil empat anggota panitia persiapan kemerdekaan
yang diwakili oleh Islam. Antra lain yaitu: Ki Bagus Adi Kusumo, Kasman
Singodimejo, Teuku Muhamad Hasan dan Wahid Hasim. Hasil rapat panitia
tersebut berkat usulan Wahid Hasim yaitu mengenai digantinya syariat Islam
dengan ketunahan yang maha esa. Wahid Hasim sebgai representasi dari NU
berperan penting atas persatuan bangsa Indonesia dengan kata lain beliau
adalah pahlawan konstitusi Republik Indonesia yang menjungjujng tinggi
persatuan dankesatuan, tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam dalam piagan
Jakrta tersebut.

C. Pandangan Nahdhatul Ulama Tentang Dasar Negara Pancasila

1) Dalam kaitannya dengan perumusan Pancasila sebagai dasar negara,


Nahdhlatul Ulama memandang bahwa Pancasila adalah konsep bersama
yang disepakati oleh seluruh lapisan bangsa sebagai pedoman dalam hidup
bernegara
2) Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pancasila, Nahdlatul Ulama telah
menegaskan pandangannya yang jelas dan jernih, tercantum dalam
“Deklarasi hubungan Pancasila dan Islam” , hasil keputusan Munas Alim
Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1983, sebagai berikut:
a) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia adalah
prinsip fundamental namun bukan agama, tidak dapat menggantikan
agama, dan tidak dipergunakan untuk menggantikan agama
b) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29
ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan
tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam
c) Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah meliputi
aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia
d) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan
upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan agamanya
e) Sebagai konskewensi dari sikap tersebut diatas, Nahdlatul Ulama
berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila
dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak
D. Demokrasi Di Indonesia
Ketika sebagian umat Islam mempertanyakan eksistensi Pancasila,
lewat Muktamar NU ke-27, 8-12 Desember 1984, di Situbondo. NU
mengukuhkan keputusan Munas Alim Ulama NU 1983 yang menerima
Pancasila sebagai satu-satunya asas bernegara. Keputusan ini mendahului
kehadiran UU Nomor 8 tahun 1985 yang mengatur organisasi
kemasyarakatan di negeri ini.

Pancasila merupakan sumber hukum dan falsafah kehidupan berbangsa


dan bernegara (termasuk sistem negara), yang kemudian mendorong lahirnya
Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 dan Tap MPRS No. VIII/MPRS/1959
menetapkan bahwa bentuk demokrasi yang dianut Indonesia adalah
Demokrasi Terpimpin. Paham demokrasi ini berdasarkan paham kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan (Pancasila sila 4). Paham ini berintikan
musyawarah untuk mufakat secara gotong royong antara semua kekuatan
nasional yang revolusioner dengan prinsip-prinsip tertentu. Demokrasi ini
juga biasa disebut Demokrasi Pancasila.

Prinsip dalam demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip


demokrasi secara universal. Ciri demokrasi Pancasila:
 pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi
 adanya pemilu secara berkesinambungan
 adanya peran-peran kelompok kepentingan
 adanya penghargaan atas HAM serta perlindungan hak minoritas.
 demokrasi Pancasila merupakan kompetisi berbagai ide dan cara untuk
menyelesaikan masalah.
 Ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan berdasarkan suara
terbanyak.

Demokrasi terpimpin, juga disebut demokrasi terkelola, adalah istilah


untuk sebuah pemerintahan demokrasi dengan peningkatan otokrasi.
Pemerintahan negara dilegitimasi oleh pemilihan umum yang walaupun bebas
dan adil, digunakan oleh pemerintah untuk melanjutkan kebijakan dan tujuan
yang sama. Atau, dengan kata lain, pemerintah telah belajar untuk
mengendalikan pemilihan umum sehingga pemilih dapat melaksanakan
semua hak-hak mereka tanpa benar-benar mengubah kebijakan publik.
Walaupun mengikuti prinsip-prinsip dasar demokrasi, dapat timbul
penyimpangan kecil terhadap otoritarianisme. Dalam demokrasi terpimpin,
pemilih dicegah untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan
yang dijalankan oleh negara melalui pengefektifan teknik kinerja humas yang
berkelanjutan.

Istilah ini digunakan sebagai referensi untuk periode politik tertentu di


Indonesia. Akhir-akhir ini istilah ini juga banyak digunakan dalam Rusia, di
mana ia diperkenalkan ke dalam praktek umum oleh pemikir dari anggota
Kremlin, khususnya Gleb Pavlovsky.

E. NU Menerima Demokrasi
Setelah Reformasi bergulir, para kyai NU tidak sekedar ikut-ikutan
dalam euvoria runtuhnya orde baru seperti yang dilakukan oleh orang-orang
yang anti otoriter. Para kyai sangat berhati-hati dalam memilih sistem yang
akan diterapkan dalam negara Indonesia, yang sekiranya tidak menjurus pada
disintegrasi bangsa, namun juga sekira tidak menyalahi dalam aturan Islam.
Dalam penutupan Bahtsul Masail FMPP (Forum Musyawarah Pondok
Pesantren) tahun 2013 yang lalu di PP Manbaul Maarif Denanyar Jombang,
yang dihadiri oleh dari Kediri, KH Nurul Huda Jazuli, salah seoarang gus
Denanyar bernama Gus Muhaimin berkisah:

“Setelah kejadian 98, para kyai NU berkumpul membahas sistem negara,


diantaranya yang hadir adalah KH Imran Hamzah (Rais Syuriah PWNU
Jatim 1992-2002) yang memimpin sidang Bahtsul Masail bersama para kyai.
Saat itu beliau memutuskan menerima Demokrasi sebagai sistem negara,
karena sistem ini memiliki nilai madlarat terkecil jika dibanding dengan
sistem yang lain. Misalnya, jika menggunakan sistem Syariat Islam maka
akan besar terjadinya separatisme di provinsi yang mayoritas non Muslim,
seperti Bali, Manado, Irian Jaya dan sebagainya. Demikian halnya sistem-
sistem yang lain”
Dengan demikian, demokrasi yang disertai penegakan hukum yang
menjadi sistem dalam negara kita adalah hasil ijtihad kebangsaan yang
dilakukan oleh para kyai-kyai NU. Maka benar kiranya perkataan orang: “Jika
ingin belajar hubungan Islam dan Negara, maka belajarlah ke Indonesia”.
Sebab, ketika sebagian besar negara yang rakyatnya mayoritas Muslim, saat ini
negaranya mengalami perang saudara yang tak berujung, mengkudeta
pemerintah, dan penderitaan yang lain.

F. Prinsip-Prinsip Aswaja Dalam Bidang Sosial Politik

Dalam pandangan Aswaja, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
suatu negara. Persyaratan itu adalah:

1. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:


‫علَى‬ ‫ع ْال َح َياةِ الدُّ ْن َيا َو َما ِع ْندَ ه‬
َ ‫َّللاِ َخي ٌْر َوأ َ ْبقَى ِللهذِينَ آ َمنُوا َو‬ ْ ‫فَ َما أُوتِيت ُ ْم ِم ْن ش‬
ُ ‫َيءٍ فَ َمت َا‬
‫َضبُوا ُه ْم‬ ِ ‫ش َو ِإذَا َما غ‬ َ ‫اح‬ ِ ‫) َوالهذِينَ َيجْ تَنِبُونَ َك َبائِ َر اإلثْ ِم َو ْالفَ َو‬36( َ‫َر ِب ِه ْم يَت ََو هكلُون‬
‫ورى بَ ْينَ ُه ْم َو ِم هما‬
َ ‫ش‬ُ ‫صالة َ َوأ َ ْم ُر ُه ْم‬ ‫) َوالهذِينَ ا ْست َ َجابُوا ِل َر ِب ِه ْم َوأَقَا ُموا ال ه‬37( َ‫َي ْغ ِف ُرون‬
)39( َ‫َص ُرون‬ ُ ‫صا َب ُه ُم ْال َب ْغ‬
ِ ‫ي ُه ْم َي ْنت‬ َ َ ‫) َوالهذِينَ ِإذَا أ‬38( َ‫َرزَ ْقنَا ُه ْم يُ ْن ِفقُون‬
"Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan
hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal
bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka
bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi
maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang
apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri."

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman
kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar
(ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi,
mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-akan
musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

2. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama


bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam)
terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS
An-Nisa' 4:58

‫اس أ َ ْن تَحْ ُك ُموا‬ ِ ‫َّللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْل َ َمانَا‬


ِ ‫ت إِلَ ٰى أ َ ْه ِل َها َوإِذَا َح َك ْمت ُ ْم بَيْنَ النه‬ ‫۞ إِ هن ه‬
‫يرا‬ً ‫ص‬ِ َ‫س ِميعًا ب‬ َ َ‫َّللاَ َكان‬ ُ ‫َّللاَ نِ ِع هما يَ ِع‬
‫ظ ُك ْم بِ ِه ۗ إِ هن ه‬ ‫بِ ْالعَ ْد ِل ۚ إِ هن ه‬

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah maha mendengar lagi maha melihat.

3. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar


dapat melakukan hak-hak mereka. Hakhak tersebut dalam syari'at dikemas
dalam al-Ushul alKhams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan
primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:
a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dimiliki
warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk
agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang
dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis
keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi,
pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini
lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

4. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua


warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta
atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama
tetlentu tidaklah dibenarkan.

Berkaitan dengan prinsip-prinsip Aswaja di atas, Prof. DR. KH. Said Agil
Siraj, MA, dalam artikelnya yang berjudul Doktrin Aswaja Di Bidang
Sosial dan Politik, menyatakan bahwa Aswaja tidak memiliki patokan
yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan
bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun
bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat)
yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya
negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai
pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara
tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam,
tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta
menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

"Umat Islam harus mengakui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah


dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik.
Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus
diakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai
prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara
menurut Aswaja." Demikian pernyataan Kang Said.

Hasil Keputusan Bahtsul Masail NU pada Muktamar NU ke-11 di


Banjarmasin, tahun 1355 H atau 1936 M, Kerajaan Hindia Belanda
(sebutan untuk Indonesia tempo dulu) adalah negara Islam

Berikut kutipannya:

"Pertanyaan :
Apakah nama negara kita menurut syara’ agama Islam?
Jawaban :
Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan “negara Islam”
karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam.
Walaupun pernah direbut oleh penjajah kafir, tetapi nama negara
islam tetap selamanya.
Keterangan diambil dari kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayed
Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar atau dikenal dengan
Syeikh Ba’lawi, pada bab Hudnah wal Imamah, redaksinya begini:

‫ كل محل قدر مسلم ساكن به في زمن من اْلزمان يصير دار إسالم تجري عليه أحكامه في‬: ‫مسألة‬
‫ذالك الزمان ومابعده وإن انقطع امتناع المسلمين باستيالء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله‬
‫وإخراجهم منه وحينئذ فتسميته دار حرب صورة الحكما فعلم أن أرض بتاوي وغالب أرض جاوة‬
‫دار إسالم الستيالء المسلمين عليها قبل الكفار‬

'Semua tempat dimana muslim mampu untuk menempatinya pada


suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam yang ditandai
berlakunya syariat Islam pada masa itu. Sedangkan pada masa
sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh
penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan
mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap
mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan
'daerah perang' hanya merupakan bentuk FORMALNYA dan
TIDAK HUKUMMNYA. Dengan demikian diketahui bahwa tanah
Betawi dan bahkan sebagian besar Tanah Jawa adalah 'Daerah Islam'
(darul Islam) karena umat Islam pernah menguasainya sebelum
penguasaan orang-orang kafir."

Dengan demikian, Aswaja An-Nahdliyah tidak pernah mempersoalkan


sistem suatu negara, baik demokrasi maupun khilafah. Selama negara itu
menjunjung tinggi hak-hak warganya, maka negara tersebut layak disebut
negara Islam
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Daftar Pustaka
http://www.muslimedianews.com/2014/05/mengapa-kyai-kyai-nu-menerima-
demokrasi.html
http://www.muslimedianews.com/2013/10/inilah-pandangan-nu-tentang-
dasar.html
http://www.kholidintok.net/2017/04/peran-nu-dalam-membentuk-dasar-
negara.html
http://www.nu.or.id/post/read/64734/bunyi-komitmen-nu-pada-demokrasi-
pancasila-di-muktamar-1967
http://www.pastiaswaja.org/2015/05/demokrasi-dalam-kacamata-aswaja-an-
nahdliyah.html
http://www.nu.or.id/post/read/35390/demokrasi-pemerintahan-islami

Anda mungkin juga menyukai