JUDUL:
“PERANAN HUKUM DALAM MEREKATKAN KEBANGSAAN INDONESIA”
Oleh:
PROF DR ZUDAN ARIF FAKRULLOH, SH,MH
Bismillahirrohmanirrohim,
Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,
Selamat Pagi dan Salam Sejahtera Bagi Kita Semua
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat
dan karunia yang senantiasa terlimpah kepada kita semua sehingga dapat hadir pada acara
yang sangat membahagiakan ini. Ucapan terima kasih yang tak terhingga harus saya haturkan
kepada Ketua Yayasan Universitas Wijaya Kusuma, Rektor dan Panitia Dies Natalis yang
mempercayai saya untuk berdiri di mimbar yang terhormat ini untuk menyampaikan orasi
ilmiah.
Sebelum saya memulai orasi ilmiah ini, perkenankanlah saya mengucapkan selamat kepada
Ketua Yayasan, Rektor, Para Dekan, Para Guru Besar, Dosen dan Karyawan serta mahasiswa
atas seluruh pencapaian yang telah diperoleh Universitas Wijaya Kusuma dalam kurun waktu
30 tahun. Usia 30 tahun adalah usia yang sudah matang dan siap untuk tidak saja bersaing di
tingkat nasional, bahkan harus mulai berani untuk berkompetisi di tingkat Internasional.
Universitas Wijaya Kusuma sudah mengalami kemajuan yang banyak dibandingkan dengan
ketika saya pertama kali menjadi dosesn tetap di Fakultas Hukum mulai pada tanggal 1
Februari 1993. Mudah-mudahan perkembangan yang luar biasa yang sudah dicapai oleh
Universitas Wijaya Kusuma dapat tingkatkan terus secara berkelanjutan agar Kampus
Universitas Wijaya Kusuma dapat menjadi Kampus yang Terpercaya dan menjadi Kampus yang
membanggakan seluruh warga Almamaternya.Mudah-mudahan, dari kampus ini akan dapat
ditebarkan ilmu yang barokah untuk selanjutnya dapat diimplementasikan menjadi ilmu yang
amaliah.
Para hadirin yang saya muliakan, perkenankanlah saya untuk memulai menyampaikan isi
orasi ilmiah yang berjudul: PERANAN HUKUM DALAM MEREKATKAN KEBANGSAAN
INDONESIA.
-2-
I. PENDAHULUAN
Ada yang mengusik nurani kita sebagai anak bangsa ketika kita dihadapkan pada
sebuah pertanyaan “masih banggakah engkau sebagai bangsa Indonesia?”. Dibalik
keberhasilan reformasi yang mampu mendorong keterbukaan dan demokratisasi, terpapar
pula fakta empirik dihadapan kita yang menunjukkan problema serius yang mengancam
kerekatan kebangsaan Indonesia. Kita dapat mengidentifikasi persoalan-persoalan
tersebut mulai dari ancaman terhadap keamanan individu, radikalisme agama korupsi
yang terjadi secara massif, penegakan hukum yang tidak berkeadilan, desentralisasi yang
cenderung terimplementasi dalam federalisasi maupun kesenjangan ekonomi dan tingkat
kemiskinan yang tidak dapat segera diatasi.
Upaya untuk merawat kebangsaan Indonesia sekaligus mewujudkan suasana aman,
tertib dan sejahtera dalam keberagaman masyarakat Indonesia memang tidak semudah
seperti teori-teori yang ada di dalam buku. Tidak ada satupun teori yang dapat secara
tepat digunakan untuk diterapkan di Indonesia, sebuah negeri yang demikian besar, yang
di dalamnya terdapat lebih dari 300 (tiga ratus) etnis dengan lebih dari 50 (lima puluh)
bahasa yang berbeda-beda yang tersebar dalam 17.504 (tujuh belas ribu lima ratus empat)
pulau yang terangkai dari Sabang sampai Merauke (Zudan Arif Fakrulloh, 2009) dan
terwadahi dalam administrasi pemerintahan pada 530 (lima ratus tiga puluh) daerah
otonom yang terbagi dalam 497 (empat ratus Sembilan puluh tujuh) kabupaten/kota dan 33
(tiga puluh tiga) provinsi (Kemendagri, 2011).
Karakteristik Indonesia sebagaimana saya uraikan di atas membutuhkan
penanganan yang spesifik Indonesia dan tidak dapat dilakukan secara serta merta dengan
mengcopy paste proses-proses yang dilakukan oleh negara-negara lain yang dianggap
sudah maju. Contoh-contoh di negara lain adalah referensi yang dapat digunakan sebagai
bahan perbandingan, namun bukan satu-satunya model yang tepat untuk digunakan di
Indonesia. Kita harus mewujudkan Kebangsaan Indonesia sekaligus mencapai
kesejahteraan yang berbasiskan rasa aman dan tertib dengan nilai-nilai keindonesiaan
yang berlandaskan kepada Pancasila.
Terhadap seluruh ancaman terhadap kebangsaan Indonesia, seluruh pemangku
kepentingan di Indonesia mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan seluruh
warga masyarakat harus bersama-sama untuk melakukan tindakan pencegahan dan
penanganan secara terkoordinasi, sistematik dan berkelanjutan menggunakan cara
pandang yang sama dengan menggunakan pendekatan kekinian yang up to date. Empat
Pilar dalam bernegara dapat kita jadikan referensi untuk merawat kebangsaan Indonesia.
Empat pilar tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika.
-3-
Apabila merujuk pada tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD
1945, maka tergambar dengan jelas tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara
Indonesia. Ketika kita menggali lebih dalam, dan Pancasila sebagai dasar negara
dibongkar isinya, maka di dalamnya dapat diperoleh makna model masyarakat
Indonesia. Dari sila-sila yang ada, dapat dikontruksikan bahwa Masyarakat Indonesia
merupakan komunitas yang hidup dalam negara yang bermoral religius dalam tatanan
yang secara totalitas memberikan penghargaan pada martabat kemanusiaan dalam
bingka negara kesatuan Indonesia yang demokratis dan berkeadilan sosial. Gambaran
inilah yang sebenarnya sering disebut oleh para ahli sebagai Civil Society atau
Masyarakat Madani.
Berbagai konsep tentang masyarakat madani berkembang sebagai hasil abstraksi
pemikiran dengan dasar/setting masyarakat tertentu. Konsep Hegel tentang masyarakat
madani misalnya, dipandang suatu masyarakat borjuis yang terdiri dari individu-individu
yang telah meninggalkan satuan-satuan keluarga dan memasuki persaingan ekonomi.
Hegel melihat dalam masyarakat ini terdapat berbagai kepentingan sempit yang saling
bertentangan dan saling memecah belah sehingga masyarakat ini ada kecenderungan
menghancurkan dirinya sendiri. Dalam hal ini negara diperlukan sebagai pelestari dan
-4-
1
Bunyi selengkapnya Bab VI tentang Pemerintahan Daerah:
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
-6-
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan
kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
-7-
otonomi. Negara Kesatuan tidak dapat meniadakan Otonomi Daerah namun betapapun
luas kewenangan Otonomi Daerah, tidaklah dapat meniadakan wadah Negara
Kesatuan. Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di
Indonesia bercirikan pada karakteristik sebagai berikut:
1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan.
2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas
urusan pemerintahan
3. Penyerahan atau pengakuan atas urusan tersebut didasarkan pada pengaturan dan
pengurusan kepentingan masyarakat setempat.
Dari konstruksi yang terdapat dalam Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD
1945 maka hak, kewenangan dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lebih diarahkan pada pemenuhan kepentingan masyarakat. Berdasarkan
hal tersebut maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menggariskan bahwa maksud
dan tujuan pemberian otonomi daerah adalah memacu kesejahteraan, pemerataan
-8-
daerah, namun tidak dapat mengintervensi ke dalam wilayah-wilayah yang tidak berada
dalam kompetensi pemerintah.
Belajar dari perbandingan otonomi daerah di berbagai negara, terdapat dua pola
besar dalam merumuskan hukum yang terkait dengan pembagian urusan pemerintahan
yaitu dengan pola: (Zudan Arif Fakrulloh, 2009)
1. Otonomi luas (general competence)
2. Otonomi terbatas (ultra vires)
Dalam pola otonomi luas, urusan-urusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
bersifat limitatif dan sisanya menjadi kewenangan pemerintah daerah (Teori Residu).
Sedangkan dalam pola otonomi terbatas, urusan-urusan daerahlah yang dirumuskan
secara limitatif dan sisanya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Dalam negara yang menggunakan prinsip desentralisasi, maka makna dan tujuan
pembangunan tersebut juga menjadi landasan pelaksanaan desentralisasi. Secara
teoritis, desentralisasi menjanjikan banyak hal bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan
masyarakat pada tingkat lokal. Dengan pemahaman itu, maka desentralisasi dan
otonomi daerah memberikan kesempatan yang sangat besar kepada pemerintah dan
masyarakat daerah untuk mengatur dan melayani pemenuhan kebutuhan mereka dalam
rangka hidup bermasyarakat.
Pada dasarnya desentralisasi dan otonomi daerah mempunyai makna besar bagi
kepentingan masyarakat daerah untuk menjadi pengambil manfaat dari setiap
pengaturan dan pelayanan pemerintahan. Pandangan ini menyiratkan suatu keharusan
bahwa dengan otonomi daerah, kepentingan, kebutuhan, dan kondisi masyarakat
merupakan inspirasi utama dalam setiap langkah kegiatan pemerintah daerah. Artinya
setidak-tidaknya ada 3 (tiga) aspek penting yang tidak boleh diabaikan oleh
pemerintahan daerah dalam berproses sebagai kepanjangan tangan pemerintahan
nasional maupun daerah yaitu: harus mewujudkan harapan masyarakat, menuntaskan
masalah yang dihadapi masyarakat, dan meningkatkan sumberdaya yang dimiliki oleh
masyarakat.
Di berbagai negara yang mempunyai wilayah yang luas, hampir tidak ada kebijakan
sentralisasi yang dapat berjalan secara efektif. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam
wilayah negara yang luas diperlukan pola-pola penyerahan/pelimpahan sebagian
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui otonomi daerah.
Oleh karena itu, otonomi daerah dapat dianggap sebagai refleksi dari distribusi
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
-10-
Model ketiga dari kebijakan desentralisasi dalam arti luas adalah adanya kebijakan
delegasi (delegation) pemerintah pusat dapat mendelegasikan pelaksanaan suatu tugas
tertentu kepada suatu lembaga atau unit pemerintah yang khusus dibentuk untuk
keperluan termasuk. Pemerintah Indonesia sebagai contoh membentuk Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi tertentu oleh negara
seperti penerbangan oleh Garuda, perminyakan oleh Pertamina, listrik oleh PLN,
pembentukan Otorita Batam, pembentukan kawasan khusus lainnya, untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan/atau
berskala nasional. Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom
untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintah tertentu yang bersifat khusus dan
untuk kepentingan nasional/berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar
budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan teknologi
tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, pengembangan
prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan dan daerah perdagangan
bebas, pangkalan militer, serta wilayah eksploitasi, konservasi bahan galian strategis,
penelitian dan pengembangan sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga
pemasyarakatan spesifik. Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam
pembentukan kawasan khusus tersebut.
BOO (Build Operate Own), BTO (Build Transfer Operate), Management Contracting
Out dan lain-lainnya.
Apakah pelimpahan wewenang akan lebih menitik beratkan pada pilihan devolusi,
dekonsentrasi, delegasi ataupun bahkan privatisasi, hal tersebut tergantung dari para
pengambil keputusan politik di negara yang bersangkutan. Di banyak negara, keempat
bentuk tersebut sering diterapkan bersama oleh pemerintah, walaupun salah satu bentuk
mungkin mendapatkan prioritas dibandingkan bentuk-bentuk lainnya (Rondinelli &
Cheema, 1983).
1. Urusan absolut yang secara mutlak menjadi urusan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat
(3) UU 32 tahun 2004)
2. Urusan Bersama yaitu urusan yang dapat dilakukan secara bersama-sama antara
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota.
3. Urusan Wajib pemerintah daerah. Urusan wajib provinsi di atur dalam Pasal 13
Undang-Undang2 nomor 32 tahun 2004 dan urusan wajib kabupaten kota di atur
dalam Pasal 143 tahun 2004.
2
Pasal 13 UU Nomor 32 tahun 2004 mengatur Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada
dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
3Pasal 14 UU nomor 32 tahun 2004 mengatur Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
-12-
1. politik luar negeri dalam arti mengangkat pejabat diplomatic dan menunjuk warga
Negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan
luar negerimelakukan perjanjian dengan Negara lain, menetapkan kebijakan
perdagangan luar negeri, dan sebagainya;
2. Pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan
damai dan perang, menyatakan Negara atau sebagian wilayah negaradalam keadaan
bahaya, membangun dan mengembangkan system pertanahan Negara dan
persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela Negara bagi setiap
warga Negara dan sebagainya.
3. Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian Negara, menetapkan
kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum
Negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu
keamanan Negara dan sebagainya.
4. Moneter, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan
kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya;
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola kewenangan adalah sebagai
berikut :
a. Bahwa pemahaman Otonomi Daerah harus secara utuh dan tidak semata-mata
didasarkan atas pendekatan pembagian kekuasaan yang cenderung dimaknai kedaulatan,
akan tetapi harus diperhatikan dan difahami melalui pendekatan kesejahteraan untuk
rakyat daerah dan semakin baiknya penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan di
Daerah serta dalam mendukung integritas dan eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
b. Dengan pendekatan kesejahteraan, kewenangan dapat dikelola antara lain untuk
meningkatkan pelayanan melalui upaya menciptakan iklim yang kondusif untuk
kesempatan berusaha, mengembangkan dan menarik investasi, menciptakan lapangan
kerja dan kesempatan kerja, serta terciptanya suasana tentram, tertib hukum dan adanya
kepastian hukum.
c. Dalam mengelola kewenangan yang diakomodir melalui Perda, Keputusan Kepala
Daerah dan kebijakan pelaksanaannya kiranya tidak ditujukan semata-mata untuk
kepentingan Pemerintah Daerah, namun harus sebesar-besarnya ditujukan untuk
kepentingan masyarakat luas dan kelangsungan berjalannya kegiatan dan kebijakan
Pemerintahan Nasional.
d. Apabila Daerah telah menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan peraturan yang lebih tinggi segera mengkaji dan meninjau kembali atau
dilakukan judicial review yang disesuaikan dengan kepentingan umum yang lebih luas
dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan memahami konsep dan paradigm desentralisasi seperti uraian di atas, maka
apabila desentralisasi dilaksanakan sesuai dengan kaidah, konsep dan paradigm yang
tepat akan dapat merekatkan kebangsaan Indonesia.
-15-
Dari aspek wilayah, konflik di atas`tersebar menjadi 7 (tujuh) kelompok wilayah yaitu :
Oleh karena itu, kita harus meredfinisi konsep keamanan dan ketentraman.
Konsep keamanan dan ketentraman yang dibangun masa lampau pasca perang dingin
tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Konsep keamanan yang dibangun secara
statis dengan pendekatan militeristik tidak cukup untuk mewadahi dinamika yang terus
berkembang demikian pesat. Konsep keamanan telah berkembang dan sekurang-
kurangnya mempunyai lima dimensi yang saling terkait, yaitu dimensi militer, politik,
ekonomi, sosial dan lingkungan ( Buzan, 1991;19-20). Buzan memberikan catatan
penting bahwa dalam mencapai keamanan, antara negara dan masyarakat tidak selalu
berada dalam hubungan yang harmonis, seringkali keduanya berada dalam posisi yang
berlawanan.
Dimensi sosial ini sangat terkait erat dengan salah satu aspek penting dalam
konsep keamanan yakni keamanan individu. Oleh karena itu, keamanan individu harus
dijadikan isu sentral pula dalam persoalan-persoalan keamanan. Perkembangan
paradigm tentang keamanan ini didorong oleh UNDP (United Nations Development
Program) dengan mengajukan rumusan baru keamanan yang diawali dengan
pemahaman bahwa keamanan berarti: “keamanan dari ancaman terus menerus dari
rasa lapar, penyakit, kejahatan, dan penindasan,…perlindungan terhadap gangguan
yang membahayakan atas kehidupan sehari-hari, baik dirumah, tempat kerja,
masyarakat, maupun lingkungan. Lebih jauh UNDP mengidentifikasi enam komponen
keamanan individu yaitu: economic security, food security, health security,
environmental security, personal security, community dan political security (Analisis
CSIS, 2002, Volume 1).
akan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan di masyarakat bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang sangat pluralis karena kemajemukannya, adat istiadatnya serta
budayanya yang mempunyai corak dan karakteristik yang berbeda dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Pertanyaan yuridis yang mengemuka adalah apakah dengan
diberikan hukuman yang berat bahkan hukuman mati kepada pelaku radikalisme agama
dapat secara efektif mencegah terorisme dan anarkhisme yang berbasiskan agama?
Sebagian masyarakat masih meragukan efektifitas hukuman itu dalam mengatasi aksi
kekerasan dan terorisme, karena cara tersebut masih menyisakan sejumlah persoalan
karena penyelesaian hukum tidak menyentuh masalah terorisme secara komprehensif.
Hukuman hanyalah sebuah shock therapy (kejutan sesaat) saja.
pada kekerasan. Apabila kita cermati teori ini sedikit banyak ada pembenarannya ketika
terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana. Secara empirik,
radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang kongkrit, yaitu
kekerasan atau konflik-konflik. Di Bosnia misalnya, kaum ortodoks, Katolik, dan Islam
saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan.
Begitu pula di Indonesia terjadi konflik antar agama di Poso dan di Ambon. Kesemuanya
ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering menjadi pendorong
terjadinya konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian. Oleh sebab itulah,
bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktekan oleh sebagian umat seharusnya tidak
sampai menghadirkan ancaman bagi masa depan bangsa. Pluralisme tetap menjadi
komitmen kita bersama untuk membangun bangsa yang modern, yang didalamnya
terdapat bermacam-macam agama dan etnis secara damai.
toleransi antar umat beragama harus terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial
yang berkelanjutan. Dengan demikian secara wacana dan praksis, gerakan sikap umat
beragama tidak sampai pada kesadaran dan gerakan radikal. Dekonstruksi kesadaran
terhadap eksklusifitas, militansi, dan radikalisme agama adalah langkah awal untuk
menjamin masa depan pluralis, yang pada gilirannya akan tercapai pembangunan
kembali (rekonstruksi ) kesadaran kehidupan beragama yang toleran, inklusif, dan
pluralis adalah langkah terakhir untuk menyampaikan pesan perdamaian agama-agama
di tengah-tengah masyarakat multikultural. Kondisi inilah yang kita dambakan dalam
menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik ditengah-tengah ancaman terorisme
dan kekerasan.
Oleh karena itu, langkah dan upaya yang perlu diambil dalam menyikapi gerakan
radikalisme di Indonesia salah satunya yaitu mengintensifkan pendalaman dan
pemantapan Pancasila melalui program wawasan kebangsaan guna
diimplementasikan kepada masyarakat dalam upaya memperkokoh ketahanan bangsa,
yang juga merupakan langkah strategis dan moment-nya sangat tepat terutama bila
dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi bangsa kita dewasa ini.
Pengembangan wawasan kebangsaan sangat diperlukan sebagai upaya pembinaan
karakter dan jati diri bangsa guna meningkatkan kualitas kebangsaan, sehingga bangsa
Indonesia mampu menghadapi berbagai permasalahan kebangsaan, termasuk yang
paling berat, yaitu ancaman disintegrasi bangsa. Hal ini sebagai konsekuensi logis,
setelah tercapainya kemerdekaan RI, tanggal 17 Agustus 1945, bahwa bangsa Indonesia
harus mampu mempertahankan eksistensi, identitas, integritas bangsa dan negara, serta
perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.
Dengan karakter hukum yang demikian itu, maka negara Indonesia diarahkan
sebagai negara hukum yang berhati nurani atau negara yang memiliki kepedulian (a state
with conscience and compassion) (satjipto Rahardjo, 2009;94). Dengan demikian, kita
akan sampai kepada sebuah paradigm yaitu “hukum untuk manusia”. Paradigma ini
mensyaratkan agar cara kita dalam berhukum tidak dilakukan secara linier, melainkan
progresif dan bermakna kemanusiaan. Untuk menjangkau tujuan kemanusiaan yang lebih
tinggi, kita harus membebaskan diri dari teks yang linier sehingga tujuan hukum untuk
membahagiakan rakyatnya dapat tercapai. Dalam pembangunan hukum untuk
mewujudkan hukum yang berkarakter membahagiakan rakyatnya, saya sepakat dengan
tesis Nonetz dan Selznick (1978) yang tidak menganjurkan suatu negara meniru negara
manapun, melainkan mendasarkan pembangunan hukumnya berdasarkan realitas
dinamika internal bangsa itu sendiri. Nonetz dan Selznick dalam konteks yang sama juga
mengatakan bahwa perkembangan setiap negara adalah khas atau unik yang tidak serta
merta dapat di copy paste oleh negara lain.
Oleh karena itu, pembangunan hukum di Indonesia dilakukan dari dalam Indonesia
sendiri (development from within). Strategi pembangunannya dilaksanakan dengan
mengandalkan modal sosial cultural dan kekuatan yang sudah dimiliki oleh bangsa
Indonesia sendiri, sehingga tidak terlepas dari akar budaya bangsa Indonesia. Dengan
memahami seluk beluk Keindaonesia secara utuh, maka hukum yang akan dibangun di
Indonesia tidak dapat berangkat dari kosmologi bangsa lain atau masyarakat lain. Prof
Satjipto Rahardjo menganjurkan bahwa dalam pembangunan hukum itu berangkat dari
kosmologi bangsa Indonesia sendiri.
yang ada menjadi sarana yang bersifat teknologis untuk “mendesain” masyarakat atau
bahkan mendesain “manusia”. Fungsi hukum sebagai kontrol sosial sangatlah
strukturalis, karena memberikan posisi pada pemerintah untuk mendefiniskan hukum
sebagai government social control. Fungsi rekayasa sosial mereduksi manusia seolah-olah
menjadi “mesin” atau “hanya bahan” yang yang dapat direkayasa, dengan
menghilangkan sifat-sifat kodrati manusia yang lekat dengan cipta, rasa dan karsa.
Paradigma hukum yang strukturalis ini sudah tidak sesuai dengan ruh kebangsaan
Indonesia. Harus dilakukan pergeseran paradigm hukum yang lebih sesuai dengan konteks
Indonesia saat ini. Paradigma Hukum humanis partisipatoris lebih memberikan ruang
apresiasi bagi perwujudan hukum yang membahagiakan rakyatnya.. Dalam perspektifi ini,
model humanis-partisipatoris adalah model yang memberikan tempat kepada hukum-
hukum lokal dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hukum. Fungsi hukum yang
humanis partisipatoris merupakan perwujudan dari hukum yang mendasarkan pada
martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan melalui pemberian prakarsa dan
kesempatan kepada masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat. Proses ini dimulai dari perencanan hukum sampai pada
pendayagunaan hukum.
Dalam pembangunan hukum ini, kita tidak boleh melupakan unsur yang sangat
sentral yaitu aparatur hukum yang akan menggerakan hukum bekerja dengan optimal.
Aparatur hukum harus dibekali dengan serangkaian karakter sebagai berikut :
5. Keberanian untuk mengambil langkah moral (the courage to take moral action)
Dengan segenap uraian di atas, agar hukum dapat berperanan yang lebih tepat
dalam merekatkan kebangsaan Indonesia maka hukum harus membentuk diri agar
berkarakter membahagiakan rakyatnya. Untuk menuju kearah tersebut, maka hukum
harus dilihat sebagai sebuah system yang terdiri dari seperangkat bagian-bagian yang
berhubungan satu sama lain yang bekerja sendiri-sendiri atau bersama-sama menuju
tujuan yang sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Friedman yang menyatakan bahwa
bekerjanya hukum dapat dianalisis ke dalam tiga komponen, yaitu: (Arif Hidayat, 2010,38)
1. Legal Structure (struktur hukum) yaitu bagian yang bergerak didalam suatu mekanisme
atau kelembagaan yang diciptakan oleh system hukum dan berfungsi untuk mendukung
bekerjanya system hukum. Dalam konteks operasional, struktur hukum ini didalamnya
terdapat aparatur hukum.
2. Legal substance (substansi hukum) yaitu hasil actual yang diterbitkan oleh system
hukum (berupa norma-norma dan peraturan perundang-undangan)
3. Legal culture (budaya hukum) yang berupa ide-ide, sikap, harapan dan pendapat
tentang hukum sebagai keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana system hukum
memperoleh tempatnya secara baik dan bagaiman orang menerima hukum atau
sebaliknya.
Perilaku manusia didorong oleh adanya kepentingan, dan kepentingan itu sendiri
bermacam-macam sehingga dihadapkan pada masalah pilihan-pilihan. Dengan demikian,
berhukum adalah pilihan, bukan pekerjaan yang otomatis. Hukum yang canggih sekalipun
tidak akan mampu mengontrol penggunaan hukum menurut kemauan manusia yang akan
-25-
Oleh karena itu, untuk mewujudkan hukum yang mampu berperanan tinggi dalam
merekatkan kembali kebangsaan Indonesia harus dilandasi dengan perilaku yang baik,
yang didalamnya terdapat nilai-nilai kejujuran, keihlasan, kepedulian dan penghormatan
terhadap martabat kemanusiaan. Contoh berhukum yang buruk dan menyentak rasa
kebangsaan kita adalah contoh yang terjadi di Surabaya, dimana kejujuran justru tidak
mendapatkan tempat yang terbaik dimasyarakat. Siami seorang ibu rumah tangga yang
mengadukan kepada pihak yang berwenang karena guru-guru di sekolah anaknya
memintan anaknya yang cerdas memberikan contekan kepada rekan-rekannya. Anaknya
yang jujur menilai perbuatan gurunya bukanlah perilaku yang baik dan ia melaporkan
pada Siami ibundanya. Namun Siami dan anaknya justru dimusuhi oleh lingkungannya.
Inilah tragedi dalam berhukum. Nilai dasar hukum yaitu kejujuran sudah dikalahkan oleh
kepentingan untuk mendapatkan nilai angka yang baik.
-26-
VI. PENUTUP