Anda di halaman 1dari 14

DEKOLONIALISASI AKADEMIK:

Melawan Hegemoni Sains Ekonomi Bisnis Barat1

Dr. Fuad Mas’ud, MIR2

Dekolonialisasi

Indonesia telah menyatakan merdeka pada 17-08-1945, namun sebenarnya sampai sekarang
Indonesia belum merdeka dari penjajahan asing. Penjajahan dengan gaya baru atau disebut
neokolonialisme telah menguasai berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial budaya,
militer, pendidikan dan sebagainya. Misalnya di bidang ekonomi, bangsa Indonesia sangat
tergantung dengan produk-produk asing dari keperluan rumah tangga, obat-obatan, buku-buku
untuk kuliah, sampai alat-alat pertahanan, dan semakin banyak perusahaan asing beroperasi di
Indonesia dari ibu kota negara sampai kota provinsi dan kabupaten. Oleh karena itu, untuk dapat
benar-benar merdeka perlu diperjuangkan dekolonisasi yang berarti pembebasan dari
kolonialisasi (penjajahan).

Akademik

Sejak 1970an pemerintah Indonesia dan pemerintah asing memberi bea siswa kepada para dosen
dan calon-calon pemimpin lembaga untuk studi lanjut pada program S2 dan S3 di berbagai
perguruan tinggi luar negeri seperti Eropa dan Amerika Serikat. Selama kuliah mereka mengkaji
buku-buku, jurnal, hasil riset, dsb. dari para ahli di Barat, mereka dipersiapkan untuk dapat
mengikuti apa yang dilakukan para ahli dari Barat. Mereka, baik secara langsung maupun tidak
langsung, telah mempelajari ide-ide para intelektual Barat yang menganut pandangan hidup
ateisme atau agnostisme, materialisme, sekulerisme, dan liberalisme seperti Protagoras,
Hiraklitos, Aristoteles, Plato, Socrates, Nicolo Machiavelli, Francis Bacon, Issac Newton, Rene
Descartes, Thomas Hobbes, Adam Smith, John Stuart Mill, David Hume, Jeremy Bentham,
John Locke, Immanuel Kant, August Comte, Karl Marx, Herbert Spencer, William James,
Hegel, Spinoza, Rousseau, Sartre, Nietsczhe, Schumpeter, Darwin, Marshall, Keynes, Hayek,
Misses, Freud, Pierce, Dewey, Weber, Roger, Maslow, Foucault, Drucker, Taylor, Bertalanffy,
Parson, Rawl, Hayek, Friedman, Russel, Skinner, Bandura, Fukuyama, Habermas, Gadamer,
Derrida, dsb.

Setelah mereka lulus S2 dan S3 dan kembali ke Indonesia, mereka memasarkan,


menyebarluaskan dan membela paham-paham dari Barat. Konsep dan teori yang diimpor dari
Barat dijadikan pedoman dan standar dalam bekerja serta mengelola organisasi. Bahkan dalam
memahami dan mendefinisikan masalah, menganalisis masalah dan merekomendasikan
1
Tulisan ini semula merupakan kertas kerja disampaikan pada acara FGD Kurikulum Prodi Magister Ekonomi
Islam/Syariah di IAIN Kudus, Senin 15 November 2021, namun dengan beberapa tambahan..
2
Dosen FEB Universitas Diponegoro, Anggota Dewan Pakar, DPN FORDEBI,
1
penyelesaian masalah selalu berdasarkan konsep dan teori yang diimpor dari Barat. Apa yang
menyimpang dari teori-teori Barat dianggap tidak benar, dan harus dirubah agar sesuai dengan
teori. Padahal ada banyak perbedaan kondisi antara masyarakat Barat dengan masyarakat
Indonesia baik dalam aspek pandangan hidup, ekonomi, hukum, maupun sosial budaya. Dengan
demikian terjadilah penjajahan akademik yang terus-menerus, dan oleh karena itu, maka bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan tergantung terus dengan Barat, sehingga
permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam tidak menjadi berkurang, bahkan sebaliknya
menjadi semakin bertambah parah.

Sampai sekarang banyak organisasi sosial kemasyarakatan Islam seperti NU,


Muhammadiyah, DDII, Persis, al-Washilah, Hidayatullah, dan lembaga-lembaga Islam lainnya
telah melakukan usaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi ummat Islam yang
merupakan mayoritas bangsa Indonesia, dalam berbagai bidang seperti ekonomi, kesehatan,
pendidikan, kristenisasi, penerbitan, jurnalistik, dan sebagainya. Namun demikian, menurut M.
Naquib Al-Attas (2001) masalah-masalah yang dihadapi oleh ummat Islam bersumber pada
pengetahuan yang telah terkorupsi (coruption of knowledge). Hal ini terjadi karena hampir
semua buku teks (textbooks) seperti ekonomi, psikologi, sosiologi, antropologi, geografi, biologi,
dsb. yang digunakan sebagai bahan kuliah di perguruan tinggi (akademi) berasal dari Barat.
Dengan bekal sains yang diperoleh selama kuliah tersebut, para lulusan perguruan tinggi
(akademi) yang selanjutnya terjun dalam perbagai pekerjaan atau profesi seperti guru, pebisnis,
wartawan, dokter, dosen, akuntan, apoteker, militer, konsultan, dan lain-lain, serta memegang
jabatan seperti kepala sekolah, dekan, rektor, manajer, direktur, camat, bupati, anggota DPR,
jurnalis, konsultan, dan lain sebagainya akan mengimplementasikan konsep dan teori dari buku-
buku teks (textbooks) Barat tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, setelah
lebih dari 50 tahun model pendidikan tinggi berbasis Barat dipraktekkan di Indonesia,
masyarakat Indonesia tidak menjadi lebih baik, namun sebaliknya justru semakin tergantung
kepada penjajah asing, kondisi keadilan ekonomi sosial tidak semakin baik, dan lingkungan alam
semakin rusak.

Pandangan Hidup (Worldview)

Setiap orang tentu memiliki dan menganut pandangan hidup tertentu, meskipun seringkali tidak
disadarinya. Pandangan hidup (worldview) merupakan penggerak dan pedoman manusia dalam
bertindak. Pandangan hidup merupakan cara bagaimana seseorang atau sekelompok orang
memahami hakekat realitas, hakekat manusia, tujuan hidup manusia, dan hal-hal fundamental
dalam kehidupan seperti hakekat kebenaran, kebahagiaan, kebaikan, keburukan dan lain
sebagainya. Secara umum pandangan hidup (worldview) adalah keyakinan-keyakinan dasar yang
dianut oleh seseorang atau sekelompok orang yang membantu mereka dalam memahami
hakekat realitas, menentukan tujuan hidup dan mencapai tujuan hidup, menentukan standar baik,
buruk, benar dan salah, serta pedoman dalam berinteraksi dalam kehidupan (berinteraksi sesama
2
manusia, serta flora dan fauna). Ditinjau dari landasannya, pandangan hidup dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu: pertama pandangan hidup Islam dan pandangan hidup non Islam.
Namun pandangan hidup dapat pula dibedakan dengan dasar yang lain seperti pandangan hidup
berdasarkan agama, pandangan hidup berdasarkan filsafat, pandangan hidup berdasarkan
kebudayaan, dan pandangan hidup berdasarkan sains (pandangan hidup saintifik). Adapun
pandangan hidup Islam (Islamic worldview) adalah pemahaman muslim tentang keyakinan-
keyakinan dasar seperti Tuhan Allah, wahyu (al-Quran), Rasulullah Muhammad SAW, alam
semesta, tujuan penciptaan, hakekat realitas, hakekat manusia, tujuan hidup manusia, ilmu,
kebenaran, kesesatan, syariah, akhlaq (hubungan manusia dengan Allah, dan hubungan manusia
dengan makhluq), dan kebahagiaan. Pandangan hidup Islam tidak hanya berdasarkan
kemampuan akal manusia, tetapi juga berdasarkan pada petunjuk Allah SWT (wahyu), dan
Rasulullah Muhammad SAW, sehingga bersifat tetap dan final. Pandangan hidup Islam tidak
hanya berkaitan dengan urusan dunia, tetapi juga mencakup urusan akhirat (Mas’ud, 2017, p.
33).

Dewasa ini pandangan hidup yang menjadi tantangan terbesar bagi umat Islam adalah
pandangan hidup Barat. Pandangan hidup yang mendominasi masyarakat global adalah
pandangan hidup saintifik berdasarkan materialisme, humanisme dan sekulerisme dari Barat.
Sampai pertengahan abad XVI, padangan hidup masyarakat Barat (Eropa) berdasarkan pada
kekristenan (Christianity), namun selanjutnya kekristenan tidak lagi berperan dalam masyarakat
Barat. Pandangan hidup masyarakat Barat (Eropa-Amerika) beralih ke pandangan hidup bukan
berdasarkan kekristenan (Sire, 2004). Pandangan hidup masyarakat Barat yang
mengesampingkan agama Kristen (kekristenan–Christianity) berkembang sejak zaman
pencerahaan (Enlightenment), dan sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang berarti.
Pada dasarnya, pandangan hidup Barat berdasarkan pada empat paham utama yaitu:
materialisme, rasionalisme, humanisme dan sekularisme (Tarnas, 1993, Mas’ud, 2008). Dari
empat paham utama tersebut berkembang paham-paham lain seperti kebebasan, individualisme,
modernisme, positivisme, pragmatisme, utilitarianisme, posmodernisme, pospositivisme,
evolusianisme, darwinisme, saintisme, feminisme, dan lain sebagainya. Dewasa ini manifestasi
pandangan hidup Barat dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan,
bisnis, politik, keluarga dan hiburan. Pandangan hidup Barat disebarluaskan ke seluruh penjuru
dunia melalui berbagai media seperti buku, jurnal, majalah, koran, TV, radio, internet, media
sosial, dsb. Namun sayangnya, para akademisi kurang peduli terhadap penyebarluasan dalam
pandangan hidup Barat yang ada dalam buku-buku yang digunakan dalam pendidikan tinggi,
sehingga umat Islam hampir tidak berdaya menghadapi invansi pandangan hidup Barat. Para
akademisi, para dosen disibukkan dengan usaha untuk berpartisipasi dalam berbagai acara
seminar, simposium, konferensi baik tingkat nasional maupun internasional untuk mengejar
kredit poin, tetapi tidak peduli dengan penjajahan akademik yang menjadi tantangan di depan
mata (Murphy & Zhu, 2012). Yang lebih memprihatinkan lagi, para dosen tidak merasa bersalah

3
ketika mengajarkan berbagai konsep dan teori yang diimpor dari Barat yang bertentangan dengan
pandangan hidup Islam.

Pandangan Hidup dan Ketidaksepadanan (Incommensurability)

Berbagai konsep dan teori terutama dalam sains sosial dari Barat seperti sains ekonomis bisnis
dilandasi oleh pandangan hidup Barat. Banyak istilah asing yang kurang dipahami oleh para
intellektual di Indonesia, misalnya kata “ilmu” digunakan untuk menerjemahkan kata “science”,
sehingga menimbulkan kekacauan dalam berfikir. Hal ini karena istilah “science” tidak sepadan
dengan istilah “ilmu”. Sains hanya berkaitan dengan obyek-obyek yang bisa diamati dan diukur.
Sumber sains adalah manusia yakni kemampuan manusia, sedangkan “ilmu” dalam Islam tidak
hanya menyangkut hal-hal yang dapat diamati dan diukur. Berdasarkan pandangan hiudp Islam,
sumber ilmu bukan hanya kemampuan manusia, namun juga wahyu dari Allah SWT, dan
Rasulullah Muhammad SAW. Demikian pula dengan kata atau istilah “etika” atau “moral” yang
biasa digunakan untuk menerjemahkan kata “akhlaq”. Istilah akhlaq dalam Islam berkaitan
dengan hubungan antara Khaliq (Pencipta-Allah) dengan manusia, hubungan antara manusia
dengan manusia serta hubungan antara manusia dengan makhluk lain (flora dan fauna). Di
samping itu, akhlaq tidak bisa dilepaskan dengan aqidah, dan akhlaq juga tidak dapat dipisahkan
dengan syariah Islam. Sedangkan etika atau moral hanya mencakup hubungan antara manusia
dan manusia. Di Barat, etika dan moral tidak dikaitkan dengan Tuhan/Khaliq atau hukum agama.

Dengan demikian, menerjemahkan istilah akhlaq dengan istilah etika atau moral tidaklah
tepat. Dalam hal ini disebabkan adanya ketidaksepadanan semantik atau semantic
incommensurability, namun sayangnya masalah ini tidak pernah diperhatikan dan
dipermasalahkan. Suatu konsep atau istilah tidak muncul secara sembarang (arbiter) dan kosong
dari keyakinan dan nilai atau pandangan hidup tertentu. Sebaliknya, suatu konsep dan teori
terutama dalam sains sosial dilandasi oleh pandangan hidup tertentu. Oleh karena itu,
penggunaan kata etika seharusnya ditambah dengan kata lain sehingga menjadi: etika komunis,
etika sekuler, etika budha, etika protestan, etika bisnis kapitalis, etika bisnis katolik, etika politik
liberal, dan seterusnya. Dengan demikian akan menjadi jelas pandangan hidup yang menjadi
landasan istilah etika tersebut.

Seringkali orang menyatakan bahwa pemimpin atau pebisnis dalam pembuatan keputusan
harus dilakukan secara rasional dan obyektif. Namun ketika ditanya apa yang dimaksud dengan
pembuatan keputusan secara rasional? Maka jawabannya tidak mudah. Karena apa yang rasional
menurut orang tertentu, belum tentu rasional menurut orang lain. Sering juga ditemukan kalimat:
gunakan akalmu sebelum bertindak. Ada pula ungkapan: Tidak ada agama bagi orang yang tidak
berakal (la diina liman laa ‘aql lahu). Istilah “rational” (berasal dari bahasa Inggris) tidak
memiliki makna yang sama dengan istilal “aql” (berasal dari bahasa Arab). Namun sayangnya
kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian karena dianggap memiliki makna yang
4
serupa. Istilah “aql” dan “rational” memiliki makna yang berbeda bila dipahami berdasarkan
kontek asal bahasanya dan pandangan hidupnya. Kedua kata atau istilah tersebut mengandung
arti yang berkaitan erat dengan pandangan hidup. Dalam bahasa Inggris ada ungkapan: what is
not thought is not named (apa yang tidak difikirkan tidak diberi nama). Dengan demikian,
penggunaan suatu istilah dari masyarakat atau kebudayaan tertentu perlu difikirkan dengan
serius. Hal ini karena suatu istilah mempunyai makna yang seringkali tidak dapat diterjemahkan
atau sukar dipahami dari perspektif pandangan hidup yang berbeda. Suatu istilah selalu dilandasi
oleh pandangan hidup tertentu. Alija Ali Izetsgovic (1993) menyatakan: “That is why it is not
possible to express Islam using European terminology. The Islamic terms salah, zakah, khalifah,
jama'ah, wudu', and so forth are not prayer, tax, ruler, community, and washing (p.xxx). (Itulah
mengapa tidak mungkin mengekspresikan Islam dengan menggunakan terminologi bahasa
Eropa. Istilah-istilah Islam seperti sholat, zakat, khalifah, jamaah, wudlu, dan seterusnya,
bukanlah doa’, pajak, pengatur, komunitas, dan mencuci).
Berikut ini sekedar contoh perbandingan istilah-istilah yang muncul dalam pandangan
hidup Islam dan pandangan hidup Barat.

Tabel 1.
Pandangan hidup Islam dan Pandangan hidup Barat

No Pandangan Hidup islam No Pandangan Hidup Barat


1 Din 1 Religion
2 Akal 2 Rational, Reason
3 Ilmu, Ilmiyah, Ulama 3 Science, Scientific, scientist
4 Akhlaq 4 Ethics, Morality
5 Ruh, Ruhani, 5 Spirit, spiritual
6 Syura, Musyawarah 6 Democracy
7 Mubadzir 7 Efficient
8 Aurat 8 Human right
9 Najis 9 Secularism
10 Ihsan 10 Modern, postmodern
11 Nikah 11 Positivism
12 Amar ma’ruf, nahi munkar 12 Ideology

Dari Tabel 1 dapat dipahami bahwa istilah-istilah tersebut dilandasi oleh pandangan
hidup. Dalam pandangan hidup Islam dan pandangan hidup Barat muncul istilah-istilah yang
berbeda. Dalam pandangan hidup Islam ada istilah aurat, ilmu, ihsan, aklaq, syura/musyawarah,
dll, sedangkan dalam pandangan hidup Barat ada istilah seperti demokrasi, efisiensi, sains, etika
sekularisme, dan pragmatisme. Dengan demikian, padangan hidup juga berkaitan erat dengan
bahasa. Bahasa mencerminkan pandangan hidup (Humbolt, 1988).

5
Di samping itu, ada beberapa istilah yang secara bahasa kelihatan sama, tetapi bila
ditinjau dari pandangan hidup yang mendasari mempunyai makna yang berbeda, misalnya
keberhasilan, kesuksesan, kebahagiaan, kemajuan, keadilan, kebenaran, kemuliaan, tanggung
jawab, rasional, cerdas, dll. Dengan demikian, makna kesuksesan, keadilan, kebenaran,
kesejahteraan, kebebasan, kemajuan, tanggung jawab, dan rasional menurut pandangan hidup
Islam berbeda dengan menurut pandangan hidup Barat. Hal ini disebabkan adanya
ketidaksepadanan epistemologis (epistemological incommensurability). Dengan kata lain, makna
dari suatu istilah atau suatu konsep tergantung pada pandangan hidup yang mendasarinya.
Bahkan definisi suatu konsep atau istilah juga dilandasi oleh pandangan hidup dan kepentingan
yang dianut oleh pemberi definisi (Mas’ud, 2017). Misalnya, definisi al-quran, apakah al-Quran
itu? Maka definisi al-quran yang diberikan juga akan berbeda antara orang muslim dan orang
kafir. Namun sayang sekali masalah definisi ini tidak pernah diperhatikan oleh para akademisi di
berbagai kampus.

Hegemoni Sains Sosial Barat di Pendidikan Tinggi

Sains produk Barat dikembangkan berdasarkan pada pandangan tentang hakekat manusia
(human nature) dan metode saintifik (Scientific method): Methodological naturalism, dan
Methodological individualism. Namun sayangnya, para akademisi, para dosen tidak pernah
mengungkap dan mempermasalahkan hakekat manusia (human nature) dan metodologi sains
Barat, sebaliknya sains Barat diangggap obyektif, netral, dan universal. Salah satu doktrin
fundamental dalam sains Barat adalah netralitas nilai (value neutrality). Doktrin ini bisa dilacak
dari gagasan David Hume (1711-1776) yang memisahkan antara fakta dan nilai. Doktrin ini,
terutama di dalam sains sosial sudah banyak digugat oleh para pakar sains sosial dari Barat.
Namun demikian, doktrin ini masih menjadi fondasi penting dalam sains sosial Barat. Para
dosen, akademisi disibukkan dengan penelitian-penelitian empiris dengan menggunakan konsep
dan teori serta metodologi yang dihasilkan oleh para pakar dari Barat. Para dosen menjadi
konsumen berbagai konsep dan teori dari Barat. Para mahasiswa dididik dan dipersiapkan untuk
mengimplementasikan sains Barat dan melakukan riset empiris berdasarkan konsep dan teori
Barat sehingga setelah lulus dari perguruan tinggi mereka akan menjadikan konsep dan teori
Barat sebagai pegangan dan acuan dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, para lulusan
perguruan tinggi baik program Diploma, Sarjana, Magister dan Doktor hanya akan menjadi
komponen penguat pada sistem sosial yang telah ada (Jamil, 2015).
Para lulusan program Magister dan Doktor juga tidak mampu melakukan kritik, apalagi
melawan teori-teori yang telah mereka pelajari karena selama kuliah para dosen mereka juga
tidak pernah mengkritisi konsep dan teori sains Barat. Meskipun ada sebagian kecil intelektual
yang melakukan kritik terhadap konsep dan teori dalam sains Barat, namun mereka pun
menggunakan kerangka berfikir (framework) dari Barat, misalnya mengkritik paham kapitalisme
dengan paham marxisme, dan mengkritik aliran modernisme dengan aliran postmodernisme,
sehingga mereka tidak dapat menemukan jalan keluar yang lebih baik. Bahkan ada juga
6
intelektual hasil didikan Barat yang mengaku muslim menggunakan kerangka berfikir Barat dan
paham-paham dari Barat untuk mengritik Tuhan, agama Islam atau al-Quran dan mengkritik
Nabi Muhammad SAW. Hal ini disebabkan model pendidikan Barat berlandaskan pada
keyakinan terhadap kehebatan kemampuan manusia, sehingga dalam sistem pendidikan model
Barat tidak memasukkan unsur agama dalam konsep dan teori sains. Di Barat, istilah religion
(agama) mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Di Barat religion (agama)
dikontruksikan sebagai tidak rasional, dan tidak saintifik. Agama (religion) adalah produk
manusia, dan agama adalah produk kebudayaan yang selalu berkembang dan berubah. Religion
(agama) dianggap merupakan urusan pribadi yang tidak perlu dikaitkan dengan urusan sains,
pendidikan, bisnis, hukum, politik, dan sebagainya (Asad, 1993, Dubuisson, 2003).
Upaya mengurangi ketergantungan dan dominasi dari konsep dan istilah (terminology)
dari Barat sangat perlu dilakukan, agar pikiran tidak terbelenggu sehingga dapat
mengembangankan konsep dan istilah yang sesuai dengan pandangan hidup Islam (Alatas,
2006). Oleh karena sangat penting untuk meninjau kembali definisi-definisi, konsep-konsep
yang sudah dianggap baku, karena suatu definisi dalam sains sosial selalu dilandasi oleh
pandangan hidup, lalu bila mungkin mendefinisikan ulang konsep-konsep tersebut berdasarkan
pandangan hidup Islam. Namun dalam sains sosial banyak sekali didapati konsep yang tidak
sesuai dengan Islam, maka wajib membuat konsep-konsep yang dilandasi pandangan hidup
Islam sehingga dapat sesuai dengan kondisi masyarakat muslim. Sains sosial dari Barat, lebih
tepat disebut dengan sains sosial kolonial (Colonial social sciences) harus dikaji secara kritis,
karena sains sosial Barat merupakan salah satu instrumen untuk menjajah masyarakat selain
Barat. Misalnya, definisi bisnis. Dalam banyak buku diajarkan bahwa bisnis adalah usaha untuk
memperoleh keuntungan melalui pembuatan barang dan atau jasa. Jadi tujuan bisnis adalah
memperoleh keuntungan, dan bila mungkin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Namun definisi bisnis tersebut sebenarnya dilandasi oleh pandangan hidup berdasarkan
materialisme dan sekulerisme. Oleh karena itu, definisi bisnis harus diganti. Konsep bisnis harus
diganti menjadi bisnis Islam. Bisnis Islam didefinisikan sebagai kegiatan melayani orang lain
dengan melalui pembuatan dan atau penyediaan produk (barang dan jasa) untuk memperoleh
keuntungan yang halal dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT (Mas’ud, 2017, p. 82).

Tabel 2.
Perbandingan Definisi Bisnis

Definisi Bisnis Sekuler Definisi Bisnis Islam


Bisnis adalah usaha untuk Bisnis Islam didefinisikan sebagai
memperoleh keuntungan melalui kegiatan melayani orang lain dengan
pembuatan barang dan atau jasa. melalui pembuatan dan atau
penyediaan produk (batang dan jasa)
untuk memperoleh keuntungan yang
halal dalam rangka mengabdi kepada
Allah SWT.
7
Berdasarkan Tabel 2, yang dimaksud dengan keuntungan yang halal mencakup tiga
dimensi sebagai berikut: 1. Dimensi jenis keuntungan (profit). Keuntungan yang diperoleh harus
sesuai dengan syariah Islam, yakni berasal dari pembuatan atau penyediaan produk atau jasa
yang tidak haram. 2. Dimensi cara memperoleh keuntungan. Keuntungan harus diperoleh dengan
cara-cara yang sesuai dengan syariah Islam. 3. Dimensi pemanfaatan keuntungan. Pemanfaatan
keuntungan sangat penting untuk diperhatikan karena berdasarkan pandangan hidup Islam, setiap
muslim yakin bahwa apapun hasil usaha yang diperoleh termasuk keuntungan dari bisnis
merupakan anugerah dari Allah SWT. Oleh karena itu, keuntungan yang didapatkan dari bisnis
harus digunakan untuk beramal sholeh seperti memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga,
membantu fakir miskin, zakat, infaq, shadaqah jariyah, membantu orang untuk belajar ilmu
agama, membantu orang yang sedang kesusahan, dan sebagainya (Mas’ud, 2017, p. 187).
Demikian juga dengan definisi manajemen. Dalam buku-teks yang diajarkan di berbagai
perguruan tinggi, manajemen didefinisikan sebagai proses yang terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian, dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya. Ada pula definisi yang
lain, misalnya: Manajemen adalah usaha merencanakan, mengorganisasikan mengarahkan serta
mengendalikan kegiatan dalam suatu organisasi agar dapat mencapai tujuan organisasi secara
efektif dan efisien (Sukanto Reksohadiprodjo, 1998, p.12). Definisi manajemen tersebut
sepertinya tidak ada masalah. Konsep bisnis dan konsep manajemen dianggap netral nilai
sehingga definisi konsep bisnis dan manajemen diterima begitu saja tanpa pernah diungkap
pandangan hidup yang menjadi landasannya. Namun berdasarkan pandangan hidup Islam,
manajemen dapat didefinisikan ulang. Manajemen Islam didefinisikan sebagai studi dan praktik
muslim dalam merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, dan mengendalikan sumber
daya yang diamanahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara hikmah dan
ihsan dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT sehingga dapat memperoleh kebahagiaan
dunia akhirat (Mas’ud, 2017, p. 186).
Tabel 3.
Perbandingan Definisi Manajemen

Definisi Manajemen Sekuler Definisi Manajemen Islam


Mananjemen adalah proses Bisnis Islam didefinisikan sebagai
perancanakan, pengorganisasikan, studi dan praktik muslim dalam
penggerakan dan pengendalikan merencanakan, mengorganisasikan,
untuk mencapai tujuan organisasi menggerakkan, dan mengendalikan
dengan menggunakan sumberdaya sumber daya yang diamanahkan
organisasi secara efektif dan efisien untuk menjacapitujuan yang telah
ditetapkan dengan cara hikmah dan
ihsan dalam rangka mengabdi
kepada Allah SWT sehingga dapat
memperoleh kebagiaan dunia
akhirat.

8
Salah satu konsep penting dalam sains sosial adalah motivasi manusia. Sebagai contoh
dalam buku teks yang digunakan dalam beberapa mata kuliah seperti pengantar ekonomi,
manajemen, akuntansi, organisasi, psikologi organisasi, dan manajemen tentu membahas tentang
motivasi manusia. Namun, dalam buku-buku teks yang digunakan dalam mata kuliah-mata
kuliah tersebut tidak pernah menjelaskan tentang konsep manusia. Padahal pembahasan tentang
konsep manusia pasti berkaitan erat dengan pandangan hidup. Misalnya, konsep manusia
menurut Islam, tentu berbeda dari konsep manusia menurut pandangan hidup kapitalisme,
sehingga motivasi manusia menurut pandangan hidup Islam pasti berbeda dari motivasi manusia
menurut pandangan hidup kapitalisme. Konsep manusia berdasarkan pandangan hidup Islam
dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT. 2. Manusia
adalah makhluk jasmaniyah, 3. Manusia adalah makhluk rohaniyah. 4. Manusia adalah makhluk
sosial. 5. Manusia adalah makhluk yang berakal (Mas’ud, 2017). Namun tanpa menguraikan dan
menjelaskan tentang konsep manusia, tujuan penciptaan manusia, dan tujuan hidup manusia,
dalam banyak buku kuliah di perguruan tinggi diuraikan teori-teori motivasi manusia. Motivasi
manusia berasal dari kebutuhan-kebutuhan manusia.

Teori motivasi manusia yang terkenal antara lain teori hirarkhi kebutuhan Abraham
Maslow. Menurut Maslow (1954), manusia memiliki kebutuhan yang bersifat hirrakhis yakni
dari kebutuhan yang paling rendah sampai kebutuhan yang paling tinggi. Pertama, kebutuhan
fisiologis (seperti makan, minum, pakaian). Kedua, kebutuhan keamanan, Ketiga,
kebutuhansosial. Kempat, kebutuhan penghargaan diri (self-esteem), dan Kelima, kebutuhan
aktualisasi diri. Sedangkan menurut David McClelland (1961), manusia memiliki tiga macam
kebutuhan yaitu: Pertama, kebuthan prestasi (need of achievement). Kedua, kebutuhan
kekekuasaan (need of power). Ketiga, kebutuhan afiliasi (need of affiliation). Adapun menurut,
Reiss (2000), terdapat 16 macam hasrat (desire) yang memotivasi manusia untuk bertindak yang
mencakup: kekuasaan (power), kemandirian (independence), keingintahuan (curiosity),
penerimaan (acceptance), order (keteraturan), menabung (saving), kehormatan (honor), idealisme
(idealism), kontak sosial (social contact), keluarga (family), status (status), balas dendam
(vengeance), percintaan (romance), makan (eating), latihan fisik (physical exercise), ketenangan
(tranquility).

Apabila tidak pemperhatikan secara mendalam maka teori-teori tersebut kelihatannya


tidak ada masalah, dan dianggap universal serta benar. Namun bila ditinjau dari pandangan hidup
yang menjadi dasar teori-teori tersebut maka dapat dipahami bahwa teori-teori tersebut dilandasi
oleh pandangan hidup Barat yang bertumpu pada materiaslisme, humanisme dan sekulerisme,
sehingga bila diajarkan kepada para mahasiswa dapat menyesatkan. Teori-teori dari Barat juga
tidak dapat menjelaskan tujuan penciptaan manusia dan tujuan hidup manusia muslim. Tujuan
penciptaan manusia menurut Islam adalah untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, ibadah merupakan salah satu kebutuhan terpenting dalam hidup muslim. Maka
dalam masyarakat yang mayoritas muslim seperti di Indonesia, di mana-mana ada mushola,
9
misalnya di stasiun, di terminal, di mal, di sekolah, di universitas, di bandara, di pasar, di tempat
istirahat (rest area), dan lain-lain. Hal ini berbeda sekali jika dibandingkan dengan masyarakat
Barat tempat asal teori-teori motivasi dikembangkan. Di Amerika Serikat, misalnya, tidak ada
gereja di mal, di stasiun, di terminal, di pasar, di tempat istirahat (rest area), dan lain-lain. Namun
karena teori-teori dari Barat tersebut telah sebarluaskan dan diajarkan di Indonesia berpuluh-
puluh tahun, maka kebanyakan pelajar dan mahasiswa ketika ditanya apa saja yang termasuk
kebutuhan primer (pokok) dalam hidup manusia? Mereka biasanya menjawab: sandang,
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan tidak memasukkan ibadah sebagai kebutuhan pokok.
Mengapa bisa demikian, karena para guru dan para dosen menggunakan buku teks yang berasal
dari Barat, terutama Amerika Serikat untuk mengajar para murid dan para mahasiswa.
Berdasarkan konsep manusia dalam Islam, bahwa manusia adalah ciptaan Allah SWT,
manusia adalah makhluk sosial, manusia adalah makhluk jasmaniyah dan ruhaniyah, dan
manusia makhluk yang berakal, maka kebutuhan-kebutuhan manusia menurut Islam mencakup:
1. Kebutuhan ibadah, 2. Kebutuhan hidayah, 3. Kebutuhan jasmani, 4. Kebutuhan ruhani, 5.
Kebutuhan keselamatan, 6. Kebutuhan sosial, 7. Kebutuhan aktualisasi diri yakni kebutuhan
untuk mengembangkan semua potensi positif yang dimiliki untuk tunduk dan patuh kepada Allah
SWT. Kebetuhan-kebutuhan ini bukan merupakan hirarkhi dan bisa diilustrasikan dalam gambar
berikut (Mas’ud, 2017):

Gambar 1. Tujuh macam kebutuhan manusia muslim

Berdasarkan Gambar 1. dapat disimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia


ditentukan oleh pandangan hidup (worldview) yang dianutnya. Oleh karena itu, kebutuhan-
10
kebutuhanm muslim secara lahiriyah mungkin saja sama dengan kebutuhan non muslim,
misalnya, kebutuhan akan sandang, makanan, minuman, dan lain-lain. Namun secara batiniyah
(ruhaniyah) tidak sama.
Dengan demikian menggunakan buku-buku teks yang ditulis oleh para pakar non mulism
bisa menyesatkan para anak didik. Selain itu, dunia pendidikan menjadi tergantung pada
berbagai konsep dan teori yang dikembangkan berdasarkan pandangan hidup yang tidak sesuai
dengan masyarakat muslim.

Berbagai macam istilah atau konsep dari Barat masuk ke dalam masyarakat melalui
pendidikan tinggi, misalnya konsep cost-benefit analysis (CBA) dan konsep efisien (efisiensi).
Dewasa ini konsep efisien (efisiensi) digunakan untuk berbagai macam kegiatan baik ekonomi
maupun non ekonomi (pendidikan, sosial, politik, militer, kesehatan, dsb). Sains ekonomi bisnis
dari Barat telah mendominasi pikiran para dosen dan mahasiswa di Indonesia sejak tahun
1960an. Di fakultas ekonomi, kepada para mahasiswa diajarkan beberapa konsep dan teori
pokok dalam sains ekonomi bisnis dari Barat antara lain: konsep kelangkaan (scarcity),
pembangunan (development), kepentingan diri sendiri (self-interest), RCT (Rational Choice
Theory), teori keagenan (agency theory), transaction cost theory, human capital theory,
efficiency, profit, human resource, invisible hand, rationality, GDP, GNP, CSR (corporate social
responsibility), pragmatism, utilitarianism, dan lain-lain sehingga menyebabkan penjajahan
epistemologis (epistemilogical colonialism). Secara tidak sadar pikiran para dosen dan
mahasiswa terbelenggu (capitive mind) dengan pandangan pandangan hidup Barat karena para
dosen dan mahasiswa muslim terperangkap dengan propaganda Barat melalui pendidikan timggi
(Cameron, 2003). Sebagimana dinyatakan oleh Klimoski (2005), teori yang buruk sangat
berbahaya, there is nothing as dangerous as a bad theory (Mas’ud, 2015,p. 239). Hal ini karena
para mahasiswa yang telah belajar berbagai teori dari pendidikan tinggi ketika sudah lulus
mereka menggunakan teori-teori tersebut sebagai pedoman dalam memahami realitas dan
membentuk realitas dalam kehidupan mereka. Bila mereka menjadi direktur sebuah perusahaan,
mereka akan memahami duania bisnis dan mengelola serta memimpin perusahaan berdasarkan
teori-teori yang telah mereka terima selama mereka belajar di perguruan tinggi. Padahal suatu
teori tentu dilandasi oleh pandangan hidup tertentu. Teori merupakan representasi yang
disederhanakan tentang sebagian realitas berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai (pandangan
hidup) dengn tujuan menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan suatu peristiwa/kejadian (a
theory is a simplified representation of a part of reality based on beliefs and values (worldview)
for the purpose of explaining, predicting and controlling an event/s). Para intelektual dari Barat
sendiri telah mengkritik teori-teori dalam sains sosial seperti di bidang ekonomi manajemen
bisnis (Walker, 1992, Mintzberg, Simons & Basu, 2002, Ghoshal, 2005, Giacalone & Wargo,
2009) namun sampai sekarang belum ada perubahan yang berarti. Meskipun berbagai konsep
dan teori dari Barat tersebut tidak sesuai dengan kondisi masyaratkat Indonesia, namun karena
disebarluaskan dan diajarkan terus menerus dan didukung oleh institusi yang dominan maka
teori-teori dari Barat tersebut akhirnya menjadi harapan yang memenuhi diri sendiri (self-
11
fulfilling prophecy). Dengan kata lain, keyakinan, imaginasi serta asumsi yang terdapat dalam
buku-buku teks (text-books) sains sosial Barat seperti ekonomi, manajemen bisnis, organisasi,
psikologi, politik, dll akhirnya menjadi kenyataan (realitas) dalam masyarakat Indonesia
(Mas’ud, 2017).

Dengan penyebaran ideologi globalisasi dan neoliberalisme melalui buku-buku teks dan
berbagai jurnal akademik di perguruan tinggi maka paham-paham seperti individualisme,
konsumerisme, hedonisme, narsisme, sistem pasar bebas, persaingan, dsb juga semakin
berkembang di masyarakat Indonesia. Paham-paham tersebut mendorong tumbuhnya tindak
kriminal baik dilakukan oleh pegawai kerah biru (blue collar crime), pegawai kerah putih (white
collar crime) seperti korupsi dan manipulasi, kejahatan jalanan (street crime), dan semakin
meluasnya kerusakan lingkungan hidup. Dengan kata lain, sebenarnya masalah tindakan kriminal
seperti korupsi dan kerusakan lingkungan hidup merupakan masalah epistemologis. Maksudnya,
semakin banyak orang mempelajari sains ekonomi sekuler (konvensional), maka akan semakin
banyak masalah yang muncul seperti tindakan korupsi, ketidak-adilan sosial ekonomi dalam
masyarakat, dan juga kerusakan lingkungan hidup karena sains ekonomi sekuler (konvensional)
berdasar anggapan (asumsi) bahwa manusia adalah manusia ekonomi (economic man) yang
perilakunya didorong oleh kepentingan diri (self-interest), dan keinginan mendapatkan
keuntungan yang maksimal (maximizing profit-utility) dengan penuh perhitungan rasional.

Kesimpulan

Sains sosial Barat (Colonial social sciences) dilandasi oleh pandangan hidup materialisme dan
sekulerisme sehingga tidak sesuai dengan masyarakat Islam, bahkan sains sosial Barat bersifat
merusak (destruktif) baik terhadap manusia, masyarakat maupun terhadap lingkungan hidup.
Meskipun sains alam (natural sciences) dan sains sosial Barat yang berdasarkan pandangan hidup
materialisme, humanisme dan sekulerisme bisa memberikan manfaat bagi masyarakat, namun
sains-sains tersebut juga menimbulkan bahaya dan berbagai masalah yang jauh lebih besar bagi
umat manusia. Tidak mungkin menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat
dewasa ini dengan menggunakan metode-metode yang dilandasi pandangan hidup yang
menyebabkan timbulnya masalah-masalah tersebut. Tidak mungkin melawan dominasi sains
sekuler Barat dengan menggunakan metode dan cara berfikir berdasarkan pandangan hidup Barat
yang menjadi fondasi hegemoni sains sekuler Barat. Tidak mungkin membebaskan masyarakat
dari cengkeraman sistem ekonomi sekuler dengan menggunakan metode yang berasal dari sains
ekonomi sekuler.

Sejak tahun 2000 an, di Indonesia telah banyak diterbitkan buku dengan judul: Psikologi
Islam, Ekonomi Islam, Bisnis Islam, Manajemen Islam (Syariah), dsb, namun ternyata buku-
buku tersebut masih mencampuradukkan konsep-konsep dari Barat dengan konsep-konsep
berbasis Islam (Mas’ud, 2017). Akibatnya, buku-buku tersebut tidak memberikan pencerahan

12
tetapi justru membingungkan para pembacanya. Namun, yang lebih memprihatinkan lagi, oleh
beberapa penulis buku muslim, berbagai konsep dari Barat misalnya, sistem pasar bebas,
efisiensi, pragmatisme, spiritualisme, utilitarianisme, modernisme, pembangunan (development),
dsb. dicarikan dukungan pembenaran (jastifikasi) dari ayat-ayat al-Quran atau Hadist. Bahkan
beberapa perguruan tinggi negeri seperti Unair, Unibraw, UI, Undip, telah membuka prosi
ekonomi Islam, demikian juga peguruan tinggi negeri berbasis Islam seperti UIN, IAIN, STAIN
dan lain-lain. Akan tetapi sampe kini prodi ekonomi Islam belum bisa memberikan jalan keluar
untuk membebaskan masyarakat muslim Indonesia dari hegemoni sistem ekonomi sekuler.

Usaha-usaha untuk membangun sains sosial seperti ekonomi bisnis berbasis pandangan hidup
telah dimulai sejak tahun 1980an yang dipelopori oleh Muhammad Naquib al-Attas, Ismail al-
Faruqi, Ziauddin Sardar, Akbar Ahmad, dan lain-lain wajib diteruskan. Dewasa ini telah
berkembang bidang studi seperti ekonomi Islam, manajemen Islam, akuntansi Islam, psikologi
Islam, antropologi Islam, dan lain-lain. Namun demikian masih ada banyak hal yang harus terus
disempurnakan sehingga bidang-bidang studi tersebut benar-benar dapat sesuai dengan
pandangan hidup Islam.

Daftar Referensi

Asad, Talal. 1993. Genealogies of Religion. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.
Al-Attas, M. Naquib. 2001. Risalah untuk Kaum Muslim. Kuala Lumpur: ISTAC.
Alatas, Farid Syed. 2006. Alternative Discourse in Asian Social Sciences, New Delhi: Sage
Publication
Cameron, Kim et al. 2003. Management Textbook as Propaganda. Journal of Management
Education,Vol. 27. No. 6, December.
Dubuisson, Daniel. 2003. The Western Construction of Religion: Myths, Knowledge, and
Ideology. Tr. by William Sayers. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press.

Foley, Duncan K. 2004. Rationality and Ideology in Economics, Social Research 71 (2): 329 –
338.
Force, Pierre. 2003. Self-Interest before Adam Smith: A Genealogy of Economic Science.
Cambridge: Cambridge University Press.
Ghoshal, Sumantra, 2005. Bad management theories are destroying good management practices.
Academy of Management Learning & Education, 2005, Vol. 4, No. 1, 75–91

Giacalone, Robert A. & Donald T. Wargo, 2009, The Roots of the Global Financial Crisis Are in Our
Business Schools, Journal of Business Ethics Education, 6.

Humbolt, Wilhelm von, 1988. On Language. New York: Cambrige University Press.
13
Izetgovic, Alija Ali. 1993. Islam: Between East and West. New York: American Trust
Publication.
Jamil, Rossilah, 2015. Agents of American hegemony in management education: Evidence from
Malaysia. The International Journal of Management Education. Vol. 13. No. 3. November, 303-
315.

Maslow, Abraham, 1954, Motivation and Personality. New York: Harper & Row, Inc.

Mas’ud, Fuad. 2008. Menggugat Manajemen Barat. Semarang: Undip Press.


Mas’ud, Fuad. 2017. Manajemen Bisnis Berbasis Pandangan Hidup Islam. Semarang: Undip
Press.
McClelland, David. 1961.The Achieving Society. New York: John Wiley & Sons.

Mintzberg, Henry, Robert Simons and Kunal Basu, 2002. Beyond Selfishness. Sloan
Management Review. Fall.

Murphy, J & Zhu, J. 2012. Neo-Colonialism in the Academy? Anglo-American Domination in


Management Journal. Organization 19(6), 915-927.
Reiss, Steven, 2000. Who Am I? The 16 Desires that Motivates Our Action and Define Our
Personalities. New York: Penguin Putnam, Inc.
Reksohadiprodjo, Sukanto. 1988. Dasar-dasar Manajemen, Yogyakarta: BPFE
Sire, James W. 2010. The Universe Next Door: A Basic Worldview Catalog, 5th Edition. New
York: Academic.
Tarnas, Richard. 1993. The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have
Shaped Our Worldview. New York: Ballatine Book.
Walker, Janet S. 1992. Greed Is Good'. . .Or Is It? Economic Ideology and Moral Tension in a Graduate
Business School. Journal of Busienss Ethics, 11 (4). April.

14

Anda mungkin juga menyukai