Anda di halaman 1dari 19

INTEGRASI ILMU AGAMA DAN SAIN

DALAM PRAKSIS PENDIDIKAN

Oleh:
M. Nafiur Rofiq
Dosen Tetap Yayasan STAIFAS Kencong Jember

Abstract
Until now still strong assumption in the wider community that says that "religion"
and "science" are two entities that can not be reconciled. Both have their own
territory, separated from one another, both in terms of material-formal objects,
research methods, truth criteria, roles played by scientists as well as their
theoretical status even to the institution of the organizers. That is a picture of
education praxis and scientific activities and learning in the homeland so far with
a variety of negative impacts caused by the wider community. To end the praxis of
scientific dichotomy in the world of education, it is necessary to develop patterns
or learning tips that are integrated in each type and level of educational
institutions in Indonesia both formal and nonformal. The main key in
implementing the development of scientific integration in this educational process
lies in the competence of educators and curriculum, adequate facilities and
infrastructure and management of educational institutions themselves.
Key Word: Integrasi, Ilmu Agama dan Sain, Praksis Pendidikan.

PENDAHULUAN
Dalam proyek integrasi keilmuan, science and religion dan al-turats wa al-
tajdid merupakan term yang selalu menarik perhatian di kalangan intelektual
pegiat integrasi tersebut. Memasuki millennium ke-3 dan era globalisasi, kata-kata
tersebut semakin mengemuka dan mendapat sorotan serta dikaji secara mendalam
di berbagai seminar dan forum-forum akademis. Wacana tentang persoalan
epistemologi “ilmu agama” dan “ilmu umum”, semakin meluasnya pemikiran
tentang perlunya transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN/STAIN)
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) atau dengan widermandate, dan perlunya
mengkaji ulang bidang ilmu-ilmu keislaman, hanyalah tiga contoh dari sekian
banyak persoalan terkait dengan interplay antara science dan religion dan
dialektika antara intellectual authority (al-quwwah al-ma‟rifiyyah), continuity (al-
turats wa al-tajdid) dan change (al-tajdid wa al-islah).1
Hingga kini masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan
bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan.2

1
Ach. Minhaji dalam pengantar buku M. Amin Abdullah, dkk, Menyatukan kembali ilmu-ilmu
agama dan umum: upaya mempertemukan epistemologi Islam dan umum. (Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2003), hlm vii.
2
Konotasi penyebutan “agama” dapat berarti macam-macam. Bisa berupa kelembagaan agama,
ritus-ritus agama, dogma agama, tradisi agama dan begitu seterusnya. Namun yang dimaksud

1
Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya,
baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran
yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai
ke institusi penyelenggaranya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak mempedulikan
agama dan agama tidak mempedulikan ilmu. Begitulah sebuah gambaran praktek
kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air selama ini dengan berbagai
dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh
karenanya, anggapan yang tidak tepat tersebut perlu dikoreksi dan diluruskan.3
Sejarah hubungan ilmu dan agama di Barat mencatat bahwa pemimpin
gereja menolak Teori Heliosentris Galileo atau Teori Evolusi Darwin. Pemimpin
gereja membuat pernyataan yang berada diluar kompetensinya. Sebaliknya Isaac
Newton dan tokoh ilmu-ilmu sekular menempatkan Tuhan hanya sebagai penutup
sementara lobang kesulitan (to fill gaps) yang tidak terpecahkan dan terjawab
oleh teori keilmuan mereka, sampai tiba waktunya diperoleh data yang lebih
lengkap atau teori baru yang dapat menjawab kesulitan tersebut. Begitu kesulitan
itu terjawab, maka secara otomatis intervensi Tuhan atau agama tidak lagi
diperlukan. Akhirnya Tuhan dalam benak para ilmuwan “sekular” hanya ibarat
pembuat jam (clock maker). Begitu alam semesta ini selesai diciptakan, Ia tidak
peduli lagi dengan alam raya ciptaan-Nya dan alam semesta pun berjalan sendiri
secara mekanis tanpa campur tangan tujuan agung ketuhanan.4
Sementara dalam dunia Timur, dalam hal ini dunia Islam, pengajaran ilmu-
ilmu agama Islam yang normatif-tekstual terlepas dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum dan humaniora
pada umumnya. Perbedaan ini semakin hari semakin jauh ibarat deret ukur
terbalik dan membawa akibat yang tidak nyaman bagi kehidupan dan
kesejahteraan umat manusia. Pola pikir yang serba bipolar-dikotomis ini
menjadikan manusia terasing dari nilai-nilai spiritualitas-moralitas, terasing dari
dirinya sendiri, terasing dari keluarga dan masyarakat sekelilingnya, terasing dari
lingkungan alam dan ragam hayati yang menopang kehidupannya serta terasing
dari denyut nadi lingkungan sosial-budaya sekitarnya. Singkatnya, terjadi proses
dehumanisasi secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan maupun
keagamaan.5

dalam tulisan ini adalah nilai-nilai spiritualitas, intelektualitas, moralitas, dan etika yang
dibangun oleh agama-agama dunia, khususnya Islam.
3
Ian G. Barbour. Issues in Science and Religion (New York: Harper Tourchbooks, 1996), 1-2;
juga John Polkinghorne, Belief in God in a age of Science (London: Yale University Press,
1988), khususnya bab IV, 76-100; M. Kamal Hasan, “The Expanding Spiritual-Moral Role of
World Religions in the New Millennium,” dalam American Journal of Islamic School Science,
Volume 18, Winter 2001. Number 1, 43-58.
4
M. Amin Abdullah, dkk, Menyatukan kembali ilmu-ilmu agama dan umum: upaya
mempertemukan epistemologi Islam dan umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm 3
5
M. Amin Abdullah, dkk. Menyatukan kembali …, hlm. 4.

2
Aktivitas pendidikan dan keilmuan di Perguruan Tinggi Umum dan
Perguruan Tinggi Agama di tanah air mirip-mirip seperti pola kerja keilmuan
awal abad renaissance hingga era revolusi informasi, yang sekarang ini mulai
diratapi oleh banyak kalangan.6 Hati nurani terlepas dari akal sehat, nafsu serakah
menguasai perilaku cerdik pandai, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
merajalela. Lingkungan alam rusak berat. Tindakan kekerasan dan mutual distrust
mewabah di mana-mana. M. Kamal Hasan meringkas kegalauan jaman ini sebagai
berikut:
“The advent of the new millennium brings with new challenges of the
negative aspects of globalization and environmental crises which, if
unchecked, would put the whole planet earth in peril, in addition to the old
theath of nuclear war, unresolved international conflicts in the Middle East
and Eastern Europe, tribal wariare in Africa, the AIDS scourge, increasing
crime of all forms, breaking of the family institution, drug abuse, urban
decay, obscenity and a host of social ills. Religions which preach the goals of
peace, justice, holistic, wellbeing and righteous living have to address the
above is sues while they continue to appose social injustices, oppression,
corruption. Abuse of power, greed, materialism, racism, sexism, hedonism
and nihilism.7

(Terjemahan bebasnya sebagai berikut: “Millenium baru membawa


tantangan-tantangan yang negative arus globalisasi dan krisis lingkungan
hidup. Jika tidak diwaspadai, akan membuat seluruh planet bumi hancur.
Tambahan pula, ancaman lama perang nuklir, konflik-konflik internasional
yang belum terpecahkan di Timur Tengah dan Eropa Timur, perang antar
suku di Afrika, penderitaan AIDS, semakin bertambahnya kejahatan dalam
berbagai bentuknya, rusaknya kelembagaan keluarga, penyalahgunaan obat,
kerusakan kehidupan kota, dekadensi moral dan berbagai penyakit sosial
lainnya. Agama-agama yang mengajak ke arah perdamaian, keadilan,
kesejahteraan hidup secara utuh-menyeluruh dan kehidupan yang baik harus
menanggapi isu-isu tersebut di atas, sementara ia tetap harus menentang
ketidakadilan sosial, penindasan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan,
keserakahan, materialisme, rasisme, seks, hedonisme dan nihilisme.”)
Jauh sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah pula terpola
pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik di satu sisi,
yang dipelopori oleh para ilmuwan sekaligus ulama seperti Ibnu Sina, Ibnu
Rusyd, Ibnu Khaldun, berhadapan dengan pola pengembangan keilmuan agama
yang spesifik-parsialistik di sisi lain, yang dikembangkan oleh para ahli hadis dan
ahli fiqih. Keterpisahan secara diametral antara keduanya dan sebab-sebab lain

6
Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Secred (Lahore: Suhail Academy, 1988), hlm 6, 45-85
7
M. Kamal Hasan, “The Expanding Spiritual-Moral…, hlm. 51.

3
yang bersifat politis-ekonomis, berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan
kemunduran dunia Islam pada umumnya.8
Dalam ketiga revolusi peradaban manusia, yaitu revolusi hijau, revolusi
industri dan revolusi informasi, tidak satu pun ilmuwan Muslim tercatat namanya
dalam lembaran tinta emas pengembang ilmu pengetahuan.9 Perkembangan dan
pertumbuhan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi
Umum, Sekolah-Sekolah Umum dan Sekolah-Sekolah Kejuruan Umum yang
tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia di satu pihak,
sementara di lain pihak, perkembangan dan pertumbuhan Perguruan Tinggi
Agama, Madrasah-Madrasah, Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren (baca:
Islam) yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman
normatif era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja
terampil dalam dunia ketenagakerjaan, menjadikan kedua-duanya mengalami
proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-
politik dan sosial-keagamaan di tanah air.
Dari sini tergambar bahwa Ilmu-ilmu sekular yang dikembangkan di
Perguruan Tinggi Umum, Sekolah-Sekolah Umum dan ilmu-ilmu agama yang
dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama, Madrasah-Madrasah, Madrasah
Diniyah dan Pondok Pesantren secara terpisah satu sama lain, yang sekarang ini
berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak
persoalan) dan penuh bias-bias kepentingan (keagamaan, ras, etnis, filosofis,
ekonomis, politik, gender dan peradaban).
Dari latar belakang yang problematik itulah, gerakan rapprochment
(kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada)
antara dua kubu keilmuan merupakan suatu keniscayaan. Gerakan rapprochment,
dapat juga disebut sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi
keilmuan adalah suatu keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi
perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga pada
millenium ketiga serta tanggung jawab kemanusiaan bersama secara global dalam

8
Menurut laporan Pengembangan Manusia (Human Development Report 2014-UNDP), ranking
Human Development Index (HDI) 2014, Indonesia naik peringkat (19 poin) yaitu berada pada
urutan 108 dibandingkan tahun 2012 yang menduduki peringkat 127 dari 187 negara di dunia.
Laporan keluaran dari World Economic Forum melalui Global Competitive Index menempatkan
Indonesia peringkat 38 dari 148 negara yang disurvei. Sebuah peringkat yang masih jauh dari
harapan segenap warga bangsa Indonesia. Untuk diketahui, HDI adalah index campuran yang
merupakan ukuran rata-rata prestasi penting atas tiga dimensi dasar dalam pengembangan atau
pembangunan manusia: (a) long and healthy life; (b) pengetahuan (knowledge); (c) kelayakan
standar hidup (a decent standard of living). Baca: McKinsey Globale Institute, “The archipelago
economy: Unleashing Indonesia‟s potential, 2012”. Baca pula: “Indonesia 2014 and beyond, a
Selective Look. A report by World Bank, Desember 2009.
9
Mahathir Muhammad, Globalization and the New Realities (Selangor: Pelanduk Publication (M)
Sdn Bhd, 2001), 54, 61.

4
mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia
Indonesia yang berkualitas sebagai khalifah Allah fi al-Ardh.
Dari uraian di atas, maka tulisan ini diarahkan kepada upaya untuk
memikirkan tentang bagaimana mengintegrasikan antara Pendidikan Agama Islam
(PAI) dengan Sain atau Ilmu Pngetahuan.

SEJARAH DIKOTOMI KEILMUAN DI INDONESIA


Tidak ada yang menyangkal bahwa dalam praksis sistem pendidikan kita di
Indonesia selama ini telah terjadi dualisme maupun dikotomi antara pendidikan
“umum” di satu pihak dan pendidikan “agama” atau “keagamaan” di pihak yang
lain. Dualisme ini terjadi sebagai kelanjutan dari warisan zaman kolonial Belanda.
Seperti yang diungkap oleh Mochtar Naim, karena anak-anak yang bisa masuk ke
sekolah Belanda sebelum Kemerdekaan hanya 6% dan terbatas pada anak-anak
kaum bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih Madrasah
atau Pondok Pesantren dan Surau yang memang sudah ada sebelum muncul
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda.10
Sekolah-sekolah agama, dengan demikian boleh dikatakan merupakan satu-
satunya tempat pendidikan bagi anak-anak orang Islam, terutama di desa-desa.
Dalam perkembangannya, karena tekanan dari politik diskriminatif pemerintahan
kolonial, sekolah-sekolah agama Islam memisahkan diri dan terkotak dalam kubu
tersendiri. Karel A. Steenbrink, misalnya “ahli Islam” dari Belanda memberikan
gambaran yang jelas tentang sikap diskriminatif pemerintah kolonial Belanda
terhadap umat Islam.
Menurut Steenbrink, semenjak abad ke delapan belas sebetulnya pemerintah
kolonial Belanda telah menyadari akan pentingnya peranan dan keberadaan
sekolah-sekolah agama sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak pribumi. Hal
itu dibuktikan bahwa pada tahun 1819 Gubernur Jenderal Van der Capellen telah
memerintahkan aparatnya untuk mengadakan penelitian terhadap pendidikan
masyarakat jawa, dengan tujuan meningkatkan kemampuan membaca dan
menulis. Dari penelitian ini dilaporkan adanya pendidikan agama Islam
(Perguruan Agama Islam) dengan memakai bahasa Arab, yang merupakan
lembaga pendidikan paling penting di kalangan orang Jawa (beragama Islam).11
Pada akhir abad ke delapan belas, menurut Karel Steenbrink beberapa kali
diusulkan agar lembaga pendidikan Islam yang ada dimanfaatkan pada
kebijaksanaan untuk mengembangkan sistem pendidikan “umum”. Akan tetapi
pada reorganisasi dan pengembangan sistem pendidikan kolonial dalam
kenyataannya pemerintah kolonial Belanda selalu memilih jalan lain dari pada

10
Mochtar Naim, “Dualisme Pendidikan di Indonesia” dan “Konsep Pendidikan Terpadu”,
(Harian Pelita, 13 dan 14 Desember 1991).
11
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, Jakarta: LP3ES, 1994), Cetakan ke-2, hlm. 1-2.

5
menyesuaikan diri dengan pendidikan Islam. J.A. Van der Chijs, Inspektur
Pendidikan Kolonial yang pertama di Indonesia dan beberapa orang pembantunya
menilai tradisi didaktis pendidikan Islam terlalu jelek. 12 Sejalan dengan penilaian
Van der Chijs itu, Menteri Kolonial menolak memberikan subsidi kepada sekolah-
sekolah Islam dengan alasan Gubernur Jenderal tidak mau mengorbankan
keuangan negara untuk sekolah-sekolah tersebut yang pada akhirnya hanya
berhasil mengembangkan suatu sistem pendidikan yang sebenarnya tidak
menguntungkan pengaruh dan kewibawaan pemerintah kolonial.13
Berdasarkan pertimbangan tersebut didirikanlah apa yang disebut sekolah
desa, sebuah lembaga pendidikan sederhana yang memberikan jalan ke arah
terwujudnya pendidikan “umum”. Diantara sekolah desa itu ada yang berasal dari
sekolah zending, sementara usul untuk menggabungkan pendidikan Islam selalu
ditolak. Sikap seperti ini menurut Karel A. Steenbrink “merupakan usaha anti
Islam dari orang Belanda”. Karena itu sekolah Islam, lalu mengambil jalan
sendiri, lepas dari gubernemen.14
Jadi akar sejarah terjadinya dualisme di atas, murni alasan politik
diskriminatif oleh pemerintah kolonial Belanda, bukan kemauan umat Islam pada
masa itu, sehingga setelah kemerdekaan-pun dualisme yang diwariskan
pemerintah kolonial tetap mengakar dalam dunia pendidikan kita di Indonesia saat
ini. Pandangan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan yang kurang
menghargai sekokolah-sekolah Islam telah mendorong sebagian pimpinan dan
pengelola sekolah-sekolah tersebut berpegang pada sikap semula: Berdiri di kutub
yang berbeda dengan sekolah “umum”.15
PENGERTIAN INTEGRASI DAN INTERKONEKSI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “integrasi” diartikan sebagai
pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.16 Kata “kesatuan”
mengisyaratkan berbagai macam elemen yang berbeda satu sama lain mengalami
proses pembauran. Jika pembaruan telah mencapai suatu perhimpunan, maka
gejala perubahan ini dinamai integrasi. Dalam bahasa Inggris, integrasi
(integration) antara lain bermakna “keseluruhan” atau “kesempurnaan.”
Menurut Akh. Minhaji, integrasi berasal dari kata kerja to integrate, yang
berarti: “to join to something else so as to form a whole” atau “to join in society as
a whole, spend time with members of other groups and develop habits like theirs”.
Bisa juga berarti “to bring (parts) togehter into a whole” atau “to remove

12
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan…, hlm. 3.
13
Ibid, hlm. 6.
14
Ibid, hlm. 7.
15
Ibid.
16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pus-
taka, 1989),hlm. 335.

6
barriers imposing segregation upon (racial group)”. Dari kata to integrate inilah
lahir kata integration dan kata sifat integrative dan juga integrated. Sedangkan
kata interkoneksi bisa dilihat dari dua akar kata: inter dan connect. Inter
merupakan bentuk prefix yang berarti between atau among (a group), ___Minhaji
memaknai inter di sini lebih cenderung sebagai among (di antara banyak pihak:
triadik), bukan between (di antara dua pihak: diadik), sebab interkoneksi
menggunakan pilar tridik, yaitu triple-hadarah___. Sedangkan connect adalah: to
join, unite atau link, dan dari sini kemudian muncul pemahaman “to think of as
related”, “to associate in the mind”. Dari sini muncul kata benda berupa
connection, dan kata sifat connected (mungkin lebih tepat ketimbang connective,
karena connective pasti kata sifat, sedangkan connected bisa kata sifat dan bisa
juga kata kerja). Atas dasar ini semua maka kemudian dikenal istilah an
integrated dan interconnected approach (pendekatan integrasi-interkoneksi.17
Berdasarkan pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan integrasi
adalah “menghubungkan dan sekaligus menyatukan atara dua hal atau lebih
(materi, pemikiran, atau pendekatan),” sedangkan interkoneksi adalah
mempertemukan atau menghubungkan dua hal atau lebih (materi, pemikiran, atau
pendekatan) karena tidak mungkinnya untuk dilakukan penyatuan (integrasi). Jadi
setiap kajian harus menghubungkan, mengaitkan, bahkan jika mungkin
menyatukan antara apa yang selama ini dikenal dengan ilmu Islam dengan ilmu
umum, melalui trialektika: tradisi teks (hadarat an-nas), tradisi akademik
(hadarat al-„ilm), dan tradisi etik-kritis (hadarat al-falsafah).
FONDASI INTEGRASI ILMU AGAMA DAN SAIN
Untuk menepis keraguan umat Islam akan pentingnya pengembangan
keilmuan dan kelembagaan pendidikan dengan pola integralistik-ensiklopedik,
atau meminjam istilahnya M. Amin Abdullah “integrasi-interkoneksi” disingkat
“i-kon”, maka perlu dielaborasi kembali berbagai fondasi atau landasan
konsepsional sebagai rujukan dalam melaksanakan integrasi Pendidikan Agama
dan Sain di Indonesia. Di bawah ini diuraikan fondasi tersebut, sebagai berikut:
1. Fondasi Teologis (hadarat an-nas)
Fondasi teologis dalam pengembangan integrasi dalam ranah akademik
kurikulum dapat didasarkan pada ayat al-Qur‟an berikut ini:

             

             

    

17
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Suka Press, 2013), hlm. 85-
86

7
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majelis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.18

Berdasarkan ayat di atas, salah satu kata kunci yang dikembangkan


dalam pengembangan integrasi pendidikan adalah istilah majalis. Menurut
Amin terma majalis ini identik dengan zona “in between” atau zona inter-
subjektifitas. Kim Knott, misalnya, menyebutnya dengan zona “participant as
observer” dan “observer as a participant” atau zona “rapprochment” (to bring
together), atau zona inklusif. Jadi fondasi teologis dalam paradigma
pengembangan integrasi dengan triple hadarah-nya, diparalelisasikan dengan
prinsip iman untuk hadarat an-nas, ilmu untuk hadarat al-„ilm, dan amal
untuk hadarat al-falsafah. Ketiganya teranyam secara sirkularistik, bukan
strukturalistik.19 Lihat tabel berikut ini:

Insider MAJALIS Outsider


Participant as Observer as
Complete Participant Complete Observer
Observer Participant
“Rapproch ment”
Religion Philosophy Science
Hadarat an-nas Hadarat al-falsafah Hadarat al-„ilm
IMAN ‘AMAL ‘ILMU

Kata-kata kunci yang bisa ditarik dari ayat tersebut adalah: iman, „ilmu,
dan juga „amal. Ketiganya menjadi satu rangkaian sistematik-sirkularistik
dalam struktur kehidupan setiap muslim. Lebih mementingkan yang satu dari
yang lain, melahirkan kehidupan yang timpang (split personality). Karena itu
dalam konteks pengembangan integrasi pendidikan, iman, „ilmu, dan „amal
harus dijadikan domain pendidikan selain domain kognitif, afektif, normatif,
dan psikomotorik.20
Hubungan triadik antara iman, ilmu, dan amal diparalelisasikan dengan
hubungan triadik antara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiganya
bergerak secara sirkularistik, bukan strukturalistik. Dapat dikatakan bahwa

18
QS. Al-Mujadalah/58: 24.
19
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi Intelektual M. Amin
Abdullah (1953-...) Person, Knoeledge, and Institution, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2013), buku
kedua, hlm. 1282.
20
Tim Pokja Akademik, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (Yogyakarta: UIN-Press, 2006), hlm. 14; M.
Amin Abdullah, “Epistemologi Ilmu Pro(f)etik: Apa Yang Terlupakan dari Ilmu-Ilmu Sekular”,
disampaikan dalam Sarasehan Ilmu Profetik II di Ruang Sidang A. Lt. 5 Sekolah Pascasarjana
UGM tanggal 28 Juli 2011, hlm. 35-36.

8
Pendidikan Islam selama ini terseret dalam alam pikiran modern yang sekular,
sehingga secara tidak sadar memisah-misahkan antara pendidikan keimanan
(ilmu-ilmu agama) —hadarat an-nas— dengan pendidikan umum (ilmu
pengetahuan) —hadarat al-„ilm— dan akhlak (etika) —hadarat al-falsafah—.
Dampaknya adalah terjadi kemunduran umat Islam dalam bidang ilmu
pengetahuan di level apapun. Pendidikan (Post)modern memang
mengembangkan disiplin ilmu dengan spesialisasi secara ketat monodisipliner,
sehingga keterpaduan antar disiplin keilmuan menjadi hilang, dan melahirkan
dikhotomi kelompok ilmu-ilmu agama (religious community) di satu pihak dan
kelompok ilmu-ilmu umum (sekular) di pihak lain (scientists community).
Dikhotomi itu berimplikasi pada terbentuknya perbedaan sikap di
kalangan umat Islam secara tajam terhadap kedua kelompok ilmu tersebut.
Ilmu-ilmu agama disikapi dan diberlakukan sebagai ilmu Allah (wahyu) yang
bersifat sakral dan wajib untuk dipelajari. Sebaliknya, kelompok ilmu umum
(akal), baik ilmu kealaman (natural sciences) maupun ilmu sosial (social
sciences) dianggap ilmu manusia, bersifat profan yang tidak wajib untuk
dipelajari. Akibatnya, terjadi reduksi ilmu agama dan dalam waktu yang sama
juga terjadi pendangkalan ilmu-ilmu umum. Situasi seperti ini, membawa
akibat ilmu-ilmu agama menjadi tidak menarik karena terlepas dari kehidupan
nyata (deduktif) berkembang tanpa sentuhan etika dan spiritualitas agama,
sehingga disamping kehilangan makna juga bersifat destruktif. Implementasi
akademik-kurikulum dalam paradigma integrasi menawarkan model pemikiran
abduktif (deduktif+induktif) untuk mengembangkan pendidikan yang
berperspektif Qur‟ani, yakni pendidikan yang utuh (integrated Education),
yang menyentuh seluruh domain yang disebut Allah dalam dalam Kitab suci
(hadarat an-nas), juga mendalam dalam kajian-kajian keilmuannya (hadarat
al-„ilm), serta peduli dengan wilayah „amali, praksis nyata dalam realitas dan
etika (hadarat al-falsafah).
2. Fondasi Filosofis (hadarat al-falsafah)
Dalam kehidupan manusia, diakui atau tidak, bersifat kompleks dan
multi-dimensi, dalam berbagai aspek dan levelnya. Keberadaan beragam
disiplin ilmu, baik ilmu agama, ilmu-ilmu alam maupun humaniora, hakikatnya
adalah upaya manusia untuk memahami kompleksitas dimensi-dimensi hidup
manusia tersebut. Setiap disiplin ilmu mencoba menyelami dimensi tertentu
dari hidup manusia.21 Dengan melihat asumsi di atas, maka sikap
mencukupkan diri dengan hanya salah satu disiplin ilmu saja, disiplin apapun
itu, dapat dikatakan sikap yang tidak bijaksana. Merasa cukup dengan salah
satu disiplin ilmu saja merupakan sikap yang eksklusif-arogan, karena satu
disiplin ilmu itu hanyalah mewakili satu sisi saja dari kompleksitas kehidupan.

21
M. Amin Abdullah, “Epistemologi Ilmu Pro(f)etik..., hlm. 35-36.

9
Berdasarkan perpekstif inilah, maka perlu kiranya untuk mengkonstruk
satu paradigma keilmuan baru yang tidak merasa puas hanya dengan
mendalami salah satu disiplin keilmuan saja, namun juga mengkaji berbagai
disiplin keilmuan yang lain. Bahkan, lebih jauh paradigma integrasi ini
bermaksud merumuskan keterpaduan dan keterkaitan antar disiplin ilmu
sebagai jembatan untuk memahami kompleksitas hidup manusia, demi
meningkatkan kualitas hidup manusia, baik dalam aspek material, moral,
maupun spiritual. Berdasarkan penjelasan ini fondasi filosofis implementasi
integrasi adalah keterpaduan dan keterkaitan antar disiplin ilmu, yang dalam
bahasa filosofis “koin uang”, misalnya, dua permukaannya tidak bisa
dipisahkan (integrasi), disisi lain kedua permukaannya bisa dibedakan
(interkoneksi).22
3. Fondasi Saintifik (hadarat al-ilm)
Fondasi saintifik dalam pengembangan integrasi dapat dikluster-kan
menjadi empat sub-fondasi, yaitu fondasi yuridis, sosiologis (kultural), historis,
dan psikologis. Masing-masing dari sub-fondasi ini dapat diuraikan dan
dijelaskan di bawah ini:
a. Fondasi Yuridis
Fondasi yuridis dalam pengembangan integrasi adalah Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, serta kebijakan-kebijakan yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama pasal 3
tentang fungsi Pendidikan Nasional, pasal 36 ayat 3 tentang Kurikulum,
pasal 38 ayat 2 tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan ayat
3 tentang Kurikulum Pendidikan Tinggi, pasal 30 ayat 2 tentang fungsi
pendidikan keagamaan dan ayat 4 tentang bentuk-bentuk pendidikan
keagamaan.23
b. Fondasi Sosiologis (kultural)
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia terdiri dari beragam suku
bangsa, budaya dan agama. Keragaman ini seringkali melahirkan berbagai
konflik yang mengancam integrasi bangsa. Secara teologis-normatif tidak
ada agama maupun budaya manapun yang membenarkan perilaku agresif
terhadap orang lain, bahkan menekankan hidup rukun dan damai. Akan
tetapi kerukunan dan kedamaian yang didambakan terancam oleh
pandangan yang selalu merasa paling benar (truth claim) yang pada
gilirannya memunculkan prasangka-prasangka sosial terhadap kelompok
lain.24
22
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan..., hlm. 1285.
23
Sekretariat Negara RI, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. (Diundangkan di Jakarta Tanggal 8 Juli 2003).
24
Tim Pokja Akademik, Kerangka Dasar Keilmuan..., hlm. 17.

10
Lahirnya truth claim dan prasangka sosial yang mengganggu
hubungan antar pemeluk agama dan kelompok masyarakat seringkali
berawal dari penafsiran keagamaan yang skripturalistik, lepas dari konteks
kekinian. Penafsiran keagamaan yang skripturalistik tidak jarang melahirkan
lulusan lembaga pendidikan (Madrasah, Sekolah, PTU/PTAI dan
Pesantren/Ma‟had) yang oleh sebagian masyarakat dipandang tidak mampu
menyelesaikan konflik di masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena lembaga
pendidikan tersebut cenderung mengembangkan rumpun mata pelajaran
atau matakuliah keislaman yang tampaknya terpisah dari konteks
keragaman masyarakat Indonesia dan konteks global serta perkembangan
Ipteks.
Berdasarkan fondasi sosiologis ini, perlu kiranya untuk menata
kembali struktur keilmuan yang lebih integratif sesuai dengan tuntutan
keragaman dan dinamika masyarakat. Paradigma integrasi keilmuan ini
pada hakikatnya berusaha untuk melakukan penyadaran secara sosial bahwa
ranah agama, ranah ilmu-ilmu alam, ranah ilmu-ilmu sosial, maupun ranah
ilmu-ilmu humaniora, memiliki signifikansinya sendiri-sendiri, dan apabila
masing-masing horison tersebut dibaca secara padu dan saling terkait, maka
akan menghasilkan pembacaan holistik yang sangat berguna bagi peradaban.
Paradigma ini secara implisit berusaha menghindari kepicikan sosial yang
merasa benar sendiri, penting sendiri dan menyalahkan, merendahkan,
bahkan menafikan yang lain (eksklusif).25
c. Fondasi Historis
Dalam perpektif sejarah dunia, kita semua sudah mafhum, bahwa pada
awalnya yang menjadi penyebab dikhotomi keilmuan itu antara lain tidak
sejalan-nya pemikiran antar ilmuwan Muslim dengan mayoritas ilmuwan
Barat yang telah meragukan status ontologi objek-objek metafisik yang
“gaib”. Apapun dasar kepercayaan mereka, para ilmuwan Muslim
menganggap bahwa yang riil bukan hanya objek-objek fisik, tetapi juga
objek-objek metafisik. Objek-objek fisik itu mereka sebut sebagai mahsusat,
artinya objek-objek yang dapat ditangkap oleh indera, sedangkan objek-
objek metafisik mereka sebut ma‟qulat, artinya objek-objek yang tidak
dapat ditangkap oleh indera, namun dapat dipahami oleh akal manusia.26
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ilmuwan Muslim pada masa itu
sudah mengakui adanya entitas (kesatuan) antara ilmu-ilmu fisik (mahsusat)
dan ilmu-ilmu metafisik (ma‟qulat) yang secara epistemologi seharusnya
diintegrasikan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap
keragaman disiplin ilmu yang ada. Pembagian objek-objek ilmu ke dalam

25
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan..., hlm. 1288.
26
M. Amin Abdullah, dkk, Menyatukan kembali ilmu-ilmu..., hlm. 22-23.

11
yang material (fisik) dan yang immaterial (metafisik) ini dapat dilihat
misalnya dalam karya al-Kindi (w.866) yang berjudul Iqsam al-„Ulum atau
karya al-Farabi (w.950) yang berjudul Ihsa al-„Ulum dan karya Ibnu Sina
(w.1037) yang berjudul al-Syifa‟.27 Semua karya-karya tersebut di atas
menegaskan bahwa ilmu-ilmu Allah itu pada hakekatnya saling menyapa
dan melebur satu sama lain (integral).
Dalam konteks historis di Indonesia, dapat dicermati bahwa sejarah
pembentukan Kementerian Agama RI sebagai payung besar seluruh praksis
pendidikan Islam mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di
Indonesia adalah “interkoneksitas”, yang berdiri di antara kutub
“pemisahan” sekularistik dan “pelumatan” integralistik antara sistem sekular
dan sistem Islami.28 Pembentukan Kementerian Agama sebagaimana
diungkapkan oleh Moh. Kafrawi (mantan sekretaris jenderal Kementerian
Agama) adalah sebagaimana penggalan pernyataannya berikut:
“.....dihasilkan dari suatu kompromi antara teori sekular dan
Kristen tentang pemisahan gereja dengan negara, dan Muslim tentang
penyatuan antara keduanya. Jadi Kementerian Agama itu timbul dari
formula Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep
yang berhadapan muka: sistem Islami dan sistem sekular”.29

Dalam kitab Adab al-„Alim, KH. Hasyim Asy‟ari30 menyebutkan


tujuan pendidikan adalah: (1) Menjadi insan purna yang bertujuan
mendekatkan diri kepada Allah SWT; (2) Insan purna yang bertujuan
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari pemahaman akan tujuan
pendidikan ini, nampak bahwa KH. Hasyim Asy‟ari tidak menolak ilmu-
ilmu sekular (dunia) sebagai suatu syarat untuk mendapatkan kebahagiaan
di dunia.31 Pernyataan yang lebih simpel adalah yang pernah disampaikan
oleh KH. Achmad Shiddiq (waktu itu menjabat Rois Aam PBNU), dalam
wawancaranya dengan wartawan Kompas (terbitan Minggu, 31 Mei 1987)
mengemukakan salah satu rencana yang ingin dirampungkan dalam waktu
dekat ini adalah bagaimana “agar pendidikan Agama tidak merupakan satu
27
Ibid, hlm. 23.
28
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan..., hlm. 559.
29
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 59; M.
Fuad Nasar, Transformasi Dari Kantoor Voor Inlandsche Zaken Ke Kementerian dan
Departemen Agama (Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 18-19.
30
Muhammad Hasyim Asy‟ari, Adab al-“Alim Wa al-Muta‟allim (Jombang: Turats al-Islam,
1415 H), jlm. 12-24; Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy‟ari Memodernisasi NU dan
Pendidikan Islam (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), hlm. 19-20.
31
Burhanuddin Tamyiz mencoba menginterpretasikan rumusan tujuan pendidikan yang
dikemukakan Kiai Hasyim Asy‟ari tersebut sebagai berikut: pertama, mencapai derajat ulama
dan derajat insan yang paling utama (khairal bariyyah); kedua, bisa beramal baik dengan ilmu
yang diperolehnya; dan ketiga, mencapai ridla Allah. Lihat Burhanuddin Tamyiz, Akhlak
Pesantren: Solusi bagi Kerusakan Pesantren (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hlm. 102-104.

12
pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi tiap bidang pelajaran hendaknya
mengandung unsur pelajaran agama. Jadi pemisahan pelajaran agama
dengan non agama seperti yang berjalan sekarang itu tidak perlu”.32
d. Fondasi Psikologis
Secara psikologis, tawaran pengembangan paradigma integrasi ini
memiliki urgensi yang sangat besar. Iman berkait dengan keyakinan, „ilmu
berkait dengan kognisi dan pengetahuan, dan „amal berkait dengan praksis
dan realitas keseharian. Paradigma integrasi ini bermaksud membaca secara
utuh dan padu ketiga wilayah psikologis yang merupakan fakultas-fakultas
utama dalam diri manusia ini. Ada tiga fakultas dalam diri manusia, yaitu:
“spirit” (religion-hadarat an-nas), “mind” (philosophy-hadarat al-falsafah),
“body” (science-hadarat al-„ilm).33
Pembacaan yang fragmentaris dan parsial serta eksklusif terhadap tiga
ranah tersebut secara psikologis bisa membahayakan. Apa yang diyakini
(hadarat an-nas) tidak seharusnya berbeda dengan apa yang dianggap benar
secara kognitif (hadarat al-„ilm), dan apa yang dianggap benar secara
kognitif, tidak seharusnya bertentangan dengan realitas nyata yang dihadapi
sehari-hari (hadarat al-falsafah). Oleh karena itu membaca ketiga ranah ini
secara padu dan saling berkait membawa keuntungan psikologis yang
signifikan. Pertentangan ketiga ranah tersebut dalam diri seseorang bisa
menimbulkan personality disorder (keterpecahan kepribadian) karena
terjadi konflik antara yang diyakininya dengan yang dipikirkannya dan juga
dengan yang dihadapinya dalam realitas nyata. Dengan kata lain, dalam
perspektif psikologis, pendekatan integrasi ingin membentuk sosok manusia
“universal”, bukan “partikular”. Meminjam bahasa Mukti Ali, membentuk
“manusia yang seutuhnya”, sedangkan menurut istilah Amin Abdullah,
membentuk “universalisme kemanusiaan”.
PRAKSIS INTEGRASI ILMU AGAMA DAN SAIN
Untuk mengakhiri praksis dikotomi keilmuan yang berkepanjangan dalam
dunia pendidikan, maka perlu dikembangkan pola atau kiat-kiat pembelajaran
yang terintegrasi di setiap jenis dan jenjang lembaga pendidikan di Indonesia baik
formal maupun nonformal (Madrasah, Sekolah, Perguruan Tinggi Umum/Islam,
Pesantren/Ma‟had). Kunci utama dalam melaksanakan pengembangan integrasi
keilmuan dalam proses pendidikan ini adalah terletak pada kompetensi pendidik
(guru, dosen, kyai, ustad) dan kurikulumnya, disamping beberapa elemen lain
yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai serta manajemen
lembaga pendidikan itu sendiri.

32
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: CV.Amissco, 1999), hlm. 36
33
Waryani Fajar Riyanto, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan..., hlm. 1294

13
Pendidik merupakan pemeran utama atau ujung tombak pendidikan,
sedangkan kurikulum merupakan jantung atau inti dari pendidikan (the heart/core
of education). Apa pun kurikulum yang berlaku dan seperti apa pun sarana dan
prasarana pendidikan yang ada, akhirnya pendidik-lah yang menerapkan dan
menggunakannya di lembaga tersebut. Kurikulum yang bagus di tangan pendidik
yang tidak baik, hasilnya tidak akan maksimal. Sarana/prasarana yang lengkap di
tangan pendidik yang tidak cakap, juga tidak akan termanfaatkan dengan baik.
Sebaliknya kurikulum dan sarana yang sederhana, tetapi ditangani oleh pendidik
yang profesional sering kali hasilnya lebih baik. Di sisi lain, kurikulum
merupakan penjabaran dari idealisme, cita-cita, tuntutan masyarakat, atau
kebutuhan tertentu. Arah pendidikan, alternatif pendidikan, fungsi pendidikan
serta hasil pendidikan banyak tergantung dan bergantung pada kurikulum.34
Untuk mengembangkan lembaga pendidikan tersebut di atas, maka
kurikulumnya perlu dikembangkan secara terpadu (integratif) dengan menjadikan
ajaran dan nilai-nilai Islam sebagai petunjuk dan sumber konsultasi bagi
pengembangan mata pelajaran mata pelajaran umum. Konsep pelaksanaan
integrasi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Integrasi
Model pengintegrasian mata pelajaran Agama kepada mata pelajaran
umum, menurut Muhaimin35 dapat dilakukan melalui integrasi dengan materi
pelajaran, integrasi dalam proses pembelajaran, integrasi dalam memilih
bahan ajar, dan integrasi dalam memilih media pembelajaran. Beberapa
pola/model pengintegrasian tersebut misalnya dapat dilakukan oleh pendidik
ketika hendak memasukkan nilai-nilai iman dan taqwa melalui beberapa model
sebagaimana uraian berikut:
a. Pengintegrasian imtaq dengan materi pelajaran/matakuliah
Pola ini adalah upaya untuk mengintegrasikan konsep atau ajaran
agama ke dalam materi (teori, konsep) yang sedang dipelajari oleh peserta
didik atau diajarkan oleh pendidik. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu:
1) Pengintegrasian filosofis, yakni bila tujuan fungsional mata pelajaran
umum sama dengan tujuan fungsional mata pelajaran agama. Misalnya:
Islam mengajarkan perlunya hidup sehat, sementara ilmu kesehatan juga
begitu. Matematika mengajarkan ketelitian, kejujuran, Islam juga
mengajarkan demikian.
2) Pengintegrasian dilakukan karena konsep agama berlawanan dengan
konsep pengetahuan umum. Misalnya: guru/dosen biologi mengajarkan
manusia berasal dari monyet (mengacu pada teori Darwin), sedangkan

34
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2012), Cetakan kedua, hlm. 130-131.
35
Ibid, hlm. 131.

14
guru PAI mengajarkan manusia berasal dari Adam dan Adam berasal
dari tanah. Guru PAI mengajarkan bunga Bank adalah haram, sementara
guru ekonomi mengajarkan bunga Bank boleh. Hal-hal yang berlawanan
tersebut harus diselesaikan, dan peserta didik jangan sampai diajari
konsep yang berlawanan. Misalnya untuk teori penciptaan manusia
tersebut bisa dipertemukan pada aspek teori evolusinya, sedangkan
perbedaannya terletak pada asal-usulnya. Pada kasus bunga Bank, bisa
dipertemukan dengan menjelaskan kepada peserta didik bahwa di Bank
itu terdapat banyak pegawai, mulai dari direktur hingga ke staf-staf,
mereka semuanya harus diberi gaji yang bersumber dari bunga Bank
tersebut. Karena itu bunga Bank bisa ditolerir asal tidak berlebih-lebihan
yang dapat mencekik para nasabah.
3) Pengintegrasian dilakukan jika konsep agama saling mendukung dengan
konsep pengetahuan umum. Misalnya: guru ilmu kesehatan mengajarkan
bahwa kebanyakan penyakit berasal dari makanan, sehingga diet perlu
dilakukan untuk kesehatan. Guru ilmu kesehatan dapat meneruskan
bahwa puasa adalah diet yang sangat baik. Cukup begitu saja, tidak perlu
diberikan dalil Al-Qur‟an dan Hadis atau uraian yang bertele-tele.
b. Pengintegrasian imtaq dalam proses pembelajaran
Pola ini dapat dilakukan dengan bertolak dari konsep, bahwa pada
setiap proses pembelajaran diupayakan untuk tidak sampai berlawanan
dengan ajaran agama Islam. Misalnya: pemberian hukuman pada peserta
didik dengan cara memukul bagian anggota tubuh yang rawan, seperti
menampar kepala, menganiaya peserta didik yang berakibat sakit parah, dan
lain-lain. Atau mungkin guru olah raga laki-laki di SLTA mengajar renang
pada peserta didik perempuan, dan sebaliknya.
c. Pengintegrasian imtaq dalam memilih bahan ajar
Pola ini dapat dilakukan dengan cara, misalnya guru/dosen bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris memilih bahan-bahan ajar yang memuat
ajaran Islam untuk dibahas, seperti: dalam memilih sajak-sajak atau tema-
tema kajian yang bernapaskan Islam. Ini berbarti guru ingin meningkatkan
imtaq peserta didik melalui mata pelajaran/matakuliah bahasa Indonesia
atau bahasa Inggris.
d. Pengintegrasian imtaq dalam memilih media pembelajaran
Pola ini dapat dilakukan dengan cara, misalnya ketika guru
matematika memilih sosok, ia menggunakan sosok masjid untuk mengganti
rumah, seperti: sebuah gedung masjid panjangnya 20m, lebarnya 15m,
berapa luasnya? Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan hati peserta didik
kepada masjid. Tentu saja ia dilakukan ketika ada peluang untuk
mengaitkannya, dan tidak perlu dipaksakan.

15
Dari uraian di atas, maka pada lembaga-lembaga pendidikan (Madrasah,
Sekolah, Perguruan Tinggi Umum/Islam, Pesantren/Ma‟had) perlu dilakukan
upaya spiritualisasi pendidikan atau berupaya menginternalisasi nilai-nilai atau
spirit agama melalui proses pendidikan ke dalam seluruh aspek pendidikan di
berbagai jenis dan jenjang lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Hal ini
dimaksudkan untuk memadukan nilai-nilai sains dan teknologi serta seni
dengan keyakinan dan kesalehan dalam diri peserta didik. Ketika belajar
biologi misalnya, maka pada waktu yng sama diharapkan mata
pelajaran/matakuliah itu dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan (imtaq)
kepada Allah SWT., karena di dalam ajaran agama diterangkan bahwa
Tuhanlah yang telah menciptakan keanekaragaman (biodiversity) di muka
bumi ini dan semuanya tunduk pada hukum-hukum-Nya.36
2. Pendekatan Interrelasi
Selain pendekatan integrasi dengan berbagai pola/model dalam
pelaksanaannya seperti telah dipaparkan di atas, Muhaimin juga mengenalkan
pendekatan interrelasi antara pendidikan agama Islam (PAI) dengan mata
pelajaran lainnya di berbagai jenis dan jenjang lembaga pendidikan. Hal ini
sebenarnya sudah berlangsung lama sejak tahun 1970-an, namun kemudian
vakum tidak dilaksanakan sebagaimana idealitas atau harapannya. Pola
interrelasi ini baru mendapat respon lagi pada tahun 1990-an. Pola ini
dilakukan dengan cara memasukkan aspek imtaq (ayat-ayat al-Qur‟an atau
Hadis) ke dalam silabus 10 mata pelajaran tersebut, yang kemudian dilatihkan
kepada guru-guru umum (non-agama) agar mampu melaksanakannya dalam
kegiatan pembelajaran.37
Di sisi lain, Madrasah juga telah mengembangkannya melalui kerja sama
dengan PTU seperti ITB, IPB, dan lain-lain untuk memasukkan ajaran dan nilai
Islam ke dalam mata pelajaran umum, yang kemudian diterbitkan dalam
bentuk bahan-bahan ajar. Pada tahun 1995/1996 pendidikan agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum juga dikembangkan ke arah interrelasi tersebut, yang
diprakarsai oleh Ditbinpertais Ditjen Bagais Depag, dan diterbitkan dalam
bentuk buku daras “Islam untuk disiplin ilmu”, seperti: Islam untuk disiplin
ilmu ekonomi, Islam untuk disiplin ilmu pendidikan, Islam untuk disiplin ilmu
kedokteran dan kesehatan, Islam untuk disiplin ilmu hukum, Islam untuk
disiplin ilmu sosiologi, Islam untuk disiplin ilmu IPA dan teknologi dan lain-
lain.38
Proses hubungan pola interrelasi dapat dilihat pada gambar39 berikut ini:

36
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi..., hlm. 133.
37
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2013), Cetakan kedua, hlm. 132-133
38
Ibid.
39
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam... hlm. 142.

16
Kompetensi Dasar atau Topik PAI:
1. Aspek Al-Qur’an-Hadis
Kompetensi
2. Aspek Keimanan
interrelasi Dasar dan/atau
3. Aspek Akhlak Topik-topik PKN
4. Aspek Fiqih
5. Aspek Tarikh

Gambar-1 : Pendekatan Interrelasi


Catatan penting dalam implementasi pendekatan interrelasi tersebut di
atas adalah adanya permasalahan tentang SDM (guru/dosen) itu sendiri yang
memang selama ini secara professional tidak dipersiapkan untuk itu. Guru mata
pelajaran non-agama dipaksakan untuk memahami dan menguasai ajaran dan
nilai-nilai Islam, atau sebaliknya guru/dosen PAI dipaksakan untuk memahami
dan menguasai mata pelajaran non-agama. Disamping itu, jika tidak hati-hati,
mereka akan terjebak pada disorientasi yang berakibat pada lambatnya
pengembangan kemampuan siswa dalam menguasai ilmu, dan hasil belajarnya
cenderung rendah.
Dengan demikian, maka tugas kita adalah menyiapkan tenaga pendidik
baik untuk mata pelajaran/matakuliah non-agama maupun untuk mata
pelajaran/matakuliah pendidikan agama Islam (PAI) yang memiliki atau
berbasis studi interdisipliner, agar kelak guru maupun dosen dapat
menjalankan kurikulum sekaligus pola/model pembelajaran yang integratif,
interrelasi, bahkan interkoneksi. Beberapa UIN di seluruh Indonesia saat ini
sedang konsen menjalankan tugas tersebut sebagai ikhtiar untuk mencetak
sarjana calon guru/dosen/ustad dalam mengantisipasi tantangan pendidikan
pada masa mendatang.
3. Pendekatan Interkoneksi
Pendekatan berikutnya adalah interkoneksi. Model interkoneksi antara
pendidikan agama Islam dengan mata pelajaran lainnya digambarkan sebagai
berikut:
Guru/dosen, Tenaga Kependidikan,Media/Sumber Belajar, Dana, dsb.

1. Pend. Kewarganegaraan
IQ 2. Bahasa (Ind. Arab, Inggris)
3. Matematika
PAI (AL-Qur’an- EQ 4. Ilmu Pengetahuan Alam
5. Ilmu Pengetahuan Sosial
Hadis; Akidah- 6. Seni Budaya
CQ 7. Penjas & Orkes
Akhlak; Fiqh-SKI)
8. Keterampilan/Kejuruan/TIK
SQ 9. Muatan Lokal
10. Pengembangan Diri

Environment (Lingkungan)

Gambar-2 : Pendekatan Interkonektif


17
Dari gambar tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Agama
Islam (PAI) yang terdiri atas Al-Qurán-Hadis, Akidah-Akhlak, Fikih, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, serta penciptaan suasana yang religius, harus menjadi
komitmen bagi setiap warga sekolah/madrasah dalam rangka membangun
kekuatan spiritual keagamaan. PAI juga menjadi motivator, pembimbing, dan
dinamisator bagi pengembangan kualitas IQ (Intelligent Quotient), EQ
(Emotional Quotient), CQ (Creatifity Quotient), dan SQ (Soiritual Quotient).
PAI tersebut merupakan core (inti), sehingga bahan-bahan kajian yang termuat
dalam Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematia, dan seterusnya,
disamping harus mengembangkan kualitas IQ, EQ, CQ, dan SQ, juga harus
dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam (PAI).40

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, dkk, 2003. Menyatukan kembali ilmu-ilmu agama dan


umum: upaya mempertemukan epistemologi Islam dan umum. Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press.
_______, “Epistemologi Ilmu Pro(f)etik: Apa Yang Terlupakan dari Ilmu-Ilmu
Sekular”, disampaikan dalam Sarasehan Ilmu Profetik II di Ruang Sidang A.
Lt. 5 Sekolah Pascasarjana UGM tanggal 28 Juli 2011.
Anshari, Endang Saifuddin, 1997. Piagam Jakarta. Jakarta: Gema Insani Press.
Asy‟ari, Muhammad Hasyim Adab al-“Alim Wa al-Muta‟allim. ombang: Turats
al-Islam.
Barbour, Ian G, 1996. Issues in Science and Religion. New York: Harper
Tourchbooks.
Hasan, M. Kamal. The Expanding Spiritual-Moral Role of World Religions in the
New Millennium dalam American Journal of Islamic School Science, Volume
18, Winter 2001. Number 1, 43-58.
McKinsey Globale Institute, “The archipelago economy: Unleashing Indonesia‟s
potential, 2012”. Baca pula: “Indonesia 2014 and beyond, a Selective Look.
A report by World Bank, Desember 2009.
Minhaji, Akh, 2013. Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Suka
Press.

Muhaimin, 2012. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam,


Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

40
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi..., hlm. 171.

18
_______, 2013. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,
Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad, Mahathir, 2001. Globalization and the New Realities Selangor:
Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd.
Nasar, M. Fuad, 2007. Transformasi Dari Kantoor Voor Inlandsche Zaken.
Jakarta: UI Press.
Nasr, Sayyed Hossein, 1988. Knowledge and the Secred. Lahore: Suhail
Academy.
Noor, Rohinah M, 2010. KH. Hasyim Asy‟ari Memodernisasi NU dan
Pendidikan Islam. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.
Polkinghorne, John, 1988. Belief in God in a age of Science. London: Yale
University Press.
Riyanto, Waryani Fajar, 2013. Integrasi-Interkoneksi Keilmuan: Biografi
Intelektual M. Amin Abdullah (1953-...) Person, Knoeledge, and Institution,
Yogyakarta: SUKA-Press, buku kedua.
Saridjo, Marwan, 1999. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
CV.Amissco.
Sekretariat Negara RI, 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Steenbrink, Karel A, 1994. Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES.
Tamyiz, Burhanuddin, 2001. Akhlak Pesantren: Solusi bagi Kerusakan Pesantren.
Yogyakarta: Ittaqa Press.
Tim Pokja Akademik, 2006. Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan
Kurikulum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Yogyakarta: UIN-Press.

19

Anda mungkin juga menyukai