Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ETIKA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Oleh:

Dr. Akrim, S.PdI, M.Pd.

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Manusia adalah makhluk berfikir, yang dengan aktivitas berfikirnya manusia
berfilsafat serta berilmu pengetahuan dan tekhnologi. sejak manusia tercipta, aktivitas
itu ada, berkembang, dan meningkat terus seiring dengan perkembangan setiap zaman.
Karakteristik lingkungan terdiri dari dua aspek. Aspek pertama adalah lingkungan
eksternal dimana lingkungan diluar batas organisasi dan membawa pengaruh yang
sangat besar bagi organisasi terutama dalam pengambilan keputusan dan pengambilan
tindakan. Aspek kedua adalah lingkungan internal yang dikenal dengan iklim
organisasi; lingkungan organisasi secara keseluruhan, selain itu karakteristik pekerja
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap efektivitas. Dalam diri setiap
individu akan ditemukan berbagai perbedaan, namun kesadaran individu akan
perbedaan tersebut sangat penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Jadi jika
suatu organisasi ingin mencapai tujuannya, organisasi harus dapat mengintegrasikan
tujuan individu dengan tujuan organisasi. (Prasetia, 2020)
Kemunculan dan perkembangan tradisi keilmuan, pemikiran dan filsafat didunia
Islam tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan (kebudayaan dan peradaban) yang
mengitarinya. Kemunculan dan perkembangan bukan sesuatu yang orisinil dan baru
sama sekali tetapi merupakan formulasi peradaban yang merupakan perpaduan antara
kebudayaan dan peradaban yang sudah ada dan inherent dalam masyarakan itu dengan
kebudayaan dan peradaban baru yang datang. (Jujun S. Suriasumantri, 20 : 2005)
Kebudayaan dan peradaban yang telah tumbuh dan berkembang itu diduga telah
menjadi perantara munculnya hal serupa dibawah kekuasaan Islam. Diantara
kebudayaan dan peradaban yang lebih dahulu eksis dan sangat berpengaruh adalah
pemikiran dan filsafat Yunani.
Perubahan dari pola piker mitosentris ke logosentris membawa implikasi yang
tidak kecil. Alam dengan gejalanya, yang selama ini ditakuti kemudian didekati dan
bahkan dieksploitasi. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum
alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik alam jagat
raya (makro kosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos).
Pada perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang
membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan ukuran yang berbeda anatar disiplin
ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pada gilirannya, cabang ilmu semakin subur
dengan segala variasinya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu yang
terspesialisasi itu semakin menambah sekat-sekat antara sati disiplin ilmu dengan
disiplin ilmu yang lain, sehingga muncul arogansi ilmu yang satu terhadap ilmu yang
lain. Tidak hanya sekedar sekat-sekat antar disiplin ilmu dan arogansi ilmu, tetapi yang
terjadi adalah terpisahnya ilmu itu dengan nilai luhur ilmu, yaitu untuk mensejahterakan
umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu menjadi bencana bagi kehidupan
umat manusia, seperti pemanasan global.
Ilmu dan tekhnologi dalam konteks itu kehilangan ruhnya yang fundamental
karena ilmu kemudian mengeliminir peran manusia bahkan manusia tanpa sadar
menjadi budak ilmu dan tekhnologi. Karena itu, filsafat ilmu berusaha mengembalikan
ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi boomerang bagi kehidupan umat
manusia. Disamping itu, salah satu tujuan filsafat ilmu adalah untuk mempertegas
bahwa ilmu dan tekhnologi adalah instrument bukan tujuan.
Perlu juga diingat bahwa ikatan agama yang terlalu kaku dan terstruktur
kadangkala dapat menghambat perkembangan ilmu. Karena itu, perlu kejelian dan
kecerdasan memperhatikan sisi kebebasan dalam ilmu dan system nilai dalam agama
agar keduanya tidak saling bertolak belakang. Disinilah perlu rumusan yang jelas
tentang ilmu secara filosofis dan akademik serta agama agar ilmu dan tekhnologi tidak
menjadi bagian yang lepas dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan serta lingkungan.
(Amsal Bakhtiar, 4 : 2006).
Dilihat dari aspek kognitif, kegiatan pendidikan Islam integratif memberikan
wawasan spiritual dan kemampuan yang lebih baik kepada siswa dalam membaca
Alquran. Dari aspek afektif, siswa memiliki kedisiplinan dan kesadaran dalam menutup
aurat, melaksanakan shalat, dan termotivasi untuk membaca Alquran secara rutin. Dari
aspek psikomotorik, siswa mampu melaksanakan shalat dengan benar dan rapi sesuai
ajaran Islam, lebih taat pada peraturan sekolah, dan lebih termotivasi untuk
melaksanakan kegiatan keagamaan (Akrim, 2020)

B. Identifikasi Masalah
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun
histories karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil merubah
pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi
logosentris
Perubahan dari mitosentris ke logosentris membawa implikasi yang tidak kecil. Alam
dengan segala gejalanya, yang selama ini ditakuti kemudian didekati dan bahkan
dieksploitasi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa satu sisi ilmu berkembang dengan pesat,
disisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan itu sendiri
karena tidak seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat
implikasi negative dari ilmu.
Dalam konteks yang demikian diperlukan suatu pandangan yang komprehensif
tentang ilmu dan nilai-nilai yang berkembang ditengah masyarakat. Dalam
masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai
ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan, manusia hanya menemukan
sumber itu dan kemudian merekayasanya untuk dijadikan instrument kehidupan.
(Amsal Bakhtiar, 7 : 2006)

C. Batasan Masalah
Masalah utama yang akan dibahas dalam makalah ini adalah ingin mengetahui
Pengembangan teori dan alternatif metodologinya dan Etika dalam pengembangan
ilmu dan teknologi dalam pendidikan
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka masalah – masalah yang akan dijawab
dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana Pengembangan teori dan alternatif metodologinya
2. Apa yang menjadi arah serta tujuan dari pengembangan ilmu dan teknologi dalam
pendidikan

E. Tujuan dan Kegunaan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
sejauhmana Pengembangan teori dan alternatif metodologinya, serta apa yang
menjadi pengembangan ilmu dan teknologi dalam pendidikan
Kegunaan dari penulisan makalah ini adalah sebagai sumbangsih serta memperluas
khasanah keilmuan khususnya dalam kajian filsafat ilmu dan pendidikan. Tulisan ini
diharapkan berguna bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan dalam khazanah
kefilsafatan.
BAB II
ILMU PENGETAHUAN
DAN PROBLEMATIKA ABAD XX

A. Kompetisi Ideologi
Jenis pengetahuan lain yang tumbuh didalam zaman Modern adalah apa yang
kemudian dikenal sebagai ideologi. Perkembangan ini memang banyak hubungan
dengan wawasan gerakan Aufklarung yaitu cita-citanya mengubah masyarakat,
menguasai dunia, membangun dunia. Wawasan seperti ini mengubah fungsi ilmu
yang tadinya lebih bersifat statis eksplikatif, untuk mengetahui, menjadi dinamik
pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai, membangun. Itulah sebabnya maka
Marx akhirnya berkata tujuan ilmu itu adalah untuk mengubah masyarakat.
Hal lain yang mempengaruhi perkembangan ini adalah tumbuhnya ilmu yang
menjadi majemuk, terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai
manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, negara dan hukum. Lalu tumbuhlah
kenginan untuk membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-
pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada. Ideologi adalah menjadi
bagian dari struktur masyarakat yang diwarnai oleh pertentangan kelas. Ideologi
menjadi bagian dari ajaran konflik. Ideologi menurut Marx adalah teori-teori yang
dikembangkan, diciptakan dan dimanfaatkan oleh pemegang kekuasaan untuk
mempertahankan status quo, sebagai sebuah bangunan atas (pranarka, 1987).
Perkembangan ideologi ini menimbulkan masalah tentang hubungan antara
ilmu di satu pihak dan ideologi di lain pihak, dan selanjutnya juga antara theologi atau
filsafat di satu pihak dan ideologi di lain pihak. Hampir semua aliran dominan di
dalam zaman modern pertengahan ini mempunyai aspek ideologikal, individualisme,
rasionalisme, liberalisme, positivisme, psikologisme, determinisme, ekonomi dan lain
sebagainya lagi dianggap juga sebagai bentuk-bentuk idologi. Maka timbullah
perdebatan mengenai ilmu yang value free dan ilmu untuk ilmu.
Mengamati sejarah modern, orang tampaknya dapat berbicara mengenai dua
macam ideologi yang berhadapan satu dengan yang lain dan mewarnai pertumbuhan
ideologi modern; ideologi keagamaan di satu pihak dan ideologi non keagamaan di
lain pihak. ideologi non keagamaan ada yang sifatnya tidak menentang atau
membuang agama, ada yang sifatnya membuang Tuhan, ada yang membuang Tuhan,
tetapi ada pula yang bersifat anti agama dan anti Tuhan, membuang agama dan
membuang Tuhan. Ideologi keagamaan tumbuh, baik di kalangan agama Katolik
Roma (Katholicisme) maupun kalangan agama Protestan (Protestantisme). Semua ini
menjadi bagian dari perkembangan problem modernisasi, laisisme, sekularisasi,
sekularisme, dan atheisme modern (Pranarka, 1978).
Di antara ilmu-ilmu khusus yang dibicarakan oleh para filsuf, bidang fisika
menempati kedudukan yang paling tinggi. Menurut Trout (1993:463), fisika
dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung
unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta. Ia juga menunjukkan
bahwa secara historis hubungan antara fisika dengan filsafat terlihat dalam dua cara :
1. Diskusi filosofis mengenai metode-metode fisika dan dalam interaksi antara
pandangan substansial tentang fisika, misalnya tentang materi, kausa, serta konsep
ruang dan waktu.
2. Ajaran filsafat tradisional yang menjawab fenomena tentang materi, kausa serta
ruang dan waktu. Dengan demikian sejak semula sudah ada hubungan yang erat
antara filsafat dan fisika (Rizal Mustansyir, 1997).
Fisikawan termashur abad XX adalah Albert Einstein. Ia menyatakan bahwa
alam itu tak terhingga besarnya dan tak terbatas. Akan tetapi juga tidak berubah status
totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan
materi. Hal ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal. Dengan kata lain tidak
mengakui adanya penciptaan alam. Akan tetapi pada tahun 1929 seorang fisikawan
lain Hubble yang menggunakan teropong bintang terbesar di dunia melihat galaksi-
galaksi di sekeliling kita. (Baiquni, 1994:14).
Galaksi-galaksi tersebut tampak menjauhi galaksi kita dengan kelajuan yang
sebanding dengan jaraknya dari bumi. Observasi ini menunjukkan bahwa alam
semesta itu tidak statis, tetapi dinamis sehingga meruntuhkan pendapat Einstein
tentang teori kekekalan materi dan alam semesta yang statis. Jagad raya ternyata
berekspansi. Berdasarkan perhitungan mengenai perbandingan jarak dan kelajuan
gerak masing-masing galaksi yang teramati, para fisikawan kontemporer (Gamow,
Alpher, Herman) menarik kesimpulan bahwa, semua galaksi di jagad raya ini semula
bersatu padu dengan galaksi kita, Bimasakti, kira-kira 15 milyar tahun yang lalu
(Baiquni, 1994:14).
Pada saat itu terjadi ledakan yang maha dahsyat yang melemparkan materi ke
seluruh jagad raya ke semua arah, kemudian membentuk bintang-bintang dan galaksi.
Dentuman besar (Big Bang) itu terjadi ketika seluruh materi kosmos terlempar dengan
kecepatan sangat tinggi keluar dari keberadaannya dalam volume yang sangat kecil
(Baiquni, 1994:14).
Manusia merupakan objek sekaligus subjek dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik, manusia dipelajari melalui ilmu
kedokteran. Bila diperhatiakan ayat Al Qur’an yang pertama kali diturunkan,
mengisyaratkan untuk mempelajari manusia dari proses kejadiannya (Q.S. Al Alaq:
1-3). Dan juga, “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia ciptakan”
(Q.S. At-Thariq:5). Ayat berikunya merupakan jawaban secara fisik, manusia
diciptakan dari air (mani) yang keluar dari tulang rusuk (Q.S. At-Thariq: 6-7).
Di samping unsur jasmani yang menjadi pangkal tolak keberadaan manusia,
unsur jiwa tidak lepas dari perhatian Al Qur’an. “Dan pada dirimu (jiwamu). Maka
apakah kamu tidak memperhatikannya? (Q.S. Az-Zariyat: 21). Begitu juga Alquran
menjelaskan tentang indera sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan; “Bukankah
Kami menunjukkan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan Kami
telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Q.S. Al-Balad:8-10).
Lebih tegas lagi pernyataan tentang jiwa disebutkan, “Dan jiwa serta
penyempurnaannya (Ciptaanya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketaqwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotoringnya” (QS. Asy.Syams: 7-
10) (Imam Syafi’ie, 2000).

B. Kompetisi Teknologi Informasi


Gejala lain yang mewarnai, dan akan menjadi makin mewarnai perkembangan
kebudayaan Eropa modern pada umumnya dan perkembangan sistem pengetahuan
pada khususnya adalah teknologi. Pada mulanya perkembangan teknologi dan
perkembangan ilmu berjalan di dalam jalur yang terpisah. Di dalam pertumbuhan
peradaban modern terjadilah proses pembauran antara jalur teknologi dan jalur ilmu.
Salah satu faktor yang membawa terjadinya proses interaksi dan interdependensi
antara ilmu dan teknologi itu adalah tuntutan peningkatan alat-alat ukur kepastian
yang makin sempurna untuk pengembangan pengetahuan ilmiah, khususnya yang
berkenaan dengan astronomi, kimia, fisika, biologi dan lain-lainnya. Perkembangan
ilmu ini merupakan salah satu jembatan terjadinya interdependensi antara
pertumbuhan ilmu modern dengan teknologi modern. Walaupun secara implisit
perkembangan teknologi selalu mempunyai aspek epistemologikal, akan tetapi baru
pada perkembangan modern pertumbuhan teknologi makin mengungkapkan aspek
tersebut menjadi lebih eksplisit. Kita mulai dapat berbicara mengenai teknologi
sebagai bagian dari pertumbuhan epistemologi.
Perkembangan yang akan kita bicarakan di bagian ini mungkin dapat disebut
sebagai zaman modern Eropa periode terakhir saat ini. Namun karena sejarah itu
berkembang terus dan belum berhenti, agak ganjilan kalau kita gunakan istilah akhir.
Sejarah belum final. Kalau kita menggunakan istilah yang lazim dipakai kita dapat
menyebutnya sebagai zaman Eropa Modern Kontemporer, artinya yang sewaktu
dengan kita saat ini. Dan karena kita berada di abad XX, walaupun tidak lama lagi
akan segera berakhir dan abad XXI akan diawali, maka dapatlah periode tersebut kita
katakan periode abad XX.
Zaman Modern Kontemporer ini diwarnai oleh dua suasana pokok: pertama,
suasana baru yang ditimbulkannya. Zaman Modern Kontemporer dari satu pihak
masih merupakan kisah kelanjutan dari perkembangan Aufklarung, pembentukan
Sistem Semesta, Positivisme, kemajuan Ilmu dan Teknologi, dari lain pihak periode
ini merupakan suatu periode yang akan ditandai oleh munculnya gerakan-gerakan
baru. Kalau Aufklarung dapat disebut sebagai gerakan pembaharuan yang muncul di
abad XX ini adalah bersifat humanistik-naturalistik-anti-intelektualistik. Tentu saja
perkembangan di dalam satu abad merupakan perkembangan yang relatif panjang.
Maka itu bagi menjadi dua; kesatu, periode sebelum Perang Dunia II dan kedua
periode sesudah Perang Dunia II, jadi periode sebelum tahun 1945. pembagian ini
pertama-tama adalah untuk membuat sekedar pegangan kepastian mengenai waktu,
namun demikian tampaknya juga ditandai oleh tumbuhnya suasana-suasana
pemikiran baru (Pranarka, 1987).
Selain teori mengenai fisika, teori alam semesta dan lain-lain maka zaman
kontemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi
komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami kemajuan sangat
pesat, mulai komunikasi, internet dan sebagainya. Manusia dewasa ini memiliki
mobilitas yang sangat tinggi karena pengaruh teknologi komunikasi dan informasi
(Rizal Mustasyir, 1997)
Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat sehingga terjadi
spesialisasi-spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kontemporer mengetahui
hal yang sedikit, tetapi secara mendalam. Ilmu kedokteran semakin menajam dalam
spesialis dan subspesialis. Demikian bidang-bidang ilmu lain. Selain kecenderungan
ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sistesis antara bidang ilmu satu
dengan lainnya sehingga dihasilkan bidang ilmu baru, seperti biotektnologi,
psikolinguistik dan lain-lain (Rizal Mustansyir, 1997)
Ungkapan yang menunjukkan pengertian ilmu pengetahuan terdapat pula
dalam kata hikmat yang telah menjadi kata Indonesia. Biasanya kata hikmah
dipergunakan langsung tanpa terjemahan dan pengertiannya adalah “pelajaran”, ada
juga yang menerjemahkan dengan “kebijaksanaan” atau pengetahuan tertinggi
(Dawam Rahardjo, 1990)
Dalam Al-Qur’an hikmah merupakan sesuatu yang sangat berharga seperti
tercermin dalam ayat 269 surat Al-Baqoroh yang artinya sebagai berikut :
Allah memberi hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang
mendapatkan hikmah, sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada
yang dapat mengambil pelajaran (zikir) kecuali orang yang berakal (ulul-al-albab)
(Imam Syafi’ie, 2000).
Hal ini dapat juga diperhatikan dalam surat Luqman yang menceritakan
tentang bagaimana Luqman menasehati putranya dan Allah telah memberikan hikmah
kepadanya (QS. Luqman, 31:12). Hikmah disini berarti pelajaran yang sangat
berharga bukan hanya menyangkut kehidupan di dunia, melainkan mempunyai makna
yang dalam karena menyangkut ketauhidan, juga pelajaran yang berisi tentang
hubungan antara makhluk dengan khaliqnya (Surat Luqman ayat 12-13).

C. Semaraknya Ilmu Sosial


1. Teori Psikologi
Positivisme juga memacu pertumbuhan psikologi sebagai ilmu modern. Pada
awalnya psikologi terkait erat dengan filsafat dan kemudian dengan theologi,
seperti misalnya di dalam konsep-konsep mengenai hawa nafsu, dosa, pengaruh
badan terhadap jiwa, dan lain sebagainya. Di dalam perkembangan modern,
dipacu oleh suasana positivisme itu, psikologi menjadi makin lepas dari theologi
dan filsafat dan tumbuh menjadi ilmu sendiri, walaupun pada awalnya masih juga
berhubungan erat dengan biologi.
Di dalam perkembangan psikologi itu pun menjadi multiplikatif, seperti misalnya
di dalam aliran behaviorisme, wawasan Gestalt, Psikologi, di dalam psikologi
perkembangan, psikologi sosial, bahkan sampai kepada psikologi perusahaan.
Perkembangan psikologi ini sempat menimbulkan pandangan mengenai
pengetahuan yang dikenal sebagai psikologisme. Pandangan ini mempunyai
keyakinan bahwa psikologi adalah satu-satunya ilmu yang dapat memberikan
hukum-hukum secara pasti mengenai manusia, masyarakat dan kebudayaan. Dan
ini tidak jarang terkait dengan beberapa pandangan yang sifatnya parsial
deterministik, seperti misalnya determinisme ras, seks, emosi dan lain-laiunnya.
Dalam konteks ini maka kebenaran, kepastian semua itu tidak lain adalah produk
dari proses psikological semata-mata seperti itu. Ini adalah suatu bentuk
relativisme tetapi sekaligus juga suatu bentuk dari dogmatisme satu dimensional
yang deterministik (Pranarka, 1987).
Kata hikmah yang sering diartikan kebijaksanaan memerlukan pemikiran
yang mendalam serta berulang-ulang tentang suatu hal sehingga seseorang
memperoleh pengetahuan yang tinggi. Untuk mencapai pengetahuan yang tinggi
kadang-kadang seseorang melakukan kegiatan atau berfikir secara mendalam
tentang suatu hal dengan sistematis untuk menemukan kebenaran. Kegiatan ini
sering disebut filsafat. Filsafat pada umumnya menggunakan rasio sebagai tolak
ukurnya, sehingga hal-hal yang diluar jangkauan rasio tidak termasuk wilayah
filsafat (Imam Syafi’ie, 2000).
Ditinjau dari segi objeknya ilmu dapat dibagi menjadi dua bagian pokok,
yaitu alam materi dan alam nonmateri. Sains mutakhir yang mengarahkan
pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia membatasi ilmunya pada
bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengakui adanya realitas yang
tidak dapat dibuktikan di alam materi (Quraish Shibah, 1996).
2. Teori Sosiologi
Bahwa positivisme banyak mendukung perkembangan sosiologi tidaklah
mengherankan karena Comite, perintis aliran ini adalah Bapak dari sosiologi
modern itu sendiri. Dan sosiologi di dalam babak perkembangan ini memang
menjadi amat pesat. Sosiologi segera pula menjadi medan di mana diterapkan
produk-produk ilmu-ilmu, baik yang natural maupun yang sosio-kultural.
Pendekatan biologikal di dalam sosiologi telah dirintis oleh Spencer. Bahkan ada
pula pendekatan matematikal. Di samping itu terdapat pula pendekatan
geografikal, fisiologikal, psikologikal, kultural dan lain sebagainya. Maka
sosiologi itupun menjadi multiplikatif, baik menurut pemikir-pemikirnya
(Durkheim, Weber, Ogburn, Parson, dan lain-lain) maupun menurut wilayahnya
(Eropa, Amerika, Jerman, Inggris).
Perkembangan sosiologi seperti itu menyebabkan timbulnya wawasan
yang dikenal sebagai sosiologisme, yaitu bahwa sosiologi merupakan sumber
segala kepastian dan kebenaran. Berdampingan dengan itu juga ada pendapat
bahwa pengetahuan, kebenaran dan kepastian itu ditentukan oleh kondisi
sosiologikalnya. Sosiologi dari satu pihak disebut sebagai the queen of sciences
(menggatikan falsafah) namun dari lain pihak membawa serta dogmatisme yang
multiplikatif yang mengakibatkan berkembangnya suasana yang dipenuhi oleh
relativis mendasar. Kondisi sosiologi memang akan ikut menentukan
pengetahuan, namun demikian relativiasai dari pengatahuan tidak boleh
menjerumuskan kita kedalam relativisme sebagai dogma. Dalam pada itu
multiplikasi aliran di alam sosiologi itu telah pula menimbulkan konflik dan
suasana desintegratif baik yang bersifat substansial maupun yang bersifat
metodelogikal (Pranarka, 1987).
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan
masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda (Suriasumantri,
1994). Di era modern dewasa ini pertanyaan tentang apakah ilmu itu bebas atau
harus terikat oleh nilai mulai dipertentangkan dan tentu saja timbul pro dan kontra.
Dalam menjawab pertanyaan untuk apa ilmu pengetahuan digunakan,
masuk kawasan aksiologi, yang meliputi nilai-nilai atau parameter bagi apa yang
disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu dalam konteks kawasan yang terkait
dengan kehidupan manusia, yaitu kawasan sosial, kawasan fisik material,
kawasan spiritual dan kebenaran simbolik, yang masing-masing memiliki kriteria
yang berbeda (Koento Wibisono, 1995). Dengan kemajuan sains dan teknologi
yang begitu pesat terutama di bidang teknik persenjataan, pertanyaan apakah ilmu
pengetahuan harus bebas nilai, menjadi sangat urgen karena menyangkut
kehidupan manusia untuk masa kini dan yang akan datang (Imam Syafi’ie, 2000).
Berdasarkan pengertian dan pembagian secara umum tentang ilmu serta
pengertian ilmu sebagai proses, prosedur dan produk sebagaimana di ungkapkan
oleh The Liang Gie, maka berikut ini dikemukakan bentuk pengungkapan ilmu
dalam Al Qur’an dengan mengacu pada tema-tema pengertian ilmu, yaitu ilmu
sebagai proses (The Liang Gie, 1996). Untuk menemukan kata kunci dari
ungkapan ayat Al Qur’an dapat ditemukan antara lain dalam bentuk kata kerja
(fi’il) seperti terlihat dalam ayat berikut ini yang artinya :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dan ‘alaq. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah
yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang belum diketahuinya”. (QS. Al’Alaq, 96: 1-5).
Ayat tersebut merupakan ayat yang pertama kali turun dan diawali dengan kata
iqro. Mengapa iqro merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi,
padahal beliau orang Ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis) ( Quraish
Shihab, 1996).
Iqro berasal dari akar kata yang berarti menghimpun dan kata tersebut
lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui isi sesuatu dan membaca, baik teks tertulis, ataupun tidak tertulis
(Quraish Shihab, 1996).
Walaupun kata iqro tidak secara langsung mengarah pada ilmu, namun
bila dilihat dari proses, iqro merupakan aktivitas pertama yang harus dilakukan
oleh seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Iqro di samping berarti
menghimpun juga memiliki makna bacalah, telitilah, dalamilah, tanda-tanda
zaman, sejarah diri sendiri yang tertulis dan tidak tertulis (Quraisy Shihab, 1996)
dengan demikian obyek perintah iqro mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkau (Imam Syafi’ie, 2000).

3. Teori Ekonomi
Suasana positivisme, di mana proses industrialisasi dan perkembangan ilmu-ilmu
terjadi secara bersamaan, memang wajar apabila lalu menimbulkan ilmu ekonomi.
Adalah kaum phisiokrat yang dapat dipandang sebagai perintis pertama dari ilmu
ekonomi ini, yang kemudian juga mengalami perkembangan yang majemuk pula.
Phisiokrasi sesungguhnya dilandasi oleh motivasi wawasan bahwa kodrat ini
harus dikuasai untuk kemajuan dan kesejahteraan manusia berdasarkan atas
kekuatan pemikiran dan ilmu.
Perkembangan ini jatuh bersamaan pula dengan suasana yang diwarnai oleh
semangat Aufklarung yang amat mementingkan kemerdekaan (freedom of
thoughts, freedom of expression, freedom of life). Di samping itu evolusionisme
juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan ini sehingga dalil
perkembangan yang natural, seleksi alamiah, kompetesi dari survival of the fittest
sebagai proses alamiah menuju kepada kesejahteraan masuk pula kedalam
pemikiran ekonomi. Hasilnya adalah yang memiliki faktor-faktor produksi
mempunyai kemungkinan dan kesempatan untuk makin berkembang kuat yang
tidak kuat menjadi lengkap atau menjadi tidak berarti lagi. Dalam suasana ini akan
timbullah pemikiran tentang kapitalisme dan berada di dalam proses evolusi dan
juga menjadi makin kompleks dan interdepeden. Yang jelas kedua pemikiran
tersebut dilahirkan dan dipacu oleh satu alam pikiran yang sama yaitu Aufklarung
dan Positivisme.
Keduanya mempunyai wawasan untuk mengubah untuk maju, bekerja, menguasai
alam (artinya tidak ada kapitalisme tanpa ajaran mengenai kerja, tak ada pula
sosialisme yang tumbuh tanpa disertai ajaran mengenai kerja, sebagai tuntutan
fundamental). Yang penting bagi perkembangan epistemologi di dalam
perkembangan ini adalah terjadinya gejala ekonomisme atau yang oleh sementara
disebut sebagai determinisme ekonomi. Adalah ekonomi yang merupakan faktor
satu-satunya yang menentukan segalanya menentukan manusia, masyarakat dan
kebudayaan, menentukan pengetahuan, ilmu, theologi, filsafat dan ideologi.
Adalah faktor ekonomi yang menjadi sumber pengetahuan dan kriteria kebenaran
dan kepastian. Kekeliruan dari determinisme ekonomi ini, seperti halnya dengan
pandangan-pandangan lain di atas adalah memutlakkan hal yang pada hakikatnya
tidak mutlak. Dogmatiosme dan determinisme seperti ini dengan sendirinya
menjurus kepada relativisme dogmatik (Pranarka, 1987).
Ilmu sebagai aktivitas manusia, setidak-tidaknya mencakup aspek rasional
kognisi dan teleogi (The Liang Gie, 1996) untuk meneliti alam semesta yang
termasuk di dalamnya manusia. Di sini nampak bahwa manusia menjadi subyek
(peneliti) karena dalam ayat tersebut, yang diperintah untuk meneliti adalah
Muhammad saw (manusia), sedang yang menjadi obyek untuk diteliti adalah
tentang kejadian manusia.
Sejak awal AlQur’an menegaskan bahwa dalam aktivitas penelitian seorang
peneliti harus selalu mengingat Tuhan yang telah menciptakannya,
‘bismirabbika” (demi karena Allah). Hal ini membedakan antara konsep Barat
pada umumnya dengan konsep Al-Qur’an dalam aktivitas penelitiannya dengan
konsep Al-Qur’an dalam aktivitas penelitian untuk mencapai kebenaran (Imam
Syafi’ie, 2000).
D. Mengarahkan Ilmu Secara Islami
Telah terjadi perdebatan panjang tentang tujuan ilmu pengetahuan sendiri
merupakan tujuan pokok bagi orang yang menemukannya dan mereka ungkapkan hal
ini dengan ungkapan “ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan”, sebagaimana
mereka katakan “seni untuk seni” dan “sastra untuk sastra”. Sementara yang lain
berpedapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambah kesenangan
manusia dalam hidupnya di dunia ini. Sedangkan sebagian yang lain lagi cenderung
menjadikannya sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi
umat manusia secara keseluruhan (Ali Abdul Azhim, 1989).
Al-Qur’an menjadikan ilmu pengetahuan bukan hanya untuk mencapai
kebenaran dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini, melainkan lebih
jauh dari itu adalah untuk mencapai keselamatan, ketenangan serta kebahagiaan hidup
di balik kehidupan dunia yang fana ini, yaitu kehidupan di akhirat. Mereka hanya
mengetahui yang nampak saja dari kehidupan manusia, sedangkan kehidupan akhirat
mereka lalaikan (QS. Ar-Rum :6-7). Bukankah akhirat itu lebih baik daripada (yang)
pertama (dunia) (Q.S. Ad-Duha:3).
Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa, mati bukanlah akhir dari sebuah
kehidupan dan bukan pula merupakan akhir sebuah perputaran. Akan tetapi mati
merupakan akhir sebuah perputaran. Akan tetapi mati merupakan tahap perpindahan
ke alam lain yang tidak dapat diketahui dengan inderawi sebab hal ini menyangkut
masalah gaib (Imam Syafi’ie, 2000).
Buku Almagest dikenal oleh orang Eropa menjelang akhir abad XII dalam
terjemahan bahasa Arab yang dilakukan oleh cendekiawan muslim. Oleh karena
naskah terjemahan itu tidak memuaskan, Kardinal Bessarion menugaskan pada
Georgius Peurbach untuk menyuntingnya. Tetapi, sebelum tugas itu diselesaikan
Peuerbach meninggal dunia dalam tahun1461. tugasnya lalu diselesaikan oleh
muridnya bernama Regiomonttanus. Dalam tahun 1496 buku itu terbit dalam bahasa
Latin sehingga kaum terpelajar di Eropa dapat membacanya. Judul Almagest menurut
sejarahnya berasal dari judul aslinya dalam bahasa Yunani Kuno Megale mathematike
syntaxis yang kemudian ditulis juga megiste syntaxis (Susunan yang Terbesar). Dalam
terjemahan bahasa Arab oleh cendekiawan itu beralih ke dalam bahasa Latin lalu
menjadi Almagestum (The Liang Gie, 2003).
Dewasa ini sains dan teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang
memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk
eksistensinya sendiri. Dan hal ini kadang-kadang harus dibayar mahal oleh manusia
yang kehilangan sebagian arti kemanusiaannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa ilmu
sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan
manusia itu sendiri (Jujun S. Suriasumantri, 1994). Jadi ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumani-sasi namun bahkan mengubah hakekat kemanusiaan itu sendiri atau
dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk mencapai tujuan hidupnya melainkan juga
menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Bila demikian halnya, maka ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya; untuk
apa sebenarnya ilmu pengetahuan digunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan
semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo
dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuwan yang hidup pada abad ke dua
puluh bahkan sebentar lagi memasuki abad kedua puluh satu ini yang telah mengalami
dua kali perang dunia dan bayang-bayang perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan
tersebut tidak dapat dielakkan (Imam Syafi’ie,2000).
Di lingkungan masyarakat akademis sering muncul pendapat sebagai alternatif
untuk mengantisipasi masa transisi tersebut.
1. Pendapat sebagaimana sering dikemukakan oleh (Alm) Sutan Takdir Alisyahbana
yang menyatakan bahwa kita harus merebut dan menguasai budaya barat, yaitu
budaya renaissance yang mengandung unsur-unsur kebebasan, inidivulisme,
rasionalisme, optimisme, kreatif dan inovatif. Suatu perangkat budaya yang telah
dapat menghantarkan masyarakat Barat sebagai negara maju, pemilik dan penguasa
iptek, berkat tiada hari tanpa temuan-temuan baru yang bermunculan secara
kronologis bersambung dan berdampingan sebagai alternatif. Masa depan akan
semakin dikuasai Iptek sehingga apabila bangsa Indonesia ingin survive, maka harus
menguasai budaya Barat tersebut.
2. Pendapat ala Karl Popper yang menyatakan bahwa tidak ada desain manapun yang
mampu merekayasa masa depan. Masa depan akan semakin dikuasai Iptek yang
implikasinya masa depan akan semakin cepat mengalami perubaha. Setiap rekayasa
pasti segera akan kadaluwarsa, ketinggalan zaman.
Iptek sendiri akan sulit diramalkan ke mana arah perkembangannya karena
manusia sebagai pengendali Iptek sulit diramalkan tingkah laku dan arah ambisinya.
Panta rhei kai uden meni kata sang filsuf Heracleitos di abad ke-3 SM; the certain
one now is uncertainty kata Alvin Toffler, dan John Naisbitt menambahkannya
dengan the constant one now is changing.
Sesuai dengan komitmen kita untuk melaksanakan pembangunan sebagai
pengamalan Pancasila maka kita harus dapat menyusun strategi kebudayaan, yaitu
suatu strategi pembangunan yang menggunakan nilai-nilai budaya kita sendiri sebagai
kerangka acuan untuk membentuk manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya (Koento Wibisono, 1997).
Ilmu, dengan berbagai cabangnya terus berkembang. Akan tetapi sejalan
dengan perkembangan itu, ilmu sebagai gejala yang makin nyata dalam kehidupan
manusia terus dan makin dipersoalkan dan dipelajarinya. Ini menunjukkan bahwa
orang tidak puas dengan jawaban yang ada. Sementara orang belum puas juga dengan
keterangan yang diberikan mengenai ilmu, persoalan barupun timbul pula. Pada
mulanya, ilmu hampir identik dengan apa yang disebut pengetahuan. Lama kelamaan,
ilmu makin membedakan dirinya dengan pengetahuan biasa. Ketika orang menyadari
bahwa ilmu itu berbeda dengan pengetahuan biasa, dan makin rumit tanda-tanda
gejalanya, maka orang pun mulai mempertanyakan hakikat ilmu itu. Maka
berkembanglah filsafat ilmu (Dawam Rahardjo, 1990).
Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Dengan ilmu
manusia berupaya untuk mendeskripsikan alam dan kehidupan sebagaimana adanya
dengan tujuan menemukan penjelasan yang memungkinkan manusia untuk dapat
meramalkan dan mengontrol objek tersebut (Suriasumantri, 1996). Ilmu memang
mengandung arti “pengetahuan” dan demikianlah kata “ilmu” itu diterjemahkan
dalam berbagai ayat Al-Qur’an (Imam Syafi’ie, 2000).
Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Maka
isi ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan; ilmu pendidikan Islam
merupakan kumpulan teori tentang pendidikan berdasarkan ajaran Islam. Jadi Ilmu
pendidikan Islam didalamnya mengandung makna yaitu mendapatkan ilmu yang
amaliyah dan mengamalkan ibadah yang ilmiah. Hal ini dikatakan karena sesuai
dengan isi ajaran Islam itu sendiri (Akrim, 2020)
Di sini dapat dipahami bahwa tujuan akhir dari pendidikan Islam sejatinya
adalah Allah, Sang Pendidik Pertama, yang menjadi pusat untuk mendidik,
mengontrol dan membimbing manusia. Maka, tema pemerdekaan dan pembebasan
dalam konsepsi pendidikan Islam adalah memotivasi semua aspek manusiawi untuk
mencapai kebaikan dan kesempurnaan yang berujung pada penyerahan diri secara
mutlak kepada Allah. (Sulasmi, 2020)
BAB III
KESIMPULAN

Hal lain yang mempengaruhi perkembangan ini adalah tumbuhnya ilmu yang
menjadi majemuk, terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai
manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, negara dan hukum. Lalu tumbuhlah kenginan
untuk membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-pandangan dari
aliran-aliran pemikiran besar yang ada. Ideologi adalah menjadi bagian dari struktur
masyarakat yang diwarnai oleh pertentangan kelas. Ideologi menjadi bagian dari ajaran
konflik. Ideologi menurut Marx adalah teori-teori yang dikembangkan, diciptakan dan
dimanfaatkan oleh pemegang kekuasaan untuk mempertahankan status quo, sebagai
sebuah bangunan atas.
Dewasa ini sains dan teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang
memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk
eksistensinya sendiri. Dan hal ini kadang-kadang harus dibayar mahal oleh manusia yang
kehilangan sebagian arti kemanusiaannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa ilmu sudah
berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu
sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumani-sasi namun bahkan
mengubah hakekat kemanusiaan itu sendiri atau dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk
mencapai tujuan hidupnya melainkan juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Bila demikian halnya, maka ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya; untuk apa
sebenarnya ilmu pengetahuan digunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam
ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan
seangkatannya; namun bagi ilmuwan yang hidup pada abad ke dua puluh bahkan sebentar
lagi memasuki abad kedua puluh satu ini yang telah mengalami dua kali perang dunia dan
bayang-bayang perang dunia ketiga.
DAFTAR FUSTAKA

Akrim,. (2019). An Integrative Islamic Education Learning System in Khairul Imam


Junior High School, Medan. 10.2991/iccd-19.2019.15.
Akrim, A. (2018). ILMU PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM. Kumpulan
Buku Dosen, 1(1).
Akrim, A., Sulasmi, E., & Gunawan, G. (2018). KONSEP PENDIDIKAN HUMANIS
DALAM PENGELOLAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA. Kumpulan Buku
Dosen, 1(1).
Azhim, Ali Abdul. (1989) “Epistemologi dna Aksiologi Ilmu Perspektif Al–Qur’an”.
Bandung. CV Rosda
Baiquni, Achmad. (1994) “Al–Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”. Yogyakara.
Dana Bhakti Wakaf.
Pranarka, A.M.W. (1987) “Epistimologi Dasar Sauatu Pengantar” . Jakarta. CSIS
Prasetia, I., Akrim, A., & Sulasmi, E. (2020). EFFECTIVE COMPETENCY BASED
SCHOOL MODEL. JURNAL TARBIYAH, 27(1).
Rahardjo, Dawam. (1990) “Ensiklopedi Al–Qur’an, Ulumul Qur’an”. No. 4 Vo 1
Suriasumantri, Jujun S. (1984) “Filsafat Ilmu”. Jakarta. Sinar Harapan
Shihab,Quraisy (1996). “Membumikan Al–Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Masyarakat”. Bandung. Mizan
The Liang Gie. (2003) “Suatu Konsepsi Ke arah Penertiban Filsafat, Judul Asli A
Conception toward The Syistematization of Philosophy”. Yogyakarta. Karya
Kencana
Wibisono, Koento (1997) ”Ilmu Pengetahuan Sebuh Sketsa Umum Mengenai Kelahiran
dan Perkembngannya Sebagai Pengentar untuk Memahami Filsafat Ilmu”.
Klaten Intan Pariwara

Anda mungkin juga menyukai