Oleh:
MEDAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN
B. Identifikasi Masalah
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun
histories karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil merubah
pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi
logosentris
Perubahan dari mitosentris ke logosentris membawa implikasi yang tidak kecil. Alam
dengan segala gejalanya, yang selama ini ditakuti kemudian didekati dan bahkan
dieksploitasi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa satu sisi ilmu berkembang dengan pesat,
disisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan itu sendiri
karena tidak seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat
implikasi negative dari ilmu.
Dalam konteks yang demikian diperlukan suatu pandangan yang komprehensif
tentang ilmu dan nilai-nilai yang berkembang ditengah masyarakat. Dalam
masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai
ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan, manusia hanya menemukan
sumber itu dan kemudian merekayasanya untuk dijadikan instrument kehidupan.
(Amsal Bakhtiar, 7 : 2006)
C. Batasan Masalah
Masalah utama yang akan dibahas dalam makalah ini adalah ingin mengetahui
Pengembangan teori dan alternatif metodologinya dan Etika dalam pengembangan
ilmu dan teknologi dalam pendidikan
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka masalah – masalah yang akan dijawab
dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana Pengembangan teori dan alternatif metodologinya
2. Apa yang menjadi arah serta tujuan dari pengembangan ilmu dan teknologi dalam
pendidikan
A. Kompetisi Ideologi
Jenis pengetahuan lain yang tumbuh didalam zaman Modern adalah apa yang
kemudian dikenal sebagai ideologi. Perkembangan ini memang banyak hubungan
dengan wawasan gerakan Aufklarung yaitu cita-citanya mengubah masyarakat,
menguasai dunia, membangun dunia. Wawasan seperti ini mengubah fungsi ilmu
yang tadinya lebih bersifat statis eksplikatif, untuk mengetahui, menjadi dinamik
pragmatik, yaitu untuk mengubah, menguasai, membangun. Itulah sebabnya maka
Marx akhirnya berkata tujuan ilmu itu adalah untuk mengubah masyarakat.
Hal lain yang mempengaruhi perkembangan ini adalah tumbuhnya ilmu yang
menjadi majemuk, terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai
manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, negara dan hukum. Lalu tumbuhlah
kenginan untuk membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-
pandangan dari aliran-aliran pemikiran besar yang ada. Ideologi adalah menjadi
bagian dari struktur masyarakat yang diwarnai oleh pertentangan kelas. Ideologi
menjadi bagian dari ajaran konflik. Ideologi menurut Marx adalah teori-teori yang
dikembangkan, diciptakan dan dimanfaatkan oleh pemegang kekuasaan untuk
mempertahankan status quo, sebagai sebuah bangunan atas (pranarka, 1987).
Perkembangan ideologi ini menimbulkan masalah tentang hubungan antara
ilmu di satu pihak dan ideologi di lain pihak, dan selanjutnya juga antara theologi atau
filsafat di satu pihak dan ideologi di lain pihak. Hampir semua aliran dominan di
dalam zaman modern pertengahan ini mempunyai aspek ideologikal, individualisme,
rasionalisme, liberalisme, positivisme, psikologisme, determinisme, ekonomi dan lain
sebagainya lagi dianggap juga sebagai bentuk-bentuk idologi. Maka timbullah
perdebatan mengenai ilmu yang value free dan ilmu untuk ilmu.
Mengamati sejarah modern, orang tampaknya dapat berbicara mengenai dua
macam ideologi yang berhadapan satu dengan yang lain dan mewarnai pertumbuhan
ideologi modern; ideologi keagamaan di satu pihak dan ideologi non keagamaan di
lain pihak. ideologi non keagamaan ada yang sifatnya tidak menentang atau
membuang agama, ada yang sifatnya membuang Tuhan, ada yang membuang Tuhan,
tetapi ada pula yang bersifat anti agama dan anti Tuhan, membuang agama dan
membuang Tuhan. Ideologi keagamaan tumbuh, baik di kalangan agama Katolik
Roma (Katholicisme) maupun kalangan agama Protestan (Protestantisme). Semua ini
menjadi bagian dari perkembangan problem modernisasi, laisisme, sekularisasi,
sekularisme, dan atheisme modern (Pranarka, 1978).
Di antara ilmu-ilmu khusus yang dibicarakan oleh para filsuf, bidang fisika
menempati kedudukan yang paling tinggi. Menurut Trout (1993:463), fisika
dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung
unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta. Ia juga menunjukkan
bahwa secara historis hubungan antara fisika dengan filsafat terlihat dalam dua cara :
1. Diskusi filosofis mengenai metode-metode fisika dan dalam interaksi antara
pandangan substansial tentang fisika, misalnya tentang materi, kausa, serta konsep
ruang dan waktu.
2. Ajaran filsafat tradisional yang menjawab fenomena tentang materi, kausa serta
ruang dan waktu. Dengan demikian sejak semula sudah ada hubungan yang erat
antara filsafat dan fisika (Rizal Mustansyir, 1997).
Fisikawan termashur abad XX adalah Albert Einstein. Ia menyatakan bahwa
alam itu tak terhingga besarnya dan tak terbatas. Akan tetapi juga tidak berubah status
totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan
materi. Hal ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal. Dengan kata lain tidak
mengakui adanya penciptaan alam. Akan tetapi pada tahun 1929 seorang fisikawan
lain Hubble yang menggunakan teropong bintang terbesar di dunia melihat galaksi-
galaksi di sekeliling kita. (Baiquni, 1994:14).
Galaksi-galaksi tersebut tampak menjauhi galaksi kita dengan kelajuan yang
sebanding dengan jaraknya dari bumi. Observasi ini menunjukkan bahwa alam
semesta itu tidak statis, tetapi dinamis sehingga meruntuhkan pendapat Einstein
tentang teori kekekalan materi dan alam semesta yang statis. Jagad raya ternyata
berekspansi. Berdasarkan perhitungan mengenai perbandingan jarak dan kelajuan
gerak masing-masing galaksi yang teramati, para fisikawan kontemporer (Gamow,
Alpher, Herman) menarik kesimpulan bahwa, semua galaksi di jagad raya ini semula
bersatu padu dengan galaksi kita, Bimasakti, kira-kira 15 milyar tahun yang lalu
(Baiquni, 1994:14).
Pada saat itu terjadi ledakan yang maha dahsyat yang melemparkan materi ke
seluruh jagad raya ke semua arah, kemudian membentuk bintang-bintang dan galaksi.
Dentuman besar (Big Bang) itu terjadi ketika seluruh materi kosmos terlempar dengan
kecepatan sangat tinggi keluar dari keberadaannya dalam volume yang sangat kecil
(Baiquni, 1994:14).
Manusia merupakan objek sekaligus subjek dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik, manusia dipelajari melalui ilmu
kedokteran. Bila diperhatiakan ayat Al Qur’an yang pertama kali diturunkan,
mengisyaratkan untuk mempelajari manusia dari proses kejadiannya (Q.S. Al Alaq:
1-3). Dan juga, “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia ciptakan”
(Q.S. At-Thariq:5). Ayat berikunya merupakan jawaban secara fisik, manusia
diciptakan dari air (mani) yang keluar dari tulang rusuk (Q.S. At-Thariq: 6-7).
Di samping unsur jasmani yang menjadi pangkal tolak keberadaan manusia,
unsur jiwa tidak lepas dari perhatian Al Qur’an. “Dan pada dirimu (jiwamu). Maka
apakah kamu tidak memperhatikannya? (Q.S. Az-Zariyat: 21). Begitu juga Alquran
menjelaskan tentang indera sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan; “Bukankah
Kami menunjukkan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan Kami
telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Q.S. Al-Balad:8-10).
Lebih tegas lagi pernyataan tentang jiwa disebutkan, “Dan jiwa serta
penyempurnaannya (Ciptaanya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketaqwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotoringnya” (QS. Asy.Syams: 7-
10) (Imam Syafi’ie, 2000).
3. Teori Ekonomi
Suasana positivisme, di mana proses industrialisasi dan perkembangan ilmu-ilmu
terjadi secara bersamaan, memang wajar apabila lalu menimbulkan ilmu ekonomi.
Adalah kaum phisiokrat yang dapat dipandang sebagai perintis pertama dari ilmu
ekonomi ini, yang kemudian juga mengalami perkembangan yang majemuk pula.
Phisiokrasi sesungguhnya dilandasi oleh motivasi wawasan bahwa kodrat ini
harus dikuasai untuk kemajuan dan kesejahteraan manusia berdasarkan atas
kekuatan pemikiran dan ilmu.
Perkembangan ini jatuh bersamaan pula dengan suasana yang diwarnai oleh
semangat Aufklarung yang amat mementingkan kemerdekaan (freedom of
thoughts, freedom of expression, freedom of life). Di samping itu evolusionisme
juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan ini sehingga dalil
perkembangan yang natural, seleksi alamiah, kompetesi dari survival of the fittest
sebagai proses alamiah menuju kepada kesejahteraan masuk pula kedalam
pemikiran ekonomi. Hasilnya adalah yang memiliki faktor-faktor produksi
mempunyai kemungkinan dan kesempatan untuk makin berkembang kuat yang
tidak kuat menjadi lengkap atau menjadi tidak berarti lagi. Dalam suasana ini akan
timbullah pemikiran tentang kapitalisme dan berada di dalam proses evolusi dan
juga menjadi makin kompleks dan interdepeden. Yang jelas kedua pemikiran
tersebut dilahirkan dan dipacu oleh satu alam pikiran yang sama yaitu Aufklarung
dan Positivisme.
Keduanya mempunyai wawasan untuk mengubah untuk maju, bekerja, menguasai
alam (artinya tidak ada kapitalisme tanpa ajaran mengenai kerja, tak ada pula
sosialisme yang tumbuh tanpa disertai ajaran mengenai kerja, sebagai tuntutan
fundamental). Yang penting bagi perkembangan epistemologi di dalam
perkembangan ini adalah terjadinya gejala ekonomisme atau yang oleh sementara
disebut sebagai determinisme ekonomi. Adalah ekonomi yang merupakan faktor
satu-satunya yang menentukan segalanya menentukan manusia, masyarakat dan
kebudayaan, menentukan pengetahuan, ilmu, theologi, filsafat dan ideologi.
Adalah faktor ekonomi yang menjadi sumber pengetahuan dan kriteria kebenaran
dan kepastian. Kekeliruan dari determinisme ekonomi ini, seperti halnya dengan
pandangan-pandangan lain di atas adalah memutlakkan hal yang pada hakikatnya
tidak mutlak. Dogmatiosme dan determinisme seperti ini dengan sendirinya
menjurus kepada relativisme dogmatik (Pranarka, 1987).
Ilmu sebagai aktivitas manusia, setidak-tidaknya mencakup aspek rasional
kognisi dan teleogi (The Liang Gie, 1996) untuk meneliti alam semesta yang
termasuk di dalamnya manusia. Di sini nampak bahwa manusia menjadi subyek
(peneliti) karena dalam ayat tersebut, yang diperintah untuk meneliti adalah
Muhammad saw (manusia), sedang yang menjadi obyek untuk diteliti adalah
tentang kejadian manusia.
Sejak awal AlQur’an menegaskan bahwa dalam aktivitas penelitian seorang
peneliti harus selalu mengingat Tuhan yang telah menciptakannya,
‘bismirabbika” (demi karena Allah). Hal ini membedakan antara konsep Barat
pada umumnya dengan konsep Al-Qur’an dalam aktivitas penelitiannya dengan
konsep Al-Qur’an dalam aktivitas penelitian untuk mencapai kebenaran (Imam
Syafi’ie, 2000).
D. Mengarahkan Ilmu Secara Islami
Telah terjadi perdebatan panjang tentang tujuan ilmu pengetahuan sendiri
merupakan tujuan pokok bagi orang yang menemukannya dan mereka ungkapkan hal
ini dengan ungkapan “ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan”, sebagaimana
mereka katakan “seni untuk seni” dan “sastra untuk sastra”. Sementara yang lain
berpedapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambah kesenangan
manusia dalam hidupnya di dunia ini. Sedangkan sebagian yang lain lagi cenderung
menjadikannya sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi
umat manusia secara keseluruhan (Ali Abdul Azhim, 1989).
Al-Qur’an menjadikan ilmu pengetahuan bukan hanya untuk mencapai
kebenaran dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini, melainkan lebih
jauh dari itu adalah untuk mencapai keselamatan, ketenangan serta kebahagiaan hidup
di balik kehidupan dunia yang fana ini, yaitu kehidupan di akhirat. Mereka hanya
mengetahui yang nampak saja dari kehidupan manusia, sedangkan kehidupan akhirat
mereka lalaikan (QS. Ar-Rum :6-7). Bukankah akhirat itu lebih baik daripada (yang)
pertama (dunia) (Q.S. Ad-Duha:3).
Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa, mati bukanlah akhir dari sebuah
kehidupan dan bukan pula merupakan akhir sebuah perputaran. Akan tetapi mati
merupakan akhir sebuah perputaran. Akan tetapi mati merupakan tahap perpindahan
ke alam lain yang tidak dapat diketahui dengan inderawi sebab hal ini menyangkut
masalah gaib (Imam Syafi’ie, 2000).
Buku Almagest dikenal oleh orang Eropa menjelang akhir abad XII dalam
terjemahan bahasa Arab yang dilakukan oleh cendekiawan muslim. Oleh karena
naskah terjemahan itu tidak memuaskan, Kardinal Bessarion menugaskan pada
Georgius Peurbach untuk menyuntingnya. Tetapi, sebelum tugas itu diselesaikan
Peuerbach meninggal dunia dalam tahun1461. tugasnya lalu diselesaikan oleh
muridnya bernama Regiomonttanus. Dalam tahun 1496 buku itu terbit dalam bahasa
Latin sehingga kaum terpelajar di Eropa dapat membacanya. Judul Almagest menurut
sejarahnya berasal dari judul aslinya dalam bahasa Yunani Kuno Megale mathematike
syntaxis yang kemudian ditulis juga megiste syntaxis (Susunan yang Terbesar). Dalam
terjemahan bahasa Arab oleh cendekiawan itu beralih ke dalam bahasa Latin lalu
menjadi Almagestum (The Liang Gie, 2003).
Dewasa ini sains dan teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang
memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk
eksistensinya sendiri. Dan hal ini kadang-kadang harus dibayar mahal oleh manusia
yang kehilangan sebagian arti kemanusiaannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa ilmu
sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan
manusia itu sendiri (Jujun S. Suriasumantri, 1994). Jadi ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumani-sasi namun bahkan mengubah hakekat kemanusiaan itu sendiri atau
dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk mencapai tujuan hidupnya melainkan juga
menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Bila demikian halnya, maka ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya; untuk
apa sebenarnya ilmu pengetahuan digunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan
semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo
dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuwan yang hidup pada abad ke dua
puluh bahkan sebentar lagi memasuki abad kedua puluh satu ini yang telah mengalami
dua kali perang dunia dan bayang-bayang perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan
tersebut tidak dapat dielakkan (Imam Syafi’ie,2000).
Di lingkungan masyarakat akademis sering muncul pendapat sebagai alternatif
untuk mengantisipasi masa transisi tersebut.
1. Pendapat sebagaimana sering dikemukakan oleh (Alm) Sutan Takdir Alisyahbana
yang menyatakan bahwa kita harus merebut dan menguasai budaya barat, yaitu
budaya renaissance yang mengandung unsur-unsur kebebasan, inidivulisme,
rasionalisme, optimisme, kreatif dan inovatif. Suatu perangkat budaya yang telah
dapat menghantarkan masyarakat Barat sebagai negara maju, pemilik dan penguasa
iptek, berkat tiada hari tanpa temuan-temuan baru yang bermunculan secara
kronologis bersambung dan berdampingan sebagai alternatif. Masa depan akan
semakin dikuasai Iptek sehingga apabila bangsa Indonesia ingin survive, maka harus
menguasai budaya Barat tersebut.
2. Pendapat ala Karl Popper yang menyatakan bahwa tidak ada desain manapun yang
mampu merekayasa masa depan. Masa depan akan semakin dikuasai Iptek yang
implikasinya masa depan akan semakin cepat mengalami perubaha. Setiap rekayasa
pasti segera akan kadaluwarsa, ketinggalan zaman.
Iptek sendiri akan sulit diramalkan ke mana arah perkembangannya karena
manusia sebagai pengendali Iptek sulit diramalkan tingkah laku dan arah ambisinya.
Panta rhei kai uden meni kata sang filsuf Heracleitos di abad ke-3 SM; the certain
one now is uncertainty kata Alvin Toffler, dan John Naisbitt menambahkannya
dengan the constant one now is changing.
Sesuai dengan komitmen kita untuk melaksanakan pembangunan sebagai
pengamalan Pancasila maka kita harus dapat menyusun strategi kebudayaan, yaitu
suatu strategi pembangunan yang menggunakan nilai-nilai budaya kita sendiri sebagai
kerangka acuan untuk membentuk manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya (Koento Wibisono, 1997).
Ilmu, dengan berbagai cabangnya terus berkembang. Akan tetapi sejalan
dengan perkembangan itu, ilmu sebagai gejala yang makin nyata dalam kehidupan
manusia terus dan makin dipersoalkan dan dipelajarinya. Ini menunjukkan bahwa
orang tidak puas dengan jawaban yang ada. Sementara orang belum puas juga dengan
keterangan yang diberikan mengenai ilmu, persoalan barupun timbul pula. Pada
mulanya, ilmu hampir identik dengan apa yang disebut pengetahuan. Lama kelamaan,
ilmu makin membedakan dirinya dengan pengetahuan biasa. Ketika orang menyadari
bahwa ilmu itu berbeda dengan pengetahuan biasa, dan makin rumit tanda-tanda
gejalanya, maka orang pun mulai mempertanyakan hakikat ilmu itu. Maka
berkembanglah filsafat ilmu (Dawam Rahardjo, 1990).
Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Dengan ilmu
manusia berupaya untuk mendeskripsikan alam dan kehidupan sebagaimana adanya
dengan tujuan menemukan penjelasan yang memungkinkan manusia untuk dapat
meramalkan dan mengontrol objek tersebut (Suriasumantri, 1996). Ilmu memang
mengandung arti “pengetahuan” dan demikianlah kata “ilmu” itu diterjemahkan
dalam berbagai ayat Al-Qur’an (Imam Syafi’ie, 2000).
Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Maka
isi ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan; ilmu pendidikan Islam
merupakan kumpulan teori tentang pendidikan berdasarkan ajaran Islam. Jadi Ilmu
pendidikan Islam didalamnya mengandung makna yaitu mendapatkan ilmu yang
amaliyah dan mengamalkan ibadah yang ilmiah. Hal ini dikatakan karena sesuai
dengan isi ajaran Islam itu sendiri (Akrim, 2020)
Di sini dapat dipahami bahwa tujuan akhir dari pendidikan Islam sejatinya
adalah Allah, Sang Pendidik Pertama, yang menjadi pusat untuk mendidik,
mengontrol dan membimbing manusia. Maka, tema pemerdekaan dan pembebasan
dalam konsepsi pendidikan Islam adalah memotivasi semua aspek manusiawi untuk
mencapai kebaikan dan kesempurnaan yang berujung pada penyerahan diri secara
mutlak kepada Allah. (Sulasmi, 2020)
BAB III
KESIMPULAN
Hal lain yang mempengaruhi perkembangan ini adalah tumbuhnya ilmu yang
menjadi majemuk, terutama yang berkenaan dengan pandangan-pandangan mengenai
manusia, dunia, masyarakat, moral, politik, negara dan hukum. Lalu tumbuhlah kenginan
untuk membangun science of ideas, yaitu ilmu yang memuat pandangan-pandangan dari
aliran-aliran pemikiran besar yang ada. Ideologi adalah menjadi bagian dari struktur
masyarakat yang diwarnai oleh pertentangan kelas. Ideologi menjadi bagian dari ajaran
konflik. Ideologi menurut Marx adalah teori-teori yang dikembangkan, diciptakan dan
dimanfaatkan oleh pemegang kekuasaan untuk mempertahankan status quo, sebagai
sebuah bangunan atas.
Dewasa ini sains dan teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang
memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk
eksistensinya sendiri. Dan hal ini kadang-kadang harus dibayar mahal oleh manusia yang
kehilangan sebagian arti kemanusiaannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa ilmu sudah
berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu
sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumani-sasi namun bahkan
mengubah hakekat kemanusiaan itu sendiri atau dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk
mencapai tujuan hidupnya melainkan juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Bila demikian halnya, maka ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya; untuk apa
sebenarnya ilmu pengetahuan digunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam
ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan
seangkatannya; namun bagi ilmuwan yang hidup pada abad ke dua puluh bahkan sebentar
lagi memasuki abad kedua puluh satu ini yang telah mengalami dua kali perang dunia dan
bayang-bayang perang dunia ketiga.
DAFTAR FUSTAKA