Anda di halaman 1dari 11

AKSIOLOGI: NILAI KEGUNAAN ILMU

MAKALAH

OLEH
Detia Aulia Oktarina 06012682226003

Mata Kuliah: Filsafat Ilmu


Dosen Pengasuh: 1. Prof. Dr. Mulyadi Eko Purnomo, M.Pd.
2. Ernalida, S.Pd., M.Hum., Ph.D.

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA


PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PEDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2022
1. Pendahulun
1.1 Latar Belakang
Ilmu memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan
adanya ilmu pengetahuan manusia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mudah.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri jika ilmu juga berperan dalam peradapan manusia. Banyak
hal dalam kehidupan manusia yang sangat bergantung dengan ilmu, misalnya pemberantasan
penyakit, masalah kemiskinan, masalah kelaparan, dan berbagai permasalahan lain yang bisa
diatasi dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan,
manusia dapat merasakan kemudahan-kemudahan lain seperti adanya transportasi,
pemukiman, sekolah, media komunikasi, dan masih banyak lagi. Secara garis besar ilmu
pengetahuan merupakan sarana untuk membantu manusia mencapai tujuan hidupnya.

Perkembangan ilmu pengetahuan telah sangat berjasa dalam kehidupan manusia.


Namun, perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat ini secara perlahan telah merubah
hakikat manusia. Suriasumantri (2010:231) mengemukakan jika saat ini ilmu bahkan sudah
berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu
sendiri. Ilmu bukan lagi sekedar sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Sebenarnya sejak
saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam
perspektif atau pandangan yang berbeda. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif
bagi peradapan manusia.

Perkemabangan ilmu pengetahuan memerlukan moral di dalamnya. Bukan sebagai


pihak yang berlawanan melainkan sebagai pendamping dari ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan tanpa adanya moral dapat menyebabkan kesengsaraan bagi
umat manusia. Ambil saja contoh perang dunia pertama dan kedua, kedua perperangan
tersebut memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk mengembangkan senjata yang bisa
menaklukan pihak lawan. Oleh sebab itu seorang ilmuan perlu mengetahui tanggung jawab
sosial seorang ilmuan selaku yang mengembangkan pengetahuan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, permasalahan yang dibahas dalam makalah ini, yaitu
sebagai berikut.

1) Bagaimanakah ilmu dan moral?


2) Bagaimanakah tanggung jawab sosial ilmuan?

3) Bagaimanakah revolusi genetika?

1.3 Tujuan

1) Mendeskripsikan ilmu dan moral.

2) Mendeskripsikan tanggung jawab sosial ilmuan

3) Mendeskripsikan revolusi genetika.


2. Pembahasan

2.1 Ilmu dan Moral

Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sitematis, konsisten, dan
kebenarannya dapat diuji secara empiris. Kasmadi (dikutip Ihsan, 2010:115--116)
mengemukakan sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, apabila dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut.
1. Ilmu harus mempunyai objek, berarti kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai
adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya
2. Ilmu harus mempunyai metode, berarti untuk mencapai kebenaran yang objektif, ilmu
tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi
3. Ilmu harus sistematik, berarti dalam memberikan pengalaman, objeknya dipadukan secara
harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur
4. Ilmu bersifat universal, berarti kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak bersifat
khusus melainkan berlaku umum
Sementara itu, Ihsan (2010:271) mengungkapkan jika kata moral dalam bahasa
Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat
menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian,
kadar/mutu, sifat-sifat yang penting/berguna) dan moral serta permasalahan-permasalahan
yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral yang terkait dengan nilai-nilai baik dan
buruk.

Suriasumantri (2010:229) mempertanyakan satu konsep yang berkembang di


masyarakat. Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran,
makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia yang memiliki penalaran
tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, atau
sebaliknya, makin cerdas seseorang maka makin pandai Ia berdusta.

Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika
Copernicus (dalam Suruasumantri, 2010:233) mengajukan teorinya tentang kesemestaan
alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari“ dan bukan
sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran suatu agama, maka timbulah interaksi antara
ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara
metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya (netralitas ilmu), sedangkan di
pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-
nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama.
Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran
metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh
pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi
matahari (Sumantri, 1996).

Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional


yang bersifat kontemplatif disusul penerapan–penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah
praktis (bersifat manipulatif) atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat
abstrak menjelma dalam bentuk kongkrit yang berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral
berlanjut.

Pada tahap manipulasi masalah moral muncul kembali. Jika dalam kontemplasi
masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah
moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Secara filsafati dapat dikatakan
bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi
ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang
ditinjau dari segi aksiologi keilmuan(kegunaan ilmu).

Tidak dapat dipungkiri peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan
teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa
dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan
dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan
komunikasi. Namun dalam kenyataannnya apakah ilmu selalu merupakan berkah, dan bukan
musibah yang membawa manusia dalam malapetaka dan kesengsaraan.

Sejak dalam tahap-tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang.
Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama
manusia. Berbagai macam senjata pembunuh berhasil dikembangkan dan berbagai teknik
penyiksaan diciptakan.

Saat ini ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “ Bukan lagi Goethe yang
menciptakan Faust, “ meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal Carl GustavJung, “
melainkan Faust yang menciptakan Goethe.“ (Suriasumantri,1996)
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak ini menyebabkan para ilmuan terbagi kedalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama menginginkan ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai, secara ontologis
maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuan adalah menemukan pengetahuan dan terserah
pada orang lain menggunakannya untuk kabaikan atau keburukan. Golongan kedua
sebaliknya, mereka berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya terbatas
pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek
penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Golongan kedua ini
ingin agar ilmu pengetahuan berkembang sesuai moral dan perkembangannya harus demi
kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat manusia.

2.2 Tanggung Jawab Sosial Ilmuan

Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka
akan diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarkat
tertentu. Dengan kata lain, pencipta ilmu bersifat individual namun komunikasi dan
pengguanaan ilmu bersifat sosial. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan
ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton atau Edison dapat mengubah wajah
peradaban. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang besifat
terbuka menjadi proses pengembangan yang bejalan sangat efektif.

Jelas bahwa seseorang ilmuan memiliki tanggung jawab sosial yang terpikul di
bahunya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat
secara langsung di masyarakat dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku
ilmuan tidak berhenti pada penelahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuan sapai dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Secara historis fungsi sosial dari kaum ilmuan telah lama di kenal dan diakui. Raja
Charles II dari Inggris mendirikan The Royal Society yang bertindak selaku penawaran bagi
fanatisme di masyarakat itu. Para ilmuan pada waktu itu bersuara mengenai toleransi
beragama dan pembakaran tukang-tukang sihir. Akhir-akhir ini dikenal nama seperti Andre
Sakharov yang bukan saja mewakili sikap pribadinya namun pada hakikatnya mencerminkan
sikap kelembagaan profesi keilmuan dan menanggapi masalah-masalah sosial. Dalam
membahas ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab seorang ilmuan, maka hal ini dapat
dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Sikap sosial seseorang ilmu adalah kosisten
dengan proses penelahan keilmuan yang dilakukan. Sering dikatakan orang bahwa ilmuan itu
terbatas dari sistem nilai. Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu itu terikat atau bebas dari
ilmu nilai-nilai tertentu, semua itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang
bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan.

Semua penelahan ilmiah dimulai dengan menentukan masalah dengan demikian jaga
halnya dengan proses pengembilan keputusan dalam hidup bermasyarakat. Apakah mungkin
suatu masalah di selesaikan sekiranya masyarakat itu sendiri tidak sadar akan kepentingannya
masalah tersebut? Beberapa masalah sedemikian rumit sehingga masyarakat tidak dapat
meletakan dalam proporsi yang sebenarnya. Katakanlah umpamanya mengenai keselamatan
sistem pembangkit tenaga listrik yang mempergunakan tenaga nuklir. Sukar bagi masyarakat
awam untuk menyadari seberapa jauh tindakan pengamanan telah dilakukan. Apakah lokasi
telah tepat di tinjau dari tempat pemukiman yang padat. Bahaya apakah yang mungkin
menimpa. Tindakan penyelamatan apakah yang harus dilakukan. Perlu masyarakat
mengetahui tindakan-indakan penyelamatan ini.

Pada permasalahan tersebut maka peranan ilmuan menjadi sesuatu yang imperatif.
Dialah yang mempunyai latar belakang pengatahuan yang cukup untuk dapat menepatkan
masalah tersebut pada proporsiyang sebenarnya. Oleh sebab itu, dia mempunyai kewajiban
sosial untuk menyampaikan hal itu kepada masyarakat bersikap ekstrem. Pada satu pihak
mereka bisu karena ketidak tahuan mereka, sedangkan dipihak lai mereka bersikap radikal
dan irasional. Sikap terakhir ini umpamanya dicerminkan dengan keinginan untuk
menghancurkan system pembangkit tenaga listrik tersebut apapun juga alasan eksistensinya.
Tanggung jawab sosial seseorang ilmuwan dalam hal ini adalah memberikan perspektif
untung dan ruginya, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat di
mungkinkan.

Mungkin pula terjadi masyarakat telah merasakan adanya masalah tertentu yang perlu
dipecahkan namun karena satu dan lain hal masalah itu belum muncul ke permukaan dan
mendapatkan dukungan. Dalam hal seperti ini maka seorang ilmuan harus tampil ke depan
dan berusaha mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah tersebut. Seorang ilmuwan
tepanggil dalam tanggung jawab sosial mengenai hal ini argumentatif berdasarkan
pengetahuan yang dia miliki.
Pada bidang lain mungkin terjadi bahwa masalah itu baru akan timbul yang di
sebabkan proses yang sekarang sedang berjalan. Ilmuan berdasarkan pengetahuannya
memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah
yang akan terjadi dengan keilmuan sekarang. Apakah sistem pendidikan kita memungkinkan
negara kita mengejar keterbelakangan di bidang ilmu dan teknologi dilakukan.

Kemampuan analisis seorang ilmuan mungkin pula menemukan alternatif dari objek
permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Bertrand Rusellel umpamanya
mengemukakan sebagai contoh yang dipakai untuk persenjataan dapat di pergunakan untuk
meningkatkan dan mendistribusikan bahan makanan serta mengurangi ledakan penduduk.
Kemampuan analisis seorang ilmuan dapat dipergunakan untuk mengubah kegiatan
nonproduktif menjadi kegiatan deduktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.

Singkatnya dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuan harus dapat


mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari.
Pikiran manusia bukan saja dapat di pergunakan untuk menemukan dan mempertahankan
kebenaran naamun sekaligus dapat di pergunakan untuk menemukan dan mempertahankan
hal-hal yang tidak benar. Seorang manusia biasanya bedalih untuk menutupi-menutupi
kesalahannya baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Dalih yang bebahaya
adalah rasionalisasi yang di susun secaara sistematis dan menyakinkan.

Bagaimana sikap seorang ilmuwan menghadapi cara berpikir yang keliru ini. Seorang
ilmuan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan
saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi
yang menjadi bahan pemikiran nya di kaji dengan teliti. Kelebihan seorang ilmuaan dalam
berpikir secara teratur dan inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial.
Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya dia mengetahui bahwa berpikir mereka itu
keliru, dia harus menjelaskan dimana mereka keliru, apa yang membuat mereka keliru dan
yang penting lagi, harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.

Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang
ilmuan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis
seorang ilmuan. Dibidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuan bukan lagi
memberikan informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana
bersikap objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam
pendirian yang dianggapnya benar, dan berani mengakui kesalahan.

2.3 Revolusi Genetika

Ilmu dalam perspektif sejarah kemanusiaan memiliki puncak kecemerlangan masing-


masing, namun kecemerlangan tersebut sekaligus membawa kutukan dan malapetaka.
Contohnya kimia sebagai kegiatan pseudo-ilmiah dengan tujuan mencari obat mujarab untuk
hidup abadi dan rumus campuran untuk mendapat emas menghadirkan bom kuman pada
Perang Dunia I, sedangkan fisika dengan teori fisika nuklirnya menghasilkan bom atom pada
Perang Dunia II.

Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab
sebelumnya ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelitian. Hal ini bukan
berarti sebelumnya tidak pernah ada penelitian ilmiah yang berkaitan dengan jasad atau organ
manusia, namun penelitian yang ada bermaksud untuk mengembangkan IPTEK dan tidak
membidik manusia sebagai objek langsung. Contohnya jika kita meneliti jantung maka hal itu
dimaksudkan untuk mengembangkan IPTEK dan memberi kemudahan dalam menghadapi
gangguan-ganguan jantung. Namun yang terjadi manusia tidak lagi meneliti organ-organ
manusia untuk menciptakan teknologi yang memudahkan manusia melainkan untuk
mengubah manusia itu sendiri. Lalu mungkinkah perubahan-perubahan itu sendiri secara
moral dapat dibenarkan.

Jawabannya harus dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu berfungsi
sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Tujuan
hidup ini berkaitan dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri , bersifat otonom dan terlepas dari
kajian dan pengaruh ilmiah. Jadi kesimpulannya jangan jamah kemusiaan itu sendiri.

Analisis subtantif dari pemikiran tersebut membawa kita pada masalah seperti,
seandainya kita ingin membuat manusia yang IQ-nya 160 apakah ilmu dapat memberikan
jaminan bahwa dia akan berbahagia. Dalam hal ini ilmu tidak bisa memberikan jawaban yang
bersifat apriori (sebelumnya) sebab kesimpulan ilmiah baru bisa ditarik setelah proses
pembuktian yang bersifat aposteriori (sesudahnya). Ilmuan harus mencobanya terlebih dahulu
baru kemudian tahu jawabannya, mungkin demikian jawaban para ahli genetika. Hal ini baru
berhubungan dengan salah satu aspek dari hakiakat kemanusiaan, padahal hakikat
kemanusiaan itu sangat kompleks, yang satu dengan yang lain tidak terjalin dalam hubungan
rasional yang dapat dianalisis secara kuantitatif serta melibatkan psikis, emosional dan
kepribadian manusia.

Bila diingat secara moral mungkin saja orang tidak sependapat bahwa kemuliaan
manusia tidak ada hubungannya dengan IQ 160. Kemuliaan manusia bagi sebagian orang
bukan terletak pada atribut fisik melainkan amal perbuatannya. Demikian juga mungkin saja
atribut- atribut fisik itu memiliki makna (religius) tertentu dalam perspektif kehidupan yang
bersifat teleologis. Bahkan jika ilmu bisa menjawab segudang pertanyaan mengenai kausalita
fisik, ilmu tidak berhak menjamah kemanusiaan yang bersifat transendental.

Pembahasan tersebut didasari asumsi bahwa penemuan riset genetika akan digunakan
dengan itikad baik untuk keluhuran manusia. Lalu bagaimana jika penemuan itu jatuh kepada
pihak yang tidak bertanggung jawab dan menggunakannya untuk kepentingan sendiri yang
bersifat destruktif. Melihat pemasalahan genetika dari sudut ini makin meyakinkan kita
bahwa akan lebih banyak keburukan dibandingkan dengan kebaikannya jika hakikat
kemanusiaan mulai dijamah. kesimpulan dari seluruh pembahasan ini, yaitu dengan
menyatakan sikap menolak untuk menjadikan manusia sebagai objek penelitian genetika.
Secara moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu objek yang tercakup dalam objek
formal (ontologis) ilmu.

3. Penutup

Ilmu pengetahuan dikembangkan untuk membantu manusia. Namun, seiring


perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi yang dikembangkan justu merubah kemanusiaan
itu sendiri. Banyak dampak positif yang diperoleh dari perkembangan ilmu, namun banyak
pula dampak negatif yang merugikan manusia. Oleh sebab itu, perkembangan ilmu
pengetahuan perlu didampingi dengan nilai-nilai moral untuk mempertahankan hakikat dan
sisi kemanusiaan. Hal ini menjadi tanggung jawab bagi para ilmuan untuk menjaga dan
memberikan pemahaman ke pada masyarakat awam untuk mengetahui dampak-dampak
negatif yang dapat terjadi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan tekno logi yang pesat.
DAFTAR PUSTAKA

Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta.


Suriasumantri, J. S. (2010). Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Anda mungkin juga menyukai