Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, seiring banyaknya tuntutan keperluan
hidup manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan
ilmu itu, karena tidak ada seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk
menghambat implikasi negatif dari perkembangan ilmu.
Kita tentu sudah sering mendengar kata Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau yang
sering disingkat dengan IPTEK. IPTEK merupakan makanan sehari-hari manusia sekarang
ini. Telepon seluler, komputer, internet, dan lain-lain. Tanpa adanya IPTEK kehidupan sosial
manusia menjadi terhambat. Atas dasar kemampuan kreatifitas berpikir, manusia dapat
mengembangkan IPTEK dari waktu ke waktu. Segala kemudahan mulai dari transportasi,
telekomonikasi sampai pendidikan tak luput dari peran IPTEK.
IPTEK dan moral adalah dua kata yang memiliki makna berbeda namun sebenarnya
kedua makna kata tersebut saling melengkapi dan berhubungan erat dengan kepribadian
seseorang. Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika
Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan
bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti yang
dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang
bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di
luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama.
Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran
metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh
pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi
matahari.
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang
bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis
atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk
konkret yang berupa teknologi, konflik antarilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui,
dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala
alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi
faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses
1
yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap
“kontemplasi ke manipulasi”.
Dalam tahap manipulasi ilmu, masalah moral muncul kembali. Jika dalam kontemplasi
masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah
moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah atau secara filsafat dapat
dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau
dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah
moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Filosof beragama biasanya menempatkan kebenaran berpikir manusia berada di bawah
kebenaran transenden. Sebagai sebuah produsen moralitas dan etika, tak bisa disangkal bahwa
doktrin agama akan mengarahkan seseorang untuk merefleksikan penemuan atau penciptaan
sebuah ilmu. Euthanasia, aborsi, kloning dan penerbangan ke bulan atau produksi tenaga
nuklir merupakan beberapa contoh hasil perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk
menciptakan tatanan manusia yang lebih baik dan beradab, Ketidakmanusiaan merupakan
pelanggaran terhadap etika seorang ilmuwan. Profesi dokter di Indonesia misalnya, terbatasi
oleh etika-aturan yang terakumulasi dalam etika profesi dokter. Tidak dibenarkan, misalnya,
seorang dokter yang sedang melakukan penelitian virus HN51 menyebarkannya ke
lingkungan masyarakat sekitar untuk mencari obat penawarnya.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian ilmu pengetahuan, teknologi, dan moral.
2. Untuk mengetahui hubungan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan moral.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Ilmu pengetahuan, teknologi adalah studi tentang bagaimana nilai-nilai sosial, politik, dan
budaya mempengaruhi penelitian ilmiah dan inovasi teknologi, dan bagaimana, pada
gilirannya, mempengaruhi masyarakat, politik, dan budaya. Perkembangan dunia IPTEK yang
demikian pesatnya telah membawa manfaat luar biasa bagi kemajuan peradaban umat
manusia. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik cukup besar, kini
relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis.
Sistem kerja robotis telah mengalihfungsikan tenaga otot manusia dengan pembesarandan
percepatan yang menakjubkan. Begitupun dengan telah ditemukannya formulasi-formulasi
baru aneka kapasitas komputer, seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak
manusia dalam berbagai bidang ilmu dan aktivitas manusia. Ringkas kata, kemajuan IPTEK
yang telah kita capai sekarang benar-benar telah diakui dan dirasakan memberikan banyak
kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan umat manusia.
Bagi masyarakat sekarang, IPTEK sudah merupakan suatu religion. Pengembangan
IPTEK dianggap sebagai solusi dari permasalahan yang ada. Sementara orang bahkan
memuja IPTEK sebagai liberator yang akan membebaskan merekadari kungkungan kefanaan
dunia. IPTEK diyakini akan memberi umat manusia kesehatan, kebahagiaan, dan imortalitas.
Sumbangan IPTEK terhadap peradaban dan kesejahteraan manusia tidaklah dapat dipungkiri.
Namun manusia tidak bisa pula menipu diri akan kenyataan bahwa IPTEK mendatangkan
malapetaka dan kesengsaraan bagi manusia. Dalam peradaban modern yang muda, terlalu
sering manusia terhenyak oleh disilusi dari dampak negatif IPTEK terhadap kehidupan umat
manusia. Kalaupun IPTEK mampu mengungkap semua tabir rahasia alam dan kehidupan,
tidak berarti IPTEK sinonim dengan kebenaran. Sebab IPTEK hanya mampu menampilkan
kenyataan. Kebenaran yang manusiawi haruslah lebih dari sekedar kenyataan obyektif.
Kebenaran harus mencakup pula unsur keadilan. Tentu saja IPTEK tidak mengenal moral
kemanusiaan, oleh karena itu IPTEK tidak pernah bisa menjadi standar kebenaran ataupun
solusi dari masalah-masalah kemanusiaan.

2.2 Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala
alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Penjelasan ini akan memungkinkan kita untuk
meramalkan apa yang akan terjadi. Ilmu dan kebenaran ibarat dua sisi dari sekeping mata
3
uang. Dengan kata lain, “if one were to speak about truth or reality one has to investigate how
to know what reality is”. Netralitas ilmu itu sendiri bersifat netral tidak mengenal baik atau
buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang mempunyai sikap.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari usaha-
usaha manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk
menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi, serta mengembangkan dan melestarikan
hasil-hasil yang dicapai manusia sebelumnya.
Pada umumnya orang selalu memahami bahwa teknologi itu bersifat fisik, yakni yang
dapat dilihat secara indrawi. Teknologi dalam arti ini dapat diketahui melalui barang-barang,
benda-benda, atau alat-alat yang berhasil dibuat oleh manusia untuk memudahkan realisasi
hidupnya di dalam dunia. Hal mana juga memperlihatkan tentang wujud dari karya cipta dan
karya seni (Yunani: techne) manusia selaku homo technicus. Dari sini muncullah istilah
“teknologi”, yang berarti ilmu yang mempelajari tentang “techne” manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 1158) Teknologi adalah; 1) Metode
ilmiah untuk mencapai tujuan praktis ilmu pengetahuan terapan 2) Keseluruhan sarana untuk
menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup
manusia.
Sebagian aktivitas manusia, teknologi mulai sebelum sains dan teknik. Filsafat dan
IPTEK adalah dua hal yang saling berhubungan. Secara historis, kelahiran ilmu pengetahuan
berawal dari filsafat, begitu juga sebaliknya filsafat ilmu juga semakin berkembang seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini, pemikiran manusia juga
mengalami perkembangan linear, dahulu masyarakat Yunani kuno mendasari pemikiran
mereka dengan mitos, kemudian berkembang menjadi lebih rasional dengan paham teologi
mereka, pemikiran inipun terus berkembang sampai melahirkan science dan teknologi yang
dapat dirasakan manfaatnya sampai sekarang.
Awalnya ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu dianggap sebagai sesuatu yang identik,
dalam artian ilmu pengetahuan merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi mengenai
ilmu juga bergantung pada sistem filsafat yang dianut padasaat itu. Setelah abad ke-17,
sejalan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan danteknologi maka mulailah terjadi
pemisahan antara filsafat ilmu dan IPTEK. Pemisahan ini dapat dianalogikan sebagai sebuah
pohon yang terus berkembang, dimana filsafat ilmu berperan sebagai batang induknya dan
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai cabangnya. Cabang ini terus berkembang
membentuk ilmu-ilmu baru yang juga melahirkan sub-sub ilmu yang sifatnya lebih khusus.
Tiap-tiap cabang lalu memisahkan diri dari batang induknya, yaitu filsafat ilmu yang
kemudian berkembang sesuai metodologinya masing-masing. Walaupun cabang-cabang ilmu
4
pengetahuan ini berbeda, akan tetapi mereka tetap berhubungan satu sama lain karena berasal
dari satu batang induk yang sama.

2.3 Pengertian Moral


Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan
bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu
kebiasaan, adat.
Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’
sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu
kebiasaan, adat.
Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata
‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa
asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita
mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap
perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam
masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang
tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula perbedaannya,
yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis.
Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara
universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika
menjelaskan ukuran itu.
Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan.
Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau
buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran moral
tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan
berlangsung di masyarakat.
Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai
manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia
dinilai dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma moral dijadikan sebagai tolak
ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya sebagai
manusia.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama
dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”,
5
artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah
sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Menurut Kondratyev (2000), moralitas adalah kesadaran akan loyalitas pada tugas daan
tanggung jawab. Moralitas berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang tidak
memiliki moralitas karena tidak memiliki kepribadian. Moralitas tidak bisa dijelaskan dengan
akal, karena itu berasal dari kepribadian manusia. Kondratyev menjelaskan lebih jauh bahwa
moralitas manusia berasal dari kehidupan keluarga. Jadi keluarga yang baik akan
menghasilkan pribadi yang memiliki moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat
mendidik moralitas. Sangat disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga yang
berantakan nilai-nilainya.

2.4 Hakikat Hubungan Moral dan Ilmu Pengetahuan


Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Jikalau hasil penemuan perseorangan tersebut memenuhi syarat-
syarat keilmuan maka ia akan diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan
dapat digunakan dalam masyarakat.
Moral merupakan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan
kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian
moral. Moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka masalah moral berkaitan dengan
cara penggunaan pengetahuan ilmiah.
Pada kenyataan sekarang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
tergantung kepada ilmu dan teknologi. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan maka pemenuhan
kebutuhan hidup manusia dapat dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah. Dengan
diciptakannya peralatan teknologi dibidang kesehatan, transportasi, pendidikan dan
komunikasi, maka mempermudah manusia dalam menyelesaikan pekerjaan untuk pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Namun dalam kenyataan apakah ilmu selalu merupakan berkah,
terbebas dari hal-hal negatif yang membawa malapetaka dan kesengsaraan.
Sejak dalam tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu
bukan saja digunakan untuk mengusai alam melainkan juga untuk memerangi sesama
manusia dan mengusai mereka. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang
memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan
eksistensinya sendiri.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi bukan saja menimbulkan gejala
dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau
6
dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai
tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri,
atau dengan perkataan lain ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun
dalam perspektif. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan
alam dan menemukan bahwa “bumi yang mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya
seperti yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral
(yang bersumber pada ajaran agama). Dari hal tersebut timbulah konflik yang bersumber pada
penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun
1633. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi
proses perkembangan berfikir di Eropa, pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu
yang terbebas dari nilai-nilai diluar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang
keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan.
Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan
penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas Nilai! Setelah
pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan
kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya
dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu dan teknologi tidak selamanya berjalan sesuai
dengan yang diharapkan yaitu dalam rangka mensejahterakan kehidupan manusia. Masalah
teknologi telah mengakibatkan proses dehumanisasi. Dari perkembangan ilmu dan teknologi
dihadapkan dengan moral, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan
pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada era Galileo
sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis
berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya
pada beberapa hal yakni: (1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh
manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-
teknologi keilmuan; (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga
kaum ilmuwan lebih mengatahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi
penyalagunaan; dan (3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat
kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki
seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial (sosial engineering).
Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus

7
ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat
kemanusiaan.

2.5 Hubungan Antara Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Moral


Sebagaimana Etika, ilmu tak bebas dari pengaruh tata nilai. Kenneth Boulding (Wilardo,
1997: 241) mengatakan bahwa sebagian besar dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam
memajukan pengetahuan adalah berkat nilainya, yang menempatkan pengabdian yang
obyektif terhadap kebenaran di jenjang yang paling luhur, dan kepadanya baik harga diri
perseorangan maupun kebanggaan nasional harus ditelutkan.
Namun, kebenaran bukanlah satu-satunya nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para
ilmuwan. Di samping itu nilai-nilai yang perlu dijadikan panduan dalam pengembangan dan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah etika keilmuan. Adalah penting
dikemukakan pesan historis Albert Einstein di hadapan para mahasiswa California Intitute of
Technology pada saat Perang Dunia II tengah berlangsung (1938), di mana patut dijadikan
pesan moral dalam pengembangan IPTEK. Einstein mengatakan bahwa: "…tidak cukup kamu
memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada
manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar
teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan darui pengaturan kerja
dan pemerataan benda -- agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan
bukan kutukan terhadap kemanusiaan".
Nilai dan tanggung jawab moral terhadap IPTEK, tentu saja menjadi satu keharusan yang
semestinya dimiliki. Tragedi lakon "Frankeisten", yang mengisahkan egoisme seorang
ilmuwan untuk menciptakan makhluk "manusia baru" dari jenazah pesakitan tanpa
mengindahkan norma dan etika seorang ilmuwan, pada akhirnya menciptakan bumerang bagi
dirinya sendiri. "Makhluk ciptaan" ilmuwan tadi kemudian membunuh "sang penciptanya" itu
sendiri, yaitu sang ilmuwan egois tadi. Hal ini sejalan dengan apa yang selalu diperingatkan
Einstein (1950) tentang bahaya penggunaan teknologi nuklir. Ia dengan pedasnya mengecam
penerapan dan penyalahgunaan senjata nuklir. Di antara pengecam bahaya penyalahgunaan
nuklir, misalnya Jacques Monod (dan 2100 ilmuwan lain yang menandatangani Deklarasi
Menton), Robert March (yang meskipun kalah tetapi sempat dan masih terus berjuang
melawan Himpunan Fisika Amerika [American Physical Society] yang berkuasa dan sok
legalistis) dan beberapa belas ilmuwan di Kampus Berkeley (yang menyelenggrakan
rangakaian kuliah tentang tanggung jawab kemasyarakatan para ilmuwan). Di samping itu
masih ada lagi, misalnya: para pengikut "Summer Science Institue" pertama tentang
hubungan timbal balik antara ilmu dan masyarakat (yang diselenggarakan di Knox College
8
dan menghasilkan seperangka resolusi tajam), Jonas Salk yang melontarkan gagasannya
tentang "sikap humanologis", dan berpuluh-puluh ilmuwan dari 50 negara yang bersama-sama
membentuk wadah kegiatannya, yakni "Perkumpulan demi Tanggung Jawab Keilmuan"
(Association for Scientific Responsibility).
Hanya dengan bersikap penuh tanggung jawab etis terhadap masyarakat (baik masyarakat
dewasa ini maupun angkatan-angkatan yang akan datang) ilmu dapat menghindarkan dirinya
dari kehilangan hak istimewanya untuk mengabdi kepada kemanusiaan. Kalau tidak
demikian, maka membayanglah resiko bahwa ilmu akan terkutuk menjadi perkakas yang
berhaya, yang bergiat demi penghambaannya kepada para jenderal yang gila perang dan
gembong-gembong kekaisaran industri yang rakus.

2.6 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif Moral


Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus
(1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi
yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam
ajaran agama maka timbulah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran
agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam
sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan
kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang
keilmuan (nilai moral), seperti agama.
Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbulah konflik yang bersumber pada penafsiran
metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh
pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi
matahari.
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang
bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis
atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk
konkret yang berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui,
dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala
alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi
faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses
yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap
“kontemplasi ke manipulasi”.
Dalam tahap manipulasi masalah moral muncul kembali. Kalau dalam kontemplasi
masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah
9
moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati dapat
dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau
dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah
moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu yang bersifat
merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Ilmuwan golongan pertama
menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis
maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan
terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu
dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Ilmuwan golongan kedua
sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada
metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah
berlandaskan pada asas-asa moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa
hal, yakni, (1) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi
keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum
ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah
penggunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan
bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus
revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan
kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral
yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas tersebut pada hakikatnya dapat
dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab
profesional dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan dalam
pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis. Tanggung jawab
profesional ini mencakup asas (1) kebenaran; (2) kejujuran; (3) tanpa kepentingan langsung;
(4) menyandarkan kepada kekuatan argumentasi; (5) rasional; (6) obyektif; (7) kritis; (8)
terbuka; (9) pragmatis; dan (10) netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam
menafsirkan hakikat realitas.
Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju secara sungguh-
sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang menyangkut asas kebenaran, kejujuran,
10
bebas kepentingan dan dukungan berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang
melakukan ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan
sanksi moral dari sesama ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan
sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan selain menjadi seorang
paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat keilmuan. Di negara kita sanksi moral ini
belum membudaya dan hal inilah yang menyebabkan suburnya upaya-upaya amoral dalam
kegiatan keilmuan.
Mengenai tanggung jawab sosial yakni pertanggung jawaban ilmuwan terhadap
masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis terhadap obyek penelaahan
keilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah terdapat dua tafsiran yang berbeda. Kelompok
ilmuwan pertama menafsirkan bahwa ilmuwan harus bersikap netral artinya bahwa terserah
kepada masyarakat untuk menentukan obyek apa yang akan ditelaah dan untuk apa
pengetahuan yang disusun kaum ilmuwan itu dipergunakan. Sedangkan kelompok ilmuwan
kedua berpendapat bahwa ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang bersifat formal
dalam mendekati kedua permasalahan tersebut di atas.
Einstein dan Socrates mungkin benar, ilmu pengetahuan ternyata juga mendatangkan
malapetaka bagi manusia. Ilmu pengetahuan politik, ekonomi, sosial, informasi dan
komunikasi, teknologi dan militer dapat saja mendatangkan kesejahteraan, sekaligus
menimbulkan malapetaka bagi manusia. Sosiolog Rene Descartes mengatakan “ilmu tanpa
moral adalah buta, moral tanpa ilmu adalah bodoh”.
Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu
(pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa serta merta
menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski demikan,
teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar
penghormatan terhadap martabat kemanusiaan
1. Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara optimal, tetapi
ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhatikan segi
kemanusiaan baik pada tataran individu maupun kelompok.
2. Peran moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni tanggungjawab moral
dan sosial. Dalam konteks ini, tanggungjawab moral menyangkut pemikiran bahwa
ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Bahwa
ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.
3. Dari sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami secara utuh tentang
kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau berada di tengah-tengah
manusia lainnya.
11
4. Perlunya ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang dikembangkan dan
digunakan manusia) seyogyanya berjalan seiring. Ketika manusia mengaplikasikan hasil
pengembangan ilmu dalam format penemuan (pengetahuan) atau teknologi baru, moral
akan mengikuti atau mengawalnya. Hal tersebut dimaksudkan bagi kepentingan
penghormatan atas martabat kemanusiaan.
Hal tersebut di atas, membuat para ilmuwan harus mempunyai sikap formal mengenai
penggunaan pengetahuan ilmiah. Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat Pancasila,
tidak mempunyai pilihan lain selain konsisten dengan sikap kelompok ilmuwan kedua, dan
secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial di kalangan ilmuwan dengan Pancasila
sebagai sumber moral (das sollen) sikap formal kita.
Tetapi dalam kenyataannya, mekanisme pendidikan di Indonesia, dengan menempatkan
kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai landasan
pembangunan negara tapi seringkali melupakan kreatifitas moralitas (pendidikan moral
agama/religius) sehingga telah menggiring Indonesia ke arah kebobrokan.

2.7 Penerapan Hubungan Antara Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Moral


Manusia sebagai manipulator dan articulator dalam mengambil manfaat ilmu
pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dai freud yang dikenal dengan nama ”id”,
”ego” dan ”super-ego”. “id” adalah kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan
biologis (hawa nafsu dan agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instik:
libido(konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “ego” adalah penyelaras penyelaras
antara ”id” dan realita dunia luar. ”super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal,
hati nurani (Jalaluddin Rahmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia yaitu sisi
angkara murka (hawa nafsu).
Moral manusia memenfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja
hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan
mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara in dan
ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu-atau juga
nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam
memanfaatkan ilmu pengetahuan- amatlah tidak mungkin kebaikan diperoleh manusia, atau
malah mungkin kehancuran. Kisah dua perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan
ozon, adalah pilihan id dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “supr-
ego”-nya.
Oleh kerena itu, pada tingkat ksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang
mutlak. Nilai ini menyangkut moral dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan
12
ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri.
Karena dalm penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka
diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu
angkara murka manusia moral hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan.
Disinilah moral menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untu meningkatkan derajat hidup serta
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan
kesuksesannya.
Moral adalah pemahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to),
benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan
teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani.
Bernaung di bawah filsafat moral, moral merupakan tatanan konsep yang melahirkan
kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan
mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh kerena itu, moral pada dasarnya
adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksanaannya
(baca: executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas moral sang subyek berhadap opsi
baik atau buruk, yang baik itulah materi kewajiban executor dalam situasi ini.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari usaha-
usaha manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk
menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi, serta mengembangkan dan melestarikan
hasil-hasil yang dicapai manusia sebelumnya.
Bila berbicara mengenai moral, maka tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia, dan
bila berbicara tentang tingkah laku, maka erat hubungannya dengan bagaimana pendidikan
yang telah didapatkan oleh seorang anak di rumah atau di sekolah. Oleh karena itu usaha yang
harus ditempuh untuk menjadikan anak sebagai manusia yang baik dalam lingkungan
pendidikan adalah penyampaian pendidikan moral (akhlak), karena akhlak merupakan
pencerminan tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Norma moral dijadikan sebagai
tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya
sebagai manusia.
Moral manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja
hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikanbahwa manfaat pengetahuan
mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dakam pertrungan antara in dan
ego, dimana ego kalah sementara super-eg0 idak berfungsi optimal, maka tentu-atau juga
nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam
memanfaatkan ilmu pengetahuan- amatlah tidak mungkin kebaikan diperoleh manusia, atau
malah mungkin kehancuran. Kisah dua perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan
ozon, adalah pilihan id dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “supr-
ego”-nya.
Dalam pengembang ilmu, para ilmuwan senantiasa memandang bahwa ilmu
dikembangkan sebagai objek yang terikat oleh nilai-nilai moral, sehingga dalam
pengembangan ilmu tersebut tidak merendahkan martabat manusia.

3.2 Saran
14
Dengan mempelajari hubungan moral dengan ilmu pengetahuan kita dapat lebih
mengetahui mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk sehingga dalam mengambil
tindakan, kita harus mempertimbangkannya terlebih dahulu agar tidak merugikan diri sendiri
dan orang lain.

15

Anda mungkin juga menyukai