TAHUN 2023 Paradigma Ilmu Bebas Nilai dan Ilmu Tidak Bebas Nilai A. Paradigma Ilmu Bebas Nilai dan Ilmu Tidak Bebas Nilai
Ilmu merupakan suatu elemen penting dalam kehidupan yang
san- gat urgen bagi manusia. Ilmu, selain sebagai sarana yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, juga sebagai jalan untuk melaksanakan fungsi hidup manusia di muka bumi. Namun demikian, ilmu dalam perkembangan dan penerapannya, juga menjadi penyebab sekian banyak tragedi kemanusiaan yang tidak terlupakan. Misalnya penemuan tentang atom yang awalnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi kebaikan hidup manusia, justru digunakan sebagai senjata pemusnah masal yang menimbulkan jatuhnya korban yang tak terhitung jumlahnya. Nilai dapat dikatakan sebagai tema baru dalam kajian ilmu filsafat, terutama pada aspek aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya. Kajian tentang nilai muncul pertamakali pada pertengahan abad ke- 19. Terkait dengan nilai ini, Plato telah membahasnya pada karya-kary- anya. Ia mengatakan bahwa keindahan, kebaikan, dan kekudusan merupakan tema yang penting bagi para pemikir disepanjang zaman. Keindahan merupakan salah satu perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia, dan cara inilah yang kemudian disebut dengan nilai. Karena itu dapat dikatakan bahwa nilai merupakan suatu tolak ukur kebaikan, keindahan serta kekudusan suatu objek tertentu. Menghadapi persoalan ini maka esensi ilmu mulai dipertanyakan, untuk apa sebenarnya ilmu dipergunakan, apakah ilmu harus dikait- kan dengan nilai-nilai moral dan mengapa? Dihadapkan pada masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak inilah para. ilmuwan terlibat dalam perdebatan panjang hingga terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menekankan bahwa ilmu harus bebas nilai dan kelompok yang memperjuangkan bahwa ilmu tidak boleh be- bas nilai. Perbedaan pendapat ini terjadi mengingat bahwa di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak dari ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu adalah manusia yang terikat kepada nilai-nilai subjektif seperti nila-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat dan sebagainya yang turut menentukan pilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.
1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai
Paradigma ilmu bebas nilai (value free) menyerukan bahwa ilmu itu bersifat otonom yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai apapun. Bebas nilai artinya segala kegiatan ilmiah harus didasar- kan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan me- nolak campur tangan faktor- faktor eksternal yang tidak secara haki- ki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penganut paradigma ini menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mem- pergunakan pengetahuan tersebut, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang bermanfaat, atau malah sebaliknya dipergunakan untuk tujuan yang mudharat. Golongan yang menganut paham ilmu tidak terikat nilai ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada masa Galileo. Mereka berpendapat bahwa objek ilmu tetaplah sebagai objek ilmiah yang harus disamakan, baik secara teoritis maupun secara met- odologis. Oleh sebab itu, ilmuwan tidak boleh membedakan apakah objek yang dihadapi ilmu tersebut merupakan bahan dari zat-zat kimia atau keseragaman peristiwa alam (uniformity of natural) atau merupa- kan masalah yang ada hubungannya dengan kemanusiaan. Manusia disamping sebagai subjek peneliti ilmu, juga sebagai objek yang diteliti secara objektif dari luar, tanpa terpengaruh dengan faktor-faktor apap- un yang menjiwainya. Lebih jauh lagi, di antara penganut paham ini ada yang secara ekstrim menyatakan bahwa gejala-gejala kemasyarakatan sama dengan geja- la fisika, yaitu sama-sama bersifat alami. Pengertian-pengertian seperti kehendak, rasa, motif, nilai dan jenis merupakan hal-hal yang berada di luar dunia eksakta yang adanya hanya dalam dunia angan-angan yang tidak patut ditinjau dari segi ilmiah. Dari sini dapat dipahami bahwa bebas nilai hakekatnya adalah tuntutan yang ditujukan pada ilmu agar keberadaannya dikembangkan dengan tanpa memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu itu sendiri. Dengan kata lain, tuntutan dasar agar ilmu dikembangkan hanya demi ilmu itu sendiri tanpa pertimbangan aspek politik, agama, moral dan etika. Ilmu harus dikembangkan hanya sema- ta-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni. Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai tersebut tidak dikenal hu- kum boleh dan tidak boleh, baik dan tidak baik, manfaat dan mudharat. Misalnya, eksplorasi alam tanpa batas bisa jadi dibenarkan untuk kepentingan ilmu itu sendiri, seperti juga ekpresi seni yang menonjol- kan pornografi dan pornoaksi dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena ekspresi tersebut semata-mata untuk seni. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut tetapi ilmu-ilmu yang be- bas nilai demi tujuan untuk ilmu itu sendiri mengesampingkan kepent- ingan- kepentingan ekologis karena dianggapnya akan menghambat kemajuan dan pengembangan ilmu tersebut. Contoh lain adalah sebe- lum ditemukan teknologi sinar laser demi mempelajari anatomi tubuh manusia, maka para ilmuwan di bidang kedokteran membolehkan riset dengan cara menguliti mayat manusia dan mengambil dagingnya hing- ga tinggal tulang- tulangnya dalam upaya pengembangan ilmu penge- tahuan. Dalam masalah seni misalnya, para seniman dibolehkan mem- buat patung-patung manusia telanjang, lukisan-lukisan erotis, fotografi yang menonjolkan pornografi dan tarian-tarian tanpa busana, dimana hal tersebut sama sekali bukan masalah dan dibenarkan secara ilmu seni karena menjadi bagian dari ekspresi pengembangan ilmu seni itu sendiri. Berkaitan dengan masalah ini, Nurcholis Madjid mengatakan bah- wa karena teknologi hanya berurusan dengan benda-benda mati, hal itu menimbulkan kesan bahwa teknologi merupakan bentuk ilmu yang netral atau bebas nilai. Hal ini berbeda dengan ilmu-ilmu sosial yang dianggapnya tidak bebas nilai. Menurutnya, kebiasaan dalam menganggap bahwa ilmu teknologi memiliki kepastian yang tetap sedang- kan ilmu sosial tidak memiliki kepastian yang tetap menjadikan antara keduanya disebutkan dengan istilah yang berbeda yakni ilmu sains disebutnya sebagai ilmu keras (hard science) dan ilmu sosial disebut sebagai ilmu lunak (soft science) - sehingga mengesankan bahwa ber- urusan dengan ilmu teknologi adalah lebih mudah daripada berurusan dengan ilmu-ilmu sosial, dan lebih tidak berbahaya karena sifatnya yang pasti sehingga memudahkan untuk dikuasai dan dikendalikan oleh siapapun. Pandangan seperti ini menurut Nurcholis Madjid me- mang dapat dibenarkan, meskipun sesungguhnya mengandung kes alahan yang mendasar secara epistemologis. Menurutnya, ilmu pengetahuan dan teknologi disebut sebagai ilmu keras (hard science) karena sifatnya yang pasti dan tidak beribah-ubah seperti sifat yang melekat pada ilmu sosial (soft science). Kajian terhadap alam kebendaan dapat menghasilkan suatu nilai kepastian yang tinggi dan valid. Hal ini kare- na variable yang digunakan dan harus diperhatikan untuk penyimpulan teoritisnya dapat dikatakan cukup terbatas, karenanya lebih mudah di- kuasai. Adapun kajian mengenai ilmu sosial yang mana objek kajiann- ya adalah hidup kemasyarakatan manusia, dapat melibatkan variable yang sangat banyak, luas, serta tidak terbatas, yang mana hingga saat ini sebagian besar variabel tersebut masih belum mungkin dikenali, lebih-lebih dijadikan konsideran dalam membuat penyimpulan teoritisn- ya. Karena itulah kemudian ilmu sosial dikesankan sebagai suatu ilmu lunak yang tidak memiliki kepastian. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penganut paradigma ilmu bebas nilai berpendirian bahwa ilmu tidak boleh terikat dengan nilai, baik dalam proses penemuannya maupun dalam proses pener- apannya, karena petimbangan-pertimbangan moral atau nilai hanya akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengeta- huan.
2.Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai
Paradigma ilmu tidak bebas nilai (value bound) memandang bahwa ilmu harus selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Menurut paham kelompok ini, pengembangan dan penerapan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan baik kepentingan politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis, dan sebagain- ya. Golongan yang menganut pandangan ilmu tidak bebas nilai ini ber- pendapat bahwa: (1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi kelimuan. (2) Ilmu tel- ah berkembang dengan pesat dan semakin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi apabila terjadi penyalahgunaan, dan Ilmu telah berkembang sede- mikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mangu- bah manusia dan kemanusiaan yang paling haqiqi seperti pada ka- sus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan pada ketiga hal tersebut maka golongan pendukung ilmu tidak bebas nilai berpendapat bahwa ilmu secara moral harus dtujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakekat ke- manusiaan. Lebih tegas lagi kelompok ini menyatakan bahwa tanpa adanya landasan moral maka ilmuwan akan mudah sekali tergelincir dalam melakukan tindakan- tindakan ilmiah yang semakin menjauhkan manusia dari sifat kemanusiaannya. Filosof yang menganut teori value bound adalah Habermas. Tokoh ini berpendirian bahwa teori sebagai produk ilmiah tidak pernah dapat dipisahkan dari nilai-nilai, dan semua ilmu bahkan ilmu alam sekalipun tidaklah mungkin dapat terbebas dari nilai karena dalam pengemban- gan setiap ilmu pengetahuan pasti selalu ada kepentingan-kepentin- gan teknis yang melatarbelakanginya. Dalam pandangan Habermas ilmu sendiri dikonstruksi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pihak tertentu, misalnya nilai relasional antara manusia dan alam sep- erti ilmu pengetahuan alam, antara manusia dan manusia seperti ilmu sosial, serta nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu saja tidak terlepas dari nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin dapat bekerja diluar nilai tersebut. Penganut value bound ini bahkan ada yang mengatakan bahwa nilai adalah ruhnya ilmu. Jadi, ilmu tanpa nilai digambarkan seperti tubuh tanpa ruh yang berarti tidak berguna atau tidak berfungsi apa-apa. Terlepas dari perbedaan pandangan para ilmuwan tentang ilmu yang bebas nilai maupun ilmu yang tidak bebas nilai, dalam kerangka pan- dangan Islam, baik ilmu teknologi (hard science) maupun ilmu sosial (soft science) adalah sama-sama sebagai bentuk atau perwujudan dari upaya manusia untuk memahami hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah di muka bumi ini. Hanya saja berbeda objek keberlakuann- ya, karena jenis ilmu yang pertama berlaku pada alam kebendaan, se- dangkan jenis yang kedua berlaku dalam alam sosial-kemanusiaan.da- lam Islam, upaya memahami hukum-hukum Allah tersebut merupakan perintah Allah sehingga menjadi bagian dari ajaran Islam. Adanya kean bahwa ilmu teknologi lebih jelas dari pada ilmu-ilmu sosial tercermin dalam perbedaan istilah yang digunakan oleh al-Qur’an, misalnya un- tuk menyebutkan hukum-hukum yang berlaku pada alam kebendaan, al- Qur’an menggunakan istilah “taqdir”, sedangkan untuk menyebut- kan hukum-hukum yang berlaku pada alam sosial-kemanusiaan, al- Qur’an menggunakan istilah “sunnah/sunnatullah”. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa meskipun kedua jenis ilmu tersebut ber- beda secara istilah, Allah sama-sama memerintahkan manusia untuk mempelajari kedua jenis ilmu tersebut agar bermanfaat bagi kehidupan manusia di muka bumi. Sebenarnya dalam pandangan Islam jenis hukum yang kedua, yaitu hukum-hukum dalam ilmu sosial tidaklah kurang kepastiannya jika dibandingkan dengan hukum- hukum dalam ilmu teknologi atau ilmu eksakta, karena Allah sendiri yang menjamin bahwa sunnatullah tidak akan mengalami perubahan maupun pergantian. Barangkali karena variabel pada hukum-hukum ilmu sosial tersebut jauh lebih banyak dan kompleks daripada variabel pada hukum yang pertama, maka disebut sebagai “sunnah” yang artinya adalah “kebiasaan”, sehingga menge- sankan seperti adanya kelenturan dalam hukum tersebut. Menurut Nurcholis Madjid, nilai kajian antara hukum-hukum yang disebut sebagai “taqdir” dan hukum-hukum yang disebut sebagai “sun- natullah” pada dasarnya adalah sama. Karena itu untuk memperoleh hakekat serta keasliannya seorang pengkaji kedua bentuk hukum tersebut membutuhkan etos keilmuan yang juga sama, yaitu suatu etos yang tumbuh karena keyakinan serta kesadaran tentang adanya hubungan organik yang erat antara iman dan ilmu. Karena itu sikap yang semestinya dipilih dalam pengembangan serta penerapan IPTEK secara langsung berkaitan dengan sikap dalam mengembangkan dan menerapkan ilmu- ilmu sosial – dalam konteks ini adalah ilmu-ilmu agama - dimana diperlukan kesadaran dan kewaspadaan yang tinggi yang selalu terikat oleh kekuatan iman agar tidak terjadi kesalahan dalam menggunakannya sehingga membahayakan kehidupan umat manusia dan alam semesta.