Anda di halaman 1dari 7

Makalah

Paradigma Ilmu Bebas Nilai dan Ilmu Tidak Bebas


Nilai

Disusun Oleh : Sasa Eka P. Bonde

NIRM: 220102052

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MANADO

TAHUN 2023
Paradigma Ilmu Bebas Nilai dan Ilmu Tidak Bebas
Nilai
A. Paradigma Ilmu Bebas Nilai dan Ilmu Tidak Bebas Nilai

Ilmu merupakan suatu elemen penting dalam kehidupan yang


san- gat urgen bagi manusia. Ilmu, selain sebagai sarana yang
membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, juga
sebagai jalan untuk melaksanakan fungsi hidup manusia di muka
bumi. Namun demikian, ilmu dalam perkembangan dan
penerapannya, juga menjadi penyebab sekian banyak tragedi
kemanusiaan yang tidak terlupakan. Misalnya penemuan tentang
atom yang awalnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi
bagi kebaikan hidup manusia, justru digunakan sebagai senjata
pemusnah masal yang menimbulkan jatuhnya korban yang tak
terhitung jumlahnya.
Nilai dapat dikatakan sebagai tema baru dalam kajian ilmu
filsafat, terutama pada aspek aksiologi, cabang filsafat yang
mempelajarinya. Kajian tentang nilai muncul pertamakali pada
pertengahan abad ke-
19. Terkait dengan nilai ini, Plato telah membahasnya pada
karya-kary- anya. Ia mengatakan bahwa keindahan, kebaikan,
dan kekudusan merupakan tema yang penting bagi para pemikir
disepanjang zaman. Keindahan merupakan salah satu
perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia, dan
cara inilah yang kemudian disebut dengan nilai. Karena itu dapat
dikatakan bahwa nilai merupakan suatu tolak ukur kebaikan,
keindahan serta kekudusan suatu objek tertentu.
Menghadapi persoalan ini maka esensi ilmu mulai
dipertanyakan, untuk apa sebenarnya ilmu dipergunakan, apakah
ilmu harus dikait- kan dengan nilai-nilai moral dan mengapa?
Dihadapkan pada masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi
yang bersifat merusak inilah para.
ilmuwan terlibat dalam perdebatan panjang hingga terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menekankan
bahwa ilmu harus bebas nilai dan kelompok yang
memperjuangkan bahwa ilmu tidak boleh be- bas nilai.
Perbedaan pendapat ini terjadi mengingat bahwa di satu pihak
objektivitas merupakan ciri mutlak dari ilmu pengetahuan,
sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu
adalah manusia yang terikat kepada nilai-nilai subjektif seperti
nila-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat dan
sebagainya yang turut menentukan pilihan atas masalah dan
kesimpulan yang dibuatnya.

1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai


Paradigma ilmu bebas nilai (value free) menyerukan bahwa
ilmu itu bersifat otonom yang tidak memiliki keterkaitan sama
sekali dengan nilai apapun. Bebas nilai artinya segala kegiatan
ilmiah harus didasar- kan pada hakikat ilmu pengetahuan itu
sendiri. Ilmu pengetahuan me- nolak campur tangan faktor-
faktor eksternal yang tidak secara haki- ki menentukan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Penganut paradigma ini menginginkan
bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara
ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, ilmuwan hanyalah
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mem- pergunakan pengetahuan tersebut, apakah akan
dipergunakan untuk tujuan yang bermanfaat, atau malah
sebaliknya dipergunakan untuk tujuan yang mudharat.
Golongan yang menganut paham ilmu tidak terikat nilai ini
ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti
pada masa Galileo. Mereka berpendapat bahwa objek ilmu
tetaplah sebagai objek ilmiah yang harus disamakan, baik secara
teoritis maupun secara met- odologis. Oleh sebab itu, ilmuwan
tidak boleh membedakan apakah objek yang dihadapi ilmu
tersebut merupakan bahan dari zat-zat kimia atau keseragaman
peristiwa alam (uniformity of natural) atau merupa- kan masalah
yang ada hubungannya dengan kemanusiaan. Manusia
disamping sebagai subjek peneliti ilmu, juga sebagai objek yang
diteliti secara objektif dari luar, tanpa terpengaruh dengan
faktor-faktor apap- un yang menjiwainya.
Lebih jauh lagi, di antara penganut paham ini ada yang secara
ekstrim menyatakan bahwa gejala-gejala kemasyarakatan sama
dengan geja- la fisika, yaitu sama-sama bersifat alami.
Pengertian-pengertian seperti kehendak, rasa, motif, nilai dan
jenis merupakan hal-hal yang berada di luar dunia eksakta yang
adanya hanya dalam dunia angan-angan yang tidak patut
ditinjau dari segi ilmiah. Dari sini dapat dipahami bahwa
bebas nilai hakekatnya adalah tuntutan yang ditujukan pada ilmu
agar keberadaannya dikembangkan dengan tanpa
memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu itu sendiri. Dengan
kata lain, tuntutan dasar agar ilmu dikembangkan hanya demi
ilmu itu sendiri tanpa pertimbangan aspek politik, agama, moral
dan etika. Ilmu harus dikembangkan hanya sema- ta-mata
berdasarkan pertimbangan ilmiah murni.
Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai tersebut tidak dikenal
hu- kum boleh dan tidak boleh, baik dan tidak baik, manfaat dan
mudharat. Misalnya, eksplorasi alam tanpa batas bisa jadi
dibenarkan untuk kepentingan ilmu itu sendiri, seperti juga
ekpresi seni yang menonjol- kan pornografi dan pornoaksi
dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena ekspresi tersebut
semata-mata untuk seni. Setidaknya, ada problem nilai ekologis
dalam ilmu tersebut tetapi ilmu-ilmu yang be- bas nilai demi
tujuan untuk ilmu itu sendiri mengesampingkan kepent- ingan-
kepentingan ekologis karena dianggapnya akan menghambat
kemajuan dan pengembangan ilmu tersebut. Contoh lain adalah
sebe- lum ditemukan teknologi sinar laser demi mempelajari
anatomi tubuh manusia, maka para ilmuwan di bidang
kedokteran membolehkan riset dengan cara menguliti mayat
manusia dan mengambil dagingnya hing- ga tinggal tulang-
tulangnya dalam upaya pengembangan ilmu penge- tahuan.
Dalam masalah seni misalnya, para seniman dibolehkan mem-
buat patung-patung manusia telanjang, lukisan-lukisan erotis,
fotografi yang menonjolkan pornografi dan tarian-tarian tanpa
busana, dimana hal tersebut sama sekali bukan masalah dan
dibenarkan secara ilmu seni karena menjadi bagian dari ekspresi
pengembangan ilmu seni itu sendiri.
Berkaitan dengan masalah ini, Nurcholis Madjid mengatakan bah- wa
karena teknologi hanya berurusan dengan benda-benda mati, hal itu
menimbulkan kesan bahwa teknologi merupakan bentuk ilmu yang netral
atau bebas nilai. Hal ini berbeda dengan ilmu-ilmu sosial yang dianggapnya
tidak bebas nilai. Menurutnya, kebiasaan dalam menganggap bahwa ilmu
teknologi memiliki kepastian yang tetap sedang- kan ilmu sosial tidak
memiliki kepastian yang tetap menjadikan antara keduanya disebutkan
dengan istilah yang berbeda yakni ilmu sains disebutnya sebagai ilmu keras
(hard science) dan ilmu sosial disebut sebagai ilmu lunak (soft science) -
sehingga mengesankan bahwa ber- urusan dengan ilmu teknologi adalah
lebih mudah daripada berurusan dengan ilmu-ilmu sosial, dan lebih tidak
berbahaya karena sifatnya yang pasti sehingga memudahkan untuk dikuasai
dan dikendalikan oleh siapapun. Pandangan seperti ini menurut Nurcholis
Madjid me- mang dapat dibenarkan, meskipun sesungguhnya mengandung
kes alahan yang mendasar secara epistemologis. Menurutnya, ilmu
pengetahuan dan teknologi disebut sebagai ilmu keras (hard science) karena
sifatnya yang pasti dan tidak beribah-ubah seperti sifat yang melekat pada
ilmu sosial (soft science). Kajian terhadap alam kebendaan dapat
menghasilkan suatu nilai kepastian yang tinggi dan valid. Hal ini kare- na
variable yang digunakan dan harus diperhatikan untuk penyimpulan
teoritisnya dapat dikatakan cukup terbatas, karenanya lebih mudah di- kuasai.
Adapun kajian mengenai ilmu sosial yang mana objek kajiann- ya adalah
hidup kemasyarakatan manusia, dapat melibatkan variable yang sangat
banyak, luas, serta tidak terbatas, yang mana hingga saat ini sebagian besar
variabel tersebut masih belum mungkin dikenali, lebih-lebih dijadikan
konsideran dalam membuat penyimpulan teoritisn- ya. Karena itulah
kemudian ilmu sosial dikesankan sebagai suatu ilmu lunak yang tidak
memiliki kepastian.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penganut paradigma ilmu
bebas nilai berpendirian bahwa ilmu tidak boleh terikat dengan nilai, baik
dalam proses penemuannya maupun dalam proses pener- apannya, karena
petimbangan-pertimbangan moral atau nilai hanya akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengeta- huan.

2.Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai


Paradigma ilmu tidak bebas nilai (value bound) memandang bahwa ilmu
harus selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan
mempertimbangkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Menurut
paham kelompok ini, pengembangan dan penerapan ilmu jelas tidak
mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan baik
kepentingan politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis, dan sebagain- ya.
Golongan yang menganut pandangan ilmu tidak bebas nilai ini ber-
pendapat bahwa: (1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara
destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia
yang mempergunakan teknologi-teknologi kelimuan. (2) Ilmu tel- ah
berkembang dengan pesat dan semakin esoterik sehingga kaum ilmuwan
lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi apabila terjadi
penyalahgunaan, dan Ilmu telah berkembang sede- mikian rupa dimana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mangu- bah manusia dan
kemanusiaan yang paling haqiqi seperti pada ka- sus revolusi genetika dan
teknik perubahan sosial. Berdasarkan pada ketiga hal tersebut maka
golongan pendukung ilmu tidak bebas nilai berpendapat bahwa ilmu
secara moral harus dtujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan
martabat atau mengubah hakekat ke- manusiaan. Lebih tegas lagi
kelompok ini menyatakan bahwa tanpa adanya landasan moral maka
ilmuwan akan mudah sekali tergelincir dalam melakukan tindakan-
tindakan ilmiah yang semakin menjauhkan manusia dari sifat
kemanusiaannya.
Filosof yang menganut teori value bound adalah Habermas. Tokoh ini
berpendirian bahwa teori sebagai produk ilmiah tidak pernah dapat
dipisahkan dari nilai-nilai, dan semua ilmu bahkan ilmu alam sekalipun
tidaklah mungkin dapat terbebas dari nilai karena dalam pengemban- gan
setiap ilmu pengetahuan pasti selalu ada kepentingan-kepentin- gan teknis
yang melatarbelakanginya. Dalam pandangan Habermas ilmu sendiri
dikonstruksi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pihak tertentu,
misalnya nilai relasional antara manusia dan alam sep- erti ilmu
pengetahuan alam, antara manusia dan manusia seperti ilmu sosial, serta
nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu saja tidak
terlepas dari nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin dapat bekerja
diluar nilai tersebut. Penganut value bound ini bahkan ada yang
mengatakan bahwa nilai adalah ruhnya ilmu. Jadi, ilmu tanpa nilai
digambarkan seperti tubuh tanpa ruh yang berarti tidak berguna atau tidak
berfungsi apa-apa.
Terlepas dari perbedaan pandangan para ilmuwan tentang ilmu yang
bebas nilai maupun ilmu yang tidak bebas nilai, dalam kerangka pan-
dangan Islam, baik ilmu teknologi (hard science) maupun ilmu sosial (soft
science) adalah sama-sama sebagai bentuk atau perwujudan dari upaya
manusia untuk memahami hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah di
muka bumi ini. Hanya saja berbeda objek keberlakuann- ya, karena jenis
ilmu yang pertama berlaku pada alam kebendaan, se- dangkan jenis yang
kedua berlaku dalam alam sosial-kemanusiaan.da- lam Islam, upaya
memahami hukum-hukum Allah tersebut merupakan perintah Allah
sehingga menjadi bagian dari ajaran Islam. Adanya kean bahwa ilmu
teknologi lebih jelas dari pada ilmu-ilmu sosial tercermin dalam
perbedaan istilah yang digunakan oleh al-Qur’an, misalnya un- tuk
menyebutkan hukum-hukum yang berlaku pada alam kebendaan, al-
Qur’an menggunakan istilah “taqdir”, sedangkan untuk menyebut- kan
hukum-hukum yang berlaku pada alam sosial-kemanusiaan, al- Qur’an
menggunakan istilah “sunnah/sunnatullah”. Namun yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa meskipun kedua jenis ilmu tersebut ber- beda
secara istilah, Allah sama-sama memerintahkan manusia untuk
mempelajari kedua jenis ilmu tersebut agar bermanfaat bagi kehidupan
manusia di muka bumi.
Sebenarnya dalam pandangan Islam jenis hukum yang kedua, yaitu hukum-hukum
dalam ilmu sosial tidaklah kurang kepastiannya jika dibandingkan dengan hukum-
hukum dalam ilmu teknologi atau ilmu eksakta, karena Allah sendiri yang menjamin
bahwa sunnatullah tidak akan mengalami perubahan maupun pergantian. Barangkali
karena variabel pada hukum-hukum ilmu sosial tersebut jauh lebih banyak dan
kompleks daripada variabel pada hukum yang pertama, maka disebut sebagai
“sunnah” yang artinya adalah “kebiasaan”, sehingga menge- sankan seperti adanya
kelenturan dalam hukum tersebut.
Menurut Nurcholis Madjid, nilai kajian antara hukum-hukum yang
disebut sebagai “taqdir” dan hukum-hukum yang disebut sebagai “sun-
natullah” pada dasarnya adalah sama. Karena itu untuk memperoleh
hakekat serta keasliannya seorang pengkaji kedua bentuk hukum tersebut
membutuhkan etos keilmuan yang juga sama, yaitu suatu etos yang
tumbuh karena keyakinan serta kesadaran tentang adanya hubungan
organik yang erat antara iman dan ilmu. Karena itu sikap yang semestinya
dipilih dalam pengembangan serta penerapan IPTEK secara langsung
berkaitan dengan sikap dalam mengembangkan dan menerapkan ilmu-
ilmu sosial – dalam konteks ini adalah ilmu-ilmu agama - dimana
diperlukan kesadaran dan kewaspadaan yang tinggi yang selalu terikat
oleh kekuatan iman agar tidak terjadi kesalahan dalam menggunakannya
sehingga membahayakan kehidupan umat manusia dan alam semesta.

Anda mungkin juga menyukai