Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu sebagai pengetahuan yang selalu mengalami perkembangan dengan
berbagai strategi yang dilakukan manusia dapat memunculkan pertanyaan apakah ilmu itu
bersifat bebas nilai atau tidak. Nilai sendiri dapat dilihat dari segi kebergunaannya,
kebermanfaatannya, baik atau buruk bagi kepentingan hidup manusia. Bebas nilai
seringkali dikaitkan antara pilihan dan jenis ilmu yang dikembangkan. Sehingga jika ilmu
itu bersinggungan langsung dengan kehidupan sosial maka dianggap lebih kuat kaitannya
dengan masalah nilai. Sementara bidang ilmu lain yang tak berfokus pada sosial lebih
dipandang bebas nilai.
Ilmu pengetahuan menandai perkembangan kemajuan pola fikir manusia.
Namun demikian perkembangan ilmu pengetahuan juga memiliki hubungan dengan
berbagai permasalahan yang kita hadapi saat ini. Disamping berkembangnya teknologi
sebagai pertanda kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan. Melalui makalah ini akan
dibahas mengenai apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak. Kemudian bagaimana ilmu
pengetahuan dan persoalan kita.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ilmu pengetahuan bebas nilai?
2. Bagaimana ilmu pengetahuan dan persoalan kita?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bebas nilai dalam ilmu pengetahuan
2. Untuk mengetahui hubungan ilmu pengetahuan dan persoalan kita

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bebas Nilai Dalam Ilmu pengetahuan
1. Duduk persoalan
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap
skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu. Sikap ini berlanjut pada masa
Aufklarung, yaitu suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai
pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Dalam bahasa Inggris bebas nilai disebut dengan valuefree, yang menyatakan
bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki
keterkaitan sama sekali dengan nilai. Josep Situmorang menyatakan bahwa bebas
nilai, artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat
ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor
eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan
bebas nilai maksudnya yaitu suatu tuntutan dengan mengajukan kepada setiap
kegiatan ilmiah atas dasar hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai,
yaitu sebagai berikut:
a. Ilmu harus bebas dari berbagai pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal
seperti faktor politik, ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya kebebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin.
Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai,
tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika
para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar dan menulis mengenai

2
bidang ilmu sosial mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai-nilai itu
harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu
mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir
orang, budaya, maka ilmuawan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan
itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan
objektivitas ilmiah.

Ada dua macam prinsip ilmu pengetahuan, yaitu:


a. Prinsip konstituti
Prinsip konstituti yaitu pada praandaian-praandaian yang tersimpul dalam metode
ilmu pengetahuan itu sendiri.
b. Prinsip yang menyangkut isi.
Prinsip ini tidak merupakan praandaian-praandaian, melainkan hasil-hasil ilmu
pengetahuan. Hasil-hasil ilmu pengetahuan dapat berfungsi sebagai semacam
praandaian, misalnya bila seorang biolog menggunakan mikroskop elektron, ia
mengandaikan prinsip teori fisika yang telah memungkinkan pembuatan alat itu.
Bila ia menerapkan metode kimia ia mengandaikan prinsip kimia yang menjadi
dasarnya.
Praandaian-praandaian tidak bisa diuji secara langsung, tetapi secara tidak
langsung dilaksanakan melalui keberhasilan metode yang digunakan. Tidak ada ilmu
yang akan menerima suatu metode yang dipaksakan dari luar. Dalam hal ini ilmu
pengetahuan merasa diri otonom. Setiap ilmu ingin menentukan sendiri apa yang
menjadi metodenya.
2. Kebebasan dalam Ilmu Pengetahuan
Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai – nilai
yang letaknya di luar ilmu pengetahuan, hal ini menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan itu seharusnya bebas. Maksud dari kata kebebasan adalah kemungkinan
untuk memilih dan kemampuan atau hak subyek bersangkutan untuk memilih sendiri.
Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan diri dan bukan penentuan dari luar.
Jika dalam suatu ilmu tertentu terdapat situasi bahwa ada berbagai hipotesa atau teori
yang semuanya tidak seluruhnya memadai, maka sudah jelas akan di anggap suatu
pelanggaran kebebasan ilmu pengetahuan, bila suatu instansi dari luar memberi
petunjuk teori mana harus diterima. Menerima teori berarti menentukan diri
berdasarkan satu–satunya alasan yang penting dalam bidang ilmiah, yaitu wawasan

3
akan benarnya teori. Apa yang menjadi tujuan seluruh kegiatan ilmian disini mecapai
pemenuhannya. Dengan demikian penentuan diri terwujud sunguh – sungguh.
Walaupun terlihat dipaksakan, namun penentuan diri ini sungguh bebas, karena
dilakukan bukan berdasarkan alasan – alasan yang kurang dimengerti subyek sendiri
melainkan berdasarkan wawasan sepenuhnya tentang kebenaran.
Ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas, kebebasan yang dituntut ilmu
pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan mutlak. Bila “kebebasan”
dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan untuk memilih dan
kemampuan atau hak subyek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya terdapat
kebebasan, harus ada penentuan diri dan bukan penentuan dari luar.
Pertimbangan- pertimbangan seperti itu tidak saja berlaku untuk ilmu
pengetahuan sebagai teori, malainkan juga untuk ilmu pengetahuan secara praksis.
Kebebasan untuk memilih selalu tinggal suatu faktor hakiki dalam kebebasan ilmu
pengetahuan. Tetapi kebebasan untuk memilih bukan faktor terpenting, bukan hal
yang mutlak perlu untuk dapat menjalankan penentuan diri. Lagi pula, juga dalam
situasi- situasi yang kurang ideal pilihan selalu akan di tunjukkan kendati berdasarkan
alasan-alasan yang tidak sepenuhnya dimengerti pada dugaan bahwa teori atau terapi
yang dipilih paling mendekati kebenaran atau efektivitas.
3. Kegiatan Ilmiah dan Nilai Etisnya
Otonomi ilmu pengetahuan tidak berarrti bahwa penelitian ilmiah tidak perlu
menghiraukan nilai luar ilmiah apapun. Misalkan saja, tidak dapat diragukan bahwa
jawaban atas pertanyaan apakah suatu penelitian medis tertentu boleh dilakukan, tidak
semata-mata bergantung pada pertimbangan-pertimbangan ilmiah saja. Bisa saja,
pertimbangan-pertimbangan etis melarang dilakukan eksperimen-eksperimen terhadap
manusia, betapapun banyaknya informasi ilmiah yang dapat diperoleh dengan
eksperimen-eksperimen tersebut. Dan hal yang sama tentu berlaku juga untuk banyak
ilmu yang lain.
Pada situasi konflik diperhatikan bahwa konflik sebenarnya tidak berlangsung
antara nilai etis di satu pihak dan nilai-nilai ilmiah di lain pihak. Tetapi dalam kasus
seperti itu konfliknya selalu berlangsung antara nilai-nilai etis, yaitu di satu pihak nilai
etis yang terletak dalam kegiatan meneliti dan menguasai realitas dan di lain pihak
nilai-nilai penting lainnya. Jika orang tidak memperhatikan sifat sesungguhnya
konflik tersebut, maka bidang etis akan terlalu sempit. Seolah-olah sesuatu layak
dilakukan karena alasan-alasan ilmiah, ekonomis, atau politik, sedangkan etika

4
menentang. Jika etika benar dengan menentang, maka hal itu terjadi karena dalam
situasi konflik etis itu nilai etis yang harus diungguli oleh nilai etis yang lain,
berdasarkan hirarki niali-nilai etis.
Konflik oleh seorang ilmuwan sering kali tidak dilihat sebagai konflik antara
nilai-nilai etis, disebabkan karena ia kurang menyadari arti etis dalam kegiatan
ilmiahnya. Ia mempraktekkan ilmunya, tetapi tidak menempatkan kegiatannya dalam
kerangka lebih luas yang mencakup nilai etis terhadap kegiatannya. Persoalan-
persoalan disiplin ilmu empirik adalah bahwa ia dipecahkan bukan secara evaluatif.
Tetapi persoalan-persoalan ilmu sosial dipilih atau ditentukan melalui nilai yang
relevan dari fenomena yang ditampilkan . Ungkapan relevansi pada nilai-nilai
mengacu pada interpretasi filosofis dari kepentingan ilmiah yang bersifat khusus,
kepentingan-kepentingan tersebut menentukan pilihan dari pokok masalah dan
persoalan-persoalan analisis empiris yang diajukan.
4. Bebas Nilai dan Objektivitas
Salah satu kesulitan yang dihadapi ilmu-ilmu manusia ialah cara khusus
manusia terlibat dalam ilmu-ilmu itu, sebagai subjek maupun sebagai obyek. Dalam
ilmu alam manusia bisa terlibat sebagai subyek dan sebagai obyek. Ia terlibat sebagai
subjek tentu karena dialah yang mempraktekan ilmu pengetahuan alam. Sebagai
objek, hanya sejauh ia sebagai makhluk alam bisa menjadi pokok pembicaraan ilmu
alam. Sebab, sebagai makhluk alam ia dikuasai oleh hukum-hukum fisis, kimiawi,
dan biologis. Tetapi kegiatan yang dilakukan ilmu alam tidak merupakan objek
penelitian ilmu alam. Praktek ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusiawi yang
khas.
Dalam bidang ilmu manusia, kita menghadapi keadaan bahwa praktek ilmiah
sebagai aktivitas manusiawi merupakan objek penelitian ilmu manusia. Praktek ilmiah
itu merupakan suat kegiatan psikis karena itu termasuk kedalam objek psikologi.
Praktek ilmiah itu merupakan suatu kegiatan sosial dan karena itu termasuk objek
sosiologi. Praktek ilmiah merupakan suatu kegiatan historis pula karena itu termasuk
objek penelitian ilmu sejarah.
Ilmu-ilmu manusia harus menggunakan kosep-konsep yang sesuai dengan
objeknya, yaitu manusia. Tindakan-tindakan mempunyai motif-motif yang harus
dibedakan dengan penyebab-penyebab. Dapat dikatakan bahwa kenyataan manusia
berdasarkan pengalaman nya sendiri “tahu” tentang dirinya sebagai subjek tingkah
laku dan tindakan-tindakannya.

5
Ilmu pengetahuan terdapat berbagai aliran. Ada aliran yang ingin bekerja
“seobjektif mungkin” dalam arti meregistrasi tingkah laku manusia dari luarnya.,
supaya lewat jalan ini ditemukan keajekan-keajekan tertentu. Melalui metode
“merasakan” berusaha mengerti sebaik mungkin manusia yang bertindak. Para ahli
metode terakhir disebut dengan Verstehen (mengerti) sedangkan metode pertama
lebih dekat dengan ilmu alam lain disebut dengan metode Erklaren (menjelaskan).
Pada pandangan pertama rupanya praksis yang berorientasi etis itu merupakan
alasan utama untuk menuntut perlunya bebas nilai dalam ilmu pengetahuan sebagai
teori. Ilmu pengetahuan sendiri tidak boleh memperhatikan nilai-nilai. Ilmu
pengetahuan sendiri hanya mengkonstatir relasi-relasi kausal serta fungsional. Satu-
satunya pertimbangan etis yang penting disini adalah menelaah seobyektif bagaimana
kemungkinan-kemungkinan teknis. Sebuah contoh, penelitian tentang kemanjuran
obta tidak boleh dipengaruhi oleh keinginan untuk akhirnya mendapat obat bagi
penyakit yang selama ini tidak dapat diobati. Supaya bernilai, dalam hal ini penelitian
harus betul-betul bebas nilai.
Apakah ilmu alam dan ilmu manusia dapat disejajarkan dengan cara demikian.
Bila kita ingin menyelidiki pertnyaan ini, sebainya kita bedakan antara keadaan
faktual dalam ilmu-ilmu manusia dan keadaan yang barangkali menjadi mungkin di
masa depan. Ilmu pengetahuan mendekati fakta-faktanya secara metodis artinya cara
penelitian yang dikembangkan oleh subyek yang mengenal. Fakta-fakta diseleksi
berdasarkan suatu kerangka permasalahan tertentu yang berasal dari pertimbangan-
pertimbangan teoritis atau praktis.
5. Beberapa Distingsi Mengenai Nilai-nilai
Perbedaan antara nilai-nilai etis dan nilai-nilai yang lain terletak pada norma
yang dipakai. Bila sesuatu dianggap menyenangkan , indah, berguna, sehat, dan
sebagainya artinya kita telah berbicara tentang nilai dan menggunakan norma-norma.
Setiap kegiatan manusia mempunyai norma-norma dan nilai-nilai tersendiri, tetapi
norma-norma dan nilai-nilai itu tidak dapat bersifat mutlak. Contohnya kesehatan
tentu merupakan sesuatu yang penting, tetapi tidak boleh menggantungkan segala
sesuatu padanya, kegunaan ekonomis merupakan suatu nilai tetapi bukan nilai yang
menentukan. Tetapi jika kita menggunakan nilai etis maka penilaiannya bersifat
mutlak.
Distingsi yang penting dalam masalah bebas nilai dalam ilmu pengetahuan
adalah distingsi antara pertimbangan nilai yang memberikan dan pertimbangan nilai

6
yang mengevaluasi. Dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan pertimbangan-
pertimbangan nilai yang memberikan atau pertimbangan-pertimbangan nilai deskriptif
yang etis maupun yang lain sifatnya tidak dapat dihindarkan, karena manusia selalu
mempunyai pertimbangan-pertimbangan nilai dan selalu mengikutsrtakannya dalam
tingkah laku mereka.

6. Praktis dan Implikasi etisnya


Praktek ilmu manusia tidak akan pernah bisa bebas nilai samasekali, dalam arti
tidak pernah boleh mengemukakan pertimbangan-pertimbangan nilai etis yang
mengevaluasi. Alsannya karena sebagai praksis ilmu, manusia akan harus memberi
petunjuk baik bagi kehidupan perorangan maupun bagi kehidupan masyarakat.
Struktur-struktur sosial yang diwarisi dimasa lampau atau yang sedang berubah
karena pengaruh perkembangan teknologi, oleh ilmu manusia tidak pernah boleh
diterima sebagai data-data begitu saja. Ia harus memandang-struktur-struktur itu
secara kritis dan mengikutsertakan pertimbangan nilai tentang apa yang harus
dianggap sebagai suatu perkembangan sosial yang baik atau jelek.
7. Teori dan Bebas Nilai
Tidaklah tepat bila perlunya pertimbangan-pertimbangan nilai etis hanya
didasarkan atas praksis yang menerapkan pengertian-pengertian teoritis. Sebab sejak
ilmu pengetahuan ditandai antara pertautan teori dan praksis maka apa yang berlaku
bagi praksis juga berlaku bagi teori, karena yang terakhir tidak dapat berkembang
tanpa teori. Walaupun pengalaman eksperimental dalam ilmu-milmu manusia sangat
diperlukan, namun satu-satunya arah yang mengizinkan eksperimentasi adalah arah
menuju kemanusiaan yang lebih baik serta utuh dan menuju suatu bentuk
kemasyarakatan yang memungkinkan hal itu.
8. Etika dan Ilmu-ilmu Manusia
Hubungan antara ilmu pengetahuan dan etika begiitu halus dan rumit sehingga
tidak mungkin diungkapkan dengan perbandingan antara bagian dan keseluruhan.
Sebagaimana hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam masing-masing
ilmu manusia nilai-nilai tidak tampak langsung sebagai nilai-nilai etis, melainkan
sebagai nilai estetis sosial, kultural dan ekonomis, psikis dan sebagainya. Dengan
cara demikian juga nilai-nilai itu dipandang oleh ilmu manusia dan berfungsi dalam
ilmu manusia. Tetapi karena nilai-nilai itu merupakan nilai-nilai bagi manusia, ada
juga aspek etisnya. Ilmu-ilmu manusia menemui aspek etis ini, sejauh mereka

7
mengetahu bahwa bidang etis termasuk ciri khas pokok pembicaraan mereka, yaitu
manusia. Maka dari itu ilmu-ilmu manusia mempunya suatu otonomi relatif. Otonomi
itu didasakan pada kenyataan bahwa untuk perkembangan etis manusia perlu
mengetahui semua nialai dan mengerti hubungannya satu sama lain. Dan prinsip-
prinsip etis digunakan untuk mengetahui apakah nilai-nilai lain bersifat baik atau
tidak baik bagi manusia.
B. Ilmu Pengetahuan Dan Persoalan Kita
Di era modern ini, ilmu pengetahuan, teknologi dan etika saling berkaitan satu
sama lain. Ilmu pengetahuan muncul pada alam pikiran dimana manusia mulai
mengambil jarak dengan alam sekitarnya, sehingga alam dapat dipelajari, dikalkulasi
habis–habisan dan terakhir dimanfaatkan. Teknologi merupakan penjabaran praktis dan
metodis dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan teknologi sayangnya telah
kebablasan dengan tidak hanya memanipulasi kekuatan alam namun manusia itu
sendiri. Ini mengahasilkan beragam persoalan etis pada kasus – kasus seperti aborsi,
eutanasia, pencemaran lingkungan, kloning dan sebagainya.

Persoalan – persoalan tersebut tidak bisa dilepaskan dari perkembangan


kebudayaan dan ilmu pengetahuan manusia. Persoalan kontemporer menimbulkan
pergeseran etika mikro yang berurusan dengan perorangan kepada etika makro yang
berurusan dengan struktur – struktur masyarakat. Permasalahan baik buruk sekarang
tidak lagi sesederhana dulu, kompleksitas permasalahan memunculkan beberapa tugas
baru dari etika. Pertama, etika bertugas merintis jalan bagi kaidah-kaidah yang
mengatasi terkungkungnya manusia dalam dunia etika. Kedua, etika bertugas membuka
evaluasi kritis terhadap segala sesuatu. Ketiga, etika bertugas membentuk tanggung
jawab baru dan merancang masyarakat kita sedemikian rupa sehingga belajar
mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah dibangunnya sendiri.

Tidak hanya persoalan etis, kebudayaan saat ini juga turut berkembang seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Van Peursen membagi
kebudayaan menjadi tiga tahapan, yaitu :

1. Tahap Mistis
Tahap dimana manusia meraskan dirinya terkurung oleh kekuatan – kekuatan gaib
disekitarnya. Seperti kekuasan dewa – dewa, mitos dan lainnya.
2. Tahap Ontologis

8
Tahap dimana tahap dimana manusia tidak lagi hidup dalam kepungan mitis,
melainkan secara bebas meneliti segala sesuatu dengan metodik - sistematik ketat.
3. Tahap Fungsional
Tahap yang sekarang nampak dalam alam pikiran manusia modern.
Masing-masing tahap memiliki aspek negatif, diantaranya adalah pada tahap
mistis terdapat usaha menguasai orang lain lewat kuasa magis, pada tahap ontologis
terdapat pemisahan antara manusia dan alam, serta pada tahap fungsional aspek
negatifnya adalah sikap memperlakukan alam maupun sesama manusia secara
manipulatif.
Pada masa Socrates, muncul perbedaan tegas antara ilmu pengetahuan dan
etika. Perbedaan tersebut kemudian dikembangkan oleh Aristoteles yang membagi
semua aktivitas intelektual menjadi tiga kategori yaitu produktif, praktis dan spekulatif.
Tradisi yang diawali Socrates telah membagi filsafat menjadi pengetahuan tentang alam
dan pengetahuan tentang manusia dimana sifat keduanya berbeda satu sama lain. Ilmu
alam bersifat kontemplatif yaitu sebisa mungkin menghindari unsur-unsur subjektif
seperti perasaan, kecendrungan, dogma, dalam upaya memetakan alam subjektif
mungkin. Sebaiknya, ilmu tentang manusia khususnya etika bersifat praktis yaitu
mengolah dimensi batin manusia untuk kepentingan kehidupan manusia yang lebih
baik.
David Hume menempatkan etika sebagai subordinat dari ilmu-ilmu alam.
Keabsahan ilmu pengetahuan diukur dari objektivitas, kepastian, dan rasionalitas.
Descrates mengembangkan rasionalitas dengan membatasi pengetahuan pada ide-ide
jernih dan gamblang, melihat segala sesuatu secara geometris. Kant membatasi
rasionalitas pada fenomena apa yang tampak dan mengasingkan kekayaan batin
manusia yang terjangkau indra. David hume dikukuhkan oleh kaum positivisme, ia
mengatakan bahwa pengetahuan etika bersifat subjektif yakni sekedar menunjukkan
ketidaksetujuan pengamat atas suatu tindakan yang dilihatnya. Ilmu pengetahuan
didasarkan pada dua hal, yaitu yang baik tidak dapat diasalkan dari sensasi indrawi dan
pernyataan etika tidak dapat diturunkan dari pernyataan faktual. Sebagai contohnya
yaitu, Hume mengatakan bahwa ia bisa melihat pisau sang pembunuh menembus perut
korbannya dan darah mengucur deras membasahi lantai, namun ia tidak dapat melihat
dimana letak kejahatannya, serta pernyataan joni harus dihukum tidak bisa diturunkan
dari pernyataan Joni adalah pencuri.

9
Etika merupakan cabang filsafat yang menjadi bagian dari wilayah nilai
bersama-sama dengan estetika. Etika mengkaji secara rasional, kritis, reflektif, dan
radikal persoalan moralitas manusia. Perbedaan etika dengan cabang filsafat lainnya
adalah etika membahas yang harus dilakukan, sedangkan yang lain membahas yang
ada. Oleh sebab itu, etika sering disebut sebagai filsafat praktis. Etika menganalisis
tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak,
kewajiban, dan keutamaan yang semuanya bersfat umum.
Dalam etika terdapat empat pendekatan dimana dua diataranya bersifat
nonnormatif dan dua lainnya bersifat normatif, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendekatan Nonnormatif
a. Etika Deskriptif
Merupakan pendekatan nonnormatif terhadap moralitas yang mendeskripsikan
dan menjelaskan secara faktual prilaku dan keyakinan - keyakinan moral.
b. Metaetika
Merupakan pendekatan nonnormatif lain yang melibatkan analisis makna dari
istilah-istilah sentral dalam etika seperti kata“hak”, “kewajiban”, “kebaikan”,
“keutamaan”, dan “tanggung jawab”. Metaetika mengkaji logika khusus dari
ucapan-ucapan et
2. Pendekatan Normatif
a. Etika Normatif Umum
Merupakan jenis etika yang berupaya memformulasikan dan mempertahankan
prinsip-prinsip dasar dan keutamaan yang mengatur kehidupan moral.
b. Etika Terapan
Etika ini menurunkan prinsip-prinsip absstrak etika umum untuk diterapkan pada
masalah-masalah konkret.
Berbagai filosof yang mengembangkan pemikirannya dibidang etika,
menghasilkan beberapa teori etika klasik, diantaranya sebagai berikut :
1. Eudaimonisme
Teori ini dikemukakan oleh Aristoteles, ia mengemukakan bahwa dalam setiap
kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan sedang tujuan tertinggi terakhir hidup
manusia adalah kebahagiaan. Namun ia berpendapat bahwa tidak semua hal bisa
diterima sebagai kebahagiaan.
2. Deontologoi Kant

10
Deontologi berasal dari kata Yunani, “deon” yang berarti apa yang harus
dilakukan, kewajiban. Kant memandang bahwa tindakan manusia absah secara
moral apabila dilakukan berdasarkan kewajiban, bukan akibat. Kant membedakan
antara imperatif kategoris dan imperatif hipotesis sebagai dua perintah moral yang
berbeda. Imperatif kategoris merupakan perintah tak bersyarat yang mewajibkan
begitu saja suatu tindakan moral, sedangkan hipotesis selalu mengikutsertakan
struktur jika,... maka...

3. Utilitarianisme
Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran etika Inggris dan kemudian berkembang
ke negara lain. Aliran ini dipelopori oleh David Hume dan Jeremy Bentham.
Bentham mengungkapkan bahwa manusia menurut kodratnya tunduk pada dua
penguasa yaitu kesenangan dan ketidaksenangan. Suatu perbuatan dapat dianggap
sebagai baik atau buruk apabila dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan
sebanyak mungkin orang.
Teori etika normatif umum yang dikembangkan filosof juga menghasilkan
prinsip abstrak seperti jalan tengah, kebermanfaatan, kewajiban, dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, muncul beberapa prinsip turunan yang dapat diterapkan pada
kasus khusus, diantaranya sebagai berikut :

a. Prinsip otonomi
Prinsip pertama yang patut disebut adalah hormat terhadap pribadi. Dasar
filosofis prinsip otonomi adalah karena manusia bertindak secara moral dan
memiliki kapasitas bagi pilihan rasional, mereka memiliki nilai yang independen
dari situasi spesial apapun yang memberi nilai. Manusia memiliki otonomi yang
tidak dimiliki makhluk lainnya, karena kebebasannya dalam mewujudkan tujuannya
sendiri maka manusia tidak boleh diperlakukan sekedar sebagai sarana. Contohnya,
seorang pria mencintai wanita hanya demi harta yang dimilikinya. Otonomi manusia
hanya bisa diwujudkan apabila seseorang bebas dari kontrol luar dan memegang
kendali terhadap urusannya sendir. Prinsip otonomi berbunyi “ selama tindakan
seorang pelaku otonom tidak menciderai tindak otonom orang lain, orang itu harus
bebas untuk melakukan tindak apa saja yang ia kehendaki (walau pilihannya
melibatkan resiko bagi dirinya dan walau orang lain memandang apa yang
dilakukannya sebagai tindakan bodoh).

11
b. Prinsip kemurahan hati
Prinsip ini meminta kita tidak menyakiti hati orang lain, dan membantu orang
lain untuk mengembangkan lebih jauh kepentingan mereka, umumnya dengan
mencegah atau melenyapkan kemungkinan pencederaan. Menurut William
Frankena, prinsip ini memiliki empat elemen, yaitu seeorang tidak boleh berlaku
jahat atau mencederai, seorang harus mencegah kejahatan atau pencederaan, seorang
harus melenyapkan kejahatan atau pencederaan, dan seorang harus melakukan atau
mendukung kebaikan.

c. Prinsip keadilan
Ide dasar baik keadilan individual atau sosial adalah bahwa seseorang telah
diperlakukan adil ketika ia telah diberikan apa yang dijanjikan kepadanya,apa yang
harusnya ia dapatkan atau mampu secara sah mengklaimnya. Beberapa prinsip yang
sah dari keadilan distributif adalah untuk setiap orang pembagian yang sama rata,
sesuai dengan kebutuhan, sesuai dengan haknya, sesuai dengan upaya individualnya,
sesuai dengan kontribusi sosialnya dan sesuai dengan kualitasnya.
Keputusan moral pada kasus konkret khusus merupakan argumen turunan dari
argumen suatu teori etika abstrak setelah melewati beberapa level argumen moral.
Level-level argumen moral berasal dari yang paling dasar berupa keputusan moral,
hukum moral, prinsip moral dan berakhir pada teori etika. Keputusan moral merupakan
argumen moral langsung berkenaan dengan kasus konkret. Hukum-hukum moral
adalah seperangkat aturan yang mengatur apa boleh dan tidak boleh dilakukan
berkenaan dengan kasus tertentu. Prinsip moral lebih bersifat umum dan lebih
fundamental dibandingkan hukum moral. Teori etika adalah bangunan-bangunan yang
memuat prinsip dan hukum yang sedikit banyak saling terkait secara sistematis.
Keputusan moral dijustifikasi oleh seperangkat hukum moral, seperangkat hukum
moral dijustifikasi oleh prinsip moral dan prinsip moral dijustifikasi oleh sebuah
bangunan teori etika.

Problema etis yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan


memerlukan pemikiran segar dari para ahli etika terapan. Berbagai jenis etika terapan
yang berkembang saat ini adalah sebagai berikut :

a. Etika biomedis

12
Merupakan etika terapan yang berupaya menurunkan prinsip umum etika
normatif untuk kasus konkret. Etika ini menyelidiki dimensi etis dari masalah-
masalah teknologi, ilmu kedokteran, dan biologi sejauh diterapkan pada kehidupan.
Problema etis yang muncul seperti eutanasia, aborsi, teknologi penunda kematian,
dan lain-lain.
b. Etika lingkungan
Merupakan pemahaman sistematis tentang relasi moral antara manusia dengan
lingkungannya. Etika lingkungan berasumsi bahwa norma-norma moral dapat dan
memang mengatur prilaku manusia terhadap dunia natural. Etika lingkungan dibagi
menjadi dua pandangan yaitu antroposentris yang berpusat pada manusia dan
berasumsi bahwa tanggung jawab manusia terhadap lingkungan alam bersifat tidak
langsung dan non antroposentris
c. Etika politik
Etika politik merupakan filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan
manusia, atau cabang filsafat yang membahas prinsip-prinsip moralitas politik. Etika
politik mengkaji permasalahan legitimasi etis kekuasaan.
d. Etika profesi
Seperangkat standar yang digunakan para profesional ketika mereka
menjalankan tugasnya (profesinya). Setiap profesi memiliki etika masing-masing
yang hanya berlaku dalam bidang tesebut, seperti etika dalam ilmu kedokteran,
hukum, jurnalis, farmasi, dan sebagainya.

13
KESIMPULAN

Jadi dari pemaparan dapat disimpulkan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai, karena bebas nilai
tidak hanya dipandang dari segi kepentingan subjek, akan tetapi bebas nilai itu harus
disesuaikan dengan hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Kemudian perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan juga memiliki dampak pada pergeseran etika yang menjadi
persoalan dalam kehidupan manusia.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral. 2002. Menyoal Obyaktivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Teraju.

Melsen,Van diterjemahkan oleh Dr. K. Berpens. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab
Kita. Jakarta: Gramedia.

Mustansyir, Risal dan Misnal Munir. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

15

Anda mungkin juga menyukai