Anda di halaman 1dari 3

1.

Paradigma Ilmu Bebas Nilai

Paradigma ilmu bebas nilai (value free) menyerukan bahwa ilmu itu bersifat otonom
yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai apapun. Bebas nilai artinya
segala kegiatan ilmiah harus didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor-faktor eksternal yang tidak secara
hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penganut paradigma ini menginginkan
bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun
aksiologis. Dalam hal ini, ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah
kepada orang lain untuk mempergunakan pengetahuan tersebut, apakah akan
dipergunakan untuk tujuan yang bermanfaat, atau malah sebaliknya dipergunakan untuk
tujuan yang mudharat.

Golongan yang menganut paham ilmu tidak terikat nilai ini ingin melanjutkan tradisi
kenetralan ilmu secara total seperti pada masa Galileo. Mereka berpendapat bahwa
objek ilmu tetaplah sebagai objek ilmiah yang harus disamakan, baik secara teoritis
maupun secara metodologis. Oleh sebab itu, ilmuwan tidak boleh membedakan apakah
objek yang dihadapi ilmu tersebut merupakan bahan dari zat-zat kimia atau
keseragaman peristiwa alam (uniformity of natural) atau merupakan masalah yang ada
hubungannya dengan kemanusiaan. Manusia disamping sebagai subjek peneliti ilmu,
juga sebagai objek yang diteliti secara objektif dari luar, tanpa terpengaruh dengan
faktor-faktor apapun yang menjiwainya. Lebih jauh lagi, di antara penganut paham ini
ada yang secara ekstrim menyatakan bahwa gejala-gejala kemasyarakatan sama
dengan gejala fisika, yaitu sama-sama bersifat alami. Pengertian-pengertian seperti
kehendak, rasa, motif, nilai dan jenis merupakan hal-hal yang berada diluar dunia
eksakta yang adanya hanya dalam dunia angan-angan yang tidak patut ditinjau dari segi
ilmiah. Dari sini dapat dipahami bahwa bebas nilai hakekatnya adalah tuntutan yang
ditujukan pada ilmu agar keberadaannya dikembangkan dengan tanpa memperhatikan
nilai-nilai lain di luar ilmu itu sendiri. Dengan kata lain, tuntutan dasar agar ilmu
dikembangkan hanya demi ilmu itu sendiri tanpa pertimbangan aspek politik, agama,
moral dan etika. Ilmu harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan
pertimbangan ilmiah murni.
Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai tersebut tidak dikenal hukum boleh dan tidak
boleh, baik dan tidak baik, manfaat dan mudharat. Misalnya, eksplorasi alam tanpa
batas bisa jadi dibenarkan untuk kepentingan ilmu itu sendiri, seperti juga ekpresi seni
yang menonjolkan pornografi dan pornoaksi dianggap sebagai sesuatu yang wajar
karena ekspresi tersebut semata-mata untuk seni. Setidaknya, ada problem nilai
ekologis dalam ilmu tersebut tetapi ilmu-ilmu yang bebas nilai demi tujuan untuk ilmu
itu sendiri mengesampingkan kepentingan-kepentingan ekologis karena dianggapnya
akan menghambat kemajuan dan pengembangan ilmu tersebut. Contoh lain adalah
sebelum ditemukan teknologi sinar laser demi mempelajari anatomi tubuh manusia,
maka para ilmuwan di bidang kedokteran membolehkan riset dengan cara menguliti
mayat manusia dan mengambil dagingnya hingga tinggal tulang-tulangnya dalam upaya
pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam masalah seni misalnya, para seniman
dibolehkan membuat patung-patung manusia telanjang, lukisan-lukisan erotis, fotografi
yang menonjolkan pornografi dan tarian-tarian tanpa busana, dimana hal tersebut sama
sekali bukan masalah dan dibenarkan secara ilmu seni karena menjadi bagian dari
ekspresi pengembangan ilmu seni itu sendiri.

Berkaitan dengan masalah ini, Nurcholis Madjid mengatakan bahwa karena teknologi
hanya berurusan dengan benda-benda mati, hal itu menimbulkan kesan bahwa
teknologi merupakan bentuk ilmu yang netral atau bebas nilai. Hal ini berbeda dengan
ilmu-ilmu sosial yang dianggapnya tidak bebas nilai. Menurutnya, kebiasaan dalam
menganggap bahwa ilmu teknologi memiliki kepastian yang tetap sedangkan ilmu
sosial tidak memiliki kepastian yang tetap menjadikan antara keduanya disebutkan
dengan istilah yang berbeda – yakni ilmu sains disebutnya sebagai ilmu keras (hard
science) dan ilmu sosial disebut sebagai ilmu lunak (soft science) sehingga
mengesankan bahwa berurusan dengan ilmu teknologi adalah lebih mudah daripada
berurusan dengan ilmu-ilmu sosial, dan lebih tidak berbahaya karena sifatnya yang pasti
sehingga memudahkan untuk dikuasai dan dikendalikan oleh siapapun. Pandangan
seperti ini menurut Nurcholis Madjid memang dapat dibenarkan, meskipun
sesungguhnya mengandung kesalahan yang mendasar secara epistemologis.
Menurutnya, ilmu pengetahuan dan teknologi disebut sebagai ilmu keras (hard science)
karena sifatnya yang pasti dan tidak beribah-ubah seperti sifat yang melekat pada ilmu
sosial (soft science). Kajian terhadap alam kebendaan dapat menghasilkan suatu nilai
kepastian yang tinggi dan valid. Hal ini karena variable yang digunakan dan harus
diperhatikan untuk penyimpulan teoritisnya dapat dikatakan cukup terbatas, karenanya
lebih mudah dikuasai. Adapun kajian mengenai ilmu sosial yang mana objek kajiannya
adalah hidup kemasyarakatan manusia, dapat melibatkan variable yang sangat banyak,
luas, serta tidak terbatas, yang mana hingga saat ini sebagian besar variabel tersebut
masih belum mungkin dikenali, lebih-lebih dijadikan konsideran dalam membuat
penyimpulan teoritisnya. Karena itulah kemudian ilmu sosial dikesankan sebagai suatu
ilmu lunak yang tidak memiliki kepastian.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penganut paradigma ilmu bebas nilai
berpendirian bahwa ilmu tidak boleh terikat dengan nilai, baik dalam proses
penemuannya maupun dalam proses penerapannya, karena petimbangan-pertimbangan
moral atau nilai hanya akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai