Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sains dan teknologi telah menuntun manusia menuju peradaban yang lebih maju dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat. Pada era globalisasi seperti
sekarang ini, penguasaan sains dan teknologi merupakan indikator signifikan dalam
percepatan pertumbuhan pembangunan suatu bangsa. Upaya mengejar ketertinggalan sains
dan teknologi bangsa-bangsa yang sedang membangun terhadap bangsa-bangsa yang sudah
maju bukanlah suatu hal yang mudah karena kondisinya dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya
masyarakat setempat. Sains merupakan bagian dari himpunan informasi yang termasuk
dalam pengetahuan alamiah, dan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang
struktur dari suatu sistem serta penjelasan tentang pola laku sistem tersebut. Sistem yang
dimaksud dapat berupa sistem alami maupun sistem yang merupakan rekaan pemikiran
manusia mengenai pola laku hubungan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Sains
sebagai proses ilmiah, menurut Ritchie Calder, (1955 : 37), dimulai ketika manusia
mengamati sesuatu. Pengamatan tersebut disebabkan oleh adanya kontak langsung antara
manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai macam permasalahan. Jadi
proses berpikir manusia dilakukan ketika manusia menemukan masalah dan karena masalah
itu berasal dari dunia empiris maka proses berpikir itu di arahkan pada pengamatan obyek
yang bersangkutan dengan dunia empiris pula Kita dapat mempelajari sains dari alam
semesta yang dimulai dengan bertanya kepada alam atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang alam. Dari pertanyaan itulah kemudian muncul sebuah hipotesis yang akan diajukan
secara empiris sehingga dari pengujian empiris tersebut diperoleh informasi yang valid dan
dapat dipercaya. Sains dan hasilnya dapat dirasakan dalam semua aspek kehidupan manusia.
Untuk itu sains harus menjadi bagian internal dari sistem pendidikan nasional supaya para
siswa menjadi warga negara dan masyarakat yang sadar akan pentingnya sains di era masa
kini.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang diatas yang menjadi permasalahan adalah : bagaimana peranan
bebas nilai dalam ilmu sains dan bagaimana tanggung jawab sains.
1.3 Tujuan
Aadapun tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui deskripsi/pengertian
sains bebas nilai, teori bebas nilai, dan ilmu antara bebas atau terikat nilai 2. Untuk mengetahui
tanggung jawab dan peranan sains dalam kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Bebas Nilai Dalam Sains


Sains bebas nilai, objektif dan diolah melalui pengamatan berkesinambungan, terus
menerus, dan disempurnakan. Hadir dari filsafat positivisme yang mengangungkan pendekatan
material dan harus terukur secara inderawi (melalui metodologi keilmuan tentunya). Sains,
didalamnya melahirkan kebenaran-kebenaran dan uji-uji hipotesis dari masa ke masa dengan
segala latar belakangnya menimbulkan kebanggaan dan keberdayaan manusia dengan produk
teknologinya. Meski kita sadari juga, pada akhirnya seluruh proses kreatifitas manusia dan
kemampuan berpikir manusia untuk mengelola alam semesta dengan segala pernak-perniknya
selalu melahirkan penemuan-penemuan baru yang kian lama kian shophisticated, kian canggih.
Dalam pemabahasan mengenal hal ini kami menemukan 2 persepsi yang berbeda. Ada yang
mengatakan bahwa sains itu bebas nilai, tidak ada sangkut pautnya dengan keyakinan apalagi
agama. Namun ada pula yang mengatakan bahwa sains itu tidak bebas nilai dengan alasan
landasan perkataaan Enstein yang mengeluarkan kata terkenal : “Sains tanpa agama buta, dan
agama tanpa ilmu pincang” atau Stephen Hawking berkata :”saya membaca pikiran-pikiran
Tuhan”. Titik tengah dari pendapat tersebut adalah seperti pada uraian berikut. Pembuktian teori-
teori sains yang dikembangkan dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu
manusiawi. Secara sederhana, sering dikatakan bahwa dalam sains kesalahan adalah lumrah
karena keterbatasan daya analisis manusiawi, tetapi kebohongan adalah bencana. Perkembangan
ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika penemuan yang didasarkan pada
metodologi objektivisme yang ketat. Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek
ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Hal ini sangat penting bahwa setelah tahap ontologi dan
epistimologi suatu ilmu dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Dari
sudut epistemologi, sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu sains formal dan sains empirikal.
Sains formal berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol,
merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan.
Sains formal netral karena berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum
logika. Adapun sains empirical tidak netral. Sains empirikal merupakan wujud kongkret jagad
raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun
oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil
penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya
pada dasar ontologi dan aksiologi bahwa ilmuwan harus menilai antara yang baik dan buruk pada
suatu objek, yang hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap. Objek ilmu memiliki nilai
intrinsik sementara di luar itu terdapat nilai-nilai lain yang mempengaruhinya. Objek tidak dapat
menghindari nilai dari luar dirinya karena tidak akan dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila
hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan kata lain ilmu bukan hanya
untuk kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga untuk kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat
diabaikan kalau ilmu terikat dengan lainnya seperti nilai. Paradigmalah yang menentukan jenis
eksperimen dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah
yang mereka anggap penting dan manfaatnya. Ketidaknetralan ilmu disebabkan karena ilmuwan
berhubungan dengan realitas bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa interpretasi, melainkan
dibangun oleh skema konseptual, ideologi, permainan bahasa, ataupun paradigma. Di samping
itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya secara otomatis tanggung jawab sosial
para ilmuwan terhadap masalah negatif yang timbul, karena disibukkan dengan kegiatan
keilmuan yang diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas
terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka dianggap benar.
Hal yang sangat menggelikan. Seharusnya ilmuwan menerima kebenaran yang didapat dalam
penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah
yang membawa kemajuan ilmu. Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru.
Kemudian di mana letak kenetralan ilmu? Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode
trial and error, dan sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi
ternyata seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan sebagai
acuan moral bagi pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam
visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral. Dapat disimpulkan bahwa ilmu
dapat netral hanya pada aspek sains formal sedangkan pada sains empirik, ontology, dan
aksiologi sains tidak bisa netral. Objek ilmu, subjek ilmu, dan pengguna ilmu saling berkaitan.
Ilmu dibangun oleh interpretasi ilmuwan yang didasari paradigma dan nilai diluar objek ilmu.
Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru sering disebut sebagai hukum kekekalan
massa dan energi sering dikira bertentangan dengan prinsip tauhid. Padahal itu hukum agama
yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan
tidak bisa dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya
Tuhan yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Demikian juga tetap sains yang berlandaskan
agama yang menghasilkan teknologi kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang
atau manusia memperoleh keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. Teori
evolusi dalam konteks tinjauan aslinya dalam sains, juga agamis bila didukung bukti saintifik.
Semua prosesnya mengikuti sunnah agama, yang tanpa kekuasaan Tuhan semuanya tak mungkin
terwujud. Dalam sains, rujukan yang digunakan semestinya dapat diterima semua orang, tanpa
memandang sistem nilai yang dianutnya. Dalam hal ini sistem nilai yang tidak mungkin
dilepaskan. Memang tidak akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut
seorang saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau semi-ilmiah.
Karena objektivitasnya pada pandangan indrawi dan harus teruji, maka sains mendekati dari
kacamata agama (Islam) menjadi susah. Islam tidak bebas nilai. Islam berbicara pada sudut-sudut
yang tidak dimiliki oleh ilmu (pengetahuan). Karena itu pula, Jamaluddin menulis dalam artikel
yang dikomentari Joesath : “tidak ada sains islam yang ada adalah saintis islam dan bukan saintis
islam”. Salah satu alasan pandangan sains yang tidak bebas nilai yaitu ketika mempelajari sains,
manusia tetap saja punya keinginan-keinginan untuk menyimpulkan sesuatu atas dasar cara
pandangnya.
Ketika Eistein mengeluarkan kata yang terkenal : “Sains tanpa agama buta, dan agama
tanpa ilmu pincang” atau Stephen Hawking berkata :”saya membaca pikiran-pikiran Tuhan”,
sangat jelas bahwa persepsi pengetahuan dan kemampuan memahami fenomena alam melahirkan
kesimpulan-kesimpulan yang tidak bebas nilai. Sains juga ditelaah dengan segala kemajuannya
semakin (menurut agor) semakin juga terjerembab pada pertanyaan-pertanyaan yang semakin
tidak ada jawabnya jika diolah dari pengetahuan inderawi, terukur, dan objektif. Karena, semakin
di dalami, semakin tampak bahwa penelitian-penelitian yang terjadi, indikator-indikator yang
terjadi mengarah pada substansi yang tak tertangkap oleh inderawi. Paling minimal, indikasi
makin mengetahui menjadi semakin tidak mengetahui. Misalnya saja, ketika bicara alam, muncul
pemikiran alam paralel, materi gelap, ketiadaan materi dalam teori dawai. Wujud menjadi
sesuatu yang pseudo. Jawaban-jawaban kemudian sangat tampak subjektif atas objektif yang
diamati atau diteorikan. Jadi, semakin tampak bahwa sains harus (baca : kemudian) semakin
subjektif dan tidak bebas nilai. Kesulitan sains mempertahankan posisi untuk bebas nilai semakin
sulit karena fakta indera menangkap begitu banyak masalah-masalah di luar dimensi-dimensi
fisik yang terukur pada bidang-bidang fisika, kimia, biologi, astronomi tampaknya semakin
menekan ilmuwan untuk melihat dan harus melihat tidak hanya pada realitas objektif, tapi juga
realitas relatif terhadap spirit atau metafisik.

2.2. Teori Tentang Nilai


Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru
karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas
pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan
nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara
netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai? Bagi ilmuwan
yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat
terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek
penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian. Sedangkan bagi
ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya.
karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai. Kendati demikian paham
pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan
baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata
kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah carl
Gustav Jung “bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan
Goethe”.

2.3 Ilmu, Antara Bebas Atau Terikat Nilai


Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika penemuan
yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja muncul berupa
kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan
permasalahan di luar objeknya. Yaitu terikat dengan nilai subjektifitasnya seperti hal yang
berbau mitologi. Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan. Setiap buah pikiran
manusia harus kembali pada aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Hal ini sangat penting
bahwa setelah tahap ontologi dan epistimologi suatu ilmu dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai
kegunaan ilmu (aksiologi). Dari sudut epistemologi, sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu
sains formal dan sains empirikal. Sains formal berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi
dengan menggunakan simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan.
Sains formal netral karena berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika.
Adapun sains empirical tidak netral. Sains empirikal merupakan wujud kongkret jagad raya ini,
isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh pakar
berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil
penginderaan terhadap jagad raya. Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya
pada dasar ontologi dan aksiologi bahwa ilmuwan harus menilai antara yang baik dan buruk pada
suatu objek, yang hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
Objek ilmu memiliki nilai intrinsik sementara di luar itu terdapat nilai-nilai lain yang
mempengaruhinya. Objek tidak dapat menghindari nilai dari luar dirinya karena tidak akan
dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya
sendiri. Dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga
untuk kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat diabaikan kalau ilmu terikat dengan lainnya
seperti nilai. Paradigmalah yang menentukan jenis eksperimen dilakukan para ilmuwan, jenis-
jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting dan manfaatnya.
Ketidaknetralan ilmu disebabkan karena ilmuwan berhubungan dengan realitas bukan sebagai
sesuatu yang telah ada tanpa interpretasi, melainkan dibangun oleh skema konseptual, ideologi,
permainan bahasa, ataupun paradigma. Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan
berimplikasi lepasnya secara otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap masalah
negatif yang timbul, karena disibukkan dengan kegiatan keilmuan yang diyakini sebagai bebas
nilai alias tak bisa diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas terhadap persoalan negatif yang
ditimbulkannya, maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan.
Seharusnya ilmuwan menerima kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis.
Setiap pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu.
Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru. Kemudian di mana letak
kenetralan ilmu? Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan sering
menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali
menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi
pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam visi, misi,
keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral. Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu
yang tidak bebas nilai atau terikat nilai (valuebond) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait
dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan
ilmu yang terikat nilai jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari kepentingan-
kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis dsb.

2.4 Hakikat dan Tanggung Jawab Pendidikan Sains


Sains dari aspek dan epistemologi, didefinisikan sebagai “Suatu deretan konsep serta
skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, dan yang tumbuh sebagai hasil
eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksprementasikan lebih lanjut”.
Sebagai disiplin ilmu, sains diidentikkan dengan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang terediri
atas physical sciences dan life sciences. Termasuk physical sciences adalah ilmu-ilmu astronomi,
kimia, geologi, mineralogi, meteorologi, dan fisika. Sedangkan life sciences meliputi biologi,
zoologi, dan fisiologi. Hal ini sejalan dengan pendefinisian yang diberikan dalam Encyclopaedia
of Knowledge, 1993, dimana Sains / IPA didefinisikan sebagai pengembangan dan sistematisasi
dari ilmu pengetahuan positif yang berkaitan dengan alam semesta. Perkembangan IPA
ditunjukkan tidak hanya oleh kumpulan fakta saja, melainkan juga oleh timbulnya metode ilmiah
(scientific method) dan sikap ilmiah (scientific attitude). A.N. Whitehead menyatakan bahwa
sains dibentuk karena pertemuan dua orde pengalaman, yaitu orde observasi yang dididasarkan
pada hasil observasi terhadap gejala/fakta alam, dan orde konsepsional yang didasarkan pada
konsep manusia mengenai alam semesta. Dengan demikian, Sains berupaya membangkitkan
minat manusia agar mau menigkatkan kecerdasan dan pemahaman tentang alam seisinya yang
penuh dengan rahasia yang tidak habis-habisnya, yang pada akhirnya akan memperdekat rentang
jarak antara sains dengan teknologi sebagai terapannya. Pendidikan Sains tentunya berbeda
dengan sains itu sendiri, tetapi memiliki hubungan yang sangat erat.
Bila Sains ditujukan untuk mengembangkan Sains itu sendiri, tetapi pendidikan sains
ditujukan agar manusia mengerti dan mengembangkan atau mengembangkan aplikasi dari sains.
Lain halnya dengan para saintis (ilmuwan), para praktisi dalam pendidikan sains dituntut harus
memperhatikan aspek-aspek psikologis, sosial dan kultural. Pendidikan sains seringkali
disamakan dengan pengajaran sains, namun pendidikan sains dapat dibedakan lebih jauh dari
pengajaran sains. Dalam pengajaran sains, para siswa terutama dilatih untuk memahami
hubungan antar (dan peran masing-masing) peubah dalam gejala dan peristiwa alam, serta
kondisi yang perlu bagi terjadi atau tidak terjadinya gejala itu melalui mekanisme tertentu.
Sementara itu, pendidikan sains lebih ditujukan memberikan kearifan, menanamkan rasa
tanggung jawab dan mendewasakan pertimbangan serta sikap moral etis. Dengan demikian,
pendidikan sains lebih menitik beratkan pada pada aspek afektif, dan pengajaran sains lebih
terfokus pada segi-segi kognitif dan psikomotorik. Dalam kaitannya dengan disiplin ilmu, sains
(dan matematika) dapat dinyatakan memiliki daerah bersama (irisan) dengan ilmu-ilmu lain
dimana, sains itu sendiri merupakan disiplin pokok yang berkaitan erat dengannya. Pendidikan
sains tidak dapat terlepas dari psikologi, pedagogi, epistemologi, sosiologi, antropologi, bahasa
dan lain-lain. Keterkaitan erat antara Sains dengan didiplin ilmu lainnya dalam Pendidikan Sains,
berimplikasi pada pengembangannya sebagai disiplin ilmu yang relatif masih berkembang ini.
Dimensi Pendidikan Sains, dengan sendirinya, sekurang-kurangnya mengandung unsur atau nilai
sosial budaya, etika moral dan agama.

2.5 Pendidik Dan Pengajar Sains


Dalam masyarakat industri modern sekarang ini, dibutuhkan sosok para pendidik yang
menguasai sains dan teknologi dan sekaligus sosok personifikasi moral dan keyakinan agama.
Dia adalah gabungan ciri-ciri seorang profesioanl, saintis, ulama dan mungkin pula seniman.
Perubahan pandangan yang dirasa penting dari setiap pendidik sains dewasa ini adalah agar para
pendidik berusaha mengetahui hal-hal yang dibutuhkan peserta didik untuk dipelajari, agar
setelah berlangsungnya proses pembelajaran betu betul dirasakan manfaatnya bagi peserta didik
tersebut. Hal ini tidaklah berarti bahwa struktur keilmuan sains tidak diperhatikan sama sekali,
akan tetapi perlu dilakukan penelaahan dan pemilihan kedalaman pembahasan konsep- konsep
yang tercantum dalam kurikulum. Untuk itu, para pendidik sains harus mampu melihat jauh ke
depan dalam merancang program pengajaran agar dapat memenuhi tuntutan masa depan. Apabila
peningkatan kualitas pembelajaran sains hendak dijadikan sebagai prioritas, maka kualitas tenaga
pendidik menjadi faktor penentu bagi berlangsungnya upaya tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kemajuan pembangunan suatu bangsa merupakan interaksi beberapa faktor.
Penguasaan sains dan teknologi merupakan keharusan, tetapi yang lebih urgen adalah
pembentukan tata nilai budaya masyarkat itu sendiri.
2. Peningkatan SDM dalam pemanfaatan sains, teknologi, dan seni haruslah di dasari
dengan sikap tanggung jawab dan moral yang tinggi supaya dapat menetralkan pengaruh negatif
dan meningkatkan pengaruh positif dari dampak sains, teknologi dan seni itu sendiri. Dengan
cara mengkolaborasikan antara yang empiris dengan nilai-nilai keagamaan.
3.2. Saran
Sebaiknya umat manusia tidak hanya mendalami pengetahuannya tentang sains, dan
teknologi saja, tetapi juga harus mendalami nilai-nilai religius, keagamaan untuk menetralisir
pengaruh buruk dari sains, teknologi, untuk mendapatkan kesejahteraan hidup yang lebih baik
lagi. Sebab tanpa memperhatikan tatanan nilai-nilai, perkembangan sains akan berbelok ke arah
yang tidak diinginkan yang menyebab terjadinya berbagai penyimpangan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. NETRALITAS SAINS : Perbedaan Cara Pandang Saintis dan Pakar Filsafat Ilmu
dimuat dalam “Radar Bandung”,
Ramadhan 1424, 10 & 11 November 2003. Ahmad Rifa’i. ILMU, Antara Bebas atau Terikat
Nilai.
Diambil dari “http://www.inilahjalanku.com/fisika_dan_kimia”Diakses pada tanggal 25 Oktober
2013. Djohar. 1996. Reformasi Pendidikan Sains. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains. No.
1-2/ I. FPMIPA IKIP Yogyakarta. Yogyakarta Poedjiadi, Anna. 1994. Pembaharuan Pandangan
dalam Pendidikan Sains. Mimbar Pendidikan. No. 4/XIII. IKIP Bandung. Sukarno, dkk. 1981.
Dasar-dasar Pendidikan Sains. Bhratara Karya Aksara. Jakarta Sumaji,dkk. 1998. Pendidikan
Sains Yang Humanitis. Penerbit Kanisius. Jakarta.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Deskripsi bebas nilai dalam sains
2.2 Teori tentang nilai
2.3 Ilmu, antara bebas atau terikat nilai
2.4 Hakikat dan tanggung jawab pendidikan sains
2.5 Pendidik dan pengajar sains
BAB III PENUUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat, karunia, serta kasih sayang terbesarnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ilmiah ini dengan judul ” FILSAFAT SAINS”
Makalah ilmiah telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar makalah ini .untuk itu penulis sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ilmiah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepehnumya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena dengan tangan terbuka
penuis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ilmiah tentang “FILSAFAT SAINS ” dapat
memberikan maanfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Penyusun
MAKALAH SEMINAR FISIKA
FILSAFAT SAINS

NAMA : GABRIELLA LATUPEIRISSA


NIM : 201643051

FAKULAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019

Anda mungkin juga menyukai