Anda di halaman 1dari 54

Paradigma ilmu bebas nilai dan ilmu tidak bebas nilai

B. Paradigma ilmu bebas nilai dan ilmu tidak bebas nilai

a. Pengertian ilmu

Rasionalisasi limu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptic-metodisnya
meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu. Sikap ini berlanjut pada Auf
Klarung, suatu era yang merupakan suatu usaha manusia untuk mencapai rasional tentang
dirinya dan alam.
Istilah ilmu dalam pengertian klasik diartikan sebagai pengetahuan tentang sebab akibat atau asal
usul. Guston Buchelard menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran
manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar.
Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yakni produk-
produk, proses dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk, artinya pengetahuan yang
telah diketahui serta diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Ilmu pengetahuan sebagai
poses, artinya kegiatan kemasyarakatan yang di lakukan demi penemuan dan pemahaman dunia
alami sebagaimana adanya bukan sebagaimana yang dikehendaki.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat, artinya dunia pergaulan yang tindak tanduknya, perilaku
dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan yaitu: universalisme, komunalisme,
tanpa pamrih dan skeptisisme yang teratur.
Van Melsen mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu, yaitu :

1. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis
koheren

2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih karena erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmuan.

3. Universalitas ilmu pengetahuan

4. Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak di distorsi oleh
prasangka-prasangka subjektif

5. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan,
karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
6. Progresivitas, artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah bila mengandung
pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru lagi.

7. Kritis, tidak ada teori ilmiah yang difinitif.

8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan antara teori dengan praktis.

b. Pengertian nilai

Filsafat sebagai phylosophy of life mempelajari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan dan
berfungsi sebagai pengontrol terhadap keilmuan manusia. Teori nilai berfungsi mirip dengan
agama yang menjadi pedoman kehidupan manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan
bagaimana manusia mengalami kehidupan dan memberi makna terhadap kehidupan ini.
Nilai, bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh berupa kenyataan,
bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada kenyataan- kenyataan lain,
mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan (pembawa nilai bisa berubah).

c. Paradigma ilmu

Ilmu terbagi menjadi dua pandangan yaitu ilmu bebas nilai (value free) dan ilmu terikat nilai/
ilmu tak bebas nilai (value bound)

Paradigma ilmu bebas nilai

Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang menyatakan bahwa
ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama
seklai dengan nilai. Bebas nilai berarti semua kegiatan terkait dengan penyelidikan ilmiah harus
disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu menolak campur tangan faktor eksternal yang
tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri.
Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor sebagai indikator bahwa
ilmu itu bebas nilai, yaitu:
a. Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu
harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religious, cultural, dan social.
b. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu terjamin. Kebebasan di sisni
menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat
kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.
Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas dapat dibenarkan, karena
hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri, yang terkdang hal tersebut dapat merugikan
lingkungan. Contoh untuk hal ini adalah teknologi air condition, yang ternyata berpengaruh pada
pemansan global dan lubang ozon semakin melebar, tetapi ilmu pembuatan alat pendingin
ruangan ini semata untuk pengembangan teknologi itu dengan tanpa memperdulikan dampak
yang ditimbulakan pada lingkungan sekitar. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu
tersebut, tetapi ilmu bebas nilai menganggap nilai ekologis tersebut menghambat perkembangan
ilmu.
Ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai nilai yang letaknya di luar ilmu
pengetahuan, hal ini dapat juga di ungkapkan dengan rumusan singkat bahwa ilmu pengetahuan
itu seharusnya bebas. Maksud dari kata kebebasan adalah kemungkinan untuk memilih dan
kemampuan atau hak subyek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan,
harus ada penentuan diri dan bukan penentuan dari luar. Jika dalam suatu ilmu tertentu terdapat
situasi bahwa ada berbagai hipotesa atau teori yang semuanya tidak seluruhnya memadai, maka
sudah jelas akan di anggap suatu pelanggaran kebebasan ilmu pengetahuan, bila suatu instansi
dari luar memberi petunjuk teori mana harus di terima. Menerima teori berarti menentukan diri
berdasarkan satu satunya alasan yang penting dalam bidang ilmiah, yaitu wawasan akan
benarnya teori. Apa yang menjadi tujuan seluruh kegiatan ilmiah disini mecapai pemenuhannya.
Dengan demikian penentuan diri terwujud sunguh sungguh.Walaupun terlihat dipaksakan,
namun penentuan diri ini sungguh bebas, karena dilakukan bukan berdasarkan alasan alasan
yang kurang dimengerti subyek sendiri melainkan berdasarkan wawasan sepenuhnya tentang
kebenaran.
Tokoh sosiologi, Weber menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ilmu-ilmu sosial
harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan
aktivitasnya seperti mengajar dan menulis mengenai bidang ilmu sosial mereka tidak
terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh bagian-bagian
praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani
kepentingan segelintir orang, budaya, maka ilmuawan sosial tidak beralasan mengajarkan atau
menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan
objektivitas ilmiah.
Dengan bebas nilai kita maksudkan suatu tuntutan dengan mengajukan kepada setiap kegiatan
ilmiah atas dasar hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Orang yang mendukung bebas nilai ilmu
pengetahuan akan melakukan kegiatan ilmiah berdasarkan nilai yang khusus yang diwujudkan
ilmu pengetahuan. Karena kebenaran dijunjung tinggi sebagai nilai, maka kebenaran itu dikejar
secara murni dan semua nilai lain dikesampingkan.

Paradigma ilmu tidak bebas nilai

Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terikat dengan nilai
dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Perkembangan nilai tidak lepas
dari dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya.
Menurut salah satu filsof yang mengerti teori value bond, yaitu Jurgen Habermas berpendapat
bahwa ilmu, sekalipun ilmu alam tidak mungkin bebas nilai, karena setiap ilmu selau ada
kepentingan-kepentingan. Dia juga membedakan ilmu menjadi 3 macam, sesuai kepentingan-
kepentingan masing-masing;
a. Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis.
Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan untuk
kepentingan-kepentingan manusia. Dari ilmu ini pula disusun teori-teori yang ilmiah agar dapat
diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang besifat teknis. Pengetahuan teknis ini
menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia untuk mengelola dunia atau alamnya.
b. Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuana yang pertama, karena tidak
menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai
sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan yang dibicarakan adalah
hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang dikejar oleh pengetahuana ini
adalah pemahaman makna.

c. Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan mendewasakan
manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat dipentingkan disini. Aspek sosial yang
mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan yang dikejar adalah pembebasan atau
emansipasi manusia.
Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus
di kembangkan dengan mempertimbangkan nilai. Ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari
nilai-nilai kepentingan-kepentingan baik politik, ekonomi, sosial, keagamaan, lingkungan dan
sebagainya
ilmu bebas nilai

BAB I

PENDAHULUAN

Sekarang ini ilmu sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan
penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu tidak hanya menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan
dapat mengubah hakiki kemanusiaan itu sendiri, dengan kata lain ilmu bukan lagi merupakan sarana
ynag membantu manusia mencapai tujuan hidupnya tetapi dapat juga menciptakan tujuan hidupnya.

Mengadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya, mulai mempertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan? Dimana batas wewenang
penjelajahan keilmuan dan ke arah mana perkembangan ilmu yang seharusnya. Pertanyaan yang
semacam ini jelas tidak metupakan urgensi bagi keilmuan. Namun pada abad ke-20 para ilmuwan
mencoba menjawab pertanyaan ini dengan berpaling pada hakikat moral.

Sejak saat itu, ilmu sudah terkait dengan masalah- masalah moral dalam perspektif yang
berbeda. Contoh : Ketika Copernicus ( 1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan
menemukan bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari. Berbeda dengan pendapat ajaran agama,
sehingga terjadi interaksi anatara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi
metafisik. Secara metafisik, ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan pihak lain
terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan pada kenyataan- kenyataan (nilai- nilai ) yang terdapat dalam
ajaran- ajaran di luar bidang keilmuan, diantaranya yaitu agama.
Dari kasus Copernicus tersebut, pada dasarnya mencerminkan suatu pertentangan antara ilmu
yang ingin terbebas dari nilai- nilai diluar bidang keilmuan dengan ilmu yang berlandaskan pada nilai-
nilai di luar bidang keilmuan. Pada makalah ini, akan dijelaskan mengenai paradigma tentang ilmu.

BAB I

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu
Rasionalisasi limu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptic-metodisnya
meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut
pada Auf Klarung, suatu era yang merupakan suatu usaha manusia untuk mencapai rasional tentang
dirinya dan alam.
Istilah ilmu dalam pengertian klasik diartikan sebagai pengetahuan tentang sebab akibat atau
asal usul. Guston Buchelard menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran
manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar.
Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yakni produk-
produk, proses dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk, artinya pengetahuan yang telah
diketahui serta diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Ilmu pengetahuan sebagai poses, artinya
kegiatan kemasyarakatan yang di lakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana
adanya bukan sebagaimana yang dikehendaki.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat, artinya dunia pergaulan yang tindak tanduknya, perilaku
dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan yaitu: universalisme, komunalisme, tanpa
pamrih dan skeptisisme yang teratur.
1. Van Melsen mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu, yaitu : Ilmu pengetahuan secara
metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren.
2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih karena erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmuan.
3. Universalitas ilmu pengetahuan.
4. Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak di distorsi oleh prasangka-prasangka
subjektif.
5. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan, karena itu
ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
6. Progresivitas, artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah bila mengandung pertanyaan-
pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru lagi.
7. Kritis, tidak ada teori ilmiah yang difinitif.
8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan antara teori dengan praktis ( dalam
Rizal Mustansyir,dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, hlm. 140-141).

Dalam pembahasan tentang lmu seringkali kita dihadapkan dengan paradigma bebas nilai dalam
ilmu. Dalam bahasa Inggris paradigma bebas nilai disebut dengan value free, mengatakan bahwa ilmu
dan juga tekhnologi bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali denga
nilai. Pembatasan-pembatasan etis hanya akan menghalangi eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas nilai
berarti semua kegiatan yang terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu
sendiri. Ilmu dikatakan bernilai karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya,
yang obyektif, yang terkaji secara kritik.

B. Pengertian Nilai
Filsafat sebagai phylosophy of life mempelajari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan dan
berfungsi sebagai pengontrol terhadap keilmuan manusia. Teori nilai berfungsi mirip dengan agama yang
menjadi pedoman kehidupan manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia
mengalami kehidupan dan memberi makna terhadap kehidupan ini.

Nilai, bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh berupa kenyataan,
bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada kenyataan- kenyataan lain, mutlak
dan tidak pernah mengalami perubahan (pembawa nilai bisa berubah).
C. Paradigma Ilmu
Ilmu terbagi menjadi dua pandangan yaitu ilmu bebas nilai (value free) dan ilmu terikat nilai/
ilmu tak bebas nilai (value bound). Berikut penjelasannya,

1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai

Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang menyatakan bahwa
ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama seklai
dengan nilai. Bebas nilai berarti semua kegiatan terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan
pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu menolak campur tangan faktro eksternal yang tidak secara hakiki
menentukan ilmu itu sendiri.

Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor sebagai indikator bahwa
ilmu itu bebas nilai, yaitu:

a. Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu harus bebas dari
pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religious, cultural, dan social.
b. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu terjamin. Kebebasan di sisni menyangkut
kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu,
karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.

Dalam pandanagn ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas dapat dibenarkan, karena
hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri, yang terkdang hal tersebut dapat merugikan lingkungan.
Contoh untuk hal ini adalah teknologi air condition, yang ternyata berpengaruh pada pemansan global
dan lubang ozon semakin melebar, tetapi ilmu pembuatan alat pendingin ruangan ini semata untuk
pengembangan teknologi itu dengan tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulakan pada lingkungan
sekitar. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut, tetapi ilmu bebas nilai menganggap
nilai ekologis tersebut menghambat perkembangan ilmu. Dalam ilmu bebas nilai tujuan dari ilimu itu
untuk ilmu.

2. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai

Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terikat dengan nilai
dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Perkembangan nilai tidak lepas dari
dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya.
Menurut salah satu filsof yang mengerti teori value bond, yaitu Jurgen Habermas berpendapat
bahwa ilmu, sekalipun ilmu alam tidak mungkin bebas nilai, karena setiap ilmu selau ada kepentingan-
kepentingan. Dia juga membedakan ilmu menjadi 3 macam, sesuai kepentingan-kepentingan masing-
masing;
a. Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis. Ilmu ini
menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan untuk kepentingan-
kepentingan manusia. Dari ilmu ini pula disusun teori-teori yang ilmiah agar dapat diturunkan
pengetahuan-pengetahuan terapan yang besifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi
sebagai upaya manusia untuk mengelola dunia atau alamnya.
b. Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuana yang pertama, karena tidak menyelidiki
sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai sesamanya,
memperlancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan yang dibicarakan adalah hubungan sosial atau
interaksi, sedangkan kepentingan yang dikejar oleh pengetahuana ini adalah pemahaman makna.

c. Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada
otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat dipentingkan disini. Aspek sosial yang mendasarinya adalah
dominasi kekuasaan dan kepentingan yang dikejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.

Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus
di kembangkan dengan mempertimbangkan nilai. Ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai
kepentingan-kepentingan baik politik, ekonomi, sosial, keagamaan, lingkungan dan sebagainya.

D. Kaitan Ilmu

Di dunia modern ini, ilmu sangatlah mendominasi. dipandang dari segi masa depan, ilmu
dianggap sebagai sumber nasihat tentang perilaku. Dalam pandangan Habermas, jelas sekali bahwa ilmu
sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia dan
alam, manusia dan manusia, manusia dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu itu
terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja terlepas dari nilai.

Tanggungjawab ilmu pengetahuan dan tekhnologi menyangkut tanggungjawab terhadap hal-hal


yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di masa-masa lalu. Tanggung jawab
etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan tekhnologi secara tepat
dalam kehidupan manusia. Kaitan ilmu terhadap nilai-nilai membuatnya tak terpisahkan dengan nilai

BAB III

KESIMPULAN
Dalam kehidupan sehari-hari, niali berfungsi mirip dengan agama yang menjadi pedoman
kehidupan manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan
memberi makna terhadap kehidupan ini. Nilai bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-
sungguh berupa kenyataan, bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada
kenyataan- kenyataan lain, mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan.
Dalam filsafat terdapat dua pandangan menenai ilmu, yaitu ilmu bebas nilai dan ilmu terikat
nilai/tidak bebas nilai. Ilmu bebas nilai mengemukakan bahwa antara ilmu dan nilai tidak ada kaitannya,
keduanya berdiri sendiri. Menurut pandangan ilmu bebas nilai, dengan tujuan mengembangkan ilmu
pengetahuan kita boleh mengeksplorasi alam tanpa batas dan tdak harus memikirkan nilai-nilai yang
ada, karena nilai hanya akan menghambat perkembangan ilmu.
Menurut pandangan ilmu terikat nilai/tidak bebas nilai, ilmu itu selalu terkait dengan nilai-nilai.
Perkembangan ilmu selalu memperhatikan aspek nilai yang berlaku. Perkembangan nilai tidak lepas dari
dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya

Ilmu terbagi menjadi dua pandangan yaitu ilmu bebas nilai (value free) dan ilmu terikat
nilai/ ilmu tak bebas nilai (value bound). Berikut penjelasannya,
1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai
Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang
menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak
memiliki keterkaitan sama seklai dengan nilai. Bebas nilai berarti semua kegiatan terkait
dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu menolak
campur tangan faktro eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri.
Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor sebagai
indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:
a. Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu
harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religious, cultural, dan social.
b. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu terjamin. Kebebasan di sisni
menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat
kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.
Dalam pandanagn ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas dapat
dibenarkan, karena hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri, yang terkdang hal
tersebut dapat merugikan lingkungan. Contoh untuk hal ini adalah teknologi air
condition, yang ternyata berpengaruh pada pemansan global dan lubang ozon semakin
melebar, tetapi ilmu pembuatan alat pendingin ruangan ini semata untuk pengembangan
teknologi itu dengan tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulakan pada lingkungan
sekitar. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut, tetapi ilmu bebas nilai
menganggap nilai ekologis tersebut menghambat perkembangan ilmu. Dalam ilmu bebas
nilai tujuan dari ilimu itu untuk ilmu.
2. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai
Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terikat
dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai.
Perkembangan nilai tidak lepas dari dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai
yang lainnya.
Menurut salah satu filsof yang mengerti teori value bond, yaitu Jurgen Habermas
berpendapat bahwa ilmu, sekalipun ilmu alam tidak mungkin bebas nilai, karena setiap ilmu
selau ada kepentingan-kepentingan. Dia juga membedakan ilmu menjadi 3 macam, sesuai
kepentingan-kepentingan masing-masing;
a. Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis.
Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan
untuk kepentingan-kepentingan manusia. Dari ilmu ini pula disusun teori-teori yang ilmiah
agar dapat diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang besifat teknis. Pengetahuan
teknis ini menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia untuk mengelola dunia atau
alamnya.
b. Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuana yang pertama, karena tidak
menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai
sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan yang dibicarakan adalah
hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang dikejar oleh pengetahuana ini
adalah pemahaman makna.
c. Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan mendewasakan
manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat dipentingkan disini. Aspek sosial yang
mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan yang dikejar adalah pembebasan
atau emansipasi manusia.
Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai
dan harus di kembangkan dengan mempertimbangkan nilai. Ilmu jelas tidak mungkin bisa
terlepas dari nilai-nilai kepentingan-kepentingan baik politik, ekonomi, sosial, keagamaan,
lingkungan dan sebagainya.
Ghozali Bachri, dkk. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana
Surajiyo. 2007. Suatu pengantar Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta :
Bumi aksara.
Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Tiara wacana.
http : blogpendidikan.com/info/ilmu_bebas_nilai
www.magri.undip.ac.id/images/stories/prof_soedharsono.ppt
Jujun S. Suriasumantri. (2005) Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar
Harapan.
Rinjin, Ketut. (1997) Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Bandung : CV Kayumas.
Qardhawi, yusuf. (2001) Al-Quran Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta gema insane press.
Lubis, Solly. (1994) Filsafat Ilmu dan Penelitian . Bandung: CV Mandar Maju
Beerling, (1986) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyaka
(1) Buku: Filsafat Ilmu
Pengarang: Pokja akademik
Hal :123-124
(2) Buku : Filsafat Ilmu
Pengarang : Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir M.Hum
Hal : 172-173
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai (valuebond) memandang
bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan
aspek nilai.
Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari kepentingan-
kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis dsb. Salah satu filosof yang
memegangi teori valuebond adalah Jurgen habermas. Dia berpendapat bahwa ilmu bahkan ilmu
alam sekalipun tidaklah mungkin bebas nilai karena pengembangan setiap ilmu selalu ada
kepentingan-kepentingan. Yang membedakan tiga macam ilmu dengan kepnentingan masing-
masing. Pengetahuan yang pertama berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis.
Ilmu-ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secar empiris dan meyajikan hasil penyelidikan itu
untuk kepentingan-kepentingan manusia. Teori-teori ilmiah disusun agar darinya dapat
diturunkan pengetahuan terapan yang bersifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan
teknologi sebagai upaya manusia mengelola dunia atau alamnya. Pengetahuan yang kedua
mempunyai pola yang sangat berlainan, sebab tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan
sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial.
Pengetahuan ini oleh Habermas disebut dengan studi historis Harmenetik. Sifat historis
memperlihatkan adanya gjala perkembangan dari objek yang diselidiki, yakni manusia. Hasil
yang bisa diperoleh dari sini adalah kemampuan komunikasi, saling pengertian karena
pemahaman makna. Inilah arti hemenetik dimaksudkan, yaitu penafsiran menurut tatacara
tertentu yang dihasilkanoleh pengetahuan itu. Aspek kemasyarakatan yang dibicarakan di sini
adalah hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang dikejar oleh pengetahuan ini
adalah pemahaman makna. Sementara itu pengetahuan ketiga adalah teori kritis, yang
membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri
sangat dipentingkan disini. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan
kepentingan yang dikejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.
Jelas sekali dalam pandangan habermas bahwa ilmu sendiri dikonstruksi untuk keoentingan-
kepentingan tertentu, yakni nilai rasional antara manusia dan alam, manusia dn manusia, dan
nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu saja terkait dengan nilai, maka ilmu itu
sendiri tidak mungkin bekerja lepas dari nilai
Prinsip Bebas Nilai dan Cara Mengatasinya

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan terus berkembang mengikuti


perkembangan zaman. Namun, akibat perkembangan dan
tuntutan zaman obyektifitas terhadap ilmu pengetahuan pun
menjadi problematika dalam kebutuhan zaman sekarang ini.
Dikarenakan, penggunaan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
akan berdampak besar terhadap hasil dari suatu proses aplikasi
ilmu.

Aturan aturan sosial juga ingin berperan dalam ilmu


pengetahuan. Sehingga juga sangat mempengaruhi dalam
proses penggunaan ilmu pengetahuan ke dalam kehidupan.
Proses pemerolehan ilmu pengetahuan dari dahulu sampai
sekarang dilakukan tanpa nilai etika. Meskipun menurut para
ahli sendiri terdapat pro dan kontra mengenai Ilmu yang Bebas
Nilai dan Ilmu yang Terikat Nilai.
Masalah etika yang dilanggar para Ilmuwan banyak
mengorbankan nyawa makhluk hidup lain, bahkan nyawa
manusia, semata-mata untuk mendapatkan nilai kebenaran.
Sebagai contohnya dalam masalah medis, kelinci, katak,
monyet, dan sebagainya adalah hewan yang paling banyak
dikorbankan. Untuk masalah teknologi manusialah yang
menanggung akibatnya, misalnya uji senjata nuklir dan
sebagainya. Tetapi yang paling menggelitik adalah nyawa
makhluk lain selain manusia, yang tak berdaya
mempertahankan hidupnya, oleh berbagai percobaan ilmu
pengetahuan.

Dalam ranah filsafat ilmu, ada topik yang hingga saat ini
masih diperdebatkan. Topik tersebut adalah: apakah ilmu itu
bebas nilai (value-free) alias netral, atau sebaliknya, ilmu itu
sarat akan nilai (value-laden)? Tidak sedikit respon yang
bermunculan dalam menanggapi hal ini dengan argument yang
pun beragam.

Topik di atas tampaknya tidak sederhana karena setiap


jawaban punya implikasi, tidak hanya dalam ranah filsafat ilmu
saja. Banyak sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara
langsung oleh ilmu. Jadi, paham bahwa ilmu itu value-free atau
ilmu itu value-laden, akan mempengaruhi kehidupan manusia
secara langsung (Ahmad Tafsir, 2010: 46, dan Harold Kincaid
dkk., 2007: 4).

Ilmu yang dimaksud di sini adalah berbagai macam disiplin


ilmu pengetahuan, baik ilmu alam, ilmu sosial, atau ilmu
humaniora. Sedangkan untuk memahami maksud kata nilai
(value)memperhatikan penggunannya yang beragam dan
kompleks, kita bisa melihatnya dari segi makna kata dan
pendapat para ahli.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1004) kata


nilai mempunyai beberapa arti, salah satunya adalah sifat-
sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.
Kata nilai untuk bahasa Inggris adalah value. Dalam Oxford
Advanced Learners Dictionary edisi keenam (2000: 1493) kata
value juga mempunyai beberapa arti, salah satunya adalah
beliefs about what is right and wrong and what is important in
life. (kepercayaan atau keyakinan mengenai apa yang benar
dan salah, serta apa yang penting dalam kehidupan). Dua
pengertian tersebutlahsebagaimana akan dijelaskan nanti
yang sesuai dalam pembahasan ini, karena pengertian lain yang
terdapat dalam dua kamus tersebut berkaitan dengan harga
(uang), dan angka.

Pengertian di atas sejalan dengan yang dijelaskan oleh


Harold Kincaid dkk. (2007: 10), bahwa yang dimaksud nilai
adalah berbagai hal yang oleh individiu-individu dipandang
berharga atau mesti dipromosikan, dikembangkan dan
direalisasikan. Dalam pengertian ini, nilai tidak hanya
mengenai nilai moral, etis, atau politis, tapi juga nilai epistemis.

Terdapat penjelasan yang beragam mengenai ilmu bebas


nilai (value-free science),namun bukan berarti kontradiktif.
Menurut Ahmad Tafsir (2010: 46), istilah ilmu bebas nilai
berarti bahwa ilmu itu netral, tidak memihak pada kebaikan dan
tidak juga pada kejahatan. Sedangkan menurut Harold Kincaid
dkk. (2007: 4), maksud ilmu bebas nilai adalah bahwa suatu
penyataan ilmiah (scientific claim) tidak terikat pada pandangan
moral dan politik seseorang. Ini karena tugas ilmu adalah
menyampaikan fakta-fakta, dan benar-salahnya pernyataan
ilmiah tergantung pada bukti. Dan bebas nilai atau netral
menurut F. Budi Hardiman (2003: 173) adalah tidak
berprasangka, tidak memberikan penilaian baik atau buruk, dan
bebas dari kepentingan-kepentingan manusiawi. Ilmu bebas
nilai atau netral juga mengandung arti bahwa suatu teori ilmu
bisa digunakan oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan
untuk apa saja.

Pandangan ilmu bebas nilai merupakan ciri modernitas dan


melekat pada pemikiran positivisme. Ini bukan tanpa alasan.
Empirisme dan rasionalisme yang merupakan cikal bakal
positivisme berusaha keras memperoleh teori yang bersifat
ilmiah, teori murni. Keduanya berkeyakinan bahwa teori
tersebut mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan
pengetahuan dari dorongan dan kepentingan manusiawi.
Kemudian lahirlah positivisme, yang merupakan puncak
pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal
pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi
pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praksis hidup
manusia.Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta
yang objektif sebagai pengetahuan yang sahih (F. Budi
Hardiman, 2009: 25).

Objektif, ahistoris (tidak menyejarah), dan netral adalah di


antara kriteria ilmu bebas nilai yang didambakan positivisme.
Objektif berarti ilmu sesuai dengan kenyataan. Ahistoris berarti
teori yang diciptakannya universal, berlaku di mana saja, dalam
berbagai keadaan, dan kapan saja. Netral berarti teori adalah
deskripsi murni tentang fakta atau objek, yang merupakan
pengetahuan demi pengetahuan. Teori tidak dapat
mempengaruhi atau mengubah objeknya, sedangkan objeknya
adalah merupakan sesuatu yang tidak berubah, sehingga tidak
mempengaruhi kegiatan untuk memperoleh teori murni.

Bagi F. Budi hardiman (2003: 173) watak-watak tersebut


merupakan pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar
di kalangan komunitas ilmiah, seperti sikap tak berpihak,
toleran, rasional, dan demokratis, karena penelitian ilmiah
bagaimanapun meyakini adanya kebenaran objektif yang tidak
tergantung pada perspektif dan autoritas subjektif.

Ilmu bebas nilai sepertinya sudah menjadi pandangan


umum. Ini terlihat dari banyaknya teori, metodologi, dan
konten/produk ilmu yang diciptakan Barat menyebar ke seluruh
penjuru dunia. Orang-orang dewasa ini dengan bangga
menyebut sebagai Kebudayaan ilmiah modern (Scientific
Civilization). Hampir setiap negara dan masyarakat dewasa ini
mengarahkan proses modernisasinya ke sana.

Namun seiring perjalanan waktu, pandangan ilmu bebas nilai


tidak lepas dari kritik. Hal tersebut terjadi terutama setelah
terjadi Perang Dunia I dan II. Ini dilihat dari sisi aksiologis ilmu,
bahwa ternyata ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai
alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan
menguasai mereka.
Dengan berpijak pada objektivitas dan netralitas ilmu maka
penguasaan alam atas nama ilmu pengetahuan mutlak menjadi
sebuah keharusan. Pada gilirannya adalah penguasaan manusia
lain atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi oleh manusia
lainnya.

Di Jerman, lahir Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang


merupakan kontra positivisme dan menolak pandangan ilmu
bebas nilai. Menurut mazhab ini, di belakang selubung
objektivitas ilmu-ilmu, tersembunyi kepentingan-kepentingan
kekuasaan (Asep Ahmad Hidayat, 2009: 207). Salah satu pendiri
Teori Kritis, Herbert Marcuse, menyoroti bagaimana rasionalitas
modernitas berfungsi sebagai ideologi dan dominasi. Ia juga
menegaskan bahwa cara berpikir para ilmuwan masyarakat
modern telah membeku menjadi ideologi dan mitos (F. Budi
Hardiman, 2009: 73). Menjadi ideologis karena penganut
positivisme mengklaim bahwa hanya metodenya-lah yang
memungkinkan kebenaran objektif tentang fakta.

Pakar yang lain, Gerald Doppelt (dalam Harold Kincaid


dkk., 2007: 189-191) menyatakan bahwa komitmen nilai dan
kepentingan praktis yang dimiliki manusia memberikan
pengaruh pada praktek-praktek keilmuan, tidak hanya epistemis
tapi juga non-epistemis. Dalam ranah epistemis, komitmen nilai
dan kepentingan bisa menentukan pengetahuan yang kita cari;
motif dalam mempraktekkan ilmu; konsep, metode, atau
hipotesis yang digunakan; pertanyaan dan problema tertentu
yang dipecahkan; dan dalam hal apa kegunaan ilmu
pengetahuan diterapkan. Dan dalam ranah non-epistemis,
komitmen nilai dan kepentingan menentukan tujuan pencarian
bantuan dana keilmuwan atau dukungan, raihan penghargaan
atau pengakuan bagi karya ilmiah, pembagian tugas keilmuan,
lembaga yang membangun kerja ilmiah, pendidikan dan latihan
para ilmuwan, dan komposisi komunitas ilmiah yang bersifat
golongan, kesukuan, etnis, gender dan agama.

Pengaruh nilai dalam ranah epistemis juga dikemukakan


oleh Ahmad Tafsir (2010: 47). Dan tidak hanya itu, nilai juga
akan menentukan dalam ranah ontologis dan aksiologis. Dalam
pandangannya, nilai akan menentukan dalam:

1) memilih objek penelitian,


2) cara meneliti, dan

3) menggunakan hasil penelitian.

Masih dalam ranah epistemis, Hamid Fahmi Zarkasyi


(2005) berpandangan bahwa ilmu tidak bebas nilai, justru
sebaliknya, yaitu sarat akan nilai. Pandangannya bertolak dari
konsep worldview (pandangan dunia). Menurutnya, ilmu dalam
tradisi manapun tidak lahir secara tiba-tiba. Fondasi bagi
lahirnya suatu disiplin ilmu adalah worldview yang memiliki
konsep-konsep keilmuan. Worldview ilmiah ini kemudian
menghasilkan tradisi intelektual (tradisi ilmiah) dalam
masyarakat dan selanjutnya lahirlah disiplin ilmu.

Sedikitnya terdapat lima bagian penting struktur


worldview, yaitu struktur:

1) tentang kehidupan,

2) tentang dunia,

3) tentang manusia,

4) tentang nilai, dan


5) tentang pengetahuan.

Gabungan dari struktur kehidupan, dunia dan


pengetahuan akan melahirkan struktur nilai, di mana konsep-
konsep tentang moralitas berkembang. Setelah keempat
struktur itu terbentuk dalam pandangan hidup seseorang, maka
strutktur tentang manusia akan terbentuk secara otomatis.

Meskipun proses akumulasi kelima struktur di atas dalam


pikiran seseorang tidak selalu berurutan, tapi yang perlu dicatat
bahwa kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu
kesatuan konseptual dan berfungsi tidak saja sebagai kerangka
umum dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita
sendiri, tapi juga mendominasi cara berpikir kita. Di sini, dalam
konteks lahirnya ilmu pengetahuan di masyarakat, struktur
pengetahuan merupakan asas utama dalam memahami segala
sesuatu. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang
dihasilkan seseorang dengan worldview tertentu akan
merupakan refleksi dari struktur-struktur worldview di atas.
Inilah alasan mengapa ilmu tidak bebas nilai.
B. Perumusan Masalah

1. Apa problem etis dalam ilmu pengetahuan?

2. Bagaimana sebenarnya prinsip bebas nilai dan terikat nilai


dalam ilmu pengetahuan?

3. Apa saja jalan keluar untuk mengatasi masalah bebas nilai?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Problem Etis Dalam Ilmu Pengetahuan

Rasional ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes


dengan sikap skeptis - metodisnya meragukan segala sesuatu,
kecuali dirinya sedang ragu ragu (cogito ergo sum). Sikap ini
berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan
usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang
dirinya dan alam.

Weber menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai,


tetapi ilmu ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Nilai
nilai itu harus di implikasikan oleh bagian bagian praktis ilmu
sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional.
Habermas berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak
pernah bebas nilai. Pendidirian ini diwarisi Habermas dari
pandangan Husserl yang melihat fakta atau ojek alam
diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang
sudah jadi. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu
pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis.
Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak
lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Kepentingannya
adalah memelihara serta memperluas bidang alaing pengertian
antar manusia dan perbaikan komunikasi. Kepentingan itu
bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, otoritas, dan bahasa.
Pekerjaan merupakan ilmu pengetahuan alam, otoritas
merupakan kepentingan ilmu sosial, dan bahasa merupakan
kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika.

B. Kontroversi Masalah Bebas Nilai

Akhir-akhir ini banyak dijumpai pasangan suami isteri yang


sudah puluhan tahun menikah, tetapi belum dikaruniai
keturunan datang kepada dokter ahli kandungan (spesialis
reproduksi, obstetri, dan ginekologi). Tentunya pasangan suami
isteri itu datang dengan membawa impian, setelah keluar dari
ruang dokter spesialis kandungan mereka memperoleh
alternatif solusi yang membantu mereka agar segera bisa
menimang momongan. Alternatif solusi tersebut adalah bayi
tabung.

Penemuan metode bayi tabung sebagai solusi bagi para


pasangan suami isteri yang menginginkan keturunan di luar cara
reproduksi alamiah tersebut memang cukup diterima oleh
masyarakat. Para pasangan yang tadinya sulit memperoleh
momongan karena kelainan yang terjadi dalam organ
reproduksi mereka atau disebabkan faktor usia serta berbagai
faktor lainnya, kini bisa memperoleh keturunan melalui proses
bayi tabung. Penemuan dalam bidang reproduksi itu pun
kemudian disusul dengan penemuan lain yang lebih spektakuler
lagi, yakni kloning (reproductive cloning). Dengan reproductive
cloning, dimungkinkan adanya proses duplikasi manusia,
bahkan dengan disertai motivasi untuk mendapatkan kulitas
individu yang sempurna. Namun, untuk penemuan yang
terakhir itu, masih tersisa kontoversi yang menyertainya.

Dalam sebuah kuliah umum yang berbicara tentang


perkembangan teknik reproduksi buatan yang ditinjau dari kaca
mata etika dan hukum, disampaikan sebuah ilustrasi yang
menggambarkan fenomena futuristik yang mungkin terjadi 1
abad, 50 tahun, atau mungkin bahkan hanya dalam waktu 10
tahun yang akan datang. Nantinya telah dibuka mall genetics
sebagai bentuk perseroan (bisnis), minimal dalam bentuk
kooperasi kedokteran (badan usaha), untuk merangkai
kesempurnaan genetik, sebagai ekspresi genetik pesanan bagi
bayi yang diidamkan oleh seorang gadis, atau seorang
pemuda, sebagi single parent, sebagai ekspresi kasih sayang
manusia di abad itu. (Moeloek, F.A, Etika dan Hukum Teknik
Reproduksi Buatan, disampaikan pada Kuliah Umum Temu
Ilmiah I Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Bandung, 4-6
Oktober 2002). Ilustrasi tersebut ingin mengatakan bahwa
dengan perkembangan sains dan teknologi dalam ranah ilmu
pengetahuan bukan tidak mungkin apa yang sebelumnya tak
pernah dipikirkan manusia dalam masalah yang selama ini
dianggap sebagai urusan Yang Kuasa semata, nantinya bisa
menjadi kenyataan. Saat ini kloning masih menjadi kontroversi,
entah bagaimana nanti yang terjadi di tahun 2020. Keniscayaan
teknik reproduksi yang semakin canggih karena berkembangnya
ilmu pengetahuan bisa jadi tidak akan sekedar menjadi wacana.

Dengan penemuan-penemuan yang begitu spektakuler


dan fenomenal, ilmu pengetahuan memang semakin
menemukan jati dirinya. Namun, nilai lain tidak bisa dimungkiri
berpotensi pula mencampuri otonomi ilmu pengetahuan itu
sendiri. Moralitas, etika, dan hukum yang berlaku dalam
konteks sosial dan berkembang dalam kehidupan publik mau
tidak mau ikut mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan,
meskipun intervensi tersebut telah diminimalisir. Terkait dengan
hal itu, perdebatan yang selalu menarik dalam membicarakan
ilmu pengetahuan dan kontroversi setiap penemuan yang
dilahirkannya adalah masalah bebas nilai. Di satu sisi ilmu
pengetahuan hendak berkembang secara independen, dengan
tanpa memerhatikan nilai lain di luar dirinya. Namun, di sisi lain
tidak bisa dielakkan ada nilai tertentu yang menyertai
perkembangannya (politik, religius, maupun moral). Hingga
akhirnya perdebatan tentang bebas nilai dalam ilmu
pengetahuan dirasa sia-sia karena pada faktanya ilmu
pengetahuan itu sendiri terbebani oleh nilai-nilai yang
menyertainya pada zaman dan konteks berlembangnya ilmu
pengetahuan itu sendiri. Dalam kasus ini, kloning menjadi salah
satu contohnya. Kontroversi yang mencakup nilai moral, etika,
serta hukum di dalamnya menjadi satu bukti nyata yang
mengerucut pada relevansi bebas nilai dalam ilmu
pengetahuan.

C. Tinjauan Teoretis Masalah bebas nilai Dalam Ilmu


Pengetahuan
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan
masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan
teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa
bumi yang berputar mengelilingi matahari dan bukan
sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka
timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber
pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara
metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya,
sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang
terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai
moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut
timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik
yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun
1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut
pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari
(Sumantri, 2001:233).

Kilasan sejarah yang mengangkat penemuan teori


heliosentris itu menjadi contoh kedua setelah kloning, yang
menyinggung tentang masalah bebas nilai ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini Galileo menjadi tokoh yang dikorbankan demi
suatu upaya pemurnian jati diri ilmu pengetahun. Nilai moral
(otoritas agama), telah mencampuri wilayah ilmiah ilmu
pengetahuan untuk menemukan suatu kebenaran dari data
empiris yang digalinya.

Bebas nilai diartikan sebagai tuntutan bagi ilmu


pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan tanpa
memerhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Dengan
kata lain ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu
pengetahuan, karena itu ilmu pengetahuan tidak boleh
dikembangkan berdasar pada pertimbangan lain di luarnya.
Jadi, ilmu pengetahuan harus dikembangkan semata-mata
berdasarkan pertimbangan ilmiah murni.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa tuntutan


bebas nilai bagi ilmu pengetahuan itu sendiri sebenarnya tidak
mutlak. Tuntutan bebas nilai hanya berlaku bagi nilai lain di luar
nilai yang menjadi taruhan utama ilmu pengetahuan. Artinya,
ilmu pengetahuan tetap peduli terhadap nilai tertentu pada diri
ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu nilai kebenaran dan nilai
kejujuran.

Sekurang-kurangnya ada dua tujuan yang hendak dicapai


dari pemberlakuan tuntutan agar ilmu pengetahuan
dikembangkan tanpa memerhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu
pengetahuan. Tujuan tersebut adalah:
a. Agar ilmu pengetahuan tidak mengalami distorsi.

Distorsi ilmu pengetahuan bisa terjadi jika ilmu pengetahuan


tunduk pada pertimbangan lain (politik, religius, maupun moral)
di luar ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan tunduk pada
pertimbangan lain, ilmu pengetahuan tidak bisa berkembang
secara otonom. Itu berarti ilmu pengetahuan menjadi tidak
murni sama sekali.

b. Agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi


kebenaran saja.

Latar belakangnya adalah apabila ilmu pengetahuan tidak bebas


dari nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan, kebenaran sangat
mungkin dikorbankan demi nilai lain itu.

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai


ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak para ilmuwan
terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Ilmuwan golongan
pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis.
Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan
pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu
dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang
buruk. Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa
netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada
metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan
keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asas moral.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal,
yakni, (1) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara
destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua
perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi
keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin
esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang
ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan;
dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia
dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi
genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu
maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral
harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan
martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan (Sumantri,
2001:234).

D. Relevansi masalah bebas nilai dalam ilmu pengetahuan

Untuk menengahi perdebatan tentang permasalahan


bebas nilai, terdapat satu tawaran sintesis yang di dalamnya
mencoba membedakan antara context of discovery dan context
of justification.

Context of discovery menyangkut konteks di mana ilmu


pengetahuan ditemukan. Yang mau dikatakan di sini adalah
bahwa ilmu pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan
berlangsung dalam kevakuman. Ilmu pengetahuan selalu
ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu
tertentu, dalam konteks sosial tertentu. Termasuk di dalamnya
adalah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan muncul dan
berkembang demi memecahkan persoalan-persoalan yang
dihadapi manusia. Jadi, ilmu pengetahuan tidak muncul
mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang
melahirkannya. Oleh karena itu, tidak bisa disangkal bahwa
dalam melakukan kegiatan ilmiahnya, ilmuwan dimotivasi oleh
keinginan, baik itu bersifat personal maupun kolektif, untuk
mencapai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar
kebenaran ilmiah murni. Dengan kata lain, ada banyak faktor
yang jauh lebih luas dari sekedar faktor murni ilmiah, yang ikut
mendorong lahirnya ilmu pengetahuan. Tidak bisa disangkal
pula bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam konteks
tertentu yang sekaligus sangat ikut memengaruhinya. Berkaitan
dengan ini, sulit dibayangkan bahwa ilmu pengetahuan bebas
dari nilai-nilai baik itu yang dianut oleh setiap ilmuwan secara
individual maupun yang dianut oleh setiap lembaga dan
masyarakat di mana ilmu pengetahuan itu dikembangkan.

Sedangkan yang dimaksud dengan context of justification


adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan
kegiatan ilmiah. Inilah konteks di mana kegiatan ilmiah dan
hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni
ilmiah. Di mana yang berbicara adalah data dan fakta apa
adanya serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa
mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan lain di luar itu.
Jadi, satu-satunya yang dipertimbangkan adalah bukti empiris
dan penalaran logis rasional dalam membuktikan kebenaran
suatu hipotesis atau teori. Dengan kata lain, satu-satunya nilai
yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai kebenaran.

D. Kegiatan Nilai dan Nilai Etisnya


Dalam kaitan dengan otonomi ilmu pengetahuan, masih
ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Otonomi ilmu
pengetahuan tentu tidak bisa dan tidak boleh berarti bahwa
penelitian ilmiah tidak perlu menghiraukan nilai luar ilmiah apa
pun. Pada situasi konflik perlu diperhatikan bahwa konflik
sebenarnya tidak berlangsung antara nilai nilai etis di suatu
pihak dan nilai nilai ilmiah di lain pihak. Dikarenakan
kewajiban etis bersifat absolut. Ilmu pengetahuan tidak pernah
bebas nilai, dikarenakan ia sendiri mengejawantahkan suatu
nilai etis, bertambah relevansi etisnya karena semakin erat
kaitannya dengan praksis.

E. Nilai dan Obyektifitas

Salah satu kesulitan yang dihadapi ilmu ilmu manusia


ialah cara khusus manusia terlibat dalam ilmu ilmu itu,
sebagai subyek maupun obyek. Ia terlibat sebagai subyek tentu
karena dialah yang mempraktekkan ilmu pengetahuan alam.
Tapi ia terlibat sebagai obyek, hanya sejauh ia sebagai makhluk
alam bisa menjadi pokok pmbicaraan ilmu alam. Sebab, sebagai
makhluk alam ia dikuasai oleh hukum hukum fisis, kimiawi,
dan biologis. Tetapi kegiatan yang dilakukan ilmu alam tidak
merupakan obyek penelitian ilmu alam. Karena ilmu alam
merupakan suatu aktivitas manusiawi yang khas.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam menggunakan ilmu pengetahuan, seharusnya


melihat berbagai aspek. Baik dari segi norma, sosial, dan
kegunaan dari ilmu sendiri. Karena hasil dari ilmu, pasti akan
berdampak besar dengan yang lainnya. Seperti kemajuan ilmu
pengetahuan suatu negara akan mendorong perekonomian
negara tersebut. Sehingga ilmu itu harus terikat nilai. Karena
perlu di perhatikan faktor sebab dan akibat dalam penggunaan
ilmu pengetahuan. Dan juga subyek dan obyek ilmu sendiri
adalah manusia, sehingga karena manusia memiliki tatanan
nilai lainnya, tentunya akan mempengaruhi dalam penggunaan
ilmu.

Kesimpulan dari sintesis ini adalah bahwa dalam context of


discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, tetapi dalam
context of justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai.
Dalam context of discovery ilmu pengetahuan mau tidak mau
peduli akan berbagai nilai lain di luar ilmu pengetahuan.
Namun, dalam context of justification, satu-satunya yang
menentukan adalah benar tidaknya hipotesis atau teori itu
berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa
ditunjukkan.

Kemudian untuk menempatkan kasus kloning dalam posisi


yang tepat (terkait dengan masalah bebas nilai), ada baiknya
digunakan sintesis tersebut. Apabila dibaca dengan context of
justification, penemuan teknik reproduksi buatan, dalam kasus
ini kloning, memang berada posisi yang tepat secara ilmiah.
Eksistensinya sebagai hasil penemuan ilmiah tidak bisa
diganggu gugat. Namun, ketika kita menggunakan context of
discovery untuk membaca kasus ini, kesimpulan yang didapat
akan lain. Dalam context of discovery, kloning menjadi
penemuan yang tidak lagi perlu dikembangkan lebih lanjut
karena hasilnya dianggap merendahkan martabat manusia.
Dilihat dari aspek utiliter, kloning sama sekali tidak
berkontribusi bagi kehidupan manusia yang lebih bermartabat.
Apabila dihubungkan dengan pembagian golongan
ilmuwan sebagaimana telah dibahas di atas, context of
justification dianut oleh ilmuwan golongan pertama yang
menginginkan agar ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-
nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Ilmuwan ini
memiliki kecenderungan puritan-elitis. Sedangkan ilmuwan
golongan kedua menganut context of discovery. Kecenderungan
ilmuwan golongan kedua adalah kecenderungan pragmatis yang
masih memikirkan nilai guna suatu ilmu. Mereka berpendapat
bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan
manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat
kemanusiaan.

Lalu, apakah perdebatan tentang masalah bebas nilai


dalam ilmu pengetahuan itu tetap relevan untuk dibicarakan?
Jawabannya adalah masih. Jawaban ini tentu disertai oleh
alasan yang mendukung. Alasan pertama adalah, tuntutan
bebas nilai dalam ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang
harus senantiasa dijaga dan dijunjung dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Dengan itu ilmu pengetahuan tetap otonom
dan murni ilmiah. Harapannya, ilmu pengetahuan tidak serta
merta bisa dijadikan alat bagi pihak tertentu yang ingin
melegitimasikan otoritas demi kepentingannya semata. Kedua,
perdebatan tentang bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu
perlu dilihat sebagai upaya check and balances, yang bisa
ditinjau dengan sintesis context of discovery maupun context of
justification. Hal ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran
ilmuwan agar tidak sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan
yang bersifat destruktif, tetapi juga tetap memerhatikan aspek
utiliter ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal tersebut tidak
dimaksudkan untuk membatasi otonomi ilmu pengetahuan,
hanya untuk menegaskan bahwa kebenaran memang harus
diwujudkan, tapi apakah perlu, tentunya itu dikembalikan
kepada para ilmuwan sendiri.
Kewajiban Mahasiswa dan Tanggung Jawab Ilmuwan Ditinjau dari Filsafat
Sains

Oleh : Pina Rosica Mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia Prodi Biologi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Universitas di banyak belahan dunia kini tengah menerapkan universitas penelitian, yaitu
universitas yang memegang gagasan kesatuan antara pengajaran dan penelitian. Indonesia juga ikut
melaksanakan gagasan tersebut meskipun tidak sepenuhnya dijalankan. Gagasan ini memiliki manfaat
yang besar, yaitu perkembangan ilmu dan teknologi berkembang sangat pesat. Tetapi, gagasan ini juga
memilki tantangan etika yang cukup besar dan dampak negatif yang harus dicegah.

Tantangan ini dialami oleh para dosen dan mahasiswa, misalnya para dosen lebih mementingkan
penelitiannya dibanding mengajar mahasiswanya sehingga mahasiswa tidak mendapatkan pengajaran
dengan benar. Ilmu dan teknologi yang semakin pesat juga menyebabkan manusia berpikir lebih praktis,
sehingga mahasiswa lebih mementingkan hasil daripada proses dan mengesampingkan moral dan etika.
Hal ini akan berdampak buruk ketika mahasiswa tersebut menjalankan profesinya sebagai ilmuwan.

Oleh karena itu, makalah ini akan membahas mengenai kewajiban mahasiswa dan tanggung
jawab seorang ilmuwan ditinjau dari filsafat sains. Agar mereka tidak jauh melenceng dari tujuan ilmu.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana situasi yang sedang dihadapi oleh universitas ?

Kewajiban apa saja yang dimiliki mahasiswa ?

Tanggung jawab apa yang harus dipikul oleh seorang ilmuwan ?

C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan situasi yang sedang terjadi di universitas dan
mengingatkan mengenai kewajiban mahasiswa dan tanggung jawab seoarang ilmuwan ditinjau dari
filsafat sains.

D. Manfaat

Makalah ini dapat menjelaskan situasi yang sedang terjadi di universitas dan dapat
mengingatkan mahasiswa dan ilmuwan akan kewajiban dan tanggung jawabnya agar tidang melenceng
jauh dari tujuan luhur ilmu.

E. Metode

Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah studi pustaka dengan menggunakan buku-
buku dan jurnal yang relevan dengan rumusan masalah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Situasi Baru yang Dihadapi Universitas

Gagasan universitas penelitian dibentuk oleh Wilhelm von Humboldt yang berpendapat bahwa
universitas harus menjadi tempat penelitian ilmiah dan kecendekiaan yang melibatkan insan-insan muda
dalam penelitian serta dididik melalui penelitian. Kesatuan antara pengajaran dan penelitian
merupakan rumusan dari gagasan ini, yang meresapi kehidupan universitas di seluruh dunia. Gagasan ini
memandu perombakan terhadap universitas-universitas yang ada dan memberikan acuan terhadap
universitas-universitas yang baru saja di dirikan. Meskipun di Indonesia gagasan ini belum sepenuhnya
diterapkan. Pendidikan di Indonesia lebih mengutamakan pengajaran dibanding penelitian. Dikarenakan
hasil penelitian di Indonesia kurang dihargai. Sehingga untuk mendirikan universitas penelitian yang
sebenarnya masih belum terwujud.

Berbeda dengan beberapa universitas terkemuka di Amerika Serikat, setelah Perang Dunia Kedua
penelitian lebih dihargai dibanding pengajaran, lebih-lebih pengajaran pada tingkat prasarjana.
Penelitian malahan dianggap sebagai kewajiban utama. Kehausan untuk melakukan penelitian ini
menular ke lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang sebelumnya memberi perhatian utama pada
pengajaran. Hal ini terjadi karena kemenangan dari penelitian ilmiah selama Perang Dunia Kedua,
sehingga tersedia dana besar untuk mendukung penelitian, tingginya prestise penelitian di mata publik,
dan kecendrungan untuk membuat keputusan mengenai pengangkatan dan promosi akademis
berdasarkan prestasi dan kemungkinan dalam penelitian. Selain itu pesatnya penelitian di sebuah
negara dapat meningkatkan kesejahteraan bangsanya, menjadikan negara tersebut lebih diharagai oleh
negara lain.

Namun tantangan bagi etika akademis di universitas penelitian juga tidak kalah besarnya. Banyak
orang yang sebenarnya lebih suka mengajar dibanding meneliti merasa harus melakukan penelitian dan
banyak yang begitu saja meneliti karena terseret arus opini akademis yang kuat. Para dosen cenderung
untuk lebih mementingkan penelitian dibanding pengajaran, sehingga mengurangi jam kuliahnya dan
memusatkan diri pada penelitian serta bekerja dengan para mahasiswa tingkat sarjana. Contoh lain
seorang yang sebenarnya dosen bermutu dan yang menganggap serius perlunya mengikuti publikasi-
publikasi dibidangnnya, namun kurang menyukai penelitian terpaksa harus meneliti hanya supaya
jabatannya diperpanjang atau dipromosikan, padahal ia kurang berminat dibidang penelitian
dibandingkan pengajaran. Konsekuensi lain dari meningkatnya perhatian terhadap penelitian ini para
dosen makin berminat dan makin peduli pada penelitian, yaitu mereka yang melakukan penelitian
dimanapun mereka berada , daripada teman mereka dari universitas yang sama atau pada masalah-
masalah universitas mereka sendiri.

Tantangan ini juga dapat berpengaruh pada mahasiswanya universitas yang lebih mementingkan
penelitian dibanding pengajaran terkadang melupakan kewajiban mereka untuk membentuk moral yang
baik pada mahasiswanya. Sehingga sekarang ini banyak hasil penelitian yang mengesampingkan etika.
Meskipun ada beberapa ilmuwan yang mengatakan bahwa para ilmuwan hanya berusaha untuk
menemukan sebuah jawaban dari alam, sedangkan bagaimana hasil dari penelitian itu digunakan bukan
urusan para ilmuwan tetapi akan dibahas oleh filsafat dan teologi. Apa yang dikatakkan ilmuwan
tersebut tidak sepenuhnya benar ilmuwan tetap harus memikirkan akibat dari hasil penemuannya,
karena ilmuwan juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Hasil teknologi yang
semakin berkembang pesat juga membuat mahasiswa lebih berpikir praktis. Sehingga lebih
mementingkan hasil daripada prosesnya.

Semua tantangan yang besar ini harus dihadapi dengan bijak. Kita harus kembali kepada filsafat,
dasar semua ilmu agar kita tidak mengesampingkan moral dan etika. Memahami benar kewajiban kita
sebagai mahasiswa dan tanggung jawab kita nanti didalam penelitian sebagai ilmuwan.
B. Kewajiban Mahasiswa

1. Kewajiban Pengetahuan

Mahasiswa memiliki kewajiban pengetahuan. Pengetahuan merupakan produk dari proses


berpikir. Dengan menggunakan pengetahuan, manusia menemukan dirinya dan mampu menghayati
hidup dan meningkatakan kualitas hidupnya dengan menerapkan pengetahuannya (teknologi).
Mahasiswa sebagai manusia yang memiliki akal dan pikiran memiliki kewajiban untuk mengungkap
kebenaran sebagai hasil dari pemikirannya. Ia diwajibkan untuk mempelajari dan mengembangkan
pengetahuan. Tapi mahasiswa juga harus diingatkan agar tidak mendewa-dewakan ilmu ( sebagian dari
pengetahuan yang disusun secara sistemtis dan didapatkan dari metode ilmiah), yang berpedoman pada
kepercayaan terhadap ilmu (scientific creed) sebagai satu-satunya sumber kebenaran adalah sebenarnya
tidak memahami hakikat ilmu yang sebenarnya. Ilmu memang memberi kebenaran, tetapi kebenaran
keilmuwan bukanlah satu-satunya kebenaran yang kita temukan. Masih banyak kebenaran lain dan
setiap kebenaran pasti memiliki manfaat asal ditempatkan di tempat yang sesuai.

Mahasiswa juga tidak boleh sampai diperbudak oleh ilmu dan teknologi. Ilmu dan teknologi
adalah instrumen bukan tujuan. Disinilah peran Filsafat Ilmu untuk mengembalikan ruh dan tujuan luhur
ilmu agar ilmu tidak menjadi bumerang bagi kehidupan manusia. Sehingga diperlukan pandangan yang
menyuluruh mengenai ilmu, dalam pandangan orang-orang yang bergama ilmu tidak dapat dipisahkan
dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki berasal dari tuhan. Meski begitu ikatan agama
juga tidak boleh terlalu kaku karena bisa menghambat perkembangan ilmu. Karena itu perlu kejelian,
kecerdasan dan kebijaksanaan tentang agama dan ilmu agar tidak terjadi pertentangan.

Terkadang banyak mahasiswa yang mengesampingkan mata kuliah filsafat ilmu. Padahal filsafat
merupakan ilmu paling penting. Mahasiswa yang memahami filsafat secara benar dan melaksanakannya
secara utuh tidak akan melupakan tujuan luhur ilmu dalam setiap mata kuliah yang diambilnya. Ia tidak
akan menjadi manusia yang dikendalikan oleh inteleknya, manusia yang tidak lagi memperhatikan segi
moral dan spiritual dan hanya mementingkan kehidupan lahir saja. Tetapi manusia yang memahami
tujuan luhur ilmu yang sebenarnya yaitu sebagai alat untuk menyejahterakan manusia.

2. Kewajiban terhadap Universitas


Mahasiswa mempunyai kewajiban kepada universitas, karena universitas merupakan sumber
intelektual bagi para warganya. Universitas memiliki arti penting bagi para warganya melalui stimulasi
yang langsung dan terinci berupa ide baru yang diusulkan atau diketengahkan oleh dosen dan
mahasiswa. Universitas juga mempunyai fungsi intelektual yang penting karena merupakan lingkungan
dengan standar tinggi dalam hal usaha dan prestasi intelektual. Universitas merupakan semacam tugu
peringatan yang terus-menerus mengingatkan perlunya meneliti, menelaah, mengkritik, mengkaji ulang
teks-teks lama dan data-data lama, mencari data baru dan menggabungkannya dengan data lama.
Universitas ialah pola yang ditopang oleh tatakrama warga akademis.

Dengan usahanya sendiri, prestasi serta sikapnya, setiap warga universitas menyumbangkan
tenaga untuk memperkokoh kebersamaan intelektual, sehingga membuatnya semakin dimengerti dan
disadari kehadirannya oleh para mahasiswa dan dosen, sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Disamping untuk memperkokoh universitas, ada kebutuhan lain untuk membuat agar universitas
menimbulkan kebanggan sesuai dengan yang diidam-idamkan oleh warganya. Kebanggan ini dapat
muncul dari prestise yang tinggi terhadap universitas oleh masyarakat terhadap prestasi-prestasi yang
diraihnya. Untuk memberikan pandangan ini mahasiswa memilki kewajiban untuk menyumbangkan
prestasinya di bidang ilmu yang mereka geluti. Tetapi prestasi itu tidak hanya pada penerbitan karya-
karya ilmiah dan penghargaan, sikap hormat terhadap kewajiban-kewajiban etika akademis juga
termasuk didalamnya. Hal ini sangat selaras dengan kepedulian serta sikap tanggap terhadap tuntutan
dan standar masyarakat ilmiah di bidangnya. Nama baik suatu universitas akan memupuk rasa
kebanggan dalam universitas itu, inilah alasan mengapa mahasiswa mempunyai kewajiban untuk tidak
melakukan hal-hal yang akan merusak nama baik universitasnya di khalayak ramai dan kalangan
akademis.

3. Kewajiban Penelitian

Penelitian yang harus dikerjakan oleh seorang mahasiswa ialah penelitian yang secara intelektual
diminatinya, karena bila tidak begitu penelitian itu sangat kecil kemungkinannya untuk sampai pada
kesimpulan yang berarti. Mahasiswa tidak diharapkan ikut-ikutan mengikuti arus yang tengah
berkembang, misalnya di bidang biologi yaitu genetika molekular atau biomedis. Harus dipikirkan
ketepatan tindakannya karena hal itu akan menjadi bidang yang ia geluti setiap hari. Meskipun penelitian
merupakan tugas akhir agar seoarang mahasiswa lulus sarjana. Mahasiswa sebenarnya harus memahami
tujuan yang lebih mulia dari penelitiannya. Ia harus menimbang-nimbang apakah penelitiannya akan
menghasilkan sesuatu yang penting secara intektual, entah karena penilitian itu memunculkan
persoalan-persoalan bagi teori yang dianggap benar pada saat itu, atau mendukung teori yang hingga
saat itu belum dikukuhkan, ataupun karena penelitian itu merintis jalan ke arah teori baru. Motivasi dan
harapan ini, bagaimanapun, sangat sesuai dengan keinginan agar hasi-hasil penelitian mempunyai nilai
praktis yang akan bermanfaat bagi masyarakat. Namun perkembangan teknologi yang menyediakan hal-
hal instan mengakibatkan sedikit dampak negatif. Beberapa mahasiswa ada yang menyerahkan tanggung
jawab penelitiannya kepada orang lain. Karena sudah tidak mementingkan moral dan etika. Hal inilah
yang harus dihindari mahasiswa sudah seharusnya berfilsafat, yaitu seseorang yang mencintai
kebijaksanaan, melaksanakan sesuatu dengan bijaksana dan tidak mengesampingkan etika dan moral

4. Kewajiban terhadap Masyarakat

Mahasiswa yang merupakan agen universitas berkewajiban untuk menjalankan fungsi-fungsi


penting bagi masyarakat. Mahasiswa yang berhasil mendapat pengajaran tentang substansi, prinsip-
prinsip dan metode-metode dalam suatu bidang tertentu, akan meningkat dalam hal kualitas mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat. Perbedaan antara mahasiswa dengan siswa mungkin
dapat dilihat dari perannya terhadap masyarakat. Mahasiswa dipersiapkan untuk turun langsung pada
masyarakat.Mereka akan menjadi agen of change yang dapat merubah kehidupan masyarakat. Seorang
mahasiswa tidak seharusnya hanya mentingkan urusan akademik dengan mengesampingkan perannya
untuk masyarakat.

Beberapa kewajiban yang dapat dilakukan mahasiswa untuk masyarakat diantaranya yaitu,
mahasiswa dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai masalah yang sedang terjadi di
masyarakat sesuai dengan bidangnya , memberikan solusi nyata bagi masayarakat akan permasalahnnya,
mengadakan penelitian untuk memberikan solusinya, dan mengadakan pengajaran mengenai penemuan
baru yang bernilai praktis. Mahasiswa berkewajiban untuk mengubah paradigma yang salah pada
masyarakat. Misalnya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat. Mitos merupakan tahapan pertama
oleh manusia untuk mencari penjelasan mengenai gejala alam. Namun hal itu kini tidak lagi digunakan,
mahasiswa harus bisa mencari kebenaran dari gejala tersebut melalui metode ilmiah dan berkewajiban
menjelaskannya kepada msayarakat.

C. Tanggung Jawab Ilmuwan


Mahasiswa yang mengambil bidang sains dipersiapkan untuk menjadi seorang ilmuwan. Itulah
kenapa beberapa universitas mewajibkan filsafat sains sebagai mata kuliah wajib untuk maahsiswa di
bidang sains. Filsafat sains merupakan cabang filsafat yang merefleksi mengenai hakikat ilmu
pengetahuan. Tujuannya mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana
pengetahuan ilmiah itu diperoleh. Ilmuwan sebagai manusia yang diberi kemampuan merenung dan
pikirannya untuk bernalar, kemampuan berpikir dan bernalar itu pula yang membuat kita sebagai
manusia menemukan pengetahuan baru. Pengetahuan baru itu kemudian digunakan untuk mendapat
manfaat yang sebesar-besarnya dari lingkungan alam yang tersedia disekitar kita. Oleh karena itu
tanggung jawab ilmuwan tanggung jawab imuwan terhadap masa depan kehidupan manusia dintaranya.

1. Tanggung Jawab Profesional

Tanggung jawab profesional terhadap dirinya, ilmuwan lain, dan masyarakat, yaitu menjamin
kebenaran ilmiah yang dibuatnya secara formal. Agar semua pernyataan ilmiahnya selalu benar dan
memberiakan tanggapan apabila ada pernyataan dari ilmuwan lain yang tidak benar. Seorang ilmuwan
tidak boleh memutarbalikan penemuannya bila hipotesisnya yang dijunjung tinggi yang disusun di atas
kerangka pemikiran yang terpengaruh preferensi moral hancur berantakan karena bertentangan dengan
fakta-fakta pengujian.

Kebenaran ilmiah didapat melalui metode ilmiah. Metode ialah suatu kerangka kerja untuk
melakukan suatu tindakan, atau suatu kerangka berpikir menyusun gagasan, yang beraturan. Metode
dilakuakan dengan menggunakan penalaran.

Penalaran menggunakan dua dasar yaitu, mantik (logic) dan fikiran sehat (common sense).
Mantik ialah kajian atas tatacara dan asas yang digunakan untuk membedakan penalaran yang baik
(benar) dengan yang buruk (tidak benar). Mantik digunakan apakah permasalahan itu masuk akal, yaitu
patut diuji kebenarannya. Fikiran sehat ialah fikiran praktis yang baik yang diperoleh dari pengalaman
hidup. Ada dua penalaran yang digunakan, yaitu deduksi dan induksi. Deduksi berpangkal pada suatu
pendapat umum berupa hukum, teori atau kaedah dalam menyusun suatu penjelasan tentang suatu
kejadian khusus. Induksi berpangkal pada sejumlah fakta untuk menyusun suatu penjelasan umum, teori
atau kaidah yang berlaku umum.

Dengan menggabungkan deduksi dan induksi sebagai suatu kesatuan penalaran, akan diperoleh
hasil yang lebih bermaslahat bagi pengembangan ilmu. Deduksi mengarak ke rasionalisme yang
menerapkan rasional secara tegas terlepas dari pengalaman, berdasarkan pernyataan pasti akan
kebenaran yang dipercayai berupa hukum, teori, atau kaedah umum. Induksi mengarah ke empirisme
yang mengunggulkan pengalaman dan pengamatan sebagai dasar pernyataan. Rasionalisme dapat
menimbulkan kontroversi karena hakekat kebenaran tidak sama bagi semua orang. Empirisme bersifat
subyektif karena memberikan arti kepada peristiwa menurut tafsiran atau pendapat pengamat.

Metode ilmiah menggabungkan rasionalisme dan empirisme. Dengan rasionalisme diperoleh


landasan, pemikiran terpadu dan mantik, dan dengan empirisme diperoleh kerangka pengujian dalam
memastikan kebenaran. Sehingga metode ilmiah merupakan metode yang tepat untuk digunakan
ilmukan dalam menemukan kebenaran (penelitian). Langkah-langkah metode ilmiah yaitu :

a. Merumuskan masalah

b. Mengumpulkan data

c. Merumuskan hipotesis

d. Menguji hipotesis (mengadakan eksperimen)

e. Penarikan Kesimpulan Hipotesis diterima/ Hipotesis ditolak.

Kebenaran ilmiah yang dihasilkan dari pemikiran dan pengamatan soerang ilmuwan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada seluruh umat manusia. Hal itu berarti perlunya kode etik ilmuwan. Mau
tidak mau kode etik tersebut harus dikaitkan dengan dosa. Setiap kali seoarang ilmuwan akan
mengadakan penelitian, ia harus sadar akan kedudukannya sebagai manusia di bumi ini. Sehingga tidak
akan terjadi penipuan kebenaran.

Meskipun dalam sains kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak karena masih dapat dirubah
melalui mekanisme revolusi sains, menurut Kuhn suatu paradigma yang telah dianggap benar pada saat
itu dapat berubah ke paradigma lain melalui beberapa tahapan yaitu, ada sebuah paradigma yang
kemudian mengalami anomali, kemudian terjadi krisis, yaitu saat paradigma baru dan paradigma lama
sama kuat yang akan menyebabkan revolusi, yaitu keadaan mulai tidak seimbang dan paradigma baru
lebih banyak dianut, akhirnya terjadilah perubahan paradigma dan semua ilmuwan wajib mengikutinya.

2. Tanggung Jawab Sosial

Tanggung jawab sosial yaitu tanggung jawab ilmuwan terhadap masyarakat yang menyangkut
asas moral dan etika. Moral merupakan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk
menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan
keberanian moral. Moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka masalah moral berkaitan dengan
cara penggunaan pengetahuan ilmiah. (Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 234 - 235).

Jelaslah kiranya seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya
karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku
ilmuwan tidak hanya pada penelahaan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung
jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk
menindas bangsa lain. Seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan-penemuan
apapun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apa pun juga yang akan menjadi konsekuensinya.
(Bernard Baber, dalam Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 249).

Meski dalam kenyataannya ilmu digunakan untuk tujuan-tujuan yang destruktif. Seperti pada
Perang Dunia I yang terkenal dengan perang kuman dan Perang Dunia II yang terkenal dengan bom atom.
Hal ini telah membuktikan bahwa ada ilmuwan yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan
mengesampingkan moral dan etika. Sehingga ilmuwan harus kembali kepada kode etik ilmuwan yang
berhubungan dengan agama. Demi pertanggung jawaban ilmuwan terhadap masa depan umat manusia.

Ilmuwan juga harus mengkomunikasikan hasil penemuannya pada masyarakat. Hasil


penemuannya dapat disajikan secara lisan (seminar, simposium, dsb) atau secara tertulis (laporan,
makalah dalam jurnal). Bahasa menjadi sarana berpikir ilmiah dalam menghubungkan gagasan dan
fikiran, disamping matematika, statistika dan logika. Maka kemahiran berbahasa dan kemahiran
menggunakan ungkapan matematika menjadi prasyarat yang mutlak untuk menjadi seoarang ilmuwan.
Tanpa kemahiran itu seorang ilmuwan akan mengalami banyak kesulitan, disamping tidak akan berguna
sebagai rekan penelitian, hanya mempunyai satu sumber yang dapat digalinya, yaitu dirinya sendiri, tidak
pandai memanfaatkan sumber-sumber lain, tidak dapat menkomunikasikan hasil penelitiannya, tidak
mempunyai jalur pengujian pendapat, dan kehilangan perannya sebagai sumber keterangan bagi
ilmuwan-ilmuwan lain.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Universitas Penelitian kini sedang berkembang, namun perkembangannya memiliki tantangan


yang harus disikapi dengan bijaksana ditinjau dari filsafat sains. Beberapa tantangan yang dihadapi,
yaitu :

Tantangan bagi para dosen yang sebenarnya lebih menyukai mengajar dibanding meneliti harus terpaksa
melakukan penelitian karena dorongan publik yang kuat. Sedangkan untuk dosen yang lebih menyukai
meneliti di banding mengajar melupakan peran utamanya dan lebih sering meninggalkan mahasiswanya
karena penelitian, mengesampingkan permasalahan universitasnya dan tidak memperdulikan rekan
dosennya.

Tantangan bagi para mahasiswa adalah karena universitas penelitian yang menyebabkan ilmu dan
teknologi berkembang pesat menyebabkan mahasiswa berpikir instan dan lebih mementingkan hasil
dibandingkan proses

Tantangan bagi para ilmuwan adalah penelitian yang mengesampingkan moral dan etika karena lebih
memntingkan hasil sehingga akan berdampak negatif pada masyarakat

Sehingga mahasiswa diingatkan akan kewajibannya, yaitu :

Kewajiban Pengetahuan, yaitu kewajiban mahasiswa untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.

Kewajiban terhadap Universitas, yaitu kewajiban mahasiswa untuk memberikan prestasinya terhadap
universitas dan menjaga nama baik universitasnya.

Kewajiban Penelitian, yaitu kewajiban mahasiswa untuk membuat sebuah penelitian yang bermanfaat
bagi masyarakat tanpa mengesampingkan moral dan etika.

Kewajiban terhadap Masyarakat, yaitu mahasiswa berkewajiban untuk memberikan pengajaran


terhadap masyarakat dan memperbaiki kesalahan pandangan yang telah berkembang di masyarakat.

Kemudian ketika seorang mahasiswa menjalani profesinya sebagai ilmuwan, Ia harus diberitahu
tanggungjawabnya sebagai ilmuwan, yaitu :
Tanggung Jawab Profesional, yaitu kebenaran dan keteranadalan informasi-informasi foramal yang
disampaikannya terhadap dirinya sendiri, rekan ilmuwannya, dan masyarakat.

Tanggung Jawab Sosial, yaitu tanggung jawabnya terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral dan
etika.

B. Saran

Mengahadapi tantangan dari perkembangan ilmu dan teknologi ini, mahasiswa harus semakin
bijaksana. Memahami dan menghayati apa yang telah didapatnya dari filsafat sains dalam mata kuliah
umum. Dapat menerapkannya terhadap mata kuliah lain dan di bidang profesinya nanti. Agar mahasiswa
tersebut tidak mengesampingkan moral dan etika. Bukan menjadi mahasiswa yang hanya melihat hasil,
tapi juga proses yang ia jalankan untuk mendapatkan hasil tersebut. Memahami secara penuh apa tujuan
ilmu sebenarnya yaitu untuk menyejahterakan manusia bukan malah menjadi perusak bahkan
menciptakan perang.

Dengan akal dan pikirannya untuk bernalar manusia harus semakin bisa memilih mana yang baik
(benar) dan yang salah (tidak benar). Menciptakan pengetahuan yang akan berdampak baik untuk
masyarakat melalui penalarannya. Ketika ia telah menjalani profesinya nanti sebagai ilmuwan ia harus
bisa mempertanggung jawabkan penemuannya. Hal itu berarti berhubungan dengan kode etik ilmuwan.
Mau tidak mau kode etik tersebut harus dikaitkan dengan sistem dosa. Setiap kali seorang ilmuwan
akan mengadakan penelitian, ia harus sadar akan kedudukannya sebagai manusia di bumi ini. Artinya ia
harus sadar bahwa ilmu pengetahuan yang dimilikinya hanya sebagian kecil saja dari Al-Ilmi-nya Allah
SWT adan ia hanyalah pesuruh-Nya di muka bumi ini (Al-Baqarah : 30-34). Demi pertanggung jawaban
ilmuwan terhadap masa depan umat manusia. Diharapkan semua dampak negatif sains dan teknologi
terus ditangani secara bersama-sama, bukan saja oleh masyarak ilmuwan dunia, melainkan juga oleh
pemerintah suatu negara, berlandaskan suatu pandangan bahwa manusia di bumi ini mempunyai tugas
untuk mengelolanya sebaik-baiknya
Solusi yang diharapkan
Agar sains sepenuhnya memberikan manfaat bagi manusia, maka harus diciptakan sebuah
landasan pokok yang menjadi acuan dalam mengembangkan dan memanfaatkan produk sains.
Landasan pokok tersebut dibangun atas fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang
menginginkan keselamatan dan kedamaian. Artinya, manusia harus memiliki tolok ukur/alat
yang dapat mengukur benar salahnya atau etis tidaknya suatu sikap/bentuk interaksi manusia
dengan sains.

Pada praktiknya, landasan pokok tersebut dapat berupa norma-norma sosial yang berisi rambu-
rambu dalam berinteraksi dengan sains. Norma tersebut akan membentuk tanggungjawab etis
bagi manusia dalam mengembangkan dan memanfaatkan produk sains. Sebagai contoh,
tanggung jawab etis tersebut akan menjadi kontrol bagi manusia sehingga selalu memperhatikan
kodratnya sebagai makhluk yang diciptakan sehingga tidak berlebihan dalam mengeksplorasi
sains. Selain itu, tanggung jawab tersebut akan membentuk kesadaran manusia sehingga selalu
menjaga keseimbangan ekosistem, kepentingan umum, dan keberlanjutan generasi dalam upaya
mereka mengembangkan dan memanfaatkan sains.

Hal ini mutlak, karena tujuan awal sains adalah mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia dan makhluk lainnya, bukan untuk menghancurkannya. Sains dikembangkan dan
dipelajari bukan untuk memenangkan suatu kelompok sehingga lebih unggul dari kelompok
yang lain. Akan tetapi, sains dieksplorasi sedemikian rupa untuk menjadi wahana saling berbagi
antar manusia, bahkan antar makhluk yang lain. Kesadaran seperti ini hanya akan muncul jika
manusia membangun tanggung jawab etis dalam berinteraksi dengan sains.

Pada akhirnya, sains akan menuntun manusia mencapai titik penghayatan hidup. Manusia akan
lebih rendah hati karena dengan sains manusia menemukan banyak keajaiban di alam yang
kadang sulit dipahami oleh nalar. Lebih dari itu, sains akan menghantarkan manusia pada titik
ketundukan pada sesuatu yang Maha, sesuatu yang telah mendesain dan menjaga keajaiban alam
tersebut. Dalam bahasa agamanya, ketundukan tersebut adalah iman, yakni sikap percaya bahwa
keberadaan alam ini adalah desain dan penjagaan langsung dari Tuhan.

Iman tersebut akan menjadikan manusia senantiasa terawasi. Sikapnya akan lebih bijak saat
berinteraksi dengan sains. Manusia tidak lagi menggunakan sains untuk kejahatan karena tidak
ingin Tuhan marah padanya. Bahkan, manusia akan memanfaatkan sains untuk kebaikan,
kesejahteraan, dan kemakmuran umat manusia karena dengan cara seperti itu manusia akan
disayang dan diberikan hadiah oleh Tuhan berupa pahala. Inilah yang menjadi kontrol bagi
manusia dan kontrol seperti ini akan tercipta secara otomatis selama manusia menjalankan
tanggungjawab etis dalam berinteraksi dengan sains.

Harapannya, kehidupan manusia semakin baik dengan sains. Bukan malah sebaliknya, sains
menciptakan ketakutan bagi manusia. Tentu kita tidak ingin jika hasil olah pikir manusia yang
telah terumus dalam ilmu sains justru digunakan untuk mengakhiri hidup manusia. Karena itu,
mari kita membudayakan tanggung jawab etis dalam berinteraksi dengan produk sains, baik ilmu
maupun teknologi sains. Mari!

Anda mungkin juga menyukai