Anda di halaman 1dari 25

AKSIOLOGI : NILAI KEGUNAAN ILMU

Disusun Oleh :
1.Andre Falendro
2.Eka Pratnaparadita
3.Intan Canapria Paramita

MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

A. Pengertian Aksiologi

Aksiologi adalah asas mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu


pengetahuan yang secara epistemologi diperoleh dan disusun. Menurut
kamus The Random House Dictinory of the English Language aksiologi
adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai, seperti etika, estetika
dan agama. Aksiologi bisa disebut sebgai the theory of value atau teori
nilai yaitu bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan
buruk, benar dan salah serta tentang cara dan tujuan . aksiologi terdiri
dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral
dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai. Terdapat
dua kategori dasar aksiologi:
1. Objectivisme
2. Subjectivisme
Aksiologi merupakan ilmu yang memeberikan pertimbangan pada
sesuatu yang berharga, berkualitas, bermakan dan bertujuan bagi
kehidupan manusia, individu maupun kelompok. Secara epistemologi
aksiologi berasal dari kata axia (nilai, value dalam inggris) dan logos
(perkataan, pikiran ilmu) untuk itu aksiologi berarti ilmu pengetahuan
yang menyelidiki hakekat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut
pandang kefilsafatan. Sedangkan menurut Jalaludin, aksiologi adalah
suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai yang dibedakan dalam tiga
bagian yaitu:
1. Moral Conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin
khusus yaitu etika
2. Estehtic Expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estettika.
3. Socio-political Life, kehidupan sosio-politik, bidang ini melahirkan
ilmu filsafat sosio-politik
Aksiologi diartikan juga sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh pada umumnya ditinjau dari
sudut pandang kefilsafatan. Didunia ini terdapat banayak cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang
khusus, seperti epistemologi, etika dan estetika. Epistemologi
bersangkutan dengan kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah
kebaikan, estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
B. Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu
Kegunaan ilmu tidak lepas dari kepentingan manusia, artinya ilmu
harus membawa dampak positif bagi manusia. Bukan sebaliknya. S.
Suriasumatri bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Meskipun ilmu itu
sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan
hidupnya dan memiliki sifat netral sehingga ilmu tidak mengenal baik
ataupun buruk, namun semuanya tergantung pada pemilik dalam

menggunakannya. Oleh karena itu, nilai kegunaan ilmu dapat dilihat pada
kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita
dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan
mereaksi dunia pemikiran.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah
Tolak ukur gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak bergantung pada pendapat
individu, melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya nilai menjadi
subjektif apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaraan
manusia menjadi tolak ukur penilaian. Sudah menjadi ketentuan umum
bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan
antara pernyataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada
objektivitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan
mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan b
C. Moralitas Sebagai Dasar Pijakan Manusia
Penerimaan sebuah nilai, erat kaitannya dengan upaya-upaya rasional
manusia dengan mencari pembuktian pembuktian yang meyakinkan
dirinya akan kebenarannya, sehingga ia menemukan pegangan hidup
yang akan menuntun dirinya menjalani kehidupan di dunia. Sehingga
dengan cara demikian ia pun dapat hidup dengan cara yang baik dan
pantas setiap saat. Oleh karena itu pertanyaan spesifik yang diajukan
adalah seperti apa yang baik atau yang tidak baik dan yang pantas serta
tidak pantas. Standar moral manusia banyak ditentukan oleh tingkat
perkembangan sosialnya, intelegensinya dan ilmu pengetahuan yang
berkembang. Moralitas tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
manusia sebagai pembuka bagi kehidupan yang lebih maju ke arah
kehidupan membahagiakan dan penuh makna. Oleh karena itu problem
moral bukan sekedar masalah moral itu sendiri, tetapi juga menyangkut
persoalan ekonomi dan juga politik.
Aliran deontologis, objektif dan non naturalistik dan yang termasuk
dalam aliran teleologis, subjektif dan naturalistik yang kesemuannya
memiliki epistemologi yang berbeda dalam memberikan jawaban atas
pembenaran nilai-nilai moral. Paham deontologi umpamanya memberikan
keyakinan bahwa nilai moral selalu didasarkan pada apa yang ada dalam
perbuatan itu sendiri, bukan sesuatu yang lain yang berada di luarnya.
Biasanya paham ini dipertentangkan dengan teleologis yang meyakini
bahwa suatu tindakan moral selalu merupakan pilihan bebas seseorang
dalam menentukan moralnya di antara berbagai tingkah laku yang ada
berdasarkan pada pertimbangan logis atas keuntungan dan kerugian

suatu perilaku. Bagi naturalisme, nilai adalah sejumlah fakta. Oleh karena
itu setiap keputusan nilai mesti dapat diuji secara empirik. Sementara
bagi non-naturalisme, nilai itu bukanlah fakta. Fakta dan nilai adalah dua
jenis yang terpisah dan secara absolut tidak tereduksi satu dengan yang
lain. Oleh karena itu nilai tidak dapat diuji secara empirik.
Deontologis dan prima facies duties merupakan diantara kelompok
aliran non-naturalistik, sementara teleologis dengan utilitarianisme
termasuk naturalistik. Dengan demikian dikatakan pula bahwa nilai
ekstrinsik suatu perbuatan sama sekali tergantung pada nilai intrinsik dan
pengaruhnya. Sebaliknya kelompok deontologis meyakini bahwa nilai
moral suatu perbuatan bersifat intrinsik. Ini berarti suatu perbuatan dapat
diketahui baiknya, tanpa memperhatikan apa bentuk konsekuensi dan
relasinya terhadap yang lain.
Perilaku baik disini selalu mengacu pada perolehan kebahagiaan
bagi pelakunya. Karena kebahagiaan yang dimaksudkan dalam teori etika
islam pada umumnya tidak lain adalah moral saadah yang lepas dari
aspek material, kepentingan dan kecenderungan diri maka perilaku moral
itu pun mengarah pada satu tujuan yang sama bagi semua orang. Dengan
demikian meskipun manusia berbeda beda dalam perilaku moral, namun
secara esensial tidak akan pernah terjadi pluralisme dalam moral, sebab
semuanya bermuara pada satu tujuan yakni kebahagiaan tertinggi.
Saadah sebagai tujuan dalam moral terfokus pada bagaimana seseorang
itu mesti hidup yang baik dan bajik sehingga saadah adalah standar bagi
perbuatan yang baik dan bajik.
D. Ilmu dan Agama
Ilmu bagi manusia terkait erat dengan masalah nilai dan etika ilmu,
masalah kebenaran, masalah kemajuan ilmu dan teknologis, bahkan tidak
jarang juga membicarakan hakikat sesuatu kebenaran dan penciptaan
sehingga pembicaraan ini memang berkaitan antara keberadaan alam,
manusia dan penciptaannya yang pada umumnya mengakui adanya
kekuatan supranatural pada adanya tuhan. Menurut pandangan islam,
keberadaan agama islam menjadi sumber motivasi pengembangan ilmu.
Agama islam yang bersumberkan Al-Quran dan Hadis mengajar dan
mendidik manusia untuk berpikir dan menganalisis tentang unsur kejadian
alam semesta beserta isinya. Dengan demikian agama telah memberikan
ruang lingkup bagi pengembangan ilmu dan teknologi dan pemikiran
bahwa kemajuan dan teknologi jangan sampai menjauhkan apalagi
menghapuskan peran agama. Keterbatasan akal manusia dalam
eksperimentasi ilmu pengetahuan, maka manusia seringkali berlandaskan
pada trial dan eror. Sehingga etika selalu dibutuhkan untuk menjaga

kenetralan ilmu. Akan lebih sempurna, jika ilmu yang dilaksanakan


dengan pertimbangan etika diperkuat dengan nilai-nilai religiusitas.
E. Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Sebagai seorang ilmuan harus memiliki tanggung jawab sosial. Apabila
ilmuan terus menerus membangun teori dan melepaskan diri dengan
sosialnya, akan membuat jarak antara ilmu dan dan masyarakat. Oleh
karena itu ilmuan harus lebih sering melakukan komunikasi dengan
masyarakat. Sering dikatakan bahwa ilmu itu terbatas dari sistem nilai.
Sebagaimana seorang tokoh sosiologi, Weber menyatakan bahwa ilmu
sosial harus bebas dari nilai, tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu
sosial harus menjadi nilai yang memiliki hubungan. Pada dasarnya nilainilai itu harus terlibat dalam bagian bagian praktis ilmu sosial, jika ilmu
itu mengandung tujuan atau bersifat rasional. Tanpa adanya keinginan
untuk melayani segelintir orang, budaya, moral atau politik yang
mengatasi hal-hal lainnya.
Pada akhirnya seorang ilmuan harus memiliki tanggung jawab moral
dalam mengembangkan teori-teori yang dibangunnya. Artinya ilmu tidak
hanya menjadikan alam maupun manusia sebagai objek belaka, lebih dari
itu melibatkan manusia dan alam secara langsung dengan menjaga
harkat dan martabat alam dan manusia sendiri. Dengan demikian aktifitas
dan sikap ilmiah merupakan kegiatan ilmiah yang dilakukan seorang
ilmiah karena tujuan tertentu, yang didasarkan atas metode-metode
ilmiah bukan berdasar atas asumsi asumsi. Usaha-usaha ilmiah yang
ditempuh oleh seorang ilmuan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

Filsafat teoritis
Filsafat praktis

Seorang ilmuan harus memiliki tanggung jawab sosial sehingga akan


membuat jarak antara ilmu dan masyarakat semakin dekat bahkan jarak
itu hilang sama sekali.
F. Pertimbangan Nilai dalam Ilmu
Ada sejumlah orientasi nilai yang tampaknya berkaitan dengan
masalah kehidupan dasar atau dalam kehidupan sosial manusia, yaitu:

Manusia berhubungan dengan alam atau lingkungan fisik, dalam arti


mendominasi, hidup dengan atau ditaklukan alam
Manusia menilai sifat atau hakikat manusia sebagai baik atau
campuran antara baik dan buruk
Manusia hendaknya bercermin pada masa lalu, masa kini, dan masa
datang

Manusia lebih menyukai aktifitas yang sering dilakukan, akan


dilakukan atau telah dilakukan
Manusia menilai hubungan dengan orang lain, dalam kedudukan
yang langsung, individualistik atau posisi yang sejajar
Adapun etika pada dasarnya merupakan penerapan dari nilai
tentang baik dan buruk yang berfungsi sebagai norma atau kaedah
tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain, sebagai
ekspektasi atau apa yang diharapkan oleh masyarakat terhadap
seseorang sesuai dengan status dan peranannya dan etika dapat
berfungsi sebagai penuntun pada setiap orang dalam mengadakan
kontrol sosial.

Lingkup moralitas merupakan masalah yang paling sulit dalam etika,


moralitas dipertentangkan dengan ke- aku an (egoisme). Moralitas
mengandung rasa hormat pada aturan-aturan dan kepentingan
kepentingan orang lain, sedangkan keegoisan berkaitan dengan hukum
dan kepentingan orang lain apabila hal itu mengutamakan kepentingan
sendiri. Sedangkan etika sebagai ilmu normatif, merupakan salah satu
disiplin ilmu filsafat yang merefleksikan bagaimana manusia dalam
hidupnya lebih berhasil sebagai makhluk yang tidak hanya memiliki
eksistensi fisik juga eksistensi ruhani. Untuk mencapai eksistensinya,
menurut Hazrat Inayat Khan dalam diri individu terdapat dua fase yaitu:

Fase ketergantungan
Fase kemerdekaan atau kebebasan

Nilai sebagai dasar dan bentuk, sedangkan perbuatan sebagai isi.


Paduan antara nilai etis dan perbuatan sebagai pelaksanaannya
menghasilkan sesuatu yang disebut moral atau kesusilaan. Perbuatan
dapat ditinjau dari sudut suasana batin subyeknya, paling tidak ada dua
macam antara lain adalah:
1. Perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri. Perbuatan ini dibagi
menjadi dua yaitu:
Perbuatan sadar
Perbuatan tidak sadar
2. Perbuatan yang dilakukan oleh orang lain atau tindakan yang
dilakukan oleh karena pengaruh orang lain.
Dalam kehidupan manusia, nilai yang dipermasalahkan tidak hanya
nilai kebaikan dalam filsafat dikaji oleh etika, tetapi juga nilai kebenaran
yang ditelaah oleh logika, dan nilai keindahan yang dipelajari oleh
estetika. Hal ini membuat seluruh lini kehidupan manusia sesungguhnya
selalu bersinggungan dengan nilai-nilai baik merupakan nilai tertulis
maupun tidak tertulis, apakah itu merupakan nilai etik, nilai kebenaran
maupun nilai keindahan. Sehingga sadar ataupun tidak, manusia

menjalani hidupnya dalam segala aktivitasnya berlandaskan pada nilainilai dalam lingkup dirinya, orang lain dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
1. Pengertian Nilai
Semenjak dahulu sejak zaman Plato hingga saat ini, persoalan
tentang nilai terus bergulir. Karena nilai baigi manusia, sama tuanya
dengan dengan tindakan dan pikiran manusia itu sendiri. Eksistensi
manusia sangat ditentukan oleh keberadaan nilai, apakah manusia itu
menjadi baik atau buruk. Oleh karena itu teori tentang nilai menjadi
pembahasan khusus, namun baru pada akhir abad ke-19 keadila,
kebaikan, keindahan dan nilai-nilai khusus lainnya tidak hanya dipelajari
berdasarkan kekhususannya saja, melainkan dipelajari menjadi sesuatu
yang baru yang tersendiri yang dinamakan nilai. Sebelum itu, filsafat
klasik maupun filsafat modern menggolongkan nilai (value) pada sesuatu
yang ada atau being dan mengukur keduanya dengan alat ukur yang
sama.
Usaha awal aksiologi ini adalah membedakan dan memisahkan nilai
dari fakta, sebagai yang memiliki ciri khas tersendiri dari fakta. Untuk
dapat menemukan dan memahami nilai, diperlukan pengetahuan tentang
kemungkinan keberadaan jenis nilai itu. apabila dilihat dari nilai
berdasarkan 3 bidang besar realitas (yaitu sebagai gejala psikis, hakikat,
dan benda), maka akan ditemukan beberapa pandangan antara lain
adalah :

Pertama, pandangan yang memasukkan nilai pada pengalaman.


Nilai disamakan dengan hal yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan ; nilai disamakan dengan yang diinginkan, dan ini
merupakan objek dari keinginan atau minat manusia yang termasuk
gejala psikis. Kesenangan, keinginan, dan minat merupakan
pengalaman ; dengan demikian, nilai semata-mata dimasukkan
pada pengalaman pribadi.
Kedua, berpandangan bahwa nilai merupakan hakikat. Oleh karena
itu, nilai dianggap sebagai sesuatu yang tidak sementara
(intemporality) memberi dukungan bagi pandangan yang
menganggap bahwa nilai tergolong pada objek ideal yaitu hakikat
atau esensi.
Ketiga, ada yang melihat bahwa nilai berada bukan pada dirinya
sendiri,
melainkan
berada
dalam
benda-benda
yang
mengandungnya (carrier of value). Pada umumnya, pembawa nilai
tersebut berupa substansi badaniah yang dapat diindera, yaitu
benda-benda yang tampak, yang bisa didengar atau diraba.
Sehingga nilai seolah-olah adalah bagian dari benda yang bernilai
tersebut.

Namun demikian, nilai tidak sepenuhnya ada dalam salah satu dari ketiga
bidang realitas tersebut. Oleh karenanya, pengertian nilai yang
sebenarnya masih terus dicari dan dijelaskan. Sebab nilai tidak bisa
dikacaukan dengan ide atau konsep. Hal ini menyebabkan timbulnya
perbedaan apabilai keindahan dipandang sebagai nilai dengan ide dan
keindahan dengan konsep. Nilai keindahan dapat dirasakan secara emosi
atau perasaan, sedangkan ide keindahan diketahui secara intelektual,
namun demikian orang tersebut belum tentu dapat menjelaskan secara
konseptual sesungguhnya ide keindahan itu apa.
Keberadaan suatu benda selalu disertai oleh tiga kualitas yang
menentukan keberadaannya, yaitu kualitas utama adanya benda itu
sendiri, kualitas kedua adalah kualitas inderawi kita, dan yang ketiga
adalah kualitas nilai yang juga dapat menentukan keberadaan benda
tersebut.
2. Nilai dan sarana Sosial
Mereka memahami bahwa nilai dijadikan sebagai sarana yang kuat untuk
memaksakan kehendak mereka pada yang lemah. Beberapa postmodernis
berasumsi bahwa nilai adalah hasil dari pemaksaan manusia terhadap
manusia lainnya untuk membentuk kesepakatan bersama. Berikut
menurut para filsuf :

Durkhem menyebut kesepakatan tersebut sebagai fakta sosial.


Menurut beliau fakta sosial sesungguhnya merupakan sebuah
fenomena moral atau sesuatu yang bersifat normatif, yang
berkaitan dengan pengaturan tingkah laku individu, melalui sebuah
sistem yang dipaksakan yang memaksakan nilai-nilai atau aturanaturan sebagai sebuah sistem moral atau dengan kata lain
penampilan khasnya berupa kewajiban-kewajiban.
Dickson (1994), mengadopsi perspektif satrean dan berpendapat
bahwa kebebasan adalah sumber dari semua nilai. Mereka
memegang nilai-nilai yang dipilih, tidak yang ditentukan. Pada
pemahaman nilai-nilai ini, maka keputusan manusia untuk
menciptakan nilai nilai sendiri.
Nerlich (1989) berpendapat bahwa nilai-nilai dapat benar jika
mereka muncul secara otentik dari sifat seseorang. Karena pada
dasarnya sifat manusia membawa jawaban atas pertanyaanpertanyaan dalam dirinya sendiri ; bagaimana aku bisa baik,
bagaimana aku bisa bahagia ; bagaimana aku bisa bermanfaat dan
sebagainya.

Sebagai standar perilaku, nilai-nilai moral membantu kita untuk


menentukan, -dalam pengertian sederhana- terhadap perilaku manusia.

Dalam pengertian yang lebih kompleks, nilai membantu kita untuk


menentukan apakah sesuatu itu perlu atau tidak untuk dilakukan, baik
atau buruk tindakan kita, indah atau jelek pilihan kita. Dengan nilai
manusia dapat dapat menganalisa secara rasional tindakan moral yang
sedang maupun akan dilakukan. Paling tidak ada 3 unsur yang tidak dapat
lepas dari nilai, yakni :

Nilai berhubungan dengan subjek, artinya keberadaan suatu nilai


lahir dari penialaian subjek, namun ini tidak berarti menjadikan
keputusan nilai bersifat subjektif dan meniadakan nilai-nilai lain
diluar dirinya. Nilai yang pada awalnya bersifat subjektif, namun
keputusan nilai yang dihasilkan oleh seseorang akan bersifat
objektif dan universal.
Nilai tampil dalam konteks praktis, artinya nilai moral sangat
berkaitan dengan aktivitas seseorang. Ini bukan berarti bahwa nilai
berbeda dengan tindakan. Pada prinsipnya nilai moral tersebut
merupakan tindakan moral itu sendiri, begitu pula sebaliknya.
Tegasnya, nilai moral dan tindakan tidak dapat dipisahkan, bahkan
nama dari perilaku yang dilakukan itu sendiri adalah nilai moral
itu sendiri.
Apa yang disebut sebagai nilai moral juga tidak terlepas dari
karakteristik pengertian umum pada nilai tersebut. Posisi nilai selalu
mendahului moral, meskipun secara praktis antara nilai dan
perilaku moral tidak dapat dipisahkan dari keberadaannya.
Karakteristik nilai moral tersebut akan berimplikasi pada kehidupan
manusia sebagai subjek nilai. Adapun implikasi tersebut yakni :
Akan selalu berhubungan dengan tanggung jawab manusia
sebagai makhluk bebas.
Berkaitan dengan hati nurani, pada prinsipnya nilai moral
menurut perwujudan dalam tindakan manusia.
Berkaitan dengan kewajiban, nilai moral akan melahirkan
kewajiban moral.

Ketiga implikasi ini akan selalu stabil dan tetap berada dalam diri manusia
apabila ia dapat menjaganya dengan membiasakan dalam perilakunya.
Pembiasaan merupakan upaya untuk melakukan stabilisasi dan
pelembagaan nilai-nilai dalam diri seseorang yang diawali dari
pembiasaan aksi ruhani dan aksi jasmani.
Ilmu Pengetahuan Bebas Nilai
Persoalan ilmu pengetahuan bebas nilai mulai mencuat ketika, manusia
sadar bahwa dirinya telah teraliniasioleh ciptaannya sendiri yaitu ilmu
pengetahuan. Gagasan tersebut muncul dari gerakan positivis yang
mendobrak etika kebudayaan yunani kuno, yang berupaya membangun

pengetahuan yang benar berdasarkan pada konsep bios theoretikhos


(dimana pengetahuan itu diyakini akan diperoleh melalui serangkaian
ritus keagamaan), kemudian digantikan oleh konsep ontologi yang lahir
sebagai upaya para filsuf yunani (kelompok pemikir yang kemudian
bermetamorfosis
menjadi
madzhab
positivisme),
yang
lebih
mengutamakan kekuatan dan kemampuan rasio serta pengamatan.
Tradisi keilmuan berdasarkan konsep theorethikos, yang dibangun dengan
menghubungkan secara erat antara teori dan praxis, dipandang tidak
releven bagi upaya-upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar,
karena pencarian pengetahuan yang diperoleh melalui ritus-ritus
keagamaan dan upacara-upacara mistis ataupun cara-cara yang bersifat
metafisik lainnya, melainkan harus dilakukan melalui prinsip ilmiah. Proses
deontoligisasi melalui pengembangan konsep ontology, kemudian
mengikis habis konsep bios theorethikos, dan memberikan alternatif lain
sebagi pondasi dasar yaitu rasionalitas dan empirisme menuju
terbentuknya masyarakat positif yang ilmiah.
1. Pengetahuan yang bebas nilai
Madzhab positivisme, sebagai salah satu aliran filsafat, telah berkembang
dalam alur sejarahnya sendiri. Madzhab pemikiran ini berkembang
sebagai bagian dari upaya untuk menemukan dan membangun
pengetahuan yang benar dengan cara memurnikan ilmu pengetahuan
yang dilakukan melalui proses kontemplasi bebas-kepentingan (sikap
teoritis murni). Dengan kata lai, dalam tradisi pemikiran yunani purba,
pengetahuan tidak dipisahkan dari kehidupan konkret. Pemahaman
mengenai pengetahuan semacam itu tertuang secara padat dalam istilah
bios theoretikos. Bios theoretikos merupakan suatu bentuk kehidupan,
suatu jalan untuk mengolah dan mendidik jiwa, dengan membebaskan
manusia dari perbudakan dan doxa, dengan jalan itu manusia mencapai
otonomi dan kebijaksanaan hidupnya.
Kata theorea berasal dari tradisi keagamaan kebudayaan yunani kuno.
Theoros adalah seorang wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan
ritus keagamaan. Dalam ritus ini orang melakukan theorea (memandang)
kearah peristiwa sakral yang dipentaskan, dan kemudian berpartisipasi
didalamnya. Melalui theorea ini setiap orang mengalami emansipasi dari
nafsu-nafsu rendah. Pengalaman ini dalam istilah yunani disebut katharsis
(purifikasi, pembebasan diri dari perasaan dan dorongan fana yang
berubah-ubah). Hal ini yang kemudian digugat oleh para filsuf yunani,
melalui pemikiran-pemikiran filsafatnya.
Dalam pemikiran filosofis, teori lalu diartikan sebagai kontemplasi atas
kosmos. Dengan mengartikan teori sebagai kontemplasi atas kosmos,

filsafat telah menarik garis batas antara ada dan waktu, yaitu antara
yang tetap dan yang berubah-ubah. Inilah bibit cara berpikir yang
menyebabkan lahirnya ontologi dalam sejarah pemikiran manusia.
Apa yang saat ini dikenal sebagai istilah ontologi adalah bentuk
pemahaman atas kenyataan yang menghendaki pengetahuan murni yang
bebas-kepentingan. Pengetahuan yang lahir dari refleksi ontologis adalah
suatu disinterested knowledge. Kelahiran ontologi mengikis habis bios
theoretikos karena teori tidak lagi memperoleh kepenuhan isinya dalam
kehidupan, melainkan justru menarik diri dari kehidupan praktis manusia.
Tanpa disadari, pemisahan kepentingan-kepentingan manusiawi ini
merupakan pelaksanaan kepentingan sendiri, yaitu demi mencapai
pengetahuan murni. Hal ini mucul kembali dalam filsafat modern. Pada
jalur pertama muncul aliran rasionalisme yang dirintis oleh Rene
Descartes, dan kemudian diikuti oleh filsuf-filsuf lainnya. Pengetahuan
murni semacam ini disebut pengetahuan transdental, karena mengatasi
pengamatan empiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah.
Pengetahuan manusia bersifat universal dan trans-historis, kemudian
menemukan jalan lain dengan tampil bersama aliran empirisme yang
didukung oleh para pemikir seperti hobbes, Locke, berkeley dan Hume.
Meskipun cara memperoleh pengetahuan empiris dan rasional berbeda,
namun keduanya sama-sama berkeyakinan bahwa teori murni hanya
mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari
dorongan dan kepentingan manusia.
Selanjutnya ada Bacon dengan slogannya Knowledge is Power. Beliau
menyatakan hanya melalui ilmu lah, manusia akan dapat memperlihatkan
kemampuan kodratinya. Beliau juga berpendapat bahwa hakikat
pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang dapat diterima
orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta. Persentuhan ini
biasanya disebut pengalaman. Kemudian menurut Bacon, untuk
memperoleh pengetahuan yang benar haruslah dilakukan dengan caracara yang benar, yaitu :

Alam diwawancarai
Menggunakan metode yang benar
Bersikap positif terhadap bahan-bahan yang disajikan alam, artinya
orang harus menghindarkan dirinya untuk mengemukakan
prasangka terlebih dahulu.

Tiga tahapan untuk memperoleh pengetahuan di atas harus


dilakukan secara sistematis. Diawali dengan mengamati alam semesta
tanpa prasangka, setelah itu menetapkan fakta berdasarkan percobaan
berkali-kali dengan cara yang bervariasi. Setelah fakta di tetapkan,

selanjutnya fakta akan diikhtisarkan. Tahap selanjutnya dari proses


pengenalan fakta adalah pengenalan hukumnya, menemukan bentuk
universal dari sifat-sifatnya yang particular kemudian disusun kembali
sehingga menemukan pengetahuan yang benar.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar
berpikir induktif modern, menurutnya metode induksi yang tepat adalah
induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang teliti dan telaten
mengenai data-data partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio dapat
bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natural).
Terdapat dua cara yang dikemukakan oleh Bacon untuk mencari dan
menemukan kebenaran dengan metode induksi, antara lain :
-

Rasio yang digunakan harus mengacu pada pengamatan


inderawi yang partikular, kemudian mengungkapnya secara
umum,
Rasio yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang
partikular digunakan untuk merumuskan ungkapan umum yang
terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu sendiri,
kemudian secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar
pengamatan.

Untuk menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, Bacon


menyarankan agar menghindari empat macam idola atau rintangan
dalam berpikir, yaitu :
a) Idola tribus, yaitu prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas
keajegan tatanan alamiah sehingga seringkali orang tidak
mampu memandang alam secara obyektif. Idola ini menawan
pikiran orang banyak sehingga menjadi prasangka yang kolektif.
b) Idola cave, yaitu pengalaman dan minat diri sendiri yang akan
mengarahkan bagaimana seseorang melihat dunia, sehingga
dunia obyektif dikaburkan.
c) Idola fora, mengacu pada pendapat orang yang diterima begitu
saja sehingga mengarahkan keyakinan dan penilaiannya yang
tidak teruji.
d) Idola theatra, sistem filsafat tradisional adalah kenyataan
subyektif dari para filosofisnya. Sistem ini dipentaskan dan
setelah itu dianggap selesai seperti sebuah teater.
Apabila seorang ilmuwan sudah dapat melepaskan diri dari semua
idola tersebut, maka ilmuwan tersebut dipandang mampu untuk
melakukan penafsiran atas alam menuju induksi secara tepat. Induksi
tidak boleh berhenti pada taraf laporan semata, karena ciri dari induksi
adalah menemukan dasar inti (formale) yang melampaui data-data
partikular.

Langkah-langkah induksi yang tepat menurut Bacon yaitu


menemukan dasar inti yang masih bersifat partikular yang keabsahannya
perlu diperiksa secara deduktif. Apabila sudah cukup handal, selanjutnya
menemukan dasar inti yang semakin umum dan luas.
Setelah ditemukan metode ilmiah dari Bacon, puncak pembersihan
pengetahuan dari kepentingan terjadi dengan lahirnya madzhab
positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte. Filsafat Comte adalah
filsafat anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan
secara positif ilmiah. Positivisme klasik hanya mengakui tentang gejalagejala sehingga tidak ada gunanya untuk mencari hakikat kenyataan yang
tidak mempunyai arti faktual sama sekali. savoir pour prevoir, prevoir
pour pouvoir yang artinya dari ilmu muncul prediksi dan dari prediksi
muncul aksi. Semboyan inilah yang menjadi pamungkas semakin terpilah
dan terpisahnya ilmu pengetahuan dari nilai dan kemudian menempatkan
positivisme sebagai pemenang dalam wacana pemikiran modern.
Manusia seharusnya menyelidiki gejala-gejala dan hubunganhubungan antara fenomena-fenomena fisik-faktual sehingga dapat
memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Hubungan
antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan konsep-konsep atau
hukum-hukum postifi yang dipersepsi oleh akal pikiran manusia. Dengan
demikian, pengetahuan yang benar tentang kenyataan adalah
pengetahuan yang diperoleh dengan cara menyalin fakta dan fakta
adalah kenyataan yang dapat diraba atau diindra.
Tawaran baru dari positivisme adalah tentang metode ilmu
pengetahuan yang sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi
kefilsafatannya. Positivisme sendiri menempatkan metodologi ilmu-ilmu
alam pada ruang yang dulunya menjadi refleksi epistemologi, yaitu
pengetahuan manusia tentang kenyataan. Dalam menerapkan metode
ilmu-ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial , positivisme mendasarkan pada
pengandaian dasar dalam ilmu-ilmu alam, yaitu :
-

Seorang ahli fisika, biologi atau kimia mengamati obyek yang


ditelitinya dengan sikap berjarak, menghadapi obyek yang
ditelitinya sebagai obyek semata. Peneliti mengambil sikap
distansi penuh.
Dengan distansi penuh, peneliti harus menghadapi objek sebagai
fakta netral, yaitu data yang bersih dari unsur-unsur
subjektifnya seperti keinginan-keinginan, mimpi, nafsu, penilaianpenilaian, moral dan lain sebagainya dengan jalan itu.
Peneliti dapat memanipulasi objeknya dalam eksperimen untuk
menemukan pengetahuan menurut model sebab-akibat

Hasil manipulasi adalah sebuah pengetahuan tentang hukumhukum yang niscaya berdasarkan rumusan deduktif-nomologis
Teori yang dihasilkan merupakan sebuah pengetahuan yang
bebas dari kepentingan (disinterested) dan dapat diterapkan
secara instrumental secara universal.

Ilmu-ilmu sosial yang dihasilkan, diyakini sebagai potret tentang


fakta sosial yang biasa dikenal dengan istilah bebas nilai (value-free),
yaitu tidak mengandung interpretasi subjektif dari penelitiannya.
Dengan mengkuantifikasi data dan mencapai perumusan deduktifnomologis, ilmu-ilmu sosial lalu bertujuan untuk meramalkan dan
mengendalikan proses-proses sosial, hal ini terlihat dari apa yang
dikemukakan oleh Comte, savoir pour prevoir (mengetahui untuk
meramalkan). Dengan cara itu, ilmu-ilmu sosial dapat membantu
menciptakan susunan masyarakat yang rasional.
Hal ini merupakan awal memperoleh pengetahuan demi
pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praksis kehidupan manusia.
Dalam filsafat abad 20 pemikiran positivis tampil dalam Lingkungan Wina,
yang dikenal dengan nama Positivisme logis, empirisme logis atau neopositivisme dengan beberapa gagasan pokok, yaitu :
a) Menolak pembedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial,
b) Menganggap
pernyataan-pernyataan
yang
tidak
dapat
diverifikasikan, seperti etika, estetika, dan metafisika sebagai
pernyataan-pernyataan yang tidak berguna atau nonsense,
c) Berusaha mempersatukan semua ilmu pengetahuan di dalam
satu bahasa ilmiah yang universal, dan
d) Memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau
pernyataan-pernyataan
Aliran positivisme logis membagi pengetahuan hanya terbatas pada
ilmu matematika (ilmu pasif) dan ilmu-ilmu lain yang diperoleh dari gejalagejala yang dapat diamati oleh indera. Pengetahuan semacam ini disebut
sebagai pengetahuan positif, artinya dapat dinyatakan atau dibuktikan
(verifiable-positive knowledge). Kalangan positivisme logis menolak
persoalan sebab-sebab terakhir (final causes) yang menjadi pokok
perdebatan filsafat klasik, terutama mengenai sebab pertama sehingga
mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan pun sama sekali tertolak.
Prinsip verifikasi sebagai sentral dalam doktrin positivisme logis
menegaskan bahwa suatu ungkapan baru akan mempunyai makna
manakala ia menunjuk pada pengalaman langsung dan konkrit.
Berubahnya
positivisme
menjadi
saintisme
berawal
dari
bergesernya pendulum epistemologi, dari subjek menjadi objek.

Objektivisme sendiri bukan hanya tidak mengakui peranan subjek


melainkan juga mengosongkan apa saja dalam diri subjek sedemikian
rupa sehingga menjadi fungsi-fungsi objektif dan mekanis.
Hubungan Ilmu dan Moral
Ilmu atau yang dikenal dengan pengetahuan yang bersumber dari
otak, memberi keterangan bagaimana kedudukan suatu masalah dalam
hubungan sebab akibat. Kebenaran yang di dapat dengan keterangan
ilmu hanya benar atas syarat yang diumpamakan dalam suatu
keterangan. Oleh karena itu, keterangan ilmu bersifat relatif. Tiap-tiap
pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa
kemajuan ilmu. Kelanggengannya diganti dengan penemuan yang baru.
Untuk melacak kenetralan ilmu, maka ilmu terapan atau teknologi di
dunia modern tidak dapat dijadikan sebagai indikator ilmu dalam kategori
netral atau tidak netral. Kenetralan ilmu terletak pada pengetahuan yang
carteis, asli, murni, tanpa pamrih, tanpa motif atau guna. Artinya, ilmu
akan netral bila bebas nilai secara moral dan sosial.
Dalam perkembangan ilmu, tidak sedikit yang semestinya netral
dan bertujuan baik karena dipraktikkan oleh ilmuwan yang disebabkan
banyak faktor seperti sosial-politik sehingga eksperimen dan penelitian
yang dilakukan berkembang sesuai dengan kepentingannya, bukan
berdasarkan pada perkembangan ilmu. Kemudian ilmu berkembang
sebagai sesuatu yang tidak netral, bahkan seringkali menciptakan
traumatik terhadap lingkungan.
Secara faktual ilmu digunakan secara destruktif oleh manusia, yang
dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan
teknologi-teknologi keilmuan, ilmu bukan saja digunakan untuk
menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan
menguasainya. Teknologi yang seharusnya menerapkan konsep-konsep
sains untuk membantu memecahkan masalah manusia baik perangkat
keras maupun yang lunak cenderung menimbulkan gejala anti
kemanusiaan, bahwa kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu
sendiri, terutama akibat perkembangan sains dan teknologi. Sains bukan
lagi sarana yang membantu manusia mencapai tujuan melainkan
menciptakan tujuan hidup sendiri. Seorang ilmuwan secara moral tidak
akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas
bangsa lain meskipun yang mempergunakannya adalah bangsanya
sendiri.
Permasalahan netralitas seorang ilmuwan bisa diselesaikan dengan
memahami hubungan antara etika atau moral dengan ilmu itu sendiri.
Etika sebagai kelompok filsafat merupakan sikap kritis dan mendasar

tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral sehingga


berkaitan dengan berbagai masalah-masalah nilai karena pokok kajian
etika terletak pada ragam masalah nilai susila dan tidak susila, baik dan
buruk.

AKSIOLOGI
PENDAHULUAN
Dewasa ini, perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari
hakikatnya, dimana ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan

kemungkinan menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Disinilah moral


sangat berperan sebagai landasan normatif dalam penggunaan ilmu
serta dituntut tanggung jawab sosial ilmuwan dengan kapasitas
keilmuwannya dalam menuntun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi sehingga tujuan hakiki dalam kehidupan manusia bisa
tercapai.
1. PENGERTIAN AKSIOLOGI
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai
dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang
nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori
nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut
Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus
Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai
khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai
tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative
penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian
tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and
wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi
mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin
khusus yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan
keindahan
3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yang akan
melahirkan filsafat social politik.
Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan
dengan value and valuation :

1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang


lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam
pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk
kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata
sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada
sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,
memberi nilai atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud
adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yangdinilai.Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
2. ILMU DAN MORAL
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia. Karena
dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi
secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang
tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu
manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat manusia, tetapi juga
bisa menjadi bencana bagi manusia. Misalnya pembuatan bom yang
pada awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun kemudian
digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang meninbulkan
malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali.
Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak
kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak
berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan
malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian
akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai
penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis

baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak


(software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam
untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi
memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk
mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Di sinilah masalah
moral muncul kembali namun dalam kaitannya dengan faktor lain.
Kalau dalam tahap kontempolasi moral berkaitan dengan metafisika
maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan
cara penggunaan ilmu pengetahuan. Atau secara filsafati dalam tahap
penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi
keilmuwan.
3. KATEGORI DASAR AKSIOLOGI
Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa
adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses
penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)
Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil
untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut.
Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis
dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi
karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan
bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan
antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi
atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui
nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur
perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional (The rational theory of value)
Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan
murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai

hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu


yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai
fakta bahwa hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan sesuatu
berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar
atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya
mengarahkan perilakunya.
3. Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)
Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhankebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk
biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu
dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.
Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana
keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara
umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori nilai emotif (The emotive theory of value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status
kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika
bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi
dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa
diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting
dari tindakan manusia.
4. SIKAP ILMUWAN
Sikap seorang ilmuwan menghadapi cara berfikir yang keliru pada
hakikatnya adalah manusia yang biasa berfikir dengan teratur dan
teliti. Bukan saja jalan pikirannya yang mengalir melalui pola-pola yang
teraur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya
dikaji dengan teliti. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan
dengan cara berfikir orang awam.
Kumpulan dari pengetahuan yang sudah teruji kebenarannya secara
ilmiah. Menurut Endrotomo Dalam ilmu dan teknologi, ilmu merupakan
suatu aktivitas tertentu yang menggunakan metode tertentu untuk
menghasilkan pengetahuan tertentu.
Fungsi ilmu :

1. Menjelaskan, contohnya menjelaskan semua fenomena kejadian


alam
2. Memprediksi,memprediksi segala sesuatu yang akan terjadi
3. Mengontrol atau mengendalikan, dari hasil prediksi maka kita dapat
mengontrol atau mengendalikan sesuatu yang akan terjadi.
Karakteristik matematika terletak pada kekhususannya dalam
mengkomunikasikan ide matematika itu melalui bahasa numerik.
Dengan bahasa numerik ini, memungkinkan seseorang dapat
melakukan pengukuran secara kuantitatif. Sedangkan sifat
kekuantitatifan dari matematika tersebut, dapat memberikan
kemudahan bagi seseorang dalam menyikapi suatu masalah. Itulah
sebabnya matematika selalu memberikan jawaban yang lebih bersifat
eksak dalam memecahkan masalah.
Ilmu Matematika diantaranya meliputi aritmatika, geometri, aljabar dll
sehingga kalau mau sok idealis tentu saja banyak manfaat Matematika
untuk ilmu pengetahuan lain dan juga untuk kehidupan, misalnya:
1. Kombinasi (Statistika) bisa digunakan untuk mengetahui banyaknya
formasi tim bola voli yang bisa di bentuk.
2. Aritmatika hampir digunakan setiap hari, yaitu untuk hitungmenghitung.
3. Geometri bisa digunakan para ahli sipil karena geometri salah
satunya adalah membahas tentang bangun dan keruangan.
4. Aljabar bisa digunakan untuk memecahkan masalah bagaimana
memperoleh laba sebanyak mungkin dengan biaya sesedikit mungkin.
5. Mungkin dengan logika Matematika juga bisa membantu untuk
berpikir logis, tapi tentu saja bukan hanya Matematika saja yang bisa
membantu dalam berpikir logis.
Tujuan mempelajari matematika adalah :
1. Melatih cara berfikir dan benalar dalam menarik kesimpulan,
misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen,
menunjukan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonistensi.
2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi,
dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil,
rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba
3. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau
memgkomunikasikan gagasan melalui pembicaraan lisan, catatan,

grafik, peta, dalam menjelaskan gagasan.


Sebagai tambahan nilai matematika juga dapat kita lihat dalam:
Digunakan dalam bidang sains dan teknik.
Untuk penelitian masalah tingkah laku manusia.
Membantu manusia dalam berdagang dan bidang perekonomian.
Ilmu matematikan juga digunakan dalam bidang komputer.
Membantu manusia berpikir secara matematis dan logis.
Dengan bilangan, manusia dapat menentukan kuantitas.
5. TINJAUAN GEOMETRI BERDASARKAN FILSAFAT MATEMATIKA
A. Permulaan Geometri
Pada awalnya geometri yang lahir dan berkembang di Mesir dan
Babilonia merupakan sebuah hasil dari keinginan dan harapan para
pemimpin pemerintahan dan agama pada masa itu. Hal ini
dimaksudkan untuk bisa mendirikan bangunan yang kokoh dan besar.
Teknik-teknik geometri yang berkembang pada masa itu pada
umumnya masih kasar dan bersifat intuitif, akan tetapi cukup akurat
dan dapat memenuhi kebutuhan perhitungan. Berbagai fakta tentang
teknik-teknik geometri saat itu termuat dalam Ahmes Papirus yang
ditulis lebih kurang tahun 1650 SM dan ditemukan pada abad ke-9.
Dalam Papirus ini terdapat formula tentang perhitungan luas daerah
suatu persegipanjang, segitiga siku-siku, trapesium yang mempunyai
kaki tegak lurus dengan alasnya, serta formula tentang pendekatan
perhitungan luas lingkaran.
Matematikawan yang pertama kali tidak puas terhadap metode yang
didasari semata-mata pada pengalaman adalah Thales (640 546 SM).
Sehingga masyarakat sekarang menghargai Thales sebagai orang yang
selalu berkata Buktikan itu! dan bahkan ia selalau melakukan
pembuktian tersebut (Wakyudin, 2004: 137).
Sepeninggal Thales muncullah Pythagoras (582 507 SM) berikut
pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Pythagorean melanjutkan
lengkah Thales. Para Pythagorean menggunakan metode pembuktian
untuk membuktikan Teorema Pythagoras dan teorema-teorema jumlah
sudut dalam suatu poligon, sifat-sifat dari garis-garis yang sejajar,
teorema tentang jumlah-jumlah yang tidak dapat diperbandingkan,
serta teorema tentang lima bangun padat beraturan.

Hasil kerja dan prinsip Thales telah menandai awal dari sebuah era
kemajuan matematika yang mengembangkan pembuktian deduktif
sebagai alasan logis yang dapat diterima. Pembuktian deduktif
diperlukan untuk menurunkan teorema dari postulat dan selanjutnya
untuk disusun pernyataan baru yang logis. Pengembangan pembuktian
deduktif mencapai puncaknya dengan lahirnya buku karya Euclid yang
diberi judul Element.
Element menjadi sebuah karya yang maha penting dalam sejarah
masyarakat dunia yang kebanyakan dari pekerjaan itu
bersifat oroginal, sebagai metode deduktif dengan mendemonstrasikan
sebagaian besar pengetahuan yang diperlukan melalui penalaran.
Teorema ke-5 dalam buku ini cukup dikenal, yaitu sudut alas dalam
sebuah segitiga samakaki (isosceles) adalah kongruen. Metode yang
sekarang lebih sering digunakan untuk membuktikan teorema ini
memerlukan konstrukti suatu garis bagi sudut melalui titik sudutnya.
Dalam buku Element, Euclid menulis banyak pembuktian dari teoriteori yang sudah terkenal. Karya Euclid sangat berpengaruh sampai
saat ini sehingga dalam geometri untuk garis, titik, bentuk, dan bidangbidang namanya digunakan sebagai geometri Euclid.
Demikian selanjutnya, selama lebih kurang empat abad terakhir
Element telah mengalami kritikan dan pujian hingga lambat laun lebih
disempurnakan. Hasil dari berbagai penyempurnaan itu lahirlah
geometri analitik, geometri projektif, topologi, geometri non-Euclid,
logika, dan kalkulus.
B. Tujuan, Ruang Lingkup dan Objek Geometri
Geometri merupakan salah satu aspek mata pelajaran Matematika di
sekolah, di samping aspek bilangan, aljabar, statistika dan peluang,
logika, trigonometri, dan kalkulus.
Salah satu tujuan diajarkannya geometri di sekolah, menurut Suydan
dalam Kusni (1999 : 3) adalah mengembangkan kemampuan berpikir
logis. Berkaitan dengan tujuan ini, pengenalan geometri mempunyai
tujuan dasar untuk memberikan kesempatan siswa menganalisis lebih
jauh dunia tempat hidupnya serta memberikan sejak dini landasan
berupa konsep-konsep dan peristilahan yang diperlukan pada

pendidikan jenjang berikutnya. Menurut Kusni, dengan mempelajari


geometri sekaligus dapat menumbuhkembangkan kesenangan
intelektual yang sesungguhnya terhadap matematika.
Geometri menjadi materi penting karena melibatkan kemampuan
kognitif siswa. Soemadi (2000: 1) mengatakan bahwa pada dasarnya
tujuan geometri adalah mengembangkan kemampuan berpikir logis,
mengajar membaca dan menginterprestasikan argumen-argumen
matematika, menanamkan pengetahuan (geometri) yang diperlukan
untuk studi lanjut dan mengembangkan kemampuan keruangan.
Idealnya, pembelajaran geometri tidak hanya mencakup aspek-aspek
formal yang diperlukan untuk sekolah menengah, melainkan juga
memfokuskan pada lingkungan fisik siswa. Siswa diberi kesempatan
menyelidiki, mencoba, menemukan, menduga berbagai ide, dan
didorong untuk merumuskan pernyataan yang tepat, logis, serta
memeriksa kebenaran kesimpulan.
Permasalahan yang kemudian muncul dalam pembelajaran geometri
diantaranya adalah berkaitan dengan objek geometri adalah bendabenda pikir yang abstrak, sedangkan tingkat perkembangan berpikir
siswa berpikir secara kongkret.
Menurut Piaget dalam Ruseffendi (1994 : 19), tahap pertama anak
belajar geometri adalah topologis. Mereka belum mengenal jarak,
belum mengenal kelurusan, dan semacamnya. Mereka baru mengenal
apakah sesuatu itu ada di dalam atau ada di luar. Demikian pula pada
tahap berpikir kongkrit ke bawah anak-anak masih memerlukan
bantuan benda-benda kongkret. Menurut Van Hiele dalam Ruseffendi,
berdasarkan hasil penemuannya mengemukakan bahwa siswa belajar
geometri melalui 5 tahap : pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi,
dan keakuratan. Agar siswa belajar geometri dengan mengerti, mereka
harus memahami tahap-tahap yang lebih rendah terlebih dahulu.
Memperhatikan tingkat perkembangan berpikir siswa dari berpikir
secara kongkret menuju tingkat berpikir abstrak, maka teknik
pembelajaran pada masing-masing jenjang pendidikan menjadi
berbeda. Sedangkan ruang lingkup materi geometri tersebut mungkin
bisa sama. Misalnya materi bangun datar, telah dipelajari dari jenjang
SD, SMP, SMA, dan hingga perguruan tinggi terus berkembang menjadi

geometri analit datar. Ruang lingkup materi tentang bangun datar,


akan tetapi cara penyampaian dan tingkat kedetailannya berbeda dari
satu jenjang ke jenjang berikutnya.
Secara umum ruang lingkup geometri adalah mengenai garis dan
sudut, bangun-bangun datar, bangun-bangun ruang, kesimetrian,
kesebangunan, kekongruenan, dan geometri analitis. Dalam
perkembangannya, geometri seperti lebih merujuk ke bentuk-bentuk
yang sudah pasti seperti segitiga, segiempat, lingkaran, bangun ruang
seperti kubus, balok, prisma, bola dan sebaginya. Di dalam bentukbentuk ini terdapat rumus-rumus yang mendasarinya. Termasuk juga
penerapannya dalam sistem koordinat Cartesius baik untuk dimensi
dua ataupun dimensi tiga.
KESIMPULAN
Ilmu adalah kumpulan dari pengetahuan yang diperoleh melalui
kegiatan penelitian ilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
secara keilmuwan. Ilmu merupakan produk dari proses berfikir
manusia. Ilmu bersifat netral pada bagian epistemologi dan ontologi
saja sedangkan pada tingkat aksiologi ilmu terikat dengan nilai-nilai.
Dalam memanfaatkan atau menggunakan ilmu maka hendaknya kita
berlandaskan kepada moral sebagai landasan normatifnya.

Anda mungkin juga menyukai