Pengertian Aksiologi
Menurut Kamus Filsafat, Kata aksiologi secara bahasa berasal dari kata Yunani,
axion; nilai dan logos; ilmu, yang berarti teori tentang nilai (value). Pertanyaan masalah ini
menyangkut antara lain : untuk apa pengetahuan ilmu ini digunakan? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah etika ?
Jujun S.Suriasumantri mendefinisikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu
kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan
dan menganalisa gejala-gejala alam. (Cece Rakhmat, 2010)
Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari manfaat yang sebenarnya dari hakikat pengetahuan.
aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu
kehidupan. Aksiologi disebut juga teori nilai karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia
dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental,yakni bagaimana manusia
harus hidup dan bertindak? Yang pada akhirnya teori nilai ini melahirkan etika dan estetika.
Secara moral aksiologi dapat dilihat dari adanya peningkatan kualitas kesejahteraan dan
kemaslahatan umat pada perkembangan keilmuan. Nilai-nilai bertalian dengan apa yang
memuaskan keinginan atau kebutuhan seseorang, kualitas dan harga sesuatu atau appreciative
respons.
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia.
Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat ilmu bagi manusia?”, “untuk
apa ilmu bagi manusia?”. Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan: ”Sejauh mana
pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi persoalan
bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar
batas pengetahuan sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: ”Apakah yang
bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh dipraktikkan
juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu
sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia dibalik ilmu itu. Jawabnya adalah bahwa
pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaanya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran
manusia mengenai baik dan buruk,
sebagai contoh misalnya sikap ilmuwan terhadap eksperimen psikologis yang
mengobjekkan manusia?. Pembatasan (sejauhmana) penggunaan pengetahuan ilmiah terhadap
manusia adalah menurut nilai kebaikan dan kepantasan terhadap objek manusia tersebut. Bila
seorang ilmuwan mengalami masalah dalam menentukan nilai kebaikan dan nilai kepantasan
tersebut maka seorang ilmuwan dapat merujuk pada nilai-nilai yang ditetapkan oleh negara
Negara atau nilai-nilai yang berlandaskankan perjanjian internasional, atau komisi-komisi etis.
Francis Bacon mengatakan : “pengetahuan adalah kekuasaan”. Akankah kekuasaan
atas potensi ilmu menjadi berkah atau menjadi malapetaka, kehancuran umat manusia,
tergantung pada orang yang mempergunakan kekuasaan tersebut. Untuk itu setiap tindakan
ilmuwan wajib dilandasi oleh aksiologi (nilai) agar tidak menyalah gunakan ilmu yang ia miliki.
kaidah moralnya adalah Bagaimana sebuah ilmu agar dapat digunakan secara
profesional sesuai dengan norma-norma moral. jadi landasan aksiologi bukanlah nilah
kebenaran tetapi landasannya adalah nilai keguanaan dan nilai kebaikan
Penilaian Aksiologi
Bramel (Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi dalam tiga bagian. Pertama,
moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian
etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar
manusi a mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya
adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri
sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan.
Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan
yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar Amsal, 2004), nilai itu objektif ataukah
subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang muncul dari filsafat. Nilai akan
menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi
tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi
subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun
fisik. Dengan demikian nilai subjekif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimiliki akal budi manusia seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu
mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme.
Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang
memiliki kadar secara realitas benar-benar ada (Bakhtiar Amsal, 2004).
Bagian ketiga dari Aksiologi adalah ,sosio-political life, yaitu kehidupan social politik
yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Manfaat dari ilmu adalah sudah tidak terhitung
banyaknya manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk hidup secara keseluruhan. Mulai dari
zamannya Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg , ilmu terus berkembang dan memberikan
banyak manfaat bagi manusia. Dengan ilmu manusia bisa sampai ke bulan, dengan ilmu manusia
dapat mengetahui bagian-bagian tersembunyi dan terkecil dari sel tubuh manusia. Ilmu telah
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban manusia, tapi dengan ilmu juga
manusia dapat menghancurkan peradaban manusia yang lain.
Mengutip pendapatnya Francis Bacon dalam Suriasumantri (1999) yang mengatakan
bahwa “Pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu akan merupakan berkat atau
malapetaka bagi umat manusia, semua itu terletak pada system nilai dari orang yang
menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu itu bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau
buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap.
Selanjutnya Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini
mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Untuk merumuskan aksiologi ilmu, Jujun S Sumantri merumuskannya kedalam 4
tahapan yaitu:
- Untuk apa ilmu tersebut digunakan?
- Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
- Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
- Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral / professional.
Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada,
kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai
kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan
kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang
ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah
menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
aksiologi adalah filsafat nilai. Nilai yang dimaksudkan adalah nilai kegunaan. Apa
kegunaan ilmu itu dalam kehidupan manusia? Tentu kita semua setuju dan sepakat bahwa ilmu
telah banyak memberikan manfaat dalam kehidupan dan kesejahteraan umat manusia di dunia.
Ilmu telah mampu mengubah dan memberantas bahaya bencana kelaparan, kemiskinan,
mewabahnya berbagai penyakit, buta aksara, dan lain-lain bencana yang melanda wajah duka
kehidupan manusia. Ilmu telah mampu membuat kehidupan manusia lebih mudah dan
membantu melakukan pekerjaan dengan efektif dan efisien. Namun demikian, ilmu juga dapat
digunakan untuk merusak sendi-sendi kehidupan manusia dan bahkan membinasakan manusia.
Ingat peristiwa PD I dan II, pemboman kota Nagasaki dan Hirosima, perang Irak dan Iran,
peristiwa bom Bali, dan masih banyak peristiwa lainnya yang barangkali terlupakan dalam
memori kita.
Kata mutiara yang disampaikan Einstein bahwa ilmu tanpa agama adalah buta dan
agama tanpa ilmu adalah lumpuh memiliki makna yang teramat mendalam bila kita renungkan
dan pahami. Tanpa dilambari dengan agama, ilmu akan digunakan manusia untuk berbagai
macam kepentingan baik yang bersifat merusak ataupun untuk membangun dan meningkatkan
kesejahteraan kehidupan manusia. Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat
baik dan buruk. Manusialah sebagai pemilik ilmu pengetahuan harus mempunyai sikap. Untuk
apa sebenarnya ilmu itu akan digunakan oleh manusia. Dengan kata lain, netralitas ilmu
terletak pada dasar epistemologinya saja (Suriasumantri, 1987). Jika hitam, katakan hitam;
jika ternyata putih, katakan putih. Ilmu tidak berpihak kepada siapa pun. Ia hanya berpihak
kepada kebenaran yang nyata. Secara ontologis dan aksiologis, manusialah yang harus
memberikan penilaian tentang baik dan buruk. Manusialah yang menentukan sikap dan
mengkategorikan nilai- nilai.
Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “aksios” yang
berarti nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi, aksiologi, merupakan cabang filsafat yang
mempelajari nilai. Dengan kata lain, aksiologi adalah teori nilai. Suriasumantri (1990)
mendefinisikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang di peroleh. Aksiologi dalam Kamus Bahasa Indonesia (1995) adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Menurut Wibisono seperti yang dikutip Surajiyo (2007), aksiologi adalah nilai- nilai sebagai
tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta
penerapan ilmu. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan
dengan value and valuation.
Memperbincangkan aksiologi tentu membahas dan membedah masalah nilai. Apa
sebenarnya nilai itu? Bertens (2007) menjelaskan nilai sebagai sesuatu yang menarik bagi
seseorang, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang dicari, sesuatu yang baik, disukai, dan
diinginkan. Pendeknya, nilai adalah sesuatu yang baik. Lawan dari nilai adalah non-nilai atau
disvalue. Ada yang mengatakan disvalue sebagai nilai negatif. Sedangkan sesuatu yang baik
adalah nilai positif. Hans Jonas, seorang filsuf Jerman-Amerika, mengatakan nilai sebagai the
addresse of a yes. Sesuatu yang ditujukan dengan ya. Nilai adalah sesuatu yang kita iya-
kan atau yang kita aminkan. Nilai selalu memiliki konotasi yang positif (Bertens, 2007).
Ada tiga ciri yang dapat kita kenali dengan nilai, yaitu nilai yang berkaitan subjektif,
praktis, dan sesuatu yang ditambahkan pada objek.
Pertama, nilai berkaitan dengan subjek. Artinya, nilai itu berkaitan dengan kehadiran
manusia sebagai subjek. Kalau tidak ada manusia yang memberi nilai, nilai itu tidak akan
pernah ada. Tanpa kehadiran manusia pun, kalau Gunung Merapi meletus ya tetap meletus.
Pasalnya sekarang, ketika Gunung Merapi meletus misalnya, apakah itu sesuatu yang “indah”
ataukah “membahayakan” bagi kehidupan manusia. Kesemuanya itu tetap memerlukan
kehadiran manusia untuk memberikan penilaian. Dalam hal ini nilai subjektivitas memang
bergantung semata-mata pada pengalaman manusia.
Kedua, nilai dalam konteks praktis. Yaitu, subjek ingin membuat sesuatu seperti lukisan,
gerabah, dan lain-lain.
Ketiga, berkaitan dengan nilai tambah pada objek. Nilai tambah itu dapat berupa budaya,
estetis, kewajiban, kesucian, kebenaran, maupun yang lainnya. Bisa jadi objek yang sama akan
memiliki nilai yang berbeda-beda bagi pelbagai subjek.
Perbedaan antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai bersifat ide atau
abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku
perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh
indra karena ia bukan fakta yang nyata. Jika kembali kepada ilmu pengetahuan, kita akan
membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan logika dimana persoalan
nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan, dan kepuasan. Ringkasan persoalan nilai
bukanlah membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi membahas soal
baik dan buruk