Anda di halaman 1dari 16

ILMU PENGETAHUAN DAN ETIKA

(Suatu Kajian Aksiologi)

A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang berakal, dengan akalnya manusia
berfikir dan dengan pengalamannya manusia belajar. Dari akal dan
pengalamannya tersebut akhirnya manusia bisa menghasilkan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan merupakan sekumpulan pengetahuan manusia yang bersifat
ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah. Karena itu ilmu pengetahuan disebut
juga pengetahuan ilmiah.
Ilmu pengetahuan merupakan hasil budaya manusia yang lebih
mengutamakan kuantitas obyektif daripada kualitas subyektif yang berhubungan
dengan keinginan pribadi. Sehingga dengan ilmu pengetahuan manusia tidak akan
mementingkan dirinya sendiri.1 Sehingga kepentingan umum harus lebih
diutamakan Dari sini dapat dilihat tujuan dasar dari ilmu pengetahuan erat sekali
kaitannya dengan etika.
Keberadaan ilmu pengetahuan di dunia ini tidak lain adalah untuk
membantu manusia mencapai tujuannya. Secara praktis menawarkan kemudahan-
kemudahan dalam berbagai bidang kehidupan. Misalnya dalam bidang
komunikasi ada produk telepon seluler yang mempermudah komunikasi antar
personal, dalam bidang kesehatan ada vaksin-vaksin yang fungsinya untuk
mencegah terjangkitnya suatu penyakit, dan masih banyak lagi produk-produk
ilmu pengetahuan yang lain yang menawarkan kemudahan kepada manusia.
Namun dalam perjalanannya ilmu sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan
dasarnya sehingga ilmu tidak hanya memberikan kemanfaatan kepada manusia,
tapi juga menimbulkan bencana dan kesengsaraan bagi umat manusia, bahkan
sampai batas perusakan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti nuklir yang pada satu sisi
1
Burhanuddin Salam, 2000, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, h. 24

1
bermanfaat bagi manusia yaitu salah satunya sebagai pembangkit listrik namun
pada sisi lain mendatangkan malapetaka dalam kehidupan yaitu mampu
membunuh beribu-ribu manusia dalam sekejap.
Melihat perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin jauh
meninggalkan landasan dasarnya yaitu membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, maka sudah sepatutnya bahwa ilmu pengetahuan harus dikaitkan
dengan aspek etika. Dan ini merupakan kajian dari aksiologi.
Ada dua ide yang memandang ilmu pengetahuan dari aspek aksiologis.
Pertama, ideal Aristoteles (lahir 384 SM)2 yang menyatakan bahwa ilmu untuk
ilmu, tidak peduli apakah ada manfaat atau tidak (cuma eksis).3 Menurut hemat
penulis, pendapat ini muncul dikarenakan Aristoteles merupakan salah satu tokoh
filsafat Yunani kuno, yang mana pada saat itu pengkajian terhadap ilmu
pengetahuan merupakan suatu pekerjaan yang elit dan bergengsi karena
pengkajiannya bersifat teoritis tanpa memikirkan aplikasinya. Pekerjaan yang
bersifat aplikasi dianggap pekerjaan yang rendah karena disamakan dengan
pekerjaan buruh. Sehingga efek-efek yang bisa timbul dari ilmu pengetahuan
tidak pernah terbayangkan, terutama mengenai efek-efek yang negatif yang
merugikan umat manusia.
Kedua, Ideal bacon (1561-1626 M)4 yang menyatakan bahwa ilmu bagi
kemaslahatan manusia (kemanusiaan).5 Francis Bacon adalah salah satu ilmuan
zaman renaissans yang merupakan cikal bakal lahirnya filsafat barat modern.
Pada masa itu ilmu pengetahuan sudah mulai bersifat aplikatif. Hal ini ditandai
dengan adanya beberapa penemuan dalam bidang teknologi yang merupakan
pengembangan dari ilmu pengetahuan. Jadi wajar jika Bacon berpendapat

2
K. Bertens, 1975, Sejarah Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius,
h. 127
3
Saifullah, 2004, Buku Ajar Konsep Dasar Filsafat Ilmu Bagian I, Malang: Program
Pascasarjana UIN Malang, h. 7
4
Rizal Muntasyir & Misnal Munir, 2001, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 70
5
Saifullah, Loc.Cit.

2
demikian, karena ekses-ekses dari suatu ilmu pengatahuan baik yang melahirkan
kemanfaatan atau yang menyengsarakan saudah bisa di prediksi.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa makalah ini membahas tentang
ilmu pengetahuan kaitannya dengan etika yang lebih difokuskan pada aspek
aksiologis. Agar lebih jelas maka perlu dirumuskan suatu permasalahan yaitu dari
aspek aksiologis bagaimanakah ilmu pengetahuan jika dikaitkan dengan etika?
Apakah akan menimbulkan melahirkan ilmu pengetahuan yang bebas nilai atau
tidak? Dan bagaimana pula tanggung jawab dari ilmuan selaku pemegang kendali
ilmu pengatahuan?

B. Pengertian Aksiologi
Aksiologi merupakan salah satu cabang dari filsafat yang membahas
tentang nilai. Istilah axiologis berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai
atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiologis artinya teori nilai,
penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. 6
Dalam aksiologi pertanyaan-pertanyaan yang muncul antara lain berkisar
apakah nilai itu? dimana letaknya nilai? Bagaimana penerapan dari nilai? Apakah
yang tolok ukur dari penilaian? Siapakah yang menentukan nilai? Dan kenapa
terjadi perbedaan penilaian?.
Problem aksiologi ujar Runes berkaitan dengan empat faktor penting
sebagai berikut:
1. Kodrat nilai berupa problem meneganai: apakah nilai berasal dari keinginan
(Voluntarisme: Spinoza), kesenangan (Hedonisme: Epicurus, Bentham,
Meinong), kepentingan (Perry), prefensi (Martineau), keinginan rasio murni
(Kant), pemahaman mengenai kualitas tersier (Santayana), pengalaman
sinoptik, kesatuan kepribadian atau (Personalisme: Green), berbagai
pengalaman yang mendorong semangat hidup (Nietzsche), relasi benda-benda
6
Rizal Muntasyir & Misnal Munir, Op.Cit., h. 26

3
sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau konsekuensi sungguh-sungguh
yang dapat dijangkau (Pragmatisme: Dewey).
2. Jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai intrinsik,
ukuran untuk kebijakanaan nilai itu sendiri, nilai-nilai instrumental yang
menjadi penyebab (baik barang-barang ekonomis atau peristiwa alamiah)
mengenai nilai-nilai intrinsik.
3. Kriteria nilai artinya ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaligue
oleh teori psikologi dan logika.
4. Status metafisik nilai mempersoalkan tentang bagaimana hubungan nilai
terhadap fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu kealaman (Koehler),
kenyataan terhadap keharusan (Lotze) pengalaman manusia tentang nilai pada
realitas kebebasan manuisa (Hegel).7
Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa aksiologi yang merupakan
teori nilai, erat kaitannya dengan etika atau adapula yang menyebutnya dengan
filsafat moral. Bahkan adapula yang menyebutnya bahwa Aksiologi merupakan
cabang filsafat yang membawahi filsafat moral.
Etika berasal dari bahsa Yunani ethikos, atau ethos yang berarti adat atau
kebiasaan. Selanjutnya istilah etikhos berkembang menjadi ekuivalen dengan
moralitas. 8 Berkaitan dengan etika, ada tiga pengertian:
1. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang
menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakuknya.
2. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Misalnya kode etik.
3. Etika merupakan ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Etika baru menjadi
ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang
yang dianggap atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat

7
Runes dalam Rizal Muntasyir & Misnal Munir, Op.Cit., h. 27-28
8
Suparlan Suhartono, 2005, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Ar-ruzz, h. 165

4
– seringkali tanpa disadari- menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodeis. Etika dalam hal ini sama dengan filsafat moral.9
Dari pengertian di atas, baik itu dalam arti etika sebagai pegangan hidup,
kode etik, ataupun sebagai cabang dari filsafat, etika membahas tentang
bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku, apa yang menjadi dasar dan
tujuan prilaku dan tanggung jawab yang ada di baliknya.
Satu hal yang jelas adalah bahwa menurut para filosof muslim, etika
adalah ilmu (seni) yang menunjukkan bagaimana seharusnya hidup. Bahkan
bukan sekedar hidup, melainkan hidup bahagia, atau dengan kata lain, the art of
living.10
Mengenai etika ini Aristoteles menyatakan bahwa tujuan tertinggi (dalam
hidup) adalah kebahagiaan (eudaimonia).11 Dalam etika ilmu pengetahuan yang
gunanya untuk membantu manusia mencapai tujuannya dan tujuan manusia
adalah kebahagiaan maka seharusnya ilmu pengetahuan adalah membuat manusia
mencapai suatu kebahagiaan.
Menurut sumber dan cara pandangnya, etika dibagi kedalam bebrapa
bagian antara lain etika religius dan etika filosofis. Pada etika filosofis inilah ilmu
pengetahuan akan lebih mudah dikompromikan, karena walaupun dari sisi etika
bersifat subyektif namun dari sisi filosofinya yang bersifat obyektif mampu
meminimalisir kesubyektivitasan dari etika filosofis ini. Memahami etika filosofis
secara tepat dapat membantu kita menyelesaikan persoalan.12
Etika tidak hanya berkutat pada hal-hal teoritis, namun juga terkait erat
dengan kehidupan konkret, oleh karena itu menurut Rizal Muntasyir & Misnal

9
K. Bertens, dalam Rizal Muntasyir & Misnal Munir, Op.Cit., h. 29
10
Mulyadi Kartanegara, 2005, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung: Arasy
(PT Mizan Pustaka), h. 168
11
K. Bertens, Op.Cit., h. 160
12
M. Abuddin Nata, 2002, The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant,
alih bahasa Hamzah, 2002, Antara Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, h. 217

5
Munir dalam beberapa manfaat etika yang perlu diperhatikan dalam kaitannya
dengan kehidupan konkret, yaitu:
1. Perkembangan hidup masyarakat yang semakin pluralistik mengahadapkan
manusia pada sekian banyak pandangana moral yang bermacam-macam,
sehingga diperlukan refleksi kritis dari bidang etika. Contoh: Etika medis
tentang masalah abortus, bayi tabung, koning dan lain-lain.
2. Gelombang modernisasi yang melanda di segala bidang kehidupan
masyarakat, sehingga cara berpikir masyarakatpun ikut berubah. Misalnya:
cara berpakaian, kebutuhan fasilitas hidup modern, dan lain-lain.
3. Eika juga menjadikan kita sanggup menghadaapi ideolgi-ideologi asing yang
berebut mempengaruhi kehidupan kita, agar tidak mudah terpancing. Artinya
kita tidak boleh tergesa-gesa memeluk pandangan baru yang belum jelas,
namu tidak pula tergesa-gesa menolak pandangan baru lantaran belu terbiasa.
4. Etika ditemukan oleh penganut agama manapun untuk menemukan dasar
kemantapan dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan
terhadap semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu berubah..13
Dalam hubungan etika dengan ilmu pengetahuan, kebenaran ilmiah
dengan nilai kemanfaatannya harus menjadi tolok ukur perilaku. Suatu perilaku
mengandung nilai baik apabila mengandung nilai kebanaran ilmiah dan
bermanfaat bagi pencapaian tujuan kehidupan manusia. Sehingga terjadi
keselarasan antara etika yang menuntut kemanfaatan dan ilmu pengetahuan yang
menuntut keilmiahan.
Aspek etika ilmu pengetahuan adalah tentang hakikat konkret individual
ilmu pengetahuan. Seperti halnya manusia, ia barulah berfungsi ketika menjadi
konkret individual. Begitu juga halnya ilmu pengetahuan baru dapat difungsikan

13
Rizal Muntasyir & Misnal Munir, Op.Cit., h.35-34

6
ketika teori-teori ilmiah dibangun menjadi sebuah "sistem teknologi".14 Jadi
kajian aksiologi ini lebih cenderung kepada bidang ilmu-ilmu terapan.
Pada akhirnya aksiologi juga merupakan salah satu tiang penyangga
filsafat ilmu, yang mana mengkaji ilmu pengetahuan ditinjau dari segi penerapan
ilmu pengetahuan tersebuat dalam masyarakat yang tentu saja tidak akan lepas
kaitannya dengan persoalan etika.

C. Masalah Bebas Nilai Ilmu Pengetahuan


Sebagaimana dicontohkan dalam buku Cara Menulis Makalah Filsafat
karya James S. Stramel15 bahwa makalah filsafat yang baik adalah
mengemukakan jawaban dari penulis terlebih dahulu untuk kemudian dilengkapi
dengan pendapat-pendapat tokoh yang berkaitan dengan hal tersebut.
Dalam makalah ini, penulis memberikan jawaban bahwa dari aspek
aksiologis ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, artinya ilmu pengetahuan jika
dipandang dari segi kemanfaatannya maka harus dikaitkan dengan etika, karena
tujuan dasar dari ilmu pengetahuan adalah membantu manusia untuk mencapai
tujuannya yang mana tujuan manusia tersebut adalah kebahagiaan. Jika ilmu
pengetahuan sudah tidak lagi mendatangkan kebahagiaan tapi menimbulkan
kesengsaraan dan bahkan ilmu pengetahuan sudah hampir menghilangkan nilai-
nilai kemanusiaan, maka perlu kiranya mengkaji ulang ilmu pengetahuan tersebut
dan meletakkan ilmu pengetahuan secara proporsional.
Pembahasan mengenai apakah ilmu bebas nilai atau tidak, telah banyak
diperbincangkan dan masih terdapat perbedaan pendapat mengenai permasalahan
ini. Hal ini disebabkan karena berbedanya pemahaman tentang istilah "bebas
nilai". Sepanjang pembacaan terhadap beberapa literatur tentang ilmu dikaitkan
dengan nilai/etika/moral, penulis menyimpulkan ada dua pendapat mengenai hal
14
Suparlan Suhartono, Op.Cit., h. 168
15
Lihat James S. Stramel, 1995, How to write a Philosophy Paper, alih bahasa Agus
Wahyudi, 2002, Cara Menulis Makalah Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

7
ini. Ada yang berpendapat bahwa "bebas nilai" di sini maksudnya adalah
kebebasan manusia dalam menilai suatu produk ilmu pengetahuan,16 baik itu yang
bersifat teoritis maupun yang bersifat kongkrit. Sedangkan yang lain menyatakan
bahwa permasalahan ilmu pengetahuan bebas nilai atau tidak adalah
permasalahan yang membahas tentang ilmu pengetahuan dikaitkan dengan nilai-
nilai/ etika/ moral. 17
Disamping itu, perbedaan pendapat tersebut dikarenakan berbedanya
sudut pandang ilmuan dalam menilai. Penilaiannya dengan melihat salah satu dari
tiga tiang penyangga ilmu pengetahuan yaitu ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Dari perbedaaan sudut pandang ketiga hal tersebut di atas saja sudah
menghasilkan penilaian yang berbeda. Belum lagi jika sudut pandangnya dari sisi
teoritis dan praktis suatau ilmu, tentu saja akan menghasilkan pendapat yang
berbeda pula.
Ada sebagian ilmuan yang berpendapat bahwa aspek aksiologi atau "aksis
nilai" dianggap hanya berlaku pada pengguna iptek, tidak dalam struktur iptek itu
sendiri. Hal ini disebabkan karena kesalahan dalam mendefinisikan aksiologi
(dari kata: axis-logos). Dalam memahami kata "aksiologi" ini, sering diajarkan
16
Dalam hal ini Suparlan Suhartono menyatakan bahwa persoalan tentang bebas nilai dan
tidak bebas nilai kebenaran ilmu pengetahuan bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi ontologi
objeknya maka bersifat tidak bebas nilai. Misalnya nilai hidrogen secara bebas dikurangi (oleh subjek)
dari komponen 2 (dua) lalu dipersenyawakan dengan 1 (satu) oksigen, maka tidak akan pernah terjadi
persenyawaan membentuk air. Untuk menjadi air harus ada persenyawaan terikat dengan satuan
komposisi 2 (dua) bagi unsur hidrogen dan 1 (satu) untuk unsur oksigen. Kenyataan ini membuktikan
bahwa air adalah suatu zat yang tidak bebas nilai, karena terikat oleh sistem persenyawaan fisis-kemis
yang demikian itu. Namun pada makalah ini kajian ini tidak masuk karena makalah ini lebih
memfokuskan pada sisi aksiologis. Kedua, jika ditinjau dari kepentingan subjek seolah-olah ilmu
pengetahuan, teknologi dan perindustrian adalah bebas nilai. Karena bagaimanapun subjek, misalnya
dengan secara bebas menilai dan memanfaatkan sebuah cincin bernial 'perak' sebagai berniali 'emas'.
Artinya tergantung sepenuhnya pada kehendak manusia dalam hal peng-arti-an kemanfaatannya.
Aspek sedua inilah yang sesuai dengan kajian dalam makalah ini yaitu mngkaji dari sisi guna dan
manfaat suatu ilmu pengetahuan. Lihat Suparlan Suhartono, Op.Cit., h.179-180
17
Menurut pendapat yang kedua ini apabila ilmu pengetahuan tidak bebas nilai maka dalam
pengembangan ilmu pengetahuan tersebut harus dikaitkan dengan nilai/moral/etika. Sedangkan jika
ilmu pengetahuan bebas nilai, maka pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak tekait dengan
dengan etika, artinya ilmuan bebas dalam mengembangkan ilmu pengetahuan walaupun produk
tersebut akan mengakibatkan suatu bencana bagi manusia.

8
kepada kita atau kita mengajarkan kepada orang lain, bahwa aksiologi adalah
disiplin filsafat yang membahas masalah "untuk apa suatu ilmu itu digunakan"
dengan memperhatikan makna frase "aksi" dalam kata "aksiologi".
Pemahamannya menjadi sederhana, yakni suatu disiplin yang membahas tentang
"aksi" dari "logos". Dan jarang kita memahaminya sebagai "axis" (sumbu) dari
"logos".18 Akibat dari kesalahan memahami "aksiologi" tersebut, maka yang
terjadi adalah bebas nilai atau tidak suatu ilmu pengetahuan adalah murni dari
aspek manusia sebagai pengguna.
Sebenarnya hubungan antara ilmu pengetahuan dan sistem nilai telah
terjadi sejak masa pertengahan walaupun dalam persepktif yang berbeda. Masa
pertengahan merupakan zaman keemasan bagi kekristenan. Abad pertengahan
selalu dibahas sebagai zaman yang khas karena pada abad itu perkembangan ilmu
pengetahuan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran
agama. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya pengadilan inkuisisi Galelio,
Sokrates dipaksa minum racun dan pembakaran John Huss.
Namun para ilmuan tidak tinggal diam, mereka berusaha untuk
melepaskan ilmu pengetahuan dari kungkungan nilai-nilai yang pada saat itu
diwakili oleh agama Kristen. Dari sini dapat dilihat bahwa subyektivitas nilai
bagaimanapun harus dibatasi, walaupun obyektivitas ilmu pengetahuan juga tidak
bersifat abadi, namun dengan metode ilmiahnya masih bisa dipertanggung
jawabkan. Karena fakta menyatakan ternyata dalam kehidupan selanjutnya nilai-
nilai yang ditanamkan oleh agama Kristen tentang ilmu pengetahuan tidak lagi
dibenarkan.
Pada masa renaissans ilmu pengetahuan mendapatkan kembali
kebebasannya yang telah lama hilang akibat tekanan-tekanan dari pihak gereja.
Pada masa itu para ilmuan berlomba-lomba mengembangkan ilmu pengetahuan

18
Agus Purwadi, 2002, Teologi Filsafat dan Sains; Pergumulan dalam Peradaban Mencari
Paradigma Islam Untuk Ilmu dan Pendidikan, Malang:UMM Press, h. 135-136

9
yaitu berupa pengembangan dari konsep-konsep ilmiah yang bersifat praktis
diimplikasikan pada suatu bentuk yang kongkrit yaitu teknologi.
Dalam tahap ini ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam
untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi, bertujuan
memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol
dan mengarahkan proses yang terjadi.19 Pada tahap inilah ilmu pengetahuan
kembali berkaitan dengan etika, secara filosofi pengkajian ilmu pengetahuan dari
aspek aksiologis.
Dalam struktur ilmu pengetahuan dikenal istilah ilmu murni dan ilmu
terapan. Ilmu-ilmu terapan merupakan titik pertemuan yang lebih langsung antara
ilmu dan masyarakat dibandingkan dengan keadaan ilmu-ilmu murni.20 Ilmu
terapan merupakan lapangan kajian aksiologi, karena pada bidang inilah hakikat
individual ilmu pengetahuan sangat berkait dengan aspek moral yaitu
bersinggungan secara langsung dengan masyarakat.
Ada sebuah kutipan tentang kaitan antara ilmu-ilmu terapan dan
pembuatan pertimbangan nilai yang dilakukannya dari bukunya Beerling, Kwee,
Mooij, Van Peursen yang telah diterjemahkan oleh Soejono Soemargono
Sesungguhnya pertimbangan nilai merupakan pranggapan-pranaggapan
non-ilmiah ilmu terapan, bahkan secara tidak langsung merupakan
pranaggapan-pranggapan segenap ilmu. Tetapi dalam kedudukannya
sebagai ilmu dapat terjadi dua macam kemungkinan. Pertimbangan nilai
diterjemahkan serta dibatasi seeksak mungkin, atau petimbangan nilai
dipandang sebagai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan secara faktual,
yang secara ilmiah harus ditentukan sarana-sarana yang dapat dipakai
untuk mewujudkannya. Disamping kecaman yang secara ilmiah dapat
dilancarkan terhadap ketidakbenaran pertimbangan nilai yang bersifat non
ilmiah terdapat pula kemungkinan lain yang kedua, yaitu berdasarkan atas
pertimbangan nilai tertentu yang pernah diajukan, ilmu akan dapat

19
Jujun S. Suriasumantri, 2001, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, h: 234.
20
Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, 1970, Inleiding Tot de Wetenschapsleer, Alih bahasa
Soejono Soemargono, 1990, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Tiara wacana, h. 142

10
menambahkan kesimpulan-kesimpulan berupa pertimbangan nilai yang
lain.21
Meskipun ilmu dan teknologi banyak mendatangkan manfaat bagi
manusia, namun ada beberapa kekurangan, mungkin dianggap berbahaaya,
karena:
1. Ilmu itu obyektif, mengesampingkan penilaian yang sifatny subyektif, ia
mengesampingkan tujuan hidup, sehingga dengan demikian ilmu dan
teknologi tidak bisa dijadikan pembimbing bagi manusia dalam menjalani
hidup ini.
2. Manusia hidup dalam waktu yang panjang, jika ia terbenam dalam dunia fisik,
maka akan hampa dari makna hidup yang sebenarnya.22
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuan terbagi kedalam dua golongan
pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu itu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologism maupun aksiologis. Golongan
kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai terbatas
pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannaya, bahkan pemilihan
obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. 23
Menurut hemat penulis melihat realitas yang ada sekarang, bahwa ilmu
pengetahuan sudah mulai menyentuh hal-hal yang bersifat merendahkan harkat
dan martabat kemanusiaan. maka sangat bijak apabila perkembangan ilmu
pengetahuan perlu dikontrol oleh adanya suatu nilai-nilai yang bisa
mengembalikan wajah ilmu pengetahuan kepada bentuk aslinya yang sebenarnya
indah.

D. Tanggung jawab Ilmuan Terhadap Masyarakat

21
Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, Op.Cit., h. 146
22
Burhanuddin Salam, Op.Cit., h. 26
23
Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit.,h. 235

11
Secara social, dengan kelebihan ilmu yang dimilikinya ilmuan mempunyai
tanggung jawab yang besar terhadap masyarakatnya, karena penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukannya sangat berpengaruh
terhadap perkembangan kehidupan masyarakat.
Ilmuan tidak hanya bertugas menelaah dan mengembangkan ilmu semata,
namun juga ikut bertanggung jawab terhadap penggunaan produk keilmuan dalam
kehidupan masyarakat. Karena masyarakat awam tidak akan paham terhadap
kemanfaatan suatu produk keilmuan tanpa terlebih dahulu diperkenalkan oleh
ilmuan itu sendiri, demikian juga dengan sisi bahaya dari suatu produk.
Misalnya teknologi Bayi Tabung (In Vitro Fertilization-IVF). Teknologi ini
adalah bentuk lain dari proses reproduksi seksual yang tidak alamiah. Pada
teknologi ini sejumlah sel telur dan banyak sperma dipertemukan dalam cawan
Petri. Bila tekniknya memenuhi syarat, maka akan terbentuk beberapa zigote (sel
hasil persatuan sperma dengan sel telur), yang kemudian berkembang menjadi sl
tunas dan setelah itu embrio. Karena umunya yang diperlukan hanya satu embrio
saja, maka biasanya embrio-embrio yang lain dibuang, yang arinya dibunuh.
Embrio yang dipilih akan dimasukkan ke dalam rahim istri, dan proses
selanjutnya sampai akhir akan sama seperti kehamialn normal sehari-hari. 24
Dari penjelasan mengenai pembentukan bayi tabung di atas, dapat dilihat
bahwa selain mempunyai efek positif produk ilmiah ini juga mempunyai efek
negatifnya yaitu sangat berpotensi menceraiberaikankesatuan integral sntsrs pro
kreasi, pernikahan, dan keluarga, dengan segala macam konsekuensinya. Proses
pembuatan bayi tabung tersebut tidak akan diketahui oleh masyarakat umum
tanpa disosialisasikan oleh pihak ilmuan, dalam hal ini ilmuan medika.
Maka disinilah peran ilmuan dalam memperkenalkan kepada masyarakat
suatu produk ilmu pengetahuan dengan jelas sehingga mayarakat benar-benar

24
Conny Semiawan, Th. I. Setiawan & Yufiarti, 2005, Panorama Filsafat Ilmu: Landasan
Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, Jakarta: Teraju (PT Mizan Publika) , h. 48

12
paham terhadap suatu produk ilmu pengetahuan, baik dampak positif yang bisa
ditimbulkannya maupun dampak negatif.
Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten dengan proses penelaahan
keilmuan yang dilakuakan.25 Sikap ini sangat penting dimiliki oleh seorang
ilmuan karena jika seorang ilmuan sudah tidak konsisten terhadap kajiananya, ia
hanya menjadikan ilmu pengetahuan sebagai lahan untuk menumpuk kekeyaan
maka yang akan menjadi korban adalah mayarakat umum sebagai konsumen dari
hasil penelitiannya tersebut. Lain halnya jika ilmuan konsisten terhadap prinsip
hidupnya baik secara intelektual maupun secara moral, maka ilmu pengetahuan
akan sangat berperan dalam kehidupan manusia. Pemberdayaan ilmu pengetahuan
secara benar inilah yang menjadi tanggung jawab sosial ilmuan.
Dan yang juga penting, disamping memberikan informasi tentang
penggunaan suatu produk keilmuan, ilmuan dengan segala kelebihan ilmu yang
dimilkinya merupakan suri tauladan dalam masyrakat. Dia harus tampil
mengajarkan kepada masyarakat nilai-nilai prinsip dalam pengembangan ilmu
pengetahuan, antara lain, bagaimana cara bersikap obyektif, terbuka, berani
menerima kritik, berpegang teguh kepada nilai-nilai yang diyakininya.

E. Analisa
Kelangsungan dan perkembangan kehidupan manusia adalah suatu
keniscayaan, karena itu sudah sewajarnya jika manusia dengan segala
kemampuan berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya bahkan
mengembangkannya menjadi sedemikian canggih. Dari sini maka pengembangan
ilmu pengetahuan yang menjadi konkrit dalam bentuk teknologi merupakan
sesuatu yang "wajib" dalam rangka pengembangan kehidupan manusia.
Namun perlu diingat, dalam menggunakan teknologi manusia harus
bersikap proporsional agar keseimbangan ekosistemnya tetap terjaga. Adapun
25
Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit.,h. 239

13
alasan kenapa manusia harus bersikap secara proporsional antara lain karena
melihat gakta yang ada yaitu: (1) Keseimbangan ekosistem merupakan kebutuhan
manusia, karena jika ekosistem sudah tidak seimbang maka akan datang bencana-
bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang akhir-akhir ini sering melanda
negeri kita. Yang pada hakikatnya bencana-bencana alam yang melanda manusia
adalah ditimbulakan oleh oknum manusia itu sendiri. (2) Manusia adalah makhluk
sosial yang mana antara satu dan yang lainnya saling membutuhkan, maka dari itu
hendaklah diminimalisir sikap egoistis yang ada dalam diri. (3) Manusia
mempunyai potensi dasar berupa akal yang dengan akal itu dia bisa
mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan catatan, pemberdayaan akal itu
dibarengi dengan kesadaran nurani yang merupakan potensi lain dari manusia.
Disamping itu kehidupan manusia terkait dngan aspek lain yaitu
kelestarian lingkungan hidup dan ketersediaan sumber daya alam. Kaitannya
dengan hal ini maka teknologi yang merupakan pengembangan dari ilmu
pengetahuan haruslah diperguankan demi terpeliharanya ekosistem yang
berimbang dan mengembangkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan
kehidupan menurut asas kecukupan dan kelayakan.
Akhirnya, jika melihat ilmu pengetahuan dari sudut pandang etika, maka
seharusnya manusia mulai memutar balik sikap dan perilaku kehidupannya pada
orientasi berupa "kembali ke asas kebebasan", dengan menomorsatukan
kebutuhan hidup dan menomorduakan keinginan hidup, karena jika menuruti
keinginan manusia maka tidak akan cukup dunia ini menjadi jaminannya.

F. Penutup
Ilmu pengetahuan berkaitan dengan etika dalam dua aspek yaitu ontologi
dan aksiologi. Makalah ini mengulas hal tersebut dari aspek aksiologi yang
akhirnya akan melahirkan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak.

14
Jika bebas nilai dipahami sebagai kebebesan dalam menilai maka dari
aspek aksiologi ilmu pengetahuan bebas nilai artinya bebas kepada manusia untuk
menilai dalam hal pemanfaatannya. Namun jika permasalahan ini dipahami
bahwa ilmu pengetahuan dikaitkan dengan nilai/etika/moral, maka ilmu
pengetahuan tidak bebas nilai, artinya pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi harus melihat aspek etika, karena jika tidak maka ilmu pengetahuan
tidak lagi membantu manusia dalam mencapai tujuan tapi membantu manusia
menciptakan tujuan.
Adapun tanggung jawab ilmuan secara sosial sangat besar sekali.
Disamping bertanggung jawab atas perkembangan ilmu pengetahuan juga
bertanggung jawab terhadap pemanfaatan produk yang dihasilkan. Untuk
selanjurtnya menjelaskan kepada masyarakat tentang produk keilmuannya.
Disamping juga sebagai contoh dalam bersikap dengan segala cirri-ciri
keilmuannya.
Dan yang penting adalah kesadaran manusia untuk tetap berlaku adil
terhadap kehidupan ini. Jangan hanya pandai mengeksploitasi alam atau hanya
mampu mendatangkan kesengsaraan bagi makhluk di dunia. Berusahalah menjadi
ilmuan atau paling tidak meniru sikap konsisten yang merupakan ciri utama dari
seorang ilmuan.

15
DAFTAR PUSTAKA
Agus Purwadi, 2002, Teologi Filsafat dan Sains; Pergumulan dalam Peradaban
Mencari Paradigma Islam Untuk Ilmu dan Pendidikan, Malang:UMM Press

Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, 1970, Inleiding Tot de Wetenschapsleer, Alih
bahasa Soejono Soemargono, 1990, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta:
Tiara wacana

Burhanuddin Salam, 2000, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara

Conny Semiawan, Th. I. Setiawan & Yufiarti, 2005, Panorama Filsafat Ilmu:
Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, Jakarta: Teraju (PT
Mizan Publika)

Jujun S. Suriasumantri, 2001, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan

K. Bertens, 1975, Sejarah Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles, Yogyakarta:


Kanisius

M. Abuddin Nata, 2002, The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and
Kant, alih bahasa Hamzah, 2002, Antara Ghazali dan Kant: Filsafat Etika
Islam, Bandung: Mizan

Mulyadi Kartanegara, 2005, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung:


Arasy (PT Mizan Pustaka)

Rizal Muntasyir & Misnal Munir, 2001, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Saifullah, 2004, Buku Ajar Konsep Dasar Filsafat Ilmu Bagian I, Malang: Program
Pascasarjana UIN Malang

Stramel, James S., 1995, How to write a Philosophy Paper, alih bahasa Agus
Wahyudi, 2002, Cara Menulis Makalah Filsafat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Suparlan Suhartono, 2005, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Ar-ruzz

16

Anda mungkin juga menyukai