Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu dalam prosesnya telah menciptakan peradaban bagi manusia, mengubah wajah
dunia, dan masuk ke setiap lini kehidupan sebagai sarana yang membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya. Sehingga manusia berhutang banyak terhadap ilmu. Namun,
ketika ilmu berbalik menjadi musibah bagi manusia, di saat itulah dipertanyakan kembali
untuk apa seharusnya ilmu itu digunakan. Dalam persoalan ini, maka ilmuwan harus kembali
pada persoalan nilai dan etika dalam bingkai ilmu agar ilmu tidak bergerak ke arah yang
membahayakan.
Tujuan utama ilmu ialah mencapai kebenaran ilmiah yang dalam proses penemuannya
juga memiliki implikasi etis bagi seorang ilmuwan. Kebenaran ilmiah bukanlah kebenaran
mutlak yang harus diimani, ia merupakan kebenaran yang bersifat terbuka, objektif
dan universal. Jadi, tidak ada unsur fanatik di dalam kebenaran ilmiah. Tiga pokok bahasan
tentang ilmu dan nilai, kebenaran ilmiah, dan etika keilmuan sangat berkaitan satu sama lain.
Inilah yang penulis coba paparkan dalam makalah ini.
Pembahasan dalam makalah ini lebih terfokus kepada hubungan ilmu dan nilai, apakah
nilai itu sebagai ruhnya ilmu atau sesuatu yang berdiri sendiri di luar ilmu. Kemudian
mengkaji apa itu kebenaran ilmiah dan cara memperolehnya, serta esensi dari etika keilmuan
yang mengatur tentang bagaimana seharusnya seorang ilmuwan bersikap dalam penerapan
ilmunya sehingga tujuan ilmu sebagai sarana yang membantu manusia terwujud dengan
semestinya. Dengan pengertian, bahwa makalah ini tidak lagi menjabarkan tentang definisidefinisi secara rinci kecuali definisi-definisi pengantar ke fokus kajian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Ilmu dan Nilai ?
2. Bagaimana Kebenaran Ilmiahnya ?
3. Apa itu Etika Keilmuan ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu dan Nilai
Ilmu pengetahuan diambil dari kata basa inggris scince, yang berasal dari bahasa latin
scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan
selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada
segenap pengetahuan sistematik. Dalam basa jerman wissenschaft.Menurut The Liang Gie
Pengertian ilmu adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu medode
untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai
seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang
ingin di mengerti manusia.
1.

Hubungan antara ilmu dan nilai


Ilmu merupakan suatu yang sangat urgen bagi manusia, ia menjadi sarana yang
membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, ilmu dalam perkembangan dan
penerapannya tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi bisa juga
menjadi bencana. Seperti teknologi pembuatan bom atom yang awalnya bisa dimanfaatkan
sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, namun pada akhirnya juga bisa
menimbulkan malapetaka.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi, cabang filsafat yang
mempelajarinya, muncul untuk yang pertamakalinya pada paruh kedua abad ke-19. Adalah
benar bahwa telah mengilhami lebih dari pada seorang filsuf, bahkan Plato telah
membahasnya secara mendalam dalam karyanya, dan bahwa keindahan, kebaikan, dan
kekudusan merupakan tema yang penting bagi para pemikir disepanjang zaman. Sementara
itu, minat untuk mempelajari keindahan belum hilang sama sekali; keindahan, sebagaimana
yang Nampak dewasa ini sebagai salah satu perwujudan dari cara pandang yang khas
terhadap dunia, sebuah cara yang disebut dengan nilai. Dapat disimpulkan bahwa, nilai
merupakan suatu tolak ukur kebaikan, keindahan dan kekudusan suatu objek tertentu.
Menghadapi hal seperti ini maka esensi ilmu mulai dipertanyakan, untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan, apakah ilmu harus dikaitkan dengan nilai-nilai
moral?, Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat
merusak inilah para ilmuwan terlibat dalam perdebatan panjang, apakah ilmu-ilmu yang
berkembang dengan pesat tersebut bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Hal ini mengingat
bahwa di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di

pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai subjektif, seperti
nila-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat dan sebagainya yang ikut
menentukan pilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.
2.

Ilmu bebas nilai (value free)


Paradigma ilmu bebas nilai (value free) mengatakan bahwa ilmu itu bersifat otonom
yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai. Bebas nilai artinya setiap kegiatan
ilmiah

harus

didasarkan

pada

hakikat

ilmupengetahuan itu

sendiri.

Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki
menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penganut paradigma ini menginginkan bahwa ilmu
harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis.[5] Dalam
hal ini, ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik atau sebaliknya.
Menurut Josep Situmorang, setidaknya ada 3 faktor yang menjadi indikator bahwa
ilmu pengetahuan itu bebas nilai:
1. Ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, agama, budaya,
dan unsur kemasyarakatan lainnya.
2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah, agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu
menyangkut kemungkinan untuk menentukan diri sendiri.
3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis (yang sering dituding menghambat
kemajuan ilmu), karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Paradigma ini mengikuti jejak yang dikembangkan oleh Copernicus,Galileo, dan
filosof seangkatannya yang netral nilai secara total. Mereka berpendapat bahwa objek ilmu
tetap sebagai objek ilmiah yang harus dihadapi sama, baik secara teoritis maupun secara
metodologis. Oleh karena itu, ilmuwan tidak boleh membedakan apakah objek yang dihadapi
ilmu itu merupakan bahan dari zat-zat kimia atau keseragaman peristiwa alam(uniformity of
natural) atau merupakan masalah yang ada hubungannya dengan kemanusiaan. Manusia
disamping sebagai subjek peneliti ilmu, juga sebagai objek yang diteliti secara objektif dari
luar, tanpa terpengaruh dengan apa yang menjiwainya.
Penganut pendapat ini ada yang lebih ekstrim menyatakan bahwa gejala-gejala
kemasyarakatan sama dengan gejala fisika, yaitu sama-sama bersifat alami. Pengertianpengertian seperti kehendak, rasa, motif, nilai dan jenis merupakan hal-hal yang berada di
luar dunia eksakta yang adanya hanya dalam dunia angan-angan yang tidak patut ditinjau dari
segi ilmiah.

Bebas nilai sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan pada ilmu agar
keberadaannya dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu itu
sendiri, artinya tuntutan dasar agar ilmu dikembangkan hanya demi ilmu itu sendiri tanpa
pertimbangan politik, agama maupun moral. Jadi, ilmu harus dikembangkan hanya sematamata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni. Agaknya, inilah yang menjadi patokan
sekularisme yang bebas nilai.
Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas bisa jadi
dibenarkan untuk kepentingan ilmu itu sendiri, seperti juga ekpresiseni yang menonjolkan
pornografi dan pornoaksi adalah sesuatu yang wajar karena ekspresi tersebut semata-mata
untuk seni. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut tetapi ilmu-ilmu yang
bebas nilai demi tujuan untuk ilmu itu sendiri barangkali menganggap kepentingankepentingan ekologis tersebut bisa menghambat ilmu. Contoh lain misalnya, dulu sebelum
ditemukan teknologi sinar laser demi mempelajari anatomi tubuh manusia, maka menguliti
mayat manusia dan mengambil dagingnya hingga tinggal tulang-tulangnya diperbolehkan
dalam ilmu.
Sedangkan seni misalnya, membuat patung-patung manusia telanjang, lukisan-lukisan
erotis, fotografi yang menonjolkan pornografi dan tarian-tarian tanpa busana sama sekali
adalah bukan masalah dan dibenarkan secara ilmuseni sepanjang untuk ekspresi seni itu
sendiri.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa penganut paradigma valuefree berpendirian
bahwa ilmu tidak terikat oleh nilai, baik dalam proses penemuannya maupun proses
penerapannya karena petimbangan-pertimbangan moral atau nilai hanya menghambat
pertumbuhan dan perkembangan ilmu.
3.

Ilmu tidak bebas nilai (value bound)


Paradigma ilmu yang tidak bebas nilai (value bound) memandang bahwa ilmu itu
selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai.
Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, kepentingankepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis, dan sebagainya.
Filosof yang menganut teori value bound adalah Habermas. Dia berpendirian bahwa
teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai, dan semua ilmu bahkan ilmu alam
sekalipun tidaklah mungkin bebas nilai karena dalam pengembangan setiap ilmu selalu ada
kepentingan-kepentingan teknis.
Dalam pandangan Habermas bahwa ilmu sendiri dikonstruksi untuk kepentingankepentingan tertentu yakni nilai relasional antara manusia dan alam seperti ilmu pengetahuan

alam, manusia dan manusia seperti ilmu sosial, dan nilai penghormatan terhadap manusia.
Jika lahirnya ilmu saja terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja lepas
dari nilai. Penganut value bound ini bahkan ada yang mengatakan bahwa nilai adalah ruhnya
ilmu. Jadi, ilmu tanpa nilai diibaratakan seperti tubuh tanpa ruh (mati) yang berarti tidak
berguna.
4.

Ilmu bebas nilai sedangkan aplikasi ilmu dan ilmuwannya terikat nilai
Pendapat ini mengatakan bahwa ilmu bebas nilai hanya terbatas dari segi ontologinya,
sedangkan penggunaannya tidak bebas nilai karena harus berdasarkan asas-asas nilai. Mereka
berpendirian bahwa masalah nilai tidak terlepas sama sekali dengan fitrah manusia. Manusia
adalah makhluk yang selalu menilai untuk menemukan kebenaran dan mempertemukan
kebenaran. Sejarah manusia penuh dengan peristiwa-peristiwa yang dihiasi kerelaan
mengorbankan nyawa dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Tanpa dasar
nilai

moral,

ilmuwan

mudah

sekali

tergelincir

dalam

melakukan

prostitusi

intelektual. Pendapat ini didasari oleh beberapa hal, yakni:


1)

Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan
dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.

2)

Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih
mengetahui tentang akses-akses yang mungkin terjadi bila ada penyalahgunaan.

3)

Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga ada kemungkinan bahwa ilmu dapat
mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika
dan teknik perubahan sosial (social engineering).
Menurut Drs. H. Mohammad Adib, MA, substansi ilmu itu bebas nilai(value-free),
tergantung pada pemakaiannya, beliau mengatakan bahwa:
Sangat dikhawatirkan dan berbahaya jika ilmu dan pengetahuan yang sarat muatan negatif
dikendalikan atau jatuh ke tangan orang-orang yang berakal picik, sempit, dan sektarian;
berjiwa kerdil, kumuh dan jahat, bertangan besi dan kotor. Hal ini berangkat dari fakta
belakangan yang menunjukkan terjadinya krisis, kemiskinan, kebodohan, ketidakpercayaan,
dan lainnya sebagai dampak dari missmanagement, missdirection, missmanipulation, dan
sebagainya.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka ilmu secara netral harus bertujuan untuk
kesejahteraan manusia, tanpa merendahkan martabatnya. Dengan kesimpulan bahwa
pendapat ini mengatakan bahwa ilmu bebas nilai dalam proses penemuannya dan terikat nilai
dalam proses penerapannya, tentunya dalam proses penerapan sangat berkaitan dengan
subjek yang mengembangkannya, yaitu ilmuwan itu sendiri. Proses penemuan ilmu memang

diusahakan secara maksimal objektif. Usaha itu berupa menjauhkan diri dari segi-segi nilai
subjektif . Namun, karena manusia adalah makhluk yang tidak terlepas dari nilai-nilai
kemanusiaan yang berguna baginya, maka dalam penerapan ilmu selalu mempertimbangkan
nilai.
Dari paparan tiga paradigma tentang ilmu dan nilai diatas, dapat disimpulkan bahwa
netralitas ilmu hanya terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak pada
siapapun selain kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan
harus mampu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan
ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat.
B. Kebenaran Ilmiah
1.

Definisi Kebenaran
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta, ditemukan
arti kebenaran yakni: (1) Keadaan yang benar, misalnya, kebenaran berita ini masih saya
sangsikan; kita harus berani membela kabanaran dan keadilan. (2) Sesuatu yang benar
misalnya kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. (3) Kejujuran; kelurusan hati;
missal, tidak ada seorangpun sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu. (4) Selalu izin;
perkenanan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan. (5) Jalan kebetulan; missal, penjahat
itu dapat di bekuk dengan secara kebenaran saja.

2.

Jenis-jenis Kebenaran
Jenis kebenaran menurut A.M.W. Pranarka dibagi menjadi tiga jenis kebenaran: (1)
epistimologikal, (2) Kebenaran ontological, (3) Kebenaran semantikal.
Kebenaran estimologikal adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan
manusia. Kebenaran ontological adalah kebenaran sebagai sifatdasar yang melekat kepada
segala sesuatu yang ada ataupun di adakan. Adapaun kebenaran semantikal adalah kebenaran
yang terdapat serta melekat didalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal disebut
juga kebenaran moral.

3.

Kebenaran dan teori kebenaran


Hukum-hukum, asas-asas, dan patokan logika pembimbing akal manusia menempuh
jalan yang paling efisien untuk menjaga kemungkinan salah dalam berpikir karena berpikir
merupakan kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Lantas apakah makna benar
itu?. Benar menurut Randall dan Bucher dalam Mundiri (2001) pada dasarnya adalah
persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Sedangkan menurut Jujun (1988) benar adalah
pernyataan tanpa ragu, dan benar merupakan bahagian dari nilai (value).

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kebenaran dibedakan ke dalam empat lapis.
Lapis pertama ialah kebenaran inderawi yang kita peroleh melalui panca indera kita dan
dapat dilakukan oleh siapa saja. Lapisan kedua adalah kebenaran ilmiah yang diperoleh
melalui kegiatan sistematik, logis, dan etis oleh orang-orang terpelajar. Sedangkan lapis
diatasnya ialah kebenaran falsafi yang diperoleh melalui kontemplasi mendalam oleh orangorang yang sangat terpelajar dan hasilnya diterima serta dipakai sebagai rujukan oleh
masyarakat luas. Dan lapis kebenaran tertinggi adalah kebenaran religi yang diperoleh dari
Tuhan Yang Maha Pencipta melalui wahyu kepada para Nabi serta diikuti oleh mereka yang
meyakininya. Nah, yang menjadi fokus kajian kita adalah lapis kebenaran kedua, yaitu
kebenaran ilmiah yang merupakan tujuan dari setiap ilmu.
Sebagai pengantar ke dalam pembahasan kebenaran ilmiah, saya kemukakan tiga teori
utama yang mencoba menjelaskan apa itu yang disebut dengan kebenaran suatu
pengetahuan, tentunya dengan catatan bahwa teori-teori ini hanyalah sebagai teori utama dari
sekian banyak teori tentang kebenaran:
a.

Teori koherensi atau teori kebenaran saling berhubungan (the coherence/the consistence
theory of truth)
Kebenaran menurut teori ini ialah suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan,
pendapat, kejadian, atau informasi) dianggap benar apabila proposisi tersebut koheren atau
konsisten atau saling berhubungan dengan proposisi-proposisi sebelumnya yang kita ketahui,
terima dan akui sebagai benar. Dari prinsipnya ini, jelas bahwa teori koherensi lebih
mendasarkan diri kepada rasio. Contohnya, bila kita menganggap bahwa proposisi semua
makhluk hidup pasti akan mati adalah pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa
Susilo Bambang Yudoyono adalah makhluk hidup dan Susilo Bambang Yudoyono pasti
akan mati adalah proposisi yang benar karena koheren dengan pernyataan yang pertama.
Dengan demikian, suatu teori itu dianggap benar apabila tahan uji(testable). Artinya,
suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang kemudian teori tersebut diuji kembali oleh
orang lain dengan mengkomparasikan dengan data-data baru. Apabila teori tersebut tidak
koheren dengan data yang baru, maka secara otomatis teori pertama gugur atau
batal (refutability). Tetapi kalau data itu cocok dengan teori lama, maka teori itu semakin
kuat (corroboration). Teori koherensi ini dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti
Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradely, berkembang pada abad ke-19 dan diikuti oleh pengikut
mazhab idealis. Di antara bentuk pengetahuan yang penyusunan dan pembuktiannya
didasarkan pada teori koherensi adalah ilmu Matematika dan turunannya.

b.

Teori korespondensi atau teori kebenaran saling berkesesuaian (the correspondence/the


accordance theory of truth)
Menurut teori ini, suatu pernyataan dikatakan benar jika materi pernyataan tersebut
berkorespondensi (berkesesuaian) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Berangkat dari hal ini, maka pengetahuan adalah benar bila apa yang terdapat di dalam
pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam objek. Dari prinsip ini terlihat
bahwa teori korespondensi lebih mendasari diri pada kebenaran faktual, karena data dan fakta
memilki kebenaran objektif pada dirinya.
Contohnya, jika seseorang mengatakan bahwa Batu Malin Kundang ada di kota
Padang, maka pernyataan tersebut adalah benar karena kenyataannya di kota Padang
memang terdapat objek yang disebutkan. Kebenarannya terletak pada hubungan antara
pernyataan dengan kenyataan. Sebaliknya, tidak benar jika ada pernyataan Batu Malin
Kundang ada di kota Surabaya, karena tidak sesuai antara pernyataan dengan kenyataan.
Dengan

demikian,

persesuaian(agreement) mengenai

kebenaran
fakta

menurut
dengan

fakta

teori
aktual;

ini
atau

adalah
antara

putusan(judgement) dengan situasi seputar (environmental situation) yang diberi interpretasi.


Teori ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di antara pelopornya adalah
Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey, dan Tarski. Teori ini kemudian dikembangkan
oleh Bertrand Russel (1872-1970).
c.

Teori pragmatisme atau teori kebenaran konsekuensi kegunaan (the pragmatic/pragmatist


theory of truth)
Kebenaran suatu pernyataan bagi seorang pragmatis diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Artinya, suatu
pernyataan menjadi benar atau konsekwensi dari pernyataan itu benar apabila mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Pencarian pengetahuan tentang alam dianggap fungsional dan berguna untuk
menafsirkan gejala alam. Secara historis, kebenaran dari suatu pernyataan ilmiah tidak selalu
tetap, yang sekarang benar, bisa didapati salah di kemudian hari. Berhadapan dengan masalah
ini, Jujun S. Suriasumantri berpendapat bahwa seorang ilmuwan pasti bersikap pragmatis,
yakni masih tetap dipakainya teori tertentu jika pernyataan itu fungsional dan mempunyai
kegunaan. Teori ini muncul dengan berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan pada abad
ke-19, terutama setelah teori evolusi menempati posisi yang signifikan dalam percaturan
pengetahuan. Diantara tokoh yang cukup aktif mengembangkan teori ini adalah Charles
Sanders Peirce, William James dan John Dewey.

4.

Cara menemukan kebenaran ilmiah


Kebenaran ilmiah adalah fokus dari kegiatan ilmiah, ia merupakan suatu kebenaran
yang didapat dari hasil penelitian ilmiah melalui cara-cara baku yang dinamakan metode
ilmiah. Kebenaran ilmiah bersifat terbuka, objektif dan universal; bisa ditambah dan
dikurangi, atau dirobah secara total bila terdapat dalil baru yang telah dibuktikan juga secara
ilmiah, jadi tidak ada fanatisme dalam kebenaran ilmiah, dan kebenaran ilmiah itu tidak perlu
diimani. Hal ini disebabkan karena kebenaran dan ketercocokan sebuah kajian ilmiah akan
terbatas pada ruang, waktu, tempat dan kondisi tertentu, tentu ini tidak lepas dari rasio
manusia yang terbatas.
Pada pembahasan sebelumnya telah dikemukakan 3 teori utama kebenaran. Lalu
persoalannya ialah teori manakah yang berlaku bagi kebenaran ilmiah?. Pada kebenaran
ilmu-ilmu alam berlaku teori korespondensi, karena pada ilmu-ilmu alam fakta objektif
mutlak diperlukan untuk membuktikan setiap proposisi atau pernyataan. Sedangkan untuk
ilmu-ilmu manusia, teori kebenaran yang digunakan ialah teori koherensi, karena yang
dituntut ialah konsistensi dan koherensi antar proposisi.
Sesuatu yang tidak asing lagi bagi kita bahwa suatu teori berkembang melalui
penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang dilakukan secara sistematis dan terkontrol
berdasarkan atas data-data empiris yang ditemukan di lapangan. Pendekatan ilmiah akan
menghasilkan kesimpulan serupa bagi hampir setiap orang. Karena pendekatan tersebut tidak
diwarnai oleh keyakinan pribadi maupun perasaan, dan cara penyimpulannya objektif bukan
subjektif.
Dengan pendekatan ilmiah itulah orang berusaha memperoleh kebenaran ilmiah, yaitu
pengetahuan benar yang kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang ingin untuk
mengujinya. Untuk menemukan kebenaran ilmiah seseorang harus bisa berpikir secara
ilmiah, setidaknya ada 3 tahapan berpikir yang harus dilalui, yaitu:

a.

Skeptik
Ciri berpikir ilmiah ini ditandai oleh cara orang dalam menerima kebenaran informasi
atau pengetahuan tidak lansung diterima begitu saja, namun dia berusaha untuk menanyakan
fakta-fakta atau bukti-bukti terhadap setiap pernyataan yang diterimanya.

b.

Analitik
Ciri berpikir ilmiah kedua ditandai oleh cara orang dalam melakukan setiap kegiatan,
ia selalu berusaha menimbang-nimbang setiap permasalahan yang dihadapinya, mana yang
relevan, dan mana yang menjadi masalah utama dan sebagainya. Dengan cara ini maka

jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi akan dapat diperoleh sesuai dengan apa yang
diharapkan.
c.

Kritis
Ciri berpikir ilmiah ketiga ditandai dengan orang yang selalu berupaya
mengembangkan kemampuan menimbang setiap permasalahan yang dihadapinya secara
objektif. Hal ini dilakukan agar semua data dan pola pikir yang diterapkan dapat selalu logis.

C. Etika Keilmuan
Etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah
predikat-predikat nilai betul (right) dan salah (wrong) dalam arti susila(moral) dan tidak
susila (immoral).[31] Maka lebih tepat dikatakan bahwa objek formal dari etika adalah normanorma kesusilaan manusia. Etika bisa dibilang sesuatu yang membatasi. Membatasi dalam
hal ini memiliki tujuan agar tidak terjadi deviasi nilai dalam sistem masyarakat.[32]
Etika keilmuan merupakan etika normatif[33] yang merumuskan prinsip-prinsip etis
yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsipprinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku
keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku
ilmiahnya.[34]
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu pada elemen-elemen kaidah
moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggungjawab, nilai dan norma yang
bersifat utilitaristik (kegunaan).[35] Dengan demikian, maka bagi seorang ilmuwan, nilai dan
norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang
baik atau belum.
Ketika ada pernyataan bahwa ilmuwan memiliki tanggung jawab etis dalam
penerapan ilmu, maka maknanya ialah ia dalam mengembangkan ilmu harus memperhatikan
kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada
kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya
ilmu bertujuan untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia, bukan untuk
menghancurkan eksistensi manusia.
Para ilmuwan sebagai orang yang professional dalam bidang keilmuan tentu perlu
memilki visi moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah yang di dalam filsafat ilmu disebut
sikap ilmiah. Di antara sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan ialah:
1.

Seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang
baik.

2.

Seorang ilmuwan harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat
orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan.

3.

Seorang ilmuwan harus bisa menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar
rasionalitas dan metodologis yang tepat.
Seiring dengan itu, ilmu dalam perkembangannya juga diharapkan memiliki tanggung
jawab etis. Tanggung jawab etis itu sendiri bukan berkehendak mencampuri atau bahkan
menghancurkan otonomi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi bahkan dapat menjadi
pengokoh eksistensi manusia.[36]Tentunya ketika kita berbicara tentang tanggung jawab ilmu
maka itu mengindikasikan adanya tanggung jawab manusia yang mengembangkan ilmu
tersebut.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Basis keilmuan tanpa nilai dan tidak dilengkapi oleh aksiologi, etika,religiousitas, dan
sosiologi, akan mengakibatkan runtuhnya tatanan sistem kemasyarakatan serta menciptakan
tatanan hidup masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Kekeringan nilai dalam bingkai ilmu
akan berakibat pada runtuhnya ruh ilmu itu sendiri.
2.

Kebenaran ilmiah merupakan hasil dari proses kegiatan ilmiah melalui metodologi ilmiah.
Kebenaran ilmiah ini tidak selamanya bisa dipegangi. Oleh karena itu, kita tidak perlu
mengagung-agungkan kebenaran ilmiah yang kita peroleh dengan keterbatasan rasio dan
indrawi kita. Karena kebenaran tunggal dan hakiki hanyalah milik Allah SWT. Al-haqqu min
Rabbik.

3.

Aspek etika keilmuan seharusnya mendapat perhatian yang tinggi bagi para pendidik
maupun ilmuwan itu sendiri. Hal ini mengingat bahwa betapa banyak orang yang cenderung
mendidik anak-anak mereka menjadi seorang yang memiliki kecerdasan tinggi tanpa
melengkapi kecerdasan tersebut dengan nilai-nilai moral yang luhur.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dari segi metode
maupun content (isi). Kritik dan saran berupa kontribusi pemikiran yang konstruktif sangat
diharapkan demi penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Frondizi, Risieri. Pengantar Filsafat Nilai. Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Hadi, Hardono. Epistemologi; Filsafat pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Salam, Burhanudin. Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Reneka Cipta, 1997.
Sumarna, Cecep. Filsafat Ilmu; Dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2001.
Suseno, Magnis Franz. Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius,
1987

Anda mungkin juga menyukai