Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Ilmuwan


Ilmu menghasilkan teknologi yang digunakan masyarakat. Penarapan ilmu di
masyarakat menjadi keberkahan bagi masyarakat dan dapat mengubah beradaban bagi
manusia, tetapi juga dapat menimbulkan bencana bagi manusia apabila
penyalahgunakan hasil karya para ilmuwan. Disinilah pemanfaatan dan teknologi perlu
diperhatikan sebaik-baiknya.
Para ilmuwan dinobatkan sebagai dua golongan pendapat, Ilmu harus bersifat
netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologi. Maka dalam hal ini
ilmuwan hanya bisa menemukan penemuannya, dan pemakaian terserah para pengguna
yang bersifat positif maupun negatif ilmu itu bersifat netral.
Apabila dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas perubahan sosial, maka
hal itu berarti ilmu telah mengakibatkan perubahan social dan ilmu bertanggung jawab
atas sesuatu yang akan terjadi. Sehingga tanggung jawab tersebut berhubungan dengan
masa lalu dan juga masa depan. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa apa yang telah
terjadi sebenarnya tidak mutlak harus terjadi dan apa yang bakal terjadi tidak perlu
terjadi, hal itu semata-mata bergantung kepada keputusan manusia sendiri. Oleh karena
itu tanggung jawab ilmuwan terhadap masa depan kehidupan manusia diantaranya
adalah :
a. Ilmu semakin berkembang secara pesat dan makin esoteric sehingga para ilmuwan
dapat mengetahui akses-akses yang mungkin terjadi apabila terjadi penyalahgunaan
hasil karya para ilmuwan.
b. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu
dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki.

Menurut Abbas Hama Para ilmuwan sebagai orang yang professional dalam bidang
keilmuwan tentu memiliki visi moral, yaitu moral khusus sebagai ilmuwan. Moral
inilah didalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. Menurut Abbas ada enam
sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan yaitu :
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap diarahkan untuk
mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau
kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu para ilmuwan mampu memilih terhadap segala sesuatu yang
dihadapi.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat
indra serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang mendasar pada suatu kepercayaan dan merasa bahwa setiap
pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya rasa seorang ilmuwan merasa selalu tidak puas terhadap penelitian yang
telah dilakukan, sehingga selalu memiliki dorongan untuk riset dan riset sebagai
aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Memiliki sikap etis untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk
kebahagiaan manusia, serta untuk pembangunan bangsa dan negara.

Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang
ilmuan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap
etis seorang ilmuan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran mau tidak mau
akan mempengaruhi pandangan moral. Kebenaran berfungsi bukan hanya sebagai jalan
pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat inilah maka
seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis
materi kebenaran namun juga sebagai prototipe moral yang baik.

B. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai?


Rasionalisasi dalam ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes memunculkan metodisnya
yang meragukan segala hal, kecuali yang sedang dalam keraguan adalah dirinya. Yang
kemudian berlanjut pada era Auf Klarung yakni era yang berusaha mencapai titik rasional
tentang alam dan dirinya.
Filsafat sebagai “phylosophy of life” mempelajari nilai-nilai yang ada dalam kehidupan dan
berfungsi sebagai pengontrol terhadap keilmuan manusia. Fungsi dari teori nilai hampir mirip
dengan agama yang menjadi pedoman kehidupan manusia. Dalam teori nilai terkandung
tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan memberi makna terhadap kehidupan
ini.
Permasalahannya ilmu yang berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak
bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksut Josep Situmorang (1996) adalah setiap kegiatan ilmiah
didasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur
tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengethuan itu sendiri.
1. Ilmu Bebas Nilai
Ilmu bebas nilai sering disebut dengan value free dalam bahasa inggris, yang menyatakan
bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki
keterkaitan sama sekali dengan nilai. Teori ilmu bebas nilai berpandangan, jika ilmu tidak
bebas nilai maka perkembangan ilmu menjadi terhambat karena terikat nilai-nilai yang
ada. Adapun segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan penyelidikan ilmiah
disandarkan kembali kepada hakikat ilmu. Terdapat 3 faktor yang menjadikan parameter
atau indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:
a. Ilmu harus bebas dari pengendalian nilai dan faktor eksternal seperti, faktor politis,
ideologis, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainya .
b. Diperlukannya kebebasan ilmiah, yang mendorong terjadinya otonomi ilmu
pengetahuan. Kebebasan itu menyangkut dalam kemungkinan untuk menentukan diri
sendiri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat
kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.

Ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang diluar ilmu pengetahuan,
atau ilmu pengetauan itu seharusnya bebas. Maksud dari kata kebebasan adalah
memungkinkan hak subyek yang bersangkutan memilih sendiri. Agar terdapat kebebasan
maka harus ada penentuan diri dan bukan penentuan dari luar. Walaupan akan terlihat
seperti dipaksakan namun penentuan diri ini sugguh bebas, karena dilakukan bukan
karena alasan-alasan yang tidak dimengerti subyek sendiri melainkan berdasarkan
wawasan diri.

2. Ilmu tidak bebas nilai


Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai (value bond)
memandang bahwa ilmu selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangan dengan
mempertimbangkan aspek nilai. Perkembangan ilmu jelas tidak dapat terlepas dari nilai-
nilai, terlepas dari kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, religius, ekologis,dsb.
Dalam ilmu tidak bebas nilai kata “nilai” juga memiliki makna yang lebih luas. Pertama,
makna nilai bukan hanya dalam konteks baik buruk tetapi juga dalam konteks ada atau
tidaknya kepentingan. Kedua, ilmu tidak bebas nilai tidak hanya berlaku bagi ilmuan tetapi
juga bagi ilmu itu sendiri, sehingga memasuki wilayah epistemologis. Keduanya saling
tekait.
Menurut Jurgen Habermas berpendapat bahwa ilmu tidak mungkin bebas nilai sekalipun
ilmu alam, karena setiap ilmu pasti ada kepentingan-kepentingan lain. Habermas juga
membedakan ilmu sesuai dengan kepentingan masing-masing yaitu:
a) Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris
analitis. Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil
penyelidikannya untuk kepentingan-kepentingan manusia. Dari ilmu ini juga disusun
teori-teori yang ilmiah agar dapat diturunkan untuk pengetahuan-pengetahuan
terapan yang besifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi yang
dapat digunakan sebagai upaya manusia untuk mengelola dunia atau alamnya.
b) Pengetahuan yang kedua ini berlawanan dengan pengetahuan yang pertama, karena
tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami
manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan
yang dibicarakan adalah hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan
yang dikejar oleh pengetahuan ini adalah pemahaman makna.
c) Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan
mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Aspek sosial yang mendasari
teori ini adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan yang dikejar adalah
pembebasan atau emansipasi manusia.

Ilmu tidak bebas nilai memandang bahwa ilmu itu akan selalu terikat dengan nilai dan
harus dikembangkan dengan mempertimbangkan nilai. Ilmu tidak mungkin dapat
terlepas dari nilai-nilai kepentingan-kepentingan baik politik, ekonomi, sosial,
keagamaan, lingkungan, dsb.

3. Moralitas Ilmu Pengetahuan


Manusia sebagai manipulator dan articulator dalam mengambil manfaat dalam ilmu
pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dan Freud menyebut sebagai “id”,
“ego” dan “super ego”. “Id” adalah bagian kepribadian dalam dorongan biologi (hawa
nafsu) dan hasrat yang mengandung dua insting yaitu libido(konstruktif) dan thanatos
(destruktif dan agresif).“Ego” merupakan penyelaras antara “Id” dan realitas dunia luar.
“Super ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani. Dalam agama ada
sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka atau hawa nafsu.
Daftar pustaka

Suhasti, Ermi. 2013. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta:Prajnya Medi.


Sumantri, Jujun S. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Ghozali Bachri, dkk. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Surajiyo. 2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai