Kemajuan ilmu pengetahuan modern sangat pesat dalam kehidupan masyarakat sehingga menjadi buah simalakama bagi masyarakat itu sendiri. Ummat manusia berada diambang perasaan dilemma dalam menghadapi derasnya kemajuan teknologi. Bahkan fisikawan asal amerika serikat J. Robert openheimer yang menemukan bom atom menyesal terlah melakukan penelitian tersebut. Dia berkata “Now I am become death, the destroyer of world.” (sekarang saya sebagai pembunuh, penghancur dunia). Tidak semua sains modern itu berdampak bagus bagi masyarakat dan tidak semua sains modern itu berdampak buruk bagi masyarakat. Bahkan bisa jadi sains modern membuat dan memberikan masalah baru ditengah – tengah kedidupan bermasyarakat. Jika ditelaah lebih lanjut, permasalah ini berangkat dari sudut pandang (worldview) yang mendasari sains tersebut. Setidaknya ada tiga cara pandang dominan terhadap sains modern, yaitu: (a) bebas nilai, demoralisasi di dalam dunia sains. Sehingga sains tidak di posisikan secara benar. Ini dibuktikan apabila belajar dari sejarah panjang pengalaman – pengalaman Negara – Negara maju, kita mengetahui bahwa perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak selalu menghasilkan kemaslahatan “(tonic potentiahtie)” akan tetapi sering kali juga “kemudharatan” (toxic potentiahties). Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menguraikan secara analisis- deskriptif problematika sains modern ditinjau dari dimensi etika- moralitas. Hubungan keduanya dapat diarahkan kepada pencapaian kehidupan berkelanjutan (sustainable life) dengan begitu pembahasannya meliputi hubungan moral dan sains dan implikasi – implikasi dari pola – pola relasinya.
II. Rumusan Masalah
1. Apakah hubungan Antara ilmu pengetahuan dan moralitas? III. Pembahasan Ilmu pengetahuan sangat terikat erat dengan kemajuan sains dan dampak dari kehidupan sosial, salah satunya ialah perubahan social yang terjadi secara tidak normal. Kathy S. Stolley mengatakan “Cultures and societies are dynamic. They constantly experience social change, meaning that the structures of cultures and societies transform into new forms”. Kemudian, perubahan masyarakat dilatar belakangi oleh inovasi dan penemuan. Keduanya masuk ke dalam unsur kebudayaan masyarakat yang sedang berlaku. Koentiaraningrat membagi unsur kebudayaan menjadi tujuh, yaitu: 1. Bahasa 2. System pengetahuan, 3. Organisasi social, 4. System peralatan hidup dan teknologi, 5. System mata pencaharian hidup, 6. Sistem religi, dan 7. Kesenian. Setiap inovasi maupun penemuan selalu berada di antara ketujuh unsur tersebut. Ia dipicu oleh factor internal dan eksternal. Factor internal meliputi kesadaran adanya kekurangan dan mutu individu untuk mengubah, sedangkan factor eksternalnya adalah system perangsang untuk mencipta. Jadi, sains mempunyai implikasi terhadap kebudayaan masyarakat. Berkaitan dengan itu, perkembangan sains perlu mendapatkan perhatian khusus, karena kemajuan sains mendapat kritik dari berbagai kalangan. Penerapan sains seharusnya menghasilkan teknologi untuk kepentingan manusia, tetapi justru berdampak teknologi untuk kepentingan manusa, tetapi justru berdampak begitu menakutkan, seperti dampak militer, ekologis, sosiologis, dan psikologis. Pengembangan sains kea rah teknologi militer seperti senjata nuklir dan kimia menggiring kearah keterasingan individu. Selain itu, hubungan antara manusia dan lingkungan menjadi terganggu (krisis ekosistem). Hal ini dapat terlihat dari limbah dan pulusi akibat penggunaan teknologi yang berlebihan, terutama di sector industry. Hal ini tidak lain karena cara pandang manusia terhadap ilmu pengetahuan yang berubah. Motif mencari ilmu pengetahuan bukan lagi untuk kemaslahatan kemanusiaan, melainkanuntuk mencari uang. Ini berakibat pada terjadinya ketidakseimbangan lingkungan. Dari sini, manusia modern menjadi jauh dengan kesadaran moralitas individu. Giddens menegaskan “modernity is a risk culture”. “modernity reduces the overall riskiness of certain areas and modes of life, yet at the same time introduces new risk parameters largely or completely unknown to previous eras”. Integrase sains dengan agama sudah pernah diwujudkan oleh masyarakat muslim melalui peradapan Baghdad dan Andalusia. Mengembalikan hubungan ilmu pengetahuan dengan moral menurut islam merupakan jalan keluar bagi “kecacatan” sains modern. Apalagi konsep ilmu pengetahuan di islam telah mapan. Menutur I.R. Poedjowijatno ilmu pengetahuan memiliki beberapa syarat, 1. Berobject yaitu sudut pandang pendekatan suatu ulmu terhadap objeknya. 2. Bermetode, yaitu prosedut/ cara tertentu suatu ilmu dalam usaha mencari kebenaran. 3. Sistematis, ilmu pengetahuan seringkali terdiri dari beberapa unsur tapi tetap merupakan satu kesatuan. Ada hubungan, keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. 4. Universal, ilmu diasumsikan berlaku secara menyeluruh, tidak meliputi tempat tertentu atau waktu tertentu. Ilmu diproyeksikan berlaku seluas – luasnya. Akan tetapi dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan terdapat masalah mendasar yang sampai sekarang menjadi perdebatan panjang yaitu masalah apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak?!. Menurut Jujun S. yang mengkaji secara hati – hati dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Jujun S. berpendapat bahwa 1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaita antara ilmu dan moral maka harus didekati dari segi – segi yang lebih terperinci yaitu segi ontology, epistemology dan aksiologi. 2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan factor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan. 3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (object ontologis/objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia. Tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencamputi masalah kehidupan. 4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metode keilmuan yang berporoskan proses logika-hipotika-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan kebenaran yang dilakukan dengan penuh kejujuran tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi. 5. Secara aksiologis, ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan/ kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal. Ternyata keterkaitan ilmu dengan system nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjautan ontologis dan episemologi diperlukan juga, karean azas moral juga mewarnai perilaku ilmuan dalam pemiliah objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah. Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral, sebagai contoh kasus galileo (1564-1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya dimana akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasoning adalah proses dimana tingkah laku manusia, institusi atatu kebijakan dinilai, apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya. Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga dipahami sebagai etika. Dalam Bahasa inggris etika disebut dengan ethic (singular) yang berarti a system of moral principles or rules of behavior. Atau suatu system, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular yang bermakna the branch of philosophy that deals with moral principles, atau suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip – prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a person’s behavior. Prinsip – prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi. Dalam Bahasa Yunani kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunya arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kendang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jama (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal – usul kata in, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ulmu tentang adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menuntukkan filsafat moral. IV. Kesimpulan Perkembangan ilmu pengetahuan (sains) telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan, terutama perkembanan teknologi. Namun, terjadinya kemajuan sains mengundang berjalannya proses kemunduran kemanusiaan, bahkan merusak peradaban, keadaan, kemajuan sains. Para saintis tidak berdaya dengan perilakunya, oleh karena itu progresivitas sains perlu diimbangi dengan moralitas dan etika baik dengan manusia maupun dengan alam. Dengan saling terikatnya sains dan moralitas dapat terjalin lebih harmonis dan dinamis. Moral yang digunakan pun tidak berdasarkan standart individu, melain kan agama dan negara. Karena penggunaan standar mengarah kepada kepastian moral yaitu hubungan antara ilmu, amal, dan adab. Apabila ketiganya dijalankan secara benar maka akan terciptanya pribadi yang ilmuan dan bermoral, juga terbangun peradaban yang benar. Seperti beradana bahgdad dan Andalusia dimana keduanya salong menginspirasi dan memengaruhi. Selain itu, integrasi sains dan moral akan menciptakan masalahat yang baik, sehingga mengurangi penyimpangan implikasi social akibat perkembangan produk sains. Penyimpangan tersebut yang kemudian menggerogoti tujuan teknologi kepada terjadinya perubahan social yang bersifat ambivalen. Lebih parah lagi, hal itu akan menciptakan krisis peradaban, oleh karena itu, integrasi teknologi, agama, dan moral sosial merupakan usasa memecah kebuntuan kehidupan modern yang mana setiap aktivitas masyarakat sulit lepas dari teknologi. Sasaran dari pada teknologi yang berintegrasi dengan agama dan moral ialah peradaban yang berkelanjutan, dengan begitu teknologi tidak akan menjadi ancaman bagi keseimbangan kehidupan ummat manusia. V. Daftar pustakan
Barbour, Ian G. 2000. When Science Meets Religion. New York: Harper San Francisco. Beck, Ulrich. 1992. Risk Society Toward a New Modernity, Terj. Mark Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia. Brown, Alisson. 2009. Sejarah Ranaisans Eropa. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Chalmers, A.F. 1983. Apa itu yang dinamakan Ilmu? Jakarta: Hasta Mitra. Cipto, Hendra. 2017. “Mengapa Padi Mutasi Nuklir Sulsel Disebut yang mengapa-padi-mutasi nuklir-sulsel-disebut-yang-terbaik-, Diakses pada 1 Januari 2017 pukul 14.12 wib. Daud, Wan Mohd. Nor Wan. 1994. Filfasat dan Prak tik Pendidikan Islam Ter jemahan Hamid Fahmy Zarkasyi, dkk. Bandung: Mizan. _____. 1994. Konsep Ilmu dalam Islam. Terj. Rosnani Hashim. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Esposito, John L. 2004. Sains-Sains Islam. Jakarta: Inisiasi Press. Al-Faruqi, Ismail Raji. 1987. Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Herndon: International Institute of Islamic Thought. Giddens, Anthony. 1990. The Concequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press. _____. 1991. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity Press. Gie, The Liang. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. Gray, Jerry D. 2010. Deadly Mist. Jakarta: Sinergi Publishing. Haack, Susan. “Six Signs of Scientism”. Logos & Episteme an International Journal of Epistemology, Vol. 3, Issue 1, 2012. Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius. Hawking, S., Mlodinow, L. 2010. The Grand Design. London: Bantam Press. Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani Press.
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita