Anda di halaman 1dari 11

PARADIGMA ILMU BEBAS NILAI DAN ILMU TIDAK BEBAS NILAI

SERTA URGENSI AHLAK ISLAM DALAM PENERAPAN IPTEK

MAKALAH

Disusun Oleh kelompok 6 :

1. Layla Quthratul Fauziyya


2. WaOde Siti Nurlisa Yanti
3. Adelia Surya Ningsi
4. Chintia Berliana Rezky

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON

BAU – BAU

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kami ucapkan kehadirat allah SWT,karna atas rahmat dan
hidayah-nya lah sehingga makalah dengan judul “PARADIGMA ILMU BEBAS
NILAI DAN ILMU TIDAK BEBAS NILAI SERTA URGENSI AHLAK ISLAM
DALAM PENERAPAN IPTEK” ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya
sekipun banyak kekuragan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada
Bapak Dr. I Wayan Sujana, SE.,M.SI selagu dosen perekonomian indonesia yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masi banyak terdapat


kekuragan baik dari segi penulisan,susunan kata, maupun isi materi. Dengan ini
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini, serta sebagai jembatan ilmu yang berjuang pada
intelektualitas.semoga makalah ini bermanfaat begi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Baubau, 12 MEI 2023

KELOMPOK 6

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................. i

KATA PENGANTAR ...........................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................iii

BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...........................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................1

BAB II. PEMBAHASAN.......................................................................2

2.1. 2

2.2. 2

2.3. 3

BAB III. PENUTUP ...............................................................................5

3.1. Kesimpulan ......................................................................................5

3.2. Saran ................................................................................................5

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 PENDAHULUAN
Ilmu dalam prosesnya telah menciptakan peradaban bagi manusia, mengubah
dunia, dan amsuk kesetiap lini kehidupan sebagai sarana yang membantu manusia
dalam mencapai tujuan hidupnya. Sehingga manusia behutang banyak terhadap ilmu.
Namun ketika ilmu berbalik menjadi musibah bagi manusia, disaat itulah di
pertanyakaan kemabali untuk apa seharunya ilmu itu digunakan. Dalam persoalan ini,
maka ilmuan harus kembali pada persoalan nilai dan etika dalam bingkai ilmu agar
ilmu tidak bergerak ke arah yang membahayakan.
Menghadapi kenayataan seperti ini, ilmu pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu
dipergunakan dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana
perkembanggan ilmu yang seharunya. Pertanyaan yang semacam ini jelas tidak
metupakan urgensi bagi keilmuan namun pada abad ke-20 para ilmuwan mencoba
menjawab pertanyaan ini dengan berpadu dengan hakikat yang normal

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud ilmu?
2. Apa yang dimaksud dengan nilai?
3. Bagaimana penjelasan ilmu dalam paradigma ilmu bebas nilai?
4. Bagaimana penjelasan ilmu dalam paradigma ilmu tidak bebas nilai?
5. Apa kaitan ilmu dengan nilai nilai?
6. Perlunya akhlak islami dalam penerapan IPTEK

1.3 TUJUAN
Agar dapat memahami dengan jelas mengenai hakikat dari ilmu dan nilai.
Serta dapat membedakan ilmu yang dijelaskan dalam paradigma ilmu tidak bebas
nilai. Serta mengetahui kita dapat mengetahui perlunya akhlak islami dalam
penerapan IPTEK

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN ILMU


Rasionalisasi dalam ilmu pengetahuan sendiri terjadi sejak Rene Descartes
memunculkan metodisnya dengan meragukan segala hal, kecuali yang sedang dalam
keraguan adalah dirinya. Yang kemudian berlanjut pada era Auf Klarung yakni era
yang berusaha mencapai titik rasional tentang alam dan dirinya.
Dalam istilah klasik sendiri, ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan yang
menjelaskan tentang asal-usul suatu hal ataupun sebab akibat dari suatu peristiwa.
Sedangkan menurut Guston Buchelard, ilmu pengetahuan merupakan produk dari
pemikiran manusia yang menyelaraskan antara hukum pemikiran yang ada dengan
dunia luar.
Sedangkan dijelaskan oleh Daoed Joesoef, ilmu pada dasarnya mengacu pada
tiga hal, yakni produk-produk, masyarakat dan proses. Ilmu pengetahuan sebagai
produk diartikan sebagai ilmu yang telah dikenal/diketahui dan diakui kebenarannya
oleh masyarakat ilmuwan.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat diartikan sebagai dunia komunikasi
yang segala tindakan, perilaku dan cara berbicaranya diatur dengan universalisme,
komunalisme, skeptisisme yang teratur dan komunalisme. Ilmu pengetahuan sebagai
proses diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam mencari
penemuan dan pemahaman dunia alami apa adanya bukan sebagaimana yang
dikehendaki.
Van Melsen mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu, yaitu :
1. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang
secara logis koheren
2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih karena erat kaitannya dengan tanggung jawab
ilmuan.
3. Universalitas ilmu pengetahuan
4. Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak di distorsi oleh
prasangka-prasangka subjektif
5. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang
bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
6. Progresivitas, artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah bila
mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem
baru lagi.
7. Kritis, tidak ada teori ilmiah yang difinitif.
8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan antara teori
dengan praktis.

2.2 PENEGRTIAN NILAI


5
Filsafat sebagai “phylosophy of life” mempelajari nilai-nilai yang ada dalam
kehidupan dan berfungsi sebagai pengontrol terhadap keilmuan manusia. Teori
nilai berfungsi mirip dengan agama yang menjadi pedoman kehidupan manusia.
Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan
memberi makna terhadap kehidupan ini.
Nilai, bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh berupa
kenyataan, bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada
kenyataan- kenyataan lain, mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan (pembawa
nilai bisa berubah).
2.3 PARADIGMA ILMU BEBAS NILAI
Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang
menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom
tidak memiliki keterkaitan sama seklai dengan nilai. Bebas nilai berarti semua
kegiatan terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu
sendiri. Ilmu menolak campur tangan faktro eksternal yang tidak secara hakiki
menentukan ilmu itu sendiri.
Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor
sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:
1. Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa
ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religious,
cultural, dan social.
2. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu terjamin. Kebebasan
di sisni menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.

Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas dapat
dibenarkan, karena hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri, yang terkadang
hal tersebut dapat merugikan lingkungan. Contoh untuk hal ini adalah teknologi air
condition, yang ternyata berpengaruh pada pemanasan global dan lubang ozon
semakin melebar, tetapi ilmu pembuatan alat pendingin ruangan ini semata untuk
pengembangan teknologi itu dengan tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulakan
pada lingkungan sekitar. Dalam ilmu bebas nilai tujuan dari ilmu itu untuk ilmu.

Dengan bebas nilai kita maksudkan suatu tuntutan dengan mengajukan


kepada setiap kegiatan ilmiah atas dasar hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Orang
yang mendukung bebas nilai ilmu pengetahuan akan melakukan kegiatan ilmiah
berdasarkan nilai yang khusus yang diwujudkan ilmu pengetahuan. Karena
kebenaran dijunjung tinggi sebagai nilai, maka kebenaran itu dikejar secara murni
dan semua nilai lain dikesampingkan.

2.4 PARADIGMA ILMU TIDAK BEBAS NILAI

6
Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu
terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai.
Perkembangan nilai tidak lepas dari dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan
nilai-nilai yang lainnya.
Menurut salah satu filsof yang mengerti teori value bond, yaitu Jurgen
Habermas berpendapat bahwa ilmu, sekalipun ilmu alam tidak mungkin bebas nilai,
karena setiap ilmu selau ada kepentingan-kepentingan. Dia juga membedakan ilmu
menjadi 3 macam, sesuai kepentingan-kepentingan masing-masing;
1. Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-
analitis. Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil
penyelidikan untuk kepentingan-kepentingan manusia. Dari ilmu ini pula disusun
teori-teori yang ilmiah agar dapat diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang
besifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia
untuk mengelola dunia atau alamnya.
2. Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuana yang pertama, karena
tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami
manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan
yang dibicarakan adalah hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang
dikejar oleh pengetahuana ini adalah pemahaman makna.
3. Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan
mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat dipentingkan
disini. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan
yang dikejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.
Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu itu selalu terkait
dengan nilai dan harus di kembangkan dengan mempertimbangkan nilai. Ilmu jelas
tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai kepentingan-kepentingan baik politik,
ekonomi, sosial, keagamaan, lingkungan dan sebagainya.

2.5 KAITAN ILMU DENGAN NILAI NILAI


Di dunia modern ini, ilmu sangatlah mendominasi.  dipandang dari segi masa
depan, ilmu dianggap sebagai sumber nasihat tentang perilaku. Dalam pandangan
Habermas, jelas sekali bahwa ilmu sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-
kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia dan alam, manusia dan
manusia, manusia dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu itu
terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja terlepas dari nilai.
Tanggungjawab ilmu pengetahuan dan tekhnologi menyangkut tanggung
jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi di masa-masa lalu. Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut
mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan tekhnologi secara tepat dalam
kehidupan manusia. Kaitan ilmu terhadap nilai-nilai membuatnya tak terpisahkan
dengan nilai

2.6 PERLUNYA AKHLAK ISLAMI DALAM PENERAPAN IPTEK

7
Al-Qardhawi (1989), mengemukakan terkait dengan pentingnya akhlak Islami
dalam pengembangan ilmu, bahwa akhlak Islami yang harus diperhatikan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan adalah:
a. Rasa tanggung jawab di hadapan Allah.
Rasa tanggung jawab di hadapan Allah, sebab ulama merupakan
pewaris para anbiya. Tidak ada pangkat yang lebih tinggi daripada pangkat
kenabian dan tidak ada derajat yang ketinggiannya melebihi para pewaris
pangkat itu.
b. Amanat Ilmiah.
Sifat amanah merupakan kemestian iman termasuk ke dalam moralitas
ilmu, tak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah. Dalam
memberikan kriteria orang beriman Allah menjelaskan dalam firmanNya
sebagai berikut:

َ ‫َ ن ُوعٲ َر ۡ ِّمهِّد ۡه ع َو ۡ ِّمهِّ ٰتـ ٰنـ م َِّۡل ۡ ُمهَ نيِّ َّذٱل و‬


“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 8)

Salah satu dari amanat ilmiah adalah merujuk ucapan kepada orang yang
mengucapkanya, merujuk pemikiran kepada pemikirnya, dan tidak mengutip
dari orang lain kemudian mengklaim bahwa itu pendapatnya karena hal seperti
itu merupakan plagiat dan penipuan. Berkaitan dengan ini dapat disaksikan
bahwa ilmuan kaum muslimin sangat memprihatinkan tentang sanad di dalam
semua bidang ilmu yang mereka tekuni, bukan hanya dalam bidang hadith
saja.
c. Tawadu’.
Salah satu moralitas yang harus dimiliki oleh ilmuan ialah tawadu’.
Orang yang benar berilmu tidak akan diperalat oleh ketertipuan dan tidak akan
diperbudak oleh perasaan ‘ujub mengagumi diri sendiri, karena dia yakin
bahwa ilmu itu adalah laksana lautan yang tidak bertepi yang tidak ada
seorang pun yang akan berhasil mencapai pantainya.
d. Izzah.
Perasaan mulia yang merupakan fadhilah paling spesifik bagi kaum
muslimin secara umum. Izzah di sini adalah perasaan diri mulia ketika
menghadapi orang-orang yang takabbur atau orang yang berbangga dengan
kekayaan, keturunan, kekuatan atau kebanggaan-kebanggaan lain yang
bersifat duniawi. Izzah adalah bangga dengan iman dan bukan dosa dan
permusuhan. Suatu perasaan mulia yang bersumber dari Allah dan tidak
mengharapkan apapun dari manusia, tidak menjilat kepada orang yang
berkuasa. ْ
‫صي ِ ْهيَإِل اًعيَِ َج ُةَّ ِز ْعال ِهَّلِلَف َةَّ ِز ْعال ُديِ ـرُي َن ـاَك ْنَم َ ُوه‬
َ ‫َر ي ُ ِحالَّصال ُلَ َم ْعالَو ُب ِيَّطال ُ ِملَ ْكال ُ َد ْع‬
) ١٠ ( ‫ب ي‬ َّ َ َ َ
َ ‫َ ِكَئل ُوأ ُرْ َك َمو ٌديِدَش ٌباذع ْ َُم َل ِتائ ِيَّسال َن ُو ُر َْك َي َنيِذالَو ُهُ َع ف ُر ُو‬
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah
kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik
dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan
kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan
hancur.” (Q.S. Faathir [35]: 10)
e. Mengutamakan dan menerapkan Ilmu. Salah satu moralitas dalam Islam
adalah menerapkan ilmu dalam pengertian bahwa ada keterkaitan antara ilmu
dan ibadah. Kehancuran kebanyakan manusia adalah karena mereka berilmu,

8
tetapi tidak mengamalkan ilmu itu atau mengamalkan sesuatu yang bertolak
belakang dengan apa yang mereka ketahui, seperti dokter yang mengetahui
bahayanya suatu makanan atau minuman bagi dirinya tetapi tetap juga dia
menikmatinya karena mengikuti hawa nafsu atau tradisi. Seorang moralis yang
memandang sesuatu perbuatan tetapi dia sendiri ikut melakukannya dan
bergelimang dengan kehinaan itu. Jenis ilmu yang hanya teoritis seperti ini
tidak diridhai dalam Islam.
f. Menyebarkan ilmu.
Menyebarkan ilmu adalah moralitas yag harus dimiliki oleh para
ilmuwan/ulama, mereka berkewajiban agar ilmu tersebar dan bermanfaat bagi
masyarakat. Ilmu yang disembunyikan tidak mendatangkan kebaikan, sama
halnya dengan harta yang ditimbun. Gugurnya kewajiban menyebarkan ilmu
hanya dibatasi jika ilmu yang disebarkan itu akan menimbulkan akibat negatif
bagi yang menerimanya atau akan mengakibatkan dampak negatif bagi orang
lain atau jika disampaikan akan menimbulkan mudaratnya lebih banyak
daripada manfaatnya.
g. Hak Cipta dan Penerbit.
Mengenai hak cipta dan penerbit digambarkan bahwa kehidupan para
ilmuan tidak semudah kehidupan orang lain pada umumnya, karena menuntut
kesungguhan yang khusus melebihi orang lain, seorang ilmuwan pengarang
memerlukan perpustakaan yang kaya dengan referensi penting dan juga
memerlukan pembantu yang menolongnya untuk menukil, mengkliping dan
sebagainya dan memerlukan pula orang yang mendapat menopang kehidupan
keluarganya.
Tanpa semua itu tidak mungkin seorang pengarang akan menghasilkan
suatu karya ilmiah yang berbobot. Di samping itu, jika suatu karya ilmiah
telah diterbitkan kadang-kadang pengarang masih memerlukan lagi untuk
mengadakan koreksi dan perbaikan-perbaikan, semua ini memerlukan tenaga
dan biaya. Oleh karena itu, jika dia sebagai pemilik suatu karya ilmiah maka
dialah yang berhak mendapatkan sesuatu berkenan dengan karya ilmiahnya.
Tetapi perlu diingat dan dipertegas satu hal, bahwa jangan sampai penerbit dan
pengarang mengeksploitasi para pembaca dengan menaikkan harga buku-buku
dengan harga yang tidak seimbang dengan daya beli pembaca atau pendapatan
yang diperoleh pembaca. Jika terjadi yang demikian maka hal itu tidak
dibenarkan oleh syara’

Dari uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya akhlak Islami bagi
pengembangan ilmu, untuk menjaga agar ilmu itu tidak menjadi penyebab bencana
bagi kehidupan manusia dan kerusakan lingkungan serta kehancuran di muka bumi
ini. Karena tanpa didasari akhlak Islami, maka semakin tinggi ilmu yang mereka
dapat, semakin tinggi teknologi yang mereka kembangkan, semakin canggih
persenjataan yang mereka miliki, semua itu hanya mereka tujukan untuk memuaskan
hawa nafsu mereka, tanpa mempertimbangan dengan baik kewajiban mereka terhadap
orang lain dan hak-hak orang lain.

Berdasar perlunya akhlak Islami di atas, peran Islam menjadi keniscayaan


dalam mengembangkan IPTEKS, yaitu di antaranya:

9
1. menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan.
Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan
paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini
menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran
(qaidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan
berarti menjadi aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu
pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah
Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan
dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
2. menjadikan syariah Islam (yang lahir dari aqidah Islam) sebagai
standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar
atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan
standar manfaat (pragmatism atau utilitarianisme) seperti yang ada
sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya
pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-
hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika
telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek
telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam
memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk
memenuhi kebutuhan manusia.

BAB III
PENUTUPAN
3.1 KESIMPULAN

10
Dalam kehidupan sehari-hari, niali berfungsi mirip dengan agama yang  menjadi pedoman
kehidupan manusia. Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami
kehidupan dan memberi makna terhadap kehidupan ini.

Nilai bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh berupa kenyataan,
bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada kenyataan- kenyataan 
lain, mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan.

Dalam filsafat terdapat dua pandangan menenai ilmu, yaitu ilmu bebas nilai dan ilmu terikat
nilai/tidak bebas nilai. Ilmu bebas nilai mengemukakan bahwa antara ilmu dan nilai tidak ada
kaitannya, keduanya berdiri sendiri.

Menurut pandangan ilmu bebas nilai, dengan tujuan mengembangkan ilmu pengetahuan kita
boleh mengeksplorasi alam tanpa batas dan tdak harus memikirkan  nilai-nilai yang ada,
karena nilai hanya akan menghambat perkembangan ilmu.

Menurut pandangan ilmu terikat nilai/tidak bebas nilai, ilmu itu selalu terkait dengan nilai-
nilai. Perkembangan ilmu selalu memperhatikan aspek nilai yang berlaku. Perkembangan
nilai tidak lepas dari dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ghozali Bachri, dkk. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana
Surajiyo. 2007. Suatu pengantar Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta :
Bumi aksara.
(Online, https://muhamad-abdorin.blogspot.com/2012/05/ilmu-bebas-nilai.html)

11

Anda mungkin juga menyukai