Oleh :
Fakultas Pascasarjana
Universitas Tadulako
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta
salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para
sahabatnya serta kami selaku umatnya. Semoga kita mampu meneladani beliau sebagai
Adapun tujuan penyusunan makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas dari
mata kuliah Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah dengan judul “Bebas Nilai dalam Sains dan
Tanggung Jawab Sains”. Semoga dengan diberikannya tugas ini kami dapat meningkatkan
pemahaman tentang mata kuliah Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah dan dapat meningkatkan
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah
kami menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Sains dan teknologi telah menuntun manusia menuju peradaban yang lebih maju dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakatnya. Pada era globalisasi
sekarang ini, penguasaan sains dan teknologi merupaka nindikator signifikan dalam
proses ilmiah menurut Ritchie Calder (1955), dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
berpikir manusia dimulai ketika manusia masalah dan karena masalah ini berasal dari dunia
empiris maka proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek bersangkutan
penelaahan keilmuan yang dia lakukan. Sering dikatakan orang bahwa ilmu
itu terbebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan parailmuanlah yang memberinya
nilai. Dalam hal ini, masalah apakah ilmu itu terikatatau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua
itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses
keilmuan secara keseluruhan. Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya
seharusnya. Untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan dimana batas wewenang
PEMBAHASAN
Ilmu pengetahuan diambil dari kata basa inggris scince, yang berasal
dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja “scire’’ yang berarti mempelajari,mengetahui.
secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan
Ilmu merupakan suatu yang sangat urgen bagi manusia, ia menjadi sarana yang
membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, ilmu dalam perkembangan
dan penerapannya tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi bisa juga
menjadi bencana. Seperti teknologi pembuatan bom atom yang awalnya bisa dimanfaatkan
sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, namun pada akhirnya juga bisa
filsafat aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk yang pertama kalinya
pada paruh kedua abad ke-19 adalah benar bahwa telah mengilhami lebih dari pada seorang
filsuf, bahkan Plato telah membahasnya secara mendalam dalam karyanya, dan bahwa
para pemikir disepanjang zaman. Sementara itu, minat untuk mempelajari keindahan belum
hilang sama sekali; keindahan, sebagaimana yang Nampak dewasa ini sebagai salah satu
perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia,sebuah cara yang disebut dengan
1. Ilmu harus bebas dari pengendalian nilai. Maksudnya bahwa ilmu harus bebas dari
2. Kebebasan usaha ilmiah supaya otonom ilmu terjamin, menyangkut kemungkinan yang
3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang biasa dituding menghambat
Sains bebas nilai, objektif dan diolah melalui pengamatan berkesinambungan, terus
pendekatan material dan harus terukur secara inderawi (melalui metodologi keilmuan
tentunya). Sains, didalamnya melahirkan kebenaran-kebenaran dan uji-uji hipotesis dari masa
manusia dengan produk teknologinya. Meski kita sadari juga, pada akhirnya seluruh proses
kreatifitas manusia dan kemampuan berpikir manusia untuk mengelola alam semesta dengan
segala pernak-perniknya selalu melahirkan penemuan-penemuan baru yang kian lama kian
shophisticated, kian canggih. Namun, ilmuwan tetap terperangah, apalagi orang awam
seperti kita ini. Suatu fakta selalu terbentang di depan mata bahwa seluruh kreatifitas dan
hitungan yang jlimet selalu kemudian disadari :”Selalu ada sesuatu dibalik itu yang lebih
spektakuler, selalu lebih mempesona, dan lebih kreatif”. Tidak salah karenanya, ilmuwan
kemudian memahami bahwa kreatifitas alam semesta dalam membangun dirinya lebih kaya
Dalam pemabahasan mengenal hal ini kami menemukan 2 persepsi yang berbeda.
Ada yang mengatakan bahwa sains itu bebas nilai, tidak ada sangkut pautnya dengan
keyakinan apalagi agama. Namun ada pula yang mengatakan bahwa sains itu tidak bebas
nilai dengan alasan landasan perkataaan Enstein yang mengeluarkan kata terkenal : “Sains
tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu pincang” atau Stephen Hawking berkata :”saya
penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja
muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan
kemudian rentan permasalahan di luar objeknya. Yaitu terikat dengan nilai subjektifitasnya
seperti hal yang berbau mitologi. Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Hal ini sangat penting bahwa setelah tahap ontologi dan epistimologi suatu ilmu
dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Dari sudut epistemologi,
sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu sains formal dan sains empirikal. Sains formal
berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol, merupakan
implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sains formal netral karena berada di
dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika. Adapun sains empirical tidak netral.
Sains empirikal merupakan wujud kongkret jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab
akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang
menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya.
Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya pada dasar ontologi dan aksiologi
bahwa ilmuwan harus menilai antara yang baik dan buruk pada suatu objek, yang hakikatnya
Selain samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya secara
otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap masalah negatif yang timbul, karena
disibukkan dengan kegiatan keilmuan yang diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa
diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya,
maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan. Seharusnya
ilmuwan menerima kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap
pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu.
Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru. Kemudian di mana letak
kenetrala nilmu?
Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan sering
menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi
pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam visi, misi,
Salah satu alasan pandangan sains yang tidak bebas nilai yaitu ketika mempelajari
sains, manusia tetap saja punya keinginan-keinginan untuk menyimpulkan sesuatu atas dasar
cara pandangnya. Ketika Eistein mengeluarkan kata yang terkenal : “Sains tanpa agama buta,
dan agama tanpa ilmu pincang” atau Stephen Hawking berkata :”saya membaca pikiran-
pikiran Tuhan”, sangat jelas bahwa persepsi pengetahuan dan kemampuan memahami
Dalam sains, rujukan yang digunakan semestinya dapat diterima semua orang, tanpa
memandang sistem nilai yang dianutnya. Dalam hal ini sistem nilai yang tidak mungkin
dilepaskan. Memang tidak akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang
dianut seorang saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau semi-
ilmiah.
Karena objektivitasnya pada pandangan indrawi dan harus teruji, maka sains
mendekati dari kacamata agama (Islam) menjadi susah. Islam tidak bebas nilai. Islam
berbicara pada sudut-sudut yang tidak dimiliki oleh ilmu (pengetahuan). Karena itu pula,
Jamaluddin menulis dalam artikel yang dikomentari Joesath : “tidak ada sains islam yang ada
Teori relativitas ada dua, Teori Relativitas Khusus dan Teori Relativitas Umum. Teori
percepatan) akan menyatakan hasil pengukuran yang berbeda, misalnya tentang panjang,
waktu, dan energi. Asumsinya, prinsip relativitas dan kecepatan cahaya yang konstan. Salah
satu bukti kebenaran teori ini yang dikenal masyarakat adalah teori kesetaraan massa dan
energi, E=mc2, bila ada m massa yang dihilangkan akan muncul energi sebesar E. Teori inilah
yang menjadi dasar penggunaan energi nuklir, baik untuk maksud damai maupun untuk
maksud merusak.
Teori sains seperti itu, menurut saintis, netral, bebas nilai. Teori tersebut bebas
dibuktikan oleh siapa pun. Teori tersebut makin kuat posisinya karena semakin banyak bukti
yang mendukungnya. Hukum alam yang diformulasi teori tersebut bukan buatan manusia,
tetapi hukum agama. Einstein dan para saintis lainnya hanya memformulasikannya. Hukum
Allah itu telah ada bersama dengan alam yang diciptakan-Nya. Siapa pun yang
lemah dan gaya elektromagnetik yang dirumuskan secara independen oleh Abdus Salam
(seorang Muslim) dan Steven Weinberg (seorang ateis). Dan Teori relativitas pun tersebut juga
dapat dikatakan Islami. Artinya, mengikuti hukum Allah (Islam dalam arti yang umum berarti
berserah diri). Teori yang mengungkapkan bagaimana alam tunduk pada hukum Allah sudah
Dalam tinjauan filsafat ilmu (mengutip makalah Prof. Herman Suwardi), teori relativitas
dipandang makna filosofisnya bahwa ada banyak alternatif untuk menampakkan kebenaran dan
kita tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar, atau mana yang mendekati kenyataan.
Maka, mengutip Tarnas, realitas atau "scientific truth" sekarang menjadi kabur.
Seseorang tidak mungkin mempunyai akses rasional pada kebenaran universal. Observasi
merupakan titik lemah dari sains karena obyektivitas observasi tidak mungkin. Karena semua
orang memandang segala hal yang ada di alam empirik ini dengan mata yang dilapisi oleh
"lensa" dan setiap orang memiliki lensanya sendiri. Sehingga sains dianggapnya sebagai
fenomena yang terikat pada paradigma. Karenanya, beralasan bila dengan cara pandang
demikian dan menghendaki kebenaran hakiki (hal yang lazim dalam filsafat) sampai pada
kesimpulan "sains" tidak tidak netral. Memang, mengkaji secara mendalam mencari kebenaran
universal yang hakiki mau tidak mau akan bersentuhan dengan sistem nilai yang dianut dalam
kajian tersebut.
Sains dihadapkan pada masalah kerusakan lapisan ozon. Satelit mendeteksi lapisan
ozon di atas antartika yang menipis yang dikenal sebagai lubang ozon. Sains mengkaji sebab-
sebabnya. Ada sebab kosmogenik (bersumber dari alam), antara lain variasi akibat aktivitas
matahari. Ada sebab antropogenik (bersumber dari aktivitas manusia). Sains juga akhirnya
menemukan sumber antropogenik itu salah satunya CFC (Chlor Fluoro Carbon) atau freon
yang banyak digunakan sebagai media pendingin kulkas dan AC. Kini sains menemukan
Dapatkah sains dipersalahkan dan dijuluki sains barat sekuler yang merusak?
Kebetulan yang menemukan freon adalah saintis non-Muslim. Karena sains bersifat
universal, sebenarnya mungkin juga saintis Muslim yang menemukannya. Bila demikian
yang terjadi, bolehkah pada awal penemuannya bahan yang sangat berguna dalam proses
pendinginan diklaim sebagai bagian dari hasil sains Islam, sains Barat, atau lainnya? Karena
keterbatasan ilmu manusia, tidak semua dampak dapat diprakirakan. Ketika kini diketahui
dampak buruknya, tidaklah adil untuk melemparkan tuduhan bahwa itu produk sains barat
sekuler. Bisa jadi, bila dulu yang menemukannya seorang Muslim dan diklaim sebagai hasil
Seperti diketahui dalam sejarah pertumbuhan sains bahwa ketika Copernicus (1473-
1543) mengajarkan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang
berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh
ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran
agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam
bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan Galileo padatahu
1633, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataannya yangmengatakan bahwa
bumi berputar mengitari matahari Pengadilan Galileo ini selama kurang lebih dua setengah
abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu
ini, para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana
adanya dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Setelah pertarungan itulah ilmuan
2004).
Setelah sains mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat
dogmatis, sains selanjutnya dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam
bentuk abstrak maupun kongkrit seperti halnya teknologi. Teknologi tidak diragukan lagi
manfaatnya bagi manusia, namun bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses
dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral apabila
Ketika sains dan teknologi mengalami proses sekularisasi, dikosongkan dari nilai-nilai
ketuhanan, seperti sains barat pada umumnya, maka tujuan akhirdari sains itu ialah semata-
mata manfaat, baik yang bersifat fisik seperti kenikmatan, keindahan, dan kenyamanan
maupun kepuasan intelektual dan kebanggaan. Sedangkan ukuran manfaat itu bersifat relatif
dan sangat sulit dipenuhi secara hakiki. Karena itu, perkembangan sains cenderung sangat liar
Oleh karena itu, masalah tanggung jawab moral dan sosial ilmuan tidak dapat terlepas
dari perkembangan ilmu itu sendiri dari abad ke abad. Ilmu itusendiri merupakan kegiatan
berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, atau secara lebih sederhana ilmu
bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas
hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan.
Artinya dalam menetapkan sutau pernyataan apakah benar atau tidak maka seorang ilmuan
pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan darikelembagaan yang
mengeluarkan pernyataan itu. Hal ini sering menempatkankaum ilmuan dalam posisi yang
bertentangan dengan pihak yang berkuasa yangmungkin mempunyai kriteria kebenaran yang
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembentukan masyarakat ilmiah secara aksiologis perlu adanya kriteria etikdan moral
dalam setiap penggunaan hasil-hasil dari proses kerja yang bersifatsainstifik. Hal ini
mengasumsikan bahwa sains bersifat netral, universal dantidaka terkait dengan persoalan
agama. Hanya saja ketika sains berkembangdengan cepat, cenderung liar, dan bertubrukan
dengan nilai-nilai agama,maka dalam konteks ini kendali moral dan nilai-nilai agama
Anonim. NETRALITAS SAINS : Perbedaan Cara Pandang Saintis dan Pakar Filsafat Ilmu
Dharma, Agus. (2010). Peran Sains dan Teknologi dalam PercepatanPembangunan, online,
http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/
Ghozali Bachri, dkk. (2005). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga.