Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT ILMU DAN METODE ILMIAH

BEBAS NILAI DALAM SAINS DAN

TANGGUNG JAWAB SAINS

Oleh :

Fatwa Al’afani A 202 22 007


Nurulzakia M. Sakung A 202 22 013

Program Studi Magister Pendidikan Sains

Fakultas Pascasarjana

Universitas Tadulako

Semester Ganjil T.A. 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-

Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta

salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para

sahabatnya serta kami selaku umatnya. Semoga kita mampu meneladani beliau sebagai

manusia yang berakhlak mulia.

Adapun tujuan penyusunan makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas dari

mata kuliah Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah dengan judul “Bebas Nilai dalam Sains dan

Tanggung Jawab Sains”. Semoga dengan diberikannya tugas ini kami dapat meningkatkan

pemahaman tentang mata kuliah Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah dan dapat meningkatkan

kualitas belajar kami.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,

kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah

kami menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang.

Palu, 28 Oktober 2022

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sains dan teknologi telah menuntun manusia menuju peradaban yang lebih maju dan

merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakatnya. Pada era globalisasi

sekarang ini, penguasaan sains dan teknologi merupaka nindikator signifikan dalam

percepatan pertumbuhan/pembangunan suatu bangsa (Dharma, 2010). Sains sebagai sebuah

proses ilmiah menurut Ritchie Calder (1955), dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.

Pengamatan tersebutdisebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia

Empiris yang menimbulkan berbagai macam permasalahan jadi proses kegiatan

berpikir manusia dimulai ketika manusia masalah dan karena masalah ini berasal dari dunia

empiris maka proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek bersangkutan

dengan dunia empiris.

Sementara itu, seorang ilmuan diharapkan memiliki sikap konsistendengan proses

penelaahan keilmuan yang dia lakukan. Sering dikatakan orang bahwa ilmu

itu terbebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan parailmuanlah yang memberinya

nilai. Dalam hal ini, masalah apakah ilmu itu terikatatau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua

itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses

keilmuan secara keseluruhan. Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya

mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat

seharusnya. Untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan dimana batas wewenang

penjelajahan keilmuan? Kearah mana perkembangan keilmuan?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Nilai dan Ilmu

Ilmu pengetahuan diambil dari kata basa inggris scince, yang berasal

dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja “scire’’ yang berarti mempelajari,mengetahui.

Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan artisehingga menunjuk pada

segenap pengetahuan sistematik. Dalam basa jermanwissenschaft.

Menurut The Liang Gie Pengertian ilmu adalah rangkaian aktifitas

penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperolehbagaimana pemahaman

secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan

pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yangingin di mengerti manusia.

2.2 Hubungan Antara Ilmu Dan Nilai

Ilmu merupakan suatu yang sangat urgen bagi manusia, ia menjadi sarana yang

membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, ilmu dalam perkembangan

dan penerapannya tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi bisa juga

menjadi bencana. Seperti teknologi pembuatan bom atom yang awalnya bisa dimanfaatkan

sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, namun pada akhirnya juga bisa

menimbulkan malapetaka. Nilai merupakan tema baru dalam

filsafat aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk yang pertama kalinya

pada paruh kedua abad ke-19 adalah benar bahwa telah mengilhami lebih dari pada seorang

filsuf, bahkan Plato telah membahasnya secara mendalam dalam karyanya, dan bahwa

keindahan, kebaikan, dan kekudusan merupakan tema yang penting bagi

para pemikir disepanjang zaman. Sementara itu, minat untuk mempelajari keindahan belum

hilang sama sekali; keindahan, sebagaimana yang Nampak dewasa ini sebagai salah satu
perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia,sebuah cara yang disebut dengan

nilai. Dapat disimpulkan bahwa, nilai

Josep Situmorang menyatakan sekurang-kurangnya terdapat 3 faktor yang menjadikan

parameter atau indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:

1. Ilmu harus bebas dari pengendalian nilai. Maksudnya bahwa ilmu harus bebas dari

segala pengaruh eksternal seperti ideologi, agama, sosial maupun budaya.

2. Kebebasan usaha ilmiah supaya otonom ilmu terjamin, menyangkut kemungkinan yang

tersedia dan penentuan diri.

3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang biasa dituding menghambat

kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.

2.3 Deskripsi sains Bebas Nilai

Sains bebas nilai, objektif dan diolah melalui pengamatan berkesinambungan, terus

menerus, dan disempurnakan. Hadir dari filsafat positivisme yang mengangungkan

pendekatan material dan harus terukur secara inderawi (melalui metodologi keilmuan

tentunya). Sains, didalamnya melahirkan kebenaran-kebenaran dan uji-uji hipotesis dari masa

ke masa dengan segala latar belakangnya menimbulkan kebanggaan dan keberdayaan

manusia dengan produk teknologinya. Meski kita sadari juga, pada akhirnya seluruh proses

kreatifitas manusia dan kemampuan berpikir manusia untuk mengelola alam semesta dengan

segala pernak-perniknya selalu melahirkan penemuan-penemuan baru yang kian lama kian

shophisticated, kian canggih. Namun, ilmuwan tetap terperangah, apalagi orang awam

seperti kita ini. Suatu fakta selalu terbentang di depan mata bahwa seluruh kreatifitas dan

hitungan yang jlimet selalu kemudian disadari :”Selalu ada sesuatu dibalik itu yang lebih

spektakuler, selalu lebih mempesona, dan lebih kreatif”. Tidak salah karenanya, ilmuwan
kemudian memahami bahwa kreatifitas alam semesta dalam membangun dirinya lebih kaya

dibandingkan dengan kemampuan olah dan pikir manusia dalam memahaminya.

Dalam pemabahasan mengenal hal ini kami menemukan 2 persepsi yang berbeda.

Ada yang mengatakan bahwa sains itu bebas nilai, tidak ada sangkut pautnya dengan

keyakinan apalagi agama. Namun ada pula yang mengatakan bahwa sains itu tidak bebas

nilai dengan alasan landasan perkataaan Enstein yang mengeluarkan kata terkenal : “Sains

tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu pincang” atau Stephen Hawking berkata :”saya

membaca pikiran-pikiran Tuhan”.

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika

penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja

muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan

kemudian rentan permasalahan di luar objeknya. Yaitu terikat dengan nilai subjektifitasnya

seperti hal yang berbau mitologi. Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.

Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi, epistimologi, dan

aksiologi. Hal ini sangat penting bahwa setelah tahap ontologi dan epistimologi suatu ilmu

dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Dari sudut epistemologi,

sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu sains formal dan sains empirikal. Sains formal

berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol, merupakan

implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sains formal netral karena berada di

dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika. Adapun sains empirical tidak netral.

Sains empirikal merupakan wujud kongkret jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab

akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang

menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya.

Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya pada dasar ontologi dan aksiologi
bahwa ilmuwan harus menilai antara yang baik dan buruk pada suatu objek, yang hakikatnya

mengharuskan dia menentukan sikap.

Selain samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya secara

otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap masalah negatif yang timbul, karena

disibukkan dengan kegiatan keilmuan yang diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa

diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya,

maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan. Seharusnya

ilmuwan menerima kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap

pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu.

Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru. Kemudian di mana letak

kenetrala nilmu?

Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan sering

menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali

menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi

pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam visi, misi,

keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral.

Salah satu alasan pandangan sains yang tidak bebas nilai yaitu ketika mempelajari

sains, manusia tetap saja punya keinginan-keinginan untuk menyimpulkan sesuatu atas dasar

cara pandangnya. Ketika Eistein mengeluarkan kata yang terkenal : “Sains tanpa agama buta,

dan agama tanpa ilmu pincang” atau Stephen Hawking berkata :”saya membaca pikiran-

pikiran Tuhan”, sangat jelas bahwa persepsi pengetahuan dan kemampuan memahami

fenomena alam melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak bebas nilai.

Dalam sains, rujukan yang digunakan semestinya dapat diterima semua orang, tanpa

memandang sistem nilai yang dianutnya. Dalam hal ini sistem nilai yang tidak mungkin
dilepaskan. Memang tidak akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang

dianut seorang saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau semi-

ilmiah.

Karena objektivitasnya pada pandangan indrawi dan harus teruji, maka sains

mendekati dari kacamata agama (Islam) menjadi susah. Islam tidak bebas nilai. Islam

berbicara pada sudut-sudut yang tidak dimiliki oleh ilmu (pengetahuan). Karena itu pula,

Jamaluddin menulis dalam artikel yang dikomentari Joesath : “tidak ada sains islam yang ada

adalah saintis islam dan bukan saintis islam”.

2.4 Contoh Sains Bebas Nilai

1). Teori Relativitas

Teori relativitas ada dua, Teori Relativitas Khusus dan Teori Relativitas Umum. Teori

khusus menyatakan bahwa masing-masing pengamat yang bergerak seragam (tanpa

percepatan) akan menyatakan hasil pengukuran yang berbeda, misalnya tentang panjang,

waktu, dan energi. Asumsinya, prinsip relativitas dan kecepatan cahaya yang konstan. Salah

satu bukti kebenaran teori ini yang dikenal masyarakat adalah teori kesetaraan massa dan

energi, E=mc2, bila ada m massa yang dihilangkan akan muncul energi sebesar E. Teori inilah

yang menjadi dasar penggunaan energi nuklir, baik untuk maksud damai maupun untuk

maksud merusak.

Teori sains seperti itu, menurut saintis, netral, bebas nilai. Teori tersebut bebas

dibuktikan oleh siapa pun. Teori tersebut makin kuat posisinya karena semakin banyak bukti

yang mendukungnya. Hukum alam yang diformulasi teori tersebut bukan buatan manusia,

tetapi hukum agama. Einstein dan para saintis lainnya hanya memformulasikannya. Hukum

Allah itu telah ada bersama dengan alam yang diciptakan-Nya. Siapa pun yang

memformulasikannya dengan benar akan menghasilkan teori yang sejalan.


Bukti bebas nilainya sains dapat juga ditunjukkan dari lahirnya teori penyatuan gaya

lemah dan gaya elektromagnetik yang dirumuskan secara independen oleh Abdus Salam

(seorang Muslim) dan Steven Weinberg (seorang ateis). Dan Teori relativitas pun tersebut juga

dapat dikatakan Islami. Artinya, mengikuti hukum Allah (Islam dalam arti yang umum berarti

berserah diri). Teori yang mengungkapkan bagaimana alam tunduk pada hukum Allah sudah

pasti berarti juga mengikuti hukum Allah.

Dalam tinjauan filsafat ilmu (mengutip makalah Prof. Herman Suwardi), teori relativitas

dipandang makna filosofisnya bahwa ada banyak alternatif untuk menampakkan kebenaran dan

kita tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar, atau mana yang mendekati kenyataan.

Karena itu orang tidak mungkin tahu ("know") tentang alam.

Maka, mengutip Tarnas, realitas atau "scientific truth" sekarang menjadi kabur.

Seseorang tidak mungkin mempunyai akses rasional pada kebenaran universal. Observasi

merupakan titik lemah dari sains karena obyektivitas observasi tidak mungkin. Karena semua

orang memandang segala hal yang ada di alam empirik ini dengan mata yang dilapisi oleh

"lensa" dan setiap orang memiliki lensanya sendiri. Sehingga sains dianggapnya sebagai

fenomena yang terikat pada paradigma. Karenanya, beralasan bila dengan cara pandang

demikian dan menghendaki kebenaran hakiki (hal yang lazim dalam filsafat) sampai pada

kesimpulan "sains" tidak tidak netral. Memang, mengkaji secara mendalam mencari kebenaran

universal yang hakiki mau tidak mau akan bersentuhan dengan sistem nilai yang dianut dalam

kajian tersebut.

2). Kerusakan Lapisan Ozon

Sains dihadapkan pada masalah kerusakan lapisan ozon. Satelit mendeteksi lapisan

ozon di atas antartika yang menipis yang dikenal sebagai lubang ozon. Sains mengkaji sebab-

sebabnya. Ada sebab kosmogenik (bersumber dari alam), antara lain variasi akibat aktivitas
matahari. Ada sebab antropogenik (bersumber dari aktivitas manusia). Sains juga akhirnya

menemukan sumber antropogenik itu salah satunya CFC (Chlor Fluoro Carbon) atau freon

yang banyak digunakan sebagai media pendingin kulkas dan AC. Kini sains menemukan

bahan alternatif yang tidak merusak ozon.

Dapatkah sains dipersalahkan dan dijuluki sains barat sekuler yang merusak?

Kebetulan yang menemukan freon adalah saintis non-Muslim. Karena sains bersifat

universal, sebenarnya mungkin juga saintis Muslim yang menemukannya. Bila demikian

yang terjadi, bolehkah pada awal penemuannya bahan yang sangat berguna dalam proses

pendinginan diklaim sebagai bagian dari hasil sains Islam, sains Barat, atau lainnya? Karena

keterbatasan ilmu manusia, tidak semua dampak dapat diprakirakan. Ketika kini diketahui

dampak buruknya, tidaklah adil untuk melemparkan tuduhan bahwa itu produk sains barat

sekuler. Bisa jadi, bila dulu yang menemukannya seorang Muslim dan diklaim sebagai hasil

sains Islam, maka sains Islam yang akan dihujat.

2.5 Tanggung Jawab Sains

Seperti diketahui dalam sejarah pertumbuhan sains bahwa ketika Copernicus (1473-

1543) mengajarkan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang

berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh

ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran

agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam

sebagaimanaadanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu

mendasarkankepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran

diluar bidang keilmuan, di antaranya agama. Timbullah konflik yang

bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan Galileo padatahu

1633, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataannya yangmengatakan bahwa

bumi berputar mengitari matahari Pengadilan Galileo ini selama kurang lebih dua setengah
abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu

ini, para ilmuan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana

adanya dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Setelah pertarungan itulah ilmuan

mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu, artinya kebebasan dalam

melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alamsebagaimana adanya (Bakhtiar,

2004).

Setelah sains mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat

dogmatis, sains selanjutnya dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam

bentuk abstrak maupun kongkrit seperti halnya teknologi. Teknologi tidak diragukan lagi

manfaatnya bagi manusia, namun bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses

dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral apabila

teknologi itu menimbulkan ekses yang negatif terhadap masyarakat?

Ketika sains dan teknologi mengalami proses sekularisasi, dikosongkan dari nilai-nilai

ketuhanan, seperti sains barat pada umumnya, maka tujuan akhirdari sains itu ialah semata-

mata manfaat, baik yang bersifat fisik seperti kenikmatan, keindahan, dan kenyamanan

maupun kepuasan intelektual dan kebanggaan. Sedangkan ukuran manfaat itu bersifat relatif

dan sangat sulit dipenuhi secara hakiki. Karena itu, perkembangan sains cenderung sangat liar

dansulit untuk dikontrol.

Oleh karena itu, masalah tanggung jawab moral dan sosial ilmuan tidak dapat terlepas

dari perkembangan ilmu itu sendiri dari abad ke abad. Ilmu itusendiri merupakan kegiatan

berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, atau secara lebih sederhana ilmu

bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas

sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik berpikir. Kriteria kebenaran pada

hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan.
Artinya dalam menetapkan sutau pernyataan apakah benar atau tidak maka seorang ilmuan

akanmendasarkan penarikan kesimpulannya kepada argumentasi yang terkandungdalam

pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan darikelembagaan yang

mengeluarkan pernyataan itu. Hal ini sering menempatkankaum ilmuan dalam posisi yang

bertentangan dengan pihak yang berkuasa yangmungkin mempunyai kriteria kebenaran yang

lain (Suhartono 2005).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pembentukan masyarakat ilmiah secara aksiologis perlu adanya kriteria etikdan moral

dalam setiap penggunaan hasil-hasil dari proses kerja yang bersifatsainstifik. Hal ini

mengasumsikan bahwa sains bersifat netral, universal dantidaka terkait dengan persoalan

agama. Hanya saja ketika sains berkembangdengan cepat, cenderung liar, dan bertubrukan

dengan nilai-nilai agama,maka dalam konteks ini kendali moral dan nilai-nilai agama

terhadap sainsdan teknologi mengalami kesulitan.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rifa’i. ILMU, Antara Bebas atau Terikat Nilai diambil

dari http://www.inilahjalanku.com/fisika_dan_kimia/ pada tanggal 31 Oktober 2010

Anonim. NETRALITAS SAINS : Perbedaan Cara Pandang Saintis dan Pakar Filsafat Ilmu

dimuat dalam “Radar Bandung”,

Ramadhan 1424, 10 & 11 November 2003

Amtsal Bakhtiar. (2004). Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Dharma, Agus. (2010). Peran Sains dan Teknologi dalam PercepatanPembangunan, online,

http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/

Ghozali Bachri, dkk. (2005). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan

Kalijaga.

Anda mungkin juga menyukai