Anda di halaman 1dari 20

Tugas Kelompok

“Filsafat Ilmu di Zaman Modern”


Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Yusri Bachtiar, M.Pd

Disusun Oleh
Kelompok 6:
Reskiyanti
Siti Aisyah Syafril
Widya Ramdhani

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
hidayah serta inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul ”Filsafat
Ilmu di Zaman Modern”.

Sholawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW,
yang mana telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang
benderang dengan iman Islam serta ilmu.

Dengan mencurahkan segala usaha, kemampuan penulis, makalah ini dapat terselesaikan
dengan adanya masukan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dengan setulus hati penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, penulis berharap kepada seluruh pembaca untuk memberikan saran dan kritik, demi

menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat.

Makassar, 23 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1

A. Latar belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan penulisan........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A. Filsafat Ilmu di Zaman Modern (abad 2)....................................................... 3
B. Lingkaran Wina............................................................................................. 4
C. Filsafat Ilmu Dalam Pandangan Potivisme Logis.......................................... 5
D. Pokok-Pokok Pikiran Karl Rairllund Popper................................................. 5
E. Thomas S. Khun: Struktur Resolusi Ilmiah................................................... 5
F. Paul Feyerabend: Pendekatan Anarkistik...................................................... 5
G. Imre Lakatos: Falsification and Methodologi of Scirntific Research............ 5
H. Pembaharuan Epistimologi dalam Ilmu-Ilmu Sosial..................................... 5
I. Pemikiran Hermeneutik................................................................................. 5
BAB III PENUTUP..............................................................................................8
A. Kesimpulan.................................................................................................... 8
B. Saran.............................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu yang terpenting dalam filsafat termasuk filsafat ilmu yaitu menyangkut
pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan itu, baik pertanyaan yang bersifat komperhensif
maupun spesifik. Hal ini sepandangan dengan Psillos and Curd, dia mengatakan bahwa
filsafat ilmu secara umum yaitu bertujuan menjawab pertanyaan seputar ilmu yang
meliputi, pertama, apakah tujuan dari ilmu dan ap aitu metode? Apakah ilmu itu,
bagaimana membedakan ilmu dengan bukan ilmu (non science) dan apa pula
pseudoscience? Kedua, bagaimana teori ilmiah dan hubungannya dengan dunia secara
luas? Bagaimana konsep teoritif itu dapat lebih bermakna dan bermanfaat kemudia dapat
dihubungkan dengan penelitian dan observasi ilmiah? Ketiga, apa saja yang membangun
struktur teori dan konsep seperti causation (sebab akibat dan ilat), eksplanasi (penjelasan)
konfirmasi, teori, eksperimen, model, reduksi, dan sejumlah probabilitasnya? Keempat,
apakah aturan dalam pengembangan ilmu? Apa fungsi eksperimen? Apa ada kegunaan
dan memiliki nilai (yang cukup kegunaan epistemic atau pragmatis) dalam kebijakan dan
bagaimana semua itu dihubungkan dengan kehidupan social, budaya, dan factor gender?.
Untuk mengemahami tentang tujuan filsafat ilmu secara lebih jauh, maka harus lebih-
lebih dipahami bagaimana cara kerja filsafat ilmu, memilikimpola dan model yang
spesifik dalam menggali dan menelaah pengetahuan melalui sebab musabab dari gejala
ilmu pengetahuan. Didalamnya mencakup pemahaman tentang kepastian, kebenaran dan
objektifitas. Cara kerjanya bertitik tolak pada gejala pengetahuan mengadakan reduksi
kearah intuisi para ilmuan, sehingga kegiatan ilmu itu dapat dimengerti sesuai dengan
kekhasannya masing-masing, disinilah akhirnya kita dapat mengerti fungsi dan tujuan
filsafat ilmu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Filsafat Ilmu di Zaman Modern (abad 2)?
2. Bagaimana Lingkaran Wina?
3. Bagaimana Filsafat Ilmu Dalam Pandangan Positivisme Logis?
4. Bagaimana Pokok-Pokok Pikiran Karl Rairllund Popper?
5. Bagaimana Thomas S. Khun: Struktur Resolusi Ilmiah?
6. Bagaimana Paul Feyerabend: Pendekatan Anarkistik?
7. Bagaimana Imre Lakatos: Falsification and Methodologi of Scirntific Research?
8. Bagaimana Pembaharuan Epistimologi dalam Ilmu-Ilmu Sosial?
9. Bagaimana Pemikiran Hermeneutik?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Filsafat Ilmu di Zaman Modern (abad 2)?
2. Untuk Mengetahui Lingkaran Wina.
3. Untuk Mengetahui Filsafat Ilmu Dalam Pandangan Positivisme Logis.
4. Untuk Mengetahui Pokok-Pokok Pikiran Karl Rairllund Popper.
5. Untuk Mengetahui Thomas S. Khun: Struktur Resolusi Ilmiah.
6. Untuk Mengetahui Paul Feyerabend: Pendekatan Anarkistik.
7. Untuk Mengetahui Imre Lakatos: Falsification and Methodologi of Scirntific
Research.
8. Untuk Mengetahui Pembaharuan Epistimologi dalam Ilmu-Ilmu Sosial.
9. Untuk Mengetahui Pemikiran Hermeneutik.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Filsafat Ilmu di Zaman Modern (abad 2)


Filsafat Ilmu (Barat)
Di zaman modern, terasa adanya kekaburan mengenai batas-batas antara
(cabang) ilmu yang satu dengan yang lain, sehingga interdependensi dan inter-
relasi ilmu menjadi semakin terasa dibutuhkan. Atau justru yang terjadi
sebaliknya, antara ilmu pengetahuan yang satu dengan yang lain saling terpisah
secara dikotomis tanpa adanya kemauan untuk saling ”menyapa”.
Oleh karena itu diperlukan “overview” untuk meletakkan jaringan
interaksi agar berbagai disiplin ilmu bisa “saling menyapa” menuju hakikat ilmu
yang integral dan integratif. Kehadiran etik dan moral menjadi semakin dirasakan
pentingnya. Sikap pandang bahwa “ilmu adalah bebas nilai” semakin
ditinggalkan. Tanggung jawab dan integritas seorang ilmuwan kini sedang diuji.
Dalam perjalanannya kemudian, timbul kebutuhan untuk mengembangkan
filsafat ilmu (philosophy of science), yang memang amat penting dalam
memberikan nilai atau aksiologi terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi disamping juga penting untuk memberikan batas-batas
keilmuan agar tidak kabur.
Filsafat (ilmu -pen.) sebagai ilmu kritis, diharapkan ikut berperan sebagai
dasar dan arah dalam penyelesaian masalah-masalah fundamental di bidang
sosial, ideologi, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Selain itu,
filsafat ilmu diharapkan mampu menjadi mitra dialog dan sarana kritik terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan.
Filsafat ilmu merupakan kelanjutan daripada epistemologi. Epistemologi
merupakan pengetahuan yang mendasarkan diri pada sumber atau sarana tertentu
seperti panca indera, akal (verstand), akal-budi (vernunft) dan intuisi. Dari situ
berkembanglah berbagai macam “school of thought”, yakni rasionalisme
(Descartes), empirisme (John Locke), kritisisme (Immanuel Kant), positivisme
(August Comte), fenomenologi (Husserl), eksistensialisme (Sartre)
konstruktivisme (Fayerabend), dan seterusnya.
Hakikat ilmu yang merupakan tiang penyangga bagi eksistensi ilmu dan
menjadi objek formal filsafat ilmu adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi ilmu meliputi hakikat ilmu, kebenaran, dan kenyataan yang inheren
dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa
dan bagaimana (yang) “ada” itu. Faham Monisme yang terpecah menjadi
idealisme/spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme, dengan berbagai
nuansanya, merupakan faham ontologik yang pada akhirnya menentukan
pendapat bahkan “keyakinan” mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada”
sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicari.
Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tata-cara menggunakan
sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Perbedaan mengenai pilihan
landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam
menentukan sarana yang akan dipilih. Akal (verstand), akal budi (vernunft),
pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan
sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model
epistemologi seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis,
positivisme, fenomenologi, eksistensialisme, konstruktivisme, dls.
Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau keyataan sebagaimana dijumpai dalam
kehidupan yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti, kawasan sosial, simbolik,
atau fisik-material. Lebih Dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi
sebagai suatu “condition sine quanon” yang wajib dipatuhi dalam kegiatan
manusia, baik dalam melakukan penelitian maupun dalam penerapan ilmu.
Sementara itu objek material dari filsafat ilmu adalah segala ilmu pengetahuan.
(Rofiq, 2018).
B. Lingkaran Wina
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme
rasional, dan juga neopositivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari
Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa
filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat
memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan
adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi
para filsuf yang ingin membentuk 'unified science', yang mempunyai program
untuk menjadikan metode-metode yang berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai
metode pendekatan dan penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya
filsafat. Gerakan para filsuf dalam Lingkaran Wina ini disebut oleh sejarah
pemikiran sebagai Positivisme-Logik. Meskipun aliran ini mendapat tantangan
luas dari berbagai kalangan, tapi gaung pemikiran yang dilontarkan oleh aliran
positivisme logik masih terasa hingga saat sekarang ini. Perkembangan filsafat
ilmu, berawal di sekitar abad 19, diperkenalkan oleh sekelompok ahli ilmu
pengetahuan alam yang berasal dari Universitas Wina. Kemudian filsafat ilmu
dijadikan mata ajaran di universitas tersebut. Para ahli tersebut tergabung dalam
kelompok diskusi ilmiah yang dikenal sebagai lingkaran Wina (Wina circle).
Kelompok Wina menginginkan adanya unsur pemersatu dalam ilmu pengetahuan.
Dan unsur pemersatu tersebut harus beracuan pada bahasa ilmiah dan cara kerja
ilmiah yang pasti dan logis. Dan pemersatu tersebut adalah filsafat ilmu.
Lingkaran Wina adalah suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu-
ilmu pasti dan alam di Wina, ibukota Austria. Kelompok ini didirikan oelh Moritz
Schlick pada tahun 1924, namun pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung
sejak tahun 1922, dan berlangsung terus menerus sampai tahun 1938. Anggota-
anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1934),
Otto Neurath (1882-1945), Hans Reichenbach (1891-1955), dan Victor Kraft
(1880- 1975). (Keilmiahan Ilmu-ilmu Islam Ditinjau dari Prinsip Falsifikasi Karl
Popper Mohammad Rivaldi Dochmie - Yahoo Search Results, t.t.)
C. Filsafat Ilmu Dalam Pandangan Positivisme Logis
Positivisme merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh Saint Simon
(sekitar tahun 1825). positivisme berakar pada empirisme karena kedekatan keduanya
yang menekankan logika simbolik sebagai dasar. Prinsip filosofik tentang Positivisme
dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon. Dalam psikologi
pendekatan positif erat dikaitkan dengan behaviorisme, dengan fokus pada observasi
objektif sebagai dasar pembentukan hukum. Tesis Positivisme bahwa ilmu adalah
satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat
menjadi obyek pengetahuan. Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat
positivism adalah Auguste Comte (1798-1857).  Filsafat Comte adalah anti-metafisis,
ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan
diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan
Comte yang terkenal adalah savior pour prvoir (mengetahui supaya siap untuk
bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan
antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Filsafat
positivism Comte disebut juga faham empirisisme-kritis, bahwa pengamatan dengan
teori berjalan seiring.  Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa
melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin
dilakukan secara ‘terisolasi’, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.  Metode
positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta
yang satu dengan fakta yang lain.  Baginya persoalan filsafat yang penting bukan
pada masalah hakikat atau asal-mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala,
melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.
Fisafat Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi.  Kebanyakan
konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi, berasal dari
Comte. Comte membagi masyarakat atas ‘statika sosial’ dan ‘dinamika sosial’.
Statika social adalah teori tentang susunan masyarakat, sedangkan dinamika social
adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan.  Sosiologi ini sekaligus suatu
‘filsafat sejarah’, karena Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta individual
sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang menerangkan fakta-
fakta tersebut.  Fakta-fakta itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga
falsafi, religious atau cultural. Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap
manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan
positif ilmiah.  Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis”
dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan
mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan
matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah. Aliran positivisme dianut oleh
August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-
1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran
Wina. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai
kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan
pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat
menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun
perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte
dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte,
E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer. Munculnya tahap kedua dalam positivisme
– empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan
Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-
obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim,
yang bergabung dengan subyektivisme. Perkembangan positivisme tahap terakhir
berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap,
Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada
perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua
kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme
logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya
tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain. Para
pemikir logis berpendapat bahwa tugas terpenting adri filsafat adalah untuk
merumuskan semacam criteria penentuan untuk membedakan antara pernyataan yang
memadai dan pernyataan yang tidak memadai. Intinya, mereka ingin merumuskan
semacam aturan-aturan korespondensi, dimana observasi langsung untuk menguji
suatu pernyataan dapat langsung dilakukan.  Disamping itu, mereka juga ingin
menjernihkan konsep-konsp akstrak yang digunakan dalam fisika, seperti konsep
massa dan konsep energy, sehingga dapat sunggu diamati secara inderawi.
Salah satu criteria yang dirumuskan oleh mereka adalah verifikasi, yakni suatu
pernyataan yang memadai adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris.
Jelaslah bahwa para pemikir positivisme logis memusatkan refleksi mereka pada
problematika bahasa. Akan tetapi, bagi ilmu pengetahuan alam terutama, ilmu-ilmu
alam, pemikiran mereka dapat menjadi pembenaran bagi dominasi ilmu-ilmu alam di
dalam ilmu pengetahuan pada awal abad ke-20.  Intinya, proses induksi, dimana
pernyataan umum dirumuskan setelah dikonfirmasi oleh bukti-bukti eksperimental,
adalah metode yang benar dan satu-satunya metode yang pantas digunakan di dalam
ilmu pengetahuan.
Jadi inti utama dari para pemikir positivisme logis adalah suatu pernyataan
hanya bermakna, jika pernyataan tersebut dapat diverfikasi dengan data inderawi,
dengan kata lain, jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, maka
pernyataan tersebut adalah tidak bermakna.
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional,
dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina
pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti
rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat
untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki
arti sama sekali. (Kritik (ideologi) terhadap cara berpikir Positivisme atau Scientisme,
oleh Ricky Rengkung – Dosen Perbanas, t.t.)
D. Pokok-Pokok Pikiran Karl Rairllund Popper
Popper merupakan ahli filsuf di bidang filsafat Ilmu era 20 yang memiliki
gagasan falasifikasi serta turut serta dalam perkembangan dan keragaman dinamika
filsafat. Ilmu dan Filsafat merupakan dua hal yang saling terkait, ilmu tanpa filsafat
merupakan sebuah pemikiran yang tidak begitu kuat, karena filsafat memegang
peranan penting terhadap kelahiran ilmu, begitupun sebaliknya di mana dengan
semakin kuatnya perkembangan dalam kajian ilmu pengetahuan maka akan inherent
dengan menguatnya kebenaran filsafat. Popper termasuk dalam aliran Rasionalisme
Kritis, bahkan merupakan perintis aliran tersebut. Rasionalisme adalah paham atau
aliran pemikiran yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan selalu berkaitan erat
dengan akal. Dalam arti sempit, rasionalisme dapat diartikan sebagai paham yang
menganggap dan menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh akal. Ini berarti
bahwa sumbangan akal lebih besar dari pada sumbangan indera.
Popper mencoba merumuskan suatu Langkah untuk menguji sebuah teori,
semua langkah tersebut harus dilakukan tahap demi tahapan, langkah-langkah yang
dimaksud dijelaskan oleh Popper sebagai berikut.
1. Melakukan perbandingan-perbandingan secara logis dan ilmiah terhadap teori-teori
yang ada, sehingga diketahui konsistensi internal dari teori tersebut.
2. Selanjutnya melakukan penyelidikan atas valitas atau pun kesesuaian teori tersebut
dengan logika berfikir, sehingga akan diketahui apakah terdapat ciri empiris atau
ilmiah dari teori tersebut.
3. Melakukan perbandingan antara teori satu dengan teori yang lain untuk mengetahui
apakah teori tersebut telah tahan uji atau belum.
4. Langkah terakkhir adalah penerapan empiris, setelah seluruh langkah sebelumnya
telah diterapkan. (Riski, 2021)
E. Thomas S. Khun: Struktur Resolusi Ilmiah
Kuhn ialah salah seorang filsuf sains yang menekankan pentingnya sejarah
sains dalam perkembangan sains. Dengan sejarah sains, ilmuwan akan memahami
kenyataan sains dan aktivitas sains yang ssesungguhnya. Namun demikian, ia tidak
sependapat dengan pandangan yang mengemukakan bahwa perkembangan sains
bersifat evolusioner dalam mendekati kebenaran, dalam arti perkembangan sains itu
bersifat akumulatif. Hal ini terjadi karena bagi Kuhn diperkembangan itu bersifat
tidak sinambung dan tidak dapat diperbandingkan antara satu teori dan teori lainnya.
Sebaiknya, Kuhn berpendapat bahwa perkembangan sains itu bersifat revolusioner
karena bagi Kuhn sejarah itu bersifat tidak sinambung dan perkembangan sains
ditandai dengan lompatan-lompatan revolusi ilmiah.
Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari paragdima lama ke
paragdima baru. Dengan perubahan paragdima ini, cara pandang ilmuwan dalam
menentukan masalah, menetapkan metode dan Teknik, dan penarikan kesimpulan
terhadap kenyataan alam akan berbeda dari sebelumnya. Revolusi ilmiah terjadi
karena adanya persepsi ilmuwan terhadap kekurangan paragdima yang dianut dalam
memecahkan masalah realitas alam. Semula ilmu menggunakan paragdima tertentu
yang diyakini dapat membantu memecahkan masalah ilmiah.
Saat ini ilmuwan menjadi faragdima sebagai pedoman dalam melakukan
aktifitas ilmiahnya. Namun demikian, dalam perkembangannya mereka menemukan
anomaly sehingga timbul krisis kepercayaan ilmuwan terhadap validitas paragdima
yang dipercaya. Karena itu, para ilmuwan mencari paradigma baru yang dapat
membatu aktifitas yang lebih memadai dari paragdima sebelumnya. Setelah melalui
kompetensi berbagai paragdima, kemudia diperoleh satu paragdima sebagai
kesepakatan ilmuwan untuk dipakai dalam kerja ilmiahnya. Proses revolusi
intelektual dan sains menurut Kuhn bersifat revolusioner. Revelusi ilmiah merupakan
proses peralihan dari paragdima lama ke paradigma baru dalam diri para ilmuan, dan
proses terjadi revolusi ilmiah bermula dari digunakannya suatu paradigma dalam
masa sains normal.
Kemudia dalam kenyataan terdapat anomaly yang merupakan kesenjangan
antara paradigma yang berlaku dan fenomena. Dengan menungkuknya anomali,
kemudian timbul krisis yang mengakibatkan para ilmuan meninggalkan paradigma
lama dan menggunakan paradigma baru yang disepakati para ilmuwan (Latif, 2020)

F. Paul Feyerabend: Pendekatan Anarkistik


Secara etimologi makna anarkisme dapat berkonotasi positif dan negatif
apabila dalam memandang kata ini tidak dikontekskan dalam ranah disiplin ilmu
yang kita pelajari, sebagai contoh dalam konotasi positif anarkisme merupakana
ideologi sosial yang tidak mau meneriman pemerintahan yang berkuasa otoriter,
anarkisme berpendapat bahwa individu-individu akan mengorganisasikan dirinya
dengan caranya sendiri supaya memenuhi kebutuhank-kebutuhan dan cita-citanya.
Dengan pengertian ini anarkisme tidak identik dengan nihilisme, tetapi dapat
dianggap memiliki kesamaankesamaan dengan libertarianisme politik dan
antinomianisme, sedangkan dalam konotasi negatif anarkisme merupakan keyakinan
tidak menghargai sedikit pun hukum atau tatanan dan secara aktif terlibat dalam
meningkatkan situasi khaos dengan menghancurkan tatanan masyarakat sehingga
paham ini menganjurkan penggunaan terorisme perorangan sebagai sarana
mempropagandakan organisasi dan politik. Hal senada juga dijelaskan di dalam
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) bahwa anarkisme adalah ajaran (paham) yang
menentang setiap kekuatan negara; teori politik yang tidak menyukai adanya
pemerintahan dan undang-undang.
Namun sebaliknya bilamana kita memahami makna ini dalam konteks dunia
filsafat Fayerabend maka, akan timbul keganjilan pemahaman setelahnya sehingga
final understanding dari cakupan keilmuan anarkisme Paul Karl Fayerabend tidak
akan didapatkan.
Fayerabend merupakan seorang yang sangat consern terhadap
pengkonstruksian filsafat ilmu berdasarkan fakta sejarah ilmu. Ia mengkritik
pandangan yang menganggap metode, aliran atau sistem tertentu saja yang benar. Ia
meynatakan bahwa metode ilmiah bukanlah satu-satunya ukuran tersendiri dalam
sebuah kebenaran, termasuk apa yang dikembangkan ilmu pengetahuan modern, tapi
hanya merupakan salah satu dari berbagai cara atau upaya untuk mengungkapkan
kebenaran.
Istilah anarkis menunjuk pada setiap gerakan protes terhadap segala bentuk
kemapanan. Anarkisme epistimologis yang dimaksudkan oleh Fayerabend adalah
anarkisme teoritis dengan alasan historis bahwa sejarah ilmu pengetahuan tidak
hanya bermuatan fakta dan kesimpulan-kesimpulannya, tetapi juga bermuatan
gagasan-gagasan dan interpretasi terhadap fakta-fakta itu sendiri serta masalah yang
timbul akibat kesalahan interpretasi serta suatu gerakan protes teoritis terhadap
metode keilmuan yang dianggap mampu mentotalisasi obyek penelitian. Baginya,
setiap ilmu pengetahuan terbentuk berdasarkan kemampuan dan sejarahnya sendiri-
sendiri, sehingga klaim ilmiah pada ilmu tertentu hanya sebagai mitos yang
diidiologisasikan.
G. Imre Lakatos: Falsification and Methodologi of Scirntific Research
Peran Lakatos dalam bidang filsafat matematika tidak perlu diragukan lagi, selain ia
juga telah memberikan sumbangan penting dalam sejarah sains. Namun, kajian tentang
signifikansinya dalam pengembangan teori-teori ilmiah terlebih jika dihubungkan dengan
ilmu sosial dan dalam wilayah kajian Islam belumlah banyak diketemukan. Ketika
falsifikasionisme diperkenalkan sebagai alternatif induktivisme, falsifikasi yang pada
dasarnya merupakan kegagalan teori untuk bertahan menghadapi ujian-ujian dengan
observasi dan eksperimen, maka hal itu dipandang sebagai prinsip penting, bahwa ilmu harus
berkembang maju dengan dugaan-dugaan yang berani, dan tinggi falsifiabilitasnya sebagai
usaha untuk memecahkan problema-problema, lalu diikuti dengan usaha-usaha keras untuk
menfalsifikasi usul-usul baru itu.
Seperti dinyatakan Popper sendiri: “Dengan senang hati saya mengakui bahwa
falsifikasionis seperti saya sendiri jauh lebih suka berusaha memecahkan persoalan yang
menarik dengan melakukan dugaan yang berani, walaupun (dan terutama) apabila tidak lama
kemudian ternyata salah, dari pada mengulang suatu rangkaian kebenaran basi yang tidak
relevan. Kami lebih suka ini karena kami percaya bahwa begitulah caranya kita dapat belajar
dari kesalahankesalahan kita, dan setelah mengetahui bahwa dugaan kita salah, kita akan
belajar banyak tentang kebenaran dan akan semakin mendekati kebenaran”.
Meskipun alur logika falsifikasi menarik, namun bila dicermati lebih jauh akan
muncul kerumitan. “Semua angsa putih” sudah tentu akan difalsifikasi apabila pada suatu
kesempatan dapat dibuktikan ada angsa bukan putih. Akan tetapi di balik ilustrasi logika
falsifikasi yang sederhana ini, bagi falsifikasionisme tersembunyi kesulitan serius yang
ditimbulkan oleh kompleksnya situasi pengujian di dalam realitas. Teori ilmiah yang realistis
akan terdiri dari keterangan universal yang kompleks. Apabila suatu teori akan diuji dengan
eksperimen, maka akan lebih banyak lagi melibatkan keterangan mengenai teori yang sedang
diuji itu. Teori membutuhkan tambahan asumsi pendukung, misalnya hukum-hukum dan
teori-teori yang menguasai penggunaan alat-alat yang dipergunakan dalam ujian. Dalam
konteks inilah pemikiran Lakatos muncul untuk merespons kerangka pikir Popper sekaligus
memperluasnya.
Bagi Lakatos, falsifikasi yang dilakukan secara sembarangan dapat berbahaya atau
bahkan tidak mungkin jika dilakukan terhadap suatu teori yang sudah mapan. Akan tetapi dia
sangat mendukung dilakukannya falsifikasi terhadap teori-teori yang belum mapan. Yang
sering dicontohkan adalah teori Newton yang dengan jelas terbantah oleh orbit Uranus.
Dalam kasus ini, ternyata bukan teorinya yang salah, melainkan uraian tentang kondisi-
kondisi awal yang tidak mencakup perhitungan tentang planet Neptune yang ditemukan
kemudian itu. (Muslih, 2020)
H. Pembaharuan Epistimologi dalam Ilmu-Ilmu Sosial
Pendidikan Islam bersumber dari al Quran dan Hadits, secara otomatis
epistemologi yang dipakai adalah epistemologi Islam (bersumber dari al Quran
dan Hadits). Sehingga, pendidikan Islam dalam prakteknya dilihat dari kerangka
epistemologis bukan menggunakan pendekatan naturalistic - positivistik, yaitu jenis
pendekatan keilmuan yang lebih menitikberatkan pada aspek koherensi (dari
indikator, dapat terjawabnya berbagai pertanyaan pengetahuan agama) tanpa
banyak menyentuh wilayah moralitas praktis. Atau menitik beratkan pada aspek
korespondensi Tekstual yang lebih menekankan pada kemampuan untuk menghafal
teks - teks keagamaan, yang menurut istilah Fazlur Rahman adalah memory
work dengan learning by note. Dengan landasan epistemologi yang dibangun oleh
para ilmuan - ilmuan muslim klasik, yang mendasarkan pengetahuannya melalui
indera, akal dan intuisijuga mengakui kebenaran wahyu, itulah yang menjadi
pondasi epistemologi pendidikan Islam. Sehingga, hasil yang akan dicapai
adalah menjadikan anak didik sebagai manusia yang utuh dengan segala
fungsinya, baik fisik maupun psikis. Hal ini, sesuai dengan hakekat pendidikan
itu sendiri, yaitu suatu proses dengan “memanusiakan manusia”. Dengan
demikian epistemologi pendidikan Islam bukanlah bercorak naturalistic -
positivistik, akan tetapi mempunyai corak rasionalistik - Empiristik - sufistik, yang
berarti bahwa pengakuan terhadap suatu ralitas kebenaran didasarkan pada
indera, akal, intuisi dan wahyu. Dalam pendidikan Islam, terutama dalam
konteks pendekatan konseptual metodologis, maka pendidikan Islam memerlukan
sebuah paradigma yang mengedepankan keempat hal tersebut:
Pertama, fungsionalisasi inderawi, yaitu bagaimana dalam pendidikan
Islam terdapat dorongan terhadap anak didik untuk senantiasa memfungsikan
secara maksimal organ tubuh pemberian Tuhan, utamanya adanya panca indera
tersebut dengan melakukan observasi dalam mencari kebenaran dalam proses
pendidikan. Tidak hanya dalam konteks transfer of knowledge saja, yang
menekankan pada kemampuan untuk menghafal teks- teks keagamaan yang
menurut Fazlur Rahman disebut sebagai memory-Work dan learning bu note.
Akan tetapi bagaimana mendidik anak menjadi manusia yang trampil dan
kreatif serta profesional.
Kedua, fungsionalisasi akal, yaitu manusia sebagai makhluk Tuhan
diciptakan dengan bentuk rupa yang sebaik - baiknya dan seindah - indahnya,
kemudian dilengkapi dengan berbagai organ psikofisik yang istimewa seperti indera
dan hati, dan kemampuan berpikir untuk memahami alam semesta dan diri
sendiri yang disebut akal.
Ketiga, wahyu dan intuisi, fungsionalisasi akal dan pengalaman inderawi
dalam mencapai tujuan pendidikan Islam, pada satu sisi memang akan
menciptakan peradaban yang lebih maju, yang di dalamnya terdapat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya.
Keempat, mendasarkan proses pendidikan kepada Alquran dan Hadits sebagai
pedoman dan pijakan dalam pengembangan ilmu.
Kelima,mengusahakan peran pendidikan Islam ygmengembangkan moral atau
akhlak peserta didik sebagai dasar pertimbangan dan pengendali tingkah laku dalam
menghadapi norma sekuler.
Keenam, mengusahakan sifat ambivalensi pendidikan Islam agar
tidak timbul pandangan yang dikotomis, yakni pandangan yang memisahkan
secara tajam antara tujuan ilmu dan agama, sementara ilmu meurpakan alat utama
dalam menjangkau kebenaran yang menjadi tujuan agama. (Budianto & Fadholi,
2021)
I. Pemikiran Hermeneutik
Hermeneutik merupakan bangunan epistimologi yang muncul bukan sebagai
tradisi berfikir mandiri, melainkan hasil reaksi, dan koreksi dari beberapa pemikiran.
Wolff (1991:189) menyebutkan bahwa pemikiran yang hadir memiliki implikasi pada
pemahaman, masuk dalam pembahasan ontologi penafsiran. Proses interpretasi teks
dan fenomena sering menimbulkan kesenjangan pemahaman. Bleicher (1980:1)
menyebutkan bahwa seseorang berupaya memahami ekspresi-ekspresi dan narasi
yang bermakna subyektif selanjutnya dibuat menjadi obyektif, padahal sebenarnya
masih ada kemungkinan bahwa pemahaman masih termediasi oleh subyektivitas dari
penafsir. Gerak historikal merupakan inti pemahaman, maka pemahaman merupakan
hasil interaksi masa lalu, kini, dan masa yang akan datang. Pemahaman bersifat
partisipatorik, yang terjadi pada suatu warisan budaya, selanjutnya masuk dalam
transmisi masa lalu dan masa kini yang saling berkaitan dan selalu berlangsung secara
terus menerus (Birus, 1982:101, Supena, 2013:97). Salah satu tokoh yang membahas
mengenai pentingnya pemahaman adalah Hans-Georg Gadamer. Hans-Georg
Gadamer merupakan salah satu pemikir yang masuk dalam kelompok hermeneutik
ontologis.
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Di zaman modern, terasa adanya kekaburan mengenai batas-batas antara
(cabang) ilmu yang satu dengan yang lain, sehingga interdependensi dan inter-relasi
ilmu menjadi semakin terasa dibutuhkan. Atau justru yang terjadi sebaliknya, antara
ilmu pengetahuan yang satu dengan yang lain saling terpisah secara dikotomis tanpa
adanya kemauan untuk saling ”menyapa”.
Oleh karena itu diperlukan “overview” untuk meletakkan jaringan interaksi
agar berbagai disiplin ilmu bisa “saling menyapa” menuju hakikat ilmu yang integral
dan integratif. Filsafat (ilmu -pen.) sebagai ilmu kritis, diharapkan ikut berperan
sebagai dasar dan arah dalam penyelesaian masalah-masalah fundamental di bidang
sosial, ideologi, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Selain itu, filsafat
ilmu diharapkan mampu menjadi mitra dialog dan sarana kritik terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu merupakan kelanjutan daripada
epistemologi. Epistemologi merupakan pengetahuan yang mendasarkan diri pada
sumber atau sarana tertentu seperti panca indera, akal (verstand), akal-budi (vernunft)
dan intuisi.
B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah referensi.
DAFTAR PUSTAKA

Budianto, N., & Fadholi, A. (2021). Epistemologi Pendidikan Islam (Sistem, Kurikulum, dan

Pembaharuan Epistemologi Pendidikan Islam). FALASIFA : Jurnal Studi Keislaman,

12(02), 91–108. https://doi.org/10.36835/falasifa.v12i02.556

Keilmiahan Ilmu-ilmu Islam Ditinjau dari Prinsip Falsifikasi Karl Popper Mohammad Rivaldi

Dochmie—Yahoo Search Results. (t.t.). Diambil 8 November 2022, dari

https://search.yahoo.com/search?

fr=mcafee&type=E210US885G91718&p=Keilmiahan+Ilmuilmu+Islam+Ditinjau+dari+P

rinsip+Falsifikasi+Karl+Popper+Mohammad+Rivaldi+Dochmie

Kritik (ideologi) terhadap cara berpikir Positivisme atau Scientisme, oleh Ricky Rengkung –
Dosen Perbanas. (t.t.). Diambil 8 November 2022, dari https://dosen.perbanas.id/kritik-
ideologi-terhadap-cara-berpikir-positivisme-atau-scientisme-oleh-ricky-rengkung/

Latif, Mukhtar. 2020. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia
Group. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu—Mukhtar Latif—Google Buku
(t.t.). Diambil 8 November 2022, dari
https://books.google.co.id/books/about/Orientasi_Ke_Arah_Pemahaman_Filsafat_Ilm.ht
ml?id=HhZNDwAAQBAJ&redir_esc=y

Muslih, M. (2020). Filsafat Ilmu Imre Lakatos dan Metodologi Pengembangan Sains Islam.

Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam, 4(1), Art. 1.

https://doi.org/10.21111/tasfiyah.v4i1.3962

Riski, M. A. (2021). Falsifikasi Karl R. Popper dan Urgensinya dala Dunia Akademik. Jurnal

Filsafat Indonesia, 4(3), 261. https://doi.org/10.23887/jfi.v4i3.36536

Rofiq, M. N. (2018). Peranan Filsafat Ilmu Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan. FALASIFA :

Jurnal Studi Keislaman, 9(1), 161–175. https://doi.org/10.36835/falasifa.v9i1.112


Wilopo.--. Lingkaran Wina. Https://wilopo.lecture.ub.ac.id/files/. Diakses pada 26 September
2022.

Anda mungkin juga menyukai