Diajukan Sebagai
Oleh:
Kelompok 16
Kelas PAI C
Dosen Pengampu:
MALANG
2021
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang paling utama melebihi segala puji Allah SWT atas karunia dan
kebesaranNya alhamdulillah kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Shalawat dan salam tak lupa kita sanjungkan kepada baginda habibana wa nabiyana
Muhammad SAW yang senantiasa kita nantikan syafa’at nya di akhirat kelak. Makalah
mengenai “Filsafat Ilmu Dalam Perspektif Barat” ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat
Ilmu.
Penulis
Daftar Isi
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 4
BAB II..................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 6
PENUTUP ............................................................................................................................................ 22
PENDAHULUAN
1.1 Abstrak
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan
mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan
implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial.
Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat
ilmu berusaha menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep
dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan,
bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam
melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan
penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk
mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap
masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Filsafat ilmu juga tidak terlepas dari landasan aksiologi dari ilmu. Landasan ini
memperdebatkan manfaat dan dampak ilmu bagi manusia dan lingkungan hidup.
Fokus dari landasan ini bukanlah kebenaran seperti halnya landasan ontologis dan
epiestmologis, melainkan kebaikan. Meskipun landasan ini lebih merupakan urusan
dari etika, namun dalam situasi konkret, filsafat ilmu wajib mempertimbangkan nilai-
nilai dan tanggung jawab sosial dari pemilihan dan penggunaan kebenaran ilmiah oleh
manusia. Oleh karenanya, aksiologi memerlukan tempat serius dalam filsafat ilmu.
Didalam makalah ini juga menjelaskan tentang filsafat ilmu didalam perspektif barat ,
bagiamana sains modern , serkulasi ilmu dan bagaimana cara berfikir logis dengan
penalaran dan menggunakan ilmu pengetahuan.
Banyak orang yang beranggapan bahwa berfilsafat adalah merenung, namun jika
ditelaah apakah semua orang yang merenung berarti berfilsafat. Padahal berfilsafat
merupakan kegiatan berfikir secara lebih luas mendalam dan objektif sehingga,
permasalahan yang ada dapat terselesaikan secara cepat dan tepat. Sehingga sangat
sinkron dengan manusia karena pada hakikatnya semua manusia itu berpikir.
Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam objek, yaitu objek material dan
objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan ,
seperti tubuh manusia adalah objek material dari ilmu kedokteran. Adapun objek
formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut , seperti
pendektan deduktif dan induktif. Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan
radikal juga memiliki objek formal.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani
“philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah
philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari
zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian
sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan
saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan
dalam memutuskan soal-soal praktis.1
1
The Liang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu Yogyakarta.
2
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Yunani Klasik Relevansi untuk Abad XXI (Yogyakarta: Jalasutra, 2013).
3
Jan Hedrik Raper, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 14.
2.2.1 Ontologi Hakikat Ilmu
Di dalam ontologi terdapat dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Ontologi dapat diartikan sebagai ilmu
atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Objek ilmu atau keilmuan merupakan dunia
empirik, yaitu dunia yang dapat di jangkau panca indra dan objek ilmu merupakan
pengalaman indrawi. Dengan kata lain, ontologi yaitu ilmu yang mempelajari tentang
hakikat sesuatu yang berwujud dengan berdasarkan pada logika semata.
mempersoalkan tentang yang ada atau tentang realitas (reality), dalam alam semesta
ini, yang meliputi: alam (kosmos), manusia (antropos), dan Tuhan (Theos), sehingga
dikenal adanya filsafat alam (kosmologi), filsafat manusia (antropologi filsafat), dan
filsafat ketuhanan (theologi). Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah
beberapa aliran dalam filsafat, antara lain: Filsafat Materialisme, Filsafat Idealisme,
Filsafat Dualisme, Filsafat Skeptisisme dan Filsafat Agnotisisme.
Ontologi adalah salah satu dari tiga kajian Filasafat Ilmu yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Ada beberapa tokoh Yunani yang memiliki pemikiran yang bersifat
ontologis yaitu Thales, Plato, dan Aristoteles.
Ontologi juga bisa diartikan sebagai keberadaan (The theory of being qua being) atau
Ilmu tentang yang ada. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani, kongkret
maupun rohani atau abstrak.4
Tern ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun1636 M,
untuk menamai teori tentang hakikat yang ada dan bersifat metafisis. Dalam
perkembangan selanjutnya, Christian Wolf (1679 -- 1754 M) membagi Metafisika
menjadi 2 yaitu : Metafisika umum (ontologi metafisika), dimaksudkan sebagai istilah
lain dari ontologi. Jadi metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang
ada. Metafisika khusus (kosmologi, psikologi dan teologi) merupakan paham--paham
dalam ontologi.5
4
Amsal Bakhtiar,( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).
5
Bakker,Anton,”Ontologi Metafisika Umum” ((Yogyakarta:Kanisius,1992).
2.2.2 Epistemologi Teori Ilmu Pengetahuan
epistemologi dari bahasa yunani episteme (pengetahuan) dan Logos (ilmu)
adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan.
Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam
bidang Filsafat6, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya,
macamnya, serta hubungan dengan kebenaran dan keyakinan. Epistemologi atau teori
pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-
pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai
pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh
manusia melalui akal dan panca indra dengan berbagai metode, diantaranya : metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode
dialektis.7
epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang yang
senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum
menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada
yang cenderung bertolak dari gejala-gejala yang sama, barulah ditarik kesimpulan
secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif.
6
Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Fenomena Pemikiran Islam, (Sidoarjo: UruAnna Books, 2015), hal. 47.
7
Surajiyo, Ilmu Filsafat,(Jakarta : Bumi Aksara 2008), Hal 53.
1. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu?
2. Bagaimana prosedurnya?
3. Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan
benar?
5. Apa kriterianya?
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika (Kajian Filsafat Ketuhanan);
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan estetika;
3. Socio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, bidang ini melahirkan filsafat
sosial politik (hukum)9
8
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. (Cetakan ke-10). (Pustaka Sinar
Harapan,1996.
9
Amsal Bahtiar,Filsafat Ilmu, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2009).
A. Aksiologi Etika Keilmuan
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain adalah pertama tidak
ada rasa pamrih. kedua, bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para
ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi.
ketiga, adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap
alat-alat indera serta budi (mind), keempat, adanya sikap yang berdasar pada suatu
kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat
atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian, kelima, adanya suatu kegiatan
rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah
dilakukan, keenam, seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlaq) yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk
kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara10
10
Abbas Hamami, “Etika Keilmuan”,h. 161-162.
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tingkah laku moral dapat dihampiri
berdasarkan atas tiga macam pendekatan, yaitu: Etika Deskriptif, Etika Normatif,
dan Metaetika.
a. Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti:
adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang diperbolehkan atau
tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu,
kebudayaan
atau sub-kultur tertentu. Oleh karena itu etika deskriptif ini tidak memberikan
penilaian apa pun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat netral.
b. Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan
norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa
mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-
sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam
mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk.
c. Metaetika, yaitu kajian etika yang ditujukan pada ungkapan-ungkapan etis.
Bahasa etis atau bahasa yang dipergunakan dalam bidang moral dikaji secara logis.
Metaetika menganalisis logika perbuatan dalam kaitan dengan “baik” atau “buruk”.
11
Sidi Gazalba, Sistimatika Filsafat (Jilid 1 sampai 4), (Jakarta: Bulan Bintang: 1976) .
12
Oemar Amin Hoesen, Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hal. 65.
Saifullah memberikan ikhtisar dalam bagan yang lebih terperinci mengenai
perbandingan jalinan agama dan filsafat
Agama Filsafat
a. Agama adalah unsur mutlak sumber a. Filsafat adalah salah satu unsur
kebudayaan kebudayaan
b. Agama adalah ciptaan tuhan b. Filsafat adalah hasil spekulasi manusia
c. Agama adalah sumber – sumber asumsi c. Filsafat menguji asumsi – asumsi science
dari filsafat ilmu dan pengetahuan (science). mulai dari asumsi tertentu
d. Agama mendahulukan kepercayaan d. Filsafat mempercayakan sepenuhnya
daripada pemikiran kekuatan dan daya pemikiran
e. Agama mempercayai akan adanya e. Filsafat tidak mengakui dogma-dogma
kebenaran dan khayalan dogma – dogma agama sebagai kenyataan tentang kebenaran
agama
13
Gie, The Liang. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Liberty.).
14
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 54-55.
15
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), h. 4-5.
mengkaji filsafat ilmu adalah : 1. Tidak terjebak dalam budaya arogansi intelektual. 2.
Kritis terhadap aktivitas ilmu/keilmuan. 3. Merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan
metode ilmu terus menerus sehingga ilmuan tetap bermain dalam koridor yang benar
(metode dan struktur ilmu). 4. Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara
logis rasional. 5. Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid. 6. Berpikir
sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontekstual).
b. Alasan dari sudut kebudayaan, karena pengetahuan adalah salah satu unsur
kebudayaan yang sangat besar peranannya bagi kehidupan manusia. Berkat
pengetahuannya maka manusia mampu membudayakan alam, membudayakan
masyarakat, dan membudayakan dirinya sendiri. Karena itu mempelajari epistemologi
adalah perlu misalnya untuk mengetahui bagaimana kebudayaan dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan.
16
J. Sudarminta. Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan. (Yogyakarta:Penerbit Kanisius,2002).
17
Mundiri, Logika,(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008)
membahas tentang aturan-aturan, asas-sasa, hukum-hukum dan metode atau prosedur
dalam mencapai pengetahuan secara rasional dan benar.
Orang biasanya menganggap benar apa yang disukainya, apa yang dimauinya.
Perasaan dan prasangka dapat bahkan sering mengelabui atau mengaburkan
pandangan mata kita sehingga terjadi kesimpulan-kesimpulan yang ngawur. Selain itu
kebiasaan-kebiasaan dan pendapat umum mempengaruhi jalan pikiran kita. Dalam
praktek sering kali sulit untuk mengajukan alasan yang tepat, atau menunjukkan
mengapa suatu pendapat tidak dapat kita terima.
Menurut Andre Ata, dkk dalam Mukhtar konsep logika atau logis sudah sering kita
dengar dan kita gunakan. Dalam bahasa sehari-hari perkataan logika atau logis
menunjukkan cara berpikir atau cara hidup atau sikap hidup tertentu yaitu yang masuk
akal, yang wajar, yang beralasan atau berargumen, ayang ada rasionya atau hubungan-
hubungan rasionalnya yang dapat dimengerti walaupun belum tentu disetujui tentang
benar atau salahnya. Dapat dikatakan bahwa bahwa logika adalah kajian dalam proses
penalaran yang bertolak dari penerapan prinsip berpikir dalam suatu penalaran yang
tepat yang digunakan dalam membedakan yang baik dan yang benar dari penalaran
yang buruk dan salah. 18
18
Mukhtar Latif, Orientasi ke Arah Filsafat Ilmu.( Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014. )
19
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis. (Jakarta: Bumi
Aksara, 2013. )
Logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan hal tersebut tergantung
dari perspektif mana kita melihatnya, dilihat dari kualitasnya logika dapat dibedakan
menjadi dua yakni logika naturalis ( logika alamiah) dan logika artifisialis (logika
ilmiah) yakni :
a. Logika Naturalis (alamiah)
Logika naturalis adalah kecakapan berlogika berdasarkan akal bawaan manusia. Akal
manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai hukum-hukum logika dasar.
Kemampuan logika naturalis antara manusia yang satu dengan yang lainnya adalah
berbeda-beda. Tergantung dari tingkat intelegensi dan pengetahuannya. Maka kinerja
akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus secara natural tanpa
dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang
subjektif dari pemikir atau manusia. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak
lahir.
Secara terperinci, logika digunakan untuk membantu setiap orang yang mempelajari
logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak (berpikir tingkat tinggi), cermat
dan objektif. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara
tajam dan mandiri. Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan
menggunakan asas-asas sistematis. Meningkatkan cinta akan kebenaran dan
menghindari kesalahan-kesalahan berpikir, kekeliruan serta kesesatan. Mampu
melakukan analisis terhadap suatu kejadian.
Hadiatmaja dan Kuswa Endah dalam Mukhtar menyatakan bahwa logika merupakan
cabang dari filsafat ilmu yang membicarakan masalh berpikir yaitu mengikuti kaidah
berpikir logis. Pembahasan dalam ilmu logika yaitu ukuran dan norma berpikir yaitu
kemampuan akal budi manusia untuk mencapai kebenaran, membicarakan aturan
berpikir agar dapat mengambil kesimpulan yang benar dan tepat. Logika mempelajari
masalah penalaran (reasoning) dan tidak semua kegiatan berpikir itu adalah sebuah
penalaran. Kegiatan penalaran dalam logika disebut juga dengan penalaran logis.
Penalaran adalah proses dari akal manusia yang berusaha untuk menimbulkan suatu
keterangan baru dari beberapa keterangan yang sebelumnya sudah ada. Dalam logika,
keterangan yang mendahului disebut premis, sedangkan keterangan yang
diturunkannya disebut kesimpulan. Penalaran dianggap sebagai konsep kunci yang
menjadi pembahasan dalam logika
Sehingga Suwardi Endaswara (2012) dala Muhtar terang menyatakan bahwa logika
sebagai esensi dari filsafat ilmu.26 Oleh demikian dalam filsafat ilmu tidak terlepas
dari logika sebagai landasan pokok pengetahuan. Sebab filsafat tanpa logika akan
menemukan kegagalan dalam memaknai fenomenologi alam. Logika sememangnya
esensi berfikir filsafat ilmu. Sebab filsafat tanpa logika akan kelam. Logika akan
membangun kepercayaan seseorang dalam kehidupannya, dimana seseorang akan
mampu untuk mengembangkan potensi dirinya jika menggunakan logika berfikir yang
baik dan benar.20Kegiatan berpikir atau akal budi manusia. Dengan berpikir
dimaksudkan kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang telah kita terima
melalui panca indra, dan ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran. Dengan kata-
kata yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa berpikir adalah berbicara dengan
dirinya sendiri di dalam batin yaitu mulai dari mempertimbangkan, merenungkan,
menganalisa, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan,
meneliti suatu jalan pikiran dan sebagainya.
Kedua, logika menambah daya berpikir, abstrak, dan demikian melatih dan
mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual.
20
Mukhtar Latif, Orientasi ke Arah Filsafat Ilmu.( Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.)
Ketiga, logika mencegah kita tersedat oleh segala sesuatu kita peroleh berdasarkan
otoritas, emosi, dan prasangka.
Keempat, logika di masa sekarang dikenal “era of reasons” membantu kita untuk
berpikir sendiri dan tahu membedakan yang benar dari yang palsu.
Kelima, logika membantu orang untuk dapat berpikir lurus, tepat, dan teratur, karena
dengan berpikir demikian ia dapat memperoleh kebenaran dan menghindari kesesatan
Pemisahan hukum empiris dengan hukum normatif telah menyebabkan sains modern
disebut netral dan bebas nilai (value free). Hukum normatif mengatur hubungan
antara mahkluk dengan penciptanya. Bagi penganut empirisme, hukum normatif
dipandang hanya berhubungan dengan manusia, yang oleh Rousseau dipandang
sebagai kontrak social, sehingga tidak ada hubungannya dengan agama.
Pandangan bahwa hukum normatif hanya sebagai kontrak social inilah yang
sebenarnya telah berhasil mengikis habis kesadaran agamawi dari kesadaran manusia
modern, dimana Tuhan dengan seperangkat hukumNya dipandang tidak ada dalam
seluruh fenomena kehidupan.21 Dengan paradigma sains seperti itu, maka dapat
disimpulkan bahwa sains modern memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
3. Mementingkan obyektivitas, dan karena itu ilmu bebas nilai (value free)
4. Reduksionisme, artinya fenomena direduksi, dan cara itu dipandang dominan untuk
kemajuan sains
5. Universalisme
6. Kebebasan absolut
Proses sekularisasi ilmu itu dimulai pada masa Renaissance (kebangkitan kembali)
dan dilanjutkan pada masa Aufklarung (pencerahan), yaitu ketika tokoh Renaissance
filosof Perancis Rene Descartes (1596-1650) menklaim bahwa akal atau rasiolah
sebagai satu-satunya kreteria untuk mengukur kebenaran, yang terkenal dengan
ucapannya cogito ergo sum ( saya berpikir maka saya ada). Ludwig Feurbach (1804-
1872), seorang teolog, namun merupakan salah seorang pelopor paham atheisme di
abad modern, dalam bukunya “The Essence of Christanity”, menegaskan bahwa
manusia adalah prinsip filsafat yang paling tinggi, sedangkan agama adalah mimpi
akal manusia (religion is the dream of human mind). Karl Marx (1818 -1883)
mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Baginya agama adalah factor
sekunder, sedangkan yang primer adalah ekonomi. Charles Darwin (1805-1882)
mengatakan bahwa asal mula manusia bukan dari Tuhan, tetapi dari alam sebagai
hasil adaptasinya kepada lingkungan, dan ia menyimpulkan bahwa Tuhan tidak
berperan dalam penciptaan makhluk hidup.
21
Syamsul Arifin dkk.Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan.( Yogyakarta: sipress,1999)
Paham sekularisme dan ateisme juga berkembang dalam disiplin ilmu sosiologi,
psikologi, dan filsafat. Auguste Comte (1778-1857) menganggap bahwa kepercayaan
kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Ahli sosiologi yang
lain Herbert Spencer (1820-1903) mengatakan bahwa agama bermula dari mimpi
manusia tentang adanya spirit di dunia lain. Ahli psikologi Sigmund Freud
mengatakan bahwa hanya karya ilmiah satu-satunya jalan untuk menuju kearah ilmu
pengetahuan, sementara doktrin-doktrin agama dipandangnya hanya sebagai ilusi.
Filosof terkenal Friedrich Nietzsche (1844-1900) dalam bukunya Thus spoke
Zarathusra menulis bahwa “Tuhan telah mati”. Baginya agama tidak bisa disesuaikan
dengan ilmu pengetahuan.
Epistemologi Barat sekuler telah menyebabkan pula teologi Kristen menjadi sekuler.
pada abad ke-20 para teolog Kristen seperti Karl Barth, Gogarten, Vahanian, dan lain-
lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat modern-
sekuler. Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran
lama yang menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini.
Mereka membantah peran dan sikap gerejawan yang mengklaim bahwa gereja
memiliki keistimewaan social, kekuatan, dan properti khusus.
Bapak ilmu social modern seperti Marx, Durkheim, dan Weber, menganggap bahwa
era agama akan lewat. Pendukung teori sekularisasi dan teori modernisasi abad ke-20
juga berpendapat bahwa “semakin modern masyarakat, semakin kompleks penataan
hidup mereka, semakin rasional dan individual mereka, maka akan semakin berkurang
keagamaan mereka”. Ternyata bahwa dugaan seperti itu tidak benar, agama masih
tetap berkembang dalam seluruh masyarakat di dunia, sebagaimana yang didukung
oleh bukti berbagai riset yang dilakukan pada abad ke-21 .23
22
Adian Husaini, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam.
23
Pippa Norris & Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini
(Terjemahan).(Jakarta: Penerbit Pustaka Alvabet Bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina Jakarta).
2.8.3 Sains Dan Teknologi Dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan
Sudah terbukti bahwa sains dan teknologi telah memberikan banyak
kemudahan bagi kehidupan manusia. Berkembangnya sains dan teknologi kedokteran,
telah memberi pengaruh yang lebih baik pada kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Dengan sains dan teknologi komunikasi dan informasi, telah memungkinkan manusia
dapat bergerak dan bertindak dengan lerbih cepat dan tepat, lebih efektif dan efisien.
Dengan keterpaduan antara ilmu dan agama memungkinkan kita memahami alam
semesta ini dan mengambil manfaat daripadanya, sehingga dengan demikian
kehidupan ini akan menjadi lebih berarti.
Sains dan teknologi adalah alat untuk mencapai tujuan, namun untuk mencapai tujuan
yang diharapkan tanpa merusak, penggunaan alat itu haruslah dengan bijaksana.
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Filsafat adalah cara berpikir secara mendalam sampai kepada akar – akarnya , usaha untuk
3. Hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dalam suatu
Pembelajaran, keduanya memiliki tujuan yang sama yakni untuk mencari kebenaran
Tentu mampu mempertanyakan keabsahan dan kebenaran dari asumsi ilmu itu sendiri,
Filsafat mampu menjawab pertanyaan – pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu ,
4. Hubungan filsafat dengan agama , antara keduanya saling berkaitan agama merupakan
Salah satu objek kajian filsafat dalam rangka memperoleh kebenaran yang bersumber dari
Logika.
5. Logika adalah suatu cabang filsafat yang membahas tentang aturan-aturan, asas-asas,
hukum-hukum dan metode atau prosedur dalam mencapai pengetahuan secara rasional
dan benar.
6. Epistemologi Barat sekuler telah menyebabkan pula teologi Kristen menjadi sekuler. Para
teolog Kristen membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama.
Mereka membantah peran dan sikap gerejawan yang mengklaim bahwa gereja memiliki
DAFTAR PUSTAKA
Husaini, A. (2013). Filsafat Ilmu dalam Prespektif Islam dan Barat. Depok: Gema Insani.
Latif, M. (2014). Orientasi ke Arah Filsafat Ilmu . Jakarta : Kencana Prenadamedia Group .
Susanto. (2013). Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis . Jakarta : Bumi
Aksara .
Syamsul, A. (1999). Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan . Yogyakarta: Liberty.