Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DARI TOKOH H. ABDUL KARIM AMRULLAH


(HAMKA)

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Dr. H. Ahmad Fatah Yasin, M.Ag

Disusun Oleh:

ALIF ALFIANSYAH 210101110053

PUTRI ULIA RAHMA 210101110072

KELOMPOK 7

Kelas C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, dengan rahmat dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah “Pemikiran Pendidikan Islam dari Tokoh H. Abdul Karim
Amrullah (Hamka)” tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pemikiran Pendidikan Islam, dan sebagai penambah pengetahuan serta wawasan pemikiran
pendidikan Islam.

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Ahmad Fatah Yasin, M.Ag. selaku dosen
pengampu mata kuliah Pemikiran Pendidikan Islam kelas C program studi Pendidikan Agama
Islam, yang telah mebimbing kami dalam proses penyusunan makalah ini. Ucapan terima kasih
juga kami sampaikan kepada teman-teman kelas PAI C yang telah memberikan dukungan dalam
proses penulisan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah mendukung dan membantu penulis dalam proses penulisan makalah ini, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik dan saran membangun demi perbaikan
pembuatan makalah. Atas kurangnya, kami ucapkan mohon maaf dan terima kasih.

Malang, 10 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
1.3 Tujuan .................................................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 3
2.1 Biografi H. Abdul Karim Amrullah .................................................................................... 3
2.2 Konsep Pemikiran Pendidikan Islam H. Abdul Karim Amrullah ................................... 3
2.3 Pandangan Buya Hamka terhadap Urgensi Pendidikan dalam Kehidupan ................... 6
2.4 Kriteria Pendidik menurut Buya Hamka ......................................................................... 11
BAB III
PENUTUP ............................................................................................................................................ 13
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pemikiran pendidikan Islam merupakan suatu disiplin ilmu yang mencakup
berbagai pemikiran dari berbagai tokoh terhadap pendidikan Islam. Peradaban Islam
menjadi titik penting dalam sejarah. Karena di dalamnya mengandung unsur pembawa
perubahan intelektual, keadaan sosial dan politik, serta sebagai pendidikan yang
berpengaruh dan berbagai keistimewaan yang memberi corak berbeda dengan pendidikan
lain. Pendidikan diharapkan mampu mengembangkan pikiran yang menjadi dinamika dan
mampu mengerti praktek dalam mengubah realitas.
Salah satu tokoh yang paham akan pentingnya pendidikan dalam berbagai dinamika dan
realitas adalah Hamka.
Dasar perspektif Hamka terhadap pendidikan adalah dibangun dari pemikirannya
tentang manusia, ilmu, dan akhlak. Hamka berpendapat manusia tersusun dari unsur
jasmani dan rohani. Dalam artian, unsur material atau unsur jasmani ini berasal dari tanah
dan akan kembali ke tanah. Sedangkan unsur rohaniah atau unsur immaterialnya berasal
dari ruh yang hakikatnya diberikan Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Di dalam ruh
terdapat akal pikiran serta perasaan yang berfungsi untuk memahami antara yang baik dan
buruk serta menjadi keistimewaan manusia diantara makhluk yang lain.
Hamka berpendapat, manusia sebagai khalifah atas dasar akal yang menjadi sumber
peradaban. Khalifah memiliki tugas berat untuk mengatur bumi dengan memperhatikan
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah.

1.2. Rumusan Masalah


1. Siapakah tokoh H. Abdul Karim Amrullah?
2. Bagaimana konsep pemikiran pendidikan Islam Buya Hamka?
3. Bagaimana pandangan Hamka terhadap urgensi pendidikan dalam kehidupan manusia?
4. Bagaimana kriteria pendidik menurut Buya Hamka?

1
1.3. Tujuan
1. Untuk mengenal biografi salah satu tokoh pemikir dari pendidikan Islam di Indonesia.
2. Untuk mengetahui konsep pemikiran salah satu tokoh pemikir pendidikan Islam di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui cara pandang atau sudut pandang salah satu pemikir pendidikan
Islam terhadap urgensi pendidikan dalam kehidupan manusia.
4. Untuk mengetahui dan menerapkan dari kriteria pendidik dari salah satu tokoh pemikir
pendidikan Islam di Indonesia dalam proses pendidikan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Biografi H. Abdul Karim Amrullah


H. Abdul Karim Amrullah atau yang biasa dikenal dengan Buya Hamka, ialah
seorang tokoh pemikir pendidikan Islam di Indonesia yang lahir di tanah minang,
tepatnya di desa Tanah Sirah dalam Nagari Sungai Batang di tepi danau Maninjau
Sumatera Barat. Buya Hamka lahir pada tanggal 17 Februari 1908 M atau bertepatan
dengan tanggal 13 Muharam 1326 H.
Ayah dari Buya Hamka merupakan seorang tokoh gerakan Islam kaum muda di
Minangkabau yang bernama Syeikh Abdul Karim Amrullah. Ayahnya juga seorang
pengukir latar sosial keagamaan yang memiliki keinginan besar agar putranya
mengikuti jejaknya. Siti Safiah, ibu dari Buya Hamka yang merupakan putri
Gelanggang gelar Bagindo nan Batuah, juga seorang guru tari, menyanyi, dan pencak
silat. Masa kecil Buya Hamka selalu mendengarkan berbagai cerita dan pantun yang
dibawakan oleh ibunya.
Semasa kecilnya, ia mendalami pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama
pengajaran membaca al-Quran dan literature ilmu agama lainnya, disamping itu belajar
di sekolah Diniyah petang yang didirikan oleh Zainuddin Labri Yunusi. Setelah itu, ia
menjelajah menuntut ilmu ke tanah Jawa tahun 1924 terutama ke Yogyakarta dan
Pekalongan.

2.2. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam H. Abdul Karim Amrullah


Pemikiran pendidikan Islam dari Buya Hamka dapat ditelusuri dari karya-karyanya,
seperti Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, dan Tafsir Al-Azhar.1
Pandangannya mengenai ilmu pengetahuan adalah pandangan akan pentingnya
manusia menuntut ilmu yang tak terlepas dari ajaran Islam. Pentingnya menjadikan
tauhid sebagai materi utama dalam kurikulum pendidikan Islam. Menurut Buya
Hamka, pendidikan lebih condong kepada pengertian tarbiyah. Karena, tarbiyah
mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam.

1
Yanuar Arifin, Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h. 424

3
Menurutnya, pendidikan merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk
membentuk watak, akhlak dan budi pekerti.
Aspek-aspek pendidikan menurut perspektif Hamka ada 5, yaitu:
1. Peranan Pendidik
Islam menempatkan guru pada posisi yang terhormat. Guru adalah Islam
menempatkan guru pada posisi yang terhormat. Guru adalah pembimbing spiritual
bagi seorang murid. Ia yang mengisi jiwa anak dengan ilmu dan akhlak.bagi
seorang murid. Ia yang mengisi jiwa anak dengan ilmu dan akhlak.
Tingginya peranan guru dalam pendidikan Islam, maka Hamka secara ideal
memberikan syarat, selayaknya seorang guru sebagai kholifah Allah harus meniru
sifat-sifat Allah yang berhubungan dengan profesi guru seperti ar-Rahim, al-
Ghofur, as-Shobur. Karena, sebagaimana pendapat Nahlawi, guru yang hakiki
adalah Allah, pencipta fitrah, pemberi segala potensi. Dia-lah yang menentukan
hukum untuk mewujudkan kebaikan serta kebahagiaan. Oleh karena itu selayaknya
guru harus meniru maha Guru yaitu Allah dalam batas-batas kemampuan sebagai
manusia dan selayaknya ia meniru sifat nabi yang telah teruji sangat tangguh pada
posisinya sebagai guru bagi umatnya. Hamka menempatkan posisi guru sangat
tinggi dan terhormat. Namun Hamka tidak suka adanya taklid seorang murid
terhadap gurunya dan sikap guru otoriter.
2. Materi pendidikan dalam perspektif Buya Hamka, diklasifikasikan menjadi 2 jenis,
yaitu:
a. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu Al-Quran dan hadits (al-‘ulum
an-naqliyah) merupakan kebenaran yang mutlak. Ilmu pengetahuan naqliyah
mencakup seluruh dimensi ruang dan waktu, yang berkaitan dengan hal yang
tampak, maupun hal yang ghaib (segala hal fisik ataupun metafisik).
b. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran manusia (al-‘ulum al-
aqliyah) merupakan kebenaran yang bersifat relatif. Ilmu pengetahuan ini
mencakup hal-hal yang bersifat fisik saja. Karena hal-hal yang bersifat
metafisik berada di luar jangkauan akal pikiran. Sedangkan untuk memperoleh
ilmu pengetahuan aqliyah memerlukan akal pikiran dengan rasio yang sehat.

4
3. Metode pendidikan dalam perspektif Buya Hamka, ajaran Islam disampaikan
dengan 3 prinsip, yaitu:
a. Islam disampaikan dengan cara-cara atau metode yang bijak, dengan akal budi
yang baik, serta hati yang bersih dan suci.
b. Isi atau materi disampaikan secara baik, dan dimuat dalam bingkai dengan
muatan isi yang kaya akan ilmu pengetahuan.
c. Ketika terjadi konflik, sebaiknya dilakukan dengan bantahan atau argumen
yang logis serta dilandasi dengan nilai-nilai kasih sayang.
4. Peserta didik dalam perspektif Buya Hamka
Dalam perspektif Hamka, pada anak didik terdapat potensi aktif dan
mengembangkan semaksimal mungkin. Pandangan Hamka sejalan dengan teori
belajar secara modern, yang didalamnya peserta didik sebagai subjek bukan objek.
Peserta didik haruslah bersikap kritis terhadap guru, dengan cara tidak menuhankan
guru.
5. Tujuan pendidikan dalam perspektif Buya Hamka
Peranan pendidikan sangat penting untuk mengarahkan dan membimbing
segala aktifitas kehidupan manusia, agar mengandung nilai pengabdian seorang
hamba kepada Allah. Manusia beribadah kepada Allah, karena menurut Hamka,
manusia telah dianugerahi akal dan jiwa, dan melalui keduanya manusia dapat
mengetahui budi yang luhur, dan budi yang luhur menempatkannya sebagai
manusia yang beradab dan berterima kasih.

Dengan berpijak pada perspektif Hamka, metode pendidikan Islam dapat


dikembangkan dan dijadikan sebagai cara yang efektif dalam menyampaikan ajaran-
ajaran agama Islam, seperti dengan menggunakan metode ceramah yang mensyaratkan
seorang pendidik bersikap bijak, memberdayakan akal pikirannya dengan baik, dan
menyucikan hatinya. Sehingga ceramah yang diterima oleh peserta didik mengena di
hati dan berbobot ilmu pengetahuan.

5
2.3. Pandangan Buya Hamka terhadap Urgensi Pendidikan dalam Kehidupan

Menurut Hamka dalam buku yang berjudul jejak pemikiran tokoh pendidikan
Islam, beliau menjelaskan bahwa pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, bukan
hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, melainkan lebih
dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal tuhannya, memperhalus
akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah Swt.2

1. Mampu mengenal Tuhan


Kewajiban yang terutama bagi seorang muslim ialah kenal pada tuhannya,
kenal yang timbul dari keyakinan. Diselidikinya terus apakah makna, maksud dan
rahasia pelajaran tauhid, dasar pelajaran dari segenap para nabi, sejak nabi Adam
sampai kepada Muhammad.3 Dan tauhid adalah pokok yang pertama dari
kedatangan Nabi Muhammad saw. Sebagai leader yang bermaksud melepaskan
jiwa manusia dari perbudakan, dari akal yang terkunci, pikiran yang tumpul, dan
taklid buta yang membunuh pikiran. Sehingga, tidak ada yang membatasi manusia
untuk berhubungan langsung ke langit tinggi, kehadirat Allah Swt. Tidaklah
sempurna keislaman seseorang yang mengaku muslim, sekiranya kelihatan olehnya
suatu perbuatan yang salah, mungkar dan dilarang agama lalu dibiarkan saja.4
Bagi setiap muslim mengenal tuhannya ialah wajib. Karena dimulai dari
melaksanakan kewajiban kepada Allah barulah kita teruskan kepada kewajiban
yang lain-lain, antara lain kewajiban kepada diri sendiri, kewajiban kepada kepada
masyarakat, rumah tangga, anak dan istri, ibu dan bapak, dan kewajiban kepada
manusia pada umumnya. Ketika memperkatakan kewajiban ini telah bertambah
dalam dan penting, sebab yang menjadi tiang segala kewajiban ialah kewajiban
kepada Allah.
Jika sekiranya hidup itu sifat kelebihan dan mati sifat kekurangan, maka
sandarkanlah kelebihan kepada Tuhan dan ambil kelemahan dan kekurangan
kepada manusia. Kuncinya ialah memasangkan sifat kesempurnaan itu kepada-

2
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam., (Yogyakarta: 2014),
hlm. 229
3
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta:Republika.2015), hlm. 223
4
Ibid, hlm. 225

6
Nya, sedangkan zat-Nya tidak juga diketahui. Karena hati yang jernih selalu merasa
bahwa ada satu kekuatan besar dalam wujud ala mini yang mengatur segala
perubahan di alam ini.5
Jika telah diketahui bahwasanya Allah yang menjadi pangkal pokok segala
perubahan yang kelihatan dalam ala mini, dalam peraturannya dan jalannya, yang
tak berubah dan tak berkisar, timbul pula rasa yang kedua, yaitu rasa lemah, rasa
kelemahan diri dihadapan kebesaran-Nya. Dengan demikian mudahlah timbulnya
taat dan patuh kepada segenap pengajaran yang dibawa oleh rasul-rasul, percaya
pada segenap titah dan kewajiban yang di pikulkanNya. Percaya pula akan
ancaman-Nya dan hari berbangkit yang dijanjikanNya. Dengan demikian timbullah
rasa wajib dalam hati kecil kita buat merasa kerendahan diri dihadapan kebesaran
Allah, dan rasa cinta kepada sesama manusia yang telah diberi Allah hak untuk
hidup.

2. Memperhalus Akhlak
Sebaik baiknya manusia adalah yang memiliki akhlak yang mulia, dan akhlak
yang bagus adalah yang sesuai dengan Al-Qur’an. Karena Akhlak yang mulia
merupakan tanda kesempurnaan iman. Kriteria benar dan salah dalam menilai
perbuatan yang muncul harus merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber
tertinngi ajaran Islam.
Nilai-nilai pendidikan Akhlak merupakan landasan awal untuk membentuk
dan menciptakan kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Selain itu dapat juga
menumbuhkembangkan sikap manusia agar menjadi lebih sempurna, sehingga
berdampak positif bagi kehidupan dan selalu terbuka bagi kebaikan dan tertutup
dari segala bentuk keburukan. Lebih lanjut dengan adanya nilai- nilai pendidikan
Akhlak tentunya akan berdampak positif juga pada berbagai aspek dan unsure
kehidupan, sebagai mana yang dikemukakan oleh Abudin Nata. Bahwa pendidikan
akhlak dapat diartikan sebagai proses internalisasi nilai-nilai akhlak ke dalam diri.

5
Ibid, hlm. 141

7
Agar tertanam kuat dalam pola pikir, ucapan, perbuatan, serta interaksinya kepada
tuhan, manusia, dan alam.6
Nilai-nilai pendidikan akhlak menjadi penting dalam konteks kekinian, karena
merupakan sebuah alternatif untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada
didalam dunia pendidikan maupun sosial masyarakat. Selain itu Akhlak juga
menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting jika dilihat dari dalam
keseluruhan ajaran Islam.
Menurut Hamka di dalam tulisan Abd Rahim sumber dari Akhlak itu meliputi
tiga hal yaitu Al Qur’an dan Sunnah, Tauhid, dan Akal.
a) Al-Qur’an dan As-Sunnah
Dalam Agama Islam, landasan Normatif Akhlak manusia adalah Al-Quran dan
As-Sunnah. Al-Qur’an diyakini oleh umat Islam sebagai Kitab Suci yang harus
dipegang teguh. Kebenarannya berlaku sepanjang zaman, dan di dalamnya
terdapat aturan serta petunjuk yang berasal dari Allah Swt. Dalam ajaran Islam
penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-
Hadis. Jika kita perhatikan al-Qur’an maupun Hadis dijumpai berbagai istilah
yang mengacu kepada baik dan ada pula yang mengacu kepada yang buruk.7
b) Tauhid
Tauhid adalah pokok yang pertama dari kedatangan Nabi Muhammad Saw.
Sebagai Leader yang bermaksud melepaskan jiwa manusia dari perbudakan,
dari akal yang terkunci, pikiran yang tumpul, dan taklid buta yang membunuh
pikiran. Sehingga tidak ada yang membatasi manusia untuk berhubungan
langsung ke langit-langit, ke Hadirat Allah. Menurut Hamka tauhid itulah yang
sebenarnya menggerakkan segala aktifitas yang dilakukan oleh seorang
muslim. Tanpa kepercayaan tauhid itu, maka tindakan atau perbuatan seseorang
tidak mempunyai nilai dalam pandangan Islam.
c) Akal

6
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), hlm. 209.
7
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2008), hlm. 120

8
Arti kata akal adalah ikatan. Kata ini cocok betul dengan tempat pengambilan,
ibarat tali mengikat unta, akal itu mengikat manusia. Dalam pepatah melayu
pun telah ada, “Mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akal”.
Jadi sebagaimana tali mengikat unta supaya tidak lari, akal manusia
mengikatnya pula supaya tidak lepas mengikuti hawa nafsu. Sebagai anugerah
terhadap makhluk pilihan, akal memiliki hubungan yang menjadi dasar yang
membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain untuk berbuat sesuatu.
Dengan akal itulah manusia melakukan perenungan, dan pada giliran
berikutnya melakukan penelitian terhadap fenomena yang ada dialam semesta.8
Hamka di atas menunjukkan bahwa sebagai pemberian Tuhan, akal mempunyai
hubungan dengan akhlak, akal memiliki kebebasan untuk mencari, walaupun
wilayah pencarian akal itu hanya sebatas wilayah yang dapat di jangkaunya.
Menurut Hamka, dengan akal itu manusia mempunyai kecerdasan, dan
kecerdasan itulah yang memberikan kemampuan untuk menilai dan
mempertimbangkan dalam pelaksanaan perbuatan manusia sehari-hari.

3. Mencari Keridhaan Allah


Martabat manusia disisi Tuhannya tidaklah diukur dari seberapa tinggi
pengkat dan jabatannya, nasabnya, maupun kekayaannya. Namun disisi Allah
yang diukur adalah ketaqwaannya. Manusia dalam perspektif Islam akan tetap
dilahirkan dalam keadaan fithrah, yaitu suci, bersih, bebas dari segala dosa, dan
memiliki kecenderungan dapat menerima agama, iman, dan tauhid. Manusia
menjadi lebih baik atau buruknya adalah akibat faktor pendidikan dan
lingkungan, bukan kepada tabiat aslinya.
Mencari keridhaan Allah itu berarti melakukan sesuatu bukan untuk
mencari hal lain selain mencari ridha nya Allah. Dan bertawakal kepada allah,
tawakal dalam arti menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha
kepada tuhan semesta alam. Tidaklah keluar dari garisan tawakal, jika kita
berusaha menghindari diri dari kemelaratan, baik yang menyinggung diri atau

8
Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang. 1996), hlm.182

9
harta benda, anak turunan. Baik kemelaratan yang yakin akan datang, atau berat
pikiran akan datang, atau jadi entah dating.
Menurut Hamka didalam menuntut Ilmu hendaklah yang menimbulkan
keinginannya menuntut ilmu itu keridhaan Allah Swt. Sebab dengan ilmu yang
luas itulah dapat mengenal tuhan dan membangun budi pekerti. Bukanlah ilmu
sekedar untuk mencari makan dan mencari gaji. Jangan menuntut ilmu karena
hendak riya tetapi karena mengharap ridha Allah Swt. Karena orang yang riya
itu sebenernya tidaklah menjadi besar, tetapi orang terhina. Pengambil muka
tidaklah hormat tetapi tersisih.
Menurut Hamka kita harus memuliakan Allah dengan cara tunduk dan
patuh menuruti undang-undang ilmu kesopanan. Tidak suka menolak kebajikan
karena dia perbuatan Allah. Menolak adalah sama artinya dengan menolak Allah
sendiri. Menurut Hamka adab kesopanan ada dua, yaitu Adab di dalam dan Adab
diluar. Adab diluar ialah kesopanan pergaulan, menjaga yang salah pada
pandangan orang. Adab diluar itu berubah menurut perubahan tempat dan
bertukar menurut pertukaran jaman, termasuk kepada hukum adat istiadat, rasam
basi dan lain-lain.
Menurut Hamka kita harus memuliakan Allah dengan cara tunduk dan
patuh menuruti undang-undang ilmu kesopanan. Tidak suka menolak kebajikan
karena dia perbuatan Allah. Menolak adalah sama artinya dengan menolak Allah
sendiri. Menurut Hamka adab kesopanan ada dua, yaitu Adab di dalam dan Adab
diluar. Adab diluar ialah kesopanan pergaulan, menjaga yang salah pada
pandangan orang. Adab diluar itu berubah menurut perubahan tempat dan
bertukar menurut pertukaran jaman, termasuk kepada hukum adat istiadat, rasam
basi dan lain-lain. Sedangkan adab di dalam ialah kesopanan batin, yaitu tempat
timbul kesopanan lahir. Orang yang menjaga ini dmna saja duduknya, kemana
saja perginya, tidaklah akan terbuang-buang dan canggung karena didalam
perkara kesopanan batin, samalah perasaan manusia seumumnya.
Pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi dua bagian, (1) Pendidikan
jasmani yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta
kekuatan jiwa dan akal, (2) Pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk

10
kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
didasarkan kepada agama. Kedua unsur jasmani dan ruhani tersebut memiliki
kecendrungan untuk berkembang dan untuk menumbuh kembangkan keduanya
adalah melalui pendidikan.9

2.4. Kriteria Pendidik menurut Buya Hamka

Tugas pendidik secara umum adalah memantaumempersiapkan dan mengantarkan


peserta didik untuk memilikiilmu pengetahuan yang luas,berakhlak mulia
dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Dengan pelaksanaan
pendidikan yang demikian peserta didik diharapkan mampu mewujudkan tujuan
hidupnya baik secara horizontal (kholifah fil ard) ataupun vertikal (‘abd Allah). Dalam
hal ini setidaknya ada tiga institusi atau pihak yang ikut andil dalam bertugas dan
bertanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan yaitu:

1. lembaga pendidikan informal

Keluarga merupakan lembaga yang selalu mempengaruhi perkembangan


akhlak pola pikir anak, dan hanya keluarga yang demokratis akan
mampu mengembangkan dinamikasecara maksimal. Orang tua memegang peranan
penting bagipembentukan kepribadian terutama akhlak seorang anak. Dalam hal ini
orang harus menjadi contoh yang baik danberakhlak sebelum membentuk karakter
anak untukmempunyai keprubadian yang baik.Adapun rambu-rambu untuk kedua
orang tua dalam melaksanakan pendidikan terhadap anak yaitu:

a. Mengajarkan anak untuk cepat bangun dan jangan banyak tidur.


b. Menanamkan pendidikan akhlak yang mulia dan hidup sederhana.
c. Mengajarkan cinta kasih dan kehidupan harmonis melalui cerita-cerita.
d. Membiasakan diri untuk selalu percaya diri dan mandiri.
2. Lembaga pendidikan formal

9
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op, Cit, hlm. 229

11
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang tersusun secara terencana
dan sistematis. Sekolah bertugas mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam
peserta didik secara maksimal sehingga memiliki sejumlah kemampuan yang dapat
dipergunakan untuk melaksanakan fungsinya ditengah-tengah masyarakat. Dalam
hal ini seseorang guru bertugas membimbing peserta didiknya untuk memiliki ilmu
yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

3. Lembaga pendidikan non formal

Masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang sangat luas dan


berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian seorang anak. Lembaga ini
merupakan lembaga pendukung dalam pelaksanaan proses pendidikan secara
praktis. Sesuai dengan fitrahnya yakni makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa
adanya interaksi dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada di sekitarnya.
Eksistensinya yakni saling bekerja sama dan saling mempengaruhi antara satu dan
yang lainnya. Melalui bentuk komunitas masyarakat yang harmonis,menegakkan
akhlak nilai akhlak,dan hidup sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, akan dapat
mewujudkan tatanan kehidupan yang tentram. Kondisi masyarakat yang
seperti inilah yang merupakan ciri masyarakat ideal bagi terlaksananya pendidikan
secara efektif dan dinamis. Oleh karena itu, memformulasikan sistem pendidikan
diperlukan pendekatan psikologis dan sosiologis,dan pendekatan dilakukan dengan
mengakomodir dan menyeleksi sistem nilai sosial (adat) serta dengan pendekatan
ini pendidikan mampu memainkan perannya sebagai agent ofchange dan agent of
social culture.

12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, sesuai dengan pembahasan yang
telah diuraikan pada bab sebelumnya tentang Pandangan Hamka terhadap Pemikiran
pendidikan Islam Maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep pendidikan dalam perspektif Hamka, aspek-aspek yang terpenting adalah
pendidik, materi pelajaran, metode pendidikan, peserta didik, serta tujuan
pendidikan.
2. Menurut Hamka, Sebagai seorang muslim sudah pasti berkewajiban untuk kenal
kepada Tuhannya, kenal yang timbul dari keyakinan. Diselidikinya terus apakah
makna, maksud dan rahasia pelajaran pelajaran tauhid. Semakin bertambah ilmu
seseorang seyogyanya akan mendekatkan diri pada Allah Swt bukan malah
menjauhkan diri dari Allah Swt. Karena pendidikan pula manusia akan
mendapatkan ilmu, dan ilmu meninggikan derajat orang alim, sehingga merekalah
yang menjadi bintang didalam masyarakat.
3. Dalam Pandangan Hamka Urgensi pendidikan Islam dalam kehidupan manusia
bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak,
melainkan lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal tuhannya,
memperhalus Akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin, N. (2005). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Abuddin, N. (2013). Kapita Selekta Pendidikan Islam, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan
Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Alfian, M. (2019). Pemikiran Pendidikan Islam Buya Hamka. Jurnal Ilmi-ilmu Keislaman, 93.

Arifin, Y. (2018). Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.

Asep Ahmad Sukandar, M. H. (2020). Pemikiran Pendidikan Islam Sumbangan Para Tokoh
Pendidikan Islam melalui Gagasan, Teori, dan Aplikasi. Bandung: Cendekia Press.

Hamka. (1996). Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hamka. (2015). Lembaga Hidup. Jakarta: Republika.

Nasihuddin, M. (2016). Percikan Pemikiran Pendidikan Hamka. Jurnal Al Lubab, 172.

Syamsul Kurniawan, E. M. (2014). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai