Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

HUBUNGAN ILMU FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU

DOSEN PEMBIMBING
Dr. Drs.Abdul Rahman Pakaya, M.Si

DISUSUN OLEH:
HAMDI LAPANANDA (9119421042)

FAKULTAS EKONOMI
PENDIDIKAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga Kami dapat memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa untuk
membuat sebuah makalah dengan judul “Komponen Pendidikan”.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Drs. Abdul Rahman


pakaya M.Si sebagai dosen mata kuliah Filsafat ilmu ucapan terima kasih juga
Kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait yang ikut serta dalam pembuatan
makalah ini, khususnya rekan-rekan program studi pendidikan Ekonomi .

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini, tentunya tidak


luput dari kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari rekan-
rekan pembaca sangat dibutuhkan demi penyempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat membantu rekan-rekan pembaca untuk mengetahui dan
lebih memahami lagi mengenai HUBUNGAN ILMU FILSAFAT DAN
FILSAFAT ILMU
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

 Latar belakang.................................................1
 Rumusan masalah............................................2
 Tujuan penulisan..............................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU.................................3


B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU.........................................12

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan..............................................................................................23
2. Daftar Pustaka........................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat
dengan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang
menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani,
filsafat meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Filsafat
Yunani kuno yang awalnya merupakan suatu kesatuan
kemudian terpecah-pecah. Sebelum abad ke 17 ilmu
pengetahuan identik dengan filsafat. Pada perkembangan
selanjutanya, yaitu pada abad ke 17 mulai muncul
perpisahan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan.
Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen
(Ismaun 2001) yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu
merupakan bagian dari  filsafat dan ilmu bergantung pada
sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangannya filsafat melahirkan
konfigurasi yang menunjukkan “pohon ilmu pengetahuan”
telah tumbuh mekar bercabang subur. Masing-masing
cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya,
berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti
metodologinya sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan
semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu
baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu
pengetahuan baru. Bahkan ke arah ilmu pengetahuan yang
lebih khusus lagi, seperti spesialisasi-spesialisasi. Hal ini
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu
sistem yang saling menjalin dan taat asas (konsisten).
Untuk mengatasi perbedaan antara ilmu satu dengan ilmu
lainnya dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat
menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul,
yaitu dijembatani oleh filsafat. Pernyataan tersebut sesuai
dengan pendapat Imanuel Kant (Anton Bakker,1994:2)
yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu
yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup
pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu, filsafat
disebut sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (The Great
Mother of The Science).
Filsafat merupakan pengetahuan ilmiah dan sebagai
penerus pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu
menempatkan objek sasarannya pada ilmu. Filsafat ilmu
mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang
dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Interaksi antara
ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini
tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu.
Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari
filsafat. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis
menguraikan tentang hubungan filsafat dengan ilmu.

B. RUMUSAN MASLAH
1. Bagaimanakah hubungan antara ilmu filsafat dan
filsafat ilmu ?
2. Bagaimanakah sejarah perkembangan ilmu dari zaman
yunani kuno sampai klasik dan abad pertengahan
sampai kontemporer?

C. TUJUAN PENULISAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang apa itu filsafat, apa itu ilmu,
sejarah perkembangan dan hubungan  antara filsafat dan
ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN

A. HUBUNGAN ILMU FILSAFAT DENGAN


FILSAFAT ILMU

Perbedaan ilmu filsafat dengan filsafat ilmu dapat


dilihat dari definisinya. Ilmu filsafat adalah ilmu tentang
dasar-dasar filsafat yang mencakup sistematika filsafat
yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, objek-objek
filsafat, sejarah filsafat dan metode-metode filsafat.
Sedangkan filsafat ilmu adalah cabang filsafat dan bagian
dari Epistemologi yang mengkaji ilmu pengetahuan dari
segi ciri-ciri dan cara-cara memperolehnya. Dilihat dari
objek kajiannya, objek kajian ilmu filsafat adalah semesta
atau semua yang ada di sekitar manusia dalam arti seluas-
luasnya. Sedangkan objek kajian filsafat ilmu adalah ilmu-
ilmu yang diperoleh manusia baik yang bersifat ilmiah
maupun tidak. Selain itu, perbedaan juga ditemukan pada
sudut pandang atau pendekatan yang dipakai. Ilmu filsafat
pendekatannya bersifat integral yang artinya ilmu filsafat
tidak hanya mengkaji dari satu sudut pandang saja tetapi
menyeluruh. Sedangkan filsafat ilmu pendekatannya
disesuaikan dengan kajian ilmunya masing-masing.

A. HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU


1. Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat
dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang
sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di
Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh
pemikiran teoritis. Filsafat Yunani Kuno merupakan
suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah
(Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).Lebih lanjut
Nuchelmans (1982) mengemukakan bahwa dengan
munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17,
maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan
ilmu pengetahuan. Menurut Van Peursen (1985) dahulu
ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi
tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang
dianut.
Koento Wibisono (1999) menjelaskan bahwa
terdapat suatu konfigurasi dengan menunjukkan
bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh
mekar-bercabang secara subur.Masing-masing cabang
melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang
mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya
sendiri-sendiri, sehingga perkembangan ilmu
pengetahuan semakin lama semakin maju dengan
munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya
memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru,
bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi
seperti spesialisasi-spesialisasi.Hal tersebut sesuai
seperti yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985),
bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu
sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari
ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat
ditentukan.
F.Bacon (1561-1626) mengembangkan
semboyannya “Knowledge Is Power”, manusia dapat
berpendapat bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap
kehidupan manusia, baik individual maupun sosial
menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang
timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa
ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang
ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas
antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu
terapan atau praktis.
Pada dasarnya filsafat ilmu bertugas memberi
landasan filosofi untuk minimal memahami berbagai
konsep dan teori suatu disiplin ilmu, sampai
membekalkan kemampuan untuk membangun teori
ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut
memperoleh pembekalan dan disiplin ilmu masing-
masing agar dapat menampilkan teori subtantif.
Selanjutnya secara teknis dihadapkan dengan bentuk
metodologi, pengembangan ilmu dapat
mengoperasionalkan pengembangan konsep tesis, dan
teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing
Paul Edward (Anton Bakker, 38:1994) berpendapat
bahwa kajian yang dibahas dalam filsafat ilmu adalah
meliputi hakekat (esensi) pengetahuan, artinya filsafat
ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-
problem mendasar ilmu pengetahuan seperti; ontologi
ilmu, epistimologi ilmu dan aksiologi ilmu. Dari ketiga
landasan tersebut bila dikaitkan dengan Islamisasi ilmu
pengetahuan maka letak filsafat ilmu itu terletak pada
ontologi dan epistimologinya. Ontologi disini titik
tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang
didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang
dimiliki seorang ilmuwan, jadi landasan ontologi ilmu
pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang
ilmuwan terhadap realitas.
Manakala realitas yang dimaksud adalah materi,
maka lebih terarah pada ilmu-ilmu empiris. Manakala
realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, maka
lebih terarah pada ilmu-ilmu humanoria. Sedangkan
epistimologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu
pengetahuan yang di dasarkan atas cara dan prosedur
dalam memperoleh kebenaran.
Ada banyak hal yang menjadi titik temu antara
filsafat dengan berbagai ilmu pengetahuan. Dalam
beberapa abad terakhir, filsafat ilmu telah
mengembangkan kerja sama yang baik dengan berbagai
ilmu pengetahuan. Banyak diantara filsuf terkenal yang
telah memberikan kontribusinya kepada ilmu
pengetahuan. Misalnya Leibniz ikut serta dalam
penemuan “hitung differensial”. Kedua-duanya
menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha
untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan.
Keduanya juga menunjukkan sikap kritik, dengan
pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak, serta
untuk mengetahui kebenaran. Mereka berkepentingan
untuk mendapatkan pengetahuan yang teratur.
Ilmu membekali filsafat ilmu dengan bahan-bahan
yang deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk
membangun filsafat ilmu. Tiap filosof dari suatu
periode lebih condong untuk merefleksikan pandangan
ilmiah pada periode tersebut. Sementara itu, ilmu
pengetahuan melakukan pengecekan terhadap filsafat
dengan menghilangkan ide-ide yang tidak disukai
dengan pengetahuan ilmiah.
Filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-
potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya
dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan
terpadu. Dalam hubungan ini, kemajuan ilmu
pengetahuan telah mendorong manusia untuk
menengok kembali ide-ide dan interpretasi dalam
bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang-bidang
lain. Misalnya, konsep evolusi mendorong manusia
untuk meninjau kembali pemikiran manusia. Kontribusi
yang lebih jauh yang diberikan filsafat ilmu terhadap
ilmu pengetahuan adalah kritik  tentang asumsi, postulat
ilmu dan analisa kritik tentang istilah-istilah yang
dipakai.
Pertentangan antara ilmu dengan filsafat pada
umumnya menunjukkan pada kecondongan atau titik
penekanan dan bukan pada penekanan yang mutlak.
Ilmu-ilmu tertentu menyeliki bidang-bidang yang
terbatas dan mencoba melayani seluruh manusia.
Filsafat lebih bersifat inklusif atau tidak eksklusif
(Ismaun, 43:2001). Filsafat berusaha untuk memasukan
dalam kumpulan pengetahuan yang bersifat umum,
untuk segala bidang dan untuk pengalaman manusia
pada umumnya. Filsafat berusaha untuk mendapatkan
pandangan yang slebih komprehensif tentang benda-
benda. Jika ilmu dalam pendekatannya lebih analitik,
maka filsafat lebih sintetik dan sinoptik dalam
menghadapi sifat-sifat dan kualitas kehidupan secara
keseluruhan. Ilmu berusaha untuk menganalisis seluruh
unsur yang menjadi bagian-bagiannya serta
menganalisis seluruh anggotanya. Filsafat berusaha
mengembangkan benda-benda dalam sintesa yang
interpretatif dan menemukan arti hakiki benda-benda.
Jika ilmu berusaha untuk menghilangkan faktor-faktor
pribadi dan menganggap sepi nilai-nilai demi
menghasilkan objektivitas, maka filsafat lebih
mementingkan personalitas, nilai-nilai dan juga
pengalaman.
Ilmu dan filsafat kedua-duanya memberikan
penjelasan-penjelasan dan arti-arti dari objeknya
masing-masing. Orang lebih menekankan pentingnya
deskripsi, hukum-hukum, fenomena dan hubungan
sebab musabab. Filsafat mementingkan hubungan-
hubungan antar fakta-fakta khusus dengan bagian yang
lebih besar. Ilmu menggunakan pengamatan,
eksperimen dan pengalaman inderawi, sedangkan
filsafat berusaha menghubungkan penemuan-penemuan
ilmu dengan maksud menemukan hakekat kebenaran.
Perbedaan antara ilmu dan filsafat dalam bagian
besar adalah perbedaan derajat dan penekanan. Ilmu
lebih menekankan kebenaran yang bersifat logis dan
objektif.  Sementara filsafat bersifat radikal dan
subjektif. Ilmu bisa berjalan mengadakan penelitian,
selama objeknya bisa diindera, dianalisis dan
dieksperimen manakala objeknya sudah dapat diindera,
dianalisis dan dieksperimen, maka berhentilah ilmu
sampai di situ. Sementara filsafat justru mulai bekerja
ketika ilmu sudah tidak bisa berbicara apa-apa tentang
suatu objek. Sekalipun demikian, bukan berarti ilmu
tidak penting bagi filsafat, justru filsafat pun bekerja
dengan bantuan ilmu. Banyak filsuf yang mendapat
pendidikan tentang metode ilmiah dan mereka saling
memupuk perhatian dalam beberapa disiplin ilmu.
Filosof maupun ahli ilmu kedua-duanya mendapat
gambaran yang lebih luas, jika mereka saling
memahami dan menghargai disiplin ilmu masing-
masing.
Koento Wibisono dkk (1997) menyatakan, karena
pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher
level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai
penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat
ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek
sasarannya Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat
ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen
yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu
yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini
didukung oleh Israel Scheffler dalam The Liang Gie
(1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia
sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti
bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang
dengan baik jika terpisah dari ilmu.Ilmu tidak dapat
tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan
mengutip ungkapan dari Michael Whiteman dalam
Koento Wibisono (1997), bahwa ilmu kealaman
persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat
dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga
memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin.
Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat
memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya
argumentasinya tidak salah. Hubungan antara ilmu
dengan filsafat dapat dijelaskan dengan mengibaratkan
filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil merebut
pantai untuk pendaratan pasukan infanteri, menurut
Will Durant dalam Jujun S. Suriasumantri (1982:22).
Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang
diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang
memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan
keilmuan.Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung
dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan
ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
1. Perbandingan Antara Ilmu dan Filsafat
Louis Kattsoff dalam Sunny (2009) menjelaskan bahwa
bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam beberapa objek saling melengkapi.Hanya saja bahasa
yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk berbicara mengenai
ilmu pengetahuan, dan bukanya di dalam ilmu
pengetahuan.Filsafat dalam usahanya mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan harus
memperhatikan hasil-hasil ilmu pengetahuan.Ilmu pengetahuan
dalam usahanya menemukan rahasia alam kodrat haruslah
mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai alam kodrat
tersebut.
Filsafat mempersoalkan istilah-istilah terpokok dari ilmu
pengetahuan dengan suatu cara yang berada di luar tujuan dan
metode ilmu pengetahuan. Dalam hubungan ini Harold H.
Titus menerangkan: Ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan
sejumlah besar materi yang faktual dan deskriptif, yang sangat
perlu dalam pembinaan suatu filsafat. Banyak ilmuwan yang
juga filsuf. Para filsuf terlatih di dalam metode ilmiah, dan
sering pula menuntut minat khusus dalam beberapa ilmu
sebagai berikut:
1. Historis, mula-mula filsafat identik dengan ilmu
pengetahuan, sebagaimana juga filsuf identik dengan
ilmuwan.
2.  Objek material ilmu adalah alam dan manusia.
Sedangkan objek material filsafat adalah alam, manusia
dan ketuhanan.
Perbedaan filsafat dengan ilmu adalah filsafat
menyelidiki, membahas, serta memikirkan seluruh alam
kenyataan, dan menyelidiki bagaimana hubungan
kenyataan satu sama lain. Harold memandang satu kesatuan
yang belum dipecah-pecah serta pembahasanya secara
kesuluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu lain atau ilmu vak
menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini,
misalnya ilmu hayat membicarakan tentang hewan,
tumbuh-tumbuhan dan manusia; ilmu bumi membicarakan
tentang kota, sungai, hasil bumi dan sebagainya

B.  Peran Dilsafat dalam Ilmu Pengetahuan


Menurut Ismaun (2001:52) ilmu pengetahuan ilmiah
harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan sesuatu
tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya
menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta
melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian
diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang
kebenaran ilimiahnya (kesahihan). Dengan demikian
pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada
sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur,
harus memenuhi aspek metodologi, bersifat teknis dan
normatif akademik.
Pada kenyataannya filsafat ilmu mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya
seiring dengan pemikiran tertinggi yang dicapai manusia.
Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada sekarang
merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang
telah dihasilkan oleh pemikiran manusia. Filsafat ilmu
dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang
dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh
pemikir dalam filsafat ilmu yang telah mempengaruhi
pemikiran sains modern.
Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan
sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses
penciptaan ilmu pengetahuan. Akumulasi penelaahan
empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas
melalui metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan
memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional.
Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir
ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir
ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam
pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran
membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan
yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional
sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah
sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan
ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat
dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada
hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau
sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara
rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian
maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada
kecenderungan berpikir secara empiris. Dengan demikian
penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir
empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah
hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah.
Pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal
manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-
pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan
saja.  Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh
kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang
didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu
mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan.
Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh
rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu
tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena
itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan
objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin
kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme
dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu
pengetahuan.
Kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam
membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak
pada kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan
objektivitas. Artinya, apabila ilmu pengetahuan yang
dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek
rasional, empirikal dan objektif maka kebenaran
pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak
mempunyai kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu
pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang
pada paradigma yang membentuknya. Kearifan
memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan sangat
diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan
zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan
dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada
kehidupan dunia.
1. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU MULAI DARI:

A. ZAMAN YUNANI KUNO SAMPAI KLASIK

a. Zaman Yunani Kuno


Pada zaman Yunani kuno, sejak lahirnya filsafat dan ilmu
merupakan jalinan yang tidak dapat terpisahkan.Pada masa ini
tidak terdapat pembedaan antara filsafat dan ilmu. Juga tidak
dikenal pengertian  ilmu seperti pada masa  sekarang. Fenomena
ini sudah tercermin  dari pemikiran  filsuf pertama, Thales, bahwa
ilmu sebagai bagian dari filsafat. Ilmu sama halnya  dengan filsafat
menyangkut objek  material tertentu,  seperti tentang alam materi
(fisik), walaupun terdapat perbedaan dari segi objek material, yaitu
ilmu sebagaimana ilmu yang pada masa sekarang.Pada masa itu
merupakan filsafat  kealaman atau juga diistilahkan  sebagai
filsafat kedua  dalam taksonomi aristoteles, yang mengkaji  objek-
objek fisik (konkrit atau eksak) secara empiris.

Secara historis, filsafat dan ilmu memiliki akar


terminologis  yang sama yaitu episteme yang kemudian 
berkembang menjadi istilah philosophia. Istilah philosophia 
pertama kali diperkenalkan oleh Pythagoras (abad ke 6 SM) yang
berarti cinta kebijaksanaan. Dan pencinta kebijaksaan
dinamakan philosophos  (filsuf). Menurut
Aristoteles, episteme merupakan “an organized  body of rational
knowledge with its proper object”  (suatu kumpulan  pengetahuan
rasional  yang teratur dan memiliki  objek tertentu). Filsafat dan
ilmu adalah pengetahuan rasional, pengetahuan yang diperoleh dari
pemikiran-pemikiran rasional. Atas dasar persamaan ini ilmu juga
dipandang  identik dengan filsafat  atau dijuluki juga sebagai
filsafat.

Peristiwa lahirnya filsafat pada abad ke-6 SM, di Yunani,


menanadai terciptanya sejarah  pergeseran paradigma pemikiran
manusia dari  pandangan-pandangan mitologis  ke pola-pikir logis
secara intelek atau rasional. Dari pendekatan-pendekatan  praktis-
alamiah menuju kerangka berpikir  teoritis-ilmiah, pemikiran
filsafat pada masa tersebut tidak hanya dipahami sebagai filsafat
dalam pengertian sempit, tetapi mencakup pemikiran ilmiah pada
umumnya. Pemikiran filsafat yang lahir di Yunani bukan hanya
sebagai cikal-bakal filsafat sistematis sebagaimana  yang dikenala
pada masa sekarang. Tetapi sekaligus juga sebagai “nenek
moyang” pemikiran ilmiah yang berkembang dewasa ini.Oleh
karena itu para filsuf  yang  seperti Descartes, Kant, Hegel, atau
Husserl  dan para ilmuan seperti Newton, Planck, atau Einstein
memiliki leluhur yang sama di negeri Yunani.

Eratnya hubungan antara ilmu dan filsafat juga dapat


dipahami dari  berbagai persepsi muncul dikalangan para pemikir,
seperti Francis Bacon yang mengartikan filsafat sebagai induk dari
ilmu-ilmu. Henry Sidgwick  memandang filsafat sebagai ilmu  dari
ilmu-ilmu ( Scentia Scientiarum ). Seluruh cabang ilmu berakar
dari filsafat sebagai dasarnya yang paling fundamental. Tidak
satupun ilmu atau cabang-cabang ilmu ilmu yang dapat berdiri
sendiri atau terlepas eksistensinya dari filsafat sebagai landasan 
historisnya. Hubungan ilmu dan filsafat terjalin dalam bingkai
pengetahuan rasional.Sebuah konstruksi pengetahuan teoritis
(Body of Knowledge) yang diilhami oleh penalaran logis dan
tersususn secara sistematis

1.Perkembangan Dikotomis: Ilmu versus Filsafat

Jalinan kesatuan antara ilmu dengan filsafat dalam


pengertian bahwa ilmu sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari filsafat, tidaklah bertahan sampai  pada masa sekarang.
Peristiwa ini dapat disaksikan melalaui peta perkembangan
ilmu yang semakain pesat sejaka masa Renaissance (abad ke
14-16) sebagai inspirator utama modernisme.Lahirnya
zaman Renaissance di Barat disinyalir sebagai peristiwa
sejarah yang paling monumental  bagi terciptanya paradigma
baru dalam bidang keilmuan dan dunia kefilsafatan. Dalam
bidang keilmuan,zaman Renaissance melahirkan
dominasi Copernican Revolution (Revolusi Kopernikan) yang
telah menggeser otoritas pemahaman tentang alam versi
Aristotelian  yang telah sekian lama menguasai zaman
Pertengahan. Sedangkan dalam dunia kefilsafatan,
pengaruh Renaissance memunculkan dominasi Cartesian
Revolution (Revolusi Kartesian) yang memberikan ekspresi
filsafat kepada pandangan mekanis tentang alam  sebagi
tonggak filsafat Zaman modern.
Pada zaman Renaissance manusia seakan terlahir kembali
dalam dunia yang sama sekali berbeda dengan periode zaman-
zaman sebelumnya. Manusia dipandang telah menemukan  jati
diri yang sebenarnya, munculnya liberalisme intelektual  dan
kemerdekaan humanisme, serta menjamurnya kemajuan ilmu-
ilmu alam  dengan lahirnya  berbagai penemuan-penemuan
spektakuler yang  tidak pernah terjadi sebelumnya.
Perkembangan ilmu-ilmu yang terjadi sejak masa Renaissance 
seiring dengan berkembangnya metode eksperimental ilmu-
ilmu kealaman  sebagai metode yang terbukti paling berhasil
pada masa itu. Namun perkembangan dan keberhasilan tersebut
pada gilirannya justru menimbulkan akses dikotomis antara
ilmu dan filsafat yang di tandai oleh lepas-landasnya ilmu-ilmu
cabang dari filsafat sebagai induknya. Fenomena ini diawali
oleh ilmu-ilmu alam, terutama fisika, yang memisahkan dari
filsafat, melalui tokoh-tokoh  revolusioner seperti Copernicus,
Galileo, Kepler, Versalinus, dan Newton.  Sampai abad ke 18
fisika masih merupakan bagian dari filsafat, sebagai filsafat
alam.Tetapi sejak pertengahan abad ke 19,fisika, juga kimia
dan biologi pada umumnya dinamakan ilmu-ilmu kealaman
dan bukan merupakan cabang-cabang dari filsafat alam.Karena
sudah terlepas dari filsafat.
Perkembangan dikotomis tersebut selanjutnya diikuti oleh
ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti psikologi, sosiologi,
antropologi, ekonomi, dan politik, yang juga memisahkan diri
dari filsafat dan menjadi ilmu-ilmu khusus (ilmu-ilmu cabang)
yang berdiri sendiri.Pemisahan ini semakin memperbesar
jurang perbedaan antara ilmu dan filsafat.Perbedaan yang
paling menonjol antara ilmu dan filsafat, terutama sekali,
terletak pada cirinya masing-masing.
Dewasa ini ilmu-ilmu seperti fisika, biologi, psikologi dan
ilmu-ilmu sosial seperti ekonomi,sosiologi, ilmu hukum dan
ilmu politik semuanya secara pasti menjadi ilmu-ilmu empiris.
Ciri empiris inilah yang merupakan ciri umum ilmu-ilmu
tersebut   yang membedakannya dari filsafat. Lewis juga
menambahkan  bahwa ciri empiris, sebagai ciri umum ilmu.
Telah memperoleh legitimasi melalui kesepakatan para ilmuan
dan para filsuf. Ciri empiris ini pada dasarnya merupakan ciri
ilmu-ilmu kealaman yang bertumpu pada generalisasi-
generalisasi yang berdasarkan pengamatan (observasi) dan
eksperimentasi, kecendrungan semacam ini selanjutnya
merambah wilayah ilmu-ilmu sosial maupun psikologi
dipandang ilmiah (valid dan benar) sejauh memiliki ciri empiris
tersebut alias bercirikan model penyelidikan ilmu-ilmu alam.
Pemaksaan model pendekatan empiris dalam lingkungan
ilmu-ilmu sosial dan humaniora (ilmu-ilmu human)
kelihatannya lebih didasarkan pada aspek historis keberhasilan
ilmu-ilmu alam dalam mendekati dan menguasai alam relatif
secara memuaskan sebagaimana yang terjadi sejak
masaRenaissance. Di sisi lain pendekatan empiris dinilai lebih
objektif dalam mendeskripsikan fakta-fakta tentang manusia
(sebagai objek) sebagaimana halnya dalam menjelaskan
(eksplanasi) fenomena alam. Meskipun Wilhelm Dilthey secara
tegas dan terang-terangan menolak pemaksaan metode
eksplanasi (explanation atau erklaeren) untuk ilmu-ilmu
kemanusian (Geisteswissenschaften) dan menawarkan
metode verstehen  (understanding) sebagai gantinya, tetapi
sampai masa sekarang pemaksaan tersebut secara umum masih
berlaku dalam dunia keilmuan.
Konsenkuensi  dari penekanan ciri empiris  ilmu juga
berbias  pada aspek dikotomis filsafat dan ilmu menjadi
semakin meluas. Dikotomi ilmu dan  filsafat tidak hanya 
terletak pada  perbedaan ciri umum (ciri umum ilmu: empiris
versus ciri  umum filsafat: spekulatif atau reflektif). Tetapi juga
pada perbedaan metodologi (metode ilmiah versus metode
filsafat).Azas pembuktian (pembuktian ilmiah versus
pembuktian filosofis) sampai pada persoalan tentang kebenaran
(kebenaran ilmiah versus kebenaran filosofis) dan seterusnya.
Melalui ciri empiris itu pula ilmu telah berhasil
menciptakan berbagai kemajuan seperti  peningkatan
produktivitas. Efektivitas dan efisiensi kinerja manusia, serta
menawarkan  berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia 
yang semakin dapat dirasakan  pada masa sekarang. Kemajuan-
kemajuan  tersebut juga tercermin  dari keunggulan-
keunggulan produksinya dengan terciptanya teknologi-
teknologi mutakhir, informatika, industrialisasi, komputerisasi
dan sebagainya yang dewasa ini semakin  tersosialisasi.
Kendatipun semua itu tidak terlepas dari krirtik dan kelemahan-
kelemahan karena efek negatif yang ditimbulkan.
Filsafat tidak bercirikan empiris (observatif-eksperimental)
sebagaimana halnya ilmu, sehingga tidak memproduksi semua
kemajuan tersebut, kecuali sebatas meletakkan dasar-dasar
fundamental bagi ilmu-ilmu. Maka tidaklah mengherankan jika
muncul berbagai kritik dan sikap ironis  dari kalangan awam
maupun kelompok ilmuan tertentu terhadap filsafat. Filsafat 
dinilai tidak pernah maju  atau semakin tertinggal dibandingkan
ilmu, sementara ilmu dikukuhkan sebagai primadona  yang
dipandang mampu mewujudkan berbagai harapan dan cita-cita
manusia.
Otoritas ilmu bukan saja telah menggeser kedudukan
filsafat, atau menjauhkan diri dari filsafat lantaran filsafat
hanya dinilai berhaluan spekulatif alias tidak empiris, atau
memiliki kecendrungan yang kuat kearah pemikiran metafisik.
Lebih dari itu, otoritasilmu dewasa ini ini kelihatannya tampil
sebagai “imperium” baru yang diperkokoh oleh legitimasi-
legitimasi kultural, politik dan ideologis manusia. Jika ini yang
terjadi, jurang dikotomis antara ilmu dan filsafat semakin
memuncak dan berbias pada kontroversi ilmu dan filsafat yang
lebih ekstrim sebagaimana yang terlintas didalam  keprihatinan
Bertrand Russels. Menurutnya “antara  teologi dan ilmu
terletak  suatu daerah tak bertuan, daerah ini diserang baik oleh
teologi maupun ilmu. Daerah tak bertuan ini adalah Filsafat

b. Zaman Klasik
Dalam bukuHistory of philosophy of sciencekarya L.W.H
hull menjelaskan bahwa sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan
dibagi menjadi empat zaman atau empat periode
pembentukannya, yaitu Zaman Filsafat Yunani,Zaman
Pertengahan,Zaman Kebangkitan Islam, Zaman Kebangkitan
Eropa11
Pertama, masa filsafat Yunani merupakan masa dimana filsafat
dan ilmupengetahuan dilahirkan, seperti kita tahu dizaman ini
banyak filsuf. mulai dari Thales, Socrates, Aristoteles, Plato dll.
Zaman ini filsafat tumbuh bagai jamur dimusim semi, ditandai
banyak melahirkan aliran-aliran filsafat klasik yang
mempengaruhi pemikiran umat manusia sampai sekarang. Tidak
dapat dipungkiri bahwa orang Yunani selalu memikirkan alam
semesta dan sistim sosial masyarakat, termasuk asalusul alam
semesta, hakikat manusia, hakikat masyarakat sampai metafisika.
Kedua, Zaman Pertengahan atau orang biasa menyebutnya
zaman kegelapan, dimana masa ini otoritas raja dan gereja
menjadi otoritas kebenaran mutlak, tidak ada kebenaran kalau
bukan dari kerajaan dan gereja yang mengatakan, sehingga ada
monopoli kebenaran di masa ini, hal ini membuat kemandekan
dalam perkembangan pemikiran filsafat. Ini menjadi alasan kenapa
zaman ini disebut zaman kegelapan, karena zaman ini pemikiran
manusia dipasung dengan sangat kuatnya sehingga membuat filsafat
dan ilmu pengetahuan menjadi mati suri. Ilmu pengetahuan
dikontrol dengan kuat oleh kekuasaan.
Ketiga, ketika di barat ilmu pengetahuan dan filsafat begitu
muram dan gelap, justru di dunia Islam ilmu
pengetahuan mengalami perkembangan yang luar biasa, banyak
pemikir muslim zaman itu yang mampu melahirkan karya karya
fenomenal. Dizaman itu banyak ilmuan dengan berbagai bidang
ilmunya hadir mewarnai khazanah intelektual islam sebagai
contoh adalah Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali yang ahli
dalam hukum islam; Al Farabi ahli dalam astronomi dan matematika;
Ibnu Sina ahli dalam kedokteran; Al Kindi ahli filsafat; Ibnu
Khaldul ahli sosiologi, filsafat sejarah dan politik, ekonomi
dan kenegaraan; dan Anzahel ahli dan penemu teori peredaran
planet.
Keempat, periode kebangkitan Eropa (abad 14-20). Diabad ini terjadi
sebuahpemutar balikan zaman, ketika di abad pertengahan
kekuatan gereja dan raja sebagai otoritas penentu kebenaran absolut,
zaman ini mulai terjadi penentangan terhadap kekuasaan gereja dan
raja. Di abad ini lahirlah banyak tokoh-tokoh yang membawa eropa
memasuk zaman kebangkitan kembali filsafat dan ilmu pengetahuan,
sebut saja Fransiscan Bacon dengan aliran pemikiran empirisme
dan realism; Newton dengan teori gravitasinya; John Lock menentang
kekuasaan gereja dengan menyebarkan ide bahwa manusia bebas
untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk
merdeka dan hak berfikir, Immanuel Kant seorang filsuf terkemuka
dari jerman memberikan kritik terhadap akal budi dalam
bukunyaCritique of Pure Reason.Pasca perang salib yang berkecamuk
di Yerusalem, para pemikir dan seniman mulai meninggalkan
Romawi Timur menuju Eropa barat. Mereka menyadari ada sesuatu
perubahan besar yang tak bisa dihindari, yaitu munculnya teknologi
perang dari mesiu peledak, sebuah lompatan teknologi yang luar
biasa. Dan untuk menguasai teknologi tersebut mereka berkeyakinan
kuat meruntuhkan mistisme zaman pertengahan dimana kebekuan
berfikir manusia mencapai puncaknya. Para pemikir dan seniman
mulai mengkaji dan menghidupkan kembali sains dan filsafat abad
klasik yang sebelumnya mendapat larangan keras karena
bersebrangan dengan misi ketuhanan.Renaisans pertama berkembang di
kota Firenze, dimana keluargaMedici yan tersohor menjadi penyokong
keuangan dengan perdagangannya di wilayah Mediterania. Keluarga
Medici memang mempunyai masalaah dengan sistim kepausan saat
itu. Maka tidaklah heran kalau keluarga Medici inilah yang
memfasilitasi para seniman dan intelektual untuk mengeluarkan karya
pemikirannya dengan bebas dalam lindungan keuarga medici dari
sistem gereja. Selain itu kota Firenze memang disokong oleh para
pedagang dan bangsawan.Kebebasan berekspresi dan berfikir
membuat seniman dan intelektual mampu mendirikan gilda-gilda
seni yang melahirkan banyak seniman dan intelektual terkemuka.
Dari gilda-gilda inilah para intelektual danseniman juga mendidik
penerus mereka Gerakan renaisans memberikan dampak yang luar
biasa bagi Eropa, terutama pada usaha mengembangkan ilmu
pengetahuan yang telah lama mati. Jasa besar juga dilakukan oleh para
Polymath (orang yang memiliki ilmu tinggi dari berbagia
hal) sepertiLeonardo da VincidanMichelangelo, dari merekalah
munculnya sebutanrenaissance men. Sebenarnya kalau kita telaah lebih
dalam mengenai kata renaisans, kata renasians sendiri berasal dari
bahasa prancisRenaissanceyang artinya “lahir kembali” atau
“kelahiran kembali”. Yang dimaksud kelahiran kembali adalah
kelahiran kembali budaya klasik yunani kuno dimana semua orang
bebas melakukan kegiatan pemikiran tentang segala hal, baik
memikirkan alam semesta, kehidupan bermasyarakat, berbangsa
bernegara, termasuk dalam bertuhan. Masa yunani kuno
dipandang sebagai masa keemasan eropa waktu itu, kebebasan yang
dirindukan bangsa eropa berabad abad lamanya setelah datangnya masa
kegelapan.Di Zaman renaisans, kesusastraan, seni dan filsafat mulai
dihidupkan kembali dengan mencari sumbernya dari kebudayan klasik
yunani. Zaman ini ada sebuah pembaharuan filsafat yang radikal, yaitu
pusat pemikiran tidak lagi kosmos, seperti dalam zaman kuno, atau
Tuhan, seperti di abad pertengahan, namun yang menjadi pusatnya
adalah manusia. Di zaman renaisans inilah resmi ditetapkan bahwa
manusia sebagai titik folus dari kenyataan. Manusia menjadi
pusat sejarah, pemikiran, kehendak, kebebasan dan dunia. Pada
tahun 132H/750M, keturunan bani Umayyah di tumpas habis dan
menandai berkahirnya dinasti tersebut. Hanya Abdurrahman, satu
satunya keturunan bani Umayah yang berhasil melarikan diri ke
Andalusia dan mendirikan dinasti Umayyah II di daratan Eropa tersebut.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan Islam di Asia dan Afrika, Islam
juga menyebar ke Eropa.

B.ABAD PERTENGAHAN SAMPAI KONTEMPORER

a. Zaman Abad Pertengahan


Zaman ini di tandai dengan tampilnya para teolog (agamawan)
di lapangan ilmu pengetahuan, sehingga aktivitas ilmiah terkait
dengan aktivitas keagamaan. Meskipun semboyan yang populer
pada masa ini adalah ancilla theologia atau abdi agama, harus
diakui banyak pula temuan yang penting dalam bidang ilmu pada
masa ini.
Pada awal abad Masehi, seiring dengan munculnya agama
Kristen oleh Nabi Isa AS., filsafat mengalami problema karena
agama mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang menjadi
kebenaran sejati. Hal ini bertentangan dengan pandangan Yunani
kuno bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal.
Pada masa ini, tanggapan terhadap pandangan Yunani tersebut
memunculkan dua sikap, yaitu:
Golongan yang menolak sama sekali pemikiran/ pandangan
Yunani tersebut, karena menganggap pemikiran tersebut adalah
pemikiran orang kafir.
Menerima filsafat Yunani tersebut karena menganggap bahwa
manusia adalah ciptaan Tuhan dan kebijaksanaan manusia adalah
datangnya dari Tuhan.

Peradaban dunia Islam terutama pada zaman Bani Umayah telah


menemukan cara pengamatan astronomi, pada abad 7 Masehi, atau
8 abad sebelum masa Galileo dan Copernicus. Pada masa Islam
yang menaklukkan Persia pada abad 8 Masehi, telah didirikan
sekolah kedokteran dan astronomi di Jundishapur. Pada masa
keemasan kebudayaan Islam, banyak dilakukan penerjemahan
karya bangsa Yunani, bahkan Khalifah al-Makmun telah
mendirikan rumah kebijaksanaan (house of wisdom) pada abad 9
masehi. Pada masa ini kebudayaan Islam mencapai puncak
kejayaannya (golden age) sedangkan Eropa justru berada dalam
masa kegelapan (dark age).
Ciri-ciri yang menandai kemajuan Islam (Ali Kettani, 1984)
adalah sebagai berikut:
1.Universalisme
2. Toleransi
3. Pasar bertaraf internasional
4. Penghargaan terhadap ilmu dan ilmuwan
5. Tujuan dan sarana ilmu yang bersifat islami
Tokoh-tokoh pemikir beserta karyanya yang muncul pada masa
ini di antaramya adalah Al-Khawarizmi dengan karyanya buku
Aljabar pada tahun 825 M, kemudian menjadi buku standar
beberapa abad lamanya di Eropa; Al-Razi (850-923) dengan
karyanya ensiklopedi kedokteran yang diberi judul Continens;
Ibnu Sina (980-1037) dengan karyanya buku-buku kedokteran (Al
Qanun) yang menjadi buku standar dalam ilmu kedokteran di
Eropa.

b. Zaman Kontemporer
Bidang ilmu fisika, bagi para ahli pikir merupakan ilmu yang
menempati kedudukan tertinggi. Fisika dipandang sebagai dasar
ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur
fundamental yang membentuk alam semesta.
Fisikawan termasyhur pada abad ke-20 adalah Albert Einstein
dengan teori relativitasnya. Ia berpendapat bahwa alam semesta itu
tidak terhingga besarnya dan tidak berbatas, tetapi juga tidak
berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu.
Pada abad ini, teknologi komunikasi dan informasi mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer,
internet, satelit komunikasi dan sebagainya. Ilmu kedokteran
makin menajam dalam spesialisasi maupun subspesialisasinya.
Munculnya kecenderungan ilmu yang merupakan ilmu sintesis
antara bidang ilmu satu dan lainnya, sehingga muncul ilmu baru
seperti bioteknologi yang kemudian dikenal dengan teknologi
kloning.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Filsafat adalah ilmu yang memberikan suatu integrasi guna
mendekatkan manusia pada nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya
dan dapat memilah hal yang baik serta hal yang buruk. Sebagai
ilmu, filsafat telah melahirkan berbagai cabang ilmu yang
mengkaji masalah pemikiran yang berkaitan dengan teori besar
maupun berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Hubungan antara ilmu dan filsafat telah berlangsung dalam
rentang sejarah yang begitu panjang. Sejak lahirnya filsafat sekitar
abad ke 6 SM. Ilmu dipandang identik dengan filsafat dalam
jalinan yang tidak terpisahkan, tetapi sejak pertengahan abad ke 19
ilmu dibedakan dengan filsafat karena ilmu sudah berdiri sendiri
terlepas dari filsafat. Perbedaan ini terjadi secara dikotomis yang
memicu pertentangan antara ilmu dan filsafat sehingga hubungan
ilmu dan filsafat menjadi tidak harmonis.
Harmonisasi hubungan antara ilmu dan filsafat kembali terjalin
ketika filsafat ilmu mulai berkembang, terutama pada abad ke 20.Melalui
filsafat ilmu yang berobjek formal filsafat dan terobjek material
ilmu.Filsafat dan ilmu dapat berinteraksi secara positif. Saling menopang,
dan saling berdialog tanpa saling mereduksi satu sama lain. Perkembangan
dan kemajuan ilmu tanpa saling mereduksi satu sama lain. Perkembangan
dan kemajuan ilmu menuntut peran dan keterlibatan filsafat (filsafat
ilmu).Terutama kritik filosofis yang sangat berguna bagi pengembangan
ilmu-ilmu.Perkembangan filsafat(filsafat ilmu) juga tidak terlepas dari
andil perkembangan ilmu yang semakin pesat sebagai lahan
penyelidikannya. Pola interaksi ini berlangsung tanpa mengganggu
otonomi, eksistensi dan otoritas ilmu maupun filsafat, sehingga ilmu dan
filsafat dapat beriring-bersandung dalam proses perjalanannya sejarahnya
masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

Koento Wibisono. (1997). Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan


Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: LP3 UGM.
Mulyono, Agung (2008).Pengertian Pengetahuan, Ilmu
dan Filsafat. Jakarta.
Suhandi, Agraha. (1992). Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya.(Diktat
Kuliah).Bandung : Fakultas Sastra UNPAD.

Sudrajat, Akhmad. (2008). Hubungan Filsafat dengan Ilmu . Jakarta.

Sunny.(2009). Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta.

Suriasumantri, Jujun S. (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah


Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.

Suriasumantri, Jujun S.
(1990) Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Popular. Jakarta:
Pustaka Sinar.

The Liang Gie.(1984). Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban


Bidang Filsafat.  Jakarta: Bulan Bintang.
The Liang Gie.(1997). Pengantar Filsafat Ilmu.Yogyakarta:
Liberty.

http://www.anakciremai.com/2008/04/makalah-filsafat-ilmu-
tentang-perbedaan.html

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/hubungan-
antara-filsafat-dengan-ilmu/
https://smp3kedungwuni.com/artikel-6-sejarah-perkembangan-
ilmu-pengetahuan.html

Anda mungkin juga menyukai