NIM : 0506213044
Kelas : Manajemen 2B
Aholiab Watloly (2001: 207-221) telah meletakkan berbagai prinsip dasar dalam hal
memahami tanggungjawab pengetahuan dan keilmuan. Istilah tanggung jawab, secara
etimologis menunjuk pada dua sikap dasar ilmu dan ilmuwan, yaitu; tanggung dan jawab.
Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga keilmuan, dalam hal ini, wajib menanggung dan wajib
menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu sendiri maupun permasalahan-
permasalahan yang tidak disebabkan olehnya. Ilmu, ilmuwan, dan lembaga keilmuan bukan
hanya berdiri di depan tugas keilmuannya untuk mendorong kemajuan ilmu, dalam
percaturan keilmuan secara luas, tetapi juga harus berdiri di belakang setiap akibat apa pun
yang dibuat oleh ilmu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu dalam ilmuwan,
termasuk lembaga keilmuan, tidak dapat mencuci tangan dan melarikan diri dari tanggung
jawab keilmuannya.
Berbicara mengenai tanggung jawab keilmuan, adalah sesuatu hal yang secara tidak
langsung mengenai tanggung jawab manusia, dalam hal ini, ilmuwan yang; mencari,
mempraktikkan, dan menerapkan, atau menggunakan ilmu atau pengetahuan tersebut dalam
kehidupan. Maksudnya, ilmu sebagai bagian dari kebijaksanaan manusia dengan segala usaha
sadar yang dilakukan untuk memanusiakan diri dan lingkungannya, tidak dapat dipisahkan
dari aspek tanggung jawab dimaksud. Ilmu dan ilmuwan, sebagai seorang anak manusia,
karenanya, wajib menanggung setiap akibat apa pun yang disebabkan oleh ilmu itu sendiri,
baik dari sisi teoretisnya maupun sisi praktiknya. Ilmu dan ilmuwan juga wajib menjawab
dalam arti merespons dan memecahkan setiap masalah yang diakibatkan oleh ilmu maupun
yang tidak disebabkan oleh ilmu itu sendiri. Tanggung jawab keilmuan, dalam ini, bukan
merupakan beban atau kuk, tetapi merupakan ciri martabat keilmuan dan ilmuwan itu sendiri.
Konsekuensinya, semakin tinggi ilmu maka semakin tinggi dan besar tanggung jawab yang
diemban oleh ilmu, ilmuwan dan lembaga keilmuan itu sendiri.
Kelebihan ilmuwan adalah bahwa ia dapat berpikir secara cermat dan teratur sehingga
dengan kemampuan inilia, ia sekaligus memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki dan
meluruskan pikiran masyarakat yang sesat dan keliru menganai permasalahan yang dihadapi.
Dengannya, masyarakat tidak terjebak dalam lingkaran setan kepicikan yang membenarkan
aneka prasangka, sesat pikir, atau keliru pikir yang cenderung menumbuhkan atau
melanggengkan sikap saling curiga dan dendam. Melalui itu, masyarakat dapat dicerdaskan
sehingga mampu menangkal setiap upaya provokasi yang memperalat dan memperbudak
kekuarangan atau ketidaktahuannya demi keuntungan-keuntungan yang bias.
Sikap tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih, berhubungan dengan kepentingan hati nurani
manusia dalam tugas keilmuan. Maksudnya, sikap ranpa pamrih menunjuk pada keteguhan
bathin atau hati, yang tanpa tegoda dengan imbalan apa pun, untuk memperjuangkan
kebenaran keilmuan, baik dalam rangka kepentingan teori maupun praktis. Intinya, ilmuan
harus terbuka pada himbawan dan seruan hati (bathin) untuk terus mengritik dan membenahi
diri dalam rangka mengatasi berbagai kekurangan serta penyimpangan dalam kegiatan
keilmuan. Salah satu aspek di mana hal itu pasti adalah sifat kritik diri dan menahan diri.
Etika keilmuan, sebagai aspek mendasar dalam rangka keilmuan, menjaungkau hal
yang lebih jauh dan mendorong untuk menyelami semakin dalam kemungkinan-
kemungkinan terakhir mengenai hakikat manusia sebagai subyek maupun obyek dalam
keilmuan. Bahkan, etika keilmuan seakan menimbulkan semacam kesulitan, di mana
perkembangan keilmuan dikurung dalam semacam lingkaran setan. Kondisi tersebut, muncul
ketikan ditanyakan mengenai hal keraha mana ilmu harus diterapkan? Mana penerapa
keilmuan yang baik dan mana penerapan yang kurang baik? Jelas bahwa kriteria etis yang
digunakan untuk itu adalah apakan penerapan tersebut dapat memajukan kesejahteraan hidup
manusia atau sebaliknya membawa ancaman terhadap konsistensi hidup generasi manusia
dan ekologisnya?
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Muhammad. 2011. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semiawan, Conny R, Made Putrawan, dan Setiawan. 1998. Dimensi Kreatif dalam Filsafat
Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi. Jakarta: PT Bumi Aksara.