Anda di halaman 1dari 8

MISI PROFETIK ILMU DAN TANGGUNG JAWAB ILMUWAN

Dibuat Oleh:
Narin Ledy Mercury Aminanti (1801105098)
Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka
narinlmabcd4@gmail.com

Pendahuluan
Kehadiran Islam dengan sosok Nabi saw sebagai individu paripurna dengan kesadaran
eksistensial-theistik-liberatif penuh (prophetic consciousness), dipandang sangat relevan
untuk menghilangkan penyakit vertikal [penyimpangan aqidah tauhid] dan penyakit
horizontal [ketimpangan sosial] sekaligus,1 dan berhasil.2 Rentang kesadaran seperti itu,
yang termanifestasi dalam keseluruhan rentang kehidupan praktis – empiris - profetik Nabi
saw yang belakangan dikenal sebagai sunnah yang hidup (livingsunnah), yang memicu -
memacu dan merajut keberhasilan dalam penyelesaian penyakit vertikal dan horizontal di
tengah masyarakat. Terbangunnya pribadi dengan kesadaran eksistensial – theistic -
liberatif [prophetic consciousness] itulah yang merupakan inti orientasi dari setiap gerak-
langkah pendidikan dan pengembangan keilmuan sejak keutusan Nabi saw. Kesadaran
profetik mempersyaratkan adanya kesadaran vertikal (vertical consciousness)3 yakni sadar
tentang relasi antara diri sebagai makhluq dengan Khaliq sebagai PenciptaPenguasa,
sehingga terbentuk dan selalu on kesadaran mengenai beragam kewajiban, dan kesadaran
horizontal (horizontal consciousness) yakni sadar terhadap konteks realitas sosial yang ada
yang terus berubah dan penuh tantangan.

Nilai kesadaran profetik inilah yang secara sekaligus pada satu sisi “dimiliki dan
dipakai” dalam berjuang dan pada sisi lain sebagai nilai yang diperjuangkan untuk

1
Gambaran Nabi saw pembawa semangat pembebasan ini diulas agak panjang dalam Asghar Ali Engineer,
Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 41-56
2
Tentang keberhasilan tersebut Michael H.Hart menyatakan “Saya menjatuhkan pilihan saya kepada Nabi
Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan
beberapa pembaca dan kemungkinan menjadi tanda tanya bagi yang lainnya. Akan tetapi, saya berpegang
pada keyakinan saya, dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih keberhasilan luar biasa
baik dalam hal agama maupun hal duniawi”. Michael H.Hart, The 100 judul terjemahannya, 100 Tokoh
Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, (Batam Centre, Karisma Publishing Group, 2005), h. 25
3
Iqbal, seorang penyair - filosof Indo - Pakistan, membagi kesadaran menjadi kesadaran kenabian dan
kesadaran mistik. Dalam salah satu syairnya dinyatakan bahwa orang yang mempunyai kesadaran kenabian
ditandai oleh keterlibatannya secara aktif dalam realitas alam semesta. Cakrawala berada dalam
genggamannya. Lihat, Muhammad Iqbal, Javid Nama: Ziarah Abadi, (Yogyakarta: Adipura, 200), h.71-80
disampaikan kepada manusia, yaitu nilai-nilai yang di dalamnya terkandung makna yang
bisa dipahami sebagi proses pembelajaran humanistic - transformatif.

Lalu, perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadi sebuah mata rantai kehidupan
yang tak bisa dipisahkan dengan kehidupan dan eksistensi manusia. Ilmu pengetahuan yang
semakin maju menjadi bukti nyata akan pemikiran manusia yang semakin kompleks.
Dalam pemanfaatan suatu ilmu kiranya perlu disadari adalah suatu ilmu harus dihubungkan
dengan konteks di mana manusia itu berada. Dalam masa depan keilmuan diperlukan peran
ilmuwan dalam menghadapi tantangan ilmu dan perkembangannya. Manusia yang berpikir
filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari
ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami sumber,
hakikat dan tujuan dari ilmu yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya bagi masyarakat.
Oleh karena itu, kita perlu untuk memahami tanggung jawab seorang ilmuan dan tantangan
kemanusia di masa depan.

Pengertian Misi Profetik Ilmu dan Tanggungjawab Ilmuwan

Pengertian profetik, profetik disini memiliki arti kenabian berasal dari kata propthetic
(Inggris) yang mempunyai makna kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi.
Yaitu, sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal tidak hanya secara
spiritual – individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke
arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah,
Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Raja Fir’aun, Nabi Muhammad
yang membimbing kaum miskin dan budak, beliau melawan penindasan dan ketidakadilan.
Dan mempunyai tujuan untuk menuju kea rah pembebasan. Jadi, misi profetik ilmu adalah
memiliki sifat seperti nabi dan mengtranformasikannya kedalam ilmu pengatahuan.

Ilmu merupakan hasil karya seorang ilmuwan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
luas. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka karya ilmiah itu akan
menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka jelaslah, jika
ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar bukan saja karena ia merupakan warga
masyarakat, melainkan karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat.
Fungsinya selaku ilmuwan tidak hanya sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi juga
bertanggung jawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta
bertanggung jawab dalam mengawal hasil penelitiannya agar tidak disalahgunakan4.

Ilmu menghasilkan teknologi yang diterapkan pada masyarakat. Teknologi dan ilmu
pengetahuan dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia,
tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Di sinilah pemanfaatan pengatahuan dan
teknologi perlu diperhatikan sebaik-baiknya5.

Kadang-kadang, tanggung jawab keilmuan tidak disebabkan oleh ilmu itu sendiri,
misalnya; dalam hal menyelesaikan setiap persoalan kemanusiaan, seperti; bencana alam,
keadaan alam yang kritis, konflik sosial, dan sebagainya. Tanggung jawab keilmuan bukan
saja dalam arti yang normative, misalnya berkaitan dengan aspek moral yang bersifat
legalistik saja, tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Misalnya, tanggung jawab keilmuan
dalam menyelasaikan berbagai bentuk akibat perubahan sosial yang berdampak terhadap
tatanan moral masyarakat. Jadi, tanggungjawab keilmuan juga memilki arti, mendudukkan
manusia pada kedudukan martabat dirinya, sehingga di satu sisi tidak diperalat oleh ilmu
dan ilmuwan demi mencapai prestise dan supremasi ilmu, atau di sisi lain, tidak tergilas
oleh kebodohan dan kemelaratan hidup karena lingkaran setan ketidaktahuan yang melilit
dirinya.

Tanggung jawab mengandung makna penyebab (kausalitas), dalam arti "bertanggung


jawab atas". Tanggung jawab dalam arti demikian berarti; apa yang harus ditanggung.
Subyek yang menyebabkan dapat diminta pertanggungjawabannya, meskipun
permasalahan-permasalahan tersebut tidak disebabkan oleh ilmu atau ilmuwan itu sendiri.
Aspek tanggung jawab sebagai sikap dasar keilmuan, dengan ini, telah menjadi satu dalam
kehidupan keilmuan itu sendiri dan sulit dipisahkan. Tanggung jawab keilmuan, tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan pengetahuan maupun keilmuan dari abad ke abad6.

Berbicara mengenai tangung jawab ilmu adalah suatu cara tak langsung berbicara
tentang manusia yang mengpraktekan, menerapkan, dan menggunakan ilmu pengetahuan
4
Mukhtar Latif, Orientasi ke Arah Pemabahasan Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm
242.
5
Muhammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 230.
6
Conny R. Semiawan, Made Putrawan, dan Setiawan, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1998), hlm 116.
itu. Kadang-kadang dapat pula terjadi tanggung jawab yang tak disebabkan oleh ilmu
pengetahuan, tetapi dilakukan oleh manusia tanpa mengikutsertakan ilmu pengetahaun.
Misalnya; dalam hal menyelesaikan setiap persoalan kemanusiaan, seperti; bencana alam,
keadaan alam yang kritis, konflik sosial, dan sebagainya.

Tanggung jawab keilmuan menyangkut, baik masa lalu, masa kini, maupun masa
depan. Alasannya, karena penanganan ilmu atas realitas selalu cenderung berat sebelah.
Kenyataan tersebut telah banyak berpengaruh terhadap gangguan keseimbangan kosmos
(alam) seperti; pembasmian kimiawi dari hama tanaman, sistem pengairan, keseimbangan
jumlah penduduk, dan sebaginya. Juga, hal itu menyangkut gangguan terhadap tatanan
sosial dan keseimbangan sosial. Artinya, ilmu lah yang telah mengemukakan bahwa tatanan
alam dan masyarakat harus diubah dan dikembangkan maka ilmu pula lah yang
bertanggung jawab menjaganya agar dapat diubah dan dikembangkan dalam sebuah tatanan
yang baik, demi konseistensi kehidupan, regulasi historis, dan keberlanjutan ekologis7.

Etika Profesi Seorang Ilmuwan (Kode Etik Ilmuwan)

Berikut adalah etika profesi seorang ilmuwan:

 Tidak ada rasa pamrih, artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai
pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan
pribadi
 Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu
mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi
 Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat –
alat indera
 Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa
pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai
kepastian
 Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas
terhadap penelitian yang telah dilakukan

7
Watloly, Filsafat Ilmu, (http://kuliah.unpatti.ac.id/mod/page/view.php?id=16). Diakses 20 Juni 2016 Pukul
18:40.
 Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etik (akhlak) yang selalu berkehendak untuk
mengebangkan ilmu dan kebahagian manusia, lebih khusus untuk bangsa dan
Negara

Kode etik merupakan acuan moral bagi peneliti dalam melaksanakan hidup, terutama
yang berkenaan dengan proses penelitian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ini menjadi suatu bentuk pengabdian dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa

 Membaktikan diri pada pencarian kebenaran ilmiah


 Bekerja dengan jujur
 Dilarang memanipulasi data
 Dilarang plagiarism
 Selalu bertindak tepat, teliti dan cermat
 Berlaku adil dan hormat terhadap pendapat orang lain
 Perlunya etika dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa

Profesionalisme dan Tanggungjawab Sosial Ilmuwan

Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga keilmuan, dalam hal ini wajib menanggung dan
wajib menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu sendiri maupun permasalahan-
permasalahan yang tidak disebabkan olehnya. Ilmu, ilmuwan, dan lembaga keilmuan bukan
hanya berdiri di depan tugas keilmuannya saja untuk mendorong kemajuan ilmu dalam
percaturan keilmuan secara luas, tetapi juga harus berdiri di belakang setiap akibat apapun
yang dibuat oleh ilmu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu dalam ilmuwan
dan termasuk lembaga keilmuan didalamnya, tidak dapat melarikan diri dari tanggung
jawab keilmuannya.

Tanggung jawab mengandung makna penyebab (kausalitas) dalam arti "bertanggung


jawab atas". Tanggung jawab dalam arti demikian memiliki arti, yakni apa yang harus
ditanggung. Subyek yang menyebabkan dapat diminta pertanggungjawabannya, meskipun
permasalahan - permasalahan tersebut tidak disebabkan oleh ilmu atau ilmuwan itu sendiri.
Aspek tanggung jawab sebagai sikap dasar keilmuan telah menjadi satu dalam kehidupan
keilmuan itu sendiri dan sulit dipisahkan. Tanggung jawab keilmuan tidak dapat
dilepaspisahkan dari perkembangan pengetahuan maupun keilmuan dari abad ke abad.

Tanggung jawab keilmuan menyangkut masa lalu, masa kini, maupun masa depan.
Alasannya karena penanganan ilmu atas realitas selalu cenderung berat sebelah. Kenyataan
tersebut telah banyak berpengaruh terhadap gangguan keseimbangan kosmos (alam),
seperti pembasmian kimiawi dari hama tanaman, sistem pengairan, keseimbangan jumlah
penduduk, dan sebaginya. Hal itu menyangkut gangguan terhadap tatanan sosial dan
keseimbangan sosial dan artinya adalah ilmu yang telah mengemukakan bahwa tatanan
alam dan masyarakat harus diubah dan dikembangkan, maka ilmu pulalah yang
bertanggung jawab menjaganya agar dapat diubah dan dikembangkan dalam sebuah tatanan
yang baik demi konseistensi kehidupan, regulasi historis, dan keberlanjutan ekologis.

Tanggung jawab keilmuan mana didasarkan pada kesadaran bahwa ilmu selalu
merupakan sesuatu yang sifatnya masih belum tuntas, artinya upaya keilmuan tidak dapat
meniadakan tanggung jawabnya yang lama tetapi selalu menampilkannya dalam tanggung
jawab yang selalu baru. Oleh karena itu, ilmuwan harus terbuka pada tanggung jawabnya
yang baru walaupun hal itu tidak pernah dialami oleh pendahulunya.

Secara umum Frankel (1994) mengelompokkan tanggung jawab ilmuwan ke dalam dua
jenis. Pertama, tanggung jawab ke dalam yang ditujukan terhadap ilmu pengetahuan itu
sendiri. Tanggung jawab ini menuntut para ilmuwan untuk selalu setia terhadap standar dan
norma praktek yang telah disepakati oleh komunitasnya. Jenis kedua adalah tanggung
jawab yang ditujukan keluar terhadap masyarakat yang lebih besar. Tugas inilah yang biasa
disebut sebagai tanggung jawab sosial ilmuwan.

Setidaknya ada empat pilar alasan yang mendasari adanya tanggung jawab sosial
ilmuwan. Empat pilar tersebut mencakup otonomi profesional (professional autonomy),
keahlian khusus (special expertise), dampak ilmu pengetahuan (impact of science), serta
dukungan masyarakat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan (public support of
science).

Otonomi profesional merepresentasikan kewenangan yang dimiliki seorang ilmuwan


untuk mempraktekkan keahlian yang dimiliki, dimana keahlian tersebut tidak dimiliki oleh
orang lain. Otonomi profesional ini merupakan salah satu privilege yang mereka miliki
untuk ‘memonopoli’ bidang keahlian tertentu. Seorang dokter bedah misalnya, memiliki
kewenangan melakukan apapun terhadap pasiennya dalam lingkup keahlian yang
dimilikinya. Apapun yang ia katakan, ia tuliskan, atau ia lakukan di ruang praktek mutlak
diikuti dan dituruti oleh pasien tanpa penolakan sedikit pun. Pasien berada dalam posisi
membutuhkan pelayanan profesional sang dokter dan ia awam terhadap bidang keahlian
profesional tersebut. Kekuasaan inilah yang rawan untuk disalahgunakan dan berisiko
tinggi untuk terjadinya pelanggaran.

Oleh karenanya, otonomi yang dimiliki kaum ilmuwan di satu sisi perlu dibarengi
dengan tanggung jawab sosial di sisi yang lain. Privilege-privilege yang berhubungan
dengan otonomi profesional secara bersamaan membawa tanggung jawab untuk selalu
menunjukkan komitmen pada standar etik tertinggi dalam rangka melindungi pengguna jasa
profesional mereka.

Keahlian khusus dalam bidang profesional tertentu merupakan kelebihan yang melekat
pada seorang ilmuwan. Karena keahlian khusus tersebut, masyarakat membutuhkan
pandangan-pandangan ilmiah yang independen dan reliabel ketika hendak memutuskan
suatu kebijakan. Dengan keahlian khusus dan keterampilan teknis mereka, para ilmuwan
memiliki kemampuan istimewa untuk menunjukkan peluang-peluang sekaligus bahaya-
bahaya yang mungkin terjadi berkaitan dengan bidang pekerjaan mereka dan memberikan
pertimbangan dalam menghadapi suatu permasalahan. Mereka sering diminta oleh
masyarakat untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Dan karena tanggung jawab sosial yang
diemban, mereka harus rela melakukan perannya dengan penuh kesungguhan.

Dampak ilmu pengetahuan diasosiasikan dengan kenyataan bahwa ilmu pengetahuan


bukan sekedar pengetahuan (knowing) belaka, tetapi juga menyangkut tindakan atau
perbuatan (doing). Pelaksanaan penelitian (research) secara langsung bisa berdampak
terhadap manusia, binatang atau lingkungan. Penerapan ilmu pengetahuan juga mempunyai
dampak mendalam terhadap kemanusiaan dan kelangsungan hidup bumi. Oleh sebab itu,
ada prinsip dasar moralitas yang menuntut para ilmuwan untuk bertanggung jawab terhadap
konsekuensi-konsekuensi tindakannya terhadap yang lain. Para ilmuwan tidak bisa
meninggalkan implikasi-implikasi yang berkaitan dengan tindakan-tindakan dalam lingkup
pekerjaan mereka.

Dukungan masyarakat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan diwujudkan melalui


investasi mereka dalam proses pendidikan dan pelatihan ilmuwan, seperti halnya dalam
penyelenggaraan penelitian dan penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan dalam
kesinambungan pendidikan dan penelitian ilmiah. Ilmuwan dituntut memiliki hasrat yang
kuat untuk memberikan hasil terbaik kepada masyarakat. Sebagai imbal jasa atas investasi
sosial yang telah diberikan, masyarakat berhak menuntut para ilmuwan bertanggung jawab
terhadap apa yang mereka lakukan.

Anda mungkin juga menyukai