Anda di halaman 1dari 22

TUGAS RESUME BAB VI

Kelas : B1 Pagi ( Teknik Sipil )

Kelompok :

1. FARHAN AZWANI 2307210075


2. RIZKY RAMADHAN 2307210089
3. AHMAD BUKHARI PRASTIO 2307210054
4. MUHAMMAD ILHAM NANDA RAHMADI 2307210067
5. DIMAS HARI MADANI 230721 0066
6. RAGEL PRABOWO 2307210059
7. M. AKBAR 2307210051
8. ALPIN FERDINAN FAHMI 2307210213

9. RAJA MALIKI AKBAR MATONDANG 2307210053

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL-FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2024
PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU

A. Sejarah pengembangan ilmu

Sejak dicetuskannya zaman Afklaurung hingga abad modern, ilmu


mengalami perkembangan yang begitu pesat, prestasi yang luar biasa atasnya
layak untuk di hargai, namun seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu
modern tersebut kenyataannya mengakibatkan krisis masyarakat modern.
Menurut Alex Lanur, aufklarung mewarisi pandangan Francis Bacon tentang
ilmu. Pada hakekatnya ilmu itu harus berdaya guna, operasional, karena
pengetahuan itu bukan demi pengetahuan itu sendiri. Kebenaran bukanlah
kontemplasi akan tetapi operation, to do business. Kebenaran berdaya-guna
hanya berhasil dalam proses eksprimentasi. Sikap ini melahirkan pragmatisme
dalam dunia alamiah, yakni perkembangan ilmu dianggap berhasil jika
mempunyai konsekwensi-konsekwensi pragmatis. Keadaan ini menggiring
ilmuwan pada sikap menjaga jarak terhadap problem nilai secara langsung.

Segeralah kemudian, krisis melanda ilmu-ilmu modern. Ini terjadi akibat


sifat kontemplatif atas teori tradisional, yang secara langsung mengakibatkan
ilmu-ilmu modern kehilangan kerangka acuan kosmologis, dan menyatakan diri
harus “bebas nilai” “Bebas nilai” berarti pengetahuan harus dipisahkan dengan
kepentingan. Obyektivisme lalu memisahkan antara teori dari praxis,
pengetahuan dari kehidupan, ilmu dari etika, karena pengetahuan menjadi
barang obyektif yang netral.

Padahal, kalau mau jujur pada sejarah, sejak awal kemunculanya, ilmu
sudah terkait dengan masalah etika. Ketika Copernicus (1473-1543)
menggunakan teorinya tentang kemestaan alam dan menemukan bahwa
“bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang
diyakini oleh ajaran agama (Kristen), maka timbullah dikotomi antara ilmu dan
etika (yang berasal dari agama). Secara ontologis, ilmu menginginkan
menyingkap realitas apa adanya, namun disisi lain terdapat keinginan dari para
teolog agar ilmu mendasarkan pada ajaran-ajaran agama. Perseteruan ini
berujung pada dihukumnya Galilio (1564- 1642) yang berkulminasi pada
pengadilan inkuisasi.

Pergulatan akbar tersebut –hingga pengadilan inkuisasi dijatuhkan pada


Galileo telah berpengaruh pada ilmuwan lebih dua setengah abad. Perdebatan
antara ilmuwan dan agamawan tersebut berkisar pada perdebatan tentang
kebebasan ilmu. Pertarungan ini dimenangkan oleh para ilmuwan dengan
semboyan yang cukup terkenal “Ilmu itu bebas nilai!. Setelah mendapat
kemenangan ini ilmu lalu mendapat otonominya dan melakukan penelitian apa
yang senyatanya ada dan berujung pada sebuah adigium “ilmu untuk ilmu”.

Semua peristiwa tersebut akhirnya membuat Peradaban Barat


menceraikan Wahyu dari Ilmu Pengetahuan, dengan ditolaknya wahyu dari
salah satu sumber ilmu pengetahuan membawa konsekuensi serius terhadap
ilmu modern.Sesuatu yang ironis mengingat dahulu Barat sangat Fanatik
terhadap Agama namun akibat penyelewengan para pemuka Agama
mereka,akhirnya merubah masyarakat Barat seperti sekarang. Ilmu Modern
yang bebas Nilai (Nilai Agama) sehingga menjadikan akal satu-satunya standart
kebenaran, alhasil Barat tentu menolak semua sumber wahyu seperti Adam
sebagai Awal Manusia tertolak Ilmu Modern Menawarkan Teori Evolusi sebagai
asal muasal Manusia, Kisah Kaum Luth dengan Sodominya pun dianggap tak
ubahnya fairy tale semata inilah sebabnya Ilmu Psikiater Modern Barat Berubah
dari awalnya memasukkan LGBT sebagai “Penyakit” akhirnya menganggapnya
sebagai fenomena Orientasi Sexual Semata.
Selanjutnya relasi antara iptek (Sains) dan nilai budaya, serta agama dapat
ditandai dengan beberapa kemungkinan sebagai berikut. Pertama, iptek yang
lekat dengan nilai budaya dan agama sehingga pengembangan iptek harus
senantiasa didasarkan atas sikap human-religius. Kedua, iptek yang lepas sama
sekali dari norma budaya dan agama sehingga terjadi sekularisasi yang
berakibat pada kemajuan iptek tanpa dikawal dan diwarnai nilai human-
religius. Hal ini terjadi karena sekelompok ilmuwan yang meyakini bahwa iptek
memiliki hukum-hukum sendiri yang lepas dan tidak perlu diintervensi nilai-
nilai dari luar. Ketiga, iptek yang menempatkan nilai agama dan budaya sebagai
mitra dialog di saat diperlukan. Dalam hal ini, ada sebagian ilmuwan yang
beranggapan bahwa iptek memang memiliki hukum tersendiri (faktor internal),
tetapi di pihak lain diperlukan faktor eksternal (budaya, ideologi, dan agama)
untuk bertukar pikiran, meskipun tidak dalam arti saling bergantung secara
ketat.

Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya


dan agama dari bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideology bangsa Indonesia
mengakomodir seluruh aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, demikian pula halnya dalam aktivitas ilmiah. Oleh karena itu,
perumusan Pancasila sebagai paradigma ilmu bagi aktivitas ilmiah di Indonesia
merupakan sesuatu yang bersifat niscaya. Sebab, pengembangan ilmu yang
terlepas dari nilai ideologi bangsa, justru dapat mengakibatkan sekularisme,
seperti yang terjadi pada zaman Renaissance di Eropa. Bangsa Indonesia
memiliki akar budaya dan religi yang kuat dan tumbuh sejak lama dalam
kehidupan masyarakat sehingga manakala pengembangan ilmu tidak berakar
pada ideologi bangsa, sama halnya dengan membiarkan ilmu berkembang
tanpa arah dan orientasi yang jelas.
Bertitik tolak dari asumsi di atas, maka das Sollen ideologi Pancasila
berperan sebagai leading principle dalam kehidupan ilmiah bangsa Indonesia.
Karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif perlu dikaji
aspek kesejarahan dan aspek-aspek lainnya terkait dengan ilmu dan teknologi.
Dari sini, problematika keilmuan dapat segera diantisipasi dengan merumuskan
kerangka dasar nilai bagi pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ini harus
menggambarkan suatu sistem filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip
kehidupan masyarakat, yang sudah mengakar dan membudaya dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila.

B. Pengembangan Ilmu Berdasar Paradigma Pancasila

Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang memiliki dasar


pembenaran, bersifat sistematik serta bersifat intersubyektif. Ketiga ciri ini
saling terkait dan merupakan persyaratan bagi pengetahuan untuk disebut
pengetahuan ilmiah atau ilmu. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, dasar pembenaran menuntut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan
pada perolehan derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus
didasarkan atas pemahaman apriori yang juga didasarkan atas hasil kajian
empirik. Kedua, sistematik dan sistemik masing-masing menunjuk pada
susunan pengetahuan yang didasarkan pada penyelidikan (riset) ilmiah yang
kerterhubunganya merupakan sustu kebulatan melalui komparasi dan
generalisasi secara teratur. Ketiga, Sifat intersubjektif ilmu atau pengetahuan
ilmiah tidak didasarkan atas instusi dan sifat subyektif orang seorang, namun
harus ada kesepakatan dan pengakuan akan kadar kebenaran dari ilmu itu di
dalam setiap bagian dan di dalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut,
sehingga tercapai intersubjektivitas. Istilah “intersubjektif” lebih ekplisit
menunjukan, bahwa pengetahuan yang telah diperoleh seorang subyek harus
mengalami verifikasi oleh subjek-subjek lain supaya pengetahuan itu lebih
terjamin keabsahan atau kebenarannya.

Pencapaian pengetahuan ilmiah diperlukan sebuah riset sebagai pondasi


praktik ilmiah selanjutnya. Apa yang dicapai harus bersifat baru, belum pernah
ada sebelumnya. Selain itu, pencapaian tersebut juga harus bersifat terbuka
sehingga praktik selanjutnya oleh kelompok ilmiah lainnya menjadi satuan
fundamental bagi yang mempelajari perkembangan ilmu tersebut. Satuan ini
tidak dapat mereduksi sehingga secara logis, satuan-satuan ini juga menjadi
kaidah dan standar praktik ilmiah yang disebut paradigm.

Tanggung jawab seorang ilmuwan bukan hanya terbatas pada tanggung


jawab ilmiahakademik semata, akan tetapi tanggung jawab sosial-moral yang
diembannya juga cukup berat. Sebagai bentuk tanggung jawab sosial-moral,
para ilmuwan terikat dengan strategi pengembangan ilmu. Setidaknya terdapat
tiga pandangan mengenai strategi pengembangan ilmu dewasa ini, yakni:
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu berkembang dalam otonomi
dan tertutup, dalam arti pengaruh konteks sosial-budaya dibatasi atau bahkan
disingkirkan. Kelompok ini selalu bersemboyan: “science for the sake of science
only”. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks,
ilmu tidak hanya memberikan refleksi, bahkan juga memberikan justifikasi.
Pandangan yang mengembangan ilmu dengan cara ‘masuk’ ke dalam realitas
dan membenarkannya ini cenderung membuatnya bersifat ideologis. Ketiga,
pendapat yang menyatakan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling
memberi pengaruh untuk menjadi agar dirinya berserta temuan-temuannya
tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya. Science for sake
human progres adalah dirinya.
Pengembangan ilmu di Indonesia tidak boleh bebas nilai (value-free),
malainkan harus memperlihatkan landasan metafisis, epistemologis, dan
aksiologis dari pandangan hidup bangsa Indonesia. Van Melsen menekankan
arti pentingnya hubungan antara ilmu dan pandangan hidup(khususnya
Agama), karena ilmu tidak pernah dapat memberikan penyelesaian akhir dan
menentukan. Hal ini dikarenakan ilmu tidak pernah dapat memberikan
penyelesaian terakhir dan menentukan, lantaran tidak ada ilmu yang
mendasarkan dirinya sendiri secara absolut. Di sinilah perlunya pandangan
hidup, terutama peletakan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis
bagi ilmu, sehingga terjadi harmoni antara rasionalitas dengan kearifan.

C. Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

Pengertian Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat


mengacu pada beberapa jenis pemahaman. Pertama, bahwa setiap ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dikembangkan di Indonesia haruslah
tidak bertentangan dengan nilainilai yang terkandung dalam Pancasila. Kedua,
bahwa setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-
nilai Pancasila sebagai faktor internal pengembangan iptek itu sendiri. Ketiga,
bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi
pengembangan iptek di Indonesia, artinya mampu mengendalikan iptek agar
tidak keluar dari cara berpikir dan cara bertindak bangsa Indonesia. Keempat,
bahwa setiap pengembangan iptek harus berakar dari budaya dan ideologi
bangsa Indonesia sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah indegenisasi
ilmu (mempribumian ilmu).

Pembangunan nasional adalah upaya bangsa untuk mencapai tujuan


nasionalnya sebagaimana yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Pada
hakikatnya Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung
arti bahwa segala aspek pembangunan harus mencerminkan nilai-nilai
Pancasila. Negara dalam rangka mewujudkan tujuannya melalui pembangunan
nasional untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dikembalikan pada
dasar-dasar hakikat manusia. Oleh karena itu pembangunan nasional harus
meliputi aspek jiwa yang mencakup akal, rasa dan kehendak, aspek raga, aspek
individu, aspek makhluk sosial, aspek pribadi dan juga aspek kehidupan
ketuhanannya.

Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila-silanya harus merupakan


sumber nilai, kerangka berpikir serta asas moralitas bagi pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pengembangan ilmu dan teknologi terlebih yang
menyangkut manusia haruslah selalu menghormati martabat manusia,
haruslah meningkatkan kualitas hidup manusia baik sekarang maupun di masa
depan, membantu pemekaran komunitas manusia, baik lokal, nasional maupun
global, harus terbuka untuk masyarakat lebihlebih yang memiliki dampak
langsung kepada kondisi hidup masyarakat, dan ilmu dan teknologi hendaknya
membantu penciptaan masyarakat yang semakin lebih adil.

D. EKSISTENSI ILMU PENGETAHUAN DAN PRINSIP-PRINSI BERPIKIR ILMIAH

1. Eksistensi Ilmu Pengetahuan

Kelahirnya ilmu pengetahuan (science) menandai lahirnya peradaban


modern yang serba terukur (measurable). Perkembangan tersebut kemudian
diikuti dengan kecenderungan memposisikan ilmu pengetahuan secara parsial
antara hakikat, proses, dan nilai guna (ontologi, epistemologi, dan aksiologi).
Hal tersebut mendasari berbagai keberhasilan dan keterbatasan ilmu
pengetahuan, ketika ilmu pengetahuan hanya dilihat dari ontologisnya. Maka
kemudian muncul pernyataan “ilmu pengetahuan bebas nilai”. Dalam rangka
misi penyelamatan peradaban manusia, para ilmuwan menempatkan ilmu
pengetahuan sebagai “pencerah” untuk menyejahterakan.

Potensi yang dimiliki ilmu pengetahuan, manusia dapat mengembangkan


budaya diri sebagai manusia yang bermoral, bermartabat dan berbudaya. Ilmu
pengatahuan yang merupakan salah satu produk khas manusia dipandang
sebagai salah satu unsur dasar kebudayaan. Sehingga dapat mengantarkan ke
peradaban global dan membawa akibat-akibat besar terhadap eksistensi
kemanusiaan. Para ilmuwan dapat memosisikan dirinya pada jalur tanggung
jawab kultural untuk dapat merealisasikan ilmu pengetahuan secara utuh yang
disertai moral baik. (Mudzakir, Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam.

2. Pengembangan ilmu pengetahuan

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai sarana kehidupan


manusia, tetapi sudah tersubstansialkan menjadi bagian dari harga diri
(prestige) dan mitos bangsa. Dalam kedudukannya yang substansif iptek telah
menyentuh semua lini kehidupan secara ekstensif, dan dapat mengubah
budaya manusia secara intensif. Fenomena perubahan tersebut tercermin
dalam masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, yaitu:

i. Masa transisi masyarakat berbudaya agraris-tradisional menuju


masyarakat dengan budaya industri modern.
ii. Masa transisi budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional
kebangsaan
iii. Masa transisi budaya nasional - kebangsaan menuju budaya global
iv. Batas-batas sempit menjadi terbuka, eklektis, namun tetap
mentoleransi adanya pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh
paham postmodernism.
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari mekanisme
keterbukaan terhadap koreksinya, yang memungkinkan untuk mencari
alternatif-alternatif pengembangannya melalui kajian, penelitian eksperimen.
Alternatif pengembangan tersebut dilihat dari aspek ontologis epistemologis,
dan ontologis. Karena setiap pengembangan ilmu pengetahuan harus ada
validitas dan reliabilitas agar dapat dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan
kaidah-kaidah keilmuan maupun berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana
ilmu itu ditemukan/dikembangkan.

3. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah

Adapun beberapa prinsip cara berpikir secara ilmiah, yaitu:

i. Berpikir secara objektif, yaitu dengan cara memandang masalah apa adanya,
terlepas dari faktor-faktor subjektif (misalnya : faktor perasaan, keinginan,
emosi, keyakinan)

ii. Berpikir secara rasional, yaitu dengan cara menggunakan akal sehat yang
dapat dipahami dan diterima oleh orang lain. Mencoba melepaskan unsur
perasaan, emosi, sistem keyakinan)

iii. Berpikir secara logis, yaitu dengan cara menggunakan logika, tidak
mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif, selalu rasional.

iv. Berpikir secara metodologis, yaitu dengan cara menggunakan metode


keilmuan yang khas dalam setiap berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif,
sintesis, hermeneutik, intuitif).

Kandungan yang terdapat dalam ilmu pengetahuan memiliki ciri rasional,


antroposentris, dan cenderung sekuler, dengan suatu etos kebebasan
(akademis dan mimbar akademis). Konsekuensi yang timbul adalah dampak
positif, dalam arti kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong kehidupan
manusia ke suatu kemajuan dengan teknologi yang dikembangkan dan telah
menghasilkan kemudahan-kemudahan yang semakin canggih bagi upaya
manusia untuk meningkatkan kemakmuran hidupnya secara fisik-material.
Kemudian konsekuensi dampak negatif, dalam arti ilmu pengetahuan telah
mendorong berkembangnya arogansi ilmiah dengan menjauhi nilai-nilai agama,
etika, yang akibatnya dapat menghancurkan kehidupan manusia sendiri.

E. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU

1. Konsep Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu

Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat mengacu pada


beberapa jenis pemahaman.

Pertama, setiap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dikembangkan di


Indonesia tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila.

Kedua, setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-


nilai pancasila sebagai faktor internal pengembangan iptek itu sendiri.

Ketiga, nilai-nilai pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi


pengembangan iptek di Indonesia, artinya mampu mengendalikan iptek agar
tidak keluar dari cara berpikir dan cara bertindak bangsa Indonesia.

Keempat, setiap pengembangan iptek harus berakar dari budaya dan ideologi
bangsa Indonesia sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah indegenisasi
ilmu (mempribumian ilmu).

F. PARADIGMA PANCASILA SEBAGAI DASAR STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU


Paradigma merupakan pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang
yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah ini
paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan.
Menurut Thomas Kuhn, orang yang pertama kali mengemukakan istilah
tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu
paradigma. Maka, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam
merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana
seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus
dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut.

Paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus


dijalankan oleh ilmuwan yang mengikutinya, dengan acuan tertentu sehingga
dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan ilmu pengetahuan. Istilah
paradigma kemudian berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan,
tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir,
kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan
tujuan.

Pada dasarnya pengembangan ilmu dan teknologi bermuara pada


kehidupan manusia maka perlu mempertimbangan strategi agar
pengembangan ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan
manusia. Dalam mempertimbangkan sebuah strategi harus meletakkan nilai-
12 nilai Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini menggambarkan bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai sumber
orientasi dan arah pengembangan ilmu (dalam dimensi ontologis,
epistemologis dan aksiologis).
Ada beberapa alasan diperlukannya Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan iptek dalam kehidupan berbangsa Indonesia, yaitu:

1. Adanya pengrusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh iptek, baik


dengan dalih percepatan pembangunan daerah tertinggal maupun upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Penjabaran sila-sila pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek
dapat menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan
iptek yang berpengaruh pada cara berpikir dan bertindak masyarakat
yang cenderung pragmatis.
3. Nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi simbol kehidupan di berbagai
daerah mulai digantikan dengan gaya hidup global, seperti sikap
bersahaja digantikan dengan gaya hidup bermewah-mewah, solidaritas
sosial digantikan dengan semangat individualistis, musyawarah untuk
mufakat digantikan dengan voting, dll.

G. SEJARAH SINGKAT PANCASILA SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN ILMU

1. Aspek Historis

Sejarah Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu belum banyak


dibicarakan di awal kemerdekaan. Hal tersebut dikarenakan para pendiri
Negara, cerdik cendekia, ntelektual bangsa Indonesia pada masa itu
mencurahkan tenaga dan pemikirannya untuk membangun bangsa dan negara.
Para intelektual merangkap sebagai pejuang bangsa masih disibukkan pada
upaya pembenahan dan penataan negara yang baru saja terbebas dari
penjajahan. Aspek historis dari pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu di Indonesia dapat ditelusuri dalam dokumen negara
yaitu: Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 berbunyi:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negaraIndonesia


yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, … dan seterusnya”.

Kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” mengacu pada pengembangan iptek


melalui pendidikan. Proses mencerdaskan kehidupan bangsa tidak terlepas dari
nilai-nilai sipiritualitas, kemanusiaan, solidaritas kebangsaan, musyawarah, dan
keadilan.

Beberapa upaya yang dilakukan dalam rangka pengembangan pancasila


sebagai pengembangan ilmu pengetahuan;

a. Sekitar 1980-an ketika keadaan sudah mendesak, terutama di perguruan


tinggi yang mencetak kaum intelektual, telah mulai membicarakan hal
tersebut. Pada tanggal 15 Oktober 1987, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta telah menyelenggarakan seminar dengan tema “Pancasila
sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu”. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Prof Notonagoro tentang konsep pancasila yang merupakan
pegangan dan pedoman dalam usaha ilmu pengetahuan untuk
dipergunakan sebagai asas dan pendirian hidup, sebagai suatu pangkal
sudut pandangan dari subjek ilmu pengetahuan dan juga menjadi objek
ilmu pengetahuan atau hal yang diselidiki. Penggunaan istilah “asas dan
pendirian hidup” mengacu pada sikap dan pedoman yang menjadi
rambu normatif dalam tindakan dan pengambilan keputusan ilmiah.
b. Daoed Joesoef membuat artikel ilmiah yang berjudul “Pancasila,
Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan” menyatakan bahwa pancasila
adalah gagasan vital yang berasal dari kebudayaan Indonesia, artinya
nilai-nilai yang benar-benar diramu dari sistem nilai bangsa Indonesia
sendiri. Oleh karena itu, pancasila memiliki metode tertentu dalam
memandang, memegang kriteria tertentu dalam menilai sehingga
menuntunnya untuk membuat pertimbangan(judgement) tertentu.
c. Prof. Dr. T Jacob, menegaskan bahwa pancasila seharsunya dapat
membantu dan digunakan sebagai dasar etika ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia. Ada lima prinsip besar yang terkandung dalam
pancasila yang mencakup segala persoalan etik dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi, yaitu, monoteisme; humanism dan solidaritas karya
negara; nasionalisme dan solidaritas warga negara; demokrasi dan
perwakilan; dan Keadilan sosial.
d. . Prof. Dr. Muladi menegaskan bahwa kedudukan pancasila sebagai
common denominator values, artinya nilai yang mempersatukan seluruh
potensi kemanusiaan melalui counter values and cunter culture.
Pancasila merupakan refleksi penderitaan bangsa-bangsa di dunia secara
riil sehingga mengandung nilai-nilai agama yang bersendikan Ketuhanan
Yang Maha Esa dan nilai-nilai universal HAM.

2. Aspek Sosiologis

Aspek sosiologis pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dapat


ditemukan pada sikap masyarakat yang sangat memperhatikan dimensi
ketuhanan dan kemanusiaan. Ketika iptek tidak sejalan dengan nilai ketuhanan
dan kemanusiaan, biasanya akan terjadi penolakan. Contoh dari hal tersebut,
seperti:

a. Teknologi digunakan untuk menyakiti sesama manusia, seperti peperangan,


pengeboman.

b. Ilmu pengetahuan juga dapat menyebabkan kerusakan alam.

c. Cyber crime, yang merupakan aktivitas kejahatan dengan menggunakan


jaringan komputer menjadi alat untuk perdagangan obat-obatan ilegal,
menyebar isu sara, pesan hoax, pornografi dll.

d. Menggunakan teknologi secara berlebihan, sehingga tidak mengenal waktu,


tempat dan keadaan.

e. Merasa tidak bisa hidup tanpa teknologi.

3. Aspek Politis Aspek politis pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu
di Indonesia dapat dirunut ke dalam berbagai kebijakan yang dilakukan oleh
para penyelenggara Negara, diantaranya:

a. Dokumen masa Orde Lama

b. Dokumen orde baru

c. Dokumen masa Reformasi

H. DINAMIKA DAN TANTANGAN PANCASILA SEBAGAI DASAR


PENGEMBANGAN ILMU

Dinamika yang dihadapi oleh Pancasila sebagai pengembangan ilmu adalah


belum dibicarakan secara eksplisit oleh para penyelenggara negara sejak Orde
Lama sampai era Reformasi. Pada umumnya hanya menyinggung masalah
pentingnya keterkaitan antara pengembangan ilmu dan dimensi kemanusiaan
(humanism). Kajian tentang pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu
baru mendapat perhatian yang lebih khusus dan eksplisit oleh kaum intelektual
di beberapa perguruan tinggi, khususnya Universitas Gadjah Mada yang
menyelenggarakan Seminar Nasional tentang Pancasila sebagai pengembangan
ilmu,1987 dan Simposium dan Sarasehan Nasional tentang Pancasila sebagai
Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasioanl,2006. Namun pada
kurun waktu akhir-akhir ini,belum ada lagi suatu upaya untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai pancasila dalam kaitan dengan pengembangan
Iptek di Indonesia.

Kemudian ada beberapa bentuk tantangan terhadap pancasila sebagai dasar


pengembangan iptek di Indonesia, yaitu ;

1. Kapitalisme yang sebagai menguasai perekonomian dunia, termasuk


Indonesia. Akibatnya,ruang bagi penerapan nilai-nilai pancasila sebagai dasar
pengembangan ilmu menjadi terbatas.Upaya bagi pengembangan sitem
ekonomi pancasila yang pernah dirintis Prof. Mubyarto pada 1980-an belum
menemukan wujud nyata yang dapat diandalkan untuk menangkal dan
menyaingi sistem ekonomi yang berorientasi pada pemilik modal besar.

2. Globalisasi yang menyebabkan lemahnya daya saing bangsa Indonesia dalam


pengembangan iptek sehingga Indonesia lebih berkedudukan sebagai
konsumen daripada produsen dibandingkan dengan negara-negara lain.

3. Konsumerisme menyebabkan negaraIndonesia menjadi pasar bagi produk


teknologi negara lain yang lebihmaju ipteknya. Pancasila sebagai
pengembangan ilmu baru pada taraf wacana yang belum berada pada tingkat
aplikasi kebijakan negara.
Pragmatisme yang berorientasi pada tiga ciri, yaitu; workability (keberhasilan),
satisfaction (kepuasan), dan result (hasil) mewarnani perilaku kehidupan
sebagian besar masyarakat Indonesia. (Ristekdikti Direktoral Jenderal
Pembelajaran dan Kemahasiswaan).

I. Pentingnya Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu dapat ditelusuri ke


dalam halhal sebagai berikut :

1. Pertama, pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan bangsa


Indonesia dewasa ini seiring dengan kemajuan iptek menimbulkan perubahan
dalam cara pandang manusia tentang kehidupan. Hal ini membutuhkan
renungan dan refleksi yang mendalam agar bangsa Indonesia tidak terjerumus
ke dalam penentuan keputusan nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa.

2. Kedua, dampak negatif yang ditimbulkan kemajuan iptek terhadap


lingkungan hidup berada dalam titik nadir yang membahayakan eksistensi
hidup manusia di masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan tuntunan
moral bagi para ilmuwan dalam pengembangan iptek di Indonesia.

3. Ketiga, perkembangan iptek yang didominasi negara-negara Barat dengan


politik global ikut mengancam nilainilai khas dalam kehidupan bangsa
Indonesia, seperti spiritualitas, gotong royong, solidaritas, musyawarah, dan
cita rasa keadilan. Oleh karena itu, diperlukan orientasi yang jelas untuk
menyaring dan menangkal pengaruh nilai-nilai global yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.

Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

Tidak ada satu pun bangsa di dunia ini yang terlepas dari pengaruh
pengembangan iptek, meskipun kadarnya tentu saja berbeda-beda. Kalaupun
ada segelintir masyarakat di daerah-daerah pedalaman di Indonesia yang masih
bertahan dengan cara hidup primitif, asli, belum terkontaminasi oleh kemajuan
iptek, maka hal itu sangat terbatas dan tinggal menunggu waktunya saja. Hal ini
berarti bahwa ancaman yang ditimbulkan oleh pengembangan iptek yang
terlepas dari nilai-nilai spiritualitas, kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah,
dan keadilan merupakan gejala yang merambah ke seluruh sendi kehidupan
masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, beberapa alasan Pancasila diperlukan sebagai dasar nilai
pengembangan iptek dalam kehidupan bangsa Indonesia meliputi hal-hal
sebagai berikut.

− Pertama, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh iptek, baik dengan


dalih percepatan pembangunan daerah tertinggal maupun upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat perlu mendapat perhatian yang serius. Penggalian
tambang batubara, minyak, biji besi, emas, dan lainnya di Kalimantan,
Sumatera, Papua, dan lain-lain dengan menggunakan teknologi canggih
mempercepat kerusakan lingkungan. Apabila hal ini dibiarkan berlarutlarut,
maka generasi yang akan datang, menerima resiko kehidupan yang rawan
bencana lantaran kerusakan lingkungan dapat memicu terjadinya bencana,
seperti longsor, banjir, pencemaran akibat limbah, dan seterusnya.

− Kedua, penjabaran sila-sila Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek


dapat menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan iptek
yang berpengaruh 10 pada cara berpikir dan bertindak masyarakat yang
cenderung pragmatis. Artinya, penggunaan benda-benda teknologi dalam
kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini telah menggantikan peran
nilainilai luhur yang diyakini dapat menciptakan kepribadian manusia Indonesia
yang memiliki sifat sosial, humanis, dan religius. Selain itu, sifat tersebut kini
sudah mulai tergerus dan digantikan sifat individualistis, dehumanis, pragmatis,
bahkan cenderung sekuler.

− Ketiga, nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi simbol kehidupan di berbagai


daerah mulai digantikan dengan gaya hidup global, seperti: budaya gotong
royong digantikan dengan individualis yang tidak patuh membayar pajak dan
hanya menjadi free rider di negara ini, sikap bersahaja digantikan dengan gaya
hidup bermewah-mewah, konsumerisme; solidaritas sosial digantikan dengan
semangat individualistis; musyawarah untuk mufakat digantikan dengan voting,
dan seterusnya.

K. Beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai dasar


pengembangan iptek di Indonesia:

a. Kapitalisme yang sebagai menguasai perekonomian dunia, termasuk


Indonesia. Akibatnya, ruang bagi penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
pengembangan ilmu menjadi terbatas. Upaya bagi pengembangan sistem
ekonomi Pancasila yang pernah dirintis Prof. Mubyarto pada 1980-an belum
menemukan wujud nyata yang dapat diandalkan untuk menangkal dan
menyaingi sistem ekonomi yang berorientasi pada pemilik modal besar.

b. Globalisasi yang menyebabkan lemahnya daya saing bangsa Indonesia dalam


pengembangan iptek sehingga Indonesia lebih berkedudukan sebagai
konsumen daripada produsen dibandingkan dengan negaranegara lain.

c. Konsumerisme menyebabkan negara Indonesia menjadi pasar bagi produk


teknologi negara lain yang lebih maju ipteknya. Pancasila sebagai
pengembangan ilmu baru pada taraf wacana yang belum berada pada tingkat
aplikasi kebijakan negara.
d. Pragmatisme yang berorientasi pada tiga ciri, yaitu: workability
(keberhasilan), satisfaction (kepuasan), dan result (hasil) (Titus, dkk., 1984)
mewarnai perilaku kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Sumber Historis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

Sumber historis Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat


ditelusuri dari sejarah peradaban Nusantara yang telah melewati berbagai
pengaruh agama, budaya, dan politik. Sejak zaman purbakala hingga
kemerdekaan Indonesia, masyarakat Nusantara telah mengenal berbagai
agama lokal, Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.

Agama-agama ini tidak hanya memberikan ajaran spiritual, tetapi juga


mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di Nusantara. Misalnya,
agama Hindu dan Buddha membawa ilmu matematika, astronomi, arsitektur,
seni, dan sastra ke Nusantara. Agama Islam membawa ilmu falak, fiqh, tasawuf,
sejarah, bahasa, dan sastra ke Nusantara. Agama Kristen membawa ilmu alam,
kedokteran, teknik, ekonomi, dan sastra ke Nusantara.

Selain agama, budaya juga menjadi sumber historis Pancasila sebagai dasar
nilai pengembangan ilmu. Budaya Nusantara yang kaya dan beragam
mencerminkan kearifan lokal yang menjadi sumber inspirasi bagi
pengembangan ilmu. Budaya Nusantara juga menunjukkan sikap terbuka dan
toleran terhadap perbedaan dan keragaman. Budaya Nusantara juga
menekankan pentingnya keseimbangan antara manusia dengan alam, manusia
dengan sesama manusia, dan manusia dengan Tuhan. Budaya Nusantara juga
menghargai nilai-nilai gotong royong, musyawarah, kekeluargaan, kesopanan,
dan kesederhanaan.
Politik juga menjadi sumber historis Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu. Politik Nusantara yang berbentuk kerajaan-kerajaan
bahari menunjukkan kemampuan masyarakat Nusantara dalam mengelola
sumber daya alam dan manusia secara efektif dan efisien. Politik Nusantara
juga menunjukkan kemampuan masyarakat Nusantara dalam menjalin
hubungan diplomatik dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Politik Nusantara
juga menunjukkan semangat perjuangan masyarakat Nusantara dalam
melawan penjajahan dan kolonialisme yang mengancam kedaulatan dan
kemerdekaan mereka.

Anda mungkin juga menyukai