Anda di halaman 1dari 21

TUGAS KELOMPOK

TENTANG:
FILSAFAT SAINS

MATA KULIAH:
FILSAFAT ILMU
Oleh:

1. Fitria Oulina Ali ( 17205059 )


2. Hanifa Muslimah ( 17205061 )
3. Mawaddah Arrahmah ( 17205021 )
4. Riko Firdaus ( 17205036 )
5. Tri Muharani ( 17205042 )

Dosen Pembimbing: Dr. Ali Asmar, M.Pd

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb

Puji syukur kami ucapkanatas rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang

memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah

“Sejarah Filsafat”. Ucapan terima kasih juga kami berikan kepada pihak-pihak

yang telah membantu dalam proses menyelesaikan makalah ini.Terutama kepada

dosen pembimbing yaitu Bapak Dr. Ali Asmar, M. Pd yang telah membimbing

kami untuk mengarahkan kami dalam menyelesaikan makalah kami dengan

sebaik-baiknya. Kami selaku penulis inginikut berpartisipasi dalam penyampaian

tentang “filsafat sains”. Kami berharap apa yang kami sampaikan dapat diterima

dan mudah untuk dipahami.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi segenap pembaca, dan apabila ada

kekurangan atau kesalahan, kritik dan saran yang bersifat membangun, sangat

kami harapkan dari segenap pembaca untuk perbaikan makalah kami dilai

kesempatan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Penulis, 31Oktober 2018

Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan sains tidak terlepas dari perkembangan teknologi, politik
ekonomi, sosial dan filsafat di masyarakat. Demikian juga perkembangan sains
pada abad ke-20. Sejarah mencatat terjadi perubahan yang besar pada abad ke
dua puluh ini. Semua perubahan tersebut berkembang dari filsafat yang dianut
oleh hampir di seluruh dunia di massa sebelumnya.
Filsafat rasionalisme pada massa sebelum abad ke 20 telah mempengaruhi
jiwa manusia menjadi pendewa rasio. Antara hati dan akal manusia yang tidak
bertemu pada waktu itu telah menciptakan krisis multidimensional. Pada abad ini
tercatat krisis yang luar biasa akibat dari sain dan teknologi yang dikembangkan
manusia pendewa rasio. Diantaranya bencana nuklir, perang dunia, kelaparan,
penyebaran penyakit dan sebaginya. Tetapi tidak jarang penemuan sains dan
teknologi juga memberikan solusi bagi krisis tersebut. Pada makalah ini kami
mencoba untuk menyajikan tinjuan perkembangan sains abad ke-20 serta faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Banyaknya materi yang harus disampaikan maka
kami membetasi pada perkembangan sains biologi, kimia dan biokimia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkanuraian di atas,masalah-masalah yang
inginpenulisjelaskandansampaikanadalah :
1. Bagaimanakah Sejarah Perkembangan Filsafat Sains?
2. Apa Hakikat Filsafat Sains?
3. Apa Sumber-sumber Ilmu Menurut Sains Sekuler dan Sains Islam?
4. Apa Persyaratan-persyaratan Sains?
5. Apa Hakikat Ontologi Sains?
6. Apa Hakikat Aksiologi Sains?
7. Apa Hakikat Epistemologi Sains?
8. Apa Hubungan antara Filsafat dan Sains?
9. Apa Perbandingan antara Filsafat dan Sains?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Adapuntujuandaripembuatanmakalahiniadalah :
1. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Filsafat Sains
2. Untuk mengetahuiHakikat Filsafat Sains
3. Untuk mengetahuiSumber-sumber Ilmu Menurut Sains Sekuler dan
Sains Islam
4. Untuk mengetahui Persyaratan-persyaratan Sains
5. Untuk mengetahui Hakikat Ontologi Sains
6. Untuk mengetahui Hakikat Aksiologi Sains
7. Untuk mengetahui Hakikat Epistemologi Sains
8. Untuk mengetahui Hubungan antara Filsafat dan Sains
9. Untuk mengetahui Perbandingan antara Filsafat dan Sains

D. Manfaat Penulisan Makalah


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai
pengetahuankepadamahasiswa dalam mempelajari pemikiran filsafat.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Sejarah Perkembangan Filsafat Sains


Masyarakat primitif menganut pemikiran mitosentris yang mengandalkan
mitos guna menjelaskan fenomena alam. Perubahan pola pikir dari mitosentris
menjadi logosentris membuat manusia bisa membedakan kondisi real dan ilusi,
sehingga mampu keluar dari mitologi dan memperoleh dasar pengetahuan ilmiah.
Ini adalah titik awal ma-nusia menggunakan rasio untuk meneliti serta
mempertanyakan dirinya dan alam raya.
1. Filsafat kuno dan abad pertengahan
Di masa ini, pertanyaan tentang asal usul alam mulai dijawab dengan
pendekatan rasional, tidak dengan mitos. Subjek (manusia) mulai mengambil
jarak dari objek (alam) sehingga kerja logika (akal pikiran) mulai dominan.
Sebelum era Socrates, kajian difokuskan pada alam yang berlandaskan spekulasi
metafisik. Menurut Heraklitos (535-475 SM), realita di alam selalu berubah, tidak
ada yang tetap (api sebagai simbol perubahan di alam) sementara Parmenides
(515-440 SM) mengatakan bahwa realita di alam merupakan satu kesatuan yang
tidak bergerak sehingga perubahan tidak mungkin terjadi.
Pada era Socrates, kajian filosofis mulai menjurus pada manusia dan mulai
ada pemikiran bahwa tidak ada kebenaran yang absolut. Beberapa filosof
populernya adalah Socrates (479-399 SM), Plato (427-437 SM), dan Aristotles
(384-322 SM). Socrates mendefinisikan, menganalisis, dan mensintesa kebenaran
objektif yang universal melalui metode dialog (dialektika). Plato mengembangkan
konsep dualisme (adanya bentuk dan persepsi). Ide yang ditangkap oleh pikiran
(persepsi) lebih nyata dari objek material (bentuk) yang dilihat indra. Aristotles
menyatakan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis).
Filsuf ini juga memperkenalkan silogisme, yaitu penggunaan logika berdasarkan
analisis bahasa guna menarik kesimpulan. Pada abad pertengahan (abad 12–13
SM) mulai dilakukan analisis rasional terhadap sifat-sifat alam dan Allah (Tuhan),
analisis suatu kejadian/materi, bentuk, ketidaknampakan, logika dan bahasa. Salah
satu filsufnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274).
2. Filsafat modern (abad 15 – sekarang)
Berkembang beberapa paham yang menguatkan kedudukan humanisme
sebagai dasar dalam perkembangan hidup manusia dan pengetahuan. Paham
rasionalisme menyatakan bahwa akal merupakan alat terpenting untuk
memperoleh dan menguji pengetahuan. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya
dengan menyisihkan pengetahuan indra. Menurut Rene Descartes (paham
rasionalisme dan skeptisme), pengetahuan yang benar harus berangkat dari
kepastian. Untuk memastikan kebenaran sesuatu, segala sesuatu harus diragukan
terlebih dahulu. Keragu-raguan membuat manusia bertanya/mencari jawaban
untuk memperoleh kebenaran yang pasti (manusia harus berpikir rasional untuk
mencapai kebenaran).
Pada paham empirisme, segala sesuatu yang ada dalam pikiran didahului
oleh pengalaman indrawi. Pengetahuan dikembangkan dari pengalaman indra
secara konkrit dan bukan dari rasio. Menurut John Locke (empirisme dan
naturalisme), pikiran awalnya kosong. Isi pikiran (ide) berasal dari pengalaman
indrawi (lahiriah dan batiniah) terhadap substansi (benda) di alam. David Hume
(skeptisme dan empirisme) mengatakan ide atau konsep didalam pikiran berasal
dari persepsi (kesan terhadap pengalaman indrawi) dan gagasan (konsep makna
dari kesan) terhadap suatu substansi, bukan dari substansinya. Sementara menurut
Francis Bacon, pengetahuan merupakan kekuatan untuk menguasai alam.
Pengetahuan diperoleh dengan metode induksi melalui eksperimen dan
observasi terhadap suatu fenomena yang ingin dikaji. Paham lainnya adalah
idealisme yang dianut Barkeley: ada disebabkan oleh adanya persepsi; dan paham
idealisme – kritisisme yang dikembangkan Imanuel Kant. Menurut Kant, hakikat
fisik adalah jiwa (spirit) dan pengetahuan adalah hasil pemikiran yang
dihubungkan dengan pengalaman indrawi. Paham ini menggabungkan konsep
rasionalisme dengan empirisme. Paham positive-empiris (Aguste Comte)
menyatakan bahwa realita berjalan sesuai dengan hukum alam sehingga
pernyataan pengetahuan harus bisa diamati, diulang, diukur, diuji dan diramalkan.
Sementara paham pragmatisme William James menyatakan kebenaran suatu
pernyataan diukur dari kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional
(bermanfaat) dalam kehidupan praktis. Pernyataan dianggap benar jika
konsekuensi dari pernyataan tersebut memiliki kegunaan praktis bagi manusia.

B. Hakikat Filsafat Sains


Falsafah ialah satu disiplin ilmiah yang mengusahakan kebenaran yang
bersifat umum dan mendasar. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani
philosophia, yang berarti love of wisdom atau mencintai kebenaran. Empat hal
yang melahirkan filsafat yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan
keraguan. Ketakjuban terhadap segala sesuatu (terlihat/tidak) dan dapat diamati
(dengan mata dan akal budi) serta ketidakpuasan akan penjelasan berdasarkan
mitos membuat manusia mencari penjelasan yang lebih meyakinkan dan berpikir
rasional.
Hasrat bertanya membuat manusia terus mempertanyakan segalanya,
tentang wujud sesuatu serta dasar dan hakikatnya. Pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan untuk memperoleh penjelasan yang lebih pasti menun-jukkan adanya
keraguan (ketidakpastian) dan kebingungan pada manusia yang bertanya.
Ciri berpikir secara filsafat adalah radikal (berpikir tuntas, atau mendalam
sampai ke akar masalah); sistematis (berfikir logis dan terarah, setahap demi
setahap); dan universal (berpikir umum dan menyeluruh, tidak terbatas pada
bagian-bagian tertentu, tetapi melihat masalah secara utuh) dan ranah makna
(memikirkan makna terdalam berupa nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan).
Dalam filsafat, digunakan nalar dan pernyataan-pernyataan untuk
menemukan kebenaran dan pengetahuan akan fakta. Ketika menyelesaikan
masalah secara falsafah, seseorang tidak harus merujuk pada sumber lain tapi
hendaknya bisa menjawab masalah yang dipikirkannya menggunakan akal
budinya, dengan pikiran yang bebas. Jika seseorang berfikir sangat dalam ketika
menghadapi suatu masalah dalam hubungannya dengan kebenaran, maka orang
itu dapat dikatakan telah berpikir secara filsafati dan kajian yang tersusun oleh
pemikirannya itu disebut falsafah.
Objek material dari suatu kajian filsafat adalah segala yang ada mencakup
apa yang tampak (dunia empiris) dan apa yang tidak tampak (dunia metafisik)
sementara objek formalnya adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan
rasional tentang segala yang ada (objek material). Suatu masalah akan menjadi
masalah falsafah jika masalah tersebut tidak bisa diselesaikan dengan kaidah
pengamatan atau kaidah sains.
Masalah falsafah biasanya melibatkan masalah tentang konsep, ideologi,
dan masalah-masalah lain yang bersifat abstrak, contohnya apakah kebenaran?
Apakah ilmu pengetahuan? Berpikir filsafati biasanya bertujuan untuk mencari
jawaban atas masalah yang sifatnya baik dan bisa memajukan umat manusia.
Sains berarti ilmu, yaitu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu dan bersifat
koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan.
Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan ilmu. Jika ilmu terbatas
hanya pada persoalan empiris, maka filsafat mencakup masalah diluar empiris.
Secara historis, ilmu berasal dari kajian filsafat karena pada awalnya filsafatlah
yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada secara sistematis, rasional,
dan logis. Filsafat merupakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.
Perkembangan kajian terkait dengan masalah empiris menimbulkan
spesialisasi keilmuan dan menghasilkan kegunaan praktis. Sehingga, filsafat sains
merupakan disiplin ilmu yang digunakan sebagai kerangka dasar/landasan
berpikir bagi proses keilmuan. Seorang ilmuwan yang mampu berfikir filsafati,
diharapkan bisa mendalami unsur-unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara
menyeluruh sehingga bisa memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang
dikembangkannya, termasuk manfaatnya bagi pengembangan masyarakatnya.
Untuk memahami arti dan makna filsafat sains, di bawah ini dikemukakan
pengertian filsafat sains dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Sains:
1. Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the
methods of scientific thinking and tries to determine the value and
significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat sains membahas
dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
2. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study
of the nature of science, especially of its methods, its concepts and
presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual
discipines.” (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis
mengenai sains, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan
praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-
cabang pengetahuan intelektual.)
3. Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the
relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”.
(Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-
hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
4. May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically
neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang
netral secara etis dan filsafat, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan
– landasan sains.
5. Peter Caws, filsafat sains merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba
berbuat bagi sains apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh
pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini
membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan
menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di
lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan
sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-
teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan
kesalahan).
6. Stephen R. Toulmin menyatakan sebagai suatu cabang sains, filsafat sains
mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses
penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola
perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-
pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-
landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal,
metodologi praktis, dan metafisika).

Sehingga filsafat sains adalah disiplin ilmu yang digunakan sebagai telaah
sistematis mengenai sains, mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah,
percobaan dan teori, serta penjelasan mengenai landasan–landasan sains.

C. Sumber - Sumber Ilmu Menurut Sains Sekuler dan Sains Islam


1. Menurut Sains Sekuler
Sains sekuler melihat ilmu dari dua sumber yaitu rasio dan
pengalaman yang diperkenalkan aliran rasionalisme dan emperisme.
Menurut rasionalisme dengan pendekatan deduktifnya menyatakan
didapatkan ilmu itu dari ide, bukan ciptaan manusia. Faham ini biasa
disebut idealisme dan faham ini menyatakan dengan penalaran yang
rasional bisa mendapatkan satu kebenaran.
Untuk kaum imperealis ilmu itu diketahui lewat satu pengalaman
tetapi mereka tidak bisa membuktikan hahekat pengalaman itu, karena alat
yang diperoleh manusia itu mempunyai keterbatasan yaitu panca indra
yang sangat memiliki keterbatasan.
Selain dua sumber di atas ada juga sumber lain yang
berupa intuisi, yaitu suatu proses kebenaran tanpa melalui belajar lebih
dahulu. Jadi sumber ilmu menurut sains sekuler diperoleh melalui hasil
usaha maksimal manusia dengan melaui pengamatan dan hasil kerja rasio
secara maksimal. Menurut Imanuel Kant perlu mengkritisi kedua aliran
tersebut agar terdapat kenetralan jangan menjadi berat sebelah maka ia
muncul dengan aliran kritisisme. Di samping itu Titus menekankan bahwa
perlu digaris bawahi pertentangan filosof sains sekuler tentang sumber
ilmu, ia menekankan kedua aliran di atas dinilai sebagai sumber
pengetahuan yang mungkin. Menurut filsafat sains sekuler ada empat
sumber pengetahuan.
 Manusia yang memiliki otoritas. Filsafat sekuler menempatkan
adanya manusia yang mendapat otoritas sebagai sumber ilmu yaitu
mereka yang karena otoritasnya tepat dan relefan dijadikan sebagai
sumber pengetahuan tentang sesuatu hal. Otoritas tersebut
didasarkan pada kesaksian yang bisa diberikannya.
Pada zaman modern ini orang yang ditempatkan mendapat otoritas
misalnya dengan pengakuan melalui gelar, ijazah, hasil publikasi
resmi, namun penempatan otoritas sebagai sumber pengetahuan
tidaklah dilakukan dengan penyandaran pendapat sepenuhnya.
Dalam arti tidak dilakukan secara kritis untuk tetap bisa menilai.
 Indra, Dalam pandangan filosof sains modern indra adalah
peralatan pada diri manusia sebagai salah satu sumber internal
pengetahuan. Untuk mengetahui kemampuan indra bisa diajukan
pertanyaan, bagaimana bisa mengetahui besi dipanaskan bisa
memuai atau air bisa membeku menjadi es, menurut filsafat sains
sekuler terhadap pertanyaan seperti ini indra bisa menjawabnya.
Ilmu sekuler mengembangkan prinsip tersebut secara metodis
melalui pengamatan terarah dan eksperimen untuk mendapatkan
data dari fakta emperik. Untuk mewujudkan hal itu, ilmu sekuler
menggunakan peralatan teknologis untuk menjalankan prinsip
presepsi indra dalam mempresepsi secara terarah terhadap data,
fakta yang relefan.
 Akal, Dalam kenyataan ada pengetahuan tertentu yang bisa
dibangun oleh manusia tanpa harus atau tidak bisa
mempresepsinya dengan indra terlebih dahulu manusia bisa
membangun pengetahuan. Bertitik tolak dari pandangan seperti ini,
maka filsafat ilmu sekuler menempatkan akal adalah salah satu
sumber ilmu pengetahuan. Pandangan ini merupakan representasi
dari pandangan filsafat rasionalisme yang dalam pandangan
moderatnya berpendirian bahwa manusia memiliki potensi
mengetahui.
 Intuisi, Bahwa suatu sumber pengetahuan yang mungkin adalah
intuisi atau pemahaman yang langsung tentang pengetahuan yang
tidak merupakan hasil pemikiran yang sadar atau presepsi rasa
yang langsung. Memahami istilah intuisi dalam arti kesadaran
tentang data-data yang langsung dirasakan. Jadi intuii merupakan
pengetahuan tentang diri sendiri. Intuisi ada dalam pemahaman
kita tentang hubungan antara kata-kata yang membentuk
bermacam-macam langkah dan argumen.

2. Sumber ilmu menurut sains Islam


Islam melihat Allah sebagai maha pencipta dan yang diciptakan
sebagai hamba, manusia termasuk yang diciptakan. Maka yang dihasilkan
oleh manusia adalah memiliki beberapa kelemahan, dengan kekurangan
dan kelemahan itu tidak mungkin ia sebagai sumber ilmu. Dan Allah yang
mengajarkan kepada manusia tentang apa yang tidak diketahuinya, dan
melengkapi manusia segala perlengkapan dan fasilitas mendengar,
melihat, dan hati sebagai timbangan atas apa yang hendak dibuat oleh
manusia. Dan Allah sudah tegaskan dalam QS. Al- Nahl (16): 78: Bahwa
Allah keluarkan manusia dari perut ibunya masih dengan tidak tahu apa-
apa. Pada saat itu Allah melengkapi pada manusia pendengaran,
penglihatan agar manusia itu menyadari dan bersyukur atas apa yang
diberikan dan pada ayat lain Allah menyuruh manusia itu untuk selalu
belajar mencari ilmu, melalui pendidikan. Ini menunjukkan bahwa
manusia bukan sumber ilmu tetapi sumber ilmu itu dari Allah.
Pandangan bahwa Allah adalah sumber ilmu tidak berarti bahwa
manusia tidak memiliki ilmu tetapi Allah sebagai sumber ilmu yang
mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya, dan Allah
melengkapi manusia segala perlengkapan dan jalan yang meniscayakan
manusia mengusahakan untuk perolehan ilmu. Dan manusia bisa menjadi
jalan bagi manusia lain untuk memperoleh ilmu dan orang seperti adalah
orang yang mempunyai otoritas yang diperoleh dari Allah sebagai jalan
bagi manusia lain untuk memperoleh bagian kecil dari ilmu Allah yang
banyak itu. Maka tidak mungkin manusia menjadi sumber ilmu.

D. Persyaratan-persyaratan Sains
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang
apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut
sebagai ilmu pengetahuan. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu pengetahuan
banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
1. Objektif, Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan
masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya
dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih
harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah
kebenaran, yakni penyesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut
kebenaran objektif bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek
penunjang penelitian.
2. Metodis, adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi
kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.
Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian
kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti:
cara, jalan. Secara uniurn metodis berarti metode tertentu
yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan
suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang
teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh,
menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat
menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam
rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang
bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut
180.
Sains (Ilmu) adalah sistem pengetahuan dibidang tertentu yang bersifat
umum, sistematis, metodologis, logis, objektif, empiris, memuat dalil-dalil
tertentu menurut kaidah umum, berguna untuk mencari kebenaran ilmiah yang
kemudian bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup
manusia. Sains merupakan kumpulan pengetahuan yang menjelaskan hubungan
sebab akibat suatu objek yang diteliti berdasarkan metode tertentu, yang
merupakan satu kesatuan sistematis. Sementara itu, pengetahuan merupakan
bentukan pola pikir asosiatif antara pikiran dan kenyataan yang didasarkan pada
kumpulan pengalaman sendiri/orang lain di suatu bidang tertentu tanpa
memahami hubungan sebab akibat yang hakiki dan universal diantaranya
sehingga tidak masuk dalam kelompok ilmu karena belum dapat menjelaskan
pertanyaan mengapa. Filsafat sains terutama diarahkan pada
komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga eksistensi ilmu, yaitu
ontologi, epistemologi dan aksiologi.

E. Ontologi Sains
Pada pembelajaran hakikat sains ini ada dua pengetahuan yaitu pengetahuan
rasional dan pengetahuan empiris. Masalah rasional dan empiris inilah yang akan
dibahas. Pertama, masalah rasional. Dalam sains, pernyataan atau hipotesis yang
dibuat haruslah berdasarkan rasio. Misalnya hipotesis yang dibuat adalah “makan
telur ayam berpengaruh positif terhadap kesehatan”. Hal ini berdasarkan rasio :
untuk sehat diperlukan gizi, telur ayam banyak mengandung nilai gizi, karena itu,
logis bila semakin banyak makan telur ayam akan semakin sehat. Hipotesis ini
belum diuji kebenarannya, kebenarannya barulah dugaan,tetapi hipotesis itu telah
mencukupi syarat dari segi kerasionalannya. Kata “rasional” di sini menunjukkan
adanya hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.
Kedua, masalah empiris. Hipotesis yang dibuat tadi diuji (kebenarannya)
mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk menguji hipotesis ini digunakan
metode eksperimen, misalnya pada contoh hipotesis di atas, pengujiannya adalah
dengan cara mengambil satu kelompok sebagai sampel, yang diberi makan telur
ayam secara teratur selama enam bulan, sebagai kelompok eksperimen. Demikian
juga, mengambil satu kelompok yang lain, yang tidak boleh makan telur ayam
selama enam bulan, sebagai kelompok kontrol. Setelah enam bulan, kesehatan
kedua kelompok diamati. Hasilnya, kelompok yang teratur makan telur ayam
rata-rata lebih sehat. Setelah terbukti (sebaiknya eksperimen dilakukan berkali-
kali), maka hipotesis yang dibuat tadi berubah menjadi teori. Teori ”makan telur
ayam berpengaruh terhadap kesehatan” adalah teori yang rasional - empiris.
Teori seperti ini disebut sebagai teori ilmiah (scientific theory).
Cara kerja dalam memperoleh teori tadi adalah cara kerja metode ilmiah.
Rumus baku metode ilmiah adalah : logico - hypotheticom - verificatif (buktikan
bahwa itu logis - tarik hipotesis - ajukan bukti empiris). Pada dasarnya cara kerja
sains adalah kerja mencari hubungan sebab akibat, atau mencari pengaruh sesuatu
terhadap yang lain. Asumsi dasar sains ialah tidak ada kejadian tanpa sebab.
Asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional.
Selain itu, ilmu pada dasarnya bebas nilai, artinya ilmu hanya memberi nilai
benar atau salah terhadap sesuatu. Tidak pernah ilmu memberi nilai baik atau
buruk, halal atau haram,sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah, perlu atau
tidak perlu. Oleh pakar atau pengguna ilmu itulah kemudian sering berubah fungsi
penilaiannya, jadi bukan oleh ilmu itu sendiri. Bahkan pada perkembangannya
kita sering mendengar istilah, disamping rumpun sesuai dengan bidang kajian,
adanya rumpun ilmu hitam yang penggunaanya untuk membantu niat tidak baik.
Putih atau menjadi hitam tentu lebih dikarenakan oleh orang-orang yang
menggunakan atas penguasaan ilmu tersebut. Atau pihak lain yang merasa
terkenakan oleh penggunaan ilmu tersebut.
Dari kajian ontologis sains diatas memunculkan disiplin-disiplin ilmu yang
lain. Secara garis besar terdapat dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Sains Kealaman
1. Astronomi;
2. Fisika ; mekanika, bunyi, cahaya, dan optic, fisika, nuklir;
3. Kimia ; kimia organik, kimia teknik;
4. Ilmu bumi ; paleontology, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogy,
geografi.
5. Ilmu hayat ; biofisika, botani, zoology
b. Sains Sosial
1. Sosiologi ; sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan
2. Antropologi ; antropologi budaya, antropologi ekonomi, antropologi
politik
3. Psikologi ; psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal
4. Ekonomi ; ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan
5. Politik ; politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional
c. Berikut ada tambahan dari dua sains di atas, yaitu :
1. Seni ; seni abstrak, seni grafik, seni pahat, seni tari
2. Hukum ; hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat
3. Filsafat ; logika, etika, estetika
4. Bahasa ; sastra
5. Agama ; Islam, Kristen, Confucius
6. Sejarah ; sejarah Indonesia, sejarah dunia

F. Aksiologi Sains
Aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai.
Artinya, netralitas ilmu hanya pada ontologis keilmuan sementara dalam
penggunaannya harus berlandaskan moral dan ditujukan untuk kebaikan manusia
tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiga hal yang
mendasari alasan ini adalah: secara faktual telah diketahui bahwa ilmu digunakan
untuk tujuan destruktif (perang); perkembangan ilmu memungkinkan ilmuwan
memprediksi akses yang mungkin timbul jika terjadi penyalahgunaan ilmu dan
perkembangan ilmu telah sedemikian rupa sehingga berpeluang mengubah
manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika
dan rekayasa sosial. Agar kegunaan ilmu itu tidak menjadi bencana bagi manusia
dan kemanusiaan, maka seorang ilmuwan haruslah melandasi kegiatan ilmiahnya
dengan asas-asas moral dan kode etik profesinya dengan penuh tanggung jawab.
G. Epistemologi Sains
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode,
dan batasan pengetahuan manusia. Epistimologi berasal dari kata episteme yang
berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Jadi epistimologi adalah ilmu
yang membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya.
Persoalan-persoalan penting yang dikaji dalam epistimologi berkisar pada
masalah: asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan,
hubungan antara pengetahuan dan keniscayaanm hubungan antara pengetahuan
dan kebenaran, kemungkinan skeptisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan
pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi baru mengenai dunia. Semua
persoalan tersebut diatas terkait dengan persoalan-persoalan penting filsafat
lainnya seperti: kodrat kebenaran, kodrat pengalaman dan makan.
Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan yang terkait dengan cara
memperoleh pengetahuan dan metode keilmuan. Epistemologi adalah
pengetahuan sistematik mengenai ilmu pengetahuan membahas tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau
cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran ilmu.
Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan
metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Rasio,
pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana
mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal
model-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis,
fenomenologi dan sebagainya. Di dalam epistemologi juga dibahas bagaimana
menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok
ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori koherensi, korespondesi
pragmatis, dan teori intersubjektif.
Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan (ilmu),
maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun ilmu tersebut
harus benar. Ilmu tentang suatu objek dikembangkan berdasarkan analisis yang
sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Metode ilmiah
menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan
penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara
empiris dan menggunakan bahasa, matematika dan statistika sebagai sarana
berpikir ilmiah. Kebenaran ilmu dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta
(kenyataan empiris) yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui
kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi
kehidupan manusia.
Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan
kumulatif, dan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai fakta
dengan yang tidak sehingga terjadi penyempurnaan teori atau paradigma yang
akhirnya membawa ilmu tersebut menjadi sains normal. Contoh dari
epistemologi ilmu dibahas dalam materi sains normal.

H. Hubungan Antara Filsafat dan Sains


Pada akhirnya kita memang melihat adanya sebuah hubungan antara filsafat
dengan sains. Mereka memiliki spirit dan tujuan yang sama yaitu jujur dan
mencari kebenaran. Dalam pencarian kebenaran ini sains menentukan dalam
dirinya sendiri tugas khas tertentu dan tugas ini memerlukan batas-batas tertentu.
Tetapi penyelidikan pikiran manusia yang selalu ingin tahu, melukai batas-batas
ini dan menuntut perembesan terhadap wilayah yang berada di balik bidang sains,
dengan demikian lalu filsafat muncul.

I. Perbandingan Antara Filsafat dan Sains


Dalam hal ini tidak salah bahwa keduanya memiliki persamaan, dalam hal
ini bahwa keduanya merupakan hasil ciptaan kegiatan pikiran manusia, yaitu
berfikir filosofi spekulatif dan berfikir empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya,
terutama untuk aliran filsafat pendidikan tradisional, adalah bahwa filsafat
menetukan tujuan dan science manentukan alat sarana untuk hidup. Untuk lebih
jelas dan untuk lebih mengetahui tentang perbandingan antara filsafat dan sains,
maka di bawah ini akan dijelaskan tentang persamaan dan perbedaan antara
keduanya, yaitu :
1. Persamaan :
a) Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek
selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
b) Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren
yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba
menunjukan sebab akibatnya.
c) Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang
bergandengan.
d) Keduanya mempunyai metode dan system.
e) Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan
seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektifitas) akan pengetahuan
yang lebih mendasar.

2. Perbedaan :
objek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu
segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu
(pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya ilmu hanya
terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-
kotak sedangkan kajian filsafat tidak terkokta-kotak dalam disiplin
tertentu. Obyek formal (sudut pandang) filsafat itu bersifat fregmentaris,
karena mencari pengertian dari segala sesuatu ada itu secara luas,
mendalam dan mendasar, sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik,
dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifat teknik yang berarti
bahwa cara-cara ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan
realita. Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjol
daya spekulasi, kritis dan pengawasan, sedangkan sains haruslah diadakan
riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai sains terletak
pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari
nilainya.
BAB III
KESIMPULAN

Masyarakat primitif menganut pemikiran mitosentris yang mengandalkan


mitos guna menjelaskan fenomena alam. Namun seiring perkembangan zaman
dan perkembangan pengetahuan maka dalam menjelaskan suatu fenomena alam
dilakukan penelitian, kajian lanjut, pengamatan berdasarkan teori, dan metode-
metode ilmiah.

Filsafat sains adalah disiplin ilmu yang digunakan sebagai telaah sistematis
mengenai sains, mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah, percobaan dan
teori, serta penjelasan mengenai landasan–landasan sains. Epistemologi sains
dapat dimulai dari pengetahuan sistematik mengenai ilmu pengetahuan,
membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas, dan
kebenaran ilmu. Sedangkan aksiologi sains yaitu agar kegunaan ilmu itu tidak
menjadi bencana bagi manusia dan kemanusiaan, maka seorang ilmuwan haruslah
melandasi kegiatan ilmiahnya dengan asas-asas moral dan kode etik profesinya
dengan penuh tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA

Dampier, W. C. (1936). A History of Science. New York : The McMillan.Co.

Darmodjo, Hendro. (1986). Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Karunika.

Khun Thomas. (1993). Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja
Rosda Karya.

Blogdetik : Makalah Filsafat Sains (Diakses pada 31/10/2018)

Anda mungkin juga menyukai