Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU

Ahmad Fajril
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Email: ahmadfajrylk25@gmail.com *)1

Abstrak

Mengetahui perkembangan filsafat sangatlah penting peranannya terhadap


perkembangan pemikiran manusia untuk kedepannya. Sebab, pembahasan
tentang filsafat akan menyelidiki, menggali, dan menelusuri sedalam, sejauh,
dan seluas mungkin semua tentang hakikat hidup dan aspek di dalamnya.
Dipandang perlu untuk diketahui bagaimana sejarah perkembangan filsafat
ilmu itu sendiri, baik filsafat hukum maupun filsafat islam. Karena dengan
berfilsafat akan memberi pandangan yang lebih luas yang dapat memepengaruhi
dalam kerangka berpikir, penelitian Ini menggunakan pendekatan sejarah,
bahwa filsafat Ilmu tidak terlepas dari berbagai dinamika sejarahnya dengan
berbagai periodesasi dan masa kejayaannya.

Kata kunci: filsafat, sejarah, periodesasi, hukum, Islam

Abstract
Knowing the development of philosophy plays a very important role in the
development of human thought in the future. Because, discussions about
philosophy will investigate, explore and explore as deeply, as far and as widely
as possible all the nature of life and its aspects. It is considered necessary to
know the history of the development of the philosophy of science itself, both legal
philosophy and Islamic philosophy. Because doing philosophy will provide a
broader view that can influence the framework of thinking, this research uses a
historical approach, that philosophy of science cannot be separated from various
historical dynamics with various periodizations and periods of glory.
Keywords: philosophy, history, periodization, law, Islam.
________________________________________________________________

PENDAHULUAN/INTRODUCTION
1
Ahmadfajrylk25@gmail.com
Secara umum, filsafat biasanya dipahami dari dua sisi, yaitu
sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis bagi proses
keilmuan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan
cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan objek khusus yaitu
ilmu pengetahuan dan sudah memiliki sifat dan karakter hampir
sama dengan filsafat pada umumnya. Sementara sebagai landasan
filosofis bagi proses keilmuan dan merupakan krangka dasar dari
proses keilmuan itu sendiri. Artinya filsafat itu mecakup makna
yang mengarahkan kepada penelaan secara ilmiah sebagai sumber
pengetahuan dan ilmu.
Perkembangan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang
ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan melalui
proses bertahap, dan evolutif. Karenanya, untuk memahami
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan
pembagian atau klasifikasi secara periodik. Setiap periode sejarah
pekembangan ilmu pengetahuan menampilkan ciri khas tertentu.
Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu
kepada peradaban Yunani. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat
dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu
memperkuat keberadaan filsafat. Kajian filsafat sudah menjadi
bahan ajar bagi tiap-tiap universitas, berbagai kajian mengenai
hakikat kehidupan. Bagaimanakah kehidupan ini? Dan untuk apa
kehidupan ini?, manusia mempunyai seperangkat pengetahuan
yang bisa membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk.
Orang lain yang mampu memberikan penilaian secara objektif dan
tuntas serta pihak lain yang melakukan penilaian sekaligus
memberikan arti, itu adalah pengetahuan yang disebut filsafat.
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan
ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat
menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani,
“philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari,
ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain.
Mengetahui perkembangan filsafat sangatlah penting peranannya
terhadap perkembangan pemikiran manusia untuk kedepannya.
Sebab, pembahasan tentang filsafat akan menyelidiki, menggali,
dan menelusuri sedalam, sejauh, dan seluas mungkin semua
tentang hakikat hidup dan aspek di dalamnya.
Oleh karena itu, dipandang perlu untuk diketahui
bagaimana sejarah perkembangan filsafat ilmu itu sendiri, baik
filsafat hukum maupun filsafat islam. Karena dengan berfilsafat
akan memberi pandangan yang lebih luas yang dapat
memepengaruhi dalam kerangka berpikir.

PEMBAHASAN/DISCUSSION
A. Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu
Berfilsafat bisa diartikan merenungi hal-hal mendasar yang
pokok melalui cara berpikir kritis. Berpikir kritis diartikan suka
bertanya apa saja tentang segala hal pokok dan mendasar. Dalam
realitasnya, bertanya apa saja merupakan karakter bawaan
manusia sejak ia terbuka pikirannya dan tersadar akan
keadaannya. Sehingga dengan demikian, berfilsafat merupakan
upaya melanjutkan naluri manusia terkait dengan kuriositasnya
terhadap berbagai macam hal, terutama terhadap pertanyaan-
pertanyaan tentang hakikat dirinya sebagai manusia. Dengan
demikian, banyak yang meyakini dan mengkaji bahwa sejarah
filsafat tidak dapat dilepaskan dari sejarah peradaban Yunani
Kuno, peradaban Abad Pertengahan, modern, hingga sampai kini,
meski kita juga tidak menafikan bahwa peradaban Yunani Kuno
banyak dipengaruhi oleh peradaban-peradaban lainnya,
1. Periode Yunani Kuno
Yunani kuno adalah tempat bersejarah di mana sebuah bangsa
memilki peradaban. Oleh karenanya Yunani kuno sangat identik
dengan filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan.
Adapun tokoh-tokoh filsuf pada saat itu seperti:
a. Thales (624-545 SM).
Thales adalah filsuf pertama sebelum masa Socrates. Menurutnya
zat utama yang menjadi dasar segala materi adalah air. Pada
masanya, ia menjadi filsuf yang mempertanyakan isi dasar alam.
b. Pythagoras (580 SM–500 SM).
Ia adalah seorang matematikawan dan filsuf Yunani yang
paling dikenal melalui teoremanya. Dikenal sebagai Bapak
Bilangan, dan salah satu peninggalan Phytagoras yang terkenal
adalah teorema Pythagoras.
c. Socrates (469 SM-399 SM)
Socrates yang terpenting bagi pemikiran Barat adalah
metode penyelidikannya, yang dikenal sebagai metode elenchos,
yang banyak diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok.
Karena itu, Socrates dikenal sebagai bapak dan sumber etika atau
filsafat moral, dan juga filsafat secara umum.
d. Plato (427 SM-347 SM)
Ia adalah murid Socrates dan guru dari Aristoteles. Karyanya yang
paling terkenal ialah Republik (Politeia) dimana ia menguraikan
garis besar pandangannya pada keadaan ideal. Selain itu, ia juga
menulis tentang Hukum.
e. Aristoteles (384 SM- 322 SM)
Ia adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari
Alexander yang Agung. Ia memberikan kontribusi di bidang
Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, dan Ilmu Alam.
Munculnya filsafat Yunani dipengaruhi oleh banyak faktor yang
seakan-akan mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani Kuno.
Menurut K. Bertens, setidaknya ada tiga faktor, yaitu:
1) Dongeng/takhayul/mitos : Mitos dianggap asal mula
percobaan untuk mengerti tentang asal dunia, bagaimana
kejadian alam, sebab-sebab alam, dan lain sebagainya.
2) Kesusastraan Yunani yang memiliki nilai-nilai edukatif.
3) Pengaruh ilmu pengetahuan : Pengaruh ilmu pengetahuan
seperti ilmu ukur dan ilmu hitung dari Mesir. Ilmu astronomi
dari Babilonia.
2. Periode islam
Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu
pengetahuan berada di pangkuan perdaban Islam. Dalam
lapangan kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti:
a. Al-Hāwī karya al-Rāzī (850-923)
Merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh
perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya.
b. Rhazas
Mengarang suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan
judul Continens.
c. Ibnu Sina (980-1037)
Menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun) yang menjadi
standar dalam ilmu kedokteran di Eropa.
d. Al-Khawarizmi (Algorismus atau Alghoarismus)
Menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M, yang menjadi
buku standar beberapa abad di Eropa. Dan masih bnyak ilmuan
islam yang lainnya.
3. Periode renaisans dan modern
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah
berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan
kebangkitan kembali (renaisance) pusaka Yunani di Eropa pada
abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini
adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan
kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin.
Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara
yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan
penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan
kembali kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada abad ke-14
M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung)
pada abad ke-18 M.
4. Periode Kontemporer
Zaman ini bermula dari abad 20 M dan masih berlangsung
hingga saat ini. Zaman ini ditandai dengan adanya teknologi
canggih, dan spesialisasi ilmu-ilmu yang semakin tajam dan
mendalam. Pada zaman ini bidang fisika menempati kedudukan
paling tinggi dan banyak dibicarakan oleh para filsuf. Sebagian
besar aplikasi ilmu dan teknologi di abad 21 merupakan hasil
penemuan mutakhir di abad 20. Pada zaman ini, ilmuwan yang
menonjol dan banyak dibicarakan adalah fisikawan. Bidang fisika
menjadi titik pusat perkembangan ilmu pada masa ini. Fisikawan
yang paling terkenal pada abad ke-20 adalah Albert Einstein. Ia
lahir pada tanggal 14 Maret 1879 dan meninggal pada tanggal 18
April 1955 (umur 76 tahun). Alberth Einstein adalah seorang
ilmuwan fisika. Dia mengemukakan teori relativitas dan juga
banyak menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum,
mekanika statistik, dan kosmologi.
Filsafat juga dilahirkan atas kesangsian dan ketidakpuasan
manusia terhadap realitas di sekelilingnya, seperti kemampuan
pancaindra yang seringkali menipu, mitos yang seringkali
menimbulkan beragam pertanyaan tentang kebenarannya, serta
pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan kesadaran
eksistensi manusia yang kecil dibanding alam semesta, bagaimana
kebenaran fakta/ kenyataan tersebut.
B. Sejarah Filsafat Hukum
1. Periode Yunani Kuno
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau
dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang
berperan dalam perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman
Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara
lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547
SM), Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap
meyakini adanya keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan
keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan
nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio).
Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan
hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa
keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan
alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia
harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup
manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang
berasal dari logos.
Parmenides berpendapat bahwa logos membimbing arus
alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang
terang dan tetap. Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini
hidup sudah terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum sofis
tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak menentukan isi
hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena
dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar
pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan kata
lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif
tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif, karena
manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya. Tetapi
Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini.
Socrates berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum
negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran
objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme,
yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa
hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya,
Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran
objektif orang harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini
dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria
sehingga tidak dapat memahami hukum yang ideal bagi
rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan
kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar
dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan)
filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak
menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran
Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan
negara yang ideal. Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat
dengan Plato.
Aristoteles berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada
pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah membawa
kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak
dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan
terhadap hukum yang dibuat penguasa polis. Hukum yang harus
ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif.
Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum
positif muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang
berbeda.
Menurut Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu
hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena
hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah
berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Pada zaman
Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan
kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme
(berasal dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata
Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan
filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian. Epikurisme
muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif)
yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian
antar individu, sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme
merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat.
Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip
kesederajatan manusia dalam hukum. Ide dasar aliran ini terletak
pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa
dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan
kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan logos,
yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut
Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan
menurut hukum positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif
baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif sesuai dengan
hukum alam.
2. Periode Pertengahan
Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman
pertengahan dimulai sejak runtuhnya kekuasaan kekaisaran
Romawi pada abad ke-5 SM, yang ditandai dengan kejayaan
agama Kristen di Eropa (masa scholastic), dan mulai
berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan
terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada
saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku
Germania, sehingga tidak ada satupun peninggalan peradaban
bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal sebagai
masa gelap.
Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman
pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman
Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh dari Plato
tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda
duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan
atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa manusia.
Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik
telah meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum
yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang
dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang
berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif
(Lex Positivis).

3. Periode Modern
Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan
keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman
Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi
kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat,
berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru,
lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya. Demikian juga
terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat
dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio
manusia sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio
manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum.
Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum
alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme
hukum.
Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam
perkembangan dunia merupakan rentetan dari fase berikutnya,
artinya setiap pengertian mengandung lawan dari pengertian itu
sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak ada atau
sebaliknya mengandung kategori yang ketiga, yaitu akan menjadi.
Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang
pada akhirnya dari setiap synthese merupakan titik tolak dari
tritunggal yang baru. Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir
lain, seperti Karl Marx dan Engels yang menyatakan bahwa
hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam masyarakat.
Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan
bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama dengan
perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny ini telah
memasukkan faktor sejarah ke dalam pemikiran hukum yang
selanjutnya melahirkan pandangan relatif terhadap hukum.
Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.
C. Sejarah Perkembangan Filsafat islam
Awal mula ilmu-ilmu datang dari luar, teristimewa ilmu
pengetahuan dari Yunani, baru terjadi pada masa-masa Abbasyah,
sedangkan ilmu yang dinamakan filsafat baru muncul pada masa
tenggang waktu setelah abad sesudah itu, kemungkinan sekali
masa itu adalah sejak harun ar-Rasyid menjadi Khalifah. Berbagai
teori telah dikemukakan mengenai asal mula filsafat Islam oleh
orang orang-orang yang tahu maupun sebaliknya, atau bahkan
menganggap tidak perlu mempelajari sumber aslinya. Satu
diantara teori-teori tersebut menyatakan bahwa filsafat Islam lahir
berkat masuknya pemikiran Yunani kedalam pemikiran Arab.
Dikatakan hanya melalui melalui penerjemahan buku-buku ilmu
pengetahuan yang berbahasa Yunani kedalam bahasa Arablah
kaum muslimin dirangsang dan dipaksa untuk berpikir, oleh
karena banyak ajaran dan kepercayaan yang sampai kepada
bangsa Arab melalui karya-karya itu yang bertentangan dengan
dasar-dasar agama Islam.
Tidak dapat disangkal bahwa ajaran yang dianut oleh Plato
dan muridnya Aristoteles bertentangan dengan al-Qur’an dan
tidak dapat diterima oleh umat Islam. Terdapat beberapa
pandangan berbeda mengenai matriks filsafat Islam.
Pandangan pertama menyatakan bahwa filsafat Islam
adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: “It is Greek
philosophy in Arabic garb”, kata Renan, De Boer, Gutas, dan lain-
lain. Artinya, menurut mereka tidak ada yang baru, istimewa atau
hebat, sama sekali dari filsafat Islam karena seluruhnya berasal
dari Yunani mulai sistem ontologi, epistemologi, psikologi, hingga
kosmologinya.
Pandangan kedua mengatakan filsafat Islam memang lahir
dari dalam, hasil ijtihad intelektual Muslim sendiri. Akan tetapi
pemicunya datang dari luar, sehingga filsafat Islam itu dikatakan
muncul sebagai reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang
telah berkembang pada waktu itu. Pandangan ini disuarakan oleh
Maimonides, seorang padri Yahudi asal Andalusia: “Ketahuilah
olehmu bahwa semua yang dilontarkan oleh orang Islam pemikir
Mutazilah maupun Asy’ariyah mengenai masalah-masalah
(teologi) ini adalah pandangan-pandangan yang didasari pada
sejumlah proposisi, yaitu proposisi-proposisi yang sumbernya
buku-buku orang Yunani dan Syria yang berusaha menyanggah
pendapat-pendapat para filsuf dan berusaha mematahkan
pernyataan-pernyataan mereka.
Ketiga adalah pandangan revisionis yang melihat filsafat
Islam sebagai hasil kegiatan intelektual yang wujud sejak kurun
pertama Islam. Perbincangan tentang kemahakuasaan dan
keadilan Tuhan serta kaitannya dengan kebebasan dan tanggung
jawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat Islam
yang ketika itu masih disebut kalâm. Pandangan revisionis ini
diwakili antara lain oleh M.M. Sharif dan Alparslan Acikgenc.
Menurut mereka, filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan
berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika
unsur-unsur internal umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat
Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an
yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual
intelektual kaum Muslim. Merupakan suatu kesalahan besar jika
menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari proses
penerjemahan teks-teks Yunani tersebut. Sejarah filsafat Islam jika
ditilik dari sejarahnya, maka akan ditemukan dua faktor
pendorong, baik yang dari Islam sendiri (internal) maupun yang
dari luar (eksternal).
Faktor internal yang mendorong munculnya filsafat Islam
tak lain dan tak bukan adalah al-Qur’an, yang di dalamnya
terdapat ayat yang menyuruh manusia untuk berpikir. Dalam
upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut, minimal ada
tiga model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi
filosofis, yaitu :
1. penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk
mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang
sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan
terbatas pelaksanaannya.
2. Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang
mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan
istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Di sini
justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding
yang pertama.
3. Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang
tidak ada penyelesaian-nya secara langsung dalam teks.
Adapun faktor eksternal yang mendorong munculnya
filsafat Islam adalah adanya penerjemahan buku-buku bahasa
Yunani ke bahasa Arab. Yang berawal dari persentuhan dunia
Islam dengan peadaban-peradaban dari luar. Persentuhan dengan
peradaban luar tersebut dimulai sejak Alexander Agung
mengalahkan Darius pada tahun 331 sebelum Kristus di Arbela,
sebelah timur ingris. Kemudian Penggunaan bahasa Yunani
diganti dengan bahasa Arab pada abad ke-7 M pada masa ‘Abd al-
Mâlik bin Marwân (685-705 M), khalifah Dinasti Umayyah ke-5.
Kota Alexandria (Iskandariah), Antioch (Antakia), dan Bactra
(Balkh) kemudian menjadi pusat perkembangan ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani.
Ketika Dinasti ‘Abbasiyyah dipimpin oleh Hârûn al-Rasyîd,
kontak dunia Islam dengan filsafat tetap berlangsung. Ia belajar di
Persia di bawah asuhan Yahyâ bin Khâlid ibn Barmak. Keluarga
Barmak adalah keluarga yang gemar dengan filsafat. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan
Yunani mulai dilakukan.
Pada masa ini buku-buku yang diterjemahkan lebih
berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan, dan
dokumentasi dokumentasi pemerintahan, demi untuk
mengimbangi dan melepaskan dari pengaruh model administrasi
Bizantium-Persia. Setelah itu, kemudian buku-buku yang
berkaitan dengan ilmu- ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia,
dan antropologi.
Proses penerjemahan atas pemikiran filsafat Yunani ke
dalam bahasa Arab kemudian baru benar-benar dilakukan secara
serius setelah masa pemerintahan Bani Abbas, khususnya pada
masa kekuasaan khalifah al-Makmun (811-833 M). Di antara
mereka yang dikenal berjasa dalam usaha-usaha penerjemahan ini,
antara lain, adalah oleh orang-orang seperti Ja’far ibn Yahya al-
Barmaki (767-803 M), Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan
Hunain ibn Ishaq (809-873 M). Masuknya filsafat ke dunia Islam
berkaitan dengan keinginan umat Islam untuk membekali
argumen-argumen keagamaan mereka dengan basis rasional.
Kaum Muslim ketika itu menghadapi kalangan non-Muslim di
daerah-daerah kekuasaan baru yang menyerang Islam dengan
argumenargumen rasional filosofis. Untuk kepentingan itu,
mereka mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.
Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani
dinilai oleh mereka memiliki titik-temu dengan penghargaan yang
juga tinggi oleh Islam terhadap akal. Program penerjemahan atas
buku-buku filsafat Yunani tersebut dilakukan secara masal dan
gencar karena memang adanya kebutuhan akan hal itu Ada
beberapa hal yang harus diperhatian.
Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti hanya
meniru atau mengikuti semata. Harus dipahami bahwa suatu ide
dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai
macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan
orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk
menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles misalnya,
jelas murid Plato tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang
tidak dikatakan gurunya. Hal seperti itulah yang juga terjadi pada
para filsuf Muslim. Al-Farabi dan Ibnu Rusyd misalnya, walau
banyak dilhami oleh pemikiran filsafat Yunani, tetapi itu tidak
menghalanginya untuk mempunyai pandangannya sendiri yang
tidak sama dengan filsafat Yunani.
Kedua, bahwa ide, gagasan, atau pemikiran adalah ekspresi
dan hasil dari proses komunikasi sang tokoh dengan kondisi sosial
lingkungannya. Artinya, sebuah ide, gagasan, atau pengetahuan
tidak bisa lepas dari akar sosial, tradisi, dan keberadaan seseorang
yang melahirkan ide atau pemikiran tersebut. Pemikiran filsafat
Yunani dan Islam lahir dari keyakinan, budaya dan kondisi sosial
yang berbeda.
Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran
rasional telah lebih dahulu ada dan mapan dalam tradisi keilmuan
muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya
Yunani mulai diterjemahkan sejak masa kekuasaan Bani Umaiyah
(661-750 M), tapi baru diterjemahkan secara massal pada masa
dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa khalifah al-
Makmun (811-833 M). Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional
telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam,
yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi), Seperti
bidang fiqh Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum
(istinbat) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istihlah, qiyas, dan
lainnya telah lazim digunakan.
Tokoh-tokoh mazhab fikih yang melahirkan metode istinbat
dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-
767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767 -820 M) dan Ibnu Hanbal
(780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.

SIMPULAN/CONCLUSION
Perkembangan filsafat ilmu tidak terlepas dari sejarah
periode yunani kuno, pertengahan/islam, modern dan periode
kontemporer, dimana awal mula filsafat ini munculnya mitos atau
dongeng, kesustraan yunani, serta pengetahuan ilmu tentang
hitung dan ilmu ukur hingga sampai sekarang ilmu yang
dilahirkan sudah membahas tentang teknologi.
Perkembangan filsafat hukum tidak terlepas dari sejarah
periode yunani kuno, pertengahan, modern, dimana dengan
masing-masing periode nya memiliki pembahasan yang berbeda,
tentu perbedaan ini didasari dengan bagaimana persfektif para
filsuf itu sendiri dengan mendefinisikan hukum tersebut, ada yang
mengatakan bahwa hukum itu harus objektif, ada yang juga
berpendapat hukum itu subjektif, hingga munculnya pandangan
kaum rasionalisme dan positivisme.
Perkembangan filsafat islam bermula ketika runtuhnya
kerjaan romawi, sehingga umat islam pada masa dinasti umayyah
ke 5 mulai menerjemahkan buku-buku filsafat yunani ke bahasa
arab, sehingga berbagai pendapat yang mucul tentang awal mula
filsafat islam ini ada, pendapat pertama mengatakan bahwa
munculnya ilmuwan islam akibat dari penerjemahan massal buku-
buku filsafat yunani pada masa itu, pendapat kedua berpendapat
bahwa memang ilmuwan islam sudah ada sejak kurun islam
namun ada faktor atau pemicu dari luar, dan pendapat terakhir
bahwa ilmuwan islam muncul sejak awal kurun islam, alasannya
karena memang ilmuwan islam dalam menemukan ilmu
berlandaskan Al-Qur’an dengan berbagai metode yang dikenal
dengan istilah takwil, muktasyak, dan qiyas.
DAFTAR PUSTAKA/REFERENCES
Arif, Syamsuddin. Filsafat Islam Antara Tradisi Dan Kontroversi.
Jurnal Tsaqafah. Vol. 10, No. 1, 2014.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2013.
Darmodiharjo, Darji. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa
Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1995.
Hadariansyah, Pengantar Filsafat Islam: Mengenal Filusuf-Filusuf
Muslim Dan Filsafat Mereka. Banjarmasin: Kafusari Press,
2012.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah.
Jakarta: Rajawali, 1988.
Mohammad, Muslim. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar, 2006.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998.
Qadir. Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Terj. Hasan
Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius,
2015.
Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1990.
Soleh, A. Khudori. Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat
Islam. Jurnal TSAQAFAH. Vol. 10, No. 1, Mei 2014.
Steenbrink, Karel A. Metodologi Penelitian Agama Islam di
Indonesia: Beberapa Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah
Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad 19.
Semarang: LP3M IAIN Walisongo Semarang, 1985.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya Di Indonesia: Suatu
Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Surajiyo. Suatu Pengantar Ilmu Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara,
2005.
Syamsudn, Fachri. Dasar-Dasar Filsafat Islam. Jakarta: The Minang
Kabau Foundation, 2005.
Wardani. Filsafat Islam Sebagai Filsafat Humanis-Profetik.
Banjarmasin: IAIN ANTASARI PRESS, 2014.

Anda mungkin juga menyukai