Anda di halaman 1dari 8

Kritik Epistemologi : Empirisme

Oleh : Hendi Supriatna


Epitemologi merupakan suatu teori pengetahuan yang fundamental. Kajian tersebut sangat
berguna bagi kehidupan manusia. Yang memuat secara mendasar filosofis tentang asal, struktur
metode dan tujuang ilmu pengetahuan. Ia memperjelas hakikat kebenaran dan kriteriannya.
Sehingga membantu memperoleh kebenaran tersebut. Epistemolgi merupakan bangunan
filsafat yang sangat penting. Sehingga penulis tertarik untuk mengkajinya secara mendalam.
Descartes (1596-1650), merupakan plopor epistemologi menjadi sebuah disiplin ilmu. Sejak
renaissance ilmu ini dikembangkan. Leibniz (1646-1716), kemudian disempurnakan oleh John
Locke diinggris. Selain itu, zaman Yunani Kuno sampai sekarang adalah gejala penggetahuan.
Epistemologi sebagai teori pengetahuan yang memuat analisis kritis. Begitu juga memberikan
telah yang mendalam terhadap kajian filsafat dewasa ini.
Yang menjadi dasar pertanyaan “bagaimana saya tau bahwa saya dapat tau?”1 Bagaimana suatu
pengetahuan itu bisa dikatakan sebagai pengetahuan dan diuji kebenarannya. Termuat juga
bagaimana ciri-ciri umum dan hakikat pengetahuan manusia. Dan mencoba diuji secara logis
dan rasional. Kemudian bisa dipertanggungjawabkan pengetahuannya. Maka epistemologi
adalah suatu upaya rasional untuk menimbang dan memutuskan nilai kognitif manusia dan
interaksinya. Baik dalam kehidupan dirinya, sosial dan hubungannya dengan alam. Dari sisi
kehidupan itu manusia bisa membedakan mana kesalahan dan mana kebenaran. Yang ditelaah
secara kritis, dan dipertanyaakan hasil kegiatan manusia mengetahui. Bukan atas dasar asumsi
–asumsi manusia. Tetapi ditarik kesimpulan berbagai kegiatan logis dan rasional.
Seiring berkembangnya waktu, perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari pengaruh
dinamika sosial, budaya dan politik. Dengan demikian menurut Amsal Bakhtiar perkembangan
pengetahuan dapat diperiodesasikan sesuai zamannya. Yaitu periode Yunani kuno, periode
islam, periode renaissance, modern dan konteporer. Tetapi dalam bukunya Jujun S
Suriasumantri, (1985:87) menjelaskan Geroge J. Mouly perkembangan pengetahuan menjadi
tiga (3) tahap yaitu animisme, ilmu empiris, dan ilmu teoritis. Dalam konsepsi agama awal
mula pengetahuan dari semenjak Nabi Adam dilahirkan. Tetapi secara teoritis berkembangnya
ilmu pengetahuan mengacu pada peradaban Yunani. Perkembangan tersebut terjadi dari mitos-
mitos hingga pola pikir manusia yang rasional.
Periode Yunani kuno merupakan peradaban munculnya pengetahuan. Periode tersebut berhasil
mensistematiskan pengetahuan. Bertrand Russel mengatakan diantara semua sejarah, tak ada
yang begitu mencengangkan atau begitu sulit diterangkan selain peradaban Yunani. Abad 6
SM sampai dengan sekitar abad 6 M, zaman ini mengunakan sikap an inquiring attitude (suatu
sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis). Dan tidak senang menerima sikap
langsung diterima saja. Sehingga pada periode ini pengetahuan berkembang secara pesat.
Bahakan sampai pada puncak kejayaannya atau zaman keemasan. Banyak ilmuan seperti
Thales (624-545 SM), Pythagoras (580-500 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM),
Aristoteles (384-322 SM), Kemudian periode islam yang tak terbantahkan. Kita bisa
dibuktikan bahwa islam juga cinta akan pengetahuan. Seperti dalam suarat al-Alaq dengan

1
J. Sudarminta, Epistemolgi Dasar, Suatu Pengantar, PT Kanisus, hlm 18
diawali kata perintah iqra’ yang berarti (bacalah). Dunia intelektual islam berkembang pada
saat Eropa dan Barat mengalami titik kegelapan (drak ages).2
Ketika zaman pertengahan para filsuf lebih berkutat pada isu-isu keagamaan. Pada zaman ini,
keilmuan yang medalam lebih memperjelaskan tingginya posisi akal. (Harun Nasution,
1998:7). Kemudian periode renaissance dan modern. Perkembangan ini merupakan
perkembangan intelektual.3 Ciri utamanya adalah humanisme, individualisme, sekularisme,
dan rasionalisme. Sains berkembang pesat karena semangat dan hasil empirisme. Akan tetapi
umat kristen ditingalkan karena semangat humanisme.
Kemudian periode kontemporer, masa ini merupakan identik dengan teknologi canggih. Abad
20 M banyak membicarakan adalah fisikawan. Periode ini banyak membuktikan empirik atas
dasar pengamatan dan eksperimen. Linus Pauling (1953) mengarang sebuah buku yang
berjudul the nature of chemical bond menggunakan mekanik kuantum. Kemudian karya
tersebut memuncak dalam permodelan fisik DNA. Selain itu, komunikasi dan informasi
berkembang pesat, seperti yang kita rasakan hari ini. Seperti adanya listrik, elektronika,
robotika, internet, komputer dan lain sebagainya. Sungguh perkembangan itu melaui usaha-
usaha penalaran, percobaan dan penyempurnaan.4
Tetapi disini kita akan fokus pada kritik epistemologi. Terlebih pada kritik klaim-klaim
empirisme. Sudah banyak para filusuf dan teolog yang mengkeritik hal tersebut. Tetapi disini
sedikit sekali kritik terhadap sudut epistemologi. Masalah yang akan ditawarkan disini adalah
kita sedang berada dalam periode sains. Disini banyak berbenturan mengenai sains dan
keyakinan masyarkat timur yang religius. Kemudian banyak sains yang diklaim bahwa itu
adalah sains. Padahal semua itu hanyalah sebuah filsafat. Dan banyak juga klaim seperti itu
adalah fiksi. Kemudian kita akan menenpatkan posisi empirisme secara proporsional lewat
sudut epistemologi. Sehingga nanti akan menemukan metodelogi kajian empirisme yang
mendukung pada klaim-klaim kebenaran.
Perlu kita ketahui, dalam kamus besar bahasa indonesia kritik adalah kecemasan atau
tanggapan atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap
hasil suatu karya, pendapat dan sebagainya. Sedangkan epistemologi adalah cabang ilmu
filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan. Empirisme adalah aliran ilmu
pengetahuan dan filsafat berdasarkan metode empiris atau teori yang mengatakan bahwa semua
pengetahuan didapat dengan pengalaman. Akan tetapi epistemologi merupakan teori
pengetahuan bagaimana pengetahuan tersebut bisa dikatakan sebagai pengetahuan.
Tetapi epistemologi tidak berhenti disitu. Tidak hanya sebatas manusia mengetahui. Tetapi
dikritisi bagaimana proses mengetahuinya. Terlebih bagaimana proses tersebut apakah keliru
atau tidak. Semua itu patut dipertanyakan secara kritis. Telaah yang mendalam sebelum
menjadi sebuah keputusan yang bersifat pinal. Agar epistemologi secara kritis dinilai dan peta
pengetahuan dan pemahaman menyeluruh tentang kenyataan.5
Hakikat dari epistemologi adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar. Ketika
ingin mengetahui pengetahuan yang benar. Kita bisa mencari bagaimana proses mencari apa

2
Abdul Karim, Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Fikrah, Vol, 2 No 1, Juni 2014.hlm 3.
3
Ibid, hlm 285
4
Ibid, hlm 287.
5
J. Sudarminta, Epistemolgi Dasar, Suatu Pengantar, PT Kanisus, hlm 19
yang diketahui. Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dan tidak keliru. Yakni bagimana
menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab masalah sosial, budaya dan politik secara
empiris. Yang akan digunakan untuk mendapatkan dan mengontrol gejadian tersebut. Untuk
mengetahui hal tersebut mengapa itu terjadi. Kenapa kemiskinan itu terjadi ?. Mengapa ada
banjir?. Kenapa harus ada pemerintahan?.kenapa kita perlu adanya sekolah ?. Kenapa adanya
gunung meletus?. Mengapa kita harus masuk LPIK ?. Untuk menjawab persoalan itu. Maka
kita harus menguasai pengetahuan tentang hal itu. Dengan demikian telaah yang mendalam
dan berfikir kritis agar bisa menjelaskan berbagai fenomena seperti itu.
Yang jadi poko pengkajian epistemologi adalah kajian ilmiah. Bagaimana hubungannya kopi
dan manis. Mengapa kopi menghasilkan rasa manis. Karena ada suatu hubungan atara gula dan
kopi yang menyebabkan rasa manis.6 Kemudian dari pengujian ilmiah tersebut muncul
rasionalisme. Tumbuhnya rasionlitas yang secara kritis membahas persoalan yang bersifat
mitos. Menurut poper sejarah berfikir ini berkemabang. Yang menyebabkan dari tradisi
doktrin atau dogmatis menuju rasionalias. Dan mencoba meganalisis sekacara kritis mencoba
menemukan kebenaran. Karena rasionalitas dibangun oleh cara berfikir deduktif. Kemudian
dibangun argumentasi kebenaran yang bersifat koheren. Mungkin hal itu membuat kita yakin.
Akan tetapi bangunan seperti itu tidak terlepas dari subjektif. Berfikir rasional kelemahannya
adalah karena sangat bertentangan dengan kenyatan. Seperti kita tau tentang relasi internal.
Bagaimana kita tentang sesuatu sedang kita tidak mengetahui keseluruhan sistem.
Kemudian disisi lain epistemologi merupakan bagaimana pengetahuan itu datang. Bagaimana
kita mengetahuinya. Dan bagaimanakah kita membedakan dengan pengetahuan yang lain. Jadi,
proses pengetahuan mungkin untuk didapatkan. Seperti pengetahuan logika, etika dan estetika.
Bagaimana mengetahui kebenaran ilmiah, moral dan keindahan seni. Sedangkan mengetahui
kebenaran ilmiah adalah untuk mengetahui benar, baik dan indah. Begitupun moral bagaimana
mengetahui sesuatu itu bermakna. Kemudian keindahan apakah seniman bisa mengetahui
bahwa sesuatu itu indah. 7
Tetapi kalau menurut pandangan Murthada Muthahhari (1979). Mungkinkah epistemologi itu?
Mungkinkah kita memahami hakikat alam ini? Munginkah kita memahami hakikat manusia?
Mungkinkah kita memahami wujud ini?. Persoalan ini dijawab bahwa hakikat mmatrealisme
adalah pandangan alam. Menurutnya idelogi merupakan suatu pandangan alam. Sedangkan
yang lain ilahi (percaya tentang keberadaan tuhan). Ada pada setalah socrates menakan dirinya
dengan “kelompok ragu”. Hal ini dasarkan pada al-Ghazali dan Descartes. Kedua sosok itu
berangkat dari titik yang sama yaitu keraguan. Sampai pada tahap keyakinan. Tatkala
menurutnya Tuhan itu ada, jiwa itu ada, roh itu ada dunia ini ada. Kemudian untuk
membuktikan hal itu. kemudian dia bersandar pada indra. Menurutnya idra disini masih sangat
lemah. Selajutnya bersandar pada rasio. Akan tetapi Menurut descartes dan Murthada
Muthahhari (1979). Mengatakan “Sekalipun saya meragukan segala yang ada. Tapi saya tidak
ragu bahwa saya tengah dalam keadaan ragu”. 8 Kemudian dia juga meragukan rasio. Bahkan
meragukan tuhan dalam keadaan itu dia bingbang. Bahkan ragu akan dirinya sendiri. Tetapi
ada satu yang sedang tidak ragu yaitu bahwa saya sedang ragu.

6
Jujun S Suriasumantri, filsafat Ilmu, sebuah pengatar populer, PT Penebar Swadaya, hlm 106
7
Prof Djaja Saefullah, Pengantar filsafat, Refika Aditama, hlm 11
8
Murthada Muthahhari, Mengenal Epitemologi, Penerbit Lentera. Hlm 28
Sedangkan empirisme merupakan aliran ilmu pengetahuan dan filsafat berdasarkan metode
empiris. Atau teori yang mengatakan bahwa pengetahuan didapat dengan pengalaman.
Pengalaman merupakan serankaian peristiwa apa yang terjadi pada manusia dan interkasinya
dengan alam, diri sendiri, sosial dan juga tuhan. 9 Pengalaman manusia begitu beraneka ragam.
Kita bisa langsung melihat benda-benda diluar diri manusia. Kita bisa lihat leptop, buku, meja
dan juga benda padat. Semua itu terlihat oleh indra mata. Sehingga mengahsilkan sebuah
pengalaman. Akan tetapi disisi lain pengalaman juga ada yang bersifat refletif terhadap benda-
benda seperti diatas. Meskipun yang perlu diperhatika adalah subjek penau dan objek yang
dialami selalu ada hubungan. Ketika kita tau tentang sesuatu diluar dirinya. Pasti subjek selalu
mengandaikannya. Kesadaran tentang subjek selalalu berelasi dengan objek. Berikut juga
selalu ada pengandaian diluar dirinya. Baik itu hakikat bukan manusia sekalipun.
Yang jadi pertanyaan adalah apakah ada pengalaman tanpa non indrawi?. Bagi mereka yang
menjawab “ada” tidak menjadi masalah. Akan tetapi bagi mereka contohnya pengalaman
manusia tentang tuhan. Tetapi mereka selalu mengambil bentuk dan wahan indrawi. Disisi lain
ketika mengandaikan sesuatu. Kita pasti memerlukan suatu ingatan. Disini memiliki peran
penting bagi ingatan. Apakah bisa ketika kita sudah melihat oleh indra. Kalau tidak ada ingatan
pasti lupa. Kemudian jika melihat dan mengenal nama anggota LPIK bagaimana jadinya. Kita
akan lupa terhadap namanya berikut jalan menuju sekrepun akan lupa. Jika ingatan tidak ada.
Pengetahuan juga bisa didapatkan lewat kesaksian. Ketika kita bicara dengan orang lain kita
dapat informasi. Begitu juga kesaksian merupakan saksi atas indra kita. Tetapi menurut
deskartes dan para filusuf menolak kesaksian. Karena kesaksian bisa dimungkinkan menipu.
Meskipun kita memiliki gagasan yang sesuai pakta. Maka hal itu bisa menjadi sebuah
kepastian. Kemudian dari kepastian tersebut agar pengetahuan manusia bisa berkembang.
Maka lahirlah rasa ingintahu. Menurut aristoteles bahwa hakikat manusia adalah selalu ingin
mengetahui. Akan tetapi perkembangsan saat kita bisa lihat. Ketika sudah banyak bertanya.
Malahan sama orang tua suka dimatikan. Pikiran dan penalaranya serasa terbatasi. Ruang-
ruang kebebasan serasa terbatasi oleh pertanyaan anak yang susah dijawab bahkan serasa tabu
untuk dijawab.
Pengetahuan terbagi kedalam dua aliran besar. Yaitu rasionalisme dan empirisme. Yang
dikembangkan oleh Plato dan Descartes. Bahwa menurutnya pengetahuan dapat berkembang
lewat akal. Rasionalisme mengatakan bahwa untuk menemukan pengetahuan yang pasti bukan
dari pengalaman idrawi. Melaikan harus dicari dari alam pikiran. 10 Menurut kalangan
rasionalis kesadaran manusia merupakan hasil pikiran. Karena melalui indra sangat kabur.
Descartes merupakan tokoh rasionalisme. Dia mengasumsikan bahwa indra manusia sangat
kabur.
Dari rasionalisme tersebut muncullah empirisme. Aliran yang tergolong dalam empirisme
adalah John Lock, Berkeley, dan David Hume. Secara umum mereka mencari pengetahuan
lewat pengalaman indrawi. Yang menjadi bapak empirisem adalah John Lock. Dia berpendapat
semua iteligibilitas ditarik dari indra. Ketika kita lahir pikiran kita kosong. Dari hasil repleksi
dan sensasi membuat suatu pengetahuan. Dari keadaan pengalaman indrawi objektif menjadi
sebuah pikiran. Dan dari situlah kebenaran subjektif berawal. Tidakan seseorang mengetahui
akan berakhir didalam ide. Dan akan membuat kesimpulan subjektif dari ide tersebut. Menurut

9
J. Sudarminta, Epistemolgi Dasar, Suatu Pengantar, PT Kanisus, hlm 32
10
Ibid hlm 79
John Lock bentuk geometrix dan kesan subjektif pada akhirnya. Akan tetapi persoalan tersebut
dikritik oleh George Berkeley. Menurutnya pengalaman identik dengan ide dan bersifat
spiritual. “Esse est aut percepere aut percipi” ada berarti persepsi atau mempersepsi. Ketika
kita menganalisis data dan budi kita terbatas. Maka untuk mempersepsi dari ketidak terbatasan
itu disebut ada. Dari keadaan itulah bahwa Allah itu ada. Akan tetapi ide tersebut adalah ide
Allah. Jika ide itu berasal dari saya maka ide saya mampu mengatasi diri sendiri. Tetapi jika
ide itu dari Allah maka saya meyakini bahwa secara mental juga dari Allah. Dia juga
mengembangkan suatu pandangan tentang jarak dan ruang. Maka diatas menjelaskan sesuatu
yang bersifat metafisik. Hapir sama dengan idealisme. Ketika melihat meja sebagai objek yang
diamati. Dan indra yang mengamati itulah adalah korelasi dengan indra yang lain. Seperti yang
terdapat pada relasi internal. Bukan indra penglihat saja tapi ada kemungkinan disebabkan oleh
indra yang lain. Sehingga george Berkley mengatakan Being is seeming (duniaku adalah
duniaku). Sehingga argumentasi tersebut tidak konsisten gagasan realisme Berkeley. Tetapi
argumen tersebut lebih condong pada idealisme. 11
Akan tetapi David Hume kosisten terhadap menenpatkan pengamatan. Hal itu dilakukan karena
pengamatan akan memperoleh kesan-kesan (impressions). Begitu juga dengan ide atau
gagasan. Karena pengamatan munculan kesan-kesan. Baik itu pengalaman lahiriah atau
batiniyah. Ide hanyalah tembusan dari kesan-kesan. Sebab tidak bisa dihadirkan dengan ide
pkiran saja. Dia sangat setia tentang pengalaman indrawi. Menurutnya bukanlah keniscayaan
dan menolak terhadap sebab akibat atau kausalitas. Pemahaman tentang keniscayaan tersebut
hanyalah subjektif manusia. Ketika ada kejadian A . Kemudian kejadian B maka kejadian A
selalu dihubungkan dengan kejadian B. Padahal semua itu hanyalah keniscayaan subjektif dari
diri manusia. 12 Ternayata pengetahuan manusia hanyalah tersodor oleh pengalaman. Bukan
kejadian hukum alam yang memberikannya kebenaran absolut.
Kemudian yang menjadi jembatan rasionalisme dan empirisme adalah fenomenalisme baru.
Yakni yang dicetuskan oleh Imanuel Kant. Rasionalisme memutuskan adalam pikirkan yaitu
mengenai ide-ide yang bersifat universal. Tapi kenyataanya rasionalisme gagal dalam
mengabsahkan pengetahuan. Tanpa terjatuh pada pateisme. Sedangkan empirisme dalam
menjawab sebuah pertanyaan yaitu persepsi indrawi. Hal tersebut mengklaim bahwa persepsi
indrawilah yang menadapatkan pengetahuan objektif. Akan tetapi empirisme gagal pula.
Karena empirisme hanya bersifat partikular. Kegagalan kedua inilah yang menjembatani
munculnya pemikiran Kant.
Dalam karya Kant yaitu Critique Of Fure Reason menjelaskan pengetahuan itu bercorak
analisis-sintesis dan apriori-aposteriori. Menurutnya rasionalisme itu bersifat analitik-apriori
(mendahului pengalaman). Sedangkan empirisme sintesis aposteriori (Setelah pengalaman).
analitik-apriori mengkontruksi dimensi pengetahuan dengan universalitas dan keniscayaan.
Tautologis merupakan jenis pengetahuan tersebut. Hanya bergulat kepada membulak balikan
pengetahuan. Pengetahuan seperti itu tidak bisa menemukan suatu pengetahuan baru. Akan
tetapi kebenaran sintesis adalah kebenaran bersyarat. Karena tergantung dunia seadanya.
Kelebihan jenis ini yaitu mampu menemukan suatu pengetahuan baru. Akan tetapi
kelemehannya karena tidak lebih dari aspek pengalaman. Sehingga yang seperti ini akan

11
Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Kritis Terhadap Epistemologi Imanuel Kant , Jurnal Filsafat Vol 28 No 1 (2018),
hlm 80.
12
Ibid hlm 81
menghilangkan aspek universalitas. 13 Kemudian menurut kant ada lagi konsep sintesis-apriori.
Keputusan ini tidak bersifat tautologi tapi bersifat universal. Tapi ini harus memiliki forma dan
materi. Forma adalah bersifat idependen dan diperoleh dari intelek. Tetapi itu eksistensinya
didahului oleh pengalaman. Sedangkan materi adalah eksistensi yang disebabkan oleh luar.
Forma disini memiliki aspek universalitas dan niscaya. Putusan sintesis-apriori akan
mengakibatkan keniscayaan dan bersifat universalitas. Karena akan tetap sebagai sesuatu yang
empiris.
Maka dari itu, Kant memisahkan antara noumenon (das Ding an Sich) dan fenomenon.
Fenomenon adalah objek ada dalam pikiran. Juga hal itu merupakan produk intelektual subjek
sendiri. Kemudian dia meletakan subjek yang diarahkan oleh objek. Jadi pikiran mampu
membangun realitas. Jadi bukanlah realitas yang membangun pikiran. Oleh karena itu pikiran
akif. Mengkategorikan berbagai objek. Maka dari situ Kant membentuk deduksi transendental.
Menurutnya indrawi tidaklah cukup untuk mengetahui. Hal tersebut harus dibawa keduabelas
kategori. Yaitu : kesatuan, pluralitas, totalitas, kenyataan, negasi, pembatasan, substansi,
sebab akibat, kesalingan, kemungkinan, aktualitas dan kebutuhan. Itulah bahwa realitas
dibentuk oleh pikiran.14
Tiga bagian utama yang dungkapkan dalam Critique of Pure Reason. Yakni transendental
aesthethic merupakan pengetahuan yang masuk akal yang terdapat ruang dan waktu. Seperti
pengetahuan matematika. Trancendental analytic yaitu suatu pengetahuan objeknya yaitu
dunia fisik. Pada bagian ini fisika murni yeng merupakan pengetahua yang sempurna.
Kemudian yang terakhir yaitu trancendental dialectic. Yaitu penyelidikan objektif yang
melampoi pengalaman. Seperti esensi Allah, alam semesta.
Pada akhirnya Kant sendiri meninggalkan problem tentang sesuatu tidak bisa dilapoi oleh
manusia. Dititik inilahkan tidak bisa menyelesaikan persoalan mengenai metafisika. Manusia
hanya bisa menjakau pada persoalan penomena. Akan tetapi persoalan noumena tidak bisa
mencapainya karena tidak bisa menyentuhnya. Persolan pengetahuan tidak hanya lewat
saintifik. Akan tetapi persoalan moral dan estetika bisa juga mencapai pada suatu pengetahuan
yang baru.
Dengan konsep seperti itu Kant memadukannya. Akan tetapi kelemahan yang terjadi diantara
rasioanlisme dan empirisme yaitu, yang diperlihatkan oleh Honer dan Hunt. Dia mengatakan
kelemahan atas rasionalisme dibentuk oleh ide yaang tidak bisa dilihat dan diraba. Semua itu
tidak bisa didukung oleh keyakinan yang sama. Terlebih banyak orang yang sulit menerapkan
konsep rasionalisme terhadap kehidupan praktis. Gagalnya rasionalisme dalam menjelaskan
perubahan dan menemukan pengetahuan baru. Kemudian banyak ide yang sudah pasti tetapi
dilain waktu suka berubah. Dan empirisme juga banyak kelemahan pengalaman yang menjadi
dasar empirisme. Tetapi apa yang disebut pengalaman. Pada akhirnya itu hanyalah sebuah
rangsangan panca indra sendiri. Tetapi kenyataannya pengalaman tidak berhubungan langsung
dengan objektif. 15 Konsepsi yang bergantung kepada persepsi indrawi. Akan tetapi pada
kenyataannya indra manusia itu terbatas. Dan tidak bisa memberikan keyakinan yang
sempurna. Sehingga panca indra bisa menyesatkan karena tidak ada suatu perlengkapan antara

13
Ibid hlm 82
14
Ibid hlm 84
15
M. Ied Al Munir, Tinjauan Terhadap Metode Empirisme dan Rasionalisme, Jurnal Filsafat Vol, 3 No 3 2004
hlm 242.
khayalan dan Fakta. Apakah empirisme memberikan pengetahuan yang pasti. Menurutnya
tidak karena empirisme merupakan pengetahuan yang mungkin. Sehingga empirisme juga
dapat diragukan.
Untuk mengawinkan dua pandangan tersebut banyak usaha-usaha yang dijalankan. Seperti
diatas yang dilakukan oleh Kant salah satunya. Bahwa ilmu itu bersifat induktif-empiris.
Karena para ilmuan menemukan fakta-fakta tertentu dilakukan dengan empiris dan terindra.
Menurut Munir dari kedua inilah menghasilkan metode ilmiah. Akan tetapi penulis lebih
tertarik pada pemikiran Kant yang mendekati pada ranah metafisik. Karena itulah yang
memberikan sesuatu yang lebih esensial. Kant menegaskan ada rasio murni yang dapat
menegtahui objek fenomen melalui persepsi indrawi. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan
besarnya adalah bagaimana terkait yang bukan fenomen. Seperti cinta, keabadian, sampai
kepada tuhan. Semua itu tidak bisa dipenuhi dengan persepsi indrawi. Jika rasio murni
diterapkan melalui persepsi indrawi. Ini tidak tepat karena hanya dilandaskan atas insight
pengetahuan. Tetapi bukannya pengetahuan itu berkembang secara kreatif. Dan terus menerus
berkembang berjalannya waktu.
Maka dari itu, penulis berpandangan klaim terhadap kebenaran empirisme menyoal banyak
masalah. Kegagalan yang dilakukan oleh golongan empirisme pada akhirnya tidak
memberikan pengetahuan yang pasti. Tetapi pada akhirnya keraguan yang didapat. Kita
sekarang hidup pada era sains berkelanjutan dari empiris. Terlebih kita dihadapkan kepada
keyakinan-keyakian dari timur. Dan klaim-klaim kebenaran mengatasnamakan sains. Indra itu
terbatas tidak bisa menjadi suatu keyakinan yang pasti. Seperti ketika sebuah pulpen dimasukan
kedalam air. Oleh indra yang terlihat itu bengkok. Padahal kenyataanya pulpen itu lurus.
Kemudian ketika kita melihat matahari yang terlihat oleh indra. Matahari mengelilingi bumi
tapi kenyataannya bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Kemudia ketika kita sedang
berada dalam motor yang berlaju kencang. Indra kita mempersepsikan bahwa ketika melihat
kekiri dan melihat pepohonan itu terlihat oleh indra berlari. Tetapi kenyataanya bahwa pohon
itu berdiri tegak. Bahkan dengan tegas “panca indra kita bukan hanya terbatas namun juga
dapat menyesatkan. Kemudian menurut Karl Popper semua angsa itu berwana putih. Kemudian
apakah angsa didunia ini berwarna putih. Apakah indra kita bisa menganalisis semua angsa
didunia ini. Tidak itulah kenapa disimpulkannya bahwa indra itu terbatas bahkan bisa
menyesatkan. Kenapa karena keterbatasan dalam memperoleh data dan fakta.
Kemudian dalam ranah nomena (objektif) yang dijelaskan oleh Kant. Bahwa untuk
mendekatkan pada kebenaran tidak bisa lewat indra yang subjektif. Atau dalam pemahaman
santre sesungguhnya dari Ding an Sich tidak dapat ditangkap secara sempurna oleh rasio
manusia. Hal ini yang terdapat dalam terminologi Kant. Hal itulah pada akhirnya empirisme
banyak kekurangan. Hal itulah empirisme yang dapat diperoleh oleh data dan fakta. Ketika
positivisme (kajian ilmu sosial) yang mengkalim kebenaran pada fakta dan data menyoal
banyak problem. Hal ini disisi lain kajian ilmiah adalah kajian empirisme. Atau metode
lanjutannya adalah sains modern. Bahwa yang dikatakan non empiris dengan data harus
empiris justru hal ini menjadi tidak logis.
Inilah kajian tentang metodelogi empiris tidak bisa dipertahankan. Karena banyak egemoni
empiris seperti pembuatan film G30SPKI. Mereka merancang dengan kegiatan ilmiah tetapi
itu hanyalah suatu kamuplase dari metologi empiris tersebut. Kita harus bisa membedakan
mana kegiatan fakta ilmiah dan mana kegiatan fiksi ilmiah. Semua tetang itu kita bisa keritik
dan semua hal yang berbau ilmiah tidak bisa menjadi sebuah kebenaran yang mutlak. Semua
adalah kamuplase. Dan semua adalah sabutase hegemoni lewat fiksi ilmiah yang dirancang dan
disturukturisasi lewat kajian ilmiah. Itulah bahwa kebenaran atas empirisme tidak bisa
dipertahankan semuanya adalah tergantung kepada kepentingan apa yang mereka jalankan.
Sehingga kebenaran bukan lagi menjadi sebuah kebenaran yang mutlak akan tetapi terselip
kepentingan yang tersembunyi.

Anda mungkin juga menyukai