Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN

Yulla Hidayah
1906866
Yullahidayah1@gmail.com

ABSTRAK
Filsafat sebagai ilmu dan menjadi pedoman untuk ilmu lainnya sangatlah
penting untuk dipelajari. Terkait dengan cara memperoleh kebenaran dan
pengetahuan yaitu kajiannya dengan epistemologi. Epistemologi merupakan kajian
dalam filsafat untuk mengetahui bagaimana ilmu, kebenaran diperoleh. Maka
secara garis besar epistemologi berkaitan dengan hakikat entah itu hakikat ilmu,
hakikat pengetahuan, hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat kebenaran ilmu.
Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan
ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek
telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal. Jadi
yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang
memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara
dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni,
apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan jurnal ini adalah
metode penelitian studi pustaka dan deskriptif analitis. Hasil pembahasan dalam
jurnal ini adalah kajian epsitemologi adalah membahas tentang bagaimana caranya
memperoleh ilmu pengetahuan, prosedur yang harus dilakukan dalam memperoleh
ilmu pengetahuan adalah melalui metode ilmiah, serta teori-teori kebenaran
meliputi teori korespondensi, teori koherensi, dan teori pragmatisme.

Kata Kunci: Epistemologi, korespondensi, koherensi, dan pragmatisme.


A. PENDAHULUAN
Filsafat memiliki kedudukan penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Adanya filsafat memberikan ruang khusus bagi manusia untuk
mengkaji secara mendalam ilmu-ilmu pengetahuan lainnya dan tentunya dikaitkan
dengan filsafat. Dalam kehidupan manusia, filsafat dan ilmu selalu berjalan
beriringan dan berkaitan dalam mencari kebenaran. Filsafat dan ilmu mempunyai
hubungan dalam mencari kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafat
bertugas menafsirkan fenomena semesta, kebenaran berada di sepanjang pemikiran,
sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang pengalaman. Tujuan befilsafat
menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu
disusun secara sistematis, maka kebenaran itu menjadi sistematika filsafat.
Sistematika filsafat itu biasanya terbagi menjadi tiga cabang besar filsafat,
yatu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai. Ilmu pengetahuan sebagai
produk kegiatan berpikir merupakan penentu peradaban manusia dalam
menemukan jati dirinya dan menghayati hidup agar lebih sempurna. Permasalahan-
permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan mendorong manusia untuk berpikir,
bertanya, lalu mencari jawaban atas segala sesuai yang ada, sehingga mereka
mencari kebenarannya.
Terdapat tiga masalah pokok yaitu: Apakah yang ingin diketahui?
Bagaimana memperoleh pengetahuan? Apakah nilai pengetahuan tersebut? Ketiga
pertanyaan tersebut memang sederhana, namun memiliki konteks kehidupan
manusia yang kompleks. Maka, untuk menjawabnya diperlukan sistem berpikir
yang radikal, sistematis, dan universal sebagai kebenaran ilmu yang dibahas dalam
filsafat keilmuan.
Jika kita telah mengetahui kajian utama ontologis, maka perlu juga dikaji
tentang bagaimana epistemologis dalam filsafat serta ruang lingkupnya di dalam
ilmu pengetahuan. Hal ini sangat penting karena dengan mengkaji epistemologis,
kita mendapat gambaran yang jelas tentang bagaimana ilmu diperoleh, manfaatnya
dalam kehidupan, serta kebenaran-kebenaran apa yang menjadi kajian dalam
epistemologi ilmu pengetahuan.

2
B. METODE PENELITIAN
Dalam penulisan jurnal ini, penulis menggunakan metode penelitian studi
pustaka dan deskriptif analitis. Penelitian studi pustaka yaitu penelitian yang
memanfaatkan literatur sebagai referensi, dan metode penelitian deskriptif analitif
yaitu penelitian yang mencoba menjelaskan secara rinci terkait permasalahan-
permasalahan serta solusi yang telah ditemukan.

C. HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN


1. Pengertian dan Ruang Lingkup Epistemologi
Menurut Arifin dalam Sauri (2010:6), “Epistemologi, yaitu pemikiran
tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh; apakah dari
aliran pikiran (aliran Rasionalisme), atau dari pengalaman pancaindra (aliran
Empirisisme), atau dari ide-ide (aliran Idealisme), atau dari Tuhan (aliran
Teologisme). Juga pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia, artinya
sampai di mana kebenaran pengetahuan kita. Hal ini senada dengan pendapat Sauri
(2010:19) yang menyatakan bahwa epistemologi dalam filsafat pengetahuan adalah
cabang filsafat yang menyelidiki asal mula susuna, metode-metode, dan sahnya
pengetahuan. Terdapat dua macam pertanyaan yang berkaitan dengan epistemologi.
Pertama, perangkat yang mengacu pada sumber pengetahuan kita; pertanyaan-
pertanyaan ini dapat dinamakan pertanyaan-pertanyaan epistemologi kefilsafatan,
dan erat kaitannya dengan ilmu jiwa. Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang lain
merupakan masalah-masalah semantik, yakni menyangkut hubungan antara
pengetahuan kita dengan objek pengetahuan tersebut.
Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia,
yang menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern.
Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat
yang kukuh tentang semesta (universe) dan dunia. Maka sumber-sumber pemikiran
manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin
melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.
Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-
sumber dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba
mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang

3
dianugerahkan kepada manusia. Maka dengan demikian ia dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri
manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran
dan konsep-konsep (nations) yang muncul sejak dini? dan apa sumber yang
memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini?
Sebelum menjawab semua pertanyaan-petanyaan di atas, maka kita harus
tahu bahwa pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua.
Pertama, konsepsi atau pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau
pembenaran), yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat
dicontohkan dengan penangkapan kita terhadap pengertian panas, cahaya atau
suara. Tashdiq dapat dicontohkan dengan penilaian bahwa panas adalah energi yang
datang dari matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan
bahwa atom itu dapat meledak. Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat
kaitannya, karena konsepsi merupakan penangkapan suatu objek tanpa menilai
objek itu, sedangkan tashdiq, adalah memberikan pembenaran terhadap objek.
Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya digiring
ke aspek epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut
Ritchie Calder proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia
empiris menjadikannya ia berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai apa,
bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara rapi dalam ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Epistemologi itu sendiri selalu dikaitkan dengan ontologi dan
aksiologi ilmu. Persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi
pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang
benar dengan mempertimbangkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing
ilmu.
Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan
ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek
telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi

4
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal. Jadi
yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang
memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara
dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni,
apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak cukup
dengan berpikir secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara empirik saja
karena keduanya mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu
pengetahuan. Jadi pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan
melalui metode ilmiah yang merupakan gabungan atau kombinasi antara
rasionalisme dengan empirisme sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi.
Banyak pendapat para pakar tentang metode ilmu pengetahuan, namun penulis
hanya memaparkan beberapa metode keilmuan yang tidak jauh beda dengan proses
yang ditempuh dalam metode ilmiah.
Kattsoff dalam Sauri (2010:8) berpendapat bahwa epistemologi merupakan
cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susuan, metode-metode, dan sahnya
pengetahuan. Pertanyaan mendasar yang dikajinya adalah:
a. Apakah mengetahui itu
b. Apa yang merupakan dasar (sumber) pengetahuan kita?
c. Bagaimanakah cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan?
d. Bagaimanakah cara kita membedakan antara pengetahuan dan
pendapat?
e. Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu?
f. Corak-corak pengetahuan apakah yang ada?
g. Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan?
h. Apakah kebenaran dan kesesatan itu?
i. Apakah kesalahan itu?
2. Teori Kebenaran Ilmu
Tafsir dan Anshari dalam Sauri (2010:36) menurut perspektif sains atau
ilmu pengetahuan, kebenaran dapat diperoleh melalui penyelidikan dengan
menggunakan metode ilmiah yang logis untuk mencari bukti empirik dalam upaya

5
menguji hipotesis hingga menjadi tesis atau tidak dan untuk menarik kesimpulan
yang dapat digeneralisasikan.
Kebenaran yang ditemukan berdasarkan perspektif sains adalah kebenaran
yang bersifat relatif dan masih perlu disangsikan kebenarannya melalui metode
ilmiah. Kebenaran yang diperoleh melalui metode ilmiah yang penuh dengan logika
dan bukti-bukti empirik merupakan kebenaran ilmiah. Proses metode keilmuan
pada akhirnya berhenti sejenak ketika sampai pada titik “pengujian kebenaran”
untuk mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga ukuran kebenaran
yang tampil dalam gelanggang diskusi mengenai teori kebenaran, yaitu teori
korespondensi, koherensi dan pragmatis. Penilaian ini sangat menentukan untuk
menerima, menolak, menambah atau merubah hipotesa, selanjutnya diadakanlah
teori ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni kebenaran
ilmiah. Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidak semua hal
itu langsung kita golongkan sebagai ilmu pengetahuan. Hanya pengetahuan
tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode yang sistematis,
melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah, yang dapat disebut
sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, terdapat beberapa teori tentang
kebenaran, antara lain :
a. Teori Kebenaran Korespondensi (Teori persesuaian)
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling
diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah
kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah
persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara
pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk
melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau
pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori
korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan
“kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab

6
pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang
benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa
“kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak
benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal
ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan
di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai
hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau
kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika
sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak,
maka pertimbangan itu salah.
Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai
persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan
kenyataan. Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan
memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam
pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim
sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal
sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau
dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan
objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran
sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena kebenaran
suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi
atau teori didukung fakta atau tidak.
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita
oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan
kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi
(corespondence theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu
kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau
pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang

7
berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada
lima unsur yang perlu yaitu :
a. Statemaent (pernyataan)
b. Persesuaian (agreemant)
c. Situasi (situation)
d. Kenyataan (realitas)
e. Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan
kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan
moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik,
serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.
b. Teori Kebenaran Konsistensi/Koherensi (teori keteguhan)
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat
konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang
koheren menurut logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia
pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si
Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa
karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya
dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran
pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah
pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan
berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress)
atau akan terjadi gerak putar tanpa henti.
Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai
keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran
sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu
mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas.
Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi

8
lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran
pernyataan tersebut.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel,
Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan
begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang
parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari
keseluruhan tersebut.1 Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi
kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu
situasi lingkungan tertentu.
c. Teori Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam
sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals
Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang
kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering
dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah
William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead
(1863-1931) dan C.I. Lewis.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan
rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan
dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan,2 Sehingga dapat dikatakan
bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah
apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan
dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan
manusia.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan
kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang
sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan

9
dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu
fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar,
sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan
ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu
ditinggalkan, demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung
menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan, yaitu :
a. Yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita
b. Yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen.
c. Yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan
pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling
bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang
kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita
kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita
dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan
konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan
benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.
Menurut teori pragmatis, “Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”. Dalam
pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah
mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih
disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai
kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak
mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether
really or ideally).
William James mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat dari
pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk
menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi
memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh karena itu, pernyataan
penting bagi James adalah jika suatu ide dianggap benar, apa perbedaan praktis

10
yang akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Apa
konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar dibandingkan dengan ide
yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang benar adalah ide atau teori
yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya,
ide yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi membanu kita
memenuhi kebutuhan kita.
Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang
benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh
suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu.
Kesangsian menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu
ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat
diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan
sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar
dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar
jika pada akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada
pemukiman manusia.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku
atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful)
dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis,
batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan
akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini
tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung
pada manfaat dan akibatnya.
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari
ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar
tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori
tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
3. Objektivitas Ilmu Pengetahuan
Perkembangan ilmu pengetahuan pada awal abad ke-20 berkembang
menjadi berbagai disiplin ilmu dan cabang-cabang disiplin ilmu yang didampingin
oleh perkembangan dan penyempurnaan berbagai metode penelitian. Untuk

11
menunjukkan keabsahan atau kebenaran, tampaknya istilah “intersubjektif” lebih
sahih dibandingkan “objektif”. Sauri (2010: 67) berpendapat bahwa suatu
pengetahuan disebut “objektif” bila pengetahuan itu dibimbing, baik pada tingkat
proses pembentukannya maupun pada tingkat sudah selesai sebagai suatu produk
pengetahuan, oleh objek kajian atau penelitian, dan bukan oleh berbagai tipe
prasangka dari subjek-subjek (pelaku) tertentu, walaupun mereka yang melakukan
pengkajian atau penelitian.
Istilah “intersubjektif” secara tersurat menunjukkan bahwa pengetahuan
yang telah diperoleh seorang subjek harus mengalami verifikasi oleh subjek-subjek
lain supaya pengetahuan itu lebih terjamin keabsahan atau kebenarannya, walaupun
secara tersirat tampaknya makna “verifikasi” ini juga sudah terkandung dalam
istilah “objektif”.
4. Metodologi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, proses memperoleh pengetahuan
itu sendiri adalah melalui metode ilmiah. Metode ilmiah adalah suatu rangkaian
prosedur tertentu yang diikuti untuk mendapatkan jawaban tertentu dari pernyataan
yang tertentu pula. Epistemologi dari metode keilmuan akan lebih mudah dibahas
apabila mengarahkan perhatian kita kepada sebuah rumus yang mengatur langkah-
langkah proses berpikir yang diatur dalam suatu urutan tertentu. Kerangka dasar
prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam enam langkah sebagai berikut:
a. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah
b. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan
c. Penyusunan atau klarifikasi data
d. Perumusan hipotesis
e. Deduksi dari hipotesis
f. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi)
Keenam langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut masing-masing
terdapat unsur-unsur empiris dan rasional. Menurut AM. Saefuddin bahwa untuk
menjadikan pengetahuan sebagai ilmu (teori) maka hendaklah melalui metode
ilmiah yang terdiri atas dua pendekatan: pendekatan deduktif dan pendekatan
induktif. Kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan dengan menggunakan salah
satunya saja, sebab deduksi tanpa diperkuat induksi dapat dimisalkan sport otak

12
tanpa mutu kebenaran, sebaliknya induksi tanpa deduksi menghasilkan buah
pikiran yang mandul.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kajian epistemologi merupakan kajian yang membahas tentang bagaimana
memperoleh pengetahuan. Lingkup kajian epistemologi adalah tentang metode
ilmiah yang bertujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan secara sistematis.
Teori-teori kebenaran dalam ilmu meliputi teori korespondensi, koherensi dan
pragmatisme. Objektivitas ilmu pengetahuan lebih sahih bila ditempatkan dalam
konsep intersubjektif meskipun objektif juga memiliki makna tersirat verifikasi
dalam setiap ilmu pengetahun.
2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil pembahasan, penulis menyarankan agar dalam
praktiknya kita semua dapat mengaplikasikan metode ilmiah serta teori-teori
kebenaran ilmu sehingga ilmu yang diperoleh dapat bermanfaat serta kita dapat
memberikan kontribusi lebih dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut.

13
DAFTAR PUSTAKA
AM. Saefuddin et.al. 1998. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi
Bandung: Mizan.

Jujun S. Suriasumantri. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

Tim Penulis Rosdakarya. 1998.Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1998. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media
Pratama.

Louis Kattsoff. 1992. Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Tiara Wacana.

Inu Kencana Syafii. 2004. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama.

Sauri, Sofyan. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan Agama. Bandung: Arfino Raya.

14

Anda mungkin juga menyukai