Anda di halaman 1dari 111

DAFTAR ISI

Ekosistem Hutan Pantai .................................................................................... 1

A. Deskripsi Umum Ekosistem Hutan Pantai ........................................... 1


B. Deskripsi Hutan Pantai ......................................................................... 2
C. Kondisi Biotik Ekosistem Hutan Pantai ............................................... 3
D. Vegetasi Hutan Pantai Leuweung Sancang .......................................... 8
E. Zonasi Tumbuhan Pantai di Hutan Pantai Leuweung Sancang............ 19

Ekosistem Mangrove ........................................................................................ 22

A. Deskripsi Umum Ekosistem Mangrove................................................ 22


B. Hutan Mangrove Cibako Sancang ........................................................ 28

Ekosistem Muara .............................................................................................. 45

A. Deskripsi Umum Ekosistem Muara...................................................... 45


B. Biota & Produktivitas ........................................................................... 52
C. Karakteristik pada Estuari .................................................................... 53

Ekosistem Pantai .............................................................................................. 57

A. Deskripsi Umum Ekosistem Pantai ...................................................... 57


B. Makroalga ............................................................................................. 60
C. Padang Lamun ...................................................................................... 69

Ekosistem Padang Rumput .............................................................................. 81

A. Deskripsi Umum Ekosistem Padang Rumput ...................................... 81


B. Komponen Abiotik ............................................................................... 81
C. Komponen Biotik ................................................................................. 82
D. Vegetasi Ekosistem Padang Rumput .................................................... 83
E. Karakteristik Ordo Pada Insekta ........................................................... 94

ii | M o d u l T e o r i
iii | M o d u l T e o r i
EKOSISTEM HUTAN PANTAI

A. Deskripsi Umum Ekosistem Hutan Pantai

Pantai merupakan daerah pinggir laut atau wilayah daratan yang berbatasan
langsung dengan bagian laut (Wibisono, 2005). Menurut Nybaken (1992), pantai
adalah suatu daerah dengan kedalaman kurang dari 200 meter. Pantai juga bisa
didefenisikan sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan lautan.
Ekosistem pantai letaknya berbatasan dengan ekosistem darat, laut dan daerah
pasang surut. Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut
(Leksono, 2007). Sebagai wilayah peralihan, ekosistem pesisir memiliki struktur
komunitas dan tipologi yang berbeda dengan ekosistem lainnya. Ekosistem pesisir dan
laut beserta sumber daya yang dikandungnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat
pesisir di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Beragam ekosistem yang terdapat di
wilayah pesisir secara fungsional saling terkait dan berinteraksi satu sama lain
sehingga membentuk suatu sistem ekologi yang unik (Tuwo, 2011).
Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara pengaruh daratan dan samudra.
Hal ini terlihat nyata pada mintakat pasang surut dan daerah estuari. Perubahan-
perubahan sifat lingkungan terjadi secara cepat dalam waktu dan ruang sehingga untuk
melakukan penelitian sfat-sifat lingkungan diperlukan ulangan waktu yang lebih
kerap dan jarak tempat observasi lebih dekat daripada samudra bebas (Romimohtarto
dan Juwana, 2004). Pesisir dapat dijabarkan dari dua segi berlawanan yaitu
(Wibisono, 2005) :
1. Dari segi daratan
Pesisir merupakan wilayah daratan sampai wilayah laut yang masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat darat (seperti: angin darat, drainase air tawar dari
sungai, sedimentasi)
2. Dari segi laut
Pesisir merupakan wilayah laut sampai wilayah darat yang masih
dipengaruhi sifat-sifat laut (seperti: pasang surut, salinitas, itrusi air laut ke

1|Modul Teori
wilayah daratan, angin laut). Pasang-surut merupakan gerakan naik turunnya
muka laut secara berirama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari.
Pasang-surut tidak hanya mempengaruhi lapisan di bagian teratas melainkan
seluruh masa air (Nontji, 2002).

Ekosistem pantai sendiri sangatlah luas termasuk di Asia Tenggara


(81.000 km). Di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai vegetasi pantai.
Salah satunya adalah vegetasi hutan pantai. Istilah hutan pantai pertama kali disebutkan oleh
Whitford (1911) sebagai salah satu tipe hutan. Kondisi hutan pantai umumnya berbentuk substrat
pasir serta ditemukan beberapa jenis tumbuhan pionir. Umumnya lebar hutan pantai tidak lebih dari
50 meter dan tidak jelas batas zonasinya dengan tipe hutan lainnya serta memiliki tinggi pohon
mencapai 25 meter (Goltenboth et al, 2006). Ekosistem ini juga memiliki beragam fungsi
diantaranya, dapat meredam hempasan gelombang tsunami, mencegah terjadinya
abrasi pantai, melindungi ekosistem darat dari terpaan angin dan badai, pengendali
erosi, habitat flora dan fauna, tempat berkembang biak, pengendali pemanasan global,
penghasil bahan baku industri kosmetik, biodiesel, dan obat-obatan serta sebagai
penghasil bioenergi (Tuheteru, dkk, 2012).

B. Deskripsi Hutan Pantai Leuweung Sancang


Hutan pantai Leuweung Sancang merupakan wilayah konservasi. Jenis
konservasi Leuweung Sancang termasuk ke dalam cagar alam yang berada di
Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Hutan pantai ini dibatasi
oleh Sungai Cikolomberan dan Sungai Cipalawah. Hutan pantai berhadapan dengan
hutan mangrove, memiliki lahan berpasir cukup sempit, bahkan substrat pada wilayah
ini terdapat batu karang yang belum hancur. (Irawan, 2015)
Faktor edafik hutan pantai Leuweung Sancang diantaranya memiliki suhu tanah
berkisar antara 27,33℃ sampai 27,83 ℃. Nilai pH tanah berkisar 6,97 sampai 7, nilai
pH tanah di hutan pantai ini cenderung netral. Aerasi tanah menunjukkan aerasi yang
cukup baik, dengan demikian kadar udara dalam tanah cukup baik, hal ini karena tanah
di hutan pantai ini merupakan tanah berpasir sehingga tanah memiliki pori-pori yang
cukup banyak untuk memerangkap udara (Irawan, 2015)

2|Modul Teori
Faktor klimatik hutan pantai Leuweung Sancang diantaranya memiliki Suhu
udara berkisar 27,71℃ sampai 27,9℃. Rata-rata intensitas cahaya berkisar 650 lux
sampai 819,67 lux, cahaya merupakan salah satu faktor abiotik yang dapat
mempengaruhi proses fotosintesis pada tumbuhan. Rata-rata kelembaban udara
berkisar antara 86% sampai dengan 88,3%. Rata-rata kecepatan angin berkisar antara
0,01 sampai 0,33 m/s, angin merupakan salah satu faktor abiotik yang dapat
mempengaruhi proses penguapan air pada tumbuhan (Irawan, 2015).

C. Kondisi Biotik Ekosistem Hutan Pantai


Karakteristik hutan pantai biasanya didahului oleh dominasi tumbuhan
merambat yakni Ipomoea pes-caprae yang selanjutnya disebut dengan formasi
pescaprae. Di belakang formasi tersebut ditemukan formasi vegetasi inti hutan pantai
yakni formasi Barringtonia. Noor et al, (2006) menyebutkan bahwa tumbuhan yang
membentuk zonasi yang khas ini dapat dibagi dua yaitu :
1. Formasi Pes-caprae

Formasi Pes-caprae Pantai

(Burhan, 2013)

Whitten et al. (2000) menyebutkan bahwa jenis tumbuhan pelopor yang


semakin banyak ditemukan di wilayah garis pantai di Sumatera (di lokasi yang
banyak mengandung pasir) sebagai formasi Pescaprae. Jenis tumbuhan ini dapat
ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia dan wilayah Pasifik barat. Nama dari
jenis formasi tumbuhan ini berasal dari jenis tumbuhan merambat Ipomoea
pescaprae yang secara umum tumbuhnya bersifat mendominasi, menarik

3|Modul Teori
perhatian mata, diantara berbagai tumbuhan obat-obatan yang rendah, rerumputan
dan rumput alang-alang. Semua jenis tumbuhan ini memiliki batang akar yang
dalam atau akar melintang yang dapat menyebar dengan cepat bila situasi
memungkinkan. Mereka mudah beradaptasi pada lingkungan yang tidak
bersahabat termasuk tingkat toleransi terhadap kadar garam yang tinggi, tiupan
angin yang kencang dan kekeringan. Habitat pada bagian dalam dari formasi Pes-
caprae, seringkali didominasi oleh Casuarina equisetifolia. Jenis pohon ini dapat
berdiri dengan tegak, tetapi tidak dapat berkembang biak sendiri. Sehingga, daerah
pesisir pantai menjadi terakumulasi dan memberikan wilayah baru bagi spesies
Casuarina equisetifolia untuk tumbuh subur, maka berbagai pohon ini akan
digantikan oleh spesies pohon yang lain. (Whitten, 2000).
Beberapa jenis lainnya yang bisa ditemukan antara lain 1) jenis- jenis legum,
diantaranya Canavalia maritima & Vigna marina, 2) rumput-rumputan,
diantaranya Cyperus maritima dan 3) semak-semakan yang menjalar di atas pasir,
diantaranya Spinefex littoreus, Andropogon zizanioides dan Thuarea involuta.
Marga vegetasi yang ditemukan dominan pada formasi ini adalah Ipomoea
(Convolvulaceae) dan Canavalia (Fabaceae). Pada kebanyakan pantai di
Indonesia ditemukan tegakan cemara laut (Casuarina equisetifolia) yang
berasosiasi dengan formasi pes-caprae (Monk et al., 2000; Wong, 2005 dalam
Mahfudz, 2012). Selain itu juga ditemukan pohon kelapa (Cocos nucifera) dari
famili Palmae yang tumbuh di wilayah pantai. Secara umum, formasi ini
ditemukan hampir di seluruh daerah di Indonesia.

4|Modul Teori
Tabel 1. Formasi Pes-caprae

No Klasifikasi Ciri Umum (point) Gambar Referensi


1. Regnum : Plantae • Tumbuh di pasir pantai
Divisi : Magnoliophyta membentuk suatu hamparan
Classis : Magnoliopsida • Bunga umumnya aksilar
Ordo : Solanes dengan diameter 3 - 16 cm.
Familia : Convolvulaceae • Corolanya berbentuk
Genus : Ipomoea tabung/corong dengan
Species : Ipomoea pes diameter 3-6 cm. Ipomoea pescaprae
caprae • Warna bunga pink (John, 2007)

keunguan dan lebih gelap


ke bagian dalamnya (Devall
1992).
2. Regnum : Plantae • Liana menjadikan pohon
Divisi : Magnoliophyta Tamarindus indica sebagai
Classis : Magnoliopsida tempat melilit agar
Ordo : Fabales batangnya dapat merambat
Familia : Fabaceae ke tempat yang lebih tinggi
Genus : Tamarindus untuk mendapatkan cahaya
Species : Tamarindus matahari.
indica
Tamarindus indica
(Farah, 2018)

5|Modul Teori
3. Regnum : Plantae • Corypha utan merupakan
Divisi : Magnoliophyta tumbuhan yang dapat
Classis : Magnoliopsida tumbuh setinggi 15 sampai
Ordo : Arecales 20 meter dan pada
Familia : Arecaceae puncaknya terdapat daun
Genus : Corypha daun berbentuk kipas.
Species : Corypha utan

Corypha utan
(Azmi, 2009)

2. Formasi Barringtonia

Formasi Barringtonia Pantai

(Burhan, 2013)

Formasi tumbuhan hutan pantai yang lain pada umumnya terdiri dari banyak
pohon dan diberi nama Barringtonia. Barringtonia asiatica adalah sebuah pohon
yang secara umum dapat ditemukan dalam formasi pes-caprae. Formasi ini
merupakan zona terakhir yang berbatasan dengan tipe ekosistem hutan lainnya,
terdapat pada daerah lepas pantai dengan kadar salinitas agak sedikit rendah.

6|Modul Teori
Makin jauh dari tepi pantai ke arah daratan semakin banyak ditemukan belukar
dan pepohonan.
Whitten et al (2000) mencatat bahwa sebagian besar wilayah tempat
tumbuhnya formasi Barringtonia di pesisir pantai Sumatera telah ditebang untuk
digantikan dengan perkebunan kelapa, pekarangan desa dan pemukiman warga.
Berbagai sisa dari jenis tumbuhan hutan ini tetap tersimpan di wilayah pedesaan
dimana mereka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai jenis produk.
Beberapa jenis tumbuhan lain yang menyusun struktur dan komposisi zona ini
adalah Butun (Barringtonia asiatica), nyamplung (Calophyllum inophyllum),
ketapang (Terminalia catappa), Hernandia peltata, Cerbera manghas, Erytrina
orientalis, Pongamia pinnata, Hibiscus tiliaceus, guettarda speciosa, Morinda
citrifolia, Sophora tomentosa, Euphorbia atoto, Vitex ovata, Scaevola taccada,
Tournefortia argentea, Crinum asiaticum L, Pandanus tectorius dan Opuntia
elatior Mill. Serta jika terganggu dan terbuka, maka biasanya daerah ini ditumbuhi
oleh paku- pakuan, rumput, jahe-jahean dan herba.
Tabel 2. Formasi Barringtonia

No Klasifikasi Ciri Umum Gambar Referensi


1. Regnum : Plantae • Tumbuhan yang dapat
Divisi : Magnoliophyta tumbuh setinggi 3 sampai
Classis : Magnoliopsida 10 meter.
Ordo : Malvales
• Dapat tumbuh pada
Familia : Malvaceae
substrat pasir berbatu.
Genus : Hibiscus
Species : Hibiscus Hibiscus tiliaceus
tiliaceus
(Kena, 2008)

7|Modul Teori
2. Regnum : Plantae • Memiliki drupa untuk
Divisi : Magnoliophyta melindungi bunganya.
Classis : Magnoliopsida • Bunga majemuk.
Ordo : Arecales
• Daunnya pinatus
Familia : Palmae
(majemuk menyirip).
Genus : Cocos
Species : Cocos nucifera Cocos nucifera
(Malayan , 2015)

3. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman semi


Divisi : Magnoliophyta evergreen yang tumbuh
Classis : Magnoliopsida setinggi 15 – 40 meter.
Ordo : Myrates
• Daun- daunnya lebar, jika
Familia : Combretaceae
terdapat banyak pohon
Genus : Terminalia
berdekatan dapat Terminalia catappa
Species : Terminalia
terbentuk kanopi. (Coles, 2007)
catappa

D. Vegetasi Hutan Pantai Leuweung Sancang


Hutan pantai Leuweung Sancang ditumbuhi oleh tumbuhan yang cukup
beranekaragam, mulai dari tumbuhan yang berhabitus herba, semak, pohon, bahkan
liana. Vegetasi tumbuhan pantai di hutan pantai Leuweung Sancang terdiri dari
beranekaragam spesies yang tumbuh. Analisis vegetasi tumbuhan pantai di hutan
pantai ini diketahui dengan menghitung nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif
(FR), dan Dominansi Relatif (DR). Nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan

8|Modul Teori
dominansi relatif ini dijumlahkan dan dapat diketahui Indeks Nilai Penting (INP) dari
setiap spesies tumbuhan yang ditemukan.
Tabel 3. Vegetasi Tanaman di Hutan Pantai Leuweung Sancang

No Klasifikasi Ciri Umum Gambar Referensi


1. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman pohon
Divisi : Magnoliophyta • Batang berkayu dan
Classis : Magnoliopsida bercabang rendah.
Ordo : Apocynales • Daun tunggal dengan duduk
Familia : Apocynacea daun tersebar, bangun daun
Genus : Cerbera bulat telur terbalik sampai
Species : Cerbera sp lanset, tepi rata, apeks daun
meruncing, basal daun
runcing, warna hijau
mengkilat, permukaan licin,
dan pertulangan daun
menyirip.

Cerbera sp
(Cahyani, 2016)

9|Modul Teori
2. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman pohon
Divisi : Magnoliophyta berukuran sedang sampai
Classis : Magnoliopsida besar.
Ordo : Malvales • Ranting berambut kasar
Familia : Dipterocarpa- atau halus, dengan bekas
ceae melekatnya daun penumpu
Genus : Dipterocarpus yang tampak jelas.
Species : Dipterocarpus • Daun-daun berseling,
sp. tunggal dengan urat daun
sekunder menyirip lurus
• Helaian daun bergelombang
dan melipat di antara urat
daun sekunder
• Daun penumpu besar, lebar,
sedikit menebal.
• Buah berukuran besar,
terbungkus kelopak.
• Kelopak di ujung buah
membentuk dua sayap yang
besar.

10 | M o d u l T e o r i
Dipterocarpus sp
(Heriyanto, 2014)

3. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman pohon


Divisi : Magnoliophyta • Ketinggian mencapai 40
Classis : Magnoliopsida meter dan dengan diameter
Ordo : Sapindales hingga 1,2 meter.
Familia : Meliaceae • Kayunya berat, keras
Genus : Dysoxylum namun berserat halus
Species : Dysoxylum sp dengan warna coklat kuning
muda hingga merah muda
atau coklat-merah muda
mengkilap.
• Daun berbentuk lanset
lonjong.
• Buahnya berbentuk bulat
telur dengan panjang antara
3-6 cm.

11 | M o d u l T e o r i
Dysoxylum sp
(Alam, 2010)
4. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman pohon
Divisi : Magnoliophyta • Pertulangan daunnya
Classis : Magnoliopsida menyirip dan tepi daun
Ordo : Oxalidales tidak rata.
Familia : Elaeocarpaceae • Bunganya putih
Genus : Elaeocarpus kekuningan.
Species : Elaeocarpus
serratus

Elaeocarpus serratus
(Alam, 2010)

12 | M o d u l T e o r i
5. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman pohon
Divisi : Magnoliophyta • Membentuk tajuk seperti
Classis : Magnoliopsida kubah atau tak beraturan.
Ordo : Urticales • Bergetah putih.
Familia : Moraceae • Tangkai daun silinder dan
Genus : Ficus permukaan licin.
Species : Ficus sp • Daun tunggal berbentuk
elips dengan ujungnya
caudatus.
• Pertulangan daun menyirip.

Ficus sp
(Setiawan, 2015)
6. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman pohon.
Divisi : Magnoliophyta • Batang halus dan tinggi
Classis : Magnoliopsida antara 20-30 m.
Ordo : Laurales • Pohon berumah satu.
Familia : Hernandiaceae • Kulit batang berwarna putih
Genus : Hernandia suram.
Species : Hernandia • Tepi daun rata, pertulangan
peltata daun menyirip.
• Bunganya kecil dan
majemuk.

13 | M o d u l T e o r i
Hernandia peltata
(Kalima, 2013)
7. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman pohon
Divisi : Magnoliophyta • Batang berwarna coklat.
Classis : Magnoliopsida • Daun tunggal.
Ordo : Malvales • Pertulangan daunnya
Familia : Malvaceae menjari.
Genus : Hibiscus • Sisi bawah daun berambut
Species : Hibiscus abu-abu rapat.
tiliaceus • Bunga tunggal.
• Mahkota bunga berbentuk
kipas, berwarna kuning
dengan noda ungu pada
pangkal, bagian dalam
oranye dan akhirnya
berubah menjadi kemerah-
merahan.
• Buah berbentuk seperti
telur berparuh pendek.

14 | M o d u l T e o r i
Hibiscus tiliaceus
(Chrisnanto, 2014)

8. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman perdu.


Divisi : Magnoliophyta • Ranting berbulu lebat,
Classis : Magnoliopsida berwarna krem, berumbai
Ordo : Malpighiales dan berbintik.
Familia : Euphorbiaceae • Tangkai daun berbulu tebal.
Genus : Mallotus • Tangkai daun yang
Species : Mallotus berlawanan berbeda
tiliifolia panjangnya.
• Daun bagian bawah
berbulu.

Mallotus tiliifolia
(Silik, 2006)

15 | M o d u l T e o r i
9. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman pohon
Divisi : Magnoliophyta yang menggugurkan
Classis : Magnoliopsida daunnya dengan
Ordo : Fabales percabangan tersebar.
Familia : Fabaceae • Tinggi pohon ini berkisar
Genus : Pongamia antara 15 – 25 m.
Species : Pongamia • Batang berwarna abu-abu,
pinnata tegak lurus samar-samar.
• Cabang pada umumnya
tidak memiliki rambut
• Setiap ranting memiliki 5 –
9 helai daun.
• Daun tersusun dalam dua
deret dengan 3 – 7 anak
daun yang terletak secara
bersilangan, mengkilat dan
warnanya hijau tua.
• Bunga berupa tandan semu
di ketiak daun. Pongamia pinnata
• Pada setiap buku terdapat (Sinta, 2009)
sepasang bunga berbau
menyengat, berwarna putih
hingga merah muda, bagian
dalam berwarna ungu
dengan sedikit hijau di
tengah dan terdapat urat
kecoklatan di bagian
luarnya.

16 | M o d u l T e o r i
10. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman pohon
Divisi : Magnoliophyta dengan tinggi sekitar 20 m.
Classis : Magnoliopsida • Memiliki tajuk besar dan
Ordo : Malvales terbuka.
Familia : Dipterocar- • Permukaan batang
paceae berwarna gelap.
Genus : Shorea • Bentuk daun lonjong, ujung
Species : Shorea sp. daun luncip, tepi daun rata,
pangkal membundar.

Shorea sp
(Arlita, 2015)

17 | M o d u l T e o r i
11. Regnum : Plantae • Merupakan tanaman pohon
Divisi : Magnoliophyta dengan tinggi mencapai 40
Classis : Magnoliopsida m dengan batangnya
Ordo : Myrates berwarna abu-abu sampai
Familia : Combretaceae abu-abu kecoklatan.
Genus : Terminalia • Batangnya memiliki lima
Species : Terminalia lobed dan memiliki bau
catappa tidak sedap.
• Memiliki batang bertajuk
rindang dengan cabang-
cabang yang tumbuh
mendatar dan bertingkat-
tingkat.
• Daun memiliki ujung yang
berbentuk bulat tumpul,
mengkilap, kasar, dan
berwarna hijau tua yang
Terminalia catappa
kemudian akan berubah
(Juniarto, 2017)
menjadi kuning dan merah
ketika akan gugur.
• Bunga berukuran kecil,
terkumpul dalam bulir
dekat ujung ranting.
• Buah berbentuk bulat telur
gepeng, bersegi atau
bersayap sempit.

Tumbuhan dengan Indeks Nilai Penting yang paling tinggi ini


menggambarkan pentingnya peranan species tersebut dalam ekosistem, maka species
tersebut mampu mempengaruhi kestabilan ekosistem dan melakukan kontrol atas
aliran energi dalam ekosistem melalui jumlah individu atau besarnya ukuran maupun

18 | M o d u l T e o r i
pertumbuhan yang dominan (Fachrul, 2012). Menurut Tuheteru dan Mahfudz (2012)
Terminalia catappa lebih toleran terhadap kondisi yang lebih ekstrim, dengan mampu
tumbuh pada tanah berpasir dan berbatu, tanah yang mengandung air laut, serta mampu
bertahan pada daerah tropis dengan kondisi yang cukup lembab. Terminalia catappa
juga memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap perubahan faktor lingkungan seperti
perubahan faktor edafik dan klimatik (Pugesehan, 2011, Cambers, 2009).

E. Zonasi Tumbuhan Pantai di Hutan Pantai Leuweung Sancang


Vegetasi tumbuhan pantai di hutan pantai Leuweung Sancang
menunjukkan adanya zonasi pada beberapa tumbuhan tertentu. Zonasi tumbuhan
ini menunjukkan tumbuhan tersebut lebih cocok tumbuh pada zona yang sesuai,
hal ini ditunjukkan dengan banyaknya tumbuhan yang ditemukan pada zona
tertentu.
1. Zona 1 (Daerah Terdekat dengan Pantai)
Pada zona 1 merupakan daerah hutan pantai yang paling dekat dengan
garis pantai. Zona ini berbatasan langsung dengan batas pasang tertinggi.
Substrat pada zona 1 sebagian besar di susun oleh partikel substrat berupa pasir,
substrat pada zona ini berwarna kecoklatan. Pada zona ini terdapat tumbuhan
yang dominan dan tidak terdapat pada zona lainnya, dan juga terdapat
tumbuhan dengan habitus seperti herba, liana, dan semak (pepohonan kecil
dengan diameter kurang dari 20 cm).
2. Zona 2 (Daerah Pertengahan Hutan Pantai ).
Pada zona 2 merupakan daerah pertangahan hutan pantai. Substrat
masih terdapat pasir dengan partikel yang lebih kecil, substrat pada zona ini
sudah terdapat pembusukan serasah yang lebih banyak sehingga berwarna lebih
coklat tua.
3. Zona 3 (Daerah Dalam Hutan Pantai)
Pada zona 3 merupakan daerah pedalaman hutan pantai yang berbatasan
dengan hutan dataran rendah. Zona ini adalah bagian dari hutan pantai yang
terjauh dari garis pantai. Substrat masih terdapat pasir namun sangat sedikit.

19 | M o d u l T e o r i
Pada zona ini pembusukan serasah sudah cukup banyak, sehingga substrat
berwarna kehitaman dan terdapat pula sisa-sisa pembusukan ranting pepohonan
yang berjatuhan.

Zonasi tumbuhan pantai tersebut dimulai dari zona 1 terdapat Ipomoea pes-
caprae yang tumbuh dibagian depan hutan pantai, kemudian di belakang Ipomoea pes-
caprae tumbuh Scaevola taccada yang berasosiasi dengan Crinum asiaticum,
Pandanus tectorius, Premna obtusifolia, Erythrina orientalis, dan Wedelia biflora.
Pada bagian belakang barisan ini atau di bagian tengah hutan pantai ditumbuhi barisan
Shorea sp. yang berasosiasi dengan Cerbera sp., Dysoxylum sp., Dipterocarpus sp.,
dan Elaeocarpus serratus. Pada bagian dalam hutan pantai tumbuh barisan
Elaeocarpus serratus yang berasosiasi dengan Dysoxylum sp., Terminalia catappa,
Cerbera sp., dan Dipterocarpus sp. Pada bagian terjauh dari hutan pantai ini ditemukan
kembali tumbuhan Terminalia catappa.
Penyebaran tumbuhan Terminalia catappa tidak hanya dibantu oleh air laut,
tetapi juga oleh hewan pemakan buah seperti Pteropus sp. (kalong) dan Macaca
fascicularis (monyet), hal ini karena buah Terminalia catappa yang dapat dikonsumsi
(Soegianto, 1986; Tuheteru & Mahfudz, 2012). Dengan demikian ketika hewan
tersebut membawa biji Terminalia catappa dan menjatuhkannya di tempat lain,
Terminalia catappa mampu tumbuh dengan penyebaran hingga ke bagian dalam hutan
pantai.
Sesuai dengan apa yang sudah di bahas sebelumnya, bahwa hutan pantai pada
umumnya terdiri dari formasi Pes-caprae dan formasi Barringtonia (Soegianto, 1986;
Merril, 1981; Hanley dkk. 2009). Formasi Pes-carprae hanya ditemukan di hutan pantai
Leweung Sancang pada zona 1. Formasi pes-caprae tidak akan dijumpai pada tepi laut
yang memiliki lahan berpasir pantai yang sempit atau pada pantai yang berbatu,
sehingga pada kondisi pantai seperti ini formasi Barringtonia tumbuh berbatasan
langsung dengan pasang tertinggi (Soegianto, 1986).
Pada formasi Barringtonia biasanya terdapat tumbuhan Barringtonia yang
menjadi nama formasi tersebut. Tumbuhan Barringtonia pada formasi Barringtonia di

20 | M o d u l T e o r i
hutan pantai Leuweung Sancang jarang ditemukan. Ketika penelitian, pohon
Barringtonia hanya ditemukan 1 individu dan berada di luar transect penelitian (Irawan,
2015).
Jika dibandingkan dengan Terminalia catappa, penyebaran biji tumbuhan
Barringtonia hanya dibantu oleh air saja karena buah dari Barringtonia ini beracun
sehingga hewan pemakan buah tidak membantu penyebaran tumbuhan ini (Tuheteru
& Mahfudz, 2012). Buah Barringtonia ini diketahui mengandung saponin dan tanin
yang bersifat racun (Bandaranayake, 1994). Dengan demikian penyebaran tumbuhan
Barringtonia cukup lambat jika dibandingkan dengan Terminalia catappa. Tumbuhan
Barringtonia biasanya jarang dijumpai atau tumbuh pada hutan pantai yang berhadapan
dengan hutan mangrove. Biasanya Barringtonia tumbuh pada hutan pantai yang
langsung berhadapan dengan lepas pantai. Hal ini memungkinkan buah Barringtonia
cukup sulit terdampar di hutan pantai mengingat vegetasi tumbuhan mangrove yang
cukup rapat dengan sistem perakaran (terutama akar tunjang atau pneumatofor) yang
rapat pula.
Maka, pada zona 1 (zona terdekat dari pantai) didominasi oleh Terminalia
catappa, pada zona 2 (zona pertengahan hutan pantai) didominasi oleh Shorea sp, dan
pada zona 3 (zona terjauh dari pantai) didominasi oleh Elaeocarpus serratus.

21 | M o d u l T e o r i
22 | M o d u l T e o r i
EKOSISTEM MANGROVE

A. Deskripsi Umum Ekosistem Mangrove

Kata mangrove berasal dari kata mangue (bahasa Portugis) yang berarti
tumbuhan, dengan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar. Sementara itu
dalam literatur lain disebutkan bahwa istilah mangrove berasal dari kata mangi-
mangi (bahasa Melayu Kuno) (Risnandar, 2018).
Ada yang menyatakan mangrove dengan kata mangal yang menunjukan
komunitas suatu tumbuhan, atau berasal dari kata mangro, yaitu nama umum untuk
Rhizophora mangle di Suriname. Di Prancis padanan yang digunakan untuk
mangrove adalah kata manglier (Phurnomobasuki dalam Ghufran, 2012). Berikut
pendapat para ahli mengenai definisi hutan mangrove:
a. Mangrove menurut Ghuffran (2012), hutan mangrove sering disebut sebagai
hutan bakau atau hutan payau (mangrove forest atau mangrove swamp forest)
sebuah ekosistem yang terus-menerus mengalami tekanan pembangunan.
b. Mangrove menurut Arief dalam Ghufran (2012), hutan mangrove dikenal
dengan istilah vloedbosh, kemudian dikenal dengan istilah “payau” karena sifat
habitatnya yang payau, yaitu daerah dengan kadar garam antara 0,5 ppt dan 30
ppt. Disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Berdasarkan jenis pohonnya, yaitu
bakau, maka kawasan mangrove juga disebut hutan bakau.
c. Mangrove menurut Tomlinson dalam Ghufran (2012) adalah istilah umum
untuk kumpulan pohon yang hidup di daerah berlumpur, basah, dan terletak di
perairan pasang surut daerah tropis.
d. Mangrove menurut Odum dalam Baderan (2017), berasal dari kata `mangal`
yang berarti komunitas suatu tumbuhan.
e. Mangrove menurut Supriharyono dalam Baderan (2017), menunjukkan bahwa
kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas tumbuhan

22 | M o d u l T e o r i
ataupun hutan yang tahan akan kadar salinitas/garam (pasang surutnya air laut),
dan kedua sebagai individu spesies.
f. Mangrove menurut Saparinto (2007), adalah vegetasi hutan yang tumbuh
diantara garis pasang surut, namun juga bisa tumbuh pada pantai karang, juga
pada dataran koral mati yang di atasnya ditimbuni selapis tipis pasir, lumpur,
maupun pantai berlumpur.
g. Menurut Sulastini mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas,
yaitu komunitas masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies.
Mangrove ialah suatu tempat yang bergerak karena adanya pembentukan
tanah lumpur serta daratan yang terjadi terus-menerus, sehingga perlahan-lahan
berubah menjadi semi daratan. Berbagai definisi mangrove sebenarnya
mempunyai arti yang sama yakni formasi hutan daerah tropika serta sub-tropika
yang ada di pantai rendah dan tenang, berlumpur, dan memperoleh pengaruh dari
pasang surutnya air laut. Hutan mangrove pun merupakan mata rantai yang sangat
penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi dari suatu perairan (Arief
dalam Banderan, 2017).
Dalam bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas
tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu
individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Beberapa ahli
mendefinisikan istilah ‘mangrove’ secara berbeda-beda, namun pada dasarnya
merujuk pada hal yang sama. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal
forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (Bahasa Indonesia)
(Sulastini, 2011).

23 | M o d u l T e o r i
Hutan Mangrove
(Angelin, 2018)

Mangrove juga dapat disebut sebagai tumbuhan yang memiliki kekhasan


habitus maupun habitat yang tidak dimiliki oleh tumbuhan lain. Komunitas ini
hidup pada daerah pasang surut dengan salinitas yang relatif tinggi dan kondisi
perairan yang berubah-ubah (tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan
pada saat surut) dengan reaksi tanah anaerob. Jadi bisa dikatakan bahwa hutan
mangrove dicirikan sebagai hutan yang habitatnya tidak terpengaruh iklim,
dipengaruhi pasang surut, tanah tergenang air laut, tanah rendah pantai dan tidak
mempunyai struktur tajuk (Sulastini,2011).
Menurut Alikodra dalam Baderan (2017), hutan mangrove merupakan
suatu formasi hutan yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut dengan kondisi
tanah yang anaerobik. Bengen dalam Baderan (2002) juga mendefinisikan hutan
mangrove sebagai suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh
berbagai jenis pohon mangrove yang bisa tumbuh dan berkembang di daerah
pasang surut pantai yang berlumpur. Hutan mangrove adalah tipe hutan tropika
yang khas tumbuh di sepanjang pantai ataupun muara sungai yang terpengaruh oleh
pasang surut air laut. Mangrove seringkali ditemukan di berbagai pantai teluk yang
estuaria, dangkal, delta, serta terlindungi. Mangrove tumbuh dengan optimal di
daerah pesisir yang mempunyai muara sungai besar dan bersubstrat lumpur,

24 | M o d u l T e o r i
sedangkan di daerah pesisir yang tidak memiliki muara sungai, hutan mangrove
pertumbuhannya tidak optimal. Sedangkan Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa
mangrove juga bisa tumbuh dengan baik di substrat berlumpur serta perairan
pasang yang menyebabkan keadaan anaerob. Hal ini karena mangrove mempunyai
akar-akar khusus yang memiliki fungsi sebagai penyangga dan penyerap oksigen
dari udara di atas permukaan air secara langsung. Tipe perakaran mangrove terbagi
lima yakni :
1) Akar tongkat (akar tunjang; akar egrang; prop root; stilt root), akar ini
merupakan modifikasi dari cabang batang yang menancap pada substrat.
2) Akar lutut (knee root), akar ini adalah modifikasi dari akar kabel yang tumbuh
kearah substrat dan melengkung agar menancap pada substrat.
3) Akar cakar ayam (akar pasak; akar napas; pneumatophore), bentuknya berupa
akar yang muncul dari akar kabel yang mencuat ke atas setinggi 10-30 cm dari
permukaan substrat.
4) Akar papan (buttress root), akar ini mirip dengan akar tongkat akan tetapi
bentuknya melebar dan melempeng.
5) Akar gantung (aerial root), akar gantung ialah akar tidak bercabang yang
timbul dari batang ataupun cabang bagian bawah, namun biasanya tidak
mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada Rhizophora, Avicennia, dan
Acanthus.

Akar lutut Bruguiera Akar pasak Akar tunjang Rhizophora


gymnorrhiza Pneumatophores mucronata
(Gunawan, 2007) (Gunawan, 2007) (Gunawan, 2017)

25 | M o d u l T e o r i
Akar papan Xylocarpus
granatum Akar napas Avicennia
(Gunawang, 2007) (Gunawan, 2007)

Menurut Kitamura, et al. dalam Baderan (2017) , vegetasi mangrove terbagi atas
tiga bagian, yakni vegetasi utama, vegetasi pendukung, serta vegetasi asosiasi. Vegetasi
hutan sering berkembang berdasarkan keadaan habitatnya, contohnya ialah vegetasi
hutan mangrove Irwanto dalam Baderan (2017). Berdasarkan fisiognomi beserta
tingkat perkembangannya, vegetasi mangrove terbagi atas lima yaitu :
a. Vegetasi Semak (Mangrove Scrub)
Vegetasi ini berasal dari spesies-spesies pionir yang terdapat di tepi laut
atau pantai berlumpur. Vegetasi semak memiliki karakteristik, seperti
mempunyai banyak cabang, tumbuh dengan sangat kuat, membentuk rumpun,
tunas anakan, rimbun, dan pendek. Komposisi floranya didominasi oleh
Avicennia marina dan Sonneratia caseolaris.
b. Vegetasi Mangrove Muda
Dicirikan oleh vegetasi dengan satu lapis tajuk seragam seperti
Rhizophora sp., walaupun terdapat spesies-spesies pionir lainnya. Munculnya
vegetasi ini setelah perkembangan Avicennia sp. dan Sonneratia sp., setelah itu
terjadi percampuran Rhizophora sp. dan Bruguiera sp. dengan spesies-spesies
mangrove lain seperti Exoecaria agallocha dan Xylocarpus sp.
c. Vegetasi Mangrove Dewasa
Tipe ini bercirikan dengan keberadaan pohon Rhizophora sp. dan
Bruguiera sp. yang tinggi dan besar, terdapat semai di bawah tajuk, serta
dijumpai Acrosticum aureum, Acanthus sp. dan Nypa frutican. Pada keadaan

26 | M o d u l T e o r i
lingkungan yang sesuai, kedua spesies mangrove utama (Rhizophora sp.,
Bruguiera sp.) membentuk zona spesifik dengan tinggi 50–60 m.
d. Nipah (Nypa Swamp Community) Dicirikan dengan adanya spesies nipa (Nypa
fruticans) sebagai spesies utama yang tumbuh dan berkembang di dekat muara
serta tempat pertemuan antara air tawar dan air asin, tidak terdapat vegetasi
bawah, tetapi pada beberapa bagian transisi timbul jenis Crinum sp. dan
Hanjuana malayuna.

Walaupun terlihat adanya zonasi di dalam vegetasi mangrove, pada kenyataan


di lapangan tidaklah sesederhana ini. Banyak formasi dan zona vegetasi yang tumpang
tindih serta bercampur dan seringkali struktur beseta korelasi yang terlihat di suatu
wilayah tidak selalu bisa diaplikasikan di wilayah lain (Noor, et al. dalam Baderan
2017).

Zonasi Hutan Mangrove


(Mamung, 2008)

27 | M o d u l T e o r i
B. Hutan Mangrove Cibako Sancang

Hutan Mangrove Cibako berada di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang,


Desa Sancang, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Secara
administrasi kawasan ini merupakan bagian pengelolaan Badan Konservasi Sumber
Daya Alam (BKSDA) Wilayah V Jawa Barat. Di hutan mangrove ini terdapat
Sungai Cibako yang terhubung dengan Samudera Indonesia dan memiliki estuari,
sehingga perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh gerakan pasang surut Samudera
Indonesia.
Secara administrasi Hutan Mangrove Cibako merupakan bagian dari
kawasan pesisir Samudera Indonesia, terletak di wilayah Sancang, Kabupaten
Garut. Luas hutan mangrove Cibako kurang lebih 65,4 Ha yang ditumbuhi vegetasi
mangrove Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Avicennia marina,
Sonnetaria alba, Aegiceras corniculatum, Ceriops tagal, Bruguirea gymnorrhiza,
dan Nypa fruticants. Daratan Sancang sangat dipengaruhi oleh angin laut (Tanpa
nama, 2019).

No. Klasifikasi Ciri Umum Gambar Referensi


1. Regnum : Plantae • Pohon dengan
Divisi : Magnoliophyta ketinggian mencapai
Class : Magnoliopsida 30 m dengan
Ordo : Myetales diameter batang
Familia : Rhizphoraceae mencapai 50 cm.
Genus : Rhizophora • Kadang-kadang
Spesies : Rhizophora memiliki akar udara
apiculata
yang keluar dari
cabang.
Rhizophora apiculata
• Kulit kayu berwarna
(Pulau Semakau, 2007)
abu-abu tua dan
berubah-ubah.

28 | M o d u l T e o r i
• Daun berwarna hijau
tua dengan hijau
muda pada bagian
tengah dan
kemerahan di bagian
bawah.
• Gagang daun
warnanya kemerahan
• Bentuk daun elips
menyempit dengan
ujung meruncing.
• Bunga biseksual,
kepala bunga
kekuningan.
• Letak bunga di ketiak
daun. Rhizophora apiculata
• Buah kasar berbentuk (Wetlands, tanpa tahun)
bulat memanjang
hingga seperti buah
pir.
• Warna buah coklat,
panjang 2-3,5 cm,
berisi satu biji fertil.
• Tumbuh pada tanah
berlumpur, halus,
dalam dan tergenang
pada saat pasang
normal.

29 | M o d u l T e o r i
2. Regnum: Plantae • Pohon dengan
Divisi : Magnoliophyta ketinggian mencapai
Classis : Magnoliopsida 27 m.
Ordo : Myetales • Batang memiliki
Familia : Rhizphoraceae diameter hingga 70
Genus : Rhizophora cm dengan kulit kayu
Spesies : Rhizophora berwarna gelap
mucronata
hingga hitam dan
terdapat celah Rhizopora mucronata
horizontal. (Gabayi, 2017)
• Akar tunjang dan
akar udara yang
tumbuh dari
percabangan bagian
bawah.
• Pinak daun terletak
pada pangkal gagang
daun berukuran 5,5-
8,5 cm.
• Daun berunit
sederhana & letaknya
berlawanan.
• Daun berbentuk:
elips melebar hingga
bulat memanjang.
Ujung: meruncing.
• Gagang kepala Rhizopora mucronata
bunga seperti cagak, (Wetlands, tanpa tahun)
bersifat biseksual.

30 | M o d u l T e o r i
• Letak bunga di ketiak
daun.
• Daun mahkota:
4;putih, ada rambut. 9
mm. Kelopak bunga:
4; kuning pucat,
panjangnya 13-19
mm. Benang sari: 8;
tak bertangkai.
• Buah
lonjong/panjang
hingga berbentuk
telur berukuran 5-7
cm.
• Buah berwarna hijau
kecoklatan, seringkali
kasar di bagian
pangkal, berbiji
tunggal.
3. Regnum : Plantae • Belukar atau pohon
Divisi : Tracheophyta yang tumbuh tegak
Classi : Magnoliopsida atau menyebar.
Ordo : Lamiales • Memiliki sistem
Familia : Acanthaceae perakaran horizontal
Genus : Avicennia yang rumit dan
Spesies : Avicennia berbentuk pensil Avicennia marina
marina (Cepolina, 2014)
(atau berbentuk
asparagus)

31 | M o d u l T e o r i
• Akar nafas tegak
dengan sejumlah
lentisel
• Kulit kayu halus
dengan burik-burik
hijau-abu dan
terkelupas dalam
bagian-bagian kecil.
• Ranting muda dan
tangkai daun
berwarna kuning,
tidak berbulu.
• Bagian atas
permukaan daun
ditutupi bintik-bintik
kelenjar berbentuk
Avicennia marina
cekung.
(Wetlands, 2019)
• Bagian bawah daun
putih- abu-abu muda.
• Bentuk daun elips,
bulat memanjang,
bulat telur terbalik.
• Ujung daun
meruncing hingga
membundar.
• Buga seperti trisula
dengan bunga
bergerombol muncul
di ujung tandan.

32 | M o d u l T e o r i
• Buah agak membulat,
berwarna hijau agak
keabu-abuan.
• Permukaan buah
berambut halus
(seperti ada
tepungnya) dan ujung
buah agak tajam
seperti paruh.
4. Regnum : Plantae • Kulit kayu berwarna
Divisi : Magnoliophyta putih tua hingga
Classis : Magnoliopsida coklat.
Ordo : Myrtales • Akar nafas yang
Familia : Lythraceae berbentuk kerucut
Genus : Sonneratia tumpul.
Sonneratia alba
Spesies : Sonneratia alba • Bentuk daun bulat (David, 2011)
telur terbalik.
• Bunga dengan daun
mahkota putih,
mudah rontok.
• Kelopak bunga
bagian luarnya hijau.
di dalam kemerahan.
Seperti lonceng.
• Buah berbentuk
seperti bola,
ujungnya bertangkai
dan bagian dasarnya

33 | M o d u l T e o r i
terbungkus kelopak
bunga.

Sonneratia alba
(Wetlands, tanpa tahun)
5. Regnum : Plantae • Semak atau pohon
Divisi : kecil yang selalu
Angiospermophyt hijau dan tumbuh
a lurus dengan
Class : Magnoliopsida ketinggian pohon
Ordo : Primulales mencapai 6 m.
Familia : Myrsinaceae • Akar menjalar di
Aegiceras corniculatum
Genus : Aegiceras permukaan tanah.
(Droite, tanpa tahun)
Spesies : Aegiceras • Kulit kayu bagian
corniculatum luar abu-abu hingga
coklat kemerahan,
bercelah, serta
memiliki sejumlah
lentisel.
• Daun berkulit,
terang, berwarna
hijau mengkilat pada
bagian atas dan hijau
pucat di bagian
bawah, seringkali
bercampur warna
agak kemerahan.

34 | M o d u l T e o r i
• Bentuk daun bulat
telur terbalik hingga
elips, ujungnya
membundar.
• Mahkota berwarna
putih, ditutupi rambut
pendek halus.
• Buah berwarna hijau
hingga merah jambon
(jika sudah matang),
permukaan halus,
membengkok seperti Aegiceras corniculatum

sabit,. (Wetlands, tanpa tahun)

• Dalam buah terdapat


satu biji yang
membesar dan cepat
rontok.
6. Regnum : Plantae • Pohon kecil atau
Divisi : Magnoliophyta semak dengan
Classis : Magnoliopsida ketinggian mencapai
Ordo : Myetales 25 m.
Familia : Rhizphoraceae • Kulit kayu berwarna
Genus : Ceriops abu-abu, kadang-
Ceriops tagal
Spesies : Ceriops tagal kadang coklat, halus
(Yeo, 2011)
dan pangkalnya
menggelembung.
• Pohon seringkali
memiliki akar
tunjang yang kecil.

35 | M o d u l T e o r i
• Daun hijau
mengkilap dan sering
memiliki pinggiran
yang melingkar ke
dalam.
• Daun berbentuk bulat
telur terbalik-elips
dengan ujung
membundar.
• Bunga mengelompok
di ujung tandan.
• Gagang bunga Ceriops tagal
panjang dan tipis. (Wetlands, tanpa tahun)
• Daun mahkota: 5;
putih dan kemudian
menjadi coklat.
Kelopak bunga: 5;
warna hijau
• Hipokotil berbintil,
berkulit halus, agak
menggelembung dan
seringkali agak
pendek.
• Membentuk belukar
yang rapat pada
pinggir daratan dari
hutan pasang surut
dan/atau pada areal
yang tergenang oleh

36 | M o d u l T e o r i
pasang tinggi dengan
tanah memiliki
sistem pengeringan
baik.
7. Regnum : Plantae • Semak atau pohon
Divisi : Magnoliophyta kecil yang selalu
Classis : Magnoliopsida hijau dan tumbuh
Sub classis : Rosidae lurus dengan
Ordo : Myrtales ketinggian pohon
Family : mencapai 6 m.
Rhizophoraceae • Akar menjalar di
Genus : Bruguiera permukaan tanah.
Species : Bruguiera • Kulit kayu bagian
gymnorrhiza Bruguiera gymnorrhiza
luar abu-abu hingga
(Tan, 2009)
coklat kemerahan,
bercelah, serta
memiliki sejumlah
lentisel.
• Daun berkulit,
terang, berwarna
hijau mengkilat pada
bagian atas dan hijau
pucat di bagian
bawah, seringkali
bercampur warna
agak kemerahan.
• Bentuk daun bulat
telur terbalik hingga

37 | M o d u l T e o r i
elips dengan ujung
membundar.
• Dalam satu tandan
terdapat banyak
bunga yang
bergantungan seperti Bruguiera gymnorrhiza
lampion.
(Wetlands, tanpa tahun)
• Formasi bunga
payung.
• Daun Mahkota
berwarna putih,
ditutupi rambut
pendek halus.
• Buah berwarna hijau
hingga merah
jambon (jika sudah
matang)
• Permukaan buah
halus, membengkok
seperti sabit.
8. Regnum : Plantae • Palma tanpa batang
Divisi : Magnoliophyta di permukaan,
Classis : Liliopsida membentuk rumpun.
Ordo : Arecales • Batang terdapat di
Famili : Arecaceae bawah tanah, kuat
Genus : Nypa dan menggarpu. Nypa fruticans
(Teo, 2010)
Spesies : Nypa fruticans • Seperti susunan daun
kelapa.

38 | M o d u l T e o r i
• Daun berwarna hijau
mengkilat di
permukaan atas dan
berserbuk di bagian
bawah.
• Bentuk daun lanset
dengan ujung
meruncing.
• Tandan bunga
biseksual.
• Bunga betina
membentuk kepala
melingkar.
• Bunga jantan kuning
cerah, terletak di Nypa fruticans
bawah kepala (Wetlands, tanpa tahun)
bunganya.
• Buah berbentuk
bulat, warna coklat,
kaku dan berserat.
9. Regnum : Plantae • Semak atau pohon
Divisi : Pteridophyta kecil yang selalu
Classis : Pteridopsida hijau dan tumbuh
Ordo : Primulales lurus dengan
Famili : Myrcinaceae ketinggian pohon
Genus : Aegyceras mencapai 6 m.
Spesies : Aegyceras
• Akar menjalar di Aegyceras corniculum
corniculum
permukaan tanah. (Anonim, 2012)

39 | M o d u l T e o r i
• Kulit kayu bagian
luar abu-abu hingga
coklat kemerahan,
bercelah, serta
memiliki sejumlah
lentisel.
• Daun berkulit,
terang, berwarna
hijau mengkilat pada
bagian atas dan hijau
pucat di bagian
bawah, seringkali
bercampur warna
agak kemerahan.

40 | M o d u l T e o r i
No. Klasifikasi Ciri Umum Gambar Referensi
1. Regnum : Animalia Cangkang hewan ini
Phylum : Molusca berbentuk kerucut,
Classis : Gastropoda panjang, ramping dan
Ordo : agak mendatar pada
Mesogastropoda bagian dasarnya.
Familia : Potamididae Warna cangkang
Genus : Telescopium coklat keruh, coklat
Spesies : Telescopium keunguan dan coklat
telescopium
kehitaman, lapisan
luar cangkang
dilengkapi dengan
garis-garis spiral yang
sangat rapat dan
Telescopium telescopium
mempunyai jalur-jalur
(Cester, 2012)
yang melengkung ke
dalam. Panjang
Nama lokal : Keong bakau
cangkang berkisar
antara 7.5-11 cm
(Cester, 2012).
2. Regnum : Animalia Dotilla memiliki lebar
Phylum : Arthropoda tubuh sekitar 1,5cm.
Classis : Crustacea Tubuh bulat, mata
Ordo : Decapoda kehijauan pada batang
Familia : Dotillidae kemerahan pendek
Genus : Dotilla tebal. Penjepit sangat
Spesies : Dotilla sp. panjang dan ramping

Nama lokal : Kepiting Dotilla sp

kecil (Tanpa nama, 2004)

41 | M o d u l T e o r i
3. Regnum : Animalia Uca sp. (Ocypodidae)
Phylum : Arthropoda merupakan jenis
Classis : Crustacea kepiting yang hidup
Ordo : Decapoda dalam lubang atau
Familia : Ocypodidae berendam dalam
Genus : Uca substrat dan
Spesies : Uca sp. merupakan penghuni
tetap hutan mangrove.
Kelompok ini biasa
dijumpai dibagian
depan hutan mangrove
yang selalu menggali
lubang untuk
beradaptasi terhadap
temperatur yang
tinggi. warnanya yang
"menyala" dan sangat
cerah, merah, hijau Uca sp
atau (Rahadyanaulia, 2012)
biru metalik. Ciri
menonjol dari kepiting
Uca adalah pada
individu jantan salah
satu capitnya
berukuran sangat
besar, sedangkan
individu betina
memiliki dua buah
capit yang berukuran
kecil (Pratiwi, 2014).

42 | M o d u l T e o r i
4. Regnum : Animalia Udang ini memiliki ciri
Phylum : Arthropoda morfologi yaitu
Classis : Crustacea mempunyai rostrum
Ordo : Decapoda panjang dan lurus serta
Familia : Penaeidae ditumbuhi 7 – 9 duri
Genus : dorsal hingga ke tepi
Metapenaeus posterior karapas.
Spesies : Rostrum memiliki gigi
Metapenaeus
dengan rumus 6-9/0,
monoceros
umumnya 8/0, berbentuk
lurus atau hampir lurus
dan agak mengarah ke
atas. Udang ini tidak
memiliki eksopod pada
kaki jalan kelima serta
abdomen kasar dan
ditumbuhi rambut.
Udang api-api memiliki Metapenaeus monoceros
panjang maksimum (Himasper IPB, 2016)
karapas yaitu 5 cm, lebih
meyukai daerah yang
memiliki sedimen
lumpur berpasir dan
bertahan hidup dengan
memakan beberapa
organisme seperti
krustasea, polychaeta,
moluska, ikan,
ganggang, dan detritus
(Himasper IPB, 2016)

43 | M o d u l T e o r i
5. Regnum : Animalia Kepiting bakau (Scylla
Phylum : Arthropoda sp.) mempunyai ciri-ciri
Classis : Crustacea morfologi yaitu memiliki
Ordo : Decapoda ukuran lebar karapaks
Familia : Portunidae lebih besar dari pada
Genus : Scylla ukuran panjang tubuhnya
Spesies : Scylla sp. dan permukaannya agak
licin. Pada dahi antara
sepasang matanya
terdapat enam buah duri
dan disamping kanan dan
kirinya masing-maasing
buah sembilan buah duri.
Kepiting bakau jantan
memiliki capit yang
Scylla sp.
dapat mencapai dua kali
(Tanpa nama, 2013)
lipat dari pada panjang
kerapasnya. Sedangkan
kepiting bakau betina
relatif lebih pendek.
Selain itu, kepiting bakau
juga memilliki tiga
pasang kaki jalan dan
sepasang kaki renang
(Tanpa nama, 2013)

44 | M o d u l T e o r i
45 | M o d u l T e o r i
EKOSISTEM MUARA

A. Deskripsi Umum Ekosistem Muara


Cagar Alam Leuweung Sancang (CALS) merupakan salah satu habitat alami
dari langkap, dimana kawasan tersebut merupakan ekosistem hutan Dipterocarpaceae
dataran rendah di Pulau Jawa yang masih tersisa (Sidiyasa et al. 1985). Kawasan ini
ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No.
370/Kpts/Um/6/1978 tanggal 9 Juni 1978 dengan luas 2517 ha (Departemen Kehutanan
2002). Adanya sifat invasif dari langkap di beberapa kawasan konservasi, maka perlu
adanya kegiatan pencegahan, pengendalian penyebaran langkap dan konservasi
kawasan dari invasi langkap di CALS yang terfokus, efektif dan efisien.
Perairan umum adalah perairan di permukaan bumi yang secara permanen atau
berkala digenangi oleh air, baik air tawar, air payau, maupun air laut, mulai dari garis
pasang terendah ke arah daratan dan air tersebut terbentuk secara alami maupun buatan.
Perairan umum tersebut diantaranya adalah perairan sungai, danau, waduk, rawa dan
genangan air lainnya (UU No.7/2004 tentang Sumberdaya Air). Sekitar 75% dari
permukaan bumi ditutupi perairan, terutama perairan asin. Sedangkan sisanya adalah
perairan tawar dan perairan payau. Ekologi perairan adalah hubungan timbal balik
antara makhluk hidup yang ada dalam perairan dengan lingkungan perairan tersebut.
Air merupakan kebutuhan mutlak bagi makhluk hidup, termasuk plankton, benthos dan
nekton.
Estuari/muara merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal
sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang
diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh proses-proses alamiah (Dahur, 1992).
Dilain pihak sebagian besar penduduk dunia (hampir mencapai 70%) bermukim di
sekitar wilayah pesisir dan sepanjang tepian sungai termasuk di Indonesia. Estuari yang
berasal dari bahasa Latin aestus, berarti pasang-surut (Odium, 1971). Berdasarkan
definisi Pritchard (dalam Odium,1971), estuari merupakan suatu bentukan masa air
yang semi tertutup di lingkungan pesisir, yang berhubungan langsung dengan laut lepas,
sangat dipengaruhi oleh efek pasang-surut dan masa airnya tawar. Muara sungai, teluk-

45 | M o d u l T e o r i
teluk di daerah pesisir, rawa pasang-surut dan badan air yang terpisah dari laut oleh
pantai penghalang (barrier beach), merupakan contoh dari sistem perairan estuari.
Estuari dapat dianggap sebagai zona transisi (ekoton) antara habitat laut dan
perairan tawar, namun beberapa sifat fisis dan biologis pentingnya tidak
memperlihatkan karakteristik peralihan, lebih cenderung terlihat sebagai suatu
karakteristik perairan yang khas (unik). Penggunaan dan pelanggaran atas zona estuari
oleh aktifitas manusia saat ini telah mencapai tingkat yang sangat kritis, sehingga
amatlah penting untuk lebih memasyarakatkan pemahaman tentang kekhususan dan
fungsi dari perairan ini. Karena apabila kecenderungan perusakan estuari ini tidak
segera dikendalikan atau dikelola secara cermat dan bijaksana, dikhawatirkan
pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan estuari tidak akan berlangsung
secara berkelanjutan.

Ekosistem Muara, Sancang


(Deni Sugandi, 2013)
Wilayah pada muara sancang ini dapat dikatakan sebagai wilayah yang
sangat dinamis, karena selalu terjadi proses dan perubahan baik lingkungan fisik

46 | M o d u l T e o r i
maupun biologis. Sehingga, estuari memiliki sifat yang unik akibat adanya
percampuran antara massa air laut dan tawar membuat tingkat salinitas yang
dimiliki dapat berubah-ubah atau memiliki fluktuasi tersendiri. Berubahnya
salinitas estuari dapat dipengaruhi oleh adanya pasang surut air dan musim. Selama
musim kemarau, volume air sungai yang masuk berkurang, sehingga air laut dapat
masuk sampai ke daerah yang lebih tinggi atau hulu dan menyebabkan salinitas
yang dimiliki wilayah estuari meningkat. Sebaliknya, yang terjadi apabila pada
musim penghujan air tawar yang masuk dari hulu ke wilayah estuari meningkat
sehingga salinitas yang dimiliki rendah (Barus, 2002).
Estuari merupakan bentukan badan air yang sangat khas baik dilihat dari
segi morfologi, fisis maupun sebagai suatu sistem secara keseluruhan. Secara
geomorfologi estuari terbagai menjadi 4 macam (Pritchard, 1967) sebagai berikut:
1. Estuari yang berupa rataan tergenang (Drowned river valley).
Biasanya banyak terbentuk di sepanjang pantai yang memiliki rataan
pantai yang dangkal dan lebar. Pada musim penghujan, air dari sungai
mengangkut sejumlah besar sedimen kearah estuari. Sedangkan pada musim
kemarau aliran dari laut mendominasi lingkungan estuari, karena debit air dari
sungai sangat rendah.
2. Estuari bertipe fyord.
Tipe estuari ini biasanya terbentuk di perairan dalam. Morfologi dasar
perairan estuari ini biasanya berbentuk huruf U. Kurun sejarah pembentukannya
diperkirakan dimulai pada jaman es (glasial period), sehingga dapat
digolongkan sebagai bentukan geologis berumur tua.
2. Estuari dengan pasir penghalang (bar-built estuaries).
Merupakan cekungan dangkal yang sebagian dasar perairannya akan
muncul pada saat surut. Perairan ini dapat dikatagorikan sebagai perairan semi
tertutup, dengan adanya gundukan pasir penghalang (bars) atau pulau-pulau
penghalang (barrier islands). Bentukan penghalang tersebut terputus-putus
oleh saluran-saluran kecil (inlet) yang berhubungan langsung dengan laut
lepas. Pada kasus-kasus tertentu tumpukan pasir tersebut diendapkan di laut,

47 | M o d u l T e o r i
pada kasus lain tumpukan pasir penghalang tersebut merupakan bekas
bentukan bukit-bukit pasir yang berubah karena terisolasi oleh penaikan
permukaan laut secara bertahap.
3. Estuari yang terbentuk oleh proses vulkanik.
Tipe estuari ini terbentuk dari lekukan garis pantai (pesisir), dimana
lekukan tersebut terbentuk karena terjadinya patahan geologis atau oleh
penurunan muka bumi secara lokal, proses tersebut biasanya diikuti dengan
pemasukan air tawar yang besar. Pengklasifikasian tipe estuari lain, yang juga
merupakan hasil observasi Prithcard (dalam Odium, 1971) adalah berdasarkan
perbedaan profil hidrografik. Perbedaan ini disebabkan oleh terdapatnya aliran
yang berasal dari laut dan darat (sungai)
Kedua aliran tersebut akan menampakkan dominasi yang berlainan karena
terdapatnya perbedaan faktor fisik dan fisis pada setiap lingkungan estuari. Dimana
perbedaan dominasi tersebut akan menimbulkan perbedaan pada profil hidrologis
perairan, seperti dalam pembagian berikut :
1. Profil hidrografis (Highly stratified) berlapis. Profil perairan ini disebabkan
karena terdapatnya dominasi aliran sungai dibandingkan dengan pasang-surut,
sebagaimana yang biasa terjadi di muara. Masa air tawar yang besar cenderung
terapung di atas air laut yang memiliki berat jenis yang lebih tinggi, sehingga
terbentuk bidang pemisah di antar kedua lapisan tesebut (wedge) yang
melintang di sepanjang dasar perairan. Tipe pelapisan hidrografis ini akan
memperlihatkan sifat holoklin (holocline) pada salinitasnya, yaitu terdapatnya
zona perubahan yang tajam pada salinitas air permukaan dan air dasar di
perairan estuari tersebut.
2. Profit hidrografis teraduk sebagian (Partially mixed).
Pada profil seperti ini, input air tawar dan pasang-surut lebih seimbang
pengaruhnya. Media pengadukkan yang bekerja secara dominan pada tipe
perairan ini adalah efek pasang-surut yang berlangsung secara periodik. Profil
salinitas secara vertikal lebih tergradasi karena terdapatnya pengadukan secara

48 | M o d u l T e o r i
vertikal yang kemudian membentuk pola pelapisan yang kompleks pada masa
air.
3. Profil hidrografis tercampur sempurna (Vertically homogenous estuary).
Tipe estuari ini didominasi oleh efek pasang-surut yang kuat. Air
cenderung teraduk dengan sangat baik mulai dan permukaan hingga dasar
perairan. Kandungan salinitas relatif tinggi, hampir mendekati salinitas air laut.
Variasi utama yang terjadi pada tipe estuari ini lebih banyak terdapat secara
horizontal dan pada secara vertikal. Estuari yang memiliki pasir penghalang
(bar-built estuary) atau estuari yang tidak memiliki sungai besar merupakan
contoh dan tipe perairan ini.
Sebagai suatu sistem, estuari merupakan satu kesatuan yang sangat kompleks.
Berdasarkan pada bentuk, kedalaman dan sebaran airiaut serta berbagai material
lain ke seluruh sistem, maka estuari dapat dibagi menjadi 4 subsistem sebagai
berikut:
1. Subsistem laut (Marine).
Subsistem ini terletak tepat di mulut sungai yang langsung berhubungan
dengan laut. Pada zona yang didominasi oleh pengaruh laut ini, selalu terjadi
percampuran biota yang berasal dari lingkungan laut menuju estuari dan
sebaliknya. Saluran utama berfungsi sebagai gerbang keluar atau masuk bagi
berbagai jenis ikan dan invertebrata bertaxa tinggi. Biota-biota tersebut
memanfaatkan kekayaan nutrien di daerah estuari ini untuk melangsungkan
pertumbuhannya yang melalui beberapa fase tersebut. Namun demikian ada
pula beberapa estuari yang lebih didominasi oleh komponen air laut, akibat
kurangnya aliran air tawar. Kelp dan algae dari jenis lain, biasanya menutupi
substrat batu dan membentuk mikrohabitat. Invertebrata bentik yang terdapat
di lingkungan ini dapat merupakan jenis marin atau jenis estuari.
2. Subsistem teluk ( Bay )
Daerah ini dicirikan dengan adanya hamparan rataan lumpur yang
tampak ke permukaan pada saat surut, dan tergenang oleh campuran air tawar
dan air laut pada saat pasang. Rataan ini tidak hanya terdiri dari lumpur, tapi

49 | M o d u l T e o r i
juga butiran pasir yang terbawa oleh aliran sungai. Butiran pasir yang berasal
dari komponen daratan ini diendapkan di teluk bagian atas (bagian rataan yang
dangkal) sepanjang pinggiran saluran utama (main channel). Partikel yang
lebih halus seperti lempung dan lanau, terhanyutkan hingga mencapai tepian
rataan di dekat rawa pasangsurut. Pasir yang berasal dan laut dapat juga
terbawa masuk ke dalam lingkungan perairan ini hingga beberapa kilometer ke
arah sungai, yaitu pada saat terjadi air pasang yang berenergi tinggi. Air dengan
kekayaan nutrien tinggi menggenangi daerah ini dua kali sehari. Air tersebut
merupakan media yang ideal bagi fitoplankton untuk dapat menangkap sinar
matahari. hasil asimilasi inilah yang merupakan suplai energi secara
berkesinambungan bagi rantai makanan biologis di lingkungan estuari ini.
Energi matahari merupakan pemacu metabolisma kolektif dari keseluruhan
perairan estuari ini.
3. Rawa - rawa ( Slough )
Rawa-rawa ini merupakan percabangan kecil yang menghubungkan
teluk dengan saluran utama dari sungai. Input air tawar di lingkungan ini
biasanya sedikit. Pengaruh pasang-surut di lingkungan ini tidak sebesar bagian
lain dari estuari yang lebih dekat dengan laut. Umumnya rawa-rawa ini terdiri
dari saluran yang berkelok yang menerobos rataan lumpur hingga mencapai
bagian teluk utama. Saluran kecil inilah yang membawa air pasang hingga ke
rawa pasang-surut (marsh) dan bagian ujung dari hutan pantai di daerah
tersebut.
4. Sungai ( Riverine )
Sub sistem ini terletak di daerah masuknya air tawar dari gunung menuju
lingkungan estuari. Sebagian besar dari subsistem ini berbentuk menyudut dan
biasa disebut saluran sungai yang terpengaruh pasang-surut. Salinitas sepanjang
tahun di lingkungan ini rendah, malah sebagian dari subsistem ini seluruhnya
terdiri dari air tawar. Biota dan Produktifitas Komunitas estuari membentuk
komposisi yang unik berupa percampuran jenis endemik (jenis yang hidup
terbatas di lingkungan estuari), jenis yang berasal dari ekosistem laut dan

50 | M o d u l T e o r i
sebagian kecil jenis biota yang dapat masuk/keluar dari lingkungan air tawar,
yaitu biota yang memiliki kemampuan osmoregulator yang baik.
memperlihatkan contoh variasi komunitas biota di perairan estuari berdasarkan
zonasi kedalaman air. Sumber protein dari laut (seafood) merupakan contoh
populasi yang baik dari percampuran jenis endemik dan jenis perairan laut.
Contoh dari jenis-jenis tersebut adalah kerapu dari jenis Cynoscion nubulosus,
sedangkan ikan dari jenis Brevootia sp di jumpai hidup di perairan estuari hanya
pada stadium awal. Demikian juga dengan kebanyakan jenis-jenis komersial
seperti tiram dan kepiting yang merupakan jenis utama lingkungan ini. beberapa
jenis komersial penting dari berbagai jenis udang hidup di laut lepas pada
stadium dewasa, dan melewati stadium awal hidupnya di lingkungan estuari.
Daur hidup seperti ini sangat umum dijumpai pada biota nekton di daerah
pesisir, dimana estuari digunakan sebagai lahan asuhan. kecenderungan tersebut
diduga karena pada stadium larva, biota-biota memerlukan perlindungan dan
persediaan makanan yang baik. Ketergantungan dari sejumlah besar ikan yang
memiliki nilai komersial tinggi di lingkungan estuari, merupakan salah satu
sebab ekonomis yang utama dalam pelaksanaan preservasi habitat ini. Lahan
asuhan paling produktif dan paling penting adalah daerah pasang - surut dan
zona perairan dangkal yang biasanya juga merupakan daerah pertama
penanggung beban akibat pembangunan (modifikasi hasil aktifitas manusia)
seperti yang dapat dilihat pada Pada umumnya komponen organisme
meroplanktonik (plankton temporal) mendominasi perairan estuari
dibandingkan dengan organisme holoplanktonik (permanen plankton).
Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari keragaman jenis organisme
meroplankton yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan tingginya keragaman
habitat biota bentiknya. Ikan belanak merupakan jenis konsumen yang banyak
dijumpai di lingkungan estuari di seluruh dunia, karena tingkat fleksibilitas
dalam prilaku makannya yang tinggi. Dimana jenis tersebut mampu untuk
mendapatkan makanan pada berbagai tingkat tropik dalam rantai makanan
(Odium,1971).

51 | M o d u l T e o r i
B. Biota dan Produktivitas

Lingkungan estuari termasuk dalam kategori ekosistem produktif alamiah


(Naturally productive ecosystem) yang setara dengan tingkat produktifitas hutan
hujan primer dan terumbu karang.
Secara garis besar tingginya produktifitas lingkungan estuari dapat dirinci
sebagai berikut :
1. Estuari sebagai perangkap nutrien (Nutrient trap)
Keadaan ini dimungkinkan dengan sistem pengayaan sendiri secara cepat
di lingkungan ini. Sistem tersebut setara dengan sistem terumbu karang, dan
fenomena tersebut terjadi karena beberapa faktor berikut ini :
a. Terdapatnya karakteristik fisis dan biologis yang khas.
b. Kemampuan penyimpanan dan cepatnya perputaran siklus nutrien oleh
biota bentik.
c. Terdapatnya bentukkan formasi dalam sedimen yang terdiri dari bahan
organik detritus.
d. Pengembalian (recovery) nutrien dari sedimen perairan dalam, melalui
aktifitas mikroba.
e. Penembusan lapisan sedimen yang dalam oleh akar tanaman atau oleh biota
penggali. Kecenderungan alamiah ini berlaku juga dalam proses
eutrofikasi, faktor inilah yang membuat lingkungan estuari menjadi sangat
rentan terhadap polusi, karena polutan akan terperangkap di lingkungan
tersebut seperti yang terjadi dengan nutrien.
2. Keunikan estuari dalam penyediaan produsen sepanjang tahun. Estuari
memiliki kelebihan dalam keanekaragaman tipe produsennya, yang terprogram
untuk tersedia sepanjang tahun, tanpa dipengaruhi oleh musim. Perairan ini
biasanya memiliki ketiga tipe produsen yang mendukung produsen seluruh isi
bumi, yakni makrofit (rumput laut, lamun dan rumput paya), mikrofit bentik
dan fitoplankton.
3. Pasang - surut sebagai faktor terpenting dalam fluktuasi air. Fluktuasi air di
dalam ekosistem estuari sangat dipengaruhi oleh pasang-surut. Pada umumnya

52 | M o d u l T e o r i
semakin tinggi amplitudo pasang surut maka semakin besar pula potensi
produktifitas. Gerakan bolak-balik dari air merupakan proses yang sangat
berarti dalam pembuangan limbah dari ekosistem tersebut dan pengangkutan
makanan serta nutrien dari lingkungan sekitarnya. Estuari, seperti juga sistem
eutrofik lain, kadang-kadang terkena penyakit yang berada dalam tingkat di
luar kontrol pemulihan sendiri dan sangat menekan bagi kehidupan organisme.
C. Karakteristik Pada Estuari
Untuk dapat hidup dan berhasil membentuk koloni di daerah ini organisme
harus mempunyai kemampuan untuk beradaptasi secara khusus. Adapun bentuk
adaptasi tersebut adalah:
1. Adaptasi Morfologis
Organisme yang mendiami substrat berlumpur sering kali beradaptasi
dengan membentuk rambut (setae) yang menjaga jalan masuk ke ruang
pernapasan agar permukaan ruang pernapasan tidak tersumbat oleh partikel
lumpur. Organisme yang memiliki kemampuan adaptasi seperti ini adalah
kepiting estuaria, dan beberapa anggota dari Gastropoda. Adaptasi yang lain
adalah ukuran tubuh. Organisme estuaria umumnya mempunyai ukuran tubuh
lebih kecil dibandingkan dengan kerabatnya yang hidup di laut.
2. Adaptasi Fisiologis
Adaptasi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme estuaria
adalah berhubungan dengan keseimbangan ion cairan tubuh menghadapi
fluktuasi salinitas eksternal. Kemampuan osmoregulasi sangat diperlukan untuk
dapat bertahan hidup. Organisme yang memiliki kemampuan osmoregulasi
dengan baik disebut osmoregulator contohnya Copepoda, Cacing Polychaeta,
dan Mollusca.
3. Adaptasi Tingkah laku
Salah satu bentuk adaptasi tingkah laku yang dilakukan oleh organisme
estuaria adalah membuat lubang ke dalam lumpur. Ada dua keuntungan yang
didapatkan dari organisme yang beradaptasi seperti ini. Pertama, adalah dalam
pengaturan osmosis. Keberadaan di dalam lubang berarti mempunyai

53 | M o d u l T e o r i
kesempatan untuk berhubungan dengan air interstitial yang mempunyai variasi
salinitas dan suhu lebih kecil dari pada air di atasnya. Kedua, membenamkan
diri ke dalam substrat berarti lebih kecil kemungkinan organisme ini dimakan
oleh pemangsa yang hidup di permukaan substrat atau di kolam air. Adaptasi
tingkah laku lainnya adalah dengan cara bergerak ke hulu atau ke hilir. Tingkah
laku ini akan menjaga organisme tetap berada pada daerah dengan kisaran
toleransinya. Contohnya beberapa spesies kepiting seperti Rajungan (Calinectes
sapidus), ikan belanak (Mugil mugil), Ikan baung, Ikan bandeng, dan lain-lain
(Kramer, 1994).
Fauna di estuaria, seperti udang, kepiting, kerang, ikan, dan berbagai jenis
cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai dan jaring makanan yang
kompleks (komunitas tumbuhan yang hidup diestuari antara lain rumput rawa
garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai
cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut danikan
laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju
habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata
semi air, yaitu unggas air.
Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang
dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktivitas primer di kolom air,
sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa
rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus.
Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae yang
kemudianmenjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan
detritus. Suatu penumpukan bahan makanan yang dimanfaatkan oleh organisme
estuaria merupakan produksi bersih dari detritusini. Fauna di estuaria, seperti ikan,
kepiting, kerang, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan salingterkait melalui
suatu rantai makanan yang kompleks (Bengen, 2001).
Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika
dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya
jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan,

54 | M o d u l T e o r i
sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis yang mampu
bertahan hidup di estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga
miskinakan flora.
Menurut McLuskay dalam Hendry (2008), organisme di estuaria dapat
dikelompokan menjadi 5 kelompok berdasarkan zonasi salinitasnya, yaitu :
1. Oligostenohalin, merupakan organisme air tawar yang pada umumnnya hidup
di sungai dan perairan air tawar, tidak tahan terhadap salinitas di atas 0,1 %
tetapi ada sebagian species oligostenohalin mampu hidup di atas salinitas 5%.
2. Organisme estuaria, organisme estuaria pada umumnnya merupakan organisme
laut hidup di pusat eustaria. Organisme eustaria sangat jarang di temui di
perairan laut karena faktor kompetisi dengan hewan-hewan lain.
3. Euryhalin, merupakan organisme laut yang hidup didaerah eutaria. Distribusi
hidup organisme ini wilayah laut samapa ke pusat eustaria. Namun tidak tahan
terhadap perubahan salinitas sampai 18 %, tetapi ada beberapa species yang
tahan pada kisaran salinitas 5%.
4. Polstenohalin, merupakan organisme laut yang hidup di mulut estuaria dan
mampu hidup pada salinitas 25%.
5. Organisme peruaya, kebanyakan merupakan ikan dan kepiting yang
menghabiskan sebagian besar siklus hidupnnya di estuaria. Sebgaia contohnnya
kepiting bakau yang berupaya ke laut untuk memijah sedangkan daur hidup
lainnya setelah memaski fase remaja dijalani di eustaria.
a. Plankton di Ekosistem Sungai
Menurut Nybakken (1982) plankton adalah suatu organisme yang hanyut
bebas dan sangat lemah daya renangnya. Plankton terbagi 2 yaitu fitoplaankton
dan zooplankton mereka terdiri dari mikroorganisme tumbuhan dan hewan
dengan kemampuan bergerak terbatas. Sedangkan, bentos merupakan
makroorganisme yang hidup didasar perairan (substrat) baik yang sesil,
merayap maupunyang menggali lubang.
Menurut Pratiwi & Astuti (2012), makrozoobenthos merupakan
organisme yang hidup menetap (sesile) dan memiliki daya adaptasi yang

55 | M o d u l T e o r i
bervariasi terhadap kondisi lingkungan. Selain itu tingkat keanekaragaman yang
terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran.
Makrozoobenthos sangat baik digunakan sebagai bioindikator lingkungan
perairan karena habitat hidupnya yang menetap (Darmono, 2001).
Makrozoobenthos juga merupakan hewan yang sangat sensitif terhadap
perubahan lingkungan dan paling banyak digunakan sebagai indikator
pencemaran logam, karena habitat hidupnya yang menetap (Darmono, 2001).
Tabel 1. Penggolongan Plankton berdasarkan ukurannya.
No. Jenis Plankton Keterangan
1. Megaloplankton Yaitu plankton berukuran 2,0 mm.
2. Makroplankton Yaitu plankton berukuran 0,2-2.0 mm.
3. Mikroplankton Yaitu plankton yang berukuran 20 um-
0,2 mm.
4. Nanoplankton Yaitu plankton berukuran 2 um-20 um.
5. Ultraplankton Yaitu plankton yang berukuran dari
2um.

56 | M o d u l T e o r i
57 | M o d u l T e o r i
EKOSISTEM PANTAI

A. Deskripsi Umum Ekosistem Pantai

Ekosistem pantai merupakan ekosistem yang letaknya berbatasan dengan


ekosistem darat dan laut. Sebagai wilayah peralihan, ekosistem pesisir memiliki
struktur komunitas dan tipologi yang berbeda dengan ekosistem lainnya. Ekosistem
pesisir dan laut beserta sumber daya yang dikandungnya sangat dibutuhkan oleh
masyarakat pesisir di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Tuwo, 2011). Ekosistem
pantai juga dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut (Leksono, 2007) yang
terdiri dari komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik pantai terdiri dari
tumbuhan dan hewan yang hidup di daerah pantai, sedangkan komponen abiotik pantai
terdiri dari gelombang, arus, angin, pasir, batuan dan sebagainya.
Istilah pantai sering rancu dalam pemakainya antara pesisir (coast) dan pantai
(shore). Definisi pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh
laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air laut. Beragam ekosistem yang
terdapat di wilayah pesisir secara fungsional saling terkait dan berinteraksi satu sama
lain sehingga membentuk suatu sistem ekologi yang unik (Tuwo, 2011). Wilayah
pesisir merupakan pertemuan antara pengaruh daratan dan samudra. Hal ini terlihat
nyata pada mintakat pasang surut dan daerah estuari. Perubahan-perubahan sifat
lingkungan terjadi secara cepat dalam waktu dan ruang sehingga untuk melakukan
penelitian sifat-sifat lingkungan diperlukan ulangan waktu yang lebih kerap dan jarak
tempat observasi lebih dekat daripada samudra bebas (Romimohtarto dan Juwana,
2004). Pesisir dapat dijabarkan dari dua segi berlawanan yaitu (Wibisono, 2005):
3. Dari segi daratan
Pesisir merupakan wilayah daratan sampai wilayah laut yang masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat darat (seperti: angin darat, drainase air tawar dari
sungai, sedimentasi).
4. Dari segi laut
Pesisir merupakan wilayah laut sampai wilayah darat yang masih dipengaruhi
sifat-sifat laut (seperti: pasang surut, salinitas, itrusi air laut ke wilayah daratan,

57 | M o d u l T e o r i
angin laut). Pasang-surut merupakan gerakan naik turunnya muka laut secara
berirama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Pasang-surut tidak
hanya mempengaruhi lapisan di bagian teratas melainkan seluruh masa air (Nontji,
2002).
Sedangkan pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air
pasang tertinggi dan air surut terendah. Pantai juga merupakan daerah pinggir laut atau
wilayah daratan yang berbatasan langsung dengan bagian laut (Wibisono, 2005).
Menurut Nybaken (1992), pantai adalah suatu daerah dengan kedalaman kurang dari
200 meter. Pantai juga bisa didefinisikan sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan
lautan. Daerah daratan adalah daerah yang terletak diatas dan dibawah permukaan
daratan dimulai dari batas garis pantai. Daerah lautan adalah daerah diatas dan dibawah
permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan
bagian bumi di bawahnya. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan
air laut, dimana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai pasang surut air laut
dan erosi yang terjadi. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai.

Pantai Sancang
(Uian, 2019)

Ekosistem pantai sendiri sangatlah luas termasuk di Asia Tenggara (81.000 km).
Di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai vegetasi pantai. Salah satunya

58 | M o d u l T e o r i
adalah vegetasi hutan pantai. Istilah hutan pantai pertama kali disebutkan oleh Whitford
(1911) sebagai salah satu tipe hutan. Kondisi hutan pantai umumnya berbentuk substrat
pasir serta ditemukan beberapa jenis tumbuhan pionir. Umumnya lebar hutan pantai
tidak lebih dari 50 meter dan tidak jelas batas zonasinya dengan tipe hutan lainnya serta
memiliki tinggi pohon mencapai 25 meter (Goltenboth et al 2006).
Ekosistem ini juga memiliki beragam fungsi diantaranya,
dapat meredam hempasan gelombang tsunami, mencegah terjadinya abrasi pantai,
melindungi ekosistem darat dari terpaan angin dan badai, pengendali erosi, habitat flora
dan fauna, tempat berkembang biak, pengendali pemanasan global, penghasil bahan
baku industri kosmetik, biodiesel, dan obat-obatan serta sebagai penghasil bioenergi
(Tuheteru, dkk, 2012). Ekosistem pantai dikenal sebagai salah satu jenis ekosistem
yang unik karena mencakup tiga unsur yakni tanah di daratan, air di lautan, dan udara.
Pantai merupakan pertemuan antara ekosistem daratan dan ekosistem akuatik. Ada
beberapa satuan ekosistem yang tercakup di dalam ekosistem pantai antara lain:
1. Ekosistem Terumbu Karang atau Corall Reef.
2. Ekosistem Hutan Bakau atau Mangrove.
3. Ekosistem Padang lamun atau Sea Grass.
4. Ekosistem Muara Suangai atau Estuari.
5. Ekosistem Pantai Berpasir atau Sandu Beach.
6. Ekosistem Pantai berbatu atau Rocky Beach.

Karakteristik suksesi hutan pantai biasanya didahului oleh dominasi tumbuhan


merambat yakni Ipomoea pes-caprae yang selanjutnya disebut dengan formasi
pescaprae. Di belakang formasi tersebut ditemukan formasi vegetasi inti hutan pantai
yakni formasi Barringtonia. Noor et al, (2006) menyebutkan bahwa tumbuhan yang
membentuk zonasi yang khas ini dapat dibagi dua berdasarkan komunitas tumbuhan
berturut-turut dari daerah pasang surut ke arah darat yaitu:
1. Formasi pes-caprae
Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan pasir
adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang tahan terhadap hempasan gelombang

59 | M o d u l T e o r i
dan angin; tumbuhan ini menjalar dan berdaun tebal. Tumbuhan lainnya adalah
Spinifex littorius (rumput angin), Vigna, Euphorbia atoto, dan Canaualia martina.
Lebih ke arah darat lagi ditumbuhi Crinum asiaticum (bakung), Pandanus
tectorius (pandan), dan Scaeuola Fruescens (babakoan).

2. Formasi Baringtonia
Daerah ini didominasi tumbuhan baringtonia, termasuk di dalamnya
Wedelia, Thespesia, Terminalia, Guettarda, dan Erythrina. Bila tanah di daerah
pasang surut berlumpur, maka kawasan ini berupa hutan bakau yang memiliki akar
napas. Akar napas merupakan adaptasi tumbuhan di daerah berlumpur yang kurang
oksigen. Selain berfungsi untuk mengambil oksigen, akar ini juga dapat digunakan
sebagai penahan dari pasang surut gelombang. Yang termasuk tumbuhan di hutan
bakau antara lain Nypa, Acathus, Rhizophora, dan Cerbera. Jika tanah pasang surut
tidak terlalu basah, pohon yang sering tumbuh adalah: Heriticra, Lumnitzera,
Acgicras, dan Cylocarpus.

Secara ekologis, wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara


ekosistem darat dan laut, dimana batas ke arah daratan mencakup daerah-daerah
yang tergenang air dan maupun tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses laut, seperti : pasang surut, percikan gelombang, angin laut dan
interusi garam, sedangkan batas ke laut adalah daerah - daerah yang dipengaruhi
oleh proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan seperti : aliran air
tawar (river run off and surface run off), sedimentasi, pencemaran dan lainnya
(Dahuri, 2003).

B. Makroalga

Tumbuhan yang terdapat di laut merupakan organisme pada tingkat trofik


terendah atau produsen primer pada suatu ekosistem perairan laut. Tumbuhan laut ini
dapat melakukan fotosintesis serta menghasilkan senyawa yang dibutuhkan oleh
kehidupan berbagai organisme dalam perairan. Faktor utama yang mempengaruhi
kehidupan makroalga yaitu cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis dan substrat
untuk melekat (Suantika dkk, 2007)

60 | M o d u l T e o r i
Makroalga merupakan tumbuhan yang tidak dapat dibedakan antara bagian
akar, batang, dan daun. Semua bagian dari tumbuhan rumput laut disebut thallus.
Kelompok alga tersebut sebagian besar hidup di laut dan ada yang melekat di dasar laut
atau melayang-layang mengikuti gerakan arus laut. Tiga kelas cukup besar dalam Divisi
ini adalah Chlorophyta (alga hijau), Phaeophyta (alga coklat), Rhodophyta (alga
merah). Pada umumnya divisi alga yang banyak hidup dilingkungan laut dan tubuh
tersusun secara multiselular adalah divisi Chlorophyta, Phaeophyta, dan Rhodophyta.
Sedangkan divisi lain umumnya berukuran mikroskopik dan hidup sebagai
fitoplankton.
Tabel 3. Makroalga Di Pantai Leuweung Sancang
No Klasifikasi Ciri Gambar Referensi

Regnum : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Classis : Chlorophycea warna hijau tua,
Ordo : Ulvales berbentuk lembaran,
Familia : Ulvaceae alat melekat dengan
Genus : Ulva rhizoma
1 Ulva sp.
Species : Ulva sp.
(M.D.Guiry,20
14)

Regnum : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Classis : Chlorophyceae warna hijau
Ordo : Shiponocladales
transparan, thallus
Familia :
berbentuk gelembung
Shiponocladaceae
berisi cairan seperti
Genus : Boergesenia
gada
Species : Boergesenia Boergesenia forbesii Harvey
forbesii Harvey (Monti, 2015)

61 | M o d u l T e o r i
Regnum : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Classis : Chlorophyceae
Ordo : Ulvales warna hijau, thallus
Familia : Ulvaceae silindris seperti
Genus : Enteromorpha rambut
3
Species : Enteromorpha
Enteromorpha sp.
sp.
(Reefing, 2013)

Regnum : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Classis : Chlorophyceae warna hijau tua,

Ordo : Caulerpales memiliki thallus

Familia : Caulerpaceae horizontal dan thallus

Genus : Caulerpa vertikal, thallus


4 Species : Caulerpa
vertikal seperti bulu
ayam Caulerpa taxifolia
taxifolia
(Richard Ling, 2006)

Regnum : Plantae warna hijau,


Divisio : Chlorophyta thallus seperti
Classis : Chlorophyceae lembaran yang
Ordo : Ulvales berlubang-lubang
5
Familia : Ulvaceae sehingga seperti jalinan
Genus : Ulva pita,
Species : Ulva reticulata Ulva reticulata
alat pelekat sulit
(Cassidy Lum, Tanpa Tahun)
diamati

62 | M o d u l T e o r i
Regnum : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Classis : Chlorophyceae warna hijau, sumbu
Ordo : Caulerpales tegak silindris, bagian
Familia : Caulerpaceae atasnya mendukung
Genus : Caulerpa rameli
6 Species : Ulva racemosa
Caulerpa racemosa var. clavifera
var. Clavifera
(Sabena, 2013)

Regnum : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Classis : Chlorophyceae
warna hijau, thallus
Ordo : Ulvales
berbentuk lembaran
Familia : Ulvaceae
licin tepi lembaran
7 Genus : Ulva
berombak Ulva lactuca Limnaeu
Species : Ulva lactuca
Limnaeu (Lindeberg, 2003)

Regnum : Plantae
Divisio : Chlorophyta warna hijau, thallus
Classis : Chlorophyceae membentuk bulatan
Ordo : Shiponocladales berongga seperti bola
Familia : Valoniaceae dengan kulit yang agak
8 Genus : Dictyosphaeria kasar, kaku, dan agak
Dictyosphaeria cavernosa
Species : Dictyosphaeria tebal
cavernosa (Leliaert, 2012)

63 | M o d u l T e o r i
Regnum : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Classis : Chlorophyceae warna hijau,
Ordo : Ulvales thallus silindris
Familia : Ulvaceae seperti benang
9 Genus : Enteromorpha
Enteromorpha tubulosa
Species : Enteromorpha
tubulosa (Anonim, Tanpa Tahun)

Regnum : Plantae
Divisio : Chlorophyta warna coklat
Classis : Chlorophyceae kehijauan, thallus
Ordo : Dasycladales seperti balon

Familia : Dasycladaceae membentuk


10
Genus : Bornetella silinder/tabung,
Bornetella nitida
Species : Bornetella nitida berkolon
(Anonim, 2010)

Regnum : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Classis : Chlorophyceae
Ordo : Caulerpales
Familia : Caulerpaceae
warna hijau, memiliki
Genus : Caulerpa
11 thallus horizontal dan
Species : Caulerpa Caulerpa serrulata f. lata
serrulata f. lata thallus vertikal
(Anonim, Tanpa Tahun)

64 | M o d u l T e o r i
warna
Regnum : Plantae
merah
Divisio : Rhodophyta
kecokelatan, thallus
Classis : Rhodophyceae
silindris, percabangan
Ordo : Nemastomiales
mendua berulang-
Familia : Gracilariaceae
12 ulang, menempel pada
Genus : Gracilaria
substrat dengan Gracilaria coronopifolia
Species : Gracilaria
coronopifolia cakram kecil (J. Agardh, 1852)

Regnum : Plantae
Divisio : Rhodophyta
warna merah
Classis : Rhodophyceae
kehijauan, thallus
Ordo : Gelidiales
silindris, permukaan
Familia : Solieriaceae
13 licin, pada thallus
Genus : Eucheuma Eucheuma edule
terdapat benjolan
Species : Eucheuma edule (Anonim, Tanpa Tahun)

Regnum : Plantae
Divisio : Rhodophyta
warna merah
Classis : Rhodophyceae
kehijautan, thallus
Ordo : Gelidiales
memiliki ranting-
Familia : Gelidiaceae
14 ranting pendek
Genus : Gelidium Gelidium sp.
(ramuli)
Species : Gelidium sp. (Dieguez, 2011)

65 | M o d u l T e o r i
Regnum : Plantae
Divisio : Rhodophyta
Classis : Rhodophyceae warna merah, thallus

Ordo : Gigartinales nampak halus

Familia : Hypneaceae berbentuk silindris


15 Genus : Hypnea
Hypnea sp.
Species : Hypnea sp.
(Anonim, Tanpa Tahun)

Regnum : Plantae
Divisio : Rhodophyta
Classis : Rhodophyceae
warna merah dan jika
Ordo : Corallinales
kering berwarna putih,
Familia : Corallinaceae
thallus mudah patah,
16 Genus : Corallina
percabangan mendua Corallina sp.
Species : Corallina sp.
(Vitale, 2012)

Regnum : Plantae
Divisio : Rhodophyta warna merah, thallus

Classis : Rhodophyceae membentuk lembaran

Ordo : Rhodymeniales atau membran, licin,

Familia : Rhodymeniaceae dan halus,


17
Genus : Rhodymenia percabangan Rhodymenia sp.
Species : Rhodymenia sp. dichotomous atau (Anonim, Tanpa Tahun)

66 | M o d u l T e o r i
Regnum : Plantae
Divisio : Rhodophyta
Classis : Rhodophyceae warna merah,
Ordo : Nemastomiales mengandung agar-
Familia : Gracilariaceae agar, thallus bulat,
Genus : Gracilaria licin, berbuku-buku
18
Species : Gracilaria atau bersegmen Gracilaria salicornia C.
salicornia C.
segmen Agardh (Stender, Tanpa Tahun)
Agardh

Regnum : Plantae
Divisio : Rhodophyta
Classis : Rhodophyceae warna
Ordo : Rhodymeniales kemerahan,
Familia : Rhodymeniaceae thallus
19 Genus : Rhodymenia berbentuk pipih, Rhodymenia palmata
Species : Rhodymenia pinggiran thallus rata (Linnaeus) Greville (Anonim,
palmata
atau sedikit bergerigi Tanpa Tahun)

Regnum : Plantae
warna merah, thallus
Divisio : Rhodophyta
mudah patah,
Classis : Rhodophyceae
percabangan mendua,
Ordo : Nemaliales
membentuk rumpun
Familia : Galaxauraceae
rimbun, thallus bulat
20 Genus : Actinotrichia
mengeras permukaan Actinotrichia fragilis
Species : Actinotrichia
fragilis kasar Forsskal (Stender, Tanpa Tahun)

67 | M o d u l T e o r i
Regnum : Plantae
Divisio : Phaeophyta
Classis : Phaeophyceae warna coklat, thallus

Ordo : Fucales menyerupai tumbuhan

Familia : Sargassaceae tingkat tinggi,


21 Genus : Sargassum percabangan selang-
Sargassum sp.
Species : Sargassum sp. seling teratur
(Drajat, 2002)

Regnum : Plantae
Divisio : Phaeophyta
Classis : Isogenerateae warna coklat, thallus

Ordo : Dictyotales seperti jamur kuping,

Familia : Dictiotaceae alat pelekat rhizoid


22 Genus : Padina
Padina sp.
Species : Padina sp.
(Anonim, Tanpa Tahun)

Regnum : Plantae
Divisio : Phaeophyta warna coklat, thallus

Classis : Isogenerateae menyerupai tumbuhan

Ordo : Fucales tingkat tinggi, phylloid

Familia : Sargassaceae lebih panjang dari


23 Genus : Sargassum species Sargassum
Sargassum sp.
Species : Sargassum sp. lainnya
(Drajat, 2002)

68 | M o d u l T e o r i
Regnum : Plantae
Divisio : Phaeophyta
warna coklat, thallus
Classis : Isogenerateae
silindris tegak, kasar,
Ordo : Fucales
phylloid seperti turbin,
Familia : Sargassaceae
alat pelekat seperti
24 Genus : Turbinaria
cakram kecil Turbinaria sp.
Species : Turbinaria sp.
(Anonim, Tanpa Tahun)
Regnum : Plantae
Divisio : Phaeophyta
warna coklat, thallus
Classis : Isogenerateae
silindris, licin, lunak,
Ordo : Scytosiphonales
membentuk rumpun
Familia :
sirkular, percabangan
Scytoshiponaceae
25 tersusun seperti jaring
Genus : Hydroclathrus
Hydroclathrus sp.
dan menggumpal
Species : Hydroclathrus
(Anonim, Tanpa Tahun)
sp.

C. Padang Lamun
Lamun hidup dan terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0,5-10
m, dan sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesies lebih banyak terdapat di
daerah tropik dari pada di daerah ugahari (Barber, 1985 dalam Tangke, 2010). Habitat
lamun dapat dilihat sebagai suatu komunitas, dalam hal ini suatu padang lamun
merupakan kerangka struktur dengan tumbuhan dan hewan yang saling berhubungan.
Habitat lamun dapat juga dilihat sebagai suatu ekosistem, dalam hal ini hubungan
hewan dan tumbuhan tadi dilihat sebagai suatu proses yang dikendalikan oleh
pengaruh-pengaruh interaktif dari faktor-faktor biologis, fisika, kimiawi.

69 | M o d u l T e o r i
Morfologi Tumbuhan Lamun

(Anonim, 2017)

Ekosistem padang lamun pada daerah tropik dapat menempati berbagai habitat,
dalam hal ini status nutrien yang diperlukan sangat berpengaruh. Lamun dapat hidup
mulai dari habitat yang tinggi nutrient hingga rendah nutrient-nya. Berdasarkan
penelitian Apramilda (2011) ciri ekologis padang lamun antara lain adalah :

1. Perairan pantai cukup landai, dengan substrat lumpur/pasir


2. Terdapat di daerah pasang surut dengan ekosistem hutan bakau atau pada ekosistem
terumbu karang
3. Dapat hidup hingga kedalaman laut 30 meter.
4. Bergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan untuk hidup.
5. Secara optimal mampu melakukan proses metabolisme ketika keseluruhan
tubuhnya terbenam air.
6. Mampu hidup pada kondisi salinitas tinggi.
7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.

Berikut parameter yang mempengaruhi pertumbuhan lamun yaitu:


1. Suhu

70 | M o d u l T e o r i
Suhu merupakan salah satu faktor penting karena dapat mempengaruhi
proses- proses fisiologi lamun seperti fotosintesis, pertumbuhan, reproduksi dan
respirasi. Suhu optimum yang dipelukan oleh tumbuhan ini berkisar 28ºC - 30ºC,
sedangkan dalam proses fotosintesis lamun membutuhkan suhu optimum antara 28
- 35ºC (Hutomo 1999).
2. Salinitas
Kemampuan lamun dalam menolerasi salinitas berbeda-beda. Salinitas yang
ideal bagi kehidupan lamun adalah senilai ±35‰ - ±40‰. Penurunan salinitas akan
mengganggu proses pertumbuhan dan menurunkan laju fotosintesis (Waycott et al.
2007) .
3. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) adalah ukuran tentang besarnya kosentrasi ion
hidrogen dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau basa dalam reaksinya
(Wardoyo 1975). pH air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
produktivitas perairan. Suatu perairan dengan pH 5,5-6,5 termasuk perairan yang
tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk perairan yang produktif,
perairan dengan pH 7,5-8,5 adalah perairan yang memiliki produktivitas yang
sangat tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar dari 8,5 dikategorikan
sebagai perairan yang tidak produktif lagi (Hutomo 1999).
4. Kandungan Oksigen Terlarut (DO)
Kandungan oksigen terlarut di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: (1) interaksi antara permukaan air dan atmosfir (2) kegiatan biologis
seperti fotosintesis, respirasi dan dekomposisi bahan organik (3) arus dan proses
percampuran massa air (4) fluktuasi suhu (5) salinitas perairan (6) masuknya limbah
organik yang mudah terurai. Keseimbangan struktur senyawa bahan anorganik
dipengaruhi oleh kandungan oksigen perairan. Menurut Effendi (2003) perairan
yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memilih kadar oksigen
tidak kurang dari 5 mg/L. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/L mengakibatkan
efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik.
5. Kecepatan Arus

71 | M o d u l T e o r i
Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan
oleh tiupan angin dan perbedaan densitas air laut. Kecepatan arus perairan
berpengaruh pada produktifitas padang lamun. Thalassia testudium dapat hidup
maksimal pada kecepatan arus 0.5 m/s (Dahuri 2001). Arus tidak mempengaruhi
penetrasi cahaya, kecuali jika ia mengangkat sedimen sehingga mengurangi
penetrasi cahaya. Arus pasang dan surut yang kuat mengakibatkan sulitnya lamun
untuk menancapkan akarnya, sehingga lamun sulit berkembang biak dengan baik
(Susetiono, 2004 dalam Kopalit, 2010).
6. Kedalaman Perairan
Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai
kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi
oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, sedangkan
Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997).
Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan
pertumbuhan lamun.
7. Kecerahan
Waycott (2007) menyatakan bahwa penyinaran matahari berkorelasi positif
dengan posisi lamun, namun jika terlalu ekstrim dapat mengganggu pertumbuhan
lamun tersebut. Kecerahan perairan sangat penting bagi ekosistem lamun, karena
erat kaitannya dengan proses fotosintesis (Campbell et al, 2006).
8. Substrat
Populasi lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat.
Padang lamun di Indonesia dapat dikelompokan menjadi 6 kelompok berdasarkan
tipe substrat pada habitat lamun tersebut yaitu substrat lumpur, substrat lumpur
pasir, substrat pasir, substrat pasir lumpuran, substrat puing karang, dan batu
karang. Ketebalan dan kestabilan substrat pada habitat lamun akan mempengaruhi
pertumbuhan lamun tersebut. Semakin tebal substrat maka pertumbuhan daun pada
lamun akan optimal baik dengan daun yang panjang dan rimbun. Substrat yang tebal
juga memungkinkan kemampuan pengikatan dan penangkapan sedimen yang
tinggi.

72 | M o d u l T e o r i
Lamun tersebar pada sebagian besar perairan pantai di dunia, hanya pada
beberapa wilayah saja tumbuh-tumbuhan ini tidak ditemukan. Diketahui terdapat 6
genus lamun penghuni perairan tropik, 3 genera termasuk famili Hydrocharitaceae
yaitu Enhalus, Thalassia dan Halodule, 3 genus lainnya termasuk famili Cymodaceae
yaitu Cymodecea, Syringodium dan Thalassodendron. Meskipun demikian, ada
beberapa genera yang mengandung spesies dengan sebaran meluas ke perairan
subtropik dan daerah hangat (warm temperate) misalnya Halophila ovalis dan
Syringodium isoetifolium. Selain itu ada spesies-spesies yang sebarannya terbatas di
perairan subtropik misalnya Cymodocea nodosa, C. angustata dan Thalassodendron
pachyrhizum. Lamun tropik terpusat pada dua wilayah yaitu Indo Pasifik Barat serta
Karibia dan pantai Pasifik.

Kiswara (1997) mengelompokkan sebaran lamun secara vertikal berdasarkan


kedalaman air sebagai berikut:
1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal (kedalaman kurang dari 1 meter) saat
surut terendah. Contoh: Halodule pinifola, Halodule uninervis, Halophila
minor/ovata, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata,
Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acaroides.
2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah kedalaman sedang atau daerah pasang surut
dengan kedalaman perairan berkisar antara 1-5 meter. Contoh: Halodule uninervis,
Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae
serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus acaroides dan Thalassodendron
ciliatum.
3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai 5-35 meter.
Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila spinulosa, Thalassia
hemprichii, Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum.

73 | M o d u l T e o r i
Tabel 4. Beberapa fauna di padang lamun pantai sancang

No Klasifikasi Karakteristik Gambar Referensi


Memiliki lima lengan.
Disk berbentuk penta-
Regnum : Animalia
gonal dan terdapat duri
Phylum : Echinodermata
kecil pada permukaan
Classis : Ophiurida
dorsal. Warna hewan ini
1 Ordo : Ophiurida
sangat bervariasi, merah,
Familia : Ophiurotrichida
kuning dan oranye
Genus : Ophiotrix
dengan motif coklat atau
Species : Ophiotrix sp. Ophiotrix sp.
abu-abu yang lebih
(Will, 2006)
umum.

Bentuk tubuh bulat


Regnum : Animalia panjang, warna tubuhnya
Phylum : Echinodermata coklat terdapat tonjolan-
Classis : Holothuroidea tonjolan berwarna coklat
2 Ordo : Aspidochirotida putih pada bagain
Familia : Holothuriidae tubuhnya. Kulit licin dan
Genus : Holothuria lunak. Spikula berbentuk
Species : Holothuria hilla tables (meja) berukuran Holothuria hilla
kecil, sedang, dan besar. (Stender, 2014)

Bentuk tubuh lonjong


Regnum : Animalia
dengan warna tubuh
Phylum : Echinodermata
hitam. Struktur kulit
Classis : Holothuroidea
kasar, tebal, dan keras.
Ordo : Aspidochirotida
3 Papilla tersebar tidak
Familia : Holothuriidae
teratur pada bagian
Genus : Holothuria
dorsal, kaki tabung pada Holothuria atra
Species : Holothuria atra
bagian ventral. (Witney, 2012)

74 | M o d u l T e o r i
Memiliki tubuh lunak,
panjang silindris serta
memiliki warna dan
Regnum : Animalia
corak yang beragam,
Phylum : Echinodermata
selain itu terdapat
Classis : Holothuroidea
tentakel pada bagian
4 Ordo : Aspidochirotida
mulut atau oral, kaki
Familia : Holothuriidae
tabung, dan beberapa
Genus : Holothuria
jenis dapat mengeluarkan
Species : Holothuria sp.
cairan yang lengket Holothuria sp.
seperti getah karet untuk (Lorddragonstar, Tanpa tahun)
melindungi diri
Mempunyai struktur
Regnum : Animalia cangkang seperti bola
Phylum : Echinodermata yang biasanya sirkular
Classis : Echinoidea atau oval. Permukaan
5 Ordo : Diadematoida cangkang di lengkapi
Familia : Diadematidae dengan duri panjang yang
Genus : Diadema berbeda-beda tergantung
Diadema setosum
Species : Diadema setosum jenisnya, serta dapat
(Tegar, 2011)
digerakkan.

Penjepit, yang berfungsi


Regnum : Animalia
melindungi insang der-
Phylum : Echinodermata
mal, mencegah serpihan-
Classis : Asteroidae
serpihan dan organisme
6 Ordo : Forcipulatida
kecil agar tidak tertimbun
Familia : Asteriidae
di permukaan tubuh,
Genus : Asterias
juga untuk menangkap Asterias forbesi
Species : Asterias forbesi
mangsa. (Jacksonville, 2013)

Regnum : Animalia Mempunyai tubuh seperti


Phylum : Echinodermata bola cakram kecil dengan

75 | M o d u l T e o r i
Classis : Ophiuridea lima lengan panjang. Di
Ordo : Ophiurida bagian seperti lateral
Familia : Ophiutricidae terdapat duri, sedangkan
7 Genus : Ophiuthrix bagian dorsal serta ventral
Species : Ophiuthrix sp. tidak terdapat duri.
Spesies
ini memiliki simetri tubuh
Ophiuthrix sp.
radial saat dewasa,
(Jeff, 2004)
memiliki rangka kapur
yang berduri.
Memiliki cangkang

berbentuk oval–rhombid.

Cangkang seringkali

Regnum : Animalia memiliki tuberkel atau


Phylum : Mollusca
8 akumulasi kalus yang kuat
Classis : Gastropoda
Ordo : Caenogastropoda membingkai bagian
Familia : Cypraeidae
dorsal. Gigi kuat dan
Genus : Cypraea
Species : Cypraea moneta seringkali bersudut tajam.
Cypraea moneta
Warna seragam tanpa
(Muzaki, 2011)
bintik-bintik/ bercak-
bercak.

76 | M o d u l T e o r i
Memiliki cangkang
bagian luar yang
mengkilap dikare-nakan
Regnum : Animalia mantelnya yang keluar ke
Phylum : Mollusca atas permukaan cangkang
Classis : Gastropoda dan menyelimuti-nya dari
Ordo : Caenogastropoda dua arah, yaitu dari sisi
9.
Familia : Cypraeidae kiri dan kanan. Mantel
Genus : Cypraea Cypraea me-miliki
Species : Cypraea annulus Cypraea annulus
tonjolan-tonjolan di
seluruh permu-kaannya (Perry, G., 1811)
yang membuatnya mirip
seperti spons.

Memiliki cangkok dengan


tebal sekitar 2-20 cm,
Regnum : Animalia
dasar cembung, dengan
Phylum : Mollusca
atau tanpa umbilikus.
Classis : Gastropoda
Selain itu memiliki
Ordo : Littorinimorpha
aperture bulat dan padat
Familia : Tubinidae
serta operkulum
Genus : Turbo
melingkar, radula yang
10 Species : Turbo sp.
luas dan sedikit pendek Turbo sp.
( Fred, 2014)
Pendek

Regnum : Animalia Memiliki cangkang yang


Phylum : Mollusca
tebal dan membumbung
Classis : Bivalvia
Ordo : Arcoida secara transversal, sangat
Familia : Arcidae kuat dan secara radial
Genus : Anadara
bergaris dan tertutup,
11 Species : Anadara sp.

77 | M o d u l T e o r i
terutama secara marginal. Anadara sp.

Umbo terjadi kearah (Stefan, 2006)

anterior hal menyebabkan

sisi cangkang tidak sama,

tetapi kedua katupnya

sama

Cangkangnya runcing
Regnum : Animalia
serta terdapat pola coklat
Phylum : Mollusca
Classis : Gastropoda
12 Ordo : Littorinimorpha
Familia : Littorinidae
Genus : Littorina Littorina scabra
Species : Littorina scabra (G&Ph Poppe, 2015)

Regnum : Animalia Memiliki siphon yang


Phylum : Mollusca panajng serta cangkak
Classis : Gastropoda yang membulat dibagian
Ordo : Neogastropoda tengahnya, dan meruncing
Familia : Nassariidae ke arah ujung cangkang.
Genus : Nassarius Umumnya ditemukan dari
Species : Nassarius warna coklat muda hinga
13
globosus oranye Nassarius globosus
(G&Ph Poppe, 2015)

78 | M o d u l T e o r i
Regnum : Animalia Memiliki cangkang yang
Phylum : Mollusca mengkilat, serta terdapat
Classis : Gastropoda lekukan yang berpola
Ordo : Neogastropoda disepanjang sutur cang-
Familia : Nassariidae kang.
Genus : Nassarius
14 Species : Nassarius pullus
Nassarius pullus
(G&Ph Poppe, 2003)

Regnum : Animalia Memiliki cangkang


Phylum : Mollusca terpisah dari tubuhnya.
Classis : Malacostraca Pagurus sp. memilki capit
Ordo : Decapoda sebagai proteksi diri. Ia
Familia : Decapoda juga memilki sepasang
Genus : Pagurus antenna dan antennula dan
15 Species : Pagurus sp. memilki mata majemuk di Pagurus sp
ujung eyestalk.
(Randal, 2017)

Regnum : Animalia Bentuk tubuh neritik,


Phylum : Mollusca cangkang luar yang keras
Classis : Gastropoda dengan shell yang kuat.
Ordo : Cycloneritimorpha warna coklat kehitaman
Familia : Neritidae dengan abu-abu. Oper-
Genus : Nerita kulum berwarna coklat
Species : Nerita undata kehitaman, operkulum
16
luar memiliki bagian Nerita undata

granul datar. (Eddy, 2017)

Regnum : Animalia Tekstur cangkangnya licin


Phylum : Mollusca dan mengkilap. Umu-
Classis : Gastropoda mnya mempunyai oper-
Ordo : Neogastropoda kulum yang menempel
Familia : Olividae pada kaki dan berfungsi

79 | M o d u l T e o r i
Genus : Oliva sebagai penutup. Bagian
Species : Oliva sp. luar cangkangnya meng-
17
kilap dan licin yang
berwarna hitam. ( Verma,
2002).

Oliva sp
(Eddy, 2017)

Regnum : Animalia Biasanya berwarna merah


Phylum : Arthropoda terang. Permukaan
Classis : Malacostraca karapas mulus, dengan
Ordo : Decapoda ridge yang berbeda.
Familia : Portunidae Bagian depan memiliki 6
Genus : Thalamita lobus, median
18 Species : Thalamita
4 lobus memotong dan Thlamita spinimana
spinimana
lateralis 2 lobus bulat. (Wildsingapore, 2016)

80 | M o d u l T e o r i
81 | M o d u l T e o r i
EKOSISTEM PADANG RUMPUT

A. Deskripsi Umum Ekosistem Padang Rumput


Padang rumput adalah salah satu kelompok ekosistem daratan (terestrial) yang
terbentuk secara alami, mempunyai ciri khas seperti ditumbuhi tumbuhan jenis rumput,
memiliki curah hujan terbatas dan tidak merata, diperkirakan 25-30 cm/tahun. Kondisi
tersebut dikarenakan area padang rumput yang luas, sehingga tumbuhan sulit untuk
mengambil dan mengelola air menyebabkan tanaman pohon menjadi sulit tumbuh
maupun berkembang. Ekosistem padang rumput banyak ditemui di daerah yang
beriklim tropis dan subtropis (Olden, 2004).
Menurut Sembodo (2010) ciri – ciri ekosistem padang rumput :
1. Terdapat didaerah beriklim tropis dan subtropis
2. Tumbuhan didominasi oleh rumput
3. Hamparan lahan yang sangat luas
4. Memiliki jenis tanaman yang khas
5. Habitat berbagai jenis hewan

B. Komponen Abiotik
Komponen abiotik merupakan komponen ekosistem padang rumput yang
berupa benda mati. Komponen tersebut bisa berbentuk fisik maupun unsur kimia yang
dapat menjadi media untuk mendukung kehidupan pada ekosistem tersebut. Disebut
juga sebagai komponen yang berupa lingkungan dimana tempat makhluk hidup tinggal.
Menurut Sastroutomo (1990) komponen abiotik sangat beragam, berikut beberapa
diantaranya :
a. Keadaan suhu
Suhu dapat mempengaruhi setiap proses yang terjadi pada makhluk hidup yang
tinggal di padang rumput. Seperti suhu mempengaruhi penguapan dan
metabolisme organisme hidup.
b. Air

81 | M o d u l T e o r i
Air sangat penting bagi setiap makhluk hidup, tidak ada makhluk hidup yang
bisa hidup tanpa air, terutama di padang rumput. Jadi air dapat mempengaruhi
perkembangan setiap makhluk hidup di padang rumput. Seperti tanaman
membutuhkan air sebagai bahan fotositesis.
c. Tanah dan batuan
Keadaan tanah dan batuan mempengaruhi perkembangan maupun penyebaran
organisme hidup terutama di padang rumput. pH tanah, struktur fisik tanah dan
kandungan mineralnya dapat mempengaruhi perkembangan setiap tumbuhan.
d. Cahaya matahari
Sinar matahari sangat penting bagi semua makhluk hidup, terutama bagi
tumbuhan. Dengan cahaya matahari maka setiap tumbuhan hijau dapat
melakukan fotosintesis untuk memproduksi makanannya sendiri dan
menghasilkan oksigen.
e. Iklim
Iklim dapat diartikan sebagai cuaca yang terdapat pada suatu area atau daerah
dalam jangka waktu yang lama. Tentunya jika iklim stabil akan mempengaruhi
kehidupan pada ekosistem padang rumput.

C. Komponen Biotik
Komponen biotik disebut juga komponen hidup atau organisme hidup pada
suatu ekosistem. Di padang rumput terdapat beberapa jenis organisme hidup yang
mendukung terbentuknya ekosistem padang rumput, komponen tersebut seperti
rumput, serangga dan lain-lain (Rosalia, 2008).
Vegetasi atau komunitas tumbuhan merupakan salah satu komponen biotik
yang menempati habitat tertentu seperti hutan, padang ilalang, semak belukar dan lain-
lain. Struktur dan komposisi vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh komponen
ekosistem lainnya yang saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara
alamiah pada wilayah tersebut sesungguhnya merupakan pencerminan hasil interaksi
berbagai faktor lingkungan dan dapat mengalami perubahan drastis karena pengaruh
anthropogenik (Astirin, 2000).

82 | M o d u l T e o r i
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-- tumbuhan, biasanya terdiri dari
beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. mekanisme kehidupan
bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun
vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu
sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Brewer, 2008).
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempalajari susunan dan komposisi
vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari tumbuh-tumbuhan. Analisis vegetasi
dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas
tumbuhan. Analisis vegetasi yang dihitung yaitu kerapatan relatif, kerapatan mutlak,
frekuensi relatif, frekuensi mutlak, dominansi relatif, dominansi mutlak dan indeks nilai
penting (Brewer, 2008).

D. Vegetasi Ekosistem Padang Rumput

No. Klasifikasi Ciri Umum Gambar Referensi


1. Regnum : Plantae • Memiliki terna
Divisi : Magno- bertahunan yang
liophyta berstolon.
Classis : Liliopsida • Merumput dengan
Ordo : Poales rimpang bawah tanah
Familia : Poaceae menembus tanah sampai
Genus : Cynodon kedalaman 1m atau lebih. Cynodon dactylon
Spesies : Cynodon • Lamina melancip, (Navie, 2016)
dactylon berlapis lilin putih keabu-
abuan tipis di permukaan
bawah. Gundul atau
berambut pada
permukaan atas.
• Pelepah daun panjang,
halus, berambut atau Tunas

gundul. (Navie, 2016)

83 | M o d u l T e o r i
• Ligula tampak jelas
berupa cincin rambut-
rambut putih.
• Bunga tegak, seperti
tandan.

Daun
(Navie, 2016)

Perbungaan
(Navie, 2016)
2. Regnum : Plantae • Memiliki batang tumpul
Divisi : Magnoliophy sampai persegi tiga tajam.
ta • Daun berjumlah 4 – 10
Classis : Liliopsida helai dan letaknya
Ordo : Cyperales berjejar pada pangkal
Familia : Cyperaceae batang.
Genus : Cyperus • Helaian daun bentuk
Spesies : Cyperus garis, dari atas hijau tua
rotundus mengkilat, 10 – 60 kali
Cyperus rotundus
0.2 – 0.6 cm.
(Richard, 2019)
• Memiliki Bunga
Majemuk, di ujung
batang, bentuk bulir,

84 | M o d u l T e o r i
panjang 1-3 cm, lebar 2
mm, benang sari tiga,
kepalasari merah, putik
panjang ± 1,5 cm, coklat.
• Memiliki buah berbentuk
bulat telur panjang ± 1,5
cm, coklat.
Daun & Perbungaan
• Daun pembalut
(Richard, 2019)
berjumlah 3 – 4, tepi
kasar, tidak merata. Jari-
jari payung 6 – 9, pangkal
tertutup oleh daun
pelindung yang
berbentuk tabung yang
terpanjang 3 – 10 cm.

Batang & Perbungaan


(Richard, 2019)
3. Regnum : Plantae • Batang berbentuk bulat,
Divisi : Magnoliophy berambut jarang.
ta • Daun bawah berhadapan
Classis : Magno- dan bertangkai cukup
liopsida panjang, daun yang
Ordo : Asterales teratas tersebar dan
Familia : Asteraceae bertangkai pendek.
Genus : Ageratum • Helaian daun bulat telur,
Ageratum conyzoides
Spesies : Ageratum beringgit, panjang 1 – 10
(Jessurun, 2007)
conyzoides kali, 0.5 – 6 cm.
• Memiliki bunga yang
sama panjang dengan
pembalutnya. Mahkota
dengan tabung sempit

85 | M o d u l T e o r i
dan pinggiran sempit
bentuk lonceng, berlekuk
5, panjang 1 – 1.5 mm.
• Bongkol bunga
berkelamin satu macam.
Terdapat 3 atau lebih
bongkol berkumpul jadi
karangan bunga bentuk Daun

malai rata yang terminal. (Jessurun, 2007)

• Daun pembalut tersusun


dalam 2 – 3 lingkaran.

Batang & Perbungaan


(Hyde, 2019)
4. Regnum : Plantae • Memiliki batang yang
Divisi : Magnoliophy tidak berongga,
-ta bentuknya tertekan ke
Classis : Dicotyledone arah lateral sehingga agak
-ae pipih, tidak berbulu,
Ordo : Poales tumbuh tegak berumpun,
Familia : Poaceae sering membentuk
Genus : Axonopus geragih yang pada setiap
Axonopus compressus
Spesies : Axonopus ruasnya dapat
(Gardner, 2004)
compressus membentuk akar dan
tunas baru.
• Daun berbentuk lanset,
pada bagian pangkal

86 | M o d u l T e o r i
meluas dan lengkung,
ujungnya agak tumpul.
• Bunga terdiri dari dua
sampai tiga tangkai yang
ramping dan semuanya
tergabung secara
simpodial.
Daun
(Gardner, 2004)

Batang
(Gardner, 2004)

Perbungaan
(Gardner, 2004)

87 | M o d u l T e o r i
Akar
(Gardner, 2004)
5. Regnum : Plantae • Memiliki rimpang yang
Divisi : Magnoliophy dapat membuat tanaman
ta seperti liana, hidup 30cm
Classis : Liliopsida diatas tanah.
Ordo : Poales • Bentuk daun lanceolate
Familia : Poaceae dengan panjang 1-10 cm
Genus : Ottochloa dan lebar 1,5-7 mm.
Spesies : Ottochloa • Perbungaan dengan (Whyte, 2004)
gracillima panjang panikula
mencapai 6 cm.
Glumanya lebih tipis
daripada lemma fertil.

Batang & Daun


(Rose, 2004)

88 | M o d u l T e o r i
S6. Regnum : Plantae • Herba dengan batang
Divisi : Magnoliophy berbulu dan berduri.
-ta Berukuran lebih kurang
Classis : Magnoliopsi- 2m.
da • Daunnya kasar, beraroma
Ordo : Lamiales dan berukuran panjang
Familia : Verbenaceae dengan bagian tepi daun
Genus : Lantana yang bergerigi.
Spesies : Lantana • Bercabang banyak, rantin Lantana camara
camara g bentuk segi empat, (Wilson, 2009)
terdapat varietas berduri
dan yang tidak berduri.
• Daun tunggal, duduk
berhadapan, bentuk bulat
telur dengan ujung
meruncing, pinggirannya
bergerigi, tulang daun
menyirip, permukaan atas
berambut banyak dan
terasa kasar dengan Daun
perabaan, permukaan (Wilson, 2009)
bawah berambut jarang.
• Bunga dalam rangkaian
yang bersifat rasemosa.
Bunganya
berwarna putih, merah
muda, jingga dan kuning.
• Buah seperti buah buni
dan berwarna hitam Perbungaan

mengkilap bila sudah (Wilson, 2009)

matang.

89 | M o d u l T e o r i
Buah
(Wilson, 2009)
7. Regnum : Plantae • Daun memiliki bentuk
Divisi : memanjang seperti pita dan
Magnoliophyta Classis berjenis tunggal,
: Liliopsida pangkalnya saling
Ordo : Poales menutup. Daun berwarna
Familia : Poaceae hijau, dan kemerah-
Genus : Imperata merahan jika sudah tua.
Spesies : Imperata Ujung daun runcing dan
cylindrica tajam serta berdiri tegak
dan kasar. Imperata cylindrica
• Tangkai bunga alang-alang (Hyde, 2019)
biasanya mempunyai
diameter 1 – 3 mm, pada
bagian kepala putik
memiliki bentuk
menyerupai bulu ayam.
• Pada satu tangkai terdapat
dua bulir bersusun. Bagian
diatas adalah bunga Tangkai & Daun
sempurna, sedangkan (Hyde, 2019)
bagian bawah adalah bunga
mandul.

90 | M o d u l T e o r i
• Bunganya memiliki
susunan bulir yang
majemuk serta agak
memguncup, panjang daun
bisa tumbuh dari 6 – 28 cm.
Di dalam setiap cabangnya
terdiri dari 2 bulir, Panjang Perbungaan
bulir sekitar 3 mm, Pada (Hyde, 2019)
pangkal bulir terdapat
rambut halus yang panjang
dan padat berwarna putih,
agak menguncup, dan
mudah diterbangkan oleh
angin.
8. Regnum : Plantae • Memiliki panjang dan
Divisi : Magnoliophyta bukaan spatha khas dengan
Classis : Liliopsida ujung acutus, bentuk daun
Ordo : Commelinales lanceolate bergerigi di satu
Familia : Commelina- sisi.
ceae • Braktea berbentuk bulat
Genus : Commelina atau hati terdapat rambut
Spesies : Commelina dipinggirnya. Commelina diffusa
diffusa
• Bunga aktinomorf (Pitcairn, 2000)
biru/ungu, terbuka di pagi
hari dengan 3 stamen fertil
dan 2 steril. Memiliki 3
petal.

Daun & Perbungaan


(Pitcairn, 2000)

91 | M o d u l T e o r i
9. Regnum : Plantae • Daun berwarna hijau atau
Divisi : Magnoliophyta ungu yang agak
Classis : Liliopsida bertumpuk-tumpuk
Ordo : Poales dengan helaian daun yang
Familia : Poaceae sangat pendek, bentuk
Genus : Ischaemum lanset hingga bulat telur.
Spesies : Ischaemum • Perbungaan terminal, Ischaemum barbatum
barbatum (Giat, 2005)
terdiri dari 2 tandan yang
menyatu, buliran
berpasang-pasangan, satu
melekat dan satu
bertangkai, warna jerami;
buliran yang melekat
gundul, sedangkan
Perbungaan
buliran yang bertangkai (Giat, 2005)
berambut.

Tangkai & Daun


(Giat, 2005)
10. Regnum : Plantae • Kadang tidak memiliki
Divisi : Magnoliophyta rhizome, yang digantikan
Classis : Liliopsida oleh stolon.
Ordo : Poales • Batang berbentuk bulat
Familia : Poaceae silindris, semakin
Genus : Eragrostis kebawah berongga.
Spesies : Eragrostis Pelepahnya berbulu
amabilis E. amabilis
panjang dan jarang.
(Rose, 2004)

92 | M o d u l T e o r i
• Helaian daun lanset, agak
kasar, sisi atas dan
sepanjang tepi.
• Perbungaan yang banyak
berupa malai yang
terbuka dengan panjang
yaitu antara 2 – 35 cm.
Warna keunguan. Batang & Daun
(Rose, 2004)

Perbungaan
(Rose, 2004)
11. Regnum : Plantae • Bentuk daunnya bulat
Divisi : Magnoliophyta seperti ginjal manusia.
Classis : Magnoliopsida • Batangnya lunak dan
Ordo : Apiales beruas, serta menjalar
Familia : Apiaceae hingga mencapai satu
Genus : Centella meter.
Spesies : Centella • Pada tiap ruas tumbuh Centella asiatica
asiatica
akar dan daun dengan (Albert, 2004)
tangkai daun panjang
sekitar 5– 15 cm dan akar
berwarna putih, dengan
rimpang pendek dan
stolon yang merayap
dengan panjang 10–80
cm (van Steenis, 1997).

93 | M o d u l T e o r i
• Tinggi tanaman berkisar
antara 5,39–13,3 cm,
dengan jumlah daun
berkisar antara 5–8,7
untuk tanaman induk dan
2–5 daun pada anakannya
(Bermawie etal., 2008). Batang
• Bunga umumnya 3, yang (Albert, 2004)
ditengah duduk, yang
disamping bertangkai
pendek, daun pelindung
2, panjang 3-4 mm,
bentuk bulat telur,
mahkota bunga berwarna
merah lembayung,
Daun
panjang 1-1,5 mm, lebar
(Albert, 2004)
sampai 0,75 mm.

E. Karakteristik Ordo pada Insekta


Serangga disebut juga hexapoda (hewan berkaki enam), merupakan kelas
besar dari filum Arthropoda (Jasin, 1992). Bentuk tubuh serangga menyerupai
silinder yang beraneka ragam, dengan kulit yang keras sebagai pelindung dan
memberi bentuk tubuh (kerangka luar). Pada bagian kepala terdapat mulut dan
sepasang antena, sedangkan pada thoraks terletak tiga pasang tungkai dan sayap.
Aspek susunan bagian-bagian tubuh serupa ini sudah khas pada insekta, oleh karena
itu dinamakan juga hexapoda (hewan berkaki enam) (Brotiwijoyo, 1994). Besarnya
jumlah spesies serangga dan keberhasilannya dalam menguasai berbagai habitat di
alam, antara lain disebabkan adanya sayap dan kemampuannya dalam membatasi
penguapan air dari dalam tubuhnya karena memiliki kutikula dan sistem trakea
(Suwignyo, dkk. 2005).

94 | M o d u l T e o r i
No. Ordo Ciri Umum Gambar referensi
1. Isoptera • Ordo ini memiliki sayap 2
pasang dan bermembran.
• Sayap depan dan belakang
memiliki bentuk dan
ukuran yang sama. Namun,
ada beberapa serangga
tidak memiliki sayap.
• Tipe alat mulut ordo ini
adalah penggigit dan
pengunyah.
• Memiliki cerci 2 ruas. (Nonadita, 2007)

• Contoh : Rayap, laron, dan


lain-lain.
2. Homoptera • Memiliki tubuh yang sangat
kecil sampai besar.
• Memiliki antenna yang
pendek seperti bulu keras
atau lebih panjang dengan
bentuk filiform.
• Jenis mulut adalah penusuk
penghisap yang muncul dari
belakang kepala.
• Serangga-serangga ini juga
tidak memiliki cerci.
Bagi serangga yang
bersayap, memiliki 2 pasang (Jumar, 2000)
sayap. Sayap depan seragam
bentuknya, yaitu seperti
selaput atau sedikit menebal.
• Sayap belakang juga
berbentuk seperti membran.

95 | M o d u l T e o r i
Ketika istirahat, bentuk
sayap mirip dengan genting.
• Contoh : Wereng, kutu kebul
dan lain-lain.
3. Hemiptera • Memiliki tubuh yang
pipih dengan ukuran sangat
kecil sampai besar.
• Sayap pada bagian pangkal
sayap menebal, sedangkan
ujungnya bermembran.
• Memiliki antena yang
panjang. Alat mulutnya
bertipe penusuk penghisap
yang muncul dari depan
kepala.
(Jumar, 2000)
• Tidak memiliki cerci.
• Contoh : Kepik, kepinding
tanah, kepinding air,
anggang-anggang dan lain-
lain.
4. Odonata • Memiliki ukuran tubuh yang
besar dengan antena pendek
dan kaku. Tubuh panjang
dan ramping. Abdomen
berbentuk panjang dan
ramping.
• Tipe mulut adalah penggigit
pengunyah.
• Sayap berbentuk seperti
selaput dan mempunyai
(Lilies, 2005)
banyak vena. Ketika terbang,
serangga-serangga ini

96 | M o d u l T e o r i
menggerakkan pasangan
sayapnya bergantian antara
pasangan sayap depan dan
belakang.
• Contoh : capung dan lain-
lain.
5. Lepidoptera • Antena memiliki ukuran
agak panjang.
• Tipe mulut pada fase larva
adalah penggigit
pengunyah, sedangkan
pada fase dewasa berubah
menjadi tipe penghisap.
• Memiliki ukuran tubuh
yang kecil hingga besar.
Memiliki 2 pasang sayap
dan tertutup bulu dan sisik.
• Contoh : kupu-kupu,
ngengat dan lain-lain.

(Nonadita, 2007)
6. Coleoptera • Memiliki sayap depan yang
keras, tebal, menanduk,
tidak memiliki vena dan
berfungsi sebagai pelindung.
• Sayap belakang bermembran
dan melipat di bawah sayap
depan pada waktu istirahat.
Ukuran tubuh kecil hingga
besar.
• Pada fase larva dan dewasa (Hansanmuhito, 2006)
mempunyai alat mulut

97 | M o d u l T e o r i
bertipe penggingit-
pengunyah, beberapa ada
yang memiliki cucuk
(rostrum), yang kadang-
kadang digunakan untuk
penetrasi pada jaringan
tanaman.
• Fase larva, ordo ini tidak
memiliki kaki abdominal,
umumnya dengan 3 pasang
kaki thorakal.
• Contoh : kumbang dan lain-
lain.
7. Ordo • Memiliki ukuran tubuh yang
Hymenoptera sangat kecil hingga besar.
Antenna yang dimiliki
berjumlah 10 ruas bahkan
lebih.
• Tipe alat mulut adalah
penghisap. Ovipositor pada
beberapa jenis serangga
termodifikasi menjadi alat
penyengat.
• Memiliki sayap berjumlah 2
pasang yang berbentuk
seperti selaput dengan vena
(Suin, 2009)
sedikit. Serangga yang
berukuran kecil hampir tidak
memiliki vena di sayapnya.
• Sayap depan lebih besar
dibandingkan sayap
belakang.

98 | M o d u l T e o r i
• Contoh : lebah, tawon,semut
dan lain-lain.

8. Orthoptera • Memiliki ukuran tubuh yang


sedang hingga besar.
• Alat mulut adalah menggigit
mengunyah. Pada serangga
betina.
• Memiliki ovipositor yang
berkembang baik. Serangga
jantan ada yang mempunyai
alat penghasil suara yang
terletak di tibia atau
abdomen.
• Ada yang memiliki sayap,
dan ada yang tidak. Bagi
yang bersayap, jumlah
sayapnya adalah dua pasang.
• Bentuk sayap depan panjang
menyempit dan terdapat
banyak vena serta bentuknya (Hansanmuhito, 2006)

menebal seperti kertas


perkamen.
• Bentuk sayap belakang
adalah bermembran,
bentuk melebar, dan
memiliki banyak vena.
• Contoh : Belalang, jangkrik
dan lain-lain.
9. • Memiliki D
cerci yang berupa
e
forcep atau catut. Serangga
r forcep yang
jantan memiliki

99 | M o d u l T e o r i
kokoh dan kasar
m (bergigi),
sedangkan betina
a forcep-nya
lebih halus danp ramping.
• Tubuh pipih dan
t berukuran
e
kecil hingga sedang.
• Memiliki sayap
r depan yang
pendek sepertia kulit, sayap
(Nonadita, 2007)
belakangnya berbentuk
seperti selaput dan melipat di
bawah sayap depan saat
hinggap.
• Tipe mulut adalah penggigit
dan pengunyah.
• Contoh : cecopet dan lain-
lain.

100 | M o d u l T e o r i
DAFTAR PUSTAKA

Alam. (2010). Dysoxylum. [Online]. Diakses dari


https://alamendah.org/2010/07/24/majegau-dysoxylum-densiflorum-
identitas-provinsi-bali/
Alam. (2011). Elaeocarpus. [Online]. Diakses dari
https://alamendah.org/2014/10/03/ganitri-atau-jenitri-pohon-air-mata-dewa-
siwa/ganitri-elaeocarpus-serratus-2/
Arlita. (2015). Shorea. [Online]. Diakses dari arlita dkk
https://media.neliti.com/media/publications/186512-ID-inventarisasi-
permudaan-meranti-shorea-s.pdf
Astrin. (2000). Ekologi. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Brewer. (2008). Ekologi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Brotowidjoyo, M. 1994. Zoologi Dasar. Jakarta; Erlangga.
Cahyani. (2016). Cerbera sp . [Online]. Diakses dari
http://eprints.ums.ac.id/32114/4/BAB%201.pdf
Chrisnanto. (2014). Hibiscus. [Online]. Diakses dari
http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?page_id=227
Ghufran, M. 2012. Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. PT.
Rineka cipta. Jakarta.
Goltenboth & Friedhelm. (2006). Ecology of Insular Southeast Asia : The Indonesia

Archipelago.Elsevier. Amsterdam.
Heriyanto. (2014). Dipterocarpus sp. [Online]. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/55349-ID-sebaran-dan-potensi-
keruing-dipterocarpu.pdf
Himasper IPB. (2016). Primadona Unik di Perairan Estuari: Udang Api – Api
(Metapenaeus monoceros, Fabricius 1798).[Online]. Diakses dari :
http://himasper.lk.ipb.ac.id/udang-api-api/.

101 | M o d u l T e o r i
Irawan. (2015). Struktur Vegetasi dan Keanekaragaman Tumbuhan Pantai di Hutan
Pantai Leuweung Sancang (SKRIPSI). [Online]. Diakses dari
repository.upi.edu
Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Surabaya; Sinar
Wijaya.
Juniarto (2017). Terminalia. [Online]. Diakses dari
http://eprints.umm.ac.id/35043/3/jiptummpp-gdl-juniarto20-47410-3-
babii.pdf
Kalima. (2013). Hernandia. [Online]. Diakses dari http://ejournal.forda-
mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHKA/article/view/479/463
Kitamura, Shozo, Chairil Anwar, Amoyos Chaniago dan Shigeyuki Baba. (1997).
Handbook of Mangrove in Indonesia. Volume. Edisi ke-3.
Leksono, A. S. (2007). Ekologi (Pendekatan Deskriptif Dan Kuantitatif). Malang:
Bayumedi Publishing.
Mahfudz, F. D, (2012). Ekologi, Manfaat & Rehabilitasi Hutan Pantai Indonesia :
Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado
Nontji, A. (2002). Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
Nyabaken, J. W. (1992). Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT.
Gramedia.
Olden JD, Poff NL, Douglas ME, Faucsh KD. (2004). Ecological and evolutionary.
Tren in Ecol an Evol. 19(1): 18-24.
Risnandar, Cecep. (2018). Hutan Mangrove. [Online]. Diakses dari :
https://jurnalbumi.com/knol/hutan-mangrove/.
Romimohtarto, K & Juwana. (2001). Biologi Laut. Jakarta: Djambatan.
Rosalia N. (2008). Ekologi. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Rositasari, R. & Rahayu, S. K. (1994). Sifat-Sifat Estuari dan Pengelolaannya. Jurnal
Oseanografi, XIX (3) : 21 – 31
Sastroutomo SS. (1990). Ekologi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Sembodo DRJ. (2010). Gulma dan Pengelolaanya.Yogyakarta (ID): Graha ilmu.

102 | M o d u l T e o r i
Setiawan. (2015). Ficus. [Online] Diakses dari http://etheses.uin-
malang.ac.id/470/8/10620087%20Bab%204.pdf
Silik. (2006). Mallotus. [Online]. Diakses dari
http://www.asianplant.net/Euphorbiaceae/Mallotus_tiliifolius.htm
Sinta. (2009). Pongamia. [Online]. Diakses dari
https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1208305008-3-II.pdf
Suwignyo, S. Widigdo, B. Wardianto, Y. & Krisna, M. (2005). Avertebrata Air Jilid 2.
Jakarta; Penebar Swaday.
Tanpa nama. (2019). Hutan Mangrove Cibako Sancang Kabupaten Garut Jawa Barat.
[Online]. Diakses dari : https://gpswisataindonesia.info/2019/06/hutan-
mangrove-cibako-sancang-kabupaten-garut-jawa-barat/.
Tanpa nama. (2013). Kepiting Bakau (Scylla sp). [Online]. Diakses dari :
https://www.dunia-perairan.com/2013/02/kepiting-bakau-scylla-sp.html.
Tuwo, A. Rohani A.R., A. Saru, C. Rani. (2011). Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan
Laut. Surabaya: Brilian Internasional.
Usmadi, D., dkk. (2015). Populasi dan Kesesuaian Habitat Langkap (Arenga
obtusifolia Mart.) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Jawa Barat (Population
and Habitat Suitability of Langkap (Arenga obtusifolia Mart.) in Leuweung
Sancang Nature Reserve, West Java). Jurnal Biologi Indonesia (2) : 205-214
Pratiwi, Rianta. (2014). Karakteristik Morfologi Kepiting MangroveUca spp
(Crustacea : Decapoda :Ocypodidae). [Online]. Diakses dari :
http://oseanografi.lipi.go.id/dokumen/os_xxxix_2_2014-3.pdf. (7 November
2019).
Wetlands. (tanpa tahun). Wetlands International Indonesia Programme. [Online].
Diakses dari : http://www.wetlands.or.id/mangrove/mangrove_species.php?id.
Whitford. (2011). Forest Hydrology and Biogeochemistry. Springer
Wibisono, M.S. (2005). Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: PT. Grasindo.

103 | M o d u l T e o r i
104 | M o d u l T e o r i

Anda mungkin juga menyukai