Anda di halaman 1dari 29

Ringkasan Ilmu Mantiq

1. Pengertian ilmu mantiq


mantiq secara etimologis atau bahasa berasal dari dua bahasa, yaitu
bahasa arab nataqa yang berarti berkata atau berucap dan bahasa
latin logos yang berartiperkataan atau sabda.

Pengertian mantiq menurut istilah ialah:


1. Alat atau dasar yang gunanya untuk menjaga dari kesalahan
berpikir.
2. Sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berfikir
sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari
berfikir yang salah.
2. Sejarah ilmu mantiq
Ilmu mantiq ini berasal dari negara Yunani, yaitu negeri penduduknya yang mendapat
karunia otak cerdas. Negeri Yunani, terutama seorang tokoh yang bernama Athena, dialah
seorang yang diakui menjadi sumber berbagai ilmu. Diantara Socrates, Plato, Aristoteles, dan
banyak lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh ilmiah yang sudah mashur. Tetapi khusus logika
atau Ilmu Mantiq Aristoteles lah gurunya.

Pada saat itu juga Aristoteles (384-322 SM) berusaha mengalahkan mereka secara ilmiah
dengan pernyataan-pernyataannya yang logis dan brilian. Pernyataan-pernyataan itu ia
peroleh melalui diskusi dengan murid-muridnya. Keberhasilannya menyusun teknik berfikir
sistematis dan benar sekaligus hukum-hukumnya, telah mengangkatnya jadi guru pertama
logika didunia sampai kemasa ini. Julukan itu memang tepat karena tidak ada orang yang
mendahuluinya dalam upaya menyusun teknik berfikir benar dengan kesimpulan yang benar
seperti yang dihasilkannya itu. Dengan kata lain, keberhasilannya itu murni dari upaya
pemikiran sendiri.

Karya Aristoteles sangat dikagumi pada masanya dan masa sesudahnya sehingga logika
dipelajari di setiap perguruan. Plato (427-347 SM), murid Aristoteles, hanya menambahnya
sedikit. Immanuel Kant (1724-1804 SM) pemikir terbesar bangsa jerman, menyatakan bahwa
logika yang diciptakan Aristoteles itu tidak bisa ditambahi lagi walau sedikit karena sudah
cukup sempurna.

Akan tetapi Konsili Nicae (325 M), dengan alasan yang menurut mereka masuk akal dengan
menyatakan menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Grik di Athena (Yunani), Antiokia dan
Roma. Pelajaran logika juga dilarang kecuali bab-bab tertentu yang dipandang tidak merusak
akidah kristiani. Hal ini merupakan pukulan mematikan bagi filsafat Yunani sekaligus logika.
Sejak masa itu sampai hampir seribu tahun lamanya, alam pemikiran di barat menjadi padam
sehingga dikenal dengan Zaman The Dark Ages (zaman gelap).
Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh penulis lainnya di antaranya adalah
Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan-pernyataan dengan
simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis. Demikian juga
Leonard Euler, seorang ahli matematika dan logika Swiss melakukan pembahasan tentang
term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran untuk menggabungkan hubungan antar-
term yang terkenal dengan sebutan Circle-Euler.

John Stuart Mill pada tahun 1843 mempertemukan sistem induksi dengan sistem deduksi.
Setiap pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya induksi
memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan
penyelidikan. Jadi, kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah,
tetapi sebetulnya saling membantu. Mill sendiri merumuskan metode-metode bagi sistem
induksi, terkenal dengan sebutan Four Methods.

Logika Formal sesudah masa Mill lahirlah sekian banyak buku-buku baru dan ulasan-ulasan
baru tentang logika. Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu cabang baru yang
disebut dengan Logika-Simbolik. Pelopor logika simbolik pada dasarnya sudah dimulai oleh
Leibniz.

Logika Simbolik pertama dikembangkan oleh George Boole dan Augustus de Morgan. Boole
secara sistematik dengan memakai simbol-simbol yang cukup luas dan metode analisis
menurut matematika, dan Augustus De Morgan (1806-1871) merupakan seorang ahli
matematika Inggris memberikan sumbangan besar kepada logika simbolik dengan
pemikirannya tentang relasi dan negasi.

Tokoh logika simbolik yang lain ialah John Venn (1834-1923), ia berusaha menyempurnakan
analisis logika dari Boole dengan merancang diagram lingkaran-lingkaran yang kini terkenal
sebagai diagram Venn (Venn’s diagram) untuk menggambarkan hubungan-hubungan dan
memeriksa sahnya penyimpulan dari silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum
atau menyisihkan di antara subjek dan predikat yang masing-masing dianggap sebagai
himpunan.

Perkembangan logika simbolik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 dengan terbitnya
3 jilid karya tulis dua filsuf besar dari Inggris Alfred North Whitehead dan Bertrand Arthur
William Russell berjudul Principia Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992 halaman.
Karya tulis Russell-Whitehead Principia Mathematica memberikan dorongan yang besar bagi
pertumbuhan logika simbolik.

B. Sejarah Pada Masa Islam

Pada abad ke-7 berkembanglah agama islam di Jazirah Arab dan pada abad ke-8, agama ini
telah dipeluk secara meluas, kebarat sampai perbatasan Pyrences dan ketimur sampai ke
Thian Shan. Pusat-pusat ilmu pada waktu itu adalah yang paling maju di bahgdad belahan
timur dan Cirdova di belahan barat. Di zaman kekuasaan khalifah dinasty Abbasiyah,
sedemikian banyaknya karya-karya ilmiah Yunani dan lain-lainnya diterjemahkan kedalam
bahasa Arab, sehingga ada satu masa dalam sejarah islam yang dijuluki dengan Abad
Terjemahan. Logika karya Aristoteles, juga diterjemahkan dan diberi nama “Ilmu al-Mantiq”.

Ilmu mantiq dengan demikian, dipelajari oleh umat Islam sehingga banyak dari mereka yang
menjadi pakar Mantiq. Diantara mereka, disamping ahli juga menulis buku Ilmu Mantiq dan
menggambarkannya serta dalam berbagai segi mengislamisasikannya melalui contoh-contoh
yang mereka munculkan. Mereka menggunakan Ilmu Mantiq, tidak saja untuk mempertajam
dan mempercepat daya pikir dan aplikasi penarikan kesimpulan yang benar, melainkan juga
membantu mengokohkan hujjah-hujjah agamawi, termasuk wujud Tuhan dan kebaharuan
alam semesta.

Diantara ulama dan cendekiawan muslim yang terkenal mendalami, menerjemah dan
mengarang di bidang Ilmu Mantiq adalah ‘Abdullah Ibn al-Muqaffa’, Ya’qub Ibn Ishaq al-
Kindi, Abu Nashr Al-farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid al-Ghazali, Ibn Rusyd al-Qurthuby dan
banyak lagi yang lain. Al-Farabi pada zaman kebangkitan Eropa dari abad kegelapannya
dijuluki guru kedua logika. Tokoh-tokoh ilmuan lainnya yang sangat terkenal dibidang logika
adalah Abu Ali al-Haitsam, Abu Abdillah al-Khawarizmi, al-Tibrizi, Ibn Bajah, Al-Asmawi,
al-Samarqandi yang tidak hanya terkenal dibelahan timur tetapi juga dibelahan barat.

Tokoh logika pada zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir dalam
bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai bidang ilmu dan
karya tulis para ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan memberi komentar atas tujuh
bagian logika dan menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.

Kemudian menyusul zaman kemunduran dibidang ilmu mantiq karena dianggap terlalu
memuja akal. Diantara ulama-ulama besar islam, seperti Muhyiddin al-Nawawi, Ibn Shalah,
Taqiyyuddin Ibn Taimiyah, Saduddin al-Taftazani bahkan mengharamkan mempelajari Ilmu
Mantiq dengan tuduhan akan menjadi zindiq, ilhaddan kufur. Pengaruh mereka inilah telah
menyebabkan banyak ulama tidak memperkenankan Ilmu Mantiq diajarakan dilembaga-
lembaga pendidikan yang mereka asuh.

Namun demikian, beberapa orang ulama besar masih tetap mempertahan ilmu mantiq sebagai
suatu ilmu yang harus dipelajari tetapi terbatas pada maksud penggunaannya sebagai
penunjang bagi Ilmu Tauhid (theologi) saja. Diantara mereka adalah Sayid Syarif Ali al-
Jurjani, Muhammad al-Duwani, Abdurrahman al-Akhdari, Muhibullah al-Bishri, al-Hindi,
Ahmad al-Malawi, Muhammad al-Subban dan tentu masih saja ada yang lain.

Eropa, setelah hampir seribu tahun dalam abad gelap, setelah abad ke 13 dan 14 mulai
menggali lagi pelajaran logika. Tetapi, mereka tidak dapat mempelajarinya sepenuhnya
karena pengucilan gereja terhadap logika masih berlaku sangat ketat. Namun demikian,
kegairahan akan ilmu di Eropa pada abad tersebut, dan terutama setelah melalui perjuangan
barat memisahkan gereja dengan negara menjadi sangat tinggi. Berbagai ilmu yang tadinya
disalin dan diterjemahkan ilmuwan-ilmuwan muslim kedalam bahasa Arab diterjemahkan
mereka kembali kedalam bahasa latin, kemudian kedalam bahasa-bahasa Eropa. Dibidang
logika, mereka menggelari al-Farabi guru kedua dan Ibnu Sina guru ketiga.
Buku logika Ibnu Sina diterjemahkan mereka ke dalam bahasa latin di penghujung abad ke-
12. Terjemahan yang lebih lengkap adalah dari karya logika Ibn Rusyd di awal abad ke-14.
Terjemahan inilah yang disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris). Setelah itu,
logika hidup kembali dengan subur di Eropa, Amerika dan negara-negara lainnya.

Sejalan dengan itu, seperti telah disinggung di atas, dunia islam menjadi mundur dibidang
ilmu pengetahuan. Namun demikian, diawal kebangkitan islam (mulai pada penghujung abad
ke-19) yang ditandai dengan gerakan pembaharuan , ilmu-ilmu yang tadinya disingkirkan,
temasuk Ilmu Mantiq, mulai dipelajari dan dikembangkan kembali. Gerakan pembaharuan ini
dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain.
Pengaruh ini meluas keseluruh dunia islam, termasuk Indonesia.

Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada perguruan-
perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-pesantren Islam dan
perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab. Pada masa
sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang sesuai perkembangan logika pada
umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori himpunan.

3. Kaidah-kaidah kebenaran akal dan wahyu


 Akal adalah kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang merupakan manifestasi
internal dari keberadaan Nabi. Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada
Nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umatnya.
 Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan
saling berinteraksi dan terdapat pula ruang dimana keduanya harus berpisah. Pada
saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sain dan lestarinya budaya dengan
memberikan ruang kebebasan akal agar berpikir secara dinamis, kreatif dan terbuka,
di sanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu.

4. Kedudukan ilmu mantiq sebagai alat pencari kebenaran


-Salah satu peninggalan peradaban Islam dalam bidangi
lmupengetahuan yaitu ilmu mantiq. Ilmu ini mempelajari tentang
logika. Para ulama membolehkan mempelajari ilmu ini agar umat
Islam tidak terjerumus kedalam kesesatan berlogika.

Yang membedakan manusia dengan hewan yaitu pada kepemilikan


akal. Meski manusia dan hewan sama-sama memiliki indra, baik
indra penglihat, pendengar, perasa atau indra-indra lain, namun
yang membedakan keduanya yaitu hewan tidak diberi akal
sebagaimana manusia. Namun di sisi lain Allah juga menciptakan
kekuatan-kekuatan internal atau eksternal yang dapat
mempengaruhi keberadaan akal, sehingga seringkali manusia
melakukan kesalahan. Dalam hal peran ilmu mantiq yang bisa
memberikan batas-batas tertentu dalam berfikir, sehingga manusia
terjaga dari kesalahan tersebut.

Menurut para ulama, kecendrungan, pengaruh, kebiasaan, taklid


dan kepentingan pribadi seringkali mempengaruhi akal dalam
berfikir. Seandainya manusia hanya dibekali akal saja tanpa adanya
pengaruh-pengaruh di atas, maka Ilmu mantiq tidak perlu untuk
diterapkan.

Karena itu ilmu ini oleh sebagian kalangan disebut sebagai bapak
segala ilmu. Ini tidaklah berlebihan, mengingat mantiq merupakan
formula dan alat untuk menuju metode berfikir yang benar dan
jernih sehingga sampai kepada kesimpulan yang benar pula.

Namun demikian dalam menyikapi ilmu ini, para ulama berbeda


pendapat. Sebagian mengharamkan seperti Imam Ibnu Shalah dan
Imam Nawawi. Sedang lainnya membolehkan seperti Imam Abu
Hamid al-Ghazali.

Perbedaan ini menurut para ulama terjadi pada ilmu mantiq yang
disusupi kalam-kalam dan kesesatan filsafat Yunani, Yahudi dan
Nasrani. Bila ini terjadi yang ditakutkan akan terjadi penyimpangan
akidah bagi mereka yang mendalaminya, seperti kasus kaum
Mu’tazilah.

Namun jika mantiq yang dipelajari tidak tersentuh dengan syubhat-


syubhat filsafat, maka dibolehkan. Karena itu para ulama
menyatakan tidak ada alasan untuk mengharamkan ilmu mantiq
yang benar sesuai dengan metodologi yang diambil dari ajaran
Islam. Bahkan hukumnya fardhu kifayah jika harus digunakan
untuk melawan syubhat-syubhat yang ditujukan kepada agama
Islam. Karena itu seorang Muslim yang mempunyai kecerdasan
yang mumpuni, pemahaman yang kuat, dan intelektual yang tinggi,
serta memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah, boleh
menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ini.
5. Ruang lingkup ilmu mantiq
A. Ruang Lingkup Ilmu Mantiq

Secara global ruang lingkup Mantiq (Logika) adalah sebagai berikut :

1. Epistimologi (Cara Menimba Ilmu)


Istilah epistimologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan
logos yang berarti teori. Secara etimologi berarti teori pengetahuan. Epistimologi
merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal,
susunan, metode serta kebenaran pengetahuan. Menurut Langeveld, teori pengetahuan
membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur pengetahuan dan susunan berbagai
jenis pengetahuan; pangkal tumpuannya yang fundamental, metode-metode dan batas-
batasnya. Jadi epistimologi merupakan cabang atau bagian dari filsafat yang
membahas masalah-masalah pengetahuan.

Sumber pengetahuan ada empat :

1) Empirisme (pengalaman manusia)


Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani, empiria yang berarti
coba-coba atau pengalaman. Sebagai doktrin, empirisme adalah lawan
rasionalisme. Ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan,
kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar
hanya diperoleh lewat indera (empiri), dan empirislah satu-satunya sumber.
Pemikiran tersebut lahir dengan nama empirisme. Empirisme adalah salah satu
aliran yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan
serta pengalaman itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.Empirisme,
berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat indera. Indera
memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian kesan-kesan
tersebut berkumpul dalam diri manusia, sehingga menjadi pengalaman.
Untuk memahami inti filsafat empirisme perlu memahami dulu dua ciri
pokok empirisme yaitu mengenai makna dan teori tentang pengetahuan.
2) Rasionalisme (pikiran manusia)
Kata rasionalisme terdiri dari dua suku kata, yaitu “rasio” yang berarti
akal atau pikiran, dan “isme” yang berarti paham atau pendapat. Rasionalisme
ialah suatu paham yang berpendapat bahwa kebenaran yang tertinggi terletak
dan bersumber dari akal manusia. Jadi rasionalisme adalah paham filsafat
yang mengatakan bahwa akal adalah alat terpenting untuk memperoleh
pengetahuan. Menurut aliran ini, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara
berpikir. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang kepada kebenaran.
3) Intuisinisme (langsung melihat)
Intuisinisme (berasal dari bahasa Latin, intuitio yang berarti
pemandangan.Sedangkan ahli yang lain mengatakan bahwa intuisinisme,
berasal dari perkataan Inggris yaitu intuition yang bermakna gerak hati atau
disebut hati nurani.
Jujun S. Sumantri menggambarkan intuisi pada, suatu masalah yang
sedang kita pikirkan yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu,
tiba-tiba muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa
yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa
menjelaskan bagaimana caranya kita sampai di sana.

4) Wahyu Allah
Wahyu adalah petunjuk dari allah yang diturunkan hanya kepada para
nabi dan rasul. Wahyu di sini merupakan pemberitahuan tentang suatu hal dari
Allah SWT kepada salah seorang Nabi daripada Nabi-nabiNya. Diantara cara-
cara wahyu disampaikan kepada Nabi-nabiNya ialah ada yang melalui mimpi
yang benar, perbualan secara langsung di sebalik hijab, datang suara seperti
gemerincing bunyi loceng atau kawanan lebah dan datang malaikat membawa
wahyu dengan berupa sebagai manusia

6. Istinbat

1. Pengertian Istinbath

Istinbath” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula
memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti
istinbath ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.[1] Setelah dipakai
sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti istinbath menjadi “upaya mengeluarkan
hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus
istinbath adalah teks suci ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Karena itu,
pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut
istinbath.

Upaya istinbath tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa


pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum.
Menurut ‘Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,[2] melihat ada dua
cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath,
yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan
istinbath atau ijtihad adalah sebagai berikut :

a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang


berhubungan dengan masalah hukum.
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan
dengan masalah hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’, agar
dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma’.
d. Meiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya
untuk istinbath hukum.
e. Mengetahui ilmu logika, agar dapt mengahasilkan kesimpulan yang benar
tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
f. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan Sunnah
tersusun dalam bahasa Arab, dll.[3]

2. Kontruksi Hukum dengan Analisa Tata Bahasa

Maksud analisa tata bahasa adalah memahami bahasa teks yang tampak. Teks
ini bisa diucapkan, ditulis, dan dipahami pengertiannya.[4] Sasaran kajian teks ini
adalah ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang termaktub dalam kitab-kitab hadis.
Teks tersebut ditulis dalm bahasa Arab, sehingga penalarannya juga menggunakan
kajian bahasa Arab.

Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan
ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum
adalah tanpa pengecualian. Ungkapan “barangsiapa” berarti menunjuk kepada
siapapun, jenis kelamin apapun, generasi manapun tanpa pembatasan. Sedangkan
pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang
terbatas. Para pakar studi hukum islam sepakat bahwa pernyataan hukum yang khusus
bersifat final dan pasti sehingga menutup pengertian yang lain. Namun demikian,
pernyataan hukum yang khusus ini ada yang bersifat mutlak tanpa pembatasan dan
ada pula yang dibatasi.[5]

Suatu pernyataan dianggap mutlaq jika tidak ada pembatasan sama sekali yang
mempersempit keluasan pengertiannya. Sebaliknya pernyataan dianggap terbatas
karena ada pembatasan yang mempersempit pengertiannya.

Dalam al-Qur’an, banyak terjadi pengulangan kata, baik yang mutlak maupun
maupun terbatas. Para studi hukum Isam membuat rumusan mengenai hal ini. Jika
kata yang diulangi bermakna mutlak semua, maka maknanya juga mutlak dan
sebaliknya.

Akan tetapi jika pengulangan itu membuat kata yang mutlak dan terbatas
dalam tempat yang berlainan, maka terdapat dua kemungkinan makna, Pertama, kata
yang mutlak diberi pembatasan sesuai kata yang terbatas. Kedua, kata yang mutlak
tidak dibatasi sebagaimana kata yang terbatas, jika masing-masing berbeda dalam
hukum dan sebabnya.

Selain mutlak dan terbatas, pernyataan hukum yang khusus juga disertai
perintah dan larangan. Perintah adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak
yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah. Larangan adalah tuntutan
untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada yang lebih rendah tingkatannya.[6] Perintah menuntut pelaksanaan, bukan
perdebatan. Begitu pula, larangan mengharuskan untuk ditinggalkan. Ketaatan
terhadap perintah dan larangan Allah mendapatkan pahala dan sebaliknya
penentangannya akan mendapatkan dosa.

3. Kontruksi Hukum dengan Analisa Makna

Pernyataan hukum tentu mengandung makna yang dapat dikontruksikan. Ada


empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum
yaitu analisa makna terjemah (‘ibarah nash), analisa pengembangan makna (dilalah
al-nash), analisa kata kunci dari suatu pernyataan (isyarah al-nash), dan analisa
relevansi makna (iqtidla’ al-nash). Untuk menerapkan keempat teknik analisa
tersebut, dapat dikemukakan contoh penggalan ayat 23 surat al-Nisa’ yang bisa
diterjemahkan:

........................................

“Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian dan putri-putri kalian….”. Ternyata,


terjemahan ini tidak bisa dipahami, sehingga muncul pertanyaan, “Dalam hal apakah,
orang laki-laki diharamkan atas ibunya dan putrinya?’. Agar bisa dipahami perlu
tambahan kata yang relevan pada penggalan ayat diatas. Relevansinya didasarkan
pada ayat sebelum dan sesudahnya, sehingga kata yang relevan sebagai tambahan
adalah “menikahi”. Inilah kontruksi hukum dengan analisa relevansi makna. (istidla’
al-nash). Penting dicatat bahwa tambahan ini bukan berarti menambahi ayat Al-
Qur’an, apalagi merubahnya, melainkan memudahkan pemahaman saja. Karena
penggalan ayat tersebut bisa dipahami jika terjemahnya berbunyi : “Diharamkan atas
kalian (menikahi) ibu-ibu dan putri-putri kalian….”.

Terjemah penggalan ayat tersebut memberikan dua pengertian yaitu orang


laki-laki dilarang menikahi ibunya dan putri kandungnya. Pengertian sederhana ini
merupakan hasil analisa makna terjemah (‘ibarah al-nash). Jika makna ini diperluas
lagi, maka muncul banyak kesimpulan hukum. Perluasan makna ini merupakan
analisa pengembangan makna (dilalah al-nash). Kata kunci dari penggalan ayat
tersebut adalah “diharamkan atas kalian”. Ketika keharaman itu disertai dengan kata
kunci “atas kalian” maka hal itu akan menunjukkan bahaya dan kerusakan bila hukum
haram itu dilakukan. Pemahaman ini adalah hasil dari analisa kata kunci “(isyarah al-
nash).

7. Istidlal
A. Pengertian Istidlal

Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata Istadalla yang berarti: minta
petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti
istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta.[7]
Dalam proses pencarian, al-Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi
alternatif kedua, Ijma’ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Apabila
keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah
mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, Maslahah Mursalah,
dll. Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil diluar keempat
dalil tersebut.

Menurut bahasa, kata dalil mengandung beberapa makna yakni: penunjuk,


buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi. Menurut kebiasaan
para pakar studi hukum islam diartikan dengan “sesuatu yang mengandung petunjuk
(dalalah) atau bimbingan (irsyad).” Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada
landasan hukum yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf yaitu “sesuatu yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang
bersifat praktis.” Jadi dalil merupakan landasan bagi para pakar studi hukum islam
dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh
seseorang atau masyarakat. Ketetapan bisa bersifat qath’i (pasti) atau zhanni (tidak
pasti).

B. Macam-macamn Dalil

Dilihat dari segi keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam.
Pertama, dalil-dalil hukum keberadaannya terdapat dalam teks suci yaitu al-Qur’an
dan Sunnah yang disebut dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang
keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis
pemikiran yang disebut dengan dalil ‘Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama
menempatkan sebelas dalil sebagai landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Al-
Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, sad al-dzari’ah, ‘urf
(tradisi), syar’u man qablana (syariah sebelum masa nabi Muhammad SAW), dan
madzhab al-shahabi (pendapat sahabat Nabi).

a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma’
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Istishlah
g. Istishhab
h. 'Urf
i. Sadd al-Dzari’ah
j. Madzhab Shahabi

8. Ilmu mantiq al Qhodiyah


1. Pengertian qadhiyah

Qadhiyah adalah:

ٌَ ْ‫الصدْقٌٌَ َوال ِكذ‬


ٌ‫بٌلَذَا ِت ِه‬ ِ ٌ‫ل‬ٌُ ‫قَ ْولٌٌ ُمفيْدٌٌيَحْ ثَ ِم‬

Pernyataan yang sempurna, yang isinya mengandung kemungkinan benar atau salah.
jumlah qodiyah yang mengandung kebenaran dan kesalahan dan bisa diketahui benar
tidaknya dengan penelitian atau eksperimen. Misalnya, Tahun depan saya akan dapat
menamatkan sekolah saya/pelajaran saya atau besok syawal saya akan pindah ke Surabaya.
Perkataan ini disebut qadhiyah karena penamatan atau kepindahan itu mungkin bisa terjadi
dan mungkin tidak terjadi.
Sebuah contoh, Allah itu maujud/ada, Nabi Muhammad itu utusan Allah.Untuk
memastikan kebenarannya bahwa telah ada yang mengatakan dan membuktikan
kebenarannya kepada kita, atau kita sudah mengi’tiqadkannya terlebih dahulu bahwa Allah
itu ada dan Muhammad itu utusan Allah

Macam-macam qadhiyyah

Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) maudhu’, 2) mahmul 3) rabithah (hubungan antara
mawdhu’ dan mahmul).

Maudhu’ (subjek), dalam ilmu nahwu disebut mubtada’, fa’il atau na’ibul fa’ilatau
mahkum alaih jika dilihat dari segi proses engambilan kerputusan
Mahmul (predikat) dalam ilmu nahwu disebut khabar atau fi’il, disebut pula al-
mahkumbih jika dilihat dari segi pengambilan keputusan.
Rabith (penghubung), berupa kata ganti (dhamir al-fashl) byang menghubungkan
antara subjek dan predikat.
Contoh:

Zaid itu berdiri, maka yang pertama yaitu Zaid disebut maudhu’, berdiri dinamakan mahmul
yaitu hukum yang diletakkan pada zaid dan itu disebut rabithah.

Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: qadiyyah hamliyyah (proposisi


kategoris) dan qadiyyah syarthiyyah (proposisi hipotesis). yaitu

1. Qadhiyah syarthiyyah
Yaitu qadhiyah yang menerangkan ketergantungannya suatu hukum, dimana ketetapan suatu
hukum tersebut digantungkan oleh adanya suatu hukum yang lain,contoh:
Kalau aku punya uang, aku pergi haji.
Kalau matahari terbit, terjadilah siang.

Qadhiyah syarthiyyah dibagi menjadi dua macam:

1). Syarthiyyah muttashilah, yaitu qadhiyah yang mengharuskan adanya saling tetap
menetapkan antara juznya. seperti: kalau aku punya uang, aku jadi pergi.
Dilihat dari segi penggunaan “adat Sur” (kata yang menunjukkan kuantitas), Qadhiyah
Syarthiyah Muttashilah terbagi menjadi empat macam:
Al-Sur al-Kulli fi al-Ijab yaitu kata depan yang menunjukkan adanya penetapan atas
hubungan antara muqaddam dan taliy dalam semua situasi dan kondisi, Contoh: jika
tamu datang ke rumahku, aku akan menemuinya.
Al-Sur al-Kulli fi al-Salabi yaitu kata depan yang menunjukkan penetapan dengan
meniadakan tetapnya hubungan sebab-akibat antara muqaddam dan taliy dalam semua
situasi dan kondisi. Contoh: tidaklah sama sekali, jika pandangan masyarakat itu
bersatu, mereka gagal dalam perjuangannya.
Al-Sur al-Juz’I fi al-Ijab yaitu kata depan yang menunjukkan penetapan adanya
sebagian hubungan sebab-akibat antara muqaddam dan taliy tanpa menentukan situasi
dan kondisi. Contoh; terkadang terjadi, jika mahasiswa itu rajin, ia akan memperoleh
penghargaan.
Al-Sur al-Juz’I fi al-Salab artinya kata depan yang menunjukkan tetapnya sebagian
dengan memindahkan tetapnya hubungan sdebab-akibat antara muqaddam dan taliy
tanpa menentukan situasi dan kondisi. Contoh: terkadang tidak terjadi, manusi berilmu,
mengamalkan ilmunya.

2). Syarthiyah munfashilah, yaitu qadhiyah yang menetapkan adanya perlawanan antara dua
juznya. Seperti: Zaid ada kalanya pergi, ada kalanya tidur. Qadhiyah ini dibagi menjadi tiga
macam:
Mani’ul jami’, ditolak kumpulnya artinya tidak boleh berkumpul dan tidak
ditolak sepinya artinya tidak boleh terjadi kedua-duanya. Umpama: Umar
adakalanya berdiri, adakalanya duduk; ini mani’ul jami’ karena berdiri dan
duduk tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Tetapi kalau sekaligus tidak
berdiri dan tidak duduk itu mungkin terjadi, ini yang dimaksud ditolak sepinya
(boleh tidak terjadi kedua-duanya).
Mani’ul huluwwi, ditolak sepinya (tidak boleh tidak terjadi kedua-duanya), tidak
ditolak berkumpulnya (boleh berkumpul kedua-duanya sekaligus), misalnya:
Aisyah ada kalanya berada dilautan, adakalanya tidak tenggelam, ini boleh jadi
(karena berperahu misalnya).
Mani’ul jami’ wal huluw, yaitu yang dinamakan qadhiyyah syarthiyyah
munfashilah haqiqqiyah, artinya kedua-duanya berkumpulnya dan sepinya (tidak
terjadi) itu ditolak, keduanya terjadi sekaligus tidak mungkin. Contohnya,
Muhammad adakalanya mati dan adakalanya hidup, andaikata Muhammad
sekjaligus mati dan hidup itu tidak mungkin terjadi, sebaliknya ia tidak mati dan
tidak hidup juga tidak mungkin.

Qadhiyah syarthiyyah pasti mempunyai dua bagian (Dua juz) kalimat.Manakala matahari
terbit (bagian ke satu/muqaddam) siang hari terjadi (bagian juz kedua/taalie).

Qadhiyah hamliyyah

Yaitu qadhiyah yang menerangkan terjadinya ketetapan hukum, tidak tergantung pada suatu
yang lain.Qadhiyah ini ada dua macam:
Qadhiyah syahshiyyah; yaitu qadhiyah yang menerangkan terjadinya ketetapan hukum
atas bagian yang tertentu. Seperti: Ahmad kaya, Dani itu juru tulis, ditetapkannya
hukum (kaya dan juru tulis) atas Ahmad dan Dani merupakan sebagian dari hakekat
Ahmad dan Dani. Atau Ahmad dan Dani itu adalah sebagian saja dari suatu jenis
(manusia).
Qadhiyah kulliyah atau berdasarkan maudhu’nya dibagi menjadi dua macam, yaitu:
Kulliyah musyawwaroh atau mahshurah; yaitu qadhiyah yang dimulai dengan
“Soer”, misalnya semua siswa pada tidur, kata “semua” itu dinamakan “soer”
yang bahasa Arabnya “Kullu”. Semua, setiap, seluruh adalah “soer”. Seperti
contoh, setiap manusia itu hewan, semua murid berolah raga, seluruh penghuni
asrama tidur.
Kulliyah Muhmalah; yaitu qadhiyah yang tidak dimulai dengan “soer”.
Umpama: manusia itu hewan, murid berolah raga, penghuni asrama tidur.
Sur yang berupa kully dan juz’i itu dapat dilihat dari empat bagian sur, ada kalanya dengan
lafadz kullin atau dengan lafadz ba’dlin atau dengan lafadz laa syai’in dan lafadz laisa ba’dlu
atau sesamanya yang telah jelas.
Soer itu ada kalanya kulli(universal/keseluruhan) dan ada kalanya juz’i(sebagian), kulli
dibagi menjadi dua yakni mujibah yang mengharuskan, kepastian, keharusan. Contoh: seperti
manusia itu hewan. Dan salibah yang menghapuskan, mentiadakan, dan menolak. Contoh:
tidaklah semua dari manusia itu batu. Juz’i juga dibagi menjadi dua yaitu mujibah, contoh:
sebagian dari hewan itu manusia dan salibah, contoh: tidaklah sebagian dari hewan itu
manusia.

Adat Sur Qadhiyyah Hamliyah


Sur qadhiyah adalah:

ٌ ‫نٌأَ ْف َرا ٌِدٌال َم ْوض ُْو‬


ِ‫ع‬ ٌْ ‫علَيٌك َِميَ ٌِةٌ َم ُاوقِ ٌَعٌ َعلَ ْي ٌِهٌال ُح ْك ٌُمٌ ِم‬ ٌُ ‫اللَّ ْف‬
ٌُ ‫ظٌالد َّا‬
َ ٌ‫ل‬

Kata yang menunjukkan kuantitas sesuatu yang padanya ditetapkan keputusan dari individu-
individu maudhu’.
Adat sur atau sur qadhiyah adalah kata yang menunjukkan penjumlahan (kuantitas).Qadhiyah
yang menggunakan adat sur ini disebut masrurat atau mahshurat.
Adat sur ada ada empat macam, diantaranya:

Al-sur al-Kulli fi al-ijabi, yaitu kata yang menunjukkan tetapnya mahmul pada seluruh
individu maudhu’,contoh kata: ٌ‫كَاٌفَّة‬, ٌ‫ َعاٌ َّمة‬, ٌ‫ َج ِميْع‬, ٌ‫ُكل‬
Al-sur al-Kulli fi al-Ijabi, yaitu kata yang menunjukkan tidak tetapnya mahmul dari
individu maudhu’. Seperti kata ٌ‫لٌأَ َحد‬ٌ َ , ٌٌٌ‫ش ْيء‬ ٌ َ (tidak satupun).
َ ٌ‫ل‬
Al-Sur al-juz’I fi al-Ijabi, yaitu kata yang menunjukkan tetapnya mahmul bagi sebagian
individu maudhu’. Seperti kata: ٌ‫قَ ِليْل‬, ٌ‫ظم‬َ ‫ ُم ْع‬, ٌ‫ َك ِثيْر‬, ٌ‫بَ ْعض‬
Al-Sur al-Juz’I fi al-Salab, yaitu kata yang menunjukkan tidak tetapnya mahmul dari
sebagian individu-individu maudhu’. Seperti kata:ٌ‫ْسٌ ٌُكل‬ ٌَ ‫لَي‬, ٌ‫ْسٌ َج ِميْع‬
ٌَ ‫لَي‬, ٌ‫ْسٌبَ ْعض‬
ٌَ ‫لَي‬
Dengan memperhatikan uraian Qadhiyyah Hamiliyah dari segi kualitatif (mujabah, salibah,
maudhu-nya) dan kuantitatif (kuliyah, juz’iyah) serta kletika tidak menggunakan kata
kuantitatif, maka jumlah keseluruhannya adalah delapan macam, diantaranya:
Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Kulli Wajibah contoh setiap
manusia adalah hewan yang berpikir..
Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Kulli Salibah.contoh: tidak
satupun dari manusia itu batu.
Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Juz’I Mujabah. Contoh: sebagian
manusia adalah penulis.
Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Masrurah bi al-Sur al-Juz’I Salibah. Contoh: sebagian
hewan adalah manusia.
Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Mahmulah Mujabah. Contoh: manusia adalah termasuk
hewan.
Qadhiyah Hamliyah Kulliyah Mahmulah Salibah. Contoh: manusia itu bukan batu.
Qadhiyah Hamliyah Syahshiyah Mujabah. Contoh: amar adalah mahasiswa.
Qadhiyah Hamliyah Syahshiyah Salibah. Contoh: Syahroni bukan mahasiswa.
Hukum-Hukum Qadhiyyah
Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara
empat tashawwuri kulli: 1. tabâyun, 2. tasâwi, 3. umum wa khusus mutlak dan 4. umum wa
khusus min wajhin. Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing
empat qadhiyyah mahshurah:
1. tanaqudh, 2. tadhadd, 3. dukhul tahta tadhadd dan 4. tadakhul.
Tanaqudh (mutanaqidhain /kontradiktif) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu’ dan
mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang
satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz’iyyah salibah. Misalnya, “Semua manusia
hewan” (kulliyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia bukan hewan” (juz’iyyah
salibah).
“Tanaqud” menurut istilah mantiq yaitu berbedanya dua qadhiyyah dipandang dari ijab
(kepastian) salibah (tidak)nya dan kebenarannya. Kalau dua qadhiyyah berbeda (tanaaqudh)
dengan sendirinya salah satu dari qadhiyah itu pasti benar dan yang lain tidak benar.
Cara membuat tanaaqudh adalah apabila qadhiyahnya memakai:

Qadhiyah syakhshiyyah atau qadhiyyah muhmalah, cukup hanya kaifnya (kepastian


tidaknya, ijab salibahnya), seperti:
Yang asalnya: kholid menulis (ijab) dirubah menjadi Kholid tidak menulis (salab) jadi hanya
berubah, yang asalya mujabah menjadi saalibah.

Qadhiyyah musawwaroh, cara mentaannaqudkan, yaitu dengan merubah “soer”nya.


Kalau qadhiyyah:
Mujibah kulliyah: semua manusia itu hewan, naqidhnya dengan salibah juz’iyyah:
tidaklah sebagian manusia itu hewan.
Salbah kulliyah: tidaklah setiap manusia itu batu, naqidhnya dengan mujibah juz’iyyah
: sebagian manusia itu batu.
Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu’ dan mahmul dua
qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua
qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:

Kesamaan tempat (makan)


Kesamaan waktu (zaman)
Kesamaan kondisi (syart)
Kesamaan korelasi (idhafah)
Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi’li). Qiyas (silogisme)
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana
pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta’rifat.Dan sebenarnya
inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.

Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka
dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru). Atau yang
otomatis dapat menimbulkan kesimpulan, contohnya seperti: kholid itu putera dari Umar, dan
Umar putera dari Abu Bakar.
Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk
mengetahuinya:

Pengetahuan dari juz’i ke juz’i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari
sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil
(analogi).
Pengetahuan dari juz’i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum
(menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra’
(induksi).
Pengetahuan dari kulli ke juz’i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus.
Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).

9. Ta’rif (definisi dan syarat)


 Pengertian Ta’rif

Definisi secara etimologi berarti pengertian atau batasan sesuatu. Ta’rif disebut juga
al qaul al-syarih (ungkapan yang menjelaskan). Dengan demikian, ta’rif menyangkut adanya
sesuatu yang dijelaskan, penjelasannya itu sendiri, dan cara menjelaskannya.

Al-Jurzani menjelaskan pengertian ta’rif sebagai berikut:

ٌ‫ْئٌآخ ََر‬ َ ٌَ‫ْئٌت َ ْست َ ْل ِز ُمٌ َم ْع ِرفَتَهٌُ َم ْع ِرفَة‬


ٍ ‫شي‬ َ ٌ‫ارةٌ َع ْنٌ ِذ ْك ِر‬
ٍ ‫شي‬ َ َ‫ِعب‬
“Ta’rif adalah penjelasan tentang penuturan sesuatu, yang dengan mengetahuinya akan
melahirkan suatu pengetahuan yang lain.”

Pengertiam logis tentang persoalan objek pikir merupakan upaya memahami


maknanya dalam membentuk sebuah keputusan dan argumentasi ilmiah yang menjadi pokok
bahasan mantiq dan dalam praktiknya mesti menguasai bahan pembentukan ta’rif,
yaitu kulliyah al-Khams.

Sedangkan menurut istilah ahli logika (mantiq), ta’rif atau definisi adalah teknik
menjelaskan sesuatu yang dijelaskan, untuk diperoleh suatu pemahaman secara jelas dan
terang, baik dengan menggunakan tulisan maupun lisan, dan dalam ilmu mantiq dikenal
dengan sebutan (qaul syarih). Dalam bahasa Indonesia, ta’rif tersebut dapat diungkapkan
dengan perbatasan dan definisi.

 Pembagian Ta’rif
Ta’rif di bagi menjadi 3 macam , yaitu :

1. Had ( Definisi Esensial )

Had secara etimoligi artinya mencegah. Karena Ta’rif model Had mencegah
masuknya selain perkara yang dita’rif-i.

Ta’rif Had ada 2 macam :

a. Had Tam ( sempurna ) , adalah medefinisikan sesuatu dengan menggunakan


jenis qarib dan fashl qarib, karena apabila jenis qorib di akhirkan dari fasl
qarib, maka tergolong had naqis ( tidak sempurna ).
Contoh :
Manusia adalah hewan yang berfikir , ( jenis qarib dan fashl qarib )

b. Had naqis (tidak sempurna), adalah mendefinisikan sesuatu dengan


menggunakan jenis ba’id dan fashl qarib atau hanya jenis qarib disebut dengan
naqis karena ada sebagian perkara yang keluar dari had, dimana had ini
dianggap merupakan salah satu cacat dalam sebuah had.

Contoh penggunaan fashl qarib saja :

Manusia adalah sesuatu yang berfikir ( fashl qarib )

Contoh fashl qarib bersamaan dengan jenis ba’id :

Manusia adalah materi yang berfikir (jenis ba’id dan fashl qarib )

Dua ta’rif tersebut secara substansi bersifat umum, karena mencakup dzat
malaikat, namun dalam hal ini malaikat bukanlah golongan manusia. Sehingga ta’rif
di atas tidak mampu mencegah keluarnya dzat malaikat. Termasuk had naqis adalah
definisi menggunakan fashl ba’id bersama fashl qarib.
Contoh :
Manusia adalah materi yang berfikir (jenis ba’id dan fashl qarib )

2. Rasm ( Definisi aksidental )

Rasm secara etimologis memiliki arti bekas atau pengaruh ( atsar). Karna dalam
ta’rif model rasm, terdapat khas yang merupakan petunjuk dan hakikat.

Ta’rif rasm ada dua macam :


a. Rasm Tam ( sempurna )

Adalah mendefinisikan sesuatu dengan menggunakan jenis qarib dan khas


yang bersifat umum ( syamilah) dan melekat (lazimah). Dalam hal ini di
syaratkan jenis qarib didahulukan dari khas. Karena apabila jenis qorib
diakhirkan dari jenis khas, maka tergolong rasm naqish (tidak sempurna).

Contoh :
Manusia adalah hewan yang bisa tertawa (jenis qarib dan khas )

b. Rasm naqis ( tidak sempurna )

Adalah mendefinisikan sesuatu menggunakan khas saja, atau khas bersama


dengan jenis ba’id.
Contoh penggunaan khas saja :
Manusia adalah sesuatu yang bisa tertawa ( khas )
Contoh penggunaan khas bersama jenis ba’id :
Manusia adalah materi yang bisa tertawa ( jenis ba’id dan khas )

3. Lafdzi ( definisi nominalis )

Adalah mendefinisikan sebuah lafadz menggunakan lafadz lain yang semakna


dan menurut pendengar (sami’) dianggap lebih dikenal (masyhur) atau suatu (mu’arraf
yang di definisikan ) dengan menggunakan kata murradif ( sinonim ) yang lebih jelas
dari mu’arraf.

Contoh :
1. Menjelaskan pengertian rumah dengan kata griya
2. Menjelaskan pengertian lautan dengan kata Bahtera
3. Menjelaskan pengertian patung dengan kata arca. dlsb

Catatan : ta’rif yang menggunakan fashl atau khash saja, tanpa di sertai lafadz lain adalah
menurut pendapat ulama yang memperbolehkan pendefisian sesuatu menggunakan lafadz
mufrod (kata tunggal). Versi lain, sebagaimana imam Az-Zarkasyi, mengatakan bahwa
mendefinisikan sesuatu dengan lafadz menurutnya tidak di perbolehkan.
 SYARAT – SYARAT TA’RIF

Berikut merupakan syarat-syarat ta’rif:

1. Ta’rif harus jami’-mani’ (istilah lain untuk itu ialah muththarid-mun’akis) maksudnya
ta’rif tidak boleh lebih umum atau lebih khusus dari yang dita’rifkan.

Contoh ta’rifkan lebih umum:


Manusia adalah hewan.
Contoh ta’rif lebih khusus:
Manusia adalah hewan yang bisa membaca dan menulis.
Contoh ta’rif yang sesuai:
Manusia adalah hewan yang berfikir dan/berkata-kata

2. Ta’rif harus lebih jelas dari yang dita’rifkan. Jadi, ta’rif tidak boleh sama samarnya atau
lebih samar dari yang dita’rifkan.
Contoh:
Buah kelapa adalah buah sebesar kepala bulat, berbungkus kulit keras, berjuntai di
pohonnya dan berisi santan yang bisa dijadikan minyak untuk menggoreng pisang.

3. Ta’rif harus sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan.


Seperti contoh:
Rokok adalah asap yang mengepul dari mulut ke udara dan berbau memabukkan.

4. Ta’rif tidak boleh berputar-putar (daur)

Contoh:

Ilmu adalah pengetahuan di dalam otak.

Manusia adalah orang dan orang adalah manusia.

Karena sifatnya yang berputar-putar, maka ta’rif-ta’rif tersebut tidak benar.

5. Ta’rif tidak boleh memakai kata-kata majaz (kiasan atau metaforik)

Contoh:

Pahlawan adalah singa yang gugur

Ilmu adalah laut yang nenulihkan kehausan


6. Ta’rif tidak boleh menggunakan kata-kata musytarak (mempunyai lebih dari satu arti)

Contoh:

Arloji adalah pukul yang dipakai ditangan.

10. Qiyas
A. Pengetian Qiyas

Secara bahasa, qiyas berarti ukuran atau mengembalikan sesuatu kepada


persoalan pokoknya. Adapun secara istilah qiyas digunakan untuk menyatakan
proses penalaran sistematis dan logis tentang maujudat yang terucapkan dan
pengucapan maujudat yang disusun dari keputusan-keputusan logis sehingga
menghasilkan kesimpulan ilmiah.

Qiyas menurut ahli mantiq adalah dua qodhiyyah atau lebih yang disusun yang
otomotif dapat menimbulkan kesimpulan.

Contoh : kholid itu putera dari Umar dan Umar putera dari Abu Bakar. Contoh
tersebut terdiri dari dua qodhiyyah yang disusun. Meskipun ucapan (seperti
dalam contoh) tersebut tidak diteruskan , otomatis kita dapat mengambil
kesimpulan bahwasannya kholid adalah cucu Abu Bakar.

kalimat qodhiyah yang digunakan dalam penyusunan qiyas terdiri dari tiga
macam, yaitu :

1) Al- Muqaddimah shughra


Contoh :
· Arak itu memabukan

2 ) Al- Muqaddimah Kubra


Contoh :

· Setiap yang memabukan adalah haram


3) Al Natijah
Contoh :

Jadi : Arak itu haram

B. Pembagian Qiyas

Qiyas dibagi menjadi dua yaitu:


1. Qiyas Istisna’i
2. Qiyas iqtirani

C. Qiyas iqtirani (silogisme kategoris)

Qiyas iqtirani adalah qiyas yang dapat menunjukan pada natijah (kesimpulan)
dengan maknanya. Artinya, rangkaian natijah secara utuh tidak ditemukan
pada dua mukaddimahnya, karena mawdhu’ dan mahmul natijah berada secara
terpisah pada keduanya.Qiyas iqtirani khusus terdapat pada
qodhiyah hamliyah.

Contoh :

Mukhadimah:
Ø Embun itu air ( mukhadimah shugro )

Ø Setiap air menguap jika dipanaskan ( mukhadimah kubro )

Maka natijah nya ;


Ø Embun menguap jika dipanaskan.

#Qiyas iqtirani dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu :

Qiyas Iqtirani:
1. Hamliyah
2. Syarthiyah

1. Qiyas iqtirani hamliyah, yaitu


ْ
Qiyas yang tersusun dari qadhiyah hamliyah .

Contoh :
salat adalah tuntutan. Sebagian tuntutan adalah wajib. Maka salat itu adalah
wajib.

2. Qiyas iqtirani syarthiyah, yaitu

Qiyas yang tersusun dari qadhiyah –qadhiyah syarthiyah baik


mutttashilah maupun munfashilah.

Contoh

1. Setiap matahari terbit, datanglah siang.


Setiap datang siang, para pekerja giat bekerja dibidangnya masing-masing.

Jadi, setiap matahari terbit para pekerja giat bekerja dibidangnya


masing-masing.
2. Pelajar ini adakalanya rajin dan adakalanya malas.

Setiap yang rajin punya harapan sukses.

Jadi, pelajar ini adakalanya malas, dan adakalanya punya harapan sukses.

#Qiyas syarthiyah terbagi menjadi lima macam, yaitu

1) Qiyas yang tersusun dari dua qadhiyah syarthiyah muttashilah.

Contoh:
Ø Apabila seseorang menjaga kesehatan, maka seseorang jarang terkena sakit

Ø Apabila seorang jarang terkena sakit, maka akan memperoleh kesehatan


yang baik dan kehidupan yang menyenangkan.

Jadi, apabila seseorang menjaga kesehatan, seseorang akan memperoleh


kesehatan, seseorang akan memperoleh kesehatan yang baik dan kehidupan
yang menyenangkan.

2) Qiyas yang tersusun dari dua muqaddimah syarthiyah munfashilah

Contoh

Ø Setiap mahasiswa adakalanya bersungguh-sungguh dan adakalanya tidak


bersungguh-sungguh.

Ø Setiap yang tidak bersungguh-sungguh adakalanya malas dan adakalanya


loyo.

Jadi, setiap mahasiswa adakalanya malas dan adakalanya loyo.

3) Qiyas yang tersusun dari qadhiyah syarthiyah muttashil dan syarthiyah


munfashil.

Contoh

Ø Jika kalimat dari maudhu’ dan mahmul, ia qadhiyah

Ø Dan setiap qadhiyah adakalanya salah.

Jadi, jika kalimat tersusun dari maudhu dan mahmul, adakalanya benar dan
adakalanya salah.
4) Qiyas yang tersusun dari qadhiyah syarthiyah muttashilah dan qadhiyah
hamliyah.
Contoh:
Ø Jika suatu umat mengatur dirinya sendiri, mereka memiliki kekuasaan.

Ø Setia umat yang memiliki kekuasaan adalah umat yang merdeka.

Jadi, setiap umat yang mengatur dirinya sendiri adalah umat yang merdeka.

5) Qiyas yang tersusun dari qadhiyah syarthiyah munfashilah dan


qadhiyah hamliyah.

Contoh:
Ø Adakalanya fisik itu bergerak dan adakalanya tidak bergerak.

Ø Setiap yang bergerak itu membutuhkan makanan.

Jadi, adakalanya fisik itu tidak bergerak dan adakalanya membutuhkan


makanan.

D. Unsur- unsur qiyas iqtirani

Qiyas disusun dari tigaproposisi ( ‫) قَ ِضيَة‬, yaitu dua proposisi yang


diberikan dan sebuah proposisi lagi adalah konklusi yaitu proposisi yang ditarik
dari dua proposisi. Dua proposisi pertama disebut
dengan premis atau muqaddimah, sedangkan proposisi ketiga
disebut konklusi( ‫) نَتِيجَة‬.
Muqaddimah itu ada yang sughra(Premis Minor / ‫ )صغرى مة مقد‬dan ada yang
kubra (premis mayor / ‫)كبرى مة مقد‬

A. Premis Minor (‫ )صغرى مة مقد‬ialah proposisi (‫ )مة مقد‬yang


mengandung terma Minor (‫)صغر اال الحد‬, seperti : Arak adalah minuman yang
memabukan.
B. Premis Mayor (‫ )كبرى مة مقد‬ialah proposisi (‫ )قضية‬yang
mengandung terma mayor (‫)كبر اال الحد‬, seperti: setiap yang memabukan adalah
haram.

3. Konklusi (‫ )نتيجة‬ialah proposisi yang mengandung terma minor (‫الحد‬


‫ )االصغر‬danterma mayor( ‫ ) كبر اال الحد‬, seperti Arak adalah haram.

Aturan menyusun premis yang perlu diperhatikan ialah, bahwa Premis


Minor(‫ )صغرى مة مقد‬harus tercakup dalam Premis Mayor (‫)كبرى مة مقد‬,
artinya Premis Mayorharus lebih umum dan mencakup isi Premis Minor.

Qiyas (silogisme) itu juga harus mengandung tiga terma,yaitu :

1. Terma Minor ( ‫) صغر اال الحد‬

2. Terma penengah ( ‫) سط الو الحد‬

3. Terma Mayor ( ‫) كبر اال الحد‬

1. Terma Minor ( ‫ ) صغر اال الحد‬adalah kata yang menjadi


subyek) ( ‫) ع ضو مو‬proposisi yang menjadi natijah.

2. Terma Mayor) ( ‫ ) كبر اال الحد‬adalah kata yang menjadi predikat (


‫) ل محمو‬dalam proposisi yang menjadi natijah.

3. Terma Penengah( ‫ ) سط الو الحد‬adalah kata yang diulang-ulang didalam


dua proposisi ( ‫ ) قضية‬yaitu proposisi pertama yang yang disebut dengan
premis minor( ‫ ) صغرى مة مقد‬dan proposisi kedua yang disebut dengan premis
mayor( ‫ ) كبرى مة مقد‬.

Di atas diterangkan bahwa premis minor ( ‫( مة مقد صغرى‬, harus tercakup


dalampremis mayor ( ‫ ) كبرى مة مقد‬dan harus lebih khusus dari pada premis
mayor ( ‫) كبرى مة مقد‬serta harus mengandung term minor ( ( ‫ صغر اال الحد‬yang
menjadi subyek (( ‫ ع ضو مو‬dalamnatijah. Sedangkan premis mayor ( ‫)كبر مة مقد‬
itu harus lebih umum dari pada premis minor ( ‫ ) صغرى مة مقد‬dan harus
mengandung term mayor ( ‫ ) كبر اال الحد‬yang menjadipredika ( ‫) ل محمو‬
dalam natijah.

E. Metode penyusunan qiyas iqtirani

1. Susunan mukaddimah-mukaddimahnya sesuai ketentuan yang


diharuskan. Yakni menyertakan unsur yang mengumpulkan kedua
sisi (jami’),dan memastikan had ashghar termuat dalam pemahaman had awsat.

2. Urutkan beberapa mukaddimah dengan cara mendahulukan mukaddimah


shughra dari mukaddimah kubra dalam qiyas iqtirani dan mendahulukan
mukaddimah kubra dari mukaddimah shughra dalam qiyas istisna’i sesuai
aturan yang memungkinkan dihasilkannya natijah.

3. Teliti shahih dan yang fasid-nya dengan melakukan uji coba (eksperimen).
Fasid dapat ditemukan dalam aspek urutan, seperti halnya kedua
mukaddimah berbentuk salibah atau juz’iyyah. Karena hal ini tidak akan
mencetuskan natijah. Atau dalam aspek isi, seperti halnya kedua mukaddimah
atau salah satunya mengandung unsur bohong. Dalam hal ini penelitin
dilakukan dengan mengolah dalil, apakah kebenaran isinya bersifat yakin atau
tidak, menghasilkan natijah atau tidak.

4. Natijah yang merupakan kelaziman dari beberapa mukaddimah, akan


muncul menyesuaikan mukaddimah-mukaddimahnya. Apabila mukaddimah-
mukaddimahnya diyakini benar, maka natijah juga akan diyakini benar.
Namun jika mukaddimah-mukaddimahnya tidak diyakini benar,
maka natijah juga tidak diyakini benar, artinya mungkin benar, mungkin salah.

Contoh dua mukaddimah dan natijah semua benar ;

o ‫سان كل‬
َ ‫( َحيَ َوان اِن‬setiap manusia adalah hewan)

o ‫( ِجسم َحيَ َوان كل‬setiap hewan adalah materi).


o ‫سا كل‬
َ ‫( ِجسم ن اِن‬setiap manusia adalah materi) => natijah

Contoh dua mukaddimah dan natijah semua salah ;

o ‫سا كل‬
َ ‫( د َج َما ن اِن‬semua manusia tidak bernyawa)

o ‫( ر ِح َما د َج َما كل‬setiap yang tidak bernyawa adalah keledai)

o ‫سا كل‬
َ ‫( ر ِح َما ن اِن‬setiap manusia adalah keledai) => natijah

Contoh dua mukaddimah salah, namun natijahnya benar ;

o ‫سا كل‬
َ ‫( د َج َما ن اِن‬semua manuasia tidak bernyawa)

o ‫( ِطق نَا د َج َما كل‬setiap yang tidak bernyawa dapat berpikir)

َ ‫( ِطق نَا ن اِن‬setiap manusia dapat berpikir) => natijah


o ‫سا كل‬

11. Definisi

1) Pertama, dimulai dari kata definisi. Di dalam kamus besar bahasa indonesia KBBI definisi
(de•fi•ni•si/définisi) terbagi menjadi dua pengertian yaitu :

kata, frasa, atau kalimat yg mengungkapkan makna, keterangan, atau ciri utama dari orang, benda,
proses, atau aktivitas; batasan (arti);

rumusan tata ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok pembicaraan atau studi;

Definisi juga memiliki beberapa jenis yaitu :

 berputar definisi yg tidak dapat dipahami krn tidak ada yg diberi definisi, biasanya hanya
diberi sinonim; definisi melingkar;

 biverbal definisi yg berupa sinonim atau padanan kata;

 demonstratif definisi yg berupa penunjukan objek, benda, atau peristiwa konkretnya;


 melingkar definisi berputar;

 metaforis definisi berupa pemberian kiasan atau tamsilnya;

 nominal definisi berupa makna kata dng keterangan turunan dan pemakaian kata itu;

 ostensif cara menggambarkan suatu konsep dng mengucapkannya, menunjuknya, atau


mengisyaratkannya;

 riil proses atau hasil menyatakan makna kata dng memerinci unsur-unsur konsepnya;

 Kata yang sering diungkapkan terkait dengan kata definisi yaitu :

 Mendefinisikan (men•de•fi•ni•si•kan) adalah memberikan definisi;

 Pendefinisian (pen•de•fi•ni•si•an) adalah proses, cara, perbuatan memberikan definisi

Istilah “definisi” berasal dari kata Latin definitio yang berarti “penentuan arti” atau “pembatasan”.
Sekarang ini, pengertian definisi adalah keterangan yang merupakan uraian atau penjelasan tentang
arti suatu kata atau ungkapan yang membatasi makna suatu kata atau ungkapan tersebut. Kata atau
ungkapan yang hendak dijelaskan disebut definiendum, sedangkan bagian yang menjelaskan
definiendum itu disebut definiens. Definisi dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yakni definisi
nominal (verbal) dan definisi real. Definisi nominal terdiri atas definisi nominal umum dan definisi
nominal khusus. Defenisi real terdiri atas definisi real esensial dan definisi real deskriptif. Definisi real
esensial dapat dibagi lagi menjadi definisi real esensial fisik dan definisi real esensial metafisik.
Definisi real deskriptif dapat dibagi lagi menjadi definisi real deskriptif kausal, definisi real genetik,
dan definisi real deskriptif aksidental.

Ada beberapa jenis definisi yang telah diklasifikasin oleh para ahli logika seperti yang telah
disebutkan di atas berikut ini penjelasannya:

 Definisi nominal atau definisi verbal:

Definisi nominal atau definisi verbal adalah definisi yang paling sederhana dan
bersifat sementara karena hanya memberi penjelasan etimologis atau memberi
sinonim kepada istilah yang hendak dijelaskan. Definisi nominal tidak memberi
pengertian yang hakiki tentang sesuatu yang dijelaskan itu. Contoh definisi nominal
yang memberi penjelasan etimologis: Logika adalah istilah yang diambil dari kata
Yunani logikos, yang dibentuk dari kata benda logos, yang berarti “Sesuatu yang
diutarakan, suatu pertimbangan akal, kata, percakapan” atau “ungkapan lewat
bahasa”. Contoh definisi nominal yang memberi sinonim definiendum: Hamba ialah
budak atau pelayan. Arca ialah patung. Semua jenis kamus pada umumnya adalah
definisi nominal.

 Definisi nominal umum:


Definisi nominal umum adalah definisi yang pada umumnya diterima oleh semua
orang, yang memberi penjelasan tentang suatu kata atau ungkapan dengan sesuatu
yang sesuai dengan pemahaman umum. Misalnya: ungkapan “suami adalah pria yang
telah menikah”.

 Defenisi nominal khusus:

Defenisi nominal khusus adalah definisi yang bersifat relatif dan seringkali juga
subjektif. Oleh karena itu, tidak berlaku umum, atau kendatipun dikenal umum, kata
atau ungkapan itu memiliki arti yang berbeda-beda. Contohnya: kata atau ungkapan
“bebas”, “gotong royong”, dan sebagainya.

 Defenisi Real:

Defenisi real dianggap searti dengan definisi analitis atau definisi eksplikatif. Definisi
real dapat dibagi menjadi definisi esensial dan definisi deskriptif.

 Definisi Esensial:

Definisi esensial adalah definisi yang benar-benar sanggup memberi pengertian yang
hakiki tentang sesuatu yang hendak dijelaskan. Definisi esensial adalah penjelasan
lewat uraian bagian-bagian yang esensial tentang sesuatu tersebut. Prinsip penyusunan
definisi esensial ialah pergenus et differentiam, yakni penyusunan definisi dari genus
proximum (proximate genus) dan differentia specifica. Definisi esensial dapat
dibedakan lagi atas definisi esensial fisik dan definisi esensial metafisik.

 Definisi Esensial Fisik:

Definisi esensial fisik adalah penjelasan yang mengacu pada uraian bagian-bagian
yang mewujudkan esensi sesuatu yang menjadi definiendum. Sebagai contoh,
manusia adalah “hewan berakal budi yang terdiri atas tubuh dan jiwa”.

 Definisi Esensial Metafisik:

Definisi Esensial Metafisik adalah definisi yang paling ideal, yang benar-benar terdiri
atas genus proximum dan differentia specifica. Contoh klasik yang paling terkenal
ialah dibuat oleh Aristoteles, yaitu homo est animal rationale (manusia adalah “hewan
yang berakal budi”)

 Definisi Deskriptif:

Definisi deskriptif adalah penjelasan yang mengacu pada uraian tentang ciri-ciri
khusus yang dimiliki oleh sesuatu yang dijelaskan itu. Definisi deskriptif dapat
dibedakan lagi atas definisi kausal, definisi genetik, dan definisi aksidental.

 Definisi Kausal:
Definisi kausal ialah definisi yang menjelaskan sebab-akibat sesuatu yang menjadi
definiendum. Contohnya: kalimat “Pena adalah alat yang dibuat manusia untuk
menulis”.

 Definisi Genetik:

Definisi genetik adalah definisi yang memberi penjelasan tentang asal usul atau
menguraikan bagaimana sesuatu itu terjadi. Contohnya: kalimat “Awan adalah uap air
yang menguap ke udara karena pemanasan laut yang disinari oleh matahari”.

 Definisi Aksidental:

Definisi aksidental adalah definisi yang disusun dari genus proximum dan accidentia.
Jadi, definisi aksidental ialah definisi yang menyebut semua ciri-ciri aksidental dari
sesuatu yang menjadi definiendum itu. Misalnya: “Gajah adalah hewan berkaki empat
yang memiliki belalai, berambut halus, berkuping dua, memiliki ukuran tubuh yang
sangat besar, dan seterusnya”..

Anda mungkin juga menyukai