Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
hidayahnya sehingga epnulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada dosen pembimbing dalam
mengerjakan makalah ini. Penulis juga mnyampaikan terimakasih kepada teman-teman yang
telah memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan
makalah ini.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah
ini. Semoga makalah in bermanfaat bagi kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN
Para orientalis dan sejarawan filsafat mencatat bahwa Suhrawardi adalah tokoh
seorang penting dalam membangun pemikiran filsafat pasca Ibn Sina. Sarjana-sarjana
terkemuka seperti Carra de Vaux dan Max Horten telah menulis esai-esai pendek tentang
Suhrawardi. Pada akhir 1920-an Louis Masignon telah membuat suatu klasifikasi atas karya-
karya Suhrawardi. Pada akhir 1930-an Otto Spies menyunting dan menerjemahkan alegori
atau tamsil filosofisnya.
Pemikiran Isyraqiyah (iluminatif), secara ontologis maupun epistemologis, lahir
sebagai reaksi atau alternatif atas kelemahan-kelemahan pada filsafat sebelunya, khususnya
paipatetik Aristotelian. Meurut Suhrawardi filsafat paripatetik yang saat itu dianggap paling
unggul dan falid ternyata mengandung banyak kekurangan. Pertama, secara epistemologis, ia
tidak dapat menggapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh
penalaran rasional bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu ditak bisa menjelaskan
atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya. Kedua, secara ontologis, Suhrawardi tidak
bisa menerima konsep paripatetik, antara lain dalam soal eksistensi-esensi. Baginya, yang
fundamental dari realitas adalah esensi bukan eksistensi seperti yang diklaim kaum
paripatetik. Esensilah yang primer sedangkan eksistensi hanya sekunder, hanya merupakan
sifat dari esensi dan hanya ada dalam pikiran. Ini sekaligus membalik konsep Plato (428-347
SM) bahwa eksistensi hanyalah bayangan dari alam ide dalam pikiran.
Suhrawardi menjadikan usaha pembersihan hati sebagai pendukung atau malah
fondasi bagi penalaran diskursif dalam usaha mendapat kebenaran. Dalam penegrtian lain,
filsafat Iluminasi yang dibangunnya merupakan perkawinan antara nalar diskursif dan intuisi
sehingga dalam pemikiran Suhrawardi, seorang filsuf tidak hanya seorang yang memiliki
pengetahuan secara rasional, tetapi sekaligus menjadi orang suci, orang yang tercerahkan
dalam sinaran pengetahuan Ilahi. Sejatinya istilah Isyraq merujuk pada dua hal ini, pada
dunia cahaya (iluminasi) selain juga pada timur. Dalam filsafat Isyraqiyyah Timur tidak
dipandang selalu secara geografis, tetapi sebagai sumber dan awal cahaya, dimana keduanya
erat kaitannya dengan Tuhan,
BAB II
RIWAYAT HIDUP dan KARYA-KARYA SUHRAWARDI
A. Riwayat Hidup
Suhrawardi, nama lengkapnya Syihab Al-Din Yahya Ibn Habasy ibnu Amira
Suhrawardi Al-Maqtul, lahir di desa Suhraward sebuah desa kecil dekat Zinjan di timur
laut Iran tahun 545 H/1153 M. Istilah al-maqtul ini digunakan untuk membedakan
dengan dua tokoh Suhrawardi yang lain yang sama-sama bernama Suhrawardi. Dua
tokoh yang dimaksud adalah (1) Abd Al-Qadir Abu Najib Suhrawardi (1097-1168 SM)
pendiri tarekat Suhrawatdiyah. Ia adalah murid Ahmad Al-Ghazali (w. 1126 M) adik
kandung Muhammad Al-Ghazali (1058-1111 M) penulis Ihya Ulum al-Din (2) Syihab
Al-Din Abu Hafs Umar Suhrawardi (1144-1234 M), keponakan sekaligus murid
Suhrawardi pertama.
Pendidikan Suhrawardi Al-Maqtul dimulai di Maraghah sebuah kota yang
kemudian menjadi terkenal karena munculnya Nasir Al-Din Al-Tusi (1201-1274 M)
yang membangun obsevatorium Islam pertama dibawah bimbingan Majdud Al-Din Al-
Jilli, dalam bidang fiqh dan teologi. Al-Jilli ini sendiri juga dikenal sebagai salah satu
guru dari Fakhr Al-Din Al-Razi (1149-1209 M), seorang teolog sunni. Selanjutnya,
Suhrawardi pergi ke Isfahan untuk lebih mendalami studinya pada Zahir Al-Din Qari dan
Fakr Al-Din Al-Mardani (w. 1198 M). Guru yang diesbut terakhir ini diduga merupakan
guru Suhrawardi yang sangat penting. Selain itu ia juga belajar logika pada Zahir Al-
Farsi yang mengajarkan al-Bashar al-Nashiriyah, karya Umar ibn Sahlan A-Sawi
(w.1183 M) ahli logika terkenal sekaligus salah satu pemikir iluminasi awal dalam Islam.
Setelah itu Suhrawardi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui guru-guru
sufi dan hidup secara asketik. Menurut Khudori Saleh yang mengutip pendapat Husein
Nasr, Suhrawardi memasuki putaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama
ber-khalwat untuk mempelajari dan memikirkannya. Perjalanannya semakin lebar hingga
mencapai Anatoli dan Syiria. Dari Damaskus, Syiria, ia pergi ke Aleppo untuk berguru
pada Safir Iftikhar Al-Din, dan di kota ini Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para
Faqih yang iri mengecamnya. Akibatnya, ia dipanggil pangeran Malik Al-Zahir (1172-
1216 M), gubernur Aleppo putra sultan Shalah Al-Din Al-Ayyubi (1138-1193 M), untuk
dipertemukan dengan para fuqaha dan teolog . namun dalam perdebatan ini Suhrawardi
mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang kuat yang itu justru membuatnya
dekat dengan pangeran Jahir dan pendapat-pendapatnya disambut baik.
Saat di Aleppo, di usianya yang masih sangat muda Suhrawardi telah menguasai
pengetahuan filsafat dan tasawuf begitu mendalam serta mampu menguraikannya secara
baik. Bahkan Thabaqat al-athibba menyebut Suhrawardi sebagai tokoh Zamannya
dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu filsafat memahami usul fiqh.
Semua itu membuat lawan-lawannya atau pihak yang tidak menyukainya semakin
iri dan dendam. Karena itu, setelah tidak berhasil mempengaruhi pangeran Zahir, para
fuqaha yang dengki terhadap Suhrawardi berkirim surat langsung pada sultan Shalah Al-
Din dan memperingatkan tentang bahaya kemungkinan tersesatnya akidah sang pangeran
jika terus bersahabat dengan Suhrawardi. Shalah Al-Din sendiri yang terpengaruh isi
surat segera memperintahkan putranya untuk menghukum mati Suhrawardi. Akhirnya,
pemikir yang sangat brilian ini harus mati ditiang gantungan, tahun 1191 M, dalam usia
yang masih sangat muda, 38 tahun karena kedengkian sebagian ulama fiqh.
A. Pengertian Isyraqi
Kata Isyraq mepunyai banyak arti antara lain, terbit an bersinar, berseri-seri,
terang karena disinari dan menerangi. Isyraq berkaitan dengan kebenderangan atau
cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan,
ketenangan, dan hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang
dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan, dan semua yang membuat
manusia menderita.
Dalam bahasa filsafat iluminationism berarti sumber kontemplasi atau
perubahan bentuk dari kehidupan emosional kepada pencapaian tindakan dan
harmoni. Bagi kaum Isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang
diyakini, melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang
didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada
cahaya yang bersifat akali yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dapat
dicapai bersama-sama. Karena itu, menurut mazhab isyraqi sumber pengetahuan
adalah penyinaran cahaya yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan
dengan substansi cahaya. Cahaya adalah sumber utama dari filsafat isyraqi.
B. Gradasi Esensi
Menurut Suhrawardi, apa yang disebut sebagai eksistensi adalah sesuatu yang
hanya ada dalam pikiran gagasan umum dan konsep yang tidak terdapat dalam
realitas, sedangkan yang benar-benar esensial atau realitas yang sesungguhnya adalah
esensi-esensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya ini
adalah sesuatu yang nyata dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti
kegelapan dan tidak dikenali. Karena itu, cahaya tidak membutuhkan definisi bahkan
tidak ada yang lebih membutuhkan definisi kecuali cahaya.
Meski demikian menurut Suhrawardi, masing-masing cahaya tersebut berbeda
tingkat intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan
cahaya segala cahaya (Nur al-Anwar) yang merupakan sumber segala cahaya.
Semakin dekat dengan Nur al Anwar yang merupakan cahaya yang paling sempurna
berarti semakin sempurnalah cahaya tersebut.
Akan tetapi gagasan emanasi Suhrawardi di sini tidak hanya mengikuti teori
yang dikembangkan kaum neoplatonis, tetapi mengombinasikan dau proses sekaligus,
dan inilah yang membuatnya menjai khas pemikiran Suhrawardi.
C. Kesadaran diri
Ajaran Suhrawardi tentang kesadaran diri berkaitan tentang konsepnya tentang
pengetahuan. Meurut para pemikir paripatetik pengethuan diperoleh lewat berbagai
cara: lewat definisi, lewat perantara, dan lewat konsepsi-konsepsi. Ini terjadi karena
objek yang diketahui bersifat independen dan keberadaanya berada di luar eksistensi
subjek.
Dengan demikian menurut Suhrawardi, sebuah pengetahuan yang benar hanya
bisa di capai lewat hubungan langsung tanpa halangan antara subjek yang mengetahui
dan objek yang diketahui. Meski demikian hubungan ini tidak bersifat pasif tetapi
aktif, dimana subjek dan objek satu sama lain hadir, tampak pada esensinya sendiri
dan di antara keduanya saling bertemu tanpa penghalang.
Berdasarkan atas prinsip-prinsip tersebut, maka kesadaran diri berarti sama
dengan manifestasi wujud atau sesuatu yang tampak yang diidentifikasi dengan
cahaya murni. Kesadaran diri karena itu identik dengan penampakan dan cahaya
seperti apa adanya. Dari sini kemudian disimpulkan bahwa setiap orang yang
memahami esensinya sendiri adalah cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah
manifestasi dari esensinya sendiri.
Selanjutnya, cahaya murni tersebut adalah bagian dari cahaya abstrak, sedang
cahaya-cahaya abstrak itu sendiri adalah bersifat sama dan merupakan satu kesatuan,
hanya berbeda intensitas penampakannya. Karena itu dalam konsep kesadaran diri
dapat dikatakan bahwa setiap aku secara esensial adalah sama dengan aku yang lain,
karena masing-masing adalah kesadaran diri.
BAB IV
PENUTUP
Dalam perspektif historis setelah Ibn Rusyd tidak berhasil mempertahankan logika
dan filsafat Aristotelian dari serangan Al-Ghazali, usaha Suhrawardi yang mengompromikan
berbagai aliran pemikiran khususnya nalar diskursif dengan nalar intuitif ternyata memberi
arah baru bagi perkembangan filsafat Islam. Kenyataannya, metode penggabungan antara
filsafat dan tasawuf ini lebih dominan dan di ikuti para pemikir Islam sesudahnya antara lain,
Ibn Arabi dan Mulla Sadra.
Di sisi lain penggabungan dua nalar itu sendiri adalah sesuatu yang menarik untuk
direnungkan. Dengan filsafat seseorang bisa berfikir sejauh dan seluas mungkin tetapi dengan
adanya agama dan spiritualitas maka apa yang dipikirkan menjadi nyata dan menyakinkan,
disamping tetap terkendali dan aman. Artinya kedua sistem berpikir tersebut dapat saling
mendukung dan menguatkan dalam upaya menumbuhkan kesadaran manusia akan tanggung
jawabnya sebagai khalifah di bumi.
Pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi dimana prosesnya terus berjalan tanpa henti
memberikan pemahaman bahwa relitas yang ada sangat luas, terbentang tanpa batas. Satu-
satunya yang membatasi hanyalah kegelapan, suatu wilayah yang tidak atau belum terjangkau
oleh cahaya. Ini adalah gagasan yang berani dan memberi tantangan yang aru bagi pemikiran
manusia. Di sisi lain konsepnya bahwa realitas cahaya yang merupakan hakikat wujud adalah
satu meski berbeda-beda tingkat intensitas penampakannya, dapat menggiring pada paham
esensialisme.
Daftar Pustaka
Prof. DR. Afif Muhammad MA dan DR. Munir A Muin MA (terj), Surahwardi dan Filsafat
Iluminasi, Sadra Pres, Jakarta 2012
Seyyed Husein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, IRCisod, Yogyakarta, 2006
DR. H.A Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hinga Kontemporer, Ar-ruz Media
Yogyakarta, 2016
PEMIKIRAN FILSAFAT ILUMINASI SUHRAWARDI
MAKALAH
Di Ajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Filsafat Islam
Dosen : DR. Humaedi
Penyusun:
Mohammad Hasan Ma’arif