Anda di halaman 1dari 20

CAKRAWALA BARU PERADABAN GLOBAL REVOLUSI ISLAM

UNTUK GLOBALISME, PLURALISME DAN EGALITERISME


ANTAR PERADABAN

(Karya Hassan Hanafi)

Buku “Cakrawala Baru Peradaban Global Revolusi Islam untuk Globalisme,


Pluralisme dan Egaliterisme Antar Peradaban” karya Hassan Hanafi terdiri dari 10 Bab.
Bab-bab tersebut, yakni membahas mengenai moralitas dan integritas masyarakat Islam,
etika global dan solidaritas manusia perspektif Islam, dunia Timur Tengah milik siapa?
Hambatan bagi dialog antar agama, makna konflik budaya, respons Islam terhadap krisis
nilai, menghadapi tantangan bersama masa kini terhadap masalah lingkungan,
pembangunan dari luar pembangunan dari dalam, dan dari dekolonialisasi.
Pada hakikatnya, Hassan Hanafi menjelaskan tentang pentingnya menggagas
sebuah dunia interdependen atas nama dunia multipolar yang menunjukkan kekuatan kaum
pinggiran. Hal itu lebih baik dilakukan daripada membiarkan globalisasi dunia berada
dalam sistem satu polar (bipolar) yamg mencerminkan kekuasaan pusat. Sehubungan
dengan itu, Hassan Hanafi mencoba menawarkan sistem relasi dunia yang antibipolar. Ia
melihat bahwa bipolaritas Barat melalui sistem ekonomi kapitalisnya adalah kelanjutan
hegemoni kolonialisme klasik.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kehidupan dunia dalam segala aspeknya mulai
dari politik, sosial, dan budaya berada dalam kuasa peradaban yang bernama “globalisasi”.
Adapun globalisasi adalah sebuah isu kepentingan yang dihembuskan oleh ideologi
kapitalistik sehingga mengakibatkan kisi-kisi kehidupan yang terkontaminasi oleh
kepentingan kapitalistik. Ujung-ujungnya hal itu dapat melanggengkan sistem kekuasaan
bipolar Barat.
Ideologi kapitalistik menurut Hassan Hanafi sangat lihai menghegemoni wilayah
kesadaran dan pandangan dunia, maka tema-tema agung yang ditawarkan oleh modernisme
adalah civil society, HAM, demokrasi liberalisme, developmentalisme, dan persamaan
gender menemui jalan yang buntu dan absurd. Mungkin hal inilah yang diisyaratkan
Francis Fukuyama dengan istilah “The End of History”.
Buku ini menjelaskan pula bahwa epistemologi kekuasaan bipolar adalah anak emas
dari modernisme yang dalam wilayah keagaaman telah melahirkan sekulerisme.
Kapitalisme berserta variabelnya, yakni globalisasi, liberalisasi, developmentalisme adalah
“anak kembar” dari sekulerisme. Penulis buku ini secara kritis melihat bahwa perjalanan
kapitalisme adalah sebuah peradaban yang sudah jauh dari induk semangnya tersebut.
Perceraian antara kapitalisme dan agama menimbulkan sebuah relasi konflik antar
komunitas. Hassan Hanafi dalam bukunya ini menyebutkan bahwa Islam sering disudutkan
oleh Barat karena isu-isu terorisme, otoriterianisme, dan pelanggaran HAM. Ujung-
ujungnya deskridisme tersebut memiliki tendensi agar negara-negara muslim mau
mengadopsi peradaban ala Barat yang humanis.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dengan menguasai peradaban dan
kebudayaan, maka dipastikan bisa menguasai kesadaran rakyat muslim. Hanafi mensinyalir
bahwa tesis Huntington tentang the clash of civilization adalah sebagai isu besar dan klise
yang mengelabui konflik benar-benar terjadi antara negara-negara dunia ketiga dengan
penetrasi kapitalistik Barat.
Dalam pandanga kritisnya, Hanafi berpendapat bahwa membangun dunia yang
seimbang yang meniadakan sistem bipolar dan menuju sistem multipolar, dunia yang tanpa
ada distingsi pusat-pinggir, modern-primitif, Barat-Timur, maka harus ada wacana
tandingan dari orientalisme. Pemikiran Hanafi itu benar-benar terbukti. Amerika mulai
gelisah dengan geliat ekonomi Jepang dan Korea Selatan.
Lebih lanjut, Hanafi menyatakan bahwa sudah saatnya dunia bipolar diakhiri
dengan mengakui eksistensi tradisi. Sebagaimana tawarannya bahwa membudayakan
pembangunan yang lebih adil dan manusiawi adalah dengan membangun dimensi
kebudayaan itu sendiri. Menurutnya tipologi peradaban yang abrogatif dan marginaris
harus segera diakhiri. Dengan demikian akan tercipta sebuah dunia yang ramah dan jauh
dari eksploitasi.
Generalisasi pemikiran Hanafi tersebut dapat pembaca pahami melalui gagasan-
gagasannya yang ada pada setiap bab. Pada bab pertama, Hanafi menjelaskan tentang
moralitas dan integritas masyarakat Islam yang mencakup moralitas sebagai ontologi,
moralitas sebagai penegasan dunia, moralitas Islam sebagai struktur sosial-politik,
moralitas sebagai hukum sejarah, dan ledakan identitas Islam.

Moralitas sebagai Ontologi


Moralitas dalam Islam bukan hanya merupakan pengetahuan tentang baik dan buruk
dikaitkan dengan epistemologi, melainkan keberadaan moralitas itu sendiri dalam perilaku
yang berarti ontologi. Di sisi lain, tauhid merupakan kesatuan manusia yang jauh dari
semua bentuk dualisme seperti kemunafikan, bermulut dua, dan sikap berubah-ubah
menurut keadaan. Sementara itu, berpikir, berbicara, merasa, dan bekerja adalah sebuah
identitas.
Tauhid juga berarti kesatuan umat manusia tanpa adanya diskriminasi ras,
kesenjangan ekonomi antara bangsa yang kaya dan bangsa yang miskin, masyarakat
berkembang dan masyarakat maju, masyarakat Barat dan Non-Barat dan lain sebagainya.
Adapun jika tauhid memberikan premis-premis moralitas kepada kemanusiaan dan
menyadarkannya kepada dunia-nilai, maka seluruh tuntunan Islam berasal dari tauhid
tersebut.
Moralitas yang muncul dari tauhid tidak hanya sekadar deskripsi teoretis manusia
ideal. Akan tetapi begitu kondisi ideal itu direalisasikan, maka etika individual telah
ditransformasikan ke dalam etika dunia. Pengakuan keimanan adalah shahadat berarti
kesaksian. Secara etimologi, ia berarti melihat, menegaskan dan melakukan. Kalimat
shahadat menuntut dihilangkannya pemisahan antara yang ideal dan yang riil antara hukum
Islam dan aplikasinya dalam masyarakat.
Setiap muslim wajib mengetahui ajaran Islam untuk memerintahkan kebaikan dan
mencegah kejahatan. Setiap muslim tidak hanya bertanggung jawab kepada dirinya sendiri,
melainkan juga kepada orang lain, kepada keluarga, masyarakat dan seluruh dunia. Ia
memiliki tugas di atas bumi untuk memenuhi panggilan Tuhan dan jadi wakil Tuhan di
muka bumi. Adapun dalam Islam, ontologi menemukan bentuk pelaksanaan puncaknya
dalam oposisi politik.

Moralitas sebagai Penegasan Dunia


Moralitas Islam mengakui alam manusia dan realitas dunia. Moralitas Islam tidak
terletak pada penguasaan diri dalam mengatasi kelemahan manusia menghadapi keinginan
manusianya, melainkan berdasarkan pada pemenuhan tuntutan realitas manusiawi dan
penerimaan diri dalam menghadapi berbagai macam frustasi dan kekurangan.
Moralitas Islam bukanlah puritanisme, katarsisme, dan bukan pula paham kesucian
yang suci vs yang tidak suci, melainkan lebih merupakan keterlibatan di dalam persoalan-
persoalan dunia dengan berbuat dan melakukan perubahan dunia. Islam bukanlah agama
yang menigasi dunia seperti agama-agama India, melainkan agama yang mengafirmasikan
dunia.
Adapun etika Islam bukanlah merupakan etika keagamaan dalam arti umum.
Namun ia adalah mengikuti kehendak Tuhan melawan keinginan-keinginan manusia
dengan tetap mengikuti tatanan manusia, yaitu mengikuti ajaran Islam dengan sungguh
dalam jiwa.
Etika Islam lebih merupakan pengayaan diri. Ajaran Islam adalah peringatan
sederhana terhadap bahaya lenyap energi dan hancurnya tatanan alam. Larangan minuman
keras adalah melindungi daya intelektual. Pelaksanaan hukum Islam bukanlah merupakan
pembatasan terhadap perkembangan alam, melainkan lebih merupakan faktor pendukung
bagi kemakmuran atau perkembangan alam itu sendiri. Adapun Islam menyikapi terhadap
berbagai kedangkalan alam dan elemen eksternal yang dapat ditolak dengan mudah sebagai
anggota asing dalam tubuh alam.

Moralitas Islam sebagai Struktur Sosial-Politik


Moralitas Islam merentang dari level individu ke level sosial. Masyarakat
merupakan tujuan akhir pewahyuan dari teori ke praktis dari kata ke struktur-politik. Rukun
Islam yang lima mengandung aspek-aspek sosial. Tauhid itu sendiri dalam konteks
masyarakat berarti pembentukan masyarakat tanpa kelas dengan adanya konsep kesatuan
umat.
Islam adalah agama sosial. Hubungan sosial dalam Islam lebih banyak ditekankan
daripada ibadah individual. Ketika harus memilih antara etika individual dan etika sosial
yang didahulukan adalah etika sosial. Orang lain dalam Islam sangat dihormati seakan-
akan ia merupakan anggota satu keluarga. Membantu dan melindungi orang lain adalah
manifestasi nyata kesalehan seseorang. Tingkat keimanan yang paling tinggi adalah
menyelamatkan jiwa orang lain.
Sistem politik dalam Islam juga didasarkan pada norma etika yang sama. Tauhid
adalah pembebasan kesadaran manusia dan belenggu Tuhan – Tuhan palsu. Kebebasan
memerlukan sistem politik yang didasarkan pada pilihan bebas bagi semua orang. Shura
yang secara etimologi berarti musyawarah, mencegah dari bentuk-bentuk despotisme,
unilateralisme pikiran dan ditatorisme. Setiap orang berhak dipilih tanpa dibedakan
ketirunan ataupun kelas sosialnya.

Moralitas sebagai Hukum Sejarah


Moralitas bukan hanya merupakan manifestasi tauhid ataupun basis masyarakat,
melainkan juga identik dengan hukum sejarah. Kemunduran moral juga mengakibatkan
kemunduran sejarah. Suatu bangsa runtuh ditelan sejarah jika tidak mengikuti hukum
moral. Sebaliknya bangsa bisa bertahan jika mengikuti hukum moral.
Ekspansi dunia dan kelanjutan sejarah dikondisikan dengan penerapan hukum.
Manifestasi keimananan satu-satunya adalah perbuatan baik. Mereka yang akan mewarisi
seluruh bumi adalah mereka yang hidup dan berbuat sesuai dengan hukum moral. Islam
menawarkan perjanjian etik universal yang baru kepada manusia agar dijalankan dan
dilaksanakan.
Kemajuan dan kemunduran sejarah dihubungkan dengan tindakan manusia, baik
tindakan individu maupun tindakan masyarakat. Tindakan adalah manifestasi prinsip
universal dalam bentuk perbuatan baik. Inilah tugas manusia di muka bumi, yaitu
menunaikan pelaksanaan hukum moral dan melestarikan pelaksanaannya di dunia.

Ledakan Identitas Islam


Moralitas didasarkan pada penegasan identitas Islam dalam kehidupan individu,
masyarakat, dan sejarah. Begitu identitas ini terancam, terkepung atau ditekan, sebuh
ledakan akan terjadi tanpa diduga-duga.

Imprealisme menjadi salah satu alasan munculnya ledakan tersebut. Kekuasaan


tersebut mengambil alih posisi Tuhan sebagai super power. Tauhid berfungsi dan
penegasian dalam syahadat yang diucapkan untuk menentang tindakan mengasosiasikan
Tuhan dengan kekuatan lain apapun. Imprealisme merupakan penegasian terhadap
kebebasan. Oleh karenanya ledakan muncul.

Imprelisme berarti hubungan antar bangsa secara tidak sejajar, hubungan tuan dan
budak sementara tauhid menuntut kesejajaran semua bangsa dihadapan satu prinsip yang
universal. Tauhid adalah penegasan identitas diri dan penolakan terhadap semua jenis
kultus dan alienasi budaya. Dalam situasi seperti itu, tauhid meledak dan membangkitkan
energi massa segunakan slogan Tuhan Maha Besar, penakluk orang-orang sombong.

Tauhid bukan hanya berarti kesatuan personalitas manusia antara pekerjaan,


perasaan, kata, tindakan, atau kesatuan masyarakat melainkan juga berarti kesatuan umat
manusia. Semua bangsa sama di hadapan Tuhan. Tauhid berarti penolakan terhadap segala
jenis diskriminasi ras, etnosentrisme, dan egoisme.
Identitas Islam akan meledak jika sebuah negara etnik tersendiri ditanamkan di hati
umat. Ini lebih merupakan masalah prinsip daripada sekedar masalah-masalah politik yang
bisa diselesaikan dengan pemisahan. Adapun tauhid berarti sebuah masyarakat tanpa kelas
dan kesejajaran di hadapan Tuhan. Tauhid menuntut pembagian kekayaan umum untuk
dimanfaatkan keseluruhan masyarakat. Nasionalisme dalam arti demikian itu dalam dunia
Islam menjadi identitas Islam. Nasionalisasi terhadap permasalahan-permasalahan asing,
penciptaan kemandirian ekonomi nasional dan transisi ke arah nasionalisme sangat
dominan dalam masyarakat muslim.

Pada bab II, Hanafi menjelaskan tentang etika global dan solidaritas manusia
prespektif Islam yang mencakup esensi Islam, Islam sebagai prinsip universal: trasendensi,
dan Islam sebagai norma etika universal: perbuatan baik.

Esensi Islam

Islam merupakan salah satu dari agama-agama dunia, tetapi Islam tidak tepat
disebut sebagai agama. Menurut berbagai kamus, “agama” merujuk pada wilayah supra-
natural, majis, ritual, kepercayaan, dogma, dan institusi. Semua itu, lebih berkaitan dengan
agama populer dan sama sekali tidak relevan dengan esensi Islam.

Kata yang lebih tepat bagi Islam adalah etika, ilmu sosial dan kemanusiaan, atau
ideologi. Islam adalah gambaran tentang manusia dalam masyarakat, kebutuhan pokoknya,
komitmen moralnya, serta tindakan sosialnya. Islam juga merupakan sistem ide yang
muncul dari pengalaman sejarah, penerapannya dalam kenyataan dan penyesuaian kembali
menurut kemampuan manusia.

Esensi Islam adalah basis universalitasnya yang didasarkan pada etika global Islam.
Islam merupakan tahap akhir perkembangan panjang wahyu dalam sejarah. Esensi wahyu
telah dinyatakan dalam Islam, yaitu transendensi Tuhan yang dijalankan oleh manusia
dalam sejarah.
Sementara itu, citra Tuhan sebagai kekuatan supra-natural bertujuan untuk
membebaskan kesadaran manusia dari subjektifikasi pada dan ketakutan terhadap kekuatan
alam. Citra tersebut berperan sebagai kekuatan supra-natural bertujuan untuk
membebaskan semua masyarakat tertindas dari tekanan para penguasa penindas seperti
Fir’un.

Islam sebagai Prinsip Universal: Transendensi

Transendensi merupakan fungsi akal, prinsip epistemologis, yang selalu melampaui


secara terus-menerus menentang dogmatisme dan formulasi kaku. Kebenaran selalu
merupakan penelitian bagi kebenaran. Adapun konsep manusia tentang transendensi
sebenarnya merupakan citra manusia dan perkiraan temporal yang jauh dari relativisme,
skeptisisme, dan agnostisisme.

Transendensi juga merupakan prinsip ontologis karena epistemologi murni tanpa


diisi dengan ontologi akan terjatuh pada formalisme dan abstraksi. Tuhan adalah Prinsip
Universal sekaligus Keberadaan Universal. Akal dan keberadaan dapat disimpulkan sebagai
sesuatu yang identik.

Esensi Tuhan adalah sama dan identik dengan eksistensi-Nya yang menunjukkan
identitas utuh antara epistemologi dan ontologi, antara pengetahuan dan realitas. Oleh
karena itu, etika global sebagai diktum akal bukan merupakan visi utopis yang
menunjukkan pemikiran yang bersemangat. Lalu, bukan juga sekadar mimpi seorang
visioner, melainkan tertanam dalam solidaritas manusia.

Transendensi juga merupakan norma aksiologis sebuah standard prilaku dan sebuah
norma etika universal. Ia merupakan nilai dari nilai-nilai dan pondasi kehidupan moral.
Sementara itu, etika global dan solidaritas manusia sebagai pedoman tindakan manusia
sebenarnya merupakan manivestasi problem metafisika tentang kesatuan dan keberagaman.
Transendensi sebagai prinsip universal menunjukkan adanya kesatuan dalam hidup
manusia.
Adapun hubungan antara kesatuan dan keberagaman merupakan hubungan antara
yang ideal dan yang riil, antara jiwa dan badan, antara Tuhan dan alam. Kesatuan tanpa
keberagaman adalah utopia, retorika, dan tidak jarang merupakan hipokrisi untuk menutupi
praktik pelenyapan keberagaman. Keberagaman tanpa kesatuan akan terjerumus pada
partikularisme halus, relativisme dan pluralisme eksklusif yang berbahaya.

Islam sebagai Norma Etika Universal: Perbuatan Baik

Akal universal bisa membayangkan perbuatan baik secara tepat dan jelas.
Akumulasi pengalaman manusia bisa dijadikan dasar untuk mencapai konsensus tentang
apa yang dimaksud dengan perbuatan universal itu. Perbuatan universal didasarkan pada
niat baik. Niat merupakan pengalaman manusia yang dirasakan setiap orang. Ia merupakan
ekspresi kesalehan yang terdalam, ketakwaan yang kuat dan kesucian mutlak. Perbuatan
baik tanpa didasarkan pada niat baik sangatlah lemah. Ia akan berhenti begitu ada
perubahan motivasi.

Perbuatan baik dari sisi luar tidak bisa menjadi komponen etika global karena ia
bersifat berubah-ubah tidak memiliki pijakan, dan tidak berorientasi kepentingan.
Perbuatan baik yang didasarkan pada niat baik dicontohkan dalam tindakan heroik dan
spontan manusia.

Selanjutnya, perbuatan baik memiliki landasan internal dalam pikiran, perasaan, dan
aktualisasi eksternal dalam pernyataan dan tindakkan. Perbuatan baik yang secara internal
hanya didasarkan pada perasaan tanpa pikiran adalah mudah lenyap, sangat bergantung
pada keinginan, dan mood psikologis.

Rasa kasihan manusia yang tidak dikaitkan dengan kesadaran teoretis yang jelas
tentang keadaan dunia dan tidak dikaitkan dengan sistem distribusi kekayaan secara nyata
merupakan simpati murni manusia tanpa pengetahuan, yakni meninggalkan ilmu dan
pengetahuan di tangan para elite sosial-politik yang berkuasa. Adapun perbuatan baik
menjadi sama dengan transendensi karena keduanya merupakan manifestasi prinsip
universal yang sama demikian dalam teori dan demikian pula dalam praktik.
Islam sebagai Kesatuan Tindakan bagi Kelangsungan Hidup Manusia

Perbuatan baik bukan hanya merupakan perbuatan individual yang didasarkan pada
niat baik, melainkan juga merupakan ekspresi tindakan kolektif yang didasarkan pada niat
universal yang dinyatakan dalam wahyu Islam dan identik dengan landasan positif
kehidupan manusia.

Perbuatan individual dimasukkan dalam tindakan kolektif untuk lebih menjamin


objektivitas dan efesiensi. Dalam Islam terdapat lima niat universal sebagai berikut.

1. Menjaga jiwa manusia merupakan nilai utama dan mutlak.

2. Memelihara akal manusia dari segala bentuk pengrusakannya, seperti alkoholisme dan
kebodohan.

3. Jikan akal manusia merupakan sarana pengetahuan, maka perjuangan memperoleh


pengetahuan yang benar menjadi komponen ketiga bagi etika global.

4. Penegasan terhadap kehormatan manusia dan harga diri masyarakat merupakan nilai-
poko dantujuan bersama dalam etika global.

5. Menjaga kekayaan individu dan nasional merupakan komponen utama etika global dan
solidaritas manusia.

Pembahasan selanjutnya yang disuguhkan oleh Hanafi pada bab III, yaitu mengenai
“Dunia Timur Tengah yang Milik Siapa?” Hanafi menyatakan bahwa globalisasi
merupakan bentuk pemberian yang lain, yang mengungkapkan relasi kekuasaan antara
Timur dan Barat yang terjadi sesudah runtuhnya rezim sosialis di Eropa Timur dan dibekas
negara Uni Soviet.
Globalisasi merupakan sistem dunia. Kekuasaan sudah menjadi global sedangkan
yang lemah menjadi lokal. Globalisasi adalah konsep buatan, bukan realitas. Ia merupakan
sebuah ideologi meskipun merupakan sebuah mitos kuno, akhir ideologi dan awal teknologi
dalam mitos lain.

Jika globalisasi adalah penguatan pusat, maka fragmentasi direkayasa untuk


pinggiran. Kekuasaan keseluruhan memerlukan lemahnya bagian-bagian. Perpecahan dunia
Arab (Muslim) ditonjolkan, diekspose media massa, bahkan didorong. Media massa Barat
mendeskripsikan Islam sebagai pengganti komunisme dan ancaman merah yang datang dari
Timur sebelum jatuhnya rezim sosialis pada 1991.

Dunia Arab Muslim memiliki fase sejarahnya sendiri dan tidak bermaksud untuk
mengisolasi diri dari dunia yang semakin mengglobal. Timur Tengah dalam dunia global
menjadi awal munculnya jenis studi baru yang jauh berbeda dengan sistem orientalisme
klasik untuk membuka horizon bagi sejarah dunia.

Lebih lanjut, Hassan Hanafi mengungkapkan pemikirannya pada bab IV yang


membahas tentang “Islam dan Barat-benturan atau Dialog?” Bab tersebut mencakup
pembahasan tentang agama atau wilayah, esensi Islam dan Barat serta aspek
kesejarahannya yang jauh berbeda, dialog antara Islam dan Barat: Model Islam, benturan
antara Barat dan Islam: model Barat, signifikasi ganda peristiwa 11 September, benturan
antar peradaban dan konsep-konsep pendukung, agenda dialog antar peradaban, dari
orientalisme ke oksidentalisme, dan historiografi baru umat manusia.

Agama atau Wilayah

Islam dan Barat mengaitkan agama dengan letak geografis, meski sebenarnya lebih
tepat untuk membandingkan dua entitas yang sama. Islam dilihat sebagai agama, bukan
budaya. Sementara Barat dilihat sebagai budaya, bukan agama meskipun bisa dipahami
bahwa yang mendasari budaya Barat adalah agama Yudeo-Kristiani. Adapun Islam dilihat
sebagai substansi permanen yang diidentikkan dengan sekadar streotip citra Islam,
termasuk citra Islam dalam kisah “Seribu Satu Malam”. Sebaliknya Barat dilihat sebagai
Pax Romana dan Pax Americana.

Esensi Islam dan Barat dan Aspek Kesejarahannya yang Jauh Berbeda

Esensi Islam jauh berbeda dengan citra yang berkembang di media massa Barat.
Islam adalah agama rasionalis dan naturalis. Itulah sebabnya kebudayaan Islam kaya
denganilmu-ilmu fisika dan matematika. Sementara itu, esensi Barat sebenarnya tidak
terlalu jauh berbeda dengan Islam. Jika pencerahan merupakan cerminan esensi Barat
berarti juga didasarkan pada cita-cita yang sama: akal, alam manusia, kebebasan,
kesejajaran, dan kemajuan.

Dialog antara Islam dan Barat: Model Islam

Dialog antara Islam dan Barat pernah terjadi dua kali, pertama pada awal masa
pertengahan dan kemudian pada akhir masa skolastik. Kontak kedua antara Islam dan Barat
terjadi sepanjang masa simbiosis Andalusia pada akhir masa skolastik Eropa menjelang
masa modern. Namun, budaya-buadaya dunia tidak hidup dalam fase kesejarahan yang
sama. Harus dibedakan antara sejarah dan kesadaran sejarah, antara sejarah dan histografi,
antara sejarah dan kesejarahan. Barat mungkin berada dalam akhir sejarah, akhir periode
modern Barat sebagaimana tercermin dalam gerakan Postmodernisme dan dekostruksi.
Islam sebaliknya mungkin sedang berada dalam awal sejauh baru, awal masa modern Islam
sebagaimana tercermin dalam gerakan reformasi dan pencerahan.

Benturan antara Barat dan Islam: Model Barat

Jika dialog antar peradaban dalam model Islam terjadi dua kali dengan budaya
Yunani – Romawi klasik di Barat atau budaya Persia-India klasik di Timur, benturan anatar
peradaban dalam model Barat terjadi 3 kali, yakni Pax Romana selam imperium Yunani-
Romawi, Pax Christiana selama perang salib, dan Pax Euro-Americana pada puncak dan
akhir masa modern Barat.

Signifikansi Ganda Peristiwa 11 September

Setiap orang selalu ingat 11 September 2001 menjadikannya mudah dikenal dalam
sejarah dunia. Tak banyak yang ingat 28 September 2000, awal dimulainya Intifada II,
apalagi sepanjang dua tahun. Pemusnahan masal terbaru terhadap rakyat Palestina.
Sebagain orang menyesalkan praktik kekuasaan tanpa keadilan, yakni dukunga penuh AS
pada Israel tidak-berdayaan negara-negara Arab, frustasi, dan penghinaan terhadap rakyat
Arab dan muslim.

Fragmentasi baru dibuat bagi Arab dan dunia muslim menjadi negara-negara kecil
berbasis etnik dan agama sehingga Israel menjadi negara etnik dan agama yang terkuat dan
memperoleh legitimasi sosio-politik baru dari dalam wilayah Arab karena legitimasi lama
berdasarkan doktrin perjanjian dan tanah yang dijanjikan yang dipegang Zionisme pada
abad ke-19 sudah tidak bisa lagi dipertahankan.

Agenda Dialog antar Peradaban

Dialog antar peradaban memiliki agenda lain yang jelas dan terbuka. Dialog antar
peradaban meniscayakan adanya visi budaya pluralistik. Dialog bersifat teoretis sekaligus
praktis. Ia merupakan ekspresi keseimbangan kekuatan antara rakyat dan budaya. Dialog
bukanlah sekadar latihan intelektual, melainkan kerjasama saling menguntungkan antar
masyarakat. Tema utamanya adalah kekuasaan dan keadilan.

Kekuasaan tanpa keadilan bersifat merusak. Keadilan tanpa kekuasaan melahirkan


penghinaan, tidak-berdayaan dan frustasi. Kekuasaan bersifat global, politik, ekonomik,
sosial, ilmiah, dan kultural. Sementara keadilan hanya bersifat global. Kekuasaan adalah
kekuatan, bukan kebenaran. Sementara keadilan adalah kebenaran tanpa kekuatan.
Dari Orientalisme ke Oksidentalisme

Arogansi pengetahuan mulai tertanam dalam kesadaran Barat. Barat adalah


pengkaji, sementara Non-Barat diperlakukan sebagai museum antropologis. Sementara
Barat menciptakanoksidentalisme untuk mengkaji fenomena yang disebut “barat”, sumber-
sumber peradabannya, fase-fase sejarahnya, struktur serta masa depannya. Barat perlu
melihat gambaran dirinya menurut prespektif Non-Barat, mendapatkan objektivikasi dan
historisasi sebagaimana dialami budaya lain.

Historigrafi Baru Umat Manusia

Historigrafi baru sangat dibutuhkan bagi penulisan ulang sejarah manusia secara
lebih adil untuk pendidikan bagi generasi baru. Tugas utamanya adalah melakukan
dekonstruksi streotip citra yang ditanamkan sepanjang sejarah dan digerakkan oleh
motivasi non-ilmiah.

Dialog jujur antar peradaban bisa menemukan bahwa manusia saat ini dalam
persimpangan jalan. Fase sejarah yang sangat berbeda dan akhir masa modern. Adapun
Timur Tengah adalah pertemuan dua jalur sehingga muncul kebudayaan Islam yang megah
di masa lalu dan sekarang masih menjanjikan.

Hambatan bagi Dialog Antar Agama

Kerja sama antar agama mungkin dicapai melalui dialog antar agama sebagai
sebuah disiplin yang jauh dari retorika empatis dalam konteks persaudaraan dan toleransi.
Tujuan dialog tersebut bukan untuk memurtadkan orang lain, juga bukan untuk
membuktikan bahwa agama tertentu adalah salah.
Setiap agama memiliki dua kecenderungan. Pertama adalah tradisionalis, dogmatis,
ritualistik, institusional dan legal yang merupakan produk sejarah, interaksi manusia dan
sosial. Adapun setiap agama memiliki sistem kepercayaan dan sistem hukum dan karena
kepercayaan adalah motivasi yang tepat bagi berbagai tindakan yang terpuji, yang bukan
hanya berbentuk seperangkat nilai saja, sesuatu atau sebuh teori saja, maka hukum juga
adalah aspek periferal dalam agama.

Di sisi lain, agama sebagai hukum adalah sebuah konsep periferal manakala agama

Dalam konteks sosial lebih cenderung menggunakan pendekatan esensial yang lebih
membuka ruang pada upaya dialog. Sementara itu, institusional juga merupakan konsep
periferal agama. Ia adalah konstruksi buatan manusia khususnya dalam konteks sosio-
historis. Ia tidak memiliki kaitan dengan esensi agama.

Institusi pada kenyataannya selalu menjadi sumber penindas bagi reformis dan
filosof. Inquisisi selalu datang dari institusi agama. Institusi merupakan penyalahgunaan
kekuasaan Tuhan dan manusia untuk memperkuat dirinya sendiri untuk melawan Tuhan
dan manusia. Dengan demikian, institusi juga merupakan konsep periferal agama yang
tidak dapat membantu proses dialog antar agama.

Pada akhirnya, sejarah juga merupakan konsep periferal dalam agama. Agama
berbeda manifestasinya dalam konteks sejarah. Sejarah pembebasan adalah suatu hal dan
pembebasan itu sendiri adalah hal lain.

Perwujudan keberagaman dalam sejarah adalah sebuah target keberagaman. Di


balik semua itu terdapat banyak konsep esensial yang dapat membantu proses dialog antar
agama. Selain dogma, juga terdapat konsep transendensi yang secara etimologis berarti
selalu melampaui, selalu mengharapkan pertemuan, serta selalu menuju pada yang tak
terbatas.
Konsep transendensi mengarahkan pada konsep esensial lainnya, yakni persatuan.
Hal tersebut terjadi karena transendensi memotivasi kesadaran manusia untuk selalu
melampaui, puncaka yang tertinggi hanyalah yang satu, yaitu Vanculum substantiale.

Kesatuan adalah konsep esensial yang melatarbelakangi seluruh pengalaman cinta,


penghargaan, persahabatan, dedikasi, dan pengorbanan. Dalam dialog antar agama, semua
partner dialog diandaikan dalam kesatuan. Seluruh dialog dimaksudkan untuk mengangkat
perbedaan-perbedaan dan menemukan keberagaman untuk dijadikan orientasi menuju titik
temu.

Pada akhirnya, jika sejarah adalah konsep periferal, maka komunitas adalah konsep
esensial. Individu bukanlah orang yang hidup sendirian, tapi ia adalah bagian dari
komunitas. Dimensi komunitas dalam individu ini membutuhkan keterjaminan keadilan
sosial melalui solidaritas sosial dan kohesi sosial melalui usaha individu atau melalui
komitmen sosial.

Konflik Budaya atau Konflik Kepentingan

Konflik biasanya merupakan pertentangan kepentingan, khususnya konflik


kepengingan ekonomi dan politik. Akan tetapi konflik secara material diletakkan dan
dikaitkan dengan konflik ideologi.

Jika konflik material dapat diketahui dengan statistik, siapa memperoleh apa, maka
konflik ideologi bisa diketahui dari pandangan yang saling emnguntungkan dan saling
berhadapan. Setelah runtuhnya blok sosialis, blok kapitalis membentuk sistem dunia satu
polar. Konflik-konflik lokal di Asia dan Afrika tetap berlangsung.

Pada hakikatnya, globalisasi menegaskan dikotomi anatara pusat dan pinggiran,


grup tujuh atau delapan dan negara-negara lain, negara maju dan negara terbelakang,
produsen dan konsumen, multinasional dan nasional, kaya dan miskin, dan mereka yang
berpunya dan mereka yang tidak berpunya.
Respons Islam terhadap Krisis Nilai

Respons Islam terhadap krisis nilai mencakup kedua sistem nilai tersebut karena
Islam merupakan agama universal dengan kemampuan adaptasi sesuai dengan tuntutan
perkembangan budaya dan keinginan duniawi yang beragam.

Islam bukan semata agama dogma ataupun agama ritual, melainkan lebih
merupakan suatu pandangaan dunia dan ajaran untuk melakukan tindakan. Islam tidak
selalu identik dengan praktik historis dunia muslim dulu maupun sekarang. Islam lebih
merupakan cita ideal dalam pikiran dan pilihan manusia dalam perasaan.

Respons Islam tidak bisa diketahui melalui analisis data faktual, sebagaimana dalam
survei, tapi dari perwujudan esensial pengalaman hidup sesama manusia. Fenomenologi
yang menempatkan seluruh fakta dalam tanda kurung merupakan metode yang tepat untuk
digunakan.

Respons Islam terhadap Krisis Nilai

Krisis nilai di Barat memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. Kebenaran sebagai nilai absolut menjadi non-nilai atau nilai proposional.

2. Nilai baru yang ditemukann era modern adalah nilai material yang tampak lemah,
sempit, dan salah serta bertentangan dengan nilai-nilai spiritual.

3. Materialisme Barat melahirkan proyek besar Barat, yaitu maksimalisasi produksi, demi
konsumsi maksimal, demi kebahagiaan maksimal.

4. Kebenaran merupakan ciptaan manusia, maka manusia menjadi ukuran segala sesuatu.

5. Era pencerahan Barat bisa menjadi penyelamat.

6. Internasonalisme
Menghadapi Tantangan Bersama Masa Kini terhadap Masalah Lingkungan

Nilai berpikir bukan terletak pada kegiatan berpikir persebagaimana dalam


matematika murni, bukan pada kegiatan menghitung fakta-fakta, juga bukan pada kegiatan
mengurutkan kejadian-kejadian.

Kegiatan berpikir mengandung komitmen pribadi si pemikir. Pemikir ada di dunia


mengahadapi tantangan yang ada di dunia. Berpikir adalah mengekspresikan komitmen,
merenung adalah merumuskan asumsi-asumsi.

Ada tujuh tantangan umum yang dihadapi dunia saat ini. Hal itu sebagai berikut.

1. Apa yang disebut sebagai benturan antar peradaban dalam tesisi Hatington.

2. Sistem polarisasi tunggal yang disebut globalisasi stelah runtuhnya rezim sosialis.

3. Kekuasaan tanpa keadilan, kekuatan ekonomi berdasarkan ekonomi pasar dan profit .

4. Kekerasan yang kemudian disebut dengan terorisme.

5. Kolonialisme dan pencaplokan wilayah.

6. Kemiskinan tidak hanya ada di negara-negara melainkan juga antar negara, bukan hanya
pada level nasional, melainkan internasional.

7. Di samping HAM juga hak-hak rakyat, hak untuk mengatur dan menentukan nasib
sendiri.

Pembangunan dari Luar Pembangunan dari Dalam

Pada dunia ketiga terdapat perdaebatan sengit tentang pembangunan:


“pembangunanisme”. Pada akhir dekade 1990-2000 yang merupakan “dekade budaya” bagi
PBB dan pada 2001 yang merupakan “tahun dialog antar peradaban”, perdebatan tersebut
muncul kembali: sebuah perdebatan lama sekaligus baru bagi masa depan perdamaian
dunia.
Inti perdebatan ada dua. Perdebatan tersebut, yakni “Mungkinkah mewujudkan
budaya pembangunan tanpa meningkatkan pembangunan budaya? Lalu, mungkinkah
mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa pembangunan manusia, masyarakat dan budaya?”

Ketika pembangunanisme diterapkan di dunia ketiga, pertumbuhan ekonomi hanya


menguntungkan kelas penguasa, sementara buadaya masyarakat tetap tradisional. Manakala
ekonomi mulai ambruk, mucullah tradisionalisme sebagai reaksi alamiah.

Pembagunan global tidak bisa diwujudkan dengan mengambil pola dikotomi antara
pertumbuhan yang bersifat material dan budaya masyarakat. Pembangunanisme tidak bisa
secara mekanis melahirkan pembangunan budaya.

Perdebatan berikutnya, yaitu “Apakah budaya pembangunan hanya menyediakan


satu model ataukah banyak model? Pada intinya, jika tidak ada budaya pembangunan tanpa
pembangunan budaya dan jika pembangunan budaya memiliki beragam model.

Dalam globalisasi, dunia adalah satu desa, satu sistem, ekonomi pasar yang
didasarkan pada kompetisi dan profit, teknologi informasi, dan satu budaya konsumsi.
Adapun pemerintahan global adalah pengganti kedaulatan nasional dan negara bangsa.
Dunia memiliki satu pemerintahan, pemerintahan multi-nasional, teknologi informasi pasar,
sementara kompetisi menuntut kerja sama yang sejajar di semua level.

Globalisasi pemerintahan dan informasi merupakan bentuk-bentuk hegemoni baru


yang menolak keberagaman pengalaman dan tukar-menukar pengetahuan. Jika
pembangunan budaya merupakan prasyarat budaya pembangunan yang beragam. Penilaian-
penilaian konseptual dan halangan-halangan institusional apa yang menghalangi
multiplisitas pengalaman tersebut?

Pandangan dunia yang baru adalah kesadaran Eropa diperlukan bagi dialog antar
perdaban secara sejajar. Dialog ini didasarkan pada sharing pengalaman yang sama tentang
budaya. Kesadaran Eropa dan kesadaran dunia ketiga sama-sama diperlukan sebagai objek
sekaligus subjek.
Dari Dekolonialisasi ke Pembebasan Budaya

Gerakan heroik antikolonialisasi yang mengeristal pada 1960-an sudah dipersiapkan


sejumlah negara terjajah selama beberapa dekade. Bagi generasi sebelumnya,
dekolonialisasi dipahami sebagai akhir pendudukan militer.

Selama pembebasan nasioanal sangat mudah untuk memobilisasi seluruh komponen


bangsa untuk angkat senjata melawan tentara penjajah. Adapun dengan berakhirnya
kolonialisme dan tidak adanya kekuatan penjajah, maka dimulailah pembentukan negara-
negara postkolonial.

Asal-usul Kontra Revolusi

Jika pada 1950-an dan 1960-an merupakan dua dekade dekolonialisasi dan gerakan
kemerdekaan nasional, maka 1970-an dan 1980-an merupakan dua dekade rekolonialisasi
dan kapitalisme nasional yang dihubungkan dengan modal internasioanal.

Pendudukan militer sudah tiadak ada, tapi ketergantungan ekonomi masyarakat


yang baru terbebas dari kolonialisasi masih terus berlangsung. Bahan baku masih diekspor
ke negara-negara kolonial.

Negara-negara yang baru merdeka itu juga masih dimanfaatkan sebagai pasar
terbesar dan sumber tenaga kerja murah. Dekolonialisasi politik dipatahkan oleh
ketergantungan ekonomi. Ekonomi nasional akhirnya terserap dalam dalam modal
internasioanal dan korporasi-korporasi multi nasional. Kemandirian pangan berubah
menjadi ketergantungan pangan kepada kekuatan besar nasional dan perusahaan
internasional.

Adapun rekonstruksi budaya rakyat mencakup dari tradisi ke ideologi politik, dari
vertikal ke horizontal, dari takdir pda kehendak bebas, dari ilham ke akal, dari logos ke
praksis, dari nilai pasif ke aktif, dari ritual ke asksi sosial, dari kharisma ke gerakan rakyat,
dari masa lalu dan masa depan ke masa kini, dan dari kekekalan ke waktu.

Anda mungkin juga menyukai