Imprelisme berarti hubungan antar bangsa secara tidak sejajar, hubungan tuan dan
budak sementara tauhid menuntut kesejajaran semua bangsa dihadapan satu prinsip yang
universal. Tauhid adalah penegasan identitas diri dan penolakan terhadap semua jenis
kultus dan alienasi budaya. Dalam situasi seperti itu, tauhid meledak dan membangkitkan
energi massa segunakan slogan Tuhan Maha Besar, penakluk orang-orang sombong.
Pada bab II, Hanafi menjelaskan tentang etika global dan solidaritas manusia
prespektif Islam yang mencakup esensi Islam, Islam sebagai prinsip universal: trasendensi,
dan Islam sebagai norma etika universal: perbuatan baik.
Esensi Islam
Islam merupakan salah satu dari agama-agama dunia, tetapi Islam tidak tepat
disebut sebagai agama. Menurut berbagai kamus, “agama” merujuk pada wilayah supra-
natural, majis, ritual, kepercayaan, dogma, dan institusi. Semua itu, lebih berkaitan dengan
agama populer dan sama sekali tidak relevan dengan esensi Islam.
Kata yang lebih tepat bagi Islam adalah etika, ilmu sosial dan kemanusiaan, atau
ideologi. Islam adalah gambaran tentang manusia dalam masyarakat, kebutuhan pokoknya,
komitmen moralnya, serta tindakan sosialnya. Islam juga merupakan sistem ide yang
muncul dari pengalaman sejarah, penerapannya dalam kenyataan dan penyesuaian kembali
menurut kemampuan manusia.
Esensi Islam adalah basis universalitasnya yang didasarkan pada etika global Islam.
Islam merupakan tahap akhir perkembangan panjang wahyu dalam sejarah. Esensi wahyu
telah dinyatakan dalam Islam, yaitu transendensi Tuhan yang dijalankan oleh manusia
dalam sejarah.
Sementara itu, citra Tuhan sebagai kekuatan supra-natural bertujuan untuk
membebaskan kesadaran manusia dari subjektifikasi pada dan ketakutan terhadap kekuatan
alam. Citra tersebut berperan sebagai kekuatan supra-natural bertujuan untuk
membebaskan semua masyarakat tertindas dari tekanan para penguasa penindas seperti
Fir’un.
Esensi Tuhan adalah sama dan identik dengan eksistensi-Nya yang menunjukkan
identitas utuh antara epistemologi dan ontologi, antara pengetahuan dan realitas. Oleh
karena itu, etika global sebagai diktum akal bukan merupakan visi utopis yang
menunjukkan pemikiran yang bersemangat. Lalu, bukan juga sekadar mimpi seorang
visioner, melainkan tertanam dalam solidaritas manusia.
Transendensi juga merupakan norma aksiologis sebuah standard prilaku dan sebuah
norma etika universal. Ia merupakan nilai dari nilai-nilai dan pondasi kehidupan moral.
Sementara itu, etika global dan solidaritas manusia sebagai pedoman tindakan manusia
sebenarnya merupakan manivestasi problem metafisika tentang kesatuan dan keberagaman.
Transendensi sebagai prinsip universal menunjukkan adanya kesatuan dalam hidup
manusia.
Adapun hubungan antara kesatuan dan keberagaman merupakan hubungan antara
yang ideal dan yang riil, antara jiwa dan badan, antara Tuhan dan alam. Kesatuan tanpa
keberagaman adalah utopia, retorika, dan tidak jarang merupakan hipokrisi untuk menutupi
praktik pelenyapan keberagaman. Keberagaman tanpa kesatuan akan terjerumus pada
partikularisme halus, relativisme dan pluralisme eksklusif yang berbahaya.
Akal universal bisa membayangkan perbuatan baik secara tepat dan jelas.
Akumulasi pengalaman manusia bisa dijadikan dasar untuk mencapai konsensus tentang
apa yang dimaksud dengan perbuatan universal itu. Perbuatan universal didasarkan pada
niat baik. Niat merupakan pengalaman manusia yang dirasakan setiap orang. Ia merupakan
ekspresi kesalehan yang terdalam, ketakwaan yang kuat dan kesucian mutlak. Perbuatan
baik tanpa didasarkan pada niat baik sangatlah lemah. Ia akan berhenti begitu ada
perubahan motivasi.
Perbuatan baik dari sisi luar tidak bisa menjadi komponen etika global karena ia
bersifat berubah-ubah tidak memiliki pijakan, dan tidak berorientasi kepentingan.
Perbuatan baik yang didasarkan pada niat baik dicontohkan dalam tindakan heroik dan
spontan manusia.
Selanjutnya, perbuatan baik memiliki landasan internal dalam pikiran, perasaan, dan
aktualisasi eksternal dalam pernyataan dan tindakkan. Perbuatan baik yang secara internal
hanya didasarkan pada perasaan tanpa pikiran adalah mudah lenyap, sangat bergantung
pada keinginan, dan mood psikologis.
Rasa kasihan manusia yang tidak dikaitkan dengan kesadaran teoretis yang jelas
tentang keadaan dunia dan tidak dikaitkan dengan sistem distribusi kekayaan secara nyata
merupakan simpati murni manusia tanpa pengetahuan, yakni meninggalkan ilmu dan
pengetahuan di tangan para elite sosial-politik yang berkuasa. Adapun perbuatan baik
menjadi sama dengan transendensi karena keduanya merupakan manifestasi prinsip
universal yang sama demikian dalam teori dan demikian pula dalam praktik.
Islam sebagai Kesatuan Tindakan bagi Kelangsungan Hidup Manusia
Perbuatan baik bukan hanya merupakan perbuatan individual yang didasarkan pada
niat baik, melainkan juga merupakan ekspresi tindakan kolektif yang didasarkan pada niat
universal yang dinyatakan dalam wahyu Islam dan identik dengan landasan positif
kehidupan manusia.
2. Memelihara akal manusia dari segala bentuk pengrusakannya, seperti alkoholisme dan
kebodohan.
4. Penegasan terhadap kehormatan manusia dan harga diri masyarakat merupakan nilai-
poko dantujuan bersama dalam etika global.
5. Menjaga kekayaan individu dan nasional merupakan komponen utama etika global dan
solidaritas manusia.
Pembahasan selanjutnya yang disuguhkan oleh Hanafi pada bab III, yaitu mengenai
“Dunia Timur Tengah yang Milik Siapa?” Hanafi menyatakan bahwa globalisasi
merupakan bentuk pemberian yang lain, yang mengungkapkan relasi kekuasaan antara
Timur dan Barat yang terjadi sesudah runtuhnya rezim sosialis di Eropa Timur dan dibekas
negara Uni Soviet.
Globalisasi merupakan sistem dunia. Kekuasaan sudah menjadi global sedangkan
yang lemah menjadi lokal. Globalisasi adalah konsep buatan, bukan realitas. Ia merupakan
sebuah ideologi meskipun merupakan sebuah mitos kuno, akhir ideologi dan awal teknologi
dalam mitos lain.
Dunia Arab Muslim memiliki fase sejarahnya sendiri dan tidak bermaksud untuk
mengisolasi diri dari dunia yang semakin mengglobal. Timur Tengah dalam dunia global
menjadi awal munculnya jenis studi baru yang jauh berbeda dengan sistem orientalisme
klasik untuk membuka horizon bagi sejarah dunia.
Islam dan Barat mengaitkan agama dengan letak geografis, meski sebenarnya lebih
tepat untuk membandingkan dua entitas yang sama. Islam dilihat sebagai agama, bukan
budaya. Sementara Barat dilihat sebagai budaya, bukan agama meskipun bisa dipahami
bahwa yang mendasari budaya Barat adalah agama Yudeo-Kristiani. Adapun Islam dilihat
sebagai substansi permanen yang diidentikkan dengan sekadar streotip citra Islam,
termasuk citra Islam dalam kisah “Seribu Satu Malam”. Sebaliknya Barat dilihat sebagai
Pax Romana dan Pax Americana.
Esensi Islam dan Barat dan Aspek Kesejarahannya yang Jauh Berbeda
Esensi Islam jauh berbeda dengan citra yang berkembang di media massa Barat.
Islam adalah agama rasionalis dan naturalis. Itulah sebabnya kebudayaan Islam kaya
denganilmu-ilmu fisika dan matematika. Sementara itu, esensi Barat sebenarnya tidak
terlalu jauh berbeda dengan Islam. Jika pencerahan merupakan cerminan esensi Barat
berarti juga didasarkan pada cita-cita yang sama: akal, alam manusia, kebebasan,
kesejajaran, dan kemajuan.
Dialog antara Islam dan Barat pernah terjadi dua kali, pertama pada awal masa
pertengahan dan kemudian pada akhir masa skolastik. Kontak kedua antara Islam dan Barat
terjadi sepanjang masa simbiosis Andalusia pada akhir masa skolastik Eropa menjelang
masa modern. Namun, budaya-buadaya dunia tidak hidup dalam fase kesejarahan yang
sama. Harus dibedakan antara sejarah dan kesadaran sejarah, antara sejarah dan histografi,
antara sejarah dan kesejarahan. Barat mungkin berada dalam akhir sejarah, akhir periode
modern Barat sebagaimana tercermin dalam gerakan Postmodernisme dan dekostruksi.
Islam sebaliknya mungkin sedang berada dalam awal sejauh baru, awal masa modern Islam
sebagaimana tercermin dalam gerakan reformasi dan pencerahan.
Jika dialog antar peradaban dalam model Islam terjadi dua kali dengan budaya
Yunani – Romawi klasik di Barat atau budaya Persia-India klasik di Timur, benturan anatar
peradaban dalam model Barat terjadi 3 kali, yakni Pax Romana selam imperium Yunani-
Romawi, Pax Christiana selama perang salib, dan Pax Euro-Americana pada puncak dan
akhir masa modern Barat.
Setiap orang selalu ingat 11 September 2001 menjadikannya mudah dikenal dalam
sejarah dunia. Tak banyak yang ingat 28 September 2000, awal dimulainya Intifada II,
apalagi sepanjang dua tahun. Pemusnahan masal terbaru terhadap rakyat Palestina.
Sebagain orang menyesalkan praktik kekuasaan tanpa keadilan, yakni dukunga penuh AS
pada Israel tidak-berdayaan negara-negara Arab, frustasi, dan penghinaan terhadap rakyat
Arab dan muslim.
Fragmentasi baru dibuat bagi Arab dan dunia muslim menjadi negara-negara kecil
berbasis etnik dan agama sehingga Israel menjadi negara etnik dan agama yang terkuat dan
memperoleh legitimasi sosio-politik baru dari dalam wilayah Arab karena legitimasi lama
berdasarkan doktrin perjanjian dan tanah yang dijanjikan yang dipegang Zionisme pada
abad ke-19 sudah tidak bisa lagi dipertahankan.
Dialog antar peradaban memiliki agenda lain yang jelas dan terbuka. Dialog antar
peradaban meniscayakan adanya visi budaya pluralistik. Dialog bersifat teoretis sekaligus
praktis. Ia merupakan ekspresi keseimbangan kekuatan antara rakyat dan budaya. Dialog
bukanlah sekadar latihan intelektual, melainkan kerjasama saling menguntungkan antar
masyarakat. Tema utamanya adalah kekuasaan dan keadilan.
Historigrafi baru sangat dibutuhkan bagi penulisan ulang sejarah manusia secara
lebih adil untuk pendidikan bagi generasi baru. Tugas utamanya adalah melakukan
dekonstruksi streotip citra yang ditanamkan sepanjang sejarah dan digerakkan oleh
motivasi non-ilmiah.
Dialog jujur antar peradaban bisa menemukan bahwa manusia saat ini dalam
persimpangan jalan. Fase sejarah yang sangat berbeda dan akhir masa modern. Adapun
Timur Tengah adalah pertemuan dua jalur sehingga muncul kebudayaan Islam yang megah
di masa lalu dan sekarang masih menjanjikan.
Kerja sama antar agama mungkin dicapai melalui dialog antar agama sebagai
sebuah disiplin yang jauh dari retorika empatis dalam konteks persaudaraan dan toleransi.
Tujuan dialog tersebut bukan untuk memurtadkan orang lain, juga bukan untuk
membuktikan bahwa agama tertentu adalah salah.
Setiap agama memiliki dua kecenderungan. Pertama adalah tradisionalis, dogmatis,
ritualistik, institusional dan legal yang merupakan produk sejarah, interaksi manusia dan
sosial. Adapun setiap agama memiliki sistem kepercayaan dan sistem hukum dan karena
kepercayaan adalah motivasi yang tepat bagi berbagai tindakan yang terpuji, yang bukan
hanya berbentuk seperangkat nilai saja, sesuatu atau sebuh teori saja, maka hukum juga
adalah aspek periferal dalam agama.
Di sisi lain, agama sebagai hukum adalah sebuah konsep periferal manakala agama
Dalam konteks sosial lebih cenderung menggunakan pendekatan esensial yang lebih
membuka ruang pada upaya dialog. Sementara itu, institusional juga merupakan konsep
periferal agama. Ia adalah konstruksi buatan manusia khususnya dalam konteks sosio-
historis. Ia tidak memiliki kaitan dengan esensi agama.
Institusi pada kenyataannya selalu menjadi sumber penindas bagi reformis dan
filosof. Inquisisi selalu datang dari institusi agama. Institusi merupakan penyalahgunaan
kekuasaan Tuhan dan manusia untuk memperkuat dirinya sendiri untuk melawan Tuhan
dan manusia. Dengan demikian, institusi juga merupakan konsep periferal agama yang
tidak dapat membantu proses dialog antar agama.
Pada akhirnya, sejarah juga merupakan konsep periferal dalam agama. Agama
berbeda manifestasinya dalam konteks sejarah. Sejarah pembebasan adalah suatu hal dan
pembebasan itu sendiri adalah hal lain.
Pada akhirnya, jika sejarah adalah konsep periferal, maka komunitas adalah konsep
esensial. Individu bukanlah orang yang hidup sendirian, tapi ia adalah bagian dari
komunitas. Dimensi komunitas dalam individu ini membutuhkan keterjaminan keadilan
sosial melalui solidaritas sosial dan kohesi sosial melalui usaha individu atau melalui
komitmen sosial.
Jika konflik material dapat diketahui dengan statistik, siapa memperoleh apa, maka
konflik ideologi bisa diketahui dari pandangan yang saling emnguntungkan dan saling
berhadapan. Setelah runtuhnya blok sosialis, blok kapitalis membentuk sistem dunia satu
polar. Konflik-konflik lokal di Asia dan Afrika tetap berlangsung.
Respons Islam terhadap krisis nilai mencakup kedua sistem nilai tersebut karena
Islam merupakan agama universal dengan kemampuan adaptasi sesuai dengan tuntutan
perkembangan budaya dan keinginan duniawi yang beragam.
Islam bukan semata agama dogma ataupun agama ritual, melainkan lebih
merupakan suatu pandangaan dunia dan ajaran untuk melakukan tindakan. Islam tidak
selalu identik dengan praktik historis dunia muslim dulu maupun sekarang. Islam lebih
merupakan cita ideal dalam pikiran dan pilihan manusia dalam perasaan.
Respons Islam tidak bisa diketahui melalui analisis data faktual, sebagaimana dalam
survei, tapi dari perwujudan esensial pengalaman hidup sesama manusia. Fenomenologi
yang menempatkan seluruh fakta dalam tanda kurung merupakan metode yang tepat untuk
digunakan.
2. Nilai baru yang ditemukann era modern adalah nilai material yang tampak lemah,
sempit, dan salah serta bertentangan dengan nilai-nilai spiritual.
3. Materialisme Barat melahirkan proyek besar Barat, yaitu maksimalisasi produksi, demi
konsumsi maksimal, demi kebahagiaan maksimal.
4. Kebenaran merupakan ciptaan manusia, maka manusia menjadi ukuran segala sesuatu.
6. Internasonalisme
Menghadapi Tantangan Bersama Masa Kini terhadap Masalah Lingkungan
Ada tujuh tantangan umum yang dihadapi dunia saat ini. Hal itu sebagai berikut.
1. Apa yang disebut sebagai benturan antar peradaban dalam tesisi Hatington.
2. Sistem polarisasi tunggal yang disebut globalisasi stelah runtuhnya rezim sosialis.
3. Kekuasaan tanpa keadilan, kekuatan ekonomi berdasarkan ekonomi pasar dan profit .
6. Kemiskinan tidak hanya ada di negara-negara melainkan juga antar negara, bukan hanya
pada level nasional, melainkan internasional.
7. Di samping HAM juga hak-hak rakyat, hak untuk mengatur dan menentukan nasib
sendiri.
Pembagunan global tidak bisa diwujudkan dengan mengambil pola dikotomi antara
pertumbuhan yang bersifat material dan budaya masyarakat. Pembangunanisme tidak bisa
secara mekanis melahirkan pembangunan budaya.
Dalam globalisasi, dunia adalah satu desa, satu sistem, ekonomi pasar yang
didasarkan pada kompetisi dan profit, teknologi informasi, dan satu budaya konsumsi.
Adapun pemerintahan global adalah pengganti kedaulatan nasional dan negara bangsa.
Dunia memiliki satu pemerintahan, pemerintahan multi-nasional, teknologi informasi pasar,
sementara kompetisi menuntut kerja sama yang sejajar di semua level.
Pandangan dunia yang baru adalah kesadaran Eropa diperlukan bagi dialog antar
perdaban secara sejajar. Dialog ini didasarkan pada sharing pengalaman yang sama tentang
budaya. Kesadaran Eropa dan kesadaran dunia ketiga sama-sama diperlukan sebagai objek
sekaligus subjek.
Dari Dekolonialisasi ke Pembebasan Budaya
Jika pada 1950-an dan 1960-an merupakan dua dekade dekolonialisasi dan gerakan
kemerdekaan nasional, maka 1970-an dan 1980-an merupakan dua dekade rekolonialisasi
dan kapitalisme nasional yang dihubungkan dengan modal internasioanal.
Negara-negara yang baru merdeka itu juga masih dimanfaatkan sebagai pasar
terbesar dan sumber tenaga kerja murah. Dekolonialisasi politik dipatahkan oleh
ketergantungan ekonomi. Ekonomi nasional akhirnya terserap dalam dalam modal
internasioanal dan korporasi-korporasi multi nasional. Kemandirian pangan berubah
menjadi ketergantungan pangan kepada kekuatan besar nasional dan perusahaan
internasional.
Adapun rekonstruksi budaya rakyat mencakup dari tradisi ke ideologi politik, dari
vertikal ke horizontal, dari takdir pda kehendak bebas, dari ilham ke akal, dari logos ke
praksis, dari nilai pasif ke aktif, dari ritual ke asksi sosial, dari kharisma ke gerakan rakyat,
dari masa lalu dan masa depan ke masa kini, dan dari kekekalan ke waktu.