Kisah di atas tentu saja bukanlah sekadar dongeng. Dalam perspektif organisasi, kisah tersebut sedikit banyak telah memberikan gambaran tentang hakikat pentingnya organisasi yang tertata apik dengan kejelasan landasan, fungsi dan kedudukannya serta hubungan yang kuat dan saling menunjang di antara anggotanya. Bila tidak, maka - seperti ditampakkan kisah tersebut hanya akan membawa kisah sedih disorientasi, disfungsi dan bahkan disorganisasi. Atas dasar itu, kisah tersebut kiranya lebih tepat bila disebut semacam muhasabah manajemen yang relevan dan tampaknya akan selalu up to date bagi perubahan, perbaikan dan bahkan penyempurnaan kinerja manajemen suatu organisasi. Terlebih bagi suatu organisasi yang telah nyata-nyata mengidentikkan diri sebagai wahana dakwah. Termasuk di dalamnya, organisasi mahasiswa yang membawa brand Islam. Dengan awalan kisah manajemen di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk membantu menyelami seluk-beluk organisasi mahasiswa Islam. Untuk memenuhi maksud tersebut dengan bantuan ramuan berbagai pendekatan yang lazim digunakan dalam pembahasan organisasi, seperti perencanaan strategis dan pendekatan sistem maka, dalam tulisan ini berturut-turut disajikan paparan tentang: 1) analisis SWOT mahasiswa muslim, yang berujung pada pemberian rekomendasi posisi dan strategi untuk menjawab pertanyaan tentang kedudukan dan fungsi mahasiswa; 2) paradigma organisasi mahasiswa Islam, untuk menjawab pertanyaan landasan dan arah serta tujuan pergerakan organisasi mahasiswa muslim; dan 3) anatomi model organisasi mahasiswa Islam dalam perspektif sistemik, untuk menjawab pertanyaan masukan SDM yang diperlukan, proses yang semestinya dijalankan dan keluaran SDM yang selayaknya; 4) aplikasi praktis organisasi mahasiswa Islam sebagai wahana dakwah.
SATU, ANALISIS SWOT MAHASISWA ISLAM Analisis Eksternal Peluang & Tantangan: Umat
Krisis Kehidupan Multidimensi: Sebuah Fakta
Kini di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan, penjarahan serta pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Di sisi lain, sekalipun pemerintahan reformasi yang dianggap legitimed telah terbentuk, tapi kestabilan politik belum juga kunjung terwujud. Bahkan gejolak politik di beberapa daerah malah terasa lebih meningkat. Mengapa semua ini terjadi? Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan oleh karena tindakan manusia sendiri. Ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran surah ar-Rum ayat 41: Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia. (QS. Ar Rum: 41) Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bi ma kasabat aydinnas dalam ayat itu adalah oleh karena kemaksiyatan-
Problematika
kemaksiyatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi maashi al-naas wa dzunu bihim). Maksiyat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang diwajibkan. Dan setiap bentuk kemaksiyatan pasti menimbulkan dosa. Selama ini, terbukti, di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiyatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Pengamatan secara mendalam atas semua hal di atas, membawa kita pada satu kesimpulan: bahwa semua itu telah menjauhkan manusia dari hakikat visi dan misi penciptaannya. Manusia telah dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.
Sementara itu, sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus menguasai iptek. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik (ethic) yang pada faktanya bernilai materi juga. Apa sebenarnya sekulerisme itu? Sekulerisme oleh Muhammad Qutb (1986) dalam bukunya Ancaman Sekulerisme, diartikan sebagai iqomatu al hayati ala ghayri asasin mina al-dini, yakni membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam). Sementara, Syekh Taqiyyudin An Nabhani (1953) dalam kitabnya Nizhamul Islam, menjelaskan sekulerisme sebagai fashluddin anil hayah, yaitu memisahkan agama (Islam) dari kehidupan. Pemikiran sekulerisme berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan. Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yang berpusat di gereja demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan, termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai suatu hal yang sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang rasional sekalipun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran geraja yang dogmatis. Galileo Galilei dan Copernicus yang menolak mengubah pendapatnya bahwa mataharilah yang menjadi sentra perputaran planet-planet (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris) sebagaimana yang didoktrinkan geraja selama ini, akhirnya dihukum mati. Maka sampailah para ilmuwan dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa bila ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual peribadatan sementara wilayah duniawi (politik, pemerintahan, iptek, ekonomi, tata sosial dan lainnya) harus steril dari agama. Inilah awal munculnya pemahaman sekulerisme. Tapi, satu hal yang harus diperhatikan benar adalah bahwa gugatan yang menyangkut eksistensi peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya terjadi khas pada agama Kristen saja yang ketika itu memang sudah tidak lagi up to date. Karenanya, menjadi suatu kejanggalan besar bila gugatan tadi lantas dialamatkan pula pada Islam, agama yang sempurna lagi paripurna dan diridloi Allah SWT bagi seluruh umat manusia. Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual dengan urusan duniawi. Shalat adalah ibadah yang merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syariat di bidang yang lain, seperti ekonomi dan sosial politik. Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas. Dan merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman kepada ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain. Oleh karena itu, benar-benar sangat aneh jika umat Islam ikut-ikutan menjadi sekuler.
yang ia miliki untuk memperjuangkan keyakinannya atau menggeluti yang diminatinya, lepas apakah itu benar secara hakiki atau tidak, layak atau tidak. Dengan semua itu mahasiswa juga memiliki kecenderungan terhadap perubahan keadaan masyarakat ke arah yang dicita-citakannya. Ia tidak menyukai kemapanan dan kemandegan, karena dalam pandangannya itu sama artinya dengan kemunduran dan dirasakan tidaklah sesuai dengan dorongan jiwa mudanya yang penuh gejolak idealisme. Meski, tak jarang ia hanya sekedar menginginkan perubahan saja tanpa memikirkan apakah perubahan yang dikehendaki itu menghantarkan kepada keadaan yang lebih baik atau tidak. Pendek kata, pokoknya asal berubah. Ketidakmampuan mendefinisikan secara jelas perubahan macam apa yang dikehendaki acap kali membawanya kepada suasana gelora tanpa kendali. Namun demikian, tidak sedikit mahasiswa yang mampu menggambarkan secara jelas perubahan yang dikehendakinya dengan baik, bahkan hingga mengatasi pemikiran yang berkembang saat itu. Hal ini ditunjang oleh kebiasaannya berfikir, belajar dan mengkaji sesuatu dari berbagai sumber yang ia dapatkan. Kekuatan daya tangkap, daya nalar, dan imajinasinya, menghantarkannya menjadi pemikir-pemikir muda yang potensial. Terlebih bila ia memang sengaja dididik, dibina, dikembangkan dalam kerangka ideologi dan untuk tujuan tertentu, maka ia untuk tumbuh menjadi kader yang tangguh, agen perubahan masyarakat ke arah cita-cita yang diembannya. Usia mudanya memberikan peluang untuk mengembangkan dirinya lebih lanjut, mengasah dan menajamkan pemikirannya, meningkatkan keberanian dan nilai kejuangannya. Idealisme yang dimiliki mendorong dirinya untuk bergerak demi perjuangannya itu. Perjuangan menegakkan idealisme tidak berhenti hanya pada saat ia menjadi mahasiswa, tapi berlanjut pada kehidupan pasca kampusnya. Pembinaan yang diterima semasa mahasiswa, mendorongnya untuk tetap setia memperjuangkan idealisme itu dalam kehidupannya selepas mahasiswa. Untuk itu, ia kemudian mengatur garis kehidupannya, gaya dan kegiatan hidupnya hingga selaras dengan cita-citanya. Ia membuat rencana-rencana dan langkah-langkah, serta membangun hubungan-hubungan dengan orang atau lembaga se-idealisme, serta menyebarkan ide-ide dan pemikirannya dengan berbagai cara. Ia telah bergerak di tengah masyarakat di bawah idelisme yang diyakininya. Berbagai hambatan dan kesulitan dijalaninya dengan penuh ketegaran dan keyakinan. Ia tidak surut dan bergeming dari jalan yang ditempuhnya. Bahkan, semua kesulitan itu semakin meyakinkan dan memantapkan langkahnya. Maka tumbuhlah ia di tengah-tengah masyarakat dikenal sebagai pejuang cita-cita tertentu. Ia dikenal ide dan pemikirannya. Ia dikagumi karena .konsistensinya terhadap idealisme dan sikap hidupnya. Ia diikuti karena cita-cita dan pemikirannya. Ia telah menjadi figur yang memiliki kredibilitas ide yang diakui secara obyektif oleh masyarakat (Yusanto, 1998). Kampus ibarat tanah, adalah lahan paling subur untuk menyebarkan suatu paham atau ideologi, sehingga kelak suatu saat ia akan menuai hasilnya berupa kader-kader yang tangguh. Dan kampus, sebagai lahan pertanian tadi, terbuka untuk segala macam benih yang saling bertentangan sifat hidupnya sekalipun. Dalam konteks demikianlah kita mestinya melihat dakwah di kampus. Maka tak pelak lagi bahwa kampus dengan mahasiswanya memiliki posisi yang amat strategis bagi perubahan masyarakat di masa mendatang, terutama di mata kaum yang berkepentingan memperjuangkan suatu ideologi. Mereka sama-sama melihat, di dalam kampus didapatkan kader atau tunas muda yang bisa dibina untuk menjadi pengikut dan pejuang setianya.
Sebagai konsekuensi dari 'transion people', interaksi mahasiswa di kampus dengan dakwah berlangsung sangat singkat. Efektif paling 3 tahun. Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana dalam waktu sependek itu tertanam dalam diri mahasiswa kesadaran Islam, perlunya mendalami serta nilai-nilai perjuangannya. Apalagi bila diingat, ibarat ladang terbuka tadi, pada waktu bersamaan bekerja juga dakwah selain Islam. Yakni dari kalangan sosialis sekuler dan, melalui sistem pendidikannya, pikiran kapitalis-nasionalis-sekuler berkembang. Berapa ribu sarjana berotak tidak Islami terlahir dari kampus tiap tahunnya. Bila kampus menjadi garda terdepan dalam proses perubahan perikehidupan dan perikepemimpinan masyarakat masa mendatang, bisa dibayangkan corak masa depan seperti apa yang dibangun oleh mereka. Jadi jelaslah, dakwah Islam berpacu dengan waktu. Akibat interaksi yang pendek, fungsionaris organisasi dakwah kampus dengan cepat pula mengalami pergantian. Sering terjadi, perbedaan mafhum dakwah - berarti perbedaan orientasi dan prioritas dakwah - menimbulkan konflik antar generasi. Hal ini tentu mengakibatkan ketidakberlanjutan dan ketidakkonsistenan langkah dakwah. Pembinaan dengan sistem dan materi yang mantap akan menghilangkan, atau setidaknya mengurangi konflik tersebut. Dakwah yang baik adalah dakwah yang berakar di tengah masyarakat. Sementara, masyarakat kampus - dalam pengertian sesungguhnya - tidaklah pernah ada. Yang ada adalah para mahasiswa yang selalu berganti, dosen dan karyawan yang berkumpul di kampus untuk satu kepentingan profesi. Jadi, bagaimana dakwah di kampus bisa berakar? Dakwah di kampus bisa saja berakar. Yakni pada masyarakat di sekitar kampus. Untuk masyarakat kampus, khususnya dosen dan karyawan, yang bisa dilakukan setidaknya menciptakan citra tentang kebaikan Islam. Dan dakwah berharap mereka siap menjadi musaa'idun (pendukung) perjuangan Islam (Yusanto, 1998).
suatu sistem yang bersifat sosio-ekonomi-teknis. Stonner dalam Management (1978), memberikan definisi lebih rinci yaitu sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan mengawasi usaha-usaha dari anggota organisasi dan dari sumber-sumber organisasi lainnya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Dari pengertian tersebut di atas, maka organisasi didudukkan sebagai suatu sistem yang bersifat sosio-ekonomi-teknis. Sistem adalah suatu keseluruhan dinamis yang terdiri dari bagianbagian yang berhubungan secara organik. Dinamis berarti bergerak, berkembang ke arah suatu tujuan. Sosio (sosial) berarti yang bergerak di dalam dan yang menggerakkan sistem itu ialah manusia. Ekonomi berarti kegiatan dalam sistem bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Teknis berarti dalam kegiatan dipakai harta, alat-alat dan cara-cara tertentu. Perspektif Islam meluruskan pandangan ini. Berkenaan dengan organisasi, Islam memandangnya sebagai suatu wadah sebagaimana komunitas dan masyarakat yang lebih luas yang hanya akan terjadi bilamana terdapat interaksi di antara anggotanya. Interaksi ini pun hanya dimungkinkan bila terdapat kesamaan maslahat di dalamnya. Interaksi antar anggota ini ditandai oleh tiga unsur, yakni adanya kesamaan pemikiran dan perasaan tentang maslahat tersebut yang dibingkai dalam satu koridor aturan yang sama. Dengan berbasis pada perspektif Islam, maka interaksi yang berjalan mestilah interaksi yang Islami. Interaksi yang didalamnya terjalin kesamaan pemikiran, perasaan dalam satu aturan main yang sama, yakni Islam. Bila tidak, maka keterasingan antar elemen anggota akan menjadi suatu keniscayaan. Dengan demikian, organisasi mahasiswa Islam adalah organisasi yang harus dipersepsikan sebagai organisasi dakwah. Dalam organisasi dakwah, maslahat yang dimaksud adalah keberlangsungan dakwah itu sendiri. Guna mewujudkan interaksi yang tepat dan optimal, maka maslahat ini memberikan prasyarat yang harus dimiliki oleh sebuah organisasi dakwah. Prasyarat itu sebagaimana disarikan dari kitab Takatul Hizby (1954) adalah: 1) Organisasi dakwah haruslah berdiri atas dan dibentuk untuk mengusung satu fikroh yang jernih dan jelas, yakni Islam (QS. An Nahl: 125). Ini berarti, organisasi mesti didirikan atas landasan Islam, arah dan tujuannya adalah untuk mendakwahkan Islam; 2) Metodologi dakwah yang diterapkan organisasi dakwah mestilah mengacu pada thoriqoh dakwah Rasulullah SAW. Artinya, dakwah yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa Islam tidak boleh asal-asalan, namun harus mengacu pada uswah dakwah Rosul agar dapat berlangsung secara efektif, efisien dan produktif; 3) Sejalan dengan makna dakwah, maka sifat keanggotaannya pun haruslah terbuka hanya bagi umat Islam. Maka yang dapat menjadi anggota organisasi ini adalah hanya mahasiswa muslim; 4) Ikatan antar anggota haruslah dibangun atas dasar mabda (ideologi) Islam. Setiap anggota harus memahami dan meyakini Islam sebagai mabda. Islam bukanlah agama sebagaimana dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan individu dengan tuhannya saja. Kesatuan pemahaman dan keyakinan ini akan mengikat kepentingan maslahat setiap anggota hanya dengan maslahat dakwah Islam. Bukan kepentingan-kepentingan lain yang sesaat lagi sesat.
OMI dapat melakukan kreasi kegiatan ilmiah dengan tetap dipayungi maslahat dakwah. Seperti, dengan menyelenggarakan demo sains: deteksi dini kontaminasi unsur babi dalam makanan; seminar ekonomi Islam; pelatihan perbankan syariah, pelatihan manajemen wirausaha muslim dll. 3. OMI sebagai Artikulator Sebagai artikulator, OMI dapat berperan sebagai penyambung aspirasi umat, baik dalam hal menyerukan yang ma'ruf maupun menghilangkan yang mungkar. Dalam beberapa kasus terbukti ternyata umat, khususnya kalangan mudanya, juga memiliki apresiasi positif terhadap perlunya menegakkan yang ma'ruf dan menghilangkan kemungkaran; tetapi fakta juga menunjukkan bahwa apresiasi itu baru muncul setelah ada orang atau lembaga yang mencetuskannya lebih dulu. 4. OMI sebagai Mediator Dengan akses yang dimiliki, OMI dapat berperan sebagai mediator antara umat pada satu sisi agar aspirasinya kesampaian, dengan pengambil keputusan di pihak lain. Terkadang aspirasi umat macet disebabkan tidak sampainya kepada pihak yang berkompeten; sementara terdapat kebijakan pemerintah yang tidak populer di kalangan umat karena kurang mengertinya terhadap aspirasi umat. Di sini peran mediasi (cultural and political broker) menjadi penting artinya. Upaya mengayakan dan menguatkan akses menjadi mutlak karenanya. Dalam hal tindakan mediasi ini, sekali lagi, OMI tidak harus berjalan sendiri. Kerjasama dengan eksponen dakwah lain juga mesti dilakukan. 5. OMI sebagai Fasilitator Dengan ide, akses, fasilitas yang dimiliki, OMI dapat berperan sebagai fasilitator dalam berbagai kegiatan demi tercapainya aspirasi umat, baik dalam kegiatan artikulasi, mediasi ataupun aksi. Di sinilah letak pentingnya OMI sebagai wahana dakwah yang pada gilirannya akan menggeret peran serta umat lebih besar. Akan tetapi perlu diingat, bahwa biar bagaimana OMI tetap terikat dengan sistem perkampusan. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan peran ini perlu ditempuh cara agar OMI aman dari tuduhan melanggar sistem tersebut, misalnya dengan mengedepankan pendekatan ilmiah melalui pakar atau lembaga yang kredibel. Dalam hal tindakan artikulasi (baik lisan, tulisan ataupun aksi) ini, demi kredibilitas dan daya dorong dan efek yang ditimbulkan, OMI perlu bahu membahu dengan eksponen dakwah lain -- khususnya dengan kalangan pers Islam. Di sini mewujudkan kerjasama dengan ICMI, MUI dan lembaga lain semakin penting artinya.
Pengorganisasian mengandung pengertian sebagai proses penetapan struktur peran-peran melalui penentuan aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dan bagian-bagiannya, pengelompokkan aktivitas-aktivitas, penugasan kelompok-kelompok aktivitas kepada manajer-manajer, pendelegasian wewenang untuk melaksanakannya, pengkoordinasian hubungan-hubungan wewenang dan informasi, baik horisontal maupun vertikal dalam struktur organisasi. Agar keberadaan organisasi menjadi berarti bagi SDM internalnya dan juga masyarakat di lingkungannya, maka peran organisasi haruslah mencakup tiga hal berikut. Pertama, harus memiliki tujuan yang dapat dibuktikan. Kedua, konsep kewenangan beserta aktivitas yang terlibat harus jelas. Ketiga, memiliki batasan kebijakan organisasi yang jelas dan dapat dimengerti oleh seluruh SDM-nya. Pada tataran implementasinya, ketiga hal tersebut tercermin pada aspek struktur, tugas dan wewenang serta hubungan anggota. 3.1 Aspek Struktur Implementasi syariah pada aspek ini terutama pada alokasi SDM yang berkorelasi dengan faktor profesionalisme serta aqad (perjanjian) pekerjaan/tugas. Islam memberikan tuntunan kepada setiap Muslim agar dalam bekerja di bidang apapun haruslah mempunyai sikap yang profesional. Profesionalime menurut pandangan Islam dicirikan oleh tiga hal, yakni (1) kafa`ah, yaitu adanya keahlian dan kecakapan dalam bidang pekerjaan yang dilakukan; (2) himmatul amal, yakni memiliki semangat atau etos kerja yang tinggi; dan (3) amanah, yakni terpercaya dan bertanggungjawab dalam menjalankan berbagai tugas dan kewajibannya serta tidak berkhianat terhadap jabatan yang didudukinya. Untuk mewujudkan SDM muslim yang profesional, Islam telah memberikan tuntunan yang yang sangat jelas. Kafaah atau keahlian dan kecakapan diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman; (2) Himmatu al-amal atau etos kerja yang tinggi diraih dengan jalan menjadikan motivasi ibadah sebagai pendorong utama di samping motivasi penghargaan (reward) dan hukuman (punishment); serta (3) Amanah atau sifat terpercaya dan bertanggungjawab diperoleh dengan menjadikan tauhid sebagai unsur pendorong dan pengontrol utama tingkah laku. 3.2. Aspek Tugas dan Wewenang Implementasi syariah pada aspek ini terutama ditekankan pada kejelasan tugas dan wewenang masing-masing bidang yang diterima oleh para SDM pelaksana berdasarkan kesanggupan dan kemampuan masing-masing sesuai dengan aqad pekerjaan tersebut. 3.3. Aspek Hubungan Anggota
Implementasi syariah pada aspek ini dapat dilihat pada penetapan budaya OMI bahwa setiap interaksi antar SDM adalah hubungan muamalah yang selalu mengacu pada amar maruf dan nahi munkar. Interaksi antar anggota OMI haruslah terjaga dalam suasana kebersamaan team (together everyone achieve more). Hal ini dimaksudkan agar tetap kondusif dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Suatu tim dimana seluruh anggotanya bersinergi dalam kesamaan visi, misi dan tujuan organisasi. Suasana tersebut dapat diringkas dalam formula three in one (3 in 1), yakni kebersamaan seluruh anggota dalam kesatuan bingkai thinking-afkar (ide/pemikiran), feeling-masyair (perasaan) dan rule of game-nidzam (aturan bermain). Tentu saja interaksi yang terjadi berada dalam koridor amar maruf dan nahi munkar. Guna memastikan bahwa tujuan organisasi di semua tingkat dan rencana yang didesain untuk mencapainya, sedang dilaksanakan dan terjaga harmoninya, maka. dibutuhkan tiga pilar harmoni organisasi, yaitu: Ketaqwaan individu. Seluruh personel SDM OMI dipastikan dan dibina agar menjadi SDM mahasiswa yang bertaqwa. Kontrol anggota. Dengan suasana organisasi yang mencerminkan formula TEAM, maka proses Organisasi Mahasiswa Islam 11
hak cipta hanyalah milik Allah SWT, dianjurkan untuk menyebarluaskannya sebagai amal jariyah
keberlangsungan OMI selalu akan mendapatkan pengawalan dari para SDM-nya agar sesuai dengan arah yang telah ditetapkan. Penerapan (supremasi) aturan. OMI ditegakkan dengan aturan main yang jelas dan transparan serta tentu saja tidak bertentangan dengan syariah.
1. Memahami ragam mad'u (obyek dakwah) Dakwah komunitas, baik di kampus maupun sekitar kampus akan berhadapan dengan mad'u yang beragam, baik dari segi tingkat pemahaman keislaman maupun umur. Dilihat tingkat pemahaman keislamannya, obyek dakwah beragam mulai dari yang phobi terhadap Islam sampai yang sudah termasuk pada kelompok penggerak kegiatan Islam. Dari segi umur, mad'u di kampus dan sekitarnya dapat dibagi menjadi tiga, yakni orang tua, dewasa (pemuda, mahasiswa dan sivitas akademika lain), remaja (seusia SMU dan SMP) dan anak-anak (seusia SD ke bawah). 2. Memahami tujuan dakwah untuk tiap mad'u Dalam kaitan dengan tujuan dakwah, mad'u dapat dibagi menjadi dua, yaitu: umum dan khusus. Dakwah kepada mad'u umum lebih berbentuk sebagai syiar Islam, dengan tujuan untuk menciptakan mahabah (kecintaan) kepada Islam, sehingga mereka sedia menjadi musaa'idun (pendukung) dakwah Islam. Artinya, orang yang tadinya phobi menjadi hilang phobinya atau bahkan menjadi cinta kepada Islam, kemudian bergerak untuk mendalami, memahami dan mengamalkan. Atau dalam tahapan yang dikemukakan Fathi Yakan, dakwah pada kelompok ini dilakukan untuk menanamkan iman, mendorongnya untuk beramal dan menjadikan amal Islam itu menjadi kebiasaannya. Syukur kalau sampai pula ia tergerak untuk memperjuangkannya. Dakwah kepada mad'u khusus bertujuan untuk menciptakan kader-kader pengemban dakwah (hamalatud dakwah) yang teguh dalam pendirian, kuat aqidahnya, tinggi ilmu Islamnya dan mulia akhlaqnya, serta giat dalam perjuangan Islam. 3. Memahami pilihan kegiatan Beragamnya mad'u dengan tingkat pemahaman keislaman yang berbeda, menghendaki pilihan dakwah yang berbeda pula. Intinya tetap sama, yakni menyampaikan pesan Islam. Yang berbeda hanya pada kemasan dan ragamnya. Di samping jenis kegiatan yang berbeda, ternyata da'inya kadang juga perlu berbeda. Dakwah kepada mad'u umum dilakukan secara terbuka, dengan sajian kegiatan yang menarik, ditata dengan apik, bertema aktual atau kontekstual tanpa meninggalkan kebenaran pesan, yang dibawakan oleh asatidz yang terkemuka, baik dari segi dien atau profesinya. Sementara dakwah kepada mad'u khusus, lebih praktis. Kegiatannya lebih spesifik mengarah ke pendalaman, bersifat lebih tertutup dengan peserta terbatas, yang dibawakan oleh asatidz yang tangguh ilmu dan kepribadiannya. Menyajikan kegiatan khusus ini lebih mudah dari pada yang umum. Kegiatan mad'u umum memerlukan kepiawaian meramu kegiatan dan menatanya. Dan biasanya, lebih memerlukan banyak waktu, tenaga dan biaya. 4. Menetapkan prioritas dan menjaga keseimbangan Dalam rangka dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam, dakwah tentunya harus menghasilkan kader. Tujuan ini harus menjadi prioritas. Jadi, dakwah kepada mad'u khusus atau kegiatan yang mengarah ke lingkaran khusus ini, semestinya mendapat perhatian. Inti dari kelompok ini biasanya adalah para pengurus lembaga yang bersangkutan yang direkrut melalui beberapa jalan. Yang paling baik melalui proses pembinaan, terus berlanjut ke keterlibatan Organisasi Mahasiswa Islam
hak cipta hanyalah milik Allah SWT, dianjurkan untuk menyebarluaskannya sebagai amal jariyah
13
manajerial dengan tetap dalam link pembinaan. Keberhasilan dakwah pada kelompok ini sangat dipengaruhi oleh materi dan sistem pembinaan yang ada. Peran serta ulama dalam menghasilkan materi yang handal sangat diperlukan. Prioritas dakwah khusus tidak harus dibenturkan dengan dakwah umum. Perlu keseimbangan antar keduanya. Artinya, dakwah kepada khusus saja akan menciptakan dakwah yang steril, tidak dinamis, serta tidak mampu memberikan pengaruh pada kampus dan masyarakat sekitarnya. Dan oleh karenanya tidak akan mengakar. Dakwah serupa ini gagal memanfaatkan lembaga formal kemahasiswaan untuk kepentingan perjuangan. Sebaliknya, bila dakwah melulu ditujukan untuk umum, kader yang tangguh tidak akan terbentuk. Kelangsungan dakwah di kampus terancam. Dan dalam jangka panjang tidak akan memiliki pengaruh perubahan di tengah masyarakat karena tesis kampus sebagai sumber kader Islam tidak akan menemukan perwujudannya. 5. Memahami strategi dan taktik Dakwah di kampus dan masyarakat sekitar kampus berhadapan dengan situasi dan kondisi kepemimpinan dan kelembagaaan intra maupun ekstra kampus yang selalu berubah. Oleh karena itu, dakwah OMI harus menetapkan strategi (khittah)nya dan para fungsionaris OMI mesti pandai mencari taktik dalam setiap keadaan. Khittah diperlukan agar lembaga dakwah itu tidak keluar dari garis perjuangannya - hanya semata karena perubahan keadaan, melainkan malah tetap tahan bergerak lurus. Strategi dan taktik pada pokoknya diperlukan untuk empat hal, yakni: pertama, untuk intern OMI; kedua, dalam hubungannya dengan lembaga dan kepemimpinan intern kampus; ketiga, dalam hubungannya dengan lembaga kemahasiswaan intra atau ekstra kampus; keempat, dalam hubungannya dengan lembaga dakwah/umum ekstra kampus. Stratak yang tepat akan mendukung keberhasilan dakwah.
Khatimah
Demikianlah. Dakwah adalah jatidiri Organisasi Mahasiswa Islam. Maka, jika setelah membaca uraian ini Antum masih juga kurang pede maka camkanlah: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah nasibnya sendiri. (QS Ar Radu : 11). Yakinlah bahwa Antum mampu (dan Islam pun akan kembali jaya dengan atau tanpa peran serta Antum). Rasulullah pernah mengkritik orang yang takut untuk gagal dan merasa tidak mampu untuk mencoba. Beliau pernah menganjurkan: Berusahalah sekuat tenaga untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu dan janganlah sekali-kali merasa lemah. Dan mintalah tolong kepada Allah. (Al Hadist) Wallahu Alam bi Ash Shawab.
Muhammad Karebet Widjajakusuma. Lahir di Surakarta, 11 Desember 1971. Pendidikan terakhirnya adalah S-1 IPB (1996). Saat ini diamanahi sebagai konsultan manajemen, memiliki keahlian spesifik pada manajemen strategis dan analitycal hierarchy process serta training manajemen dan motivasi. Dalam dunia pelatihan, telah banyak menangani sejumlah pelatihan AMT (Achievement Motivation Training) untuk kalangan perusahaan, LSM, Pemda, guru (TK s.d. SMA), perguruan tinggi, pesantren, lembaga pemasyarakatan, dai, remaja & manajemen masjid, ibu-ibu, pemuda pengangguran hingga remaja (SMA) rawan tawuran. Pernah pula menangani sejumlah pelatihan
lainnya yang berbasis outbound, manajemen dan kewirausahaan. Di dunia konsultansi, telah banyak membantu, diantaranya, Pemprop DKI Jakarta dalam pengembangan manajemen dan organisasi serta perumusan Renstra bagi BAZIS, Jakarta Islamic Centre, DMI, LPTQ dan Tim Penggerak PKK Propinsi DKI Jakarta; Pemprop Banten dan Pemkab Pandeglang dalam perumusan kebijakan publik di bidang pendidikan, BKKBN DKI Jakarta dan TP PKK Propinsi DKI Jakarta dalam pengembangan SDM, PT Mardhika Insan Mulia Jakarta (di wilayah Kaltim) dan PT Pemantang Abaditama Jakarta (wilayah Kalteng) dalam manajemen pengembangan masyarakat. Di dunia bisnis riil, setelah sempat magang di PT Bayuraga Intiswadaya Jakarta, pernah pula bersama sejumlah mantan aktivis kampus berwirausaha dengan mendirikan kendaraan bisnis LP2MM Segmen, Koperasi Jasa Muda Inovasi (Kopjamudi), dan PT Segmen Muda Globalindo. Buku-buku yang pernah ditulisnya diantaranya, Menggagas Bisnis Islami (2002, GIP), Pengantar Manajemen Syariah (2002, Khairul Bayan), Manajemen Strategis Perspektif Syariah (2003, Khairul Bayan), Meretas Jalan Menuju Politisi Transformatif (2004, Al Azhar Press), dan Menggagas Pendidikan Islami (2004, Al Azhar Press). HP : 08161998855 email : muh_kar@yahoo.com
15