Anda di halaman 1dari 5

Judul Buku : Islam Sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi, dan 

 Etika
·         Nama Pengarang : Kuntowijoyo
·         Penerbit : Tiara Wacana
·         Tahun Penerbit : Edisi Kedua, Cetakan 1 Januari 2007

Keterangan/Sinopsis buku :
 
Tergerak untuk menuliskan sedikit tentang Buku ini, ketika saya mengikuti TM 3 PW IPM
Jateng yahun 2016. Ya materinya tentang Integrasi Islam dan Ilmu. Sempat bingung juga.
Karena belum baca bukunya sampai selesai. nah itu sedikit cerita kenapa saya bermotivasi
menyampaikan buku ini, agar banyak yang tahu, bahwa Islam adalah agama yang Sepurna.

Buku INI tercipta Berangkat dari keprihatinan Kuntowijoyo atas gagasan Islamisasi pengetahuan
yang cenderung bersifat reaktif, Kuntowijoyo dalam buku ini menawarkan suatu penyikapan
baru perihal hubungan antara agama (Islam) dan ilmu. Menurutnya, dalam hal ilmu, gerakan
intelektual Islam harus melangkah lebih jauh, yakni bergerak dari teks menuju konteks. Ikhtiar
keilmuan ini memiliki tiga sendi, yakni pengilmuan Islam sebagai proses keilmuan yang
bergerak dari teks Al-Qur’an menuju konteks sosial dan ekologis manusia; Paradigma Islam?
adalah hasil keilmuan (yakni paradigma baru tentang ilmu-ilmu integralistik, sebagai hasil
penyatuan agama dan wahyu); dan Islam sebagai ilmu yang merupakan proses sekaligus sebagai
hasil. Atas gagasan yang dilontarkannya ini, Kuntowijoyo pun mengajak intelektual Islam untuk
mengganti Islamisasi pengetahuan menjadi pengilmuan Islam.
 
Dengan ulasan yang sangat bernas, buku ini amat sesuai untuk digunakan sebagai referensi
pembelajaran Kuliah, dISKUSI Keilmuan , untuk melihat hubungan Islam dan ilmu
pengetahuan, baik menyangkut aspek-aspek epistemologi (dasar-dasar pengetahuan), metodologi
(cara-cara menerjemahkan agama yang normatif ke dalam ilmu teoretis), maupun etika
(hubungan antara Islam sebagai ilmu dan realitas sosial).
Dalam buku islam yang berjudul Islam Sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi, dan Etika yang
terdiri dari 136 halaman terdapat sub bab yang berjudul Epistemologi Paradigma Islam terdapat
pengetahuan tentang :
·         Pertama,Islam adalah suatu struktur.
·         Kedua, Strukturalisme Transendental sebagai metode sesuai dengan keperluan Islam masa kini
dan disini.
·         Ketiga, Islam mempunyai kemampuan untuk mengubah dirinya sendiri (transformasi diri) tanpa
kehilangan keutuhannya.
·         Keempat, tugas umat Islam sekarang ini adalah menyadari perubahan-perubahan di
lingkungannya untuk menyasuaikan muamalahnya.
·         Kelima, gambaran tentang Islam yang kaku, anti perubahan, dan kuno ternyata tidak benar.
·         Keenam, kajian masalah-masalah kontemporer dalam bidang sosial, kemanusiaan filsafat, seni,
dan tasawuf dari sudut pandang Islamkan dapat menghilangkan kesan tentang Islam yang
garang, melihat segala soal secara legalistik (halal-haram), dan egosentris.
·         Dalam sus bab yang kedua yang berjudul Metodologi Pengilmuan Islam terdapat pengetahuan
yaitu ada dua Metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu intregalisasi dan
objektifikasi.
·         Pertama, yaitu intregalisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu
(petunjuk Allah dalam Al-Qur’an beserta pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Ada perbedaan
paradigmatik antara ilmu-ilmu sekular dan ilmu-ilmu integralistik. Perbedaan paradigma itu
sesuai dengan pengertian paradigma sebagaimana dimaksud oleh Thomas Kuhn dalam The
Structure of Scientific Revolutions, dimana ilmu-ilmu sekular sebagai normal sciences dan ilmu-
ilmu Integralistik yang sedang dirintis sebagai suatu revolusi. Paradigma baru ilmu-ilmu
integralistik itu kedudukannya akan mirip dengan kedudukan ilmu-ilmu sosial Marxistis terhadap
ilmu-ilmu sosial Barat yang dianggap kapitalistik. Jadi, paradigma baru itu sebenarnya lebih luas
daripada perbedaan paradigma ilmu fisika (dinamika Newton, teori elektromagnetik, mekanika
kuantum) atau perbedaan dalam paradigma psikologi (Freudianisme, Behaviorisme,
Humanisme).
·         Kedua, objektifikasi ialah menjadikan pengilmuan Islam menjadi rahmat untuk semua orang
(rahmatan lil ‘alamin). Dalam Islam ada ketentuan bahwa orang harus menetapkan hukum
berdasar hukum Allah. Kalau tidak, Al-Qur’an menyebutnya sebagai tindakan kafirun, zalimun,
dan fasiqun ( QS Al-Maidah {15}:44,45,47). Itulah  yang menjadi dasar kenapa di banyak
Negara Islam, Al-Qur’an dipakai sumber hukum, dan kenapa banyak yang ingin membuat
Negara Islam. Objektifikasi Islam juga tetap menganggap bahwa Al-Qur’an adalah sumber
hukum. Perbedaannya terletak dalam prosedur, tidak dalam hakikat. Objektifikasi Islam akan
menjadikan Al-Qur’an terlebih dahulu sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas
persetujuan bersama warga Negara. Dengan demikian tidak langsung seluruh syariat Islam
menjadi hukum negara, tetapi melalui objektifikasi. Demikian juga seandainya hukum kanonik
Kristen kalau akan dijadikan hukum negara harus lebih dulu dipilih yang objektif, yang berlaku
untuk semua orang.
·         Dengan objektifikasi akan terjamin kesamaan di dalam hukum antar agama-agama. Dengan
demikian hilanglah ancaman terhadap stabilitas nasional. Karena itu ungkapan “menghukumi
dangan hukum Allah” itu juga harus diobjektifikasikan dalam sejumlah perundangan, peraturan,
peraturan pemerintah, instruksi, juklak, dan juklis. Jadi tidak begitu saja berlaku. Umat Islam
menghendaki objektifisme, dan bukan sekularisme.
·         Melalui hukum inilah terletak usaha-usaha keJalan Tuhan (fi sabilillah) dan Jalan Orang
Teraniaya (fi sabilil mustadh’afin). Perjuangan yang selama ini hanya dipandang sebagai
perjuangan fi sabilillah yang sering dianggap abstrak, harus ditambah dengan perjuangan yang
konkret fi sabilil mustadh’afin. Hukum positif “yang kecil-kecilan” sering terlewat dalam
pandangan ahli hukum agama. Padahal di situlah terjadi clash of interest antar kelompok (kelas,
golongan, lapisan) dalam masyarakat. Misalnya, soal UMR (Upah Minimum Regional).
·         Dalam objektifikasi Islam juga menyentuh hukum “yang kecil”, tidak hanya terbatas pada
hukum “yang besar”. Ini memerlukan sumberdaya manusia yang berpengetahuan luas tentang
hukum Tuhan dan sanggup melakukan objektifikasi. Kiranya semua OPP (Organisasi Peserta
Pemilu) dengan mengerahkan sumber daya intelektual dapat menyentuh kepentingan “yang
kecil”dan “sederhana” yang sering dilupakan bila ada “isu-isu besar” dan “gawat”.
·         Umat islam sering dianggap hanya peka terhadap isu-isu abstrak, seperti akhlak, tapi tidak peka
terhadap isu-isu konkret yang menyangkut kepentingan orang kecil, seperti kemiskinan dan
kesenjangan. Di sini nampak bahwa keraguan orang tidak kepada islam yang komprehensif dan
egaliter, tapi terutama kepada orang yang melaksanakan.
·         Dan dalam sub bab yang terakhir yang berjudul Etika Paradigma Islam ada empat hal, yaitu (1)
tentang tujuan akhir Paradigma Islam. Seperti diketahui ilmu secular (antropologi James L.
Peacock dan Thomas A. Kirsch, The human Direcion: An Evolutionary Approach to Social and
Cultural Anthropology {New York: Appleton Century Croft, 1970}) meramalkan bahwa
transformasi kemanusiaan akan menuju ke arah masyarakat sekular, seperti terjadi di dunia
Barat. Islam sebagai agama yang abadi mestinya menolak gagasan tentang transformasi, karena
keabadian dan perubahan itu adalah dua hal yang berlawanan? Tidak demikian, keabadian Islam
justru berarti perubahan yang permanen. Permanensi itu menurut Islam harus disertai dengan
citarasa mengenai tujuan (a sense of goal), yaitu semakin dekatnya manusia kepada Yang Maha
Abadi. Islam menghendaki adanya transformasi menuju transendensi.
·         Ke (2), untuk keperluan keterlibatan itu umat harus berjuang penuh dalam sejarah kemanusiaan,
yaitu humanisasi (memanusiakan orang), liberasi (membebaskan manusia dari penindasan), dan
transendensi (membawa manusia beriman kepada Tuhan).
·         Kr(3), Paradigma Islam akan menganut “methodological objectivism”. Artinya, kita sepenuhnya
menghormati objek penelitian, menjadikan objek penelitian sebagai subjek yang mandiri:
menghargai nilai-nilai yang dianut objek penelitian. Paradigma Islam tidak akan bertindak
seperti ilmu sekular yang banyak merugikan Islam atas nama objektifitas ilmu. Paradigma Islam
bukan gerakan intelektual balas dendam yang menghalalkan segala cara. Paradigma islam tidak
bertindak seperti ilmu sekular yang mengaku objektif, tapi ternyata sangat subjektif dan tidak
menghargai nilai-nilai yang dianut objek penelitiannya.
·         Ke(4), hanya berupa gagasan bahwa Paradigma Islam tidak akan secara apriori menolak ilmu
sekular, tempat kebanyakan umat Muslim belajar. Paradigma Islam tidak berniat merobohkan
hasil kerja keras kemanusiaan selama berabad-abad itu. Tetapi benar bahwa Islam sebagai ilmu
akan selalu kritis terhadap semua pengetahuan, sekular atau tidak, bahkan kritis kepada diri
sendiri. Hal itu sudah Nampak dalam pernyataan waktu membicarakan integralisasi, sehingga
penjelasan lain dirasa tidak perlu lagi.
·         Dapat disimpulkan bahwa untuk mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini
melangkah lebih jauh dan mengganti “Islamisasi pengetahuan”  menjadi “pengilmuan Islam” .
Dari reaktif menjadi proaktif  pengilmuan Islam adalah proses , Paradigma Islam adalah hasil,
sedangkan Islam sebagai ilmu adalah proses dan hasil sekaligus yang kita butuhkan sekarang
adalah ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena
sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa,dan oleh
siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, tetapi
mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial
profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan
masyarakatnya. Bagi kita itu berarti perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi atau
emansipasi, liberasi, dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi
historis Islam sebagaimana terkandung dalam QS Ali Imran {3}, ayat 110: Engkau adalah umat
terbaik yang diturunkan di tangah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah
kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah.Tiga muatan nilai inilah yang
mengkarakteristikan ilmu sosial profetik.   Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi,
dan transendensi, ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita
sosio-etiknya di masa depan.
·         Dalam buku yang berjudul Islam sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi, dan Etika kita dapat
mengetahui Islam itu sebagai ilmu dengan dijelaskan bab demi bab dengan baik agar kita dapat
memehaminya, dituliskan juga dari mana sumber tulisan tersebut secara lengkap.
·         Tetapi masih banyak penulisan-penulisan yang tidak mudah untuk dipahami dan penulisan atau
pengetikannya pun masih kurang teliti karena masih ada kesalahan dalam penulisan atau
penngetikan buku tersebut.

Anda mungkin juga menyukai