Anda di halaman 1dari 6

PEMIKIRAN ISLAM KUNTOWIJOYO

PARADIGMA PEMIKIRAN ISLAM


KUNTOWIJOYO

Abstract
Kuntowijoyo mengalami kegelisahan intelektual melihat fenomena keberagamaan umat Islam di
Indonesia yang masih di belenggu oleh berbagai mitos sebagai akibat dari proses agrarisasi
masuknya Islam ke Indonesia. Selain itu, dibukanya kran industrialisasi-informasi, semakin
mengarah pada sekularisasi agama. Untuk itulah kemudian Kunto melontarkan gagasannya
mengenai Paradigma Islam. Sebuah tawaran konsep mendekati dan memahami agama Islam
dengan menggunakan pendekatan historis-sosiologis yang darinya akan melahirkan lima
program re-interpretasi. Kelima program dimaksud adalah pengembangan penafsiran dari
individual menjadi sosial struktural, mengubah Islam normatif menjadi teoritis, mengubah
pemahaman a historis menjadi historis, reorientasi berfikir dari subjektif ke arah objektif, dan
mereformulasi wahyu yang bersifat umum menjadi khusus.

A. Iftitah
Sejarah pertumbuhan gerakan pembaruan Islam di Indonesia sudah berjalan hampir satu abad.
Selama rentang waktu itu banyak terjadi perubahan, baik yang bersifat sosial, politik, ekonomi
maupun perubahan sikap dan pandangan hidup umat Islam yang disebabkan oleh adanya
perubahan-perubahan masa dan situasi politik yang penuh gejolak dan pergolakan.
Pola, sasaran dan unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahanperubahan ini. Semangat dan kecenderungannya pun menjadi berbeda dilihat dari tingkat
pemahaman terhadap corak perubahan yang terjadi, ruang lingkup dan batas-batas yang
memungkinkan ditolelirnya perubahan dan pembaharuan. Karena itu, dalam makalah ini penulis
mencoba membahas unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut, lewat pemikiran Kuntowijoyo
yang tertuang dalam beberapa karya dan tulisannya di berbagai tempat, terutama yang berkaitan
dengan gagasan paradigma Islam dan transformasi sosialnya.
B. Setting Sosial Pemikiran Kuntowijoyo
Kuntowijoyo (selanjutnya disebut Kunto), pemikir yang dikenal sangat optimis akan masa depan
Islam, dan sosok yang oleh Fakhri Ali dan Bachtiar Efendy dimasukkan dalam kelompok
sosialisme-demokrasi Islam disamping Dawam Raharjo dan Adi Sasono ini, lahir di Yogyakarta,
18 September 1943. Pemikiran keislamannya ditempa dalam berbagai aktivitas sosial dan
budaya. Ia pernah aktif di PII dan kelompok diskusi Limited Group. Selama menjadi mahasiswa
dia banyak aktif dalam bidang kesenian dan kebudayaan sehingga dia lebih dikenal sebagai
seorang sastrawan dan budayawan. Karya sastranya banyak yang diterbitkan dan mendapat
penghargaan. Interesnya yang sangat besar terhadap masalah sosial umat Islam juga
dilatarbelakangi oleh bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Dia menyelesaikan
sarjananya di fakultas sastra jurusan sejarah UGM pada 1969. Gelar MA-nya diperoleh dari
University of Connecticut, USA, sedang Ph.D dalam studi sejarah dari University of Columbia

pada 1980 dengan disertasi berjudul: Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940.
Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatar belakangi pemikirannya terutama dalam
merumuskan gagasan-gagasannya tentang Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar
terhadap pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang
hanya sampai pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah
mengalami agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan
mata-rantai penting peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk
budaya-budaya lokal.
Untuk itu dia melakukan analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat perkembangan umat
Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-gagasan
transformasi sosial melalui re-interpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah
mendorong manusia berpikir secara rasional dan empiris.
Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan
menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan
melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan
dan kesamaan. Ini mendorongnya melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama
yang berkaitan dengan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.
C. Al-Quran Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi
Uraian-uraian tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kunto lewat pendekatan historissosiologis, sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan al-Quran
sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas
Islam yang disebutnya ilmu-ilmu sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of
thought, mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan mode of knowing. Dengan pengertian
paradigmatik ini, dari al-Quran dapat diharapkan suatu konstruksi pengetahuan yang
memungkinkan memahami realitas sebagaimana al-Quiran memahaminya. Demikian lebih
lanjut, Kunto menjelaskan:
Paradigma al-Quran berarti suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada
mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki hikmah untuk membentuk perilaku yang
sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping
memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Quran juga dapat berfungsi untuk memberikan
wawasan epistemologis.
Sebagai contoh, kata Kunto, statemen-statemen yang terdapat dalam al-Quran dan hadits adalah
nilai-nilai normatif. Nilai-nilai normatif ini ada dua, yaitu niali-nilai praktis yang dapat
diaktualkan dalam perilaku sehari-hari dan nilai-nilai yang harus diterjemahkan dulu dalam
bentuk teori sebelum diterapkan dalam perilaku. Nilai-nilai pertama menurutnya telah
dikembangkan dalam bentuk ilmu fiqh, sedang yang kedua perlu ditransformasikan dalam
bentuk ilmu-ilmu sosial Islam. Cara yang kedua ini lebih relevan pada saat ini, jika kita ingin
melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri. Sampai
sekarang ini menurut Konto, kita kekurang ini. Kita memang sudah didesak untuk segera
memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya
ilmu-ilmu sosial Islam.
Tampaknya pemikiran Kunto tentang paradigma al-Quran ini dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur
Rahman tentang operasi metodologi tafsir. Cara kerja metodologis penafsiran Rahman yang
berusaha memehami al-Quran, aktivitas Nabi dan latar sosio-historisnya diarahkan pada
perumusan kembali suatu Islam yang utuh, koheren serta berorientasi kepada masa kini. untuk

itu menurut Rahman perlu lebih dahulu perumusan pandangan dunia al-Quran.
Sehubungan dengan perumusan worldview al-Quran ini, Rahman mengemukakan bahwa
prinsip penafsiran dengan latar belakang sosio-historis tidak diterapkan dengan cara yang sama
dengan perumusan etika al-Quran, atau oleh Kunto disebut nilai normatif praktis. Menurut
Rahman, untuk pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang spesisfik turunnya
wahyu tidak dibutuhkan. Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia al-Quran tersebut,
Rahman tampaknya lebih cenderung menggunakan prosedur sintesis.
Menurut Kunto, salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka
mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Quran adalah apa yang dinamakan
pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan alQuran itu terdiri dari dua bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan
kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type.
Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, al-Quran bermaksud membentuk pemahaman yang
konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah historis, alQuran ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan
sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan
mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik
dimaksudkan untuk menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti alQuran harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.
Untuk dapat menjadikan al-Quran sebagai paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai
normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kunto, diperlukan adanya lima program
reinterpretasi, yaitu:
1. Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika
memahami ketentuan-ketentuan al-Quran. Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan
diarahkan kepada individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.
2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir
secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat
yang secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraan
umat.
3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara dan masakin yang
normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
4. Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam al-Quran yang
selama ini dipandang a historis, sebenarnya menceriterakan peristiwa yang benar-benar historis,
seperti kaum tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.
5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik dan
empiris. Dalam hal konsep umum tentang kecaman terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya
berputar pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan ke dalam formulasi-formulasi
spesifik dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang. Dengan menterjemahkan
pernyataan umum secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman terhadap
Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai
realitas sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agamayang lebih mengakar
di tengah-tengah gejolak sisal.
Dari uraian tentang paradigma al-Quran dan program reinterpretasi, bisa dilihat bahwa Kunto
ingin merintis metode baru penafsiran al-Quran. Metode tafsir yang ditawarkan adalah
memandang al-Quran sebagai akumulasi konsep-konsep normatif. Nilai-nilai yang ada di

dalamnya bersifat transendental yang bebas dari konteks dan bias-bias yang mengitarinya.
Tampaknya di sini, dia berpegang pada kaidah al-ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus as-sabab.
Dari konsep-konsep al-Quran, menurutnya dapat diciptakan teori-teori ilmu sosial profetik
yang pada dasarnya bersifat transformatif. Yang dimaksud transformatif di sini oleh Kunto
adalah perubahan sosial, baik cara berpikir, sikap dan perilaku secara individual maupun sosial.
Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan
penghargaan tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap
peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil keputusan dan para
perencana program yang menaruh perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para
pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu sosial sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitian
ilmu-ilmu kealaman.
Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan
tidak juga di anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif ataupun
subyektif.
Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah
masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi
atau filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana mengubah masyarakat
dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tataanan idealnya. Elaborasi
terhadaap pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang
berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini,dan sekaligus
memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi
dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka
dapat dikatakan bahwa hampir semua teori sosial tersebut bersifat transformatif.
Muslim Abdurrahman pernah menawarkan teologi transformatif, yaitu menekankan hubungan
dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut
model ideal suatu upaya untuk menghidupkan teks dalam realitas empiris dan mengubah
keadaan masyarakat ke arah transformasi sosial yang diridhoi Allah SWT. Pengembangan teologi
transformatif menurutnya merupakan upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara
pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.
Ilmu-ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kunto pada mulanya lebih bersifat tawaran alternatif,
karena dia kurang sependapat dengan istilah teologi transformatifnya Muslim. Dia mengatakan
bahwa dilingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan teologi dan sejenisnya tampak belum
dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu
sendiri. Umat Islam memehami teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebgaian besar
mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman
yang membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah teologi sudah
selesai dan tidak perlu dirombak.
Ini berbeda dengan persepsi penganjur pembaruan teologi yang mengartikan teologi sebagai
usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun
kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan. Yang
mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi mengubah interpretasi
terhadapnya, agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas. Istilah
teologi menurut Kunto sebaiknya diganti dengan ilmu sosial yaitu mengelaborasi ajaranajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek
normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tapi pada aspek-aspek yang bersifat
empiris, historis dan temporal.

Optimisme Kunto untuk membangun paradigma baru ilmu sosial ini didasari oleh keyakinan
bahwa ilmu itu bersifat relatif, atau dalam bahasa Thomas Khun paradigmatik, Marx, bersifat
ideologis dan Wittgenstain, bersifat cagar bahasa. Dalam pandangan Kunto, ilmu-ilmu sosial
sekarang mengalami kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap
gejala-gejala saja. Ini menurutnya tidak cukup. Ilmu-ilmu sosial disamping menjelaskan, juga
harus dapat memberi petunjuk ke arah transformasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu
humanisasi atau emansipasi, liberalisasi dan transendental.
D. Ikhtitam
Gagasan-gagasan Kuntowijoyo tentang Islam di Indonesia merupakan salah satu fenomena yang
unik, menarik dan sangat mengesankan untuk ukuran intelektual yang dibesarkan bukan dari
latar belakang taradisi keagamaan santri, meminjam klasifikasi Gertz. Meskipun pengetahuan
keagamaannya lebih banyak diperoleh lewat studi-studi non-formal, namun kecintaannya
terhadap Islam dan kuatnya basic keilmuan sejarah dan sosial, telah mendorongnya untuk
merumuskan sebuah alternatif keberagamaan yang bersifat profetik dan transformatif.
Al-Quran, yang oleh Kunto dijadikan sebagai paradigma ilmu-ilmu sosial, tidaklah semata-mata
dipahami dari sisi normativitas kewahyuan Islam, yaitu dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan
ritual-ubudiyah keagamaan saja, tapi juga dan bahkan ini yang terpenting adalah
memanifestasikan nilai-nilai historisitas al-Quran, dengan cara mengelaborasi ajaran-ajaran
agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif
yang bersifat permanen, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.
Dari pemahaman seperti ini, meskipun tawaran teori-teori sosial Qurani ini tidak mudah untuk
direalisasikan dalam realitas empiris, namun Kunto dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya--paling tidak telah membuka dan merintis sebuah pendekatan baru dalam studistudi keislaman, lewat kajian-kajian saintis, yang oleh Arkoun dianggap sebagai sebuah
keniscayaan untuk umat Islam kontemporer.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Muslim, Teologi Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995)

Ali, Fakhri dan Efendy, Bachtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Oerde Baru, (Bandung: Mizan, 1986)
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman, (Bandung: Mizan, 1993)
Bagader, Abubaker A., Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam , Perspektif Sosiologi Agama,
Terj. Mahnun Husain, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996)
Bahasoan, Awad, Gerakan Pembaharuan Islam; Interpretasi dan Kritik, Prisma, No. Ekstra,
1984
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994)
----------------, Tjokro, Natsir dan Habibie, dalam Ummat, No. 9 tahun 1995
----------------, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991)
----------------, Islam Sebagai Ide, Prisma, No. Ekstra, 1984
Raharjo, M. Dawam , Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat, dalam
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991)
Rahman, Fazlur , Islamic Studies and the Future of Islam, (Malibu, California: 1980)
----------------, Islam, (New York: Anchor Book, 1968)
----------------, Islam and Modernity, (Chicago: The University of Chicago, 1980)
----------------, Major Themes of the Quran, (Chicago: Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980)
Rahman, Budi Munawar, Dari Tahap Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo-Modernisme
Islam di Indonesia dalam Ulumul Quran, No. 3 Vol. VI, 1995

Anda mungkin juga menyukai