Anda di halaman 1dari 9

Akar Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia

Muhammad Faiz Ullami (53020210095)

Pendahuluan

Pemikiran islam kontemporer merupakan pemikiran islam yang muncul pada era
modern atau sekitar abad 19-an sebagai respon terhadap fenomena-fenomena sosial yang
muncul seiring dengan perkembangan zaman pada masa modern ini. Pemikiran Islam
kontemporer juga muncul sebagai penengah dari dialektika yang muncul antara pemikiran
Islam tradisionalis dan modernis.1

Pemikiran Islam kontemporer ini memiliki ciri khas pemikiran yang bersifat agresif
dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam, dengan penafsiran yang agresif itu
pemikiran Islam kontemporer ini mampu menempatkan Al-Qur’an dan Islam sebagai suatu
kitab yang mampu merespon problematika yang muncul akibat perkembangan zaman.
Pemikiran ini menjadikan Al-Qur’an dan Islam sebagai kitab dan agama yang relevan dengan
perkembangan zaman di era modern ini tanpa harus terikat secara mutlak dengan tradisi
tetapi juga tidak terlalu terbawa dengan budaya dan pemikiran dari luar.

Islam kontemporer dirasa dapat menjawab problematika zaman oleh karena itu
pemikiran ini berkembang dengan pesat sehingga memunculkan pemikir-pemikir islam yang
besar seperti Muhammad Arkoun dan masih banyak lagi pemikir-pemikir Islam dunia yang
mengadopsi pemikiran Islam kontemporer.

Pemikiran ini kemudian menyebar ke berbagai pelosok Dunia tidak terkecuali


Indonesia. Lalu bagaimanakah akar pemikiran Islam kontemporer ini bisa masuk ke
Indonesia? Selanjutnya penulis akan menjelaskan bagaimana akar pemikiran Islam
kontemporer ini masuk ke Indonesia dan bagaimanakah perkembangan pemikiran ini di
Indonesia.

Pembahasan

Perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia tidak terlepas dari


perkembangan Islam kontemporer di Dunia Islam umumnya. Hal ini dikarenakan banyak dari
para intelektual muslim Indonesia yang belajar di negara-negara Islam yang modern dan
negara-negara barat. Oleh karena itu pemikiran Islam intelektual muslim di Indonesia ini

1
Lukman Hakim, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia (Membaca masa depan Gerakan Islam di
Indonesia), hlm. 03
sedikit terjadi kolaborasi antara pemikiran Islam kontemporer yang berasal dari jazirah Arab
dan pemikiran Islam kontemporer yang dikembangkan oleh para Islamolog di barat.

Perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia tidak lepas dari upaya


menafsirkan kembali Islam agar Islam bisa sesuai dengan kondisi sosial kultural di Indonesia
itu sendiri. Dawam Raharjo2 membagi tema sentral penembangan intelektual Islam kedalam
lima bagian.

1. Interpretasi kembali Al-Qur’an


Al-Qur’an merupakan sumber pokok dari segala ajaran-ajaran dalam agama Islam
oleh karena itu maksud dari interpretasi Al-Qur’an adalah keinginan untuk
merekontruksi terhadap ajaran-ajaran agama Islam sebagai dasar pembinaan
masyarakat modern.
Interpretasi Al-Qur’an ini di wujudkan oleh para intelektual Islam Indonesia dengan
cara menafsirkan kembali ayat-ayat dalam Al-Qur’an dengan tujuan untuk mencari
nilai-nilai esensial dari ajaran Islam yang kemudian di aplikasikan terhadap teori-teori
dan konsep-konsep baru dalam berbagai bidang misalnya dalam kemasyarakatan,
negara, ekonomi dan sebagainya.
Tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur’an diantaranya KH Maksum, Buya Hamka
serta masih banyak lagi tokoh-tokoh lainya.

2. Aktualisasi Tradisi

Aktualisasi tradisi merupakan suatu bentuk pembaharuan pemikiran Islam yang


berimplikasi terhadap sejarah Islam masa lalu untuk kemudian dijadikan bahan evaluasi
terhadap pemikiran-pemikiran Islam di masa sekarang dan masa depan. Tokoh yeng
terfokus pada tema ini diantaranya yaitu Nurcholis majid dan Muhammad Natsir.

3. Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Maksud dari Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi ini adalah memberikan esensi
peradaban Islam modern dengan nilai-nilai tauhid salah satu tokohnya adalah A.M.
Saefuddin yang mencoba mengislamisasikan perekonomian.

2
M. Dawam Rahardjo, “Melihat ke Belakang, Merancang Masa Depan: Pengantar”, dalam Muntaha
Azhari dan Abdul Mun‟im Saleh (Peny.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Cet. I (Jakarta: P3M,
1989), hal. 1
4. Pribumisasi Islam

Tema memiliki kaitan yang erat dengan tema interpretasi Al-Qur’an dan Islamisasi
yaitu sebagai bentuk akulturasi antara ajaran-ajaran Islam dan budaya yang ada di
Indonesia tokoh dari tema ini diantaranya adalah KH. Abdurahman Wahid.

Tema-tema diataslah yang kemudian memunculkan pemikiran Islam kontemporer di


Indonesia. Islam kontemporer masuk ke Indonesia terbagi menjadi beberapa periode yaitu :

1. Periode tradisi mistis-religius (…. - 1900)


Periode pertama ini di tandai dengan tradisi mistis-religius maksudnya umat Islam
Indonesia pada periode ini tidak merumuskan pikiran-pikiranya berdasarkan
aktualisasi sejarah melainkan berdasarkan kepada mitos, pandangan mistis mengenai
masyarakat.

2. Periode formulasi normatif (1900 – 1965)


Jika pada periode pertama masyarakat memahami Islam secara mistis maka pada
periode ini masyarakat Indonesia sudah memahami Islam sebagai formulasi normatif
dan kemudian berkembang menjadi ideologi dan menjadi aksi contohnya yaitu ketika
syarekat Islam sudah mulai mengenal ideologi komunisme dan mechainisme..
Selanjutnya oleh para intelektual Islam pada saat itu Islam dijadikan sebagai formulais
teoritis yang kemudian bertransformasi selain Islam sebagai agama juga menjadi
Islam sebagai ilmu.

3. Periode Ide (1965 – Orde Baru)


Berangkat dari kesadaran masyarakat Islam Indonesia untuk menjadikan Islam selain
menjadi ideologi juga sebagai rule model dalam bermasyarakat inilah kemudian
menjadikan perkembangan Islam di Indonesia masuk pada periode ide. Pemikiran
Islam kontemporer di Indonesia dimulai sejak berkembangnya umat Islam Indonesia
pada periode ide, terutama setelah para intelektual Islam Indonesia banyak
bersentuhan dengan pembaharuan pemikiran Islam, baik pengaruh dari dunia Islam
sendiri maupun dunia Barat.
Ormas Islam yang muncul pada periode pertaa, yang paling menonjol hingga kini
adalah Muhammadiyah (1912) dan NU (1926). Kelahiran kedua ormas Islam ini
kemudian menimbulkan pandangan dikotomis tentang corak gerakan Islam di
Indoensia. Pemikiran Muhammadiyah yang bercorak rasional dan bermotto sebagai
gerakan tajdîd (pembaruan) dipandang sebagai gerakan modernis. Sedangkan NU
yang mendasarkan diri pada pola pemikiran empat madzhab fikih (Maliki, Hanafi,
Syafi‟i dan Hambali), dan berpegang pada teologi Asy‟ariyah dan Maturidiyah,
dilihat sebagai gerakan tradisionallis.
Anggota simpatisan kedua ormas itu tidak bisa melepaskan diri dari kondisi politik
yang berkembang. Dapat dikatakan sejak tahun 1970-an terdapat dua lapisan umat
Islam yang terlibat dalam proses mobilisasi vertikal, yaitu kelompok muslim politisi
dan kelompok muslim cendekiawan. Aspirasi kedua kelompok ini pun berbeda. Kalau
aspirasi muslim politisi bercorak ideologi, sedangkan aspirasi muslim cendekiawan
bercorak intelektual tanpa terikat dengan salah satu partai politik atau ormas.
Hal ini menunjukkan bahwa kendatipun Islam telah memasuki periode ide, tidak
semua penggerak atau pejuangnya, terutama kaum politisi, mampu menangkap
kecenderungan baru dari fokus kebudayaan yang berkembang atau dominan saat itu.
Sebagaimana diketahui bahwa setelah tumbangnnya Orde Lama oleh Orde Baru,
maka berakhirlah fokus kebudayaan yang menganggap ideologi sebagai panglima.
Lalu hadirnya Orde Baru yang memusatkan programnya pada pembangunan ekonomi,
menggeser fokus kebudayaan ke level yang memprioritaskan sektor ekonomi.
Kelompok muslim cendekiawan (penggerak Islam kontemporer di Indonesia) cukup
adaptif membaca suasana tersebut bahwa jalur politik bukan satu-satunya cara untuk
memajukan Islam di Indonesia. Fokus kebudayaan baru yang diprakarsai oleh Orde
Baru lalu ditafsirkannya sebagai peluang untuk melakukan terobosan-terobosan non-
politik yang lebih menyentuh kebutuhan mendasar kaum muslimin.
Problematika ummat Islam di masa itu terjerat pada pandangan dikhotomi antara
Islam modern dan Islam tradisional. Ini mengakibatkan terjadinya kemacetan
komunikasi bahkan dis-integrasi di dalam intern umat Islam, seperti pertentangan
masalah khilafiyah, juga persoalan hubungan politik dan agama yang diklaim sebagai
masalah wajib. Padahal aneka keterbelakangan umat seperti kemiskinan, kebodohan,
ketidakadilan, keterasingan, dan sebagainya merupakan fakta yang lebih mendesak
untuk segera ditanggulangi.3

Corak pemikiran gerakan Islam kontemporer di Indonesia

3
Lukman Hakim, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia (Membaca masa depan Gerakan Islam di
Indonesia), hlm. 10
1. Islam Fundamentalis Istilah Islam fundamentalis dapat dimaknai Islam yang dalam
pemahaman dan prakteknya bertumpu pada ha-hal yang bersifat asasi atau mendasar.
Pemahaman secara kebahasaan yang demikian ini mengandung pengertian, bahwa yang
dimaksutkan Islam fundamentalis adalah gerakan atau paham yang bertumpu pada
ajaran mendasar dalam Islam, teutama terkait dengan rukun Islam dan Iman. Apabila
ditinjau dari segi kebahasaan ini, maka semua aliran atau paham yang menjadikan
rukun Iman dan Islam sebagai ajaran utama, maka mereka termasuk pada kelompok
ini.4 Bahkan tiga aliran besar di dunia, seperti Sunni, Syi’ah dan Ahmadiyah juga
menjadikan ajaran tersebut sebagai dasar pijakan dalam beragama. Disamping itu
dalam konteks Indonesia, dua paham keagamaan terbesar, seperti NU dan
Muhammadiyah pun juga termasuk dalam pengertian kebahasaan ini. Namun,
persoalannya tidak semudah itu untuk memasukkan beberapa kelompok paham
keagamaan dalam Islam fundamentalis, karena harus dilihat ciri-ciri dan ajaran pokok
dalam gerakannya. Sebenarnya istilah ini muncul dikalangan masyarakat Kristen yang
berkembang di Barat, yang dalam hal pemahaman agamanya lebih bersifat mendasar,
sempit dan dogmatis. Di Barat, kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap teori
evolusi manusia yang dikemukakan oleh Charles Darwin.

2. Islam Neo-Tradisionalis Dalam konteks pemikiran Islam Indonesia, sebelum


munculnya istilah pemikiran neo-tradisionalisme adalah munculnya kelompok
tradisionalis. Menurut Abudian Nata, kelompok ini awalnya ditujukan kepada mereka
yang berpegang pada al-Qur’an dan as- Sunnah, namun kemudian juga ditujukan
kepada mereka yang perpegang pada produk-produk pemikiran para ulama yang
dianggap unggul dan kokoh dalam keilmuan fiqh, tafsir, teologi, tasawuf, lughah, ushul
fiqh dan lainnya. Kemudian belakangan ini munculah gerakan neo tradisionalis, yang
digagas oleh tokoh atau kelompok yang hendak merubah paradigma berfikir
tradisionalis. Istilah Neo-tradisionalis terkadang didentikkan dengan Gus Dur.
Sekalipun bukanlah satu-satunya. Kenyataannya, beliau juga inspiratis dan penggiat
gerakan neo-modernisme, post-tradisionalisme, bahkan Islam liberal.

3. Islam Neo-Modernis Pada awalnya, sebenarnya muncul istilah Islam modernis, yang
mempunyai tujuan membawa Islam kepada agama yang berkemajuan. Seperti halnya
yang berlangsung di Barat, di dunia Islam, gerakan Islam modernis ini muncul dalam
4
Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, (Jakarta,Kalam Mulia, 2002), hal. 25
rangka menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru
yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Munculnya
gerakan ini juga merupakan respon terhadap berbagai keterbelakangan yang dialami
umat Islam dalam bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaaan, politik dan lainnya.
Keadaan yang demikian ini dirasa tidak sejalan dengan semangat ajaran Islam, yang
digambarkan bahwa Islam itu mendorong kearah kemajuan, menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan,yang muaranya membawa kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.
Namun faktanya justru umat Islam mengalami masa keterbelakngan dan kemunduran.
Inilah yang memunculkan kegelisahan batin bagi para pemikir gerakan modern
ini,untuk berusaha memahami ajaran Islam secara kontekstual, agar ajaran islam itu
bisa terwujud dalam kehidupan masyarakat. Kemudian, belakangan munculah istilah
Islam Neo-Modernis yang kira- kira mulai nampak pada era tahun 1970-an. Pada masa
inilah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru atau pembaruan yang
belakangan disebut “neo-modernisme”. Sosok Cak Nur, misalnya dianggap sebagai
lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia.
Gerakan ini lebih menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang
harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak
pemikirannya yang lebih inklusif, moderat, dan mengakui adanya kemajemukan dalam
kehidupan, sehingga membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya
perbedaan. Gerakan Islam neo-modernis awalnya digagas oleh Fazlur Rahman, tokoh
reformis asal Pakistan. Gerakan ini cukup dinamis, bahkan radikal baik terhadap Barat
maupun Islam sendiri.5

4. Islam liberal Setelah gerakan Islam Neo- Modernis mengalami metamorfosis,


nampaknya pemikiran Islam semakin berkembang seiring dengan berkembangnya
model pemikiran, baik yang muncul di dunia Islam maupun di Barat. Hal ini juga yang
terjadi di Indonesia, bahwa setelah lebih dari 30 tahun gerakan pemikiran model neo-
modernisme mendapat tempat dalam konstelasi pemikiran Islam di Indonesia,
kemudian munculah gerakan “Islam liberal”. Istilah ini muncul ketika Greg Barton
menyebutnya dalam bukunya: Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Kira-kira tahun
2001, publikasi mazhab pemikiran ”Islam liberal” ini memang tampak digarap
sistematis, yang kemudian dikelola menjadi ”Jaringan Islam Liberal” (JIL). Muhammad
Muslih menyebutkan, bahwa sebelum lahir JIL, wacana Islam liberal beredar di meja-
5
Hasan Langgulung , Pendidikan Islam Dalam Abad Ke-21, (Jakarta , Pustaka al- Husna Baru, 1998, hal. 27
meja diskusi dan sederet kampus, akibat terbitnya buku Islamic Liberalism (Chicago,
1988) karya Leonard Binder, dan buku Liberal Islam (Oxford, 1998) hasil editan
Charles Kurzman. Istilah Islam liberal pertama dipopulerkan Asaf Ali Asghar Fyzee,
intelektual muslim India, pada 1950-an. Kurzman sendiri mengaku meminjam istilah
itu dari Fyzee.

Tokoh-tokoh Islam kontemporer di Indonesia

Banyak tokoh-tokoh pemikir Islam kontemporer di Indonesia yang memiliki pemikiran-


pemikiran yang kritis diantaranya adalah KH. Aburahman Wahid dan Nurcholis Majid.
1. KH Abdurahman Wahid
Abdul Rahman Wahid yang lebih dikenal dengan Gu Dur adalah putera dari
K.H. Wahid Hasyim dan cucu dari K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri dari organisasi
Nahdatul Ulama. Beliau lahir di Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940.
Pemikiran aburahman wahid dalam pembaharuan pemikiran Islam, di Indonesia
adalah gagasan Gus Dur yang pertama di lontarkan adalah “Pribumisasi Islam”.
Gagasan ini dilatarbelakangi oleh keinginan kuat Gus Dur untuk mempertemukan
budaya (adat) dengan norma Islam (syari’ah). Dia bercita-cita agarumat Islam
Indonesia mempunyai pandangan yang luas, menjunjung tinggi toleransi, menghargai
orang lain.Gus Dur percaya, bahwa Islam mengajarkan pluralisme, menerima
kenyataan adanya kelompok-kelompok agama lain. Dalam konteks Indonesia yang
plural, komitmen atas pluralisme agama ini membuka ruang untuk
mengakomodasikan Pancasila sebagai ideologi negara dan untuk membedakan Islam
dari politik.6
2. Nurcholis Madjid
Nurcholish Madjid adalah seorang cendekiawan muslim kelahiran Mojoanyar,
Jombang, 17 Maret1939, dikenal sebagai tokoh pembaharuan emikiran dalam Islam
dekade tahun 70-an. Pada awal tahun 70–an , Nurcholish Madjid telah merumuskan
konsep modernisasi sebagai rasionalisasi yang berarti proses perombakan pola berfikir

6
Ermagusti, Respons tokoh pemikir kontemporer Indonesia terhadap mocernisasi, Tajdid, Vol 18 No. 01 Juli
2015 hlm. 59
dan tata kerja baru yang rasional. Sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat
rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum yang berlaku dalam alam.
Pikiran Nurcholish ini agaknya sejalan dengan pola pemikiran Harun Nasution
tentang modernisasi, karena keduanya sama-sama menganggap kemodernan itu
identik dengan sunnatullah. Bedanya Nurcholish lebih kritis, karena ia menganggap
kebenaran itu adalah sesuatu yang hanya dapat dicapai dalam proses. Modernisasi itu
merupakan usaha atau proses untuk mencapai kebenaran itu sendiri. Yang modern
secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yang dimaksud disini adalahTuhan
Yang Maha Esa.
Pencarian yang terus menerus tentang kebenaran itulah gambaran sikap orang
modern, yaitu seorang muslim yang senantiasa progresif, maju, terus menerus
mengusahakan perbaikan dalam dirinya dan dalam masyarakatnya. Nurcholish Madjid
menginginkan agar umat Islam itu merobah pola berfikir dan tata kerja yang tidak
akliah kepada yang akliah, karena Tuhan telah memerintahkan manusia untuk
mempergunakan akalnya.
Gagasan Nurcholish Madjid tentang modernisasi dan rasionalisasi yang
semacam ini terkait erat dengan gagasannya tentang sekularisasi yang selanjutnya
desakralisasi.Pandangan Nurcholish ini dianggap telah berubah secara fundamental,
karena ia menganjurkan “sekularisasi”. Istilah yang dimunculkan ini menjadi sumber
kehebohan,sehingga Nurcholish dituduh telah merubah pahamnya menjadi sekularis.
Nurcholish tetap dengan prinsipnya, ijtihad tetapmerupakan suatu proses, dimana
kesalahan pengertian akan mengakibatkan buah yang pahit, yaitu kegagalan.
Sungguhpun demikian, itu masih ringan dari pada beban stagnasi akibat tidak adanya
pembaharuan.7

7
Ermagusti, Respons tokoh pemikir kontemporer Indonesia terhadap mocernisasi, Tajdid, Vol 18 No. 01 Juli
2015 hlm. 56
Daftar Pustaka

Azhari, M. d. (1989). Islam Indonesia menatap masa depan. Jakarta: P3M.


Ermagusti. (2015). Respon tokoh pemikir kontwmporer Indonesia terhadap modernisasi. Tajdid, 53-
64.
Hakim, L. (n.d.). Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia (Membaca masa depan gerkan Islam di
Indonesia.
Langgulung, H. (1998). Pendidikan Islam dalam Abad ke-21. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Soebahar, A. H. (2002). Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Anda mungkin juga menyukai