Pendahuluan
Pemikiran islam kontemporer merupakan pemikiran islam yang muncul pada era
modern atau sekitar abad 19-an sebagai respon terhadap fenomena-fenomena sosial yang
muncul seiring dengan perkembangan zaman pada masa modern ini. Pemikiran Islam
kontemporer juga muncul sebagai penengah dari dialektika yang muncul antara pemikiran
Islam tradisionalis dan modernis.1
Pemikiran Islam kontemporer ini memiliki ciri khas pemikiran yang bersifat agresif
dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam, dengan penafsiran yang agresif itu
pemikiran Islam kontemporer ini mampu menempatkan Al-Qur’an dan Islam sebagai suatu
kitab yang mampu merespon problematika yang muncul akibat perkembangan zaman.
Pemikiran ini menjadikan Al-Qur’an dan Islam sebagai kitab dan agama yang relevan dengan
perkembangan zaman di era modern ini tanpa harus terikat secara mutlak dengan tradisi
tetapi juga tidak terlalu terbawa dengan budaya dan pemikiran dari luar.
Islam kontemporer dirasa dapat menjawab problematika zaman oleh karena itu
pemikiran ini berkembang dengan pesat sehingga memunculkan pemikir-pemikir islam yang
besar seperti Muhammad Arkoun dan masih banyak lagi pemikir-pemikir Islam dunia yang
mengadopsi pemikiran Islam kontemporer.
Pembahasan
1
Lukman Hakim, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia (Membaca masa depan Gerakan Islam di
Indonesia), hlm. 03
sedikit terjadi kolaborasi antara pemikiran Islam kontemporer yang berasal dari jazirah Arab
dan pemikiran Islam kontemporer yang dikembangkan oleh para Islamolog di barat.
2. Aktualisasi Tradisi
Maksud dari Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi ini adalah memberikan esensi
peradaban Islam modern dengan nilai-nilai tauhid salah satu tokohnya adalah A.M.
Saefuddin yang mencoba mengislamisasikan perekonomian.
2
M. Dawam Rahardjo, “Melihat ke Belakang, Merancang Masa Depan: Pengantar”, dalam Muntaha
Azhari dan Abdul Mun‟im Saleh (Peny.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Cet. I (Jakarta: P3M,
1989), hal. 1
4. Pribumisasi Islam
Tema memiliki kaitan yang erat dengan tema interpretasi Al-Qur’an dan Islamisasi
yaitu sebagai bentuk akulturasi antara ajaran-ajaran Islam dan budaya yang ada di
Indonesia tokoh dari tema ini diantaranya adalah KH. Abdurahman Wahid.
3
Lukman Hakim, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia (Membaca masa depan Gerakan Islam di
Indonesia), hlm. 10
1. Islam Fundamentalis Istilah Islam fundamentalis dapat dimaknai Islam yang dalam
pemahaman dan prakteknya bertumpu pada ha-hal yang bersifat asasi atau mendasar.
Pemahaman secara kebahasaan yang demikian ini mengandung pengertian, bahwa yang
dimaksutkan Islam fundamentalis adalah gerakan atau paham yang bertumpu pada
ajaran mendasar dalam Islam, teutama terkait dengan rukun Islam dan Iman. Apabila
ditinjau dari segi kebahasaan ini, maka semua aliran atau paham yang menjadikan
rukun Iman dan Islam sebagai ajaran utama, maka mereka termasuk pada kelompok
ini.4 Bahkan tiga aliran besar di dunia, seperti Sunni, Syi’ah dan Ahmadiyah juga
menjadikan ajaran tersebut sebagai dasar pijakan dalam beragama. Disamping itu
dalam konteks Indonesia, dua paham keagamaan terbesar, seperti NU dan
Muhammadiyah pun juga termasuk dalam pengertian kebahasaan ini. Namun,
persoalannya tidak semudah itu untuk memasukkan beberapa kelompok paham
keagamaan dalam Islam fundamentalis, karena harus dilihat ciri-ciri dan ajaran pokok
dalam gerakannya. Sebenarnya istilah ini muncul dikalangan masyarakat Kristen yang
berkembang di Barat, yang dalam hal pemahaman agamanya lebih bersifat mendasar,
sempit dan dogmatis. Di Barat, kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap teori
evolusi manusia yang dikemukakan oleh Charles Darwin.
3. Islam Neo-Modernis Pada awalnya, sebenarnya muncul istilah Islam modernis, yang
mempunyai tujuan membawa Islam kepada agama yang berkemajuan. Seperti halnya
yang berlangsung di Barat, di dunia Islam, gerakan Islam modernis ini muncul dalam
4
Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, (Jakarta,Kalam Mulia, 2002), hal. 25
rangka menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru
yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Munculnya
gerakan ini juga merupakan respon terhadap berbagai keterbelakangan yang dialami
umat Islam dalam bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaaan, politik dan lainnya.
Keadaan yang demikian ini dirasa tidak sejalan dengan semangat ajaran Islam, yang
digambarkan bahwa Islam itu mendorong kearah kemajuan, menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan,yang muaranya membawa kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.
Namun faktanya justru umat Islam mengalami masa keterbelakngan dan kemunduran.
Inilah yang memunculkan kegelisahan batin bagi para pemikir gerakan modern
ini,untuk berusaha memahami ajaran Islam secara kontekstual, agar ajaran islam itu
bisa terwujud dalam kehidupan masyarakat. Kemudian, belakangan munculah istilah
Islam Neo-Modernis yang kira- kira mulai nampak pada era tahun 1970-an. Pada masa
inilah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru atau pembaruan yang
belakangan disebut “neo-modernisme”. Sosok Cak Nur, misalnya dianggap sebagai
lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia.
Gerakan ini lebih menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang
harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak
pemikirannya yang lebih inklusif, moderat, dan mengakui adanya kemajemukan dalam
kehidupan, sehingga membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya
perbedaan. Gerakan Islam neo-modernis awalnya digagas oleh Fazlur Rahman, tokoh
reformis asal Pakistan. Gerakan ini cukup dinamis, bahkan radikal baik terhadap Barat
maupun Islam sendiri.5
6
Ermagusti, Respons tokoh pemikir kontemporer Indonesia terhadap mocernisasi, Tajdid, Vol 18 No. 01 Juli
2015 hlm. 59
dan tata kerja baru yang rasional. Sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat
rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum yang berlaku dalam alam.
Pikiran Nurcholish ini agaknya sejalan dengan pola pemikiran Harun Nasution
tentang modernisasi, karena keduanya sama-sama menganggap kemodernan itu
identik dengan sunnatullah. Bedanya Nurcholish lebih kritis, karena ia menganggap
kebenaran itu adalah sesuatu yang hanya dapat dicapai dalam proses. Modernisasi itu
merupakan usaha atau proses untuk mencapai kebenaran itu sendiri. Yang modern
secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yang dimaksud disini adalahTuhan
Yang Maha Esa.
Pencarian yang terus menerus tentang kebenaran itulah gambaran sikap orang
modern, yaitu seorang muslim yang senantiasa progresif, maju, terus menerus
mengusahakan perbaikan dalam dirinya dan dalam masyarakatnya. Nurcholish Madjid
menginginkan agar umat Islam itu merobah pola berfikir dan tata kerja yang tidak
akliah kepada yang akliah, karena Tuhan telah memerintahkan manusia untuk
mempergunakan akalnya.
Gagasan Nurcholish Madjid tentang modernisasi dan rasionalisasi yang
semacam ini terkait erat dengan gagasannya tentang sekularisasi yang selanjutnya
desakralisasi.Pandangan Nurcholish ini dianggap telah berubah secara fundamental,
karena ia menganjurkan “sekularisasi”. Istilah yang dimunculkan ini menjadi sumber
kehebohan,sehingga Nurcholish dituduh telah merubah pahamnya menjadi sekularis.
Nurcholish tetap dengan prinsipnya, ijtihad tetapmerupakan suatu proses, dimana
kesalahan pengertian akan mengakibatkan buah yang pahit, yaitu kegagalan.
Sungguhpun demikian, itu masih ringan dari pada beban stagnasi akibat tidak adanya
pembaharuan.7
7
Ermagusti, Respons tokoh pemikir kontemporer Indonesia terhadap mocernisasi, Tajdid, Vol 18 No. 01 Juli
2015 hlm. 56
Daftar Pustaka