Anda di halaman 1dari 2

Pemikir Islam Kontemporer

Oleh:
Erpinayanti (19051140)
Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran

Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang


berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya
adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metode pemikiran baru dalam
menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Secara sepintas seakan-akan pemikiran Islam
kontemporer menghadapi krisis yang cukup akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnya
kebebasan berfikir. Wujud ekstrem dari itu semua adalah pengkafiran terhadap pemikiran
liberal yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi pemikiran Islam kontemporer, seperti
kasus pengkafiran terhadap Nashr Hamid Abu Zayd yang sekarang menetap di Belanda.
Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan berfikir, Muhammad Arkoun
mengangkat tradisi keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang mencerminkan
puncak kegemilangan dialog pemikiran yang konstruktif. Menurut Arkoun, pemikiran
Islam kontemporer seakan-akan sudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam tersebut.
Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer semakin meluas. Namun
secara umum gema tersebut masih dalam kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik.
Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat dengan masa keemasan para
pendahulunya, mereka membuka lembaran masa lalu, untuk menggali inspirasi. Masa lalu
adalah pemicu para intelektual muslim kontemporer untuk melakukan reaktualisasi,
rekonstruksi dan dekonstruksi. Murad Wahbah menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf
muslim kelahiran Maroko adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. Bahkan sampai saat
ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori komentar terhadap buku-buku
Aristoteles, sehingga ia dijuluki dengan al-syarih al-‘adham (komentator agung). Maka
dari itu, di akhir abad 20-an para intelektual Islam, baik di wilayah Timur maupun wilayah
Barat, mulai mengangkat khazanah rasionalitas Ibnu Rushd dalam rangka
membumitanahkan pencerahan pemikiran Islam. Lebih radikal dari pemikiran tersebut, Dr.
Athif Iraqi, Guru Besar Filsafat di Universitas Kairo menyatakan bahwa setelah wafatnya
Ibnu Rushd, maka berakhirlah masa filsafat Islam. Karena setelah itu pemikiran-pemikiran
filsafat tidak lagi lahir. Maka dari itu, menerawang pemikiran Islam klasik akan
menemukan percikan-percikan yang sangat bermakna dan menentukan bagi tumbuh-
kembangnya pemikiran Islam kontemporer.
Jadi dengan demikian, Islam kontemporer merupakan gerakan pemikiran Islam di
kalangan intelektual Islam dalam menafsirkan kembali pemikiran Islam klasik dengan
situasi modern. Para tokohnya kebanyakan adalah para intelektual Islam yang banyak
belajar di lembaga-lembaga pendidikan Barat maupun Eropa. Inti pemikirannya adalah
mengembalikan kejayaan dan keunggulan pemikiran para intelektual Islam klasik pada
abad modern, sehingga melahirkan Islam modern. Alasannya, karena pemikiran Islam
klasik sangat relevan dengan perkembangan peradaban modern. Sehingga, jika peradaban
Islam ingin berkembang dan maju di abad modern ini, maka pemikiran Islam harus
ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zamannya.
Salah satu pemikir dalam Islam kontemporer adalah Abdurrahman Wahid atau
yang akrab dipanggil Gus Dur, lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan
nama lengkap Abdurrahman ad-dakhil putra pertama KH. Wahid Hasyim. Ayahnya adalah
menteri agama pertama Indonesia yang juga merupakan putra tokoh pendiri Nahdlatl
ulama, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Waktu kecil, Gus Dur sudah mulai menghafal sebagian

1
isi Al-Quran dan banyak puisi dalam bahasa arab. Ia memulai pendidikannya di sekolah
rakyat, Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke SMEP di Giwangan Yogyakarta,
bersamaan dengan belajar bahasa Arab di Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta di
bawah bimbingan KH. Ali Maksum, mantan Rais Am PBNU, dengan bertempat tinggal di
rumah KH. Junaid, ulama tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun
pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh
karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga
hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua,
ikut berkiprah dalam wacana modernitas; dan ketiga, berupaya melakukan pencarian
jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam indonesia. Corak pemikiran Gus
Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap
khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan
kontekstualisasi.
Selain Gus Dur ada juga Nurcholis Madjid lahir di Mojo Anyar Jombang Jawa
Timur pada tanggal 17 maret 1939 (27 Muharram1358) dari kalangan keluarga santri. Nur
Cholis memulai pendidikannya dengan belajar di Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah
Pesantren Darul Ulum, kemudian melanjutkan ke KMII (Kuliyyatul Muallimin) Pondok
modern Gontor. Setelah selesai sekolah di Gontor, kemudian melanjutkan kuliyah di IAIN
Syarif Hidayatullah Fakultas Adab. Sebagai salah satu pemikir Islam kontemporer.
Beberapa karya Nurcholis Madjid yang berkaitan dengan pembaharuan pemikiran islam di
Indonesia yaitu, The Issue of Modernization Among Muslims Indonesia, What Is Modern
Indonesia 1974, Islami in Indonesia Callanges Opportunities, Islam in The Contemporary
World 1980, khazanah Intelektual Islam 1984, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.
Nur Cholis merumuskan modernisasi sebagai rasionalitas hal ini berarti proses
perombakan pola pikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaanya untuk memperoleh
efisiensi yang maksimal untul kebahagiaan umat manusia. Pendekatan yang digunakan
Nurkholis dalam memahami umat dan ajaran islam lebih bersifat cultural normative
sehingga ada kesan bahwa lebih mementingkan komunitas dan integralistik. Nur Cholis
Majid menekankan pentingnya diadakan pembaruan setelah melihat kondisi dan persoalan
yang dihadapi umat islam. Menurutnya pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan,
yuang mana satu dan lainnya sangat erat hubunganya. Yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai
tradisional dan mencari nilai baru yang berorientasi kemasa depan.

Anda mungkin juga menyukai