Anda di halaman 1dari 375

Kontributor:

• Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif


• Prof. Din Syamsuddin
• Prof. Syafi'i Maarif
• Prof. Dr. Zainun Kamal
• Prof. Dr. Nasarudin Umar
• Prof. Dr. Amany Lubis
• Prof. Dr. Hafizh Anshari
• Dr. Noorwahidah Haisy
• Prof. Dr. Ahmad Rofiq
• Prof. Dr. Najmuddin Zuhdi
• Dr. Abdul Moqsith Ghazali
• Dr. Media Zainul Bahri
• Dr. Cecep
• Dr. Mukhyar Sani
• Dr. Afifi Fauzi Abbas
• Dr. Sulaiman Abdullah
• Dr. Suryan Jamrah
SATU ISLAM, BANYAK JALAN
Corak Pemikiran Modern dalam Islam

Editor :
Dr. M. Amin Nurdin, MA.

Desain Cover:
Haitamy el Jaid

Tata Aksara
Dimaswids

Cetakan I. April 2020

Penerbit
Pustaka Pelajar
Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta
Telp. 0274 381542, Faks. 0274 383083
Email: pustakapelajar@yahoo.com

ISBN: 978-623-236-084-6

Kata Pengantar
KATA PENGANTAR

B uku ini merupakan kumpulan makalah yang di-


oleh para penulis yang banyak terlibat dalam pemikiran
tulis

Islam dan berasal dari berbagai univer- sitas Islam di


Indonesia. Buku ini juga merupakan buku
teks mata kuliah Pemikiran Modern dalam Islam (PMDI)
yang diajarkan di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta
sebagai mata kuliah dasar kefalkutasan.
Buku ini dirasa sangat penting karena dapat dijadikan
sebagai referensi dasar bagi mahasiswa dalam membuka
pintu cakrawala dunia pembaruan dalam dunia Islam. Buku
ini bukan saja menjelaskan sejarah munculnya pembaruan
Islam di dunia Islam disertai tokoh-tokohnya, tetapi juga
memaparkan isu-isu kontemporer seperti kontroversi sistem
politik Khilafah, Islam Wasathiyah (Islam Moderat), ideologi
Pancasila sebagai ijtihad ulama Indonesia, emansipasi
wanita, dan lain-lain.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


v
Saya mengucapkan terima kasih kepada para penulis
atas pemuatan tulisannya dalam buku ini, yaitu Prof.
Ahmad Syafii Maarif, Prof. Din Syamsuddin, Prof. Dr.
Zainun Kamal, Prof. Dr. Nasarudin Umar, Prof. Dr.
Amany Lubis, Prof. Dr. Hafizh Anshari, Dr. Noorwahidah
Haisy. Prof. Dr. Ahmad Rofiq, Prof. Dr. Najmuddin Zuhdi,
Dr. Abdul Moqsith Ghazali, Dr. Media Zainul Bahri, Dr.
Cecep, Dr. Mukhyar Sani, Dr. Afifi Fauzi Abbas, Dr.
Suryan Jamrah, dan Dr. Sulaiman Abdullah.
Semoga buku ini bermanfaat bagi mahasiswa dalam
mempelajari perkembangan pemikiran modern dalam
Islam baik di dunia Islam maupun di Indonesia sehingga
dengan segera mereka memiliki jawaban-jawaban dalam
melihat masalah kontemporer.



Kata Pengantar
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR — v
DAFTAR ISI — vii

BAB I
PENDAHULUAN — 1

BAB II
PEMBARUAN ISLAM PRA ZAMAN MODERN — 17
1 Pembaruan dalam Islam — 19
Muhammad Ibn Abd Al-Wahab dan Gerakan
Wahabiyah — 33
Ekspedisi Napoleon di Mesir: Ide-Ide Baru
dan Pengaruhnya — 43

BAB III
PEMBARUAN ISLAM PASKA ZAMAN
MODERN — 59

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


vii
Muhammad Ali: Usaha-Usaha Pembaruan — 61
Al-Tahtawi dan Ide-Ide Pembaruannya — 72
Jamaluddin Al-Afghani Ide-Ide
Pembaruan dan Kegiatan Politik — 83
Muhammad Abduh: Teologi Rasional dan Ide-Ide
Pembaruan — 104
Rasyid Ridha Dan Ide-Ide Pembaruannya — 122
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
(Perbandingan Antara Guru dan Murid) — 139

BAB IV
ISU-ISU GAGASAN NASIONALISME,
EMANSIPASI WANITA, KHILAFAH, NEO-
MODERNISME, ISLAM MODERAT, IJTIHAD
IDEOLOGI PANCASILA, ISLAM, DAN JARINGAN
ISLAM LIBERAL (JIL) — 153
Qasim Amin: Emansipasi Wanita — 155
Mustafa Kamil: Nasionalisme Mesir — 174
Ali Abd Raziq: Kontroversi Sistem Politik
Khilafah — 184
Neo-Modernisme Islam dan Islam di Indonesia:
Mempertimbangkan Fazlur Rahman — 201
Nurcholish Madjid: Arus Baru Islam
di Indonesia — 218
Wasatiyyat Islam untuk Peradaban Dunia:
Konsepsi dan Implementasi — 225
Islam Indonesia sebagai Poros Wasathiyah
Islam Dunia — 264
Tafsir Atas Islam Nusantara: (Dari Islamisasi
Nusantara Hingga Metodologi Islam

Daftar Isi
Nusantara) — 270
Jaringan Intelektual Muda Islam Liberal (Jil):
Ruh Hidup Dalam Jasad Kaku — 293

DAFTAR PUSTAKA — 343


INDEKS— 349
TENTANG EDITOR — 359

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


ix
Kata Pengantar
BAB I

PENDAHULUAN

“Kemajuan hanya dimengerti sejauh kemunduran


turut dimengerti.” (Adorno)

S ejarah Islam dalam periode modern dimulai sejak


M ditandai dengan munculnya gagasan-gagasan dan gerakan-
1800

gerakan pembaruan. Zaman ini disebut juga zaman kebangkitan


Islam, karena umat
Islam yang sebelumnya beku, statis dan jumud kini sadar
dan bangun kembali untuk mengejar ketinggalan dan
keterbelakangannya. Pada periode ini, negara-negara Islam
yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan penjajah,
mulai berusaha membebaskan diri dan membangun dirinya
sendiri menuju masa depan yang cerah dan lebih baik.
Usaha-usaha pembebasan diri tersebut menunjukkan hasil
yang gemilang pada abad ke-20 dengan merdekanya negara-
negara Islam satu persatu, sehingga di penghujung

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


1
abad ini dapat dikatakan bahwa tidak ada satu negara
Islam pun atau mayoritas penduduknya beragama Islam
pun yang masih terjajah.
Salah satu faktor yang terpenting yang membawa
kepada kebangkitan umat Islam dan lahirnya gerakan-
gerakan pembaruan adalah ekspedisi Napoleon ke Mesir
pada 1798-1801. Ekspedisi ini menyadarkan umat Islam
akan kelemahan dan kemunduran mereka dan membuka
mata umat Islam akan kemajuan yang dicapai oleh dunia
Barat (Nasution, 1985: 88). Di samping itu, Napoleon
datang ke Mesir tidak hanya sekadar menjajah, tetapi
juga membawa ide-ide baru yang ber-manfaat besar bagi
perkembangan Islam khususnya di Mesir.
Ide-ide baru tersebut menjadi cambuk bagi umat
Islam Mesir, terutama kaum intelektualnya, untuk
bangkit melakukan pembaruan dan memperbaiki
keadaan. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan
pembaruan ini bergema ke seluruh dunia Islam.
Sejarah modernisme dimulai dengan kebangkitan
ilmu pengetahun di dunia Barat dengan istilah renaisans.
Renaissance adalah kata Prancis yang berarti “kelahiran
kembali” atau “kebangkitan kembali”. Yaitu “kelahiran
kembali semangat Yunani dan Romawi dan kebangkitan
kembali belajar ilmiah”. Istilah Renaissance menunjukkan
suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang
merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam
kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber
yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Zaman
Renaissance juga berarti zaman yang menekankan otonomi
dan kedaulatan manusia dalam berpikir, meng-

Bab I — Pendahuluan
adakan eksplorasi, eksperimen, mengembangkan seni,
sastra, dan ilmu pengetahuan di Eropa.
Manifestasi renaisans terlihat dalam beberapa hal,
antara lain:
Gerakan Humanisme, yaitu mencari nilai-nilai
kemanusiaan dengan menerjemahkan sumber-
sumber Yunani dan Romawi, kontras dengan
tradisi skolastisisme dan otoritas religius.
Penolakan tradisi Aristotelian Abad Pertengahan
dan kebangkitan Platonisme.
Terbuka kepada ilmu-ilmu yang baru mulai
terbentuk.
Ketidakpuasan pada kemapanan yang mengarah
kepada Reformasi Protestan.
Periode modern di Barat (Eropa) dimulai sejak abad
ke-17 sampai sekarang, yang didominasi oleh sains. Abad
modern, menurut Bertrand Russel, ditandai dua hal:
melemahnya otoritas gereja dan meningkatnya otoritas
sains. Pada zaman modern, sektor budaya lebih dikuasai
orang awam ketimbang para pemuka agama. Negara
menggantikan gereja dalam bidang kepemerintahan.
Menurut Marshall Hodgson, hakikat Abad Modern
adalah “Teknikalisme” dengan tuntutan efisiensi kerja yang
tinggi, yang diterapkan kepada semua bidang kehidupan.
Karena itu, Abad Modern lebih tepat disebut Abad Teknik.
Teknikalisme mendorong timbulnya Revolusi Industri di
Inggris, sedangkan implikasi kemanusiaannya timbul dalam
bentuk Revolusi Prancis pada abad ke-18. Kedua revolusi ini
menjadi tonggak kemodernan, tetapi aspek kemanusiaan
Revolusi Prancis, dengan slogan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


3
“kebebasan, persamaan, persaudaraan” lebih berperan
dalam meletakkan dasar-dasar Abad Modern.
Kontak Islam dengan Dunia Barat-Kristen sudah
dimulai sejak awal abad ke-8 M. Kontak ini semakin intensif
melalui Perang Salib selama dua abad (1095-1291). Ketika
Dunia Islam dalam kegemilangan, Dunia Barat-Kristen
sedang dalam “Abad Kegelapan”. Maka, banyak pelajar
Kristen yang belajar di universitas-universitas di Dunia
Islam, khususnya di Andalusia (Spanyol). Selain di
Andalusia, pada masa kejayaan Dinasti Turki Ustmani di
bawah kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520-
1566 M) wilayah kekuasaannya mencakup Asia Kecil,
Armenia, Irak, Syria, dan Hijaz di Asia; Mesir, Libia, Tunisia,
dan Aljazair di Afrika; Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania,
Hongaria dan Rumania di Eropa.
Terlepasnya wilayah-wilayah kekuasaan Turki Ustmani
di Eropa Timur pada abad ke-18 dan keberhasilan ekspedisi
Napoleon di Mesir pada 1798 menyadarkan masyarakat
muslim bahwa mereka telah tertinggal dari Barat (Eropa) di
bidang militer dan ilmu pengetahuan. Kesadaran tersebut
memicu para penguasa dan intelektual-ulama di negeri
muslim bangkit melakukan pembaruan. Banyak istilah yang
digunakan terkait dengan pembaruan dalam Islam, antara
lain, tajdid, islah, reformasi, ashriyah, modernisasi,
revivalisasi, dan resurgensi.
Tajdid sering diartikan sebagai islah dan reformasi
yang berarti menghidupkan dan membangkitkan kembali
ilmu dan amal sebagaimana yang dikandung dalam al-
Qur’an dan Sunnah. Istilah modernisasi atau ashriyah
berarti menyesuaikan kembali paham-paham lama atau

Bab I — Pendahuluan
adat istiadat dan institusi-institusi lama yang tidak sesuai
lagi dengan semangat perkembangan sains dan teknologi
modern. Istilah revivalisasi dan resurgensi atau renaisans
berarti tegak kembali atau bangkit kembali. Revivalisasi
berbeda dengan resurgensi. Revivalisasi berarti bangkit
kembali, tetapi berorientasi ke masa lampau, sedangkan
resurgensi lebih berorientasi ke masa depan.
Mengapa Islam maju di zaman klasik. Hal ini dapat
kita lihat dari beberapa sebab, yaitu a. Penghargaan
terhadap kedudukan akal, b. Menganut paham
kebebasan manusia dalam kemauan dan menciptakan
perbuatan (free will), c. Kebebasan berpikir, hanya terikat
pada al-Qur’an dan Sunnah, d. Percaya pada sunnatullah
atau hukum kausalitas, e. Mengambil arti metaforis dari
teks wahyu, f. Dinamis dan kreatif dalam sikap berpikir.
Respons ulama-ulama besar pada abad ke-19 dan
awal abad ke-20, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Amir
Ali (India), Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh
(Mesir), dan Namik Kemal (Turki) sangat antusias dengan
pembaruan Islam dan berpendapat bahwa strategi
pembaruan dalam Islam, yaitu penggalakan sains dan
penanaman semangat ilmiah seperti yang terjadi di Barat.
Padahal, di antara kelima intelektual tersebut hanya
Namik Kemal saja, dari 1867 sampai 1871, yang benar-
benar pernah belajar di Barat (Eropa).
Kelima tokoh pembaruan tersebut berpandangan:
Suburnya perkembangan sains dan semangat ilmiah
di kalangan umat Islam abad ke-9 dan ke-10 adalah
buah dari usaha memenuhi tuntunan al-Qur’an agar
manusia mengkaji alam semesta.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


5
Bahwa pada Abad Pertengahan semangat
penyelidikan ilmiah di Dunia Islam telah merosot.
Barat telah menggalakkan kajian ilmiah yang
sebagian besar merupakan pinjaman dari kaum
muslim, dan karena itu memperoleh kemakmuran,
bahkan men- jajah negeri-negeri Muslim.
Karena itu, kaum muslim dalam mempelajari kem- bali
sains dari Barat yang telah berkembang, berarti
menemukan kembali masa lalu mereka dan memenuhi
kembali perintah al-Qur’an yang selama ini terabaikan.

PEMBARUAN ISLAM DI INDONESIA


Ada dua teori tentang akar pembaruan Islam, namun
belum ada kesepakatan di antara para sarjana Islam
Indonesia. Teori pertama, sudah lazim diketahui, bahwa
pembaruan Islam di Indonesia dimulai saat awal abad ke-
20 atau menjelang akhir abad ke-19 dengan munculnya
lembaga pendidikan modern, tokoh-tokoh-tokoh pembaru
dengan lembaga agama seperti Muhammadiyah yang
lebih modernis, dan NU lebih tradisionalis, Sarekat
Dagang Islam (SDI) dan lain-lain. Namun belakangan,
ada teori kedua yang berpendapat, seperti yang ditulis
Azyumardi Azra, pembaruan Islam di Indonesia dimulai
pada abad ke-17 dengan adanya jaringan ulama di
Haramayn dan Mesir, kemudian- menyebarkan ide
pembaruan mereka melalui murid-muridnya.
Hal ini tentu saja memberikan dampak yang serius
terhadap wacana pembaruan, terutama mengenai sejarah
intelektual Islam di Indonesia. Jika kita sepakat pembaruan
pemikiran Islam muncul pada pendapat pertama, maka

Bab I — Pendahuluan
data-data sejarah intelektual Islam pada abad
sebelumnya hanya menjadi “penggembira” dalam kajian
intelektual Islam.
Sebaliknya, jika kita mulai dengan pendapat kedua,
maka tugas kita selanjutnya adalah menulis kontinuitas
sejarah Intelektual Islam setelah abad tersebut. Yang
diambil oleh para pionir pembaru di Indonesia adalah
semangat dan model pembaruan melalui pengembangan
pikiran tokoh dan media surat kabar (jurnal). Dalam
konteks ini, pembaruan masih sebatas menghadang arus
kolonialisme, Kristenisasi yang dijalankan para penjajah,
dan “pembetulan” perilaku ibadah umat Islam yang telah
“terjerat” Taklid, Bid’ah dan Khurafat.
Misi pembaruan ini tentu saja tidak bertahan lama,
sebab menjelang kemerdekaan dan pasca kemerdekaan,
energi tokoh Islam lebih “terkuras” dalam perdebatan dasar
negara, hubungan agama dan negara, dan arah politik
Indonesia yang sedikit banyak telah “dikuasai” oleh
kelompok nasionalis sekular. Bahkan, menjelang kerun-
tuhan era Orde Lama, pemikiran Islam sangat sulit sekali
dikembangkan, sebab perhatian bangsa ini masih tertuju
pada bagaimana “mencuci piring” akibat ulah PKI.
Pemikiran Islam baru berkembang pada era 1970-an.
M. Dawam Rahardjo dalam bukunya, Intelektual Inteli-
gensia dan Perilaku Politik Bangsa, menuturkan bahwa
faktor objektif yang menghadirkan gejala kecendekiawanan-
Muslim adalah aktivitas pemikiran dan gejolak pemikiran di
sekitar paham pembaruan oleh kalangan muda di tahun
1970-an yang dimotori oleh Nurcholish Madjid. Kelompok
muda menginginkan agar umat Islam tidak lagi mengingat

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


7
memori tentang kekuatan politik umat Islam pada era
Orde Lama. Karena itu, mereka menginginkan agar
perjuangan umat Islam lebih diarahkan kepada substansi
ajaran Islam melalui pemodernan pemahaman Islam.
Kehadiran intelektual saat itu, merupakan respon
terhadap isu pembangunanisme (modernisasi) oleh
pemerintah Orde Baru yang menutup kekuatan politik
Islam dengan menggeser ideologi politik yang bersifat pri-
modialisme.
Hal ini menyadarkan kelompok muda Islam, agar
ideologi politik Islam tidak perlu lagi digembar-
gemborkan, sebagaimana digelorakan kelompok tua yang
merasa dirugikan oleh pemerintah Orde Lama.
Respon pikiran generasi muda era 1970 terhadap Orde
Baru telah mendapat tempat yang layak dalam studi
pemikiran Islam di Indonesia. Implikasi dari pemikiran
tersebut ternyata telah mengubah kebijakan pemerintah
Orde Baru terhadap umat Islam. Misalnya, bentuk
kebijakan yang bersifat akomodatif. Bahtiar Effendy
memaparkan bahwa tanggapan akomodatif negara ini dapat
terlihat dalam empat bidang, yaitu akomodasi struktural,
legislatif, infrastruktural, dan kultural.
Dalam bidang struktural, bentuk akomodasi yang
paling mencolok adalah direkrutnya para pemikir dan
aktivis Islam politik generasi baru ke dalam lembaga-
lembaga eksekutif. Akomodasi legislatif dapat dilihat dari
produk undang-undang atau peraturan yang agak
“berpihak” kepada Islam.
Akomodasi infrastruktural adalah dibangunnya
beberapa bangunan sebagai “proyek keagamaan” dan

Bab I — Pendahuluan
adanya pengakuan pemerintah terhadap keberadaan
Bank Muamalat Indonesia pada 1991.
Terakhir, akomodasi kultural di mana para pejabat
sudah mulai memakai idiom-idiom Islam dalam acara
kenegaraan.

PERAN KAMPUS IAIN JAKARTA


Kancah intelektual Islam pada era 1970-an juga
dipicu oleh figur Harun Nasution yang mencoba
“membumikan” pemikiran Mu’tazilah di Indonesia.
Kendati pada awalnya, ditentang oleh banyak kalangan,
namun upaya Harun Nasution melalui IAIN Jakarta telah
banyak menghasilkan sarjana pemikiran Islam pada era
1980-an dan 1990-an. Peran sentral Harun dalam
membuka diskursus pemikiran Islam di Indonesia cukup
terasa impaknya bagi generasi berikut.
Tokoh berjasa lain dalam menelurkan pemikir muda
pada era 1970-an adalah Mukti Ali. Melalui diskusi
Limited Group di Yogyakarta, tidak sedikit para pemikir
muda ikut andil di dalamnya. Karena itu, sampai
sekarang, peran Mukti Ali, sebagai sebagai penggagas
studi Perbandingan Agama di IAIN-- sekarang Studi
Agama-agama (SAA), juga sebagai pendobrak semangat
kelompok muda di Yogyakarta, seperti Ahmad Wahib
(alm), M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan lain-lain.
Peran organisasi, lembaga, atau yayasan menjadi
“kendaraan” sekaligus menjadi “transmitter” pembaruan
bagi generasi di era 1990-an. Ada beberapa “kendaraan”
yang menjadi “lokomotif” gerakan pemikiran pada era 1980-
an. Pertama, Yayasan Paramadina. Yayasan ini merupakan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


9
salah satu “kendaraan” yang mengusung pemikiran Cak
Nur secara independen. Kedua, LSAF (Lembaga Studi
Agama dan Filsafat). Lembaga ini memang amat berjasa
dalam menyosialisasikan pikiran pembaruan pemikiran
Islam pada era 1980-an melalui berbagai kegiatan ilmiah,
yang dipimpin M. Dawam Rahardjo.

PEMBARUAN ISLAM SEBAGAI


ANTITESIS “DEGENERASI UMAT”
Kajian Pembaruan dalam Islam di atas, seakan
menimbulkan pertanyaan, apakah pembaruan yang
dilakukan itu menyangkut “degenerasi umat Islam” dalam
hal pemahaman keagamaannya, baik yang terpatri secara
primordial maupun yang sudah berkoloborasi dengan hal-
hal pemahaman yang berlatar belakang sosial politik
kehidupannya. Sejarah mencatat bahwa periode awal umat
Islam, yaitu pada masa Nabi Muhammad disebut sebagai
periode formalistik di mana ajaran-ajarannya yang
menyangkut seluruh kehidupan umat Islam merujuk
kepada nabi Muhammad dan kitab suci al-Qur’an yang
kemudian mengalami kristalisasi dalam bentuk yang
komprehensif dan universal; sedangkan periode dua abad
pasca Nabi merupakan periode alternatif di mana ajaran-
ajarannya bercampur baur dengan pemikiran filsafat Yunani
dan ajaran sufistik (Lapidus, 2000: 32).
Sepanjang pergaulan ajaran-ajaran Islam dalam pang-
gung sejarah dunia, sejauh ini ia dimengerti dan dipahami
oleh para penganutnya banyak mengalami- perubahan yang
cukup signifikan baik dalam tataran akidah –hubungan
manusia dengan Tuhan- maupun tatar-an mashlahatul

Bab I — Pendahuluan
fiqhiyah –hubungan manusia dengan sesamanya.
Perubahan-perubahan tersebut disinyalir sebagai
suatu gerakan pembaruan atau reformasi yang
mengubah dan merombak tatanan atau tradisi yang
dianggap oleh umat Islam sebagai pengekangan
kebebasan ekspresi, sehingga menimbulkan “degenerasi
umat”. Gerakan-gerakan pembaruan itu muncul secara
mencolok ter- utama pada masa imperium dinasti
Umayyah, di kala umat Islam mengubah bentuk
pemerintahan menjadi otokrasi yang dirasakan oleh umat
terlalu opresif sehingga melahirkan berbagai macam aksi
dan protes sosial yang dilakukan sesama umat. Salah
satu gerakan ketika itu adalah gerakan sufisme yang
mencoba membawa manusia menuju kedalaman spiritual
(Donohue dan Esposito, 1999: 7)
Gerakan sufisme ini boleh dikatakan sebagai reak- si
terhadap penafsiran dan pemahaman keIslaman yang
menekankan aspek hukum yang begitu totalitas
terhadap- kehidupan. Padahal hukum itu hanya
mengarah kepada aspek eksternal manusia, sehingga
mereka meragukan validitas pemahaman ke-Islaman
tersebut yang dikem- bangkan oleh para fuqoha atau
para ahli hukum (Donohue dan Esposito, 1999: 8)
Bagi mereka Islam bukan hanya sejumlah aturan
hukum atau dokrin yang sudah dikebiri menjadi sebuah
sistem politik yang memberikan kekuatan justifikasi-
terhadap keberadaan elitisme, nepotisme, dan eksploitasi
sehingga memberikan bias bagi dekadensi moral umat, baik
secara pribadi maupun golongan. Untuk itu penekanan
terhadap aspek internal manusia, yaitu aspek spiritual

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


11
adalah merupakan alternatif yang akan memberikan
dimensi moral ketuhanan sehingga umat Islam selalu
bertendensi ke arah Tuhan dan dapat
meng-aplikasikannya di dalam kehidupan.
Seiring perjalanannya, sufisme juga mengkristal di
dalam umat Islam ketika itu, sehingga umat Islam me-
lupakan kehidupan dunia konkret untuk berbaur
terhadap kehidupan sosial, dan terlalu cenderung kepada
hal-hal yang sifatnya asketik dan esoterik, maka umat
Islam mengalami degenerasi ilmu pengetahuan dan
teknologi dibandingkan dengan dunia Barat, yang ketika
itu dapat membebaskan dirinya dari belenggu gereja –
dimulai sejak renaisans Itali. Dan juga sufisme dalam
penyebarannya ke seluruh dunia bercampur baur dengan
budaya-budaya lokal, sehingga memunculkan budaya
baru dalam Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, modern berarti “terbaru”, “mutakhir”, “sikap
dan cara berpikir serta ber- tindak sesuai dengan
tuntutan zaman”. Modernisasi berarti proses pergeseran
sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk
bisa sesuai dengan tuntutan masa kini. Kata modern,
modernisasi, dan modernisme berasal- dari Dunia Barat
(Eropa). Modernisme sebagai paham dan gerakan di
Dunia Barat tidak lepas dari gerakan Renaissance pada
abad ke-14 sampai abad ke-16 di Italia dan Prancis.
Maka dalam suasana stagnasi ketauhidan tersebut,
muncullah seorang pembaru Islam pada masa peralihan
abad ke-13 ke abad ke-14, yaitu Ibn Taimiyah yang meng-
kritik sufisme akan ajaran-ajarannya yang dianggap
menimbulkan permasalahan akidah. Ia juga mengkritik

Bab I — Pendahuluan
fuqaha-fuqaha salaf yang telah mentotalisasikan hukum
Islam pada hal permasalahan umat Islam yang begitu
kompleks dan memerlukan formulasi-formulasi baru guna
menyelesaikan permasalahan umat yang dihadapinya.
Revitalisasi pemahaman keagamaan umat Islam hanya
dapat dilakukan dengan membuka kembali pintu ijtihad,
dengan merujuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah dan juga menarik suatu benang merah antara
keadilan sosial dengan kehidupan pribadi umat melalui
penekanan bahwa manusia dengan segala tugasnya meru-
pakan makhluk sosial yang mengembangkan kewajib-an
kolektif untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
Dari perjalanan historis pemahaman keagamaan di
atas dapatlah diketahui bahwa suatu gerakan pem-
baruan muncul sebagai anti-tesa dari “degenerasi umat
Islam” dengan memberikan suatu sintesis baru yang
dianggap memberikan jawaban dan alternatif guna ke-
sinambungan kehidupan umat Islam baik dalam aspek
sosial dan politik. John L Esposito dalam Bukunya Dina-
mika Kebangunan Islam, mengatakan bahwa tradisi
pembaruan dalam Islam merupakan gaya dan cara
khusus dalam mengungkapkan keyakinan, terutama
mengenai kehidupan penganut komunitas masyarakat
muslim. Dan dalam kesinambungan revitalisasi tersebut
terejawantahkan dalam suatu proses, yaitu pertama,
seruan untuk kembali kepada atau penerapan ketat al-
Qur’an dan Hadis, kedua, penegasan akan hak untuk
mengadakan analisis mandiri (ijtihad), ketiga, penegasan
kembali keaslian dan keunikan pemahaman al-Qur’an
yang berbeda-beda dengan cara sintesis dan keterbukaan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


13
pada tradisi Islam lainnya (Esposito, 2001: 26). Penelitian
buku teks pembaruan pemikiran Islam
bertujuan agar mahasiswa menangkap roh dan jiwa ajaran
Islam yang cocok di segala tempat dan waktu. Untuk itu
perlu penafsiran ulang dan penyegaran terhadap ajaran
Islam melalui pemahaman sejarah biografi tokoh-tokoh
pembaru Islam dan apa saja isi pesan pembaruan yang
mereka sampaikan ke tengah masyarakat. Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan ujung
tombak pusat pembaruan pemikiran Islam di Indonesia
mempunyai tugas untuk mengembangkan ide-ide segar
sebagai refleksi ajaran Islam dalam memecahkan persoala-
persoalan baru yang dihadapi masyarakat Indonesia
sehingga dapat memperoleh solusi yang terbaik.
Penelitian buku ini berdasarkan kumpulan makalah
yang dibuat oleh para sarjana Islam yang telah mengasuh
mata kuliah yang berkaitan dengan perkembangan
pemikiran modern dalam Islam dengan tokoh-tokoh
pembarunya baik di tingkat dunia maupun di Indonesia.
Setelah makalah dikumpulkan lalu diklasifikasi sesuai
dengan masing-masing tema secara sistematis sehingga
kronologi alur pemikiran isi pembaruan dapat tergambar
secara historis. Dengan demikian, penulisan buku ini
lebih bersifat historis dan teologis. Adapun para penulis
makalah dalam buku ini berasal dari berbagai universitas
Islam di Indonesia.
Berikut nama-nama penulisnya dan judul makalahnya:
Wasatiyyat Islam Untuk Peradaban Dunia: Konsep
dan Implementasi ditulis oleh yaitu Prof. Dr. Din
Syamsuddin.

Bab I — Pendahuluan
Prof. Syafi’i Maarif
Muhammad Abd Wahhab dan Gerakan Wahabiyah
ditulis oleh Prof. Dr. Zainun Kamal
Al-Tahtawi: Ide dan Pembaruannya ditulis oleh Prof.
Dr. Amany Lubis
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional ditulis oleh
Prof. Dr. Ahmad Rofiq
Abduh dan Ridha: Perbedaan antar Murid dan Guru
ditulis oleh Prof. Dr. Nasarudin Umar
Jamaluddin al-Afghani: Ide-ide Pembaruan dan
Kegiatan Politik ditulis oleh Prof. H.A. Hafizh Anshari,
Ali Abd Raziq: Kontroversi Sistem Politik Khilafah
ditulis oleh Prof. Dr. Najmudin Zuhdi
9. Islam Indonesia sebagai Poros Wasathiyah Islam
Dunia ditulis oleh Dr. M. Amin Nurdin
Nurcholish Majid: Sekularisasi dan Politik Agama
ditulis oleh Dr. M. Amin Nurdin, MA
Ekspedisi Napoleon di Mesir dan Ide-ide yang Dibawa
ditulis oleh Dr. Noorwahidah Haisy
Rasyid Ridha: Ide-ide Pembaruannya ditulis oleh Dr.
Cecep
Qasim Amin: Emansipasi Wanita ditulis oleh Dr.
Sulaiman Abdullah
Mustafa Kamil: Nasionalisme Mesir ditulis oleh Dr.
Afifi Fauzi Abbas
Muhammad Ali: Usaha-usaha Pembaruannya ditulis
oleh Dr. Mukhyar Sani
Pembaruan Islam ditulis oleh Dr. Suryan Jamrah
Islam Nusantara ditulis oleh Dr. Abdul Moqsith
Ghazali.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


15
Jaringan Intelektual Muda Islam Liberal Indonesia
(JIL) ditulis oleh Dr. Media Zainul Bahri

Sistematika penelitian buku ini terdiri dari empat bab,


masing-masing mempunyai subbab yang menggambarkan
isi bab yang dibahas. Berikut ini sistematika penelitian
buku teks pemikiran modern dalam Islam.
Buku ini berisikan kata pengantar dan daftar isi. Bab I
berisikan pendahuluan dengan alasan pemilihan judul
penelitian dan kenapa perlu dilakukan penelitian. Bab II
berisikan makna pembaruan secara luas dan sebab-sebab
terjadinya pembaruan serta tokoh-tokohnya sebelum pra-
modern yang dimulai sejak abad ke-14 hingga abad ke-18
dengan ditandai datangnya ekspedisi Napoleon ke Mesir
yang menginspirasi munculnya pembaru-pembaru muslim
di dunia Arab. Bab III berisikan sejarah tokoh-tokoh
pembaru Islam di masa pasca modern disertai ide-ide
mereka yang kemudian banyak memengaruhi dunia Islam,
termasuk Indonesia. Bab IV berisikan gagasan tokoh-tokoh
pembaru menyangkut isu-isu yang sangat relevan dengan
dunia modern, seperti sistem politik Khilafah, emansipasi
wanita, Islam wasathiyah (Islam Moderat), dan ideologi
Pancasila sebagai ijtihad ulama-ulama Indonesia.



Bab I — Pendahuluan
BAB II

PEMBARUAN ISLAM PRA


ZAMAN MODERN

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


17
ᜀĀᜀĀᜀĀᜀĀᜀĀᜀĀᜀĀᜀ̀ĀȀ⸀ ĀᜀĀᜀĀᜀĀᜀĀᜀĀᜀĀᜀĀᜀ Bab II — Pembaruan Islam
Pra Zaman Modern
1
PEMBARUAN DALAM ISLAM
Oleh Suryan Jamrah

A. PENDAHULUAN

M emasuki abad ke-17 dan ke-18 dunia Islam semakin


bertambah mundur ditandai dengan terpukulnya tiga kerajaan
besar Islam yang tersisa, yaitu Kerajaan Turki Ustmani
mengalami kekalah-
an berkali-kali oleh Eropa, demikian pula Kerajaan Safawi
dan Mughal yang berada di Persia dan India bernasib sama.
Sementara itu, dunia Barat semakin maju, baik dalam
bidang pemikiran dan dinamika intelektual maupun dalam
bidang teknologi. Karena itu, mereka berusaha- menguasai
dunia Islam yang sedang lemah yang disebabkan oleh
problema religio-politico yang tidak stabil. Dari sinilah mulai
muncul penjajahan terhadap dunia Islam.
Walaupun begitu, hakikat dan semangat ajaran Islam
tidaklah berarti padam; ia bagaikan nyala api yang tidak

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


19
putus menghangatkan intelektual dan perjuangan. Nyala
dan cahaya al-Qur’an itu tetap hidup membakar semangat
para ulama untuk keluar dari problema yang dihadapi umat
dengan cara melakukan penyegaran dan pembaruan
terhadap ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan
zaman. Tajdid atau pembaruan tersebut dirintis oleh Ibn
Taimiyah setelah melihat kevacuman selama berabad-abad
dalam bidang akidah dan intelektual.
Rintisan awal Ibn Taimiyah mengilhami para pembaru
pada abad ke-18 sampai abad ke-20 ini, seperti Muhammad
bin Abd Wahab, Jamaluddin al-Afghani, Abduh, dan lain-
lainnya, sesuai dengan berbagai bidang dan garapan
masing-masing di mana mereka berada. Dari kalangan
mereka ada yang disebut mujaddid, ada yang disebut
muslih, ada juga yang disebut reformer, modernis, dan lain
sebagainya. Gerakan-gerakan pembaru inilah yang
selanjutnya menumbuhkan kembali dinamika intelektual
kaum muslimin dengan cara membersihkan agama dari
subversi syirk, kurafat dan bid’ah dengan mengadopsi
pemahaman dan metodologi baru yang dikembangkan oleh
orang-orang Barat setelah umat Islam mengadakan kontak
dengan dunia Barat sehingga umat Islam tersadar akan
kemundurannya (Nasution, 2010: 32).

ARTI PEMBARUAN DALAM ISLAM


Banyak sekali istilah yang digunakan para penulis yang
dalam bahasa Indonesia berkonotasi pembaruan, seperti
tajdid, Islah, reformasi, asriyah, modernisasi, revi- valisasi,
resursensi (resurgensce), reasersi (reassertion), dan
renaisans. Istilah-istilah tersebut muncul bukan sekadar

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


perbedaan semantik belaka, akan tetapi juga dapat
dilihat dari isi pembaruan itu sendiri.

Tajdid, Islah, dan Reformasi


Tajdid sering diartikan sebagai islah dan reformasi;
karena itu gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan
islah, dan gerakan reformasi. Tajdid menurut bahasa al-
I’adah wa Al- Ihya’, mengembalikan dan menghidupkan.
Tajdid al-din, berarti mengembalikannya kepada apa yang
pernah ada pada masa salaf, generasi muslim awal.
Tajdid al-din menurut istilah ialah menghidupkan dan
membangkitkan ilmu dan amal yang telah dijelaskan oleh
al-Qur’an dan Sunnah. Tajdid mencakup penyebaran
ilmu, pemecahan solusi secara Islam terhadap problema
yang muncul dalam kehidupan manusia dan menentang
segala yang bid’ah. Tajdid dapat diartikan pula—
sebagaimana diuraikan ulama salaf-- menghidupkan
kembali ajaran salafus saleh, memelihara nash-nash, dan
meletakkan kaidah-kaidah yang disusun untuknya serta
meletakkan metode yang benar untuk memahami nash
tersebut dalam mengambil makna yang benar yang
sudah diberikan oleh ulama (Sa’ud, 1984: 25-30).
Dari definisi di atas tampak, bahwa tajdid mendorong
umat Islam agar kembali kepada al-Qur’an dan sunnah
serta mengembangkan ijtihad. Tajdid seperti ini pula yang
dikatakan sebagai islah atau reformasi dalam Islam. Istilah
reformasi itu sendiri, berdasarkan sejarahnya, muncul
akibat modernisasi; sedangkan puritan muncul sebagai
reaksi atas reformasi. Reformasi adalah vis a vis
modernisasi. Reformasi lahir akibat adanya penyimpangan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


21
agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya se-
kularisme modern (Eliade, 1987: 244).

Asriyah dan Modernisasi


Istilah Modernisasi atau Asriyah dalam bahasa Arab
diberikan oleh kaum Orientalis terhadap gerakan Islam
tanpa membedakan isi gerakan itu sendiri (Atjeh, 1970:
6). Modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung
arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk
mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-
institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan
suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Tatkala umat Islam
melakukan kontak dengan Barat, maka modernisasi dari
Barat membawa kepada ide-ide baru ke dunia Islam,
seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan lain
sebagainya (Nasution, 1982: 11).
Penyesuaian ajaran seperti di atas disebut modern
karena dalam sejarah agama Katholik dan Protestan berarti
penyesuaian diri dengan ilmu pengetahuan dan filsafat
modern. Sayangnya, modernisasi di Barat akhirnya
membawa sekularisasi. Kata ’modern’ bisa juga membawa
dampak negatif terhadap pemahaman agama bila tidak
disertai filter-filter tertentu untuk menyaringnya, sebagai-
mana yang terjadi di Barat. Untuk itu, Harun Nasution tidak
begitu sreg menggunakan kata modern; sebagai gantinya
dipilih kata pembaruan.

Revivalisasi, Resurgensi, Renaisans, Reasersi


Semua peristilahan di atas mengandung arti tegak

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


kembali atau bangkit kembali. Istilah revivalisasi pada
dasarnya banyak sekali digunakan oleh para penulis.
Fazlurrahman, misalnya, menggunakan istilah ini,
bahkan ia membaginya kepada dua bagian yaitu revivalis
pra-modern dan revivalis Neo-modernis (Nasution dan
Azra, 1985: 70-71).
Penulis lain mengungkapkan kebangkitan kembali
dengan istilah resurgence. Chandra Muzaffar yang menge-
mukakan istilah ini dalam tulisannya Resurgence: A Global
View, menyatakan bahwa adanya perbedaan antara istilah
revivalis dengan resurgence. Resurgence adalah tindakan
bangkit kembali yang di dalamnya mengandung unsur (a)
kebangkitan yang datang dari dalam Islam sendiri dan Islam
dianggap penting karena dianggap mendapatkan kembali
prestisenya; (b) Ia kembali kepada masa jayanya yang lalu
yang pernah terjadi sebelumnya; (c) bangkit kembali untuk
menghadapi tantangan, bahkan ancaman dari mereka yang
berpengalaman lain (Nasution dan Azra, 1985: 70-71).

Revivalisme juga berarti bangkit kembali, tetapi kem-


bali ke masa lampau, bahkan keinginan untuk meng-
hidupkan kembali yang sudah usang. Renaisans berarti
sebuah gerakan pembaruan yang mereformasi ajaran-ajaran
agama yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
Renaisans dalam Islam bisa juga berarti tajdid. Karena itu,
barangkali, mengapa banyak penulis meng- gunakan
renaisans dalam menerangkan tajdid atau pembaruan
dalam Islam (Nasr, 1983: 203-206). Fazlur Rahman,
misalnya dalam bukunya Islam: Challenges and
Opportunities, menulis tentang renaisans Islam. Istilah

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


23
ini digunakan pula oleh editor buku A History Of Islamic
Philosophy, M.M. Sharif, tatkala menerangkan tokoh-
tokoh pembaruan dunia Islam, seperti Muhammad ibn
Abd al-Wahab Muhammad Abduh, dan yang lainnya di
bawah judul Modern Renaissans (Sharif, 1966: 146).
Sementara itu reassertion berarti tegak kembali, tetapi
tidak mengandung tantangan terhadap sosial yang ada.
Para ahli bukan hanya sekadar berbeda pendapat
dalam hal istilah yang digunakan, akan tetapi dalam makna
dan isi pembaruan itu sendiri. Itulah sebabnya, orang sering
mengatakan bahwa istilah pembaruan dalam Islam masih
merupakan hal yang kontroversial. Dan itu pula sebabnya,
mengapa Harun Nasution tidak banyak menggunakan
istilah-istilah tersebut, kecuali mengguna- kan istilah
pembaruan- dan tajdid. Karena yang penting adalah isi dan
tujuan dari pembaruan itu sendiri kembali kepada ajaran-
ajaran dasar dan memelihara ijtihad.

C. SEBAB TERJADINYA PEMBARUAN


Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya pem-
baruan dalam Islam, yaitu dorongan ajaran Islam itu
sendiri dan akibat adanya asimilasi dengan kebudayaan
baru, baik yang bersifat lokal, regional maupun inter-
nasional, khususnya dengan Barat.
Mengenal sebab pertama, banyak ayat al-Qur’an dan
Hadis Rasul yang menerangkan tentang penelitian ilmiah
dan perlunya memelihara ajaran Islam sesuai dengan al-
Qur’an dan sunnah. Salah satu hadis yang mene­rangkan
perlunya tajdid adalah sabda nabi yang berbunyi:
”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


umat ini, setiap penghujung seratus tahun, orang yang
memperbarui agamanya” (Daud, 1952: 424).
Hadis ini menerangkan secara eksplisit, bahwa
adanya mujaddid, reformer, juru islah, dan mujahid akan
selalu muncul pada setiap awal atau penghujung seratus
tahun (abad). Ini artinya pada setiap generasi akan ada
seorang Mujaddid.
Berkaitan dengan sebab pertama ini, umat Islam
pada setiap generasi dan tempat tertentu akan
menghadapi persoalan yang berbeda; umat selalu
berkembang, tantangan zaman semakin kompleks.
Di kalangan umat Islam, mujaddid pertama yang
mun- cul adalah Ibn Taimiyah. Di masa hidupnya ia
melihat umat banyak yang melakukan penyelewengan
dalam agama sehingga mengakibatkan akidah, ibadah,
muamalah, dan akhlak menjadi rusak, seperti syirik,
khurafat, dan bid’ah; taklid merajalela dan ijtihad
dianggap haram. Apa yang dialami oleh Ibn Taimiyah,
dialami pula oleh Muhammad bin Abd al-Wahab. Semasa
mereka hidup, politik dunia Islam sedang kacau akibat
serbuan tentara Mongol di satu pihak dan penetrasi
Barat ke dunia Islam di pihak lainnya. Pembaruan yang
muncul setelah Muhammad bin Abdul al-Wahab sebagai
akibat penetrasi Barat modern ke dunia Islam.
Tekanan dari masing-masing pembaruan berbeda, dari
satu generasi ke generasi yang lain, dan juga dari satu
tempat ke tempat yang lainnya. Namun para pembaru itu
mempunyai tujuan yang sama, yaitu memurnikan ajaran
Islam dan atau membangkitkan nama baik Islam. Dalam
pada itu yang diperbarui hanyalah ajaran yang tidak

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


25
bersifat mutlak -- qat’i (Nasution, 1985: 70-71). Syarat-
syarat untuk menjadi pembaru adalah harus orang-orang
yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pikiran yang jernih,
wawasan yang luas, sikap yang konsisten, kemampuan
menganalisis hal-hal mana yang melampaui batas, dan
mana yang memiliki kekuatan berpikir, berani dan pantang
mundur dalam menghadapi tantangan zaman, memiliki
kemampuan memimpin, kemampuan ijtihad, membangun
dan membina masyarakat, dapat membedakan- ajaran
Islam dan ajaran jahiliyah, dan seorang muslim yang
memiliki keimanan, pandangan, pemahaman, dan perasaan
yang benar tentang Islam (Maududi, 1984: 43).
Masa dan jenis pembaru menurut Fazlur Rahman, ada
3 macam, yaitu revivalis pra-modernis, modernis klasik, dan
neo-revivalisme. Revivalisme pra-modernis seperti Ibn
Taimiyah, Muhammad bin Abd al-wahab dan Gerakan
Sanusiyah. Gerakan ini timbul karena (i) keprihatinan yang
mendalam terhadap kemerosotan moral dan sosial umat;
sebagai himbauan untuk kembali ke Islam yang orisinal,
meninggalkan khufarat dan takhayul, meninggalkan taklid
dan mendorong ijtihad; (iii) menghimbau untuk membuang
beban yang menghancurkan, berupa pandangan tentang
takdir sebagai akibat teologi Asy’ariyah, (iv) melaksanakan
perubahan bila perlu dengan kekuatan bersenjata.
Adapun sebab yang mendorong bangkitnya semangat
pembaruan pada tingkat ini antara lain: datangnya dari
Islam sendiri sebagai respons dan kritik terhadap sufisme
yang menjauhi tugas-tugas dalam pergaulan sosial dan
dunia konkret sehingga diperlukan rekonstruksi sosio-
moral dan sosio-etik dalam masyarakat Islam agar

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


sesuai atau paling tidak mendekati Islam ideal. Referensi
gerakan pembaruan yang utama adalah al-Qur’an dan al-
sunnah serta menekankan semangat ijtihad, yaitu
dengan menggunakan akal pikiran untuk memecahkan
masalah yang timbul dalam masyarakat Islam (Amin
Rais, 1984: vii).
Setelah itu, pada pertengahan abad ke-19, muncul
kelompok pembaruan yang oleh Fazlur Rahman disebut
modernis klasik. Yang dianggap termasuk kelompok ini
antara lain, Sayyid Ahmad Khan, Jamaludin al-Afghani, dan
Abduh. Mereka mewarisi tradisi muslim masa per- tengahan
berupa, filsafat rasional dari al-Farabi, Ibn Sina, dan
lainnya, dengan menumbuhkan semangat ijtihad dan
penolakan taklid. Yang dianggap baru dari pembaruan ini
ialah perluasan ijtihad. Pembaruan ini berkembang meliputi
pemahaman akal budi dan hubungannya dengan iman,
pembaruan sosial, pendidikan, status wanita, pem- baruan
politik, dan lain sebagainya (Amin Rais, 1984: 26).
Cara penafsiran kaum modernis klasik didasarkan
pada al-Qur’an dan kerangka dasar sunnah historis dan
bukan pada hal yang teknis. Di antara mereka ada yang
menolak hadis secara hati-hati seperti Muhammad
Abduh, dan ada pula yang menolak hadis secara terang-
terangan, menafsirkan Islam secara liberal, seperti Sayyid
Ahmad Khan (Amin Rais, 1984: 29).
Setelah modernis klasik ini, muncullah apa yang
dinamakan Rahman sebagai neo-Revivalisme yang gerakan-
nya terartikulasi dalam bentuk gerakan-gerakan politik. Ia
berbeda, baik dengan kaum revivalis pra-modernis- maupun
dengan kaum modernis klasik. Reaksi mereka

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


27
terhadap modernis cukup tajam, bahkan tidak dapat
dibedakan dengan pra-modernis. Mereka menuduh
bahwa kaum modernis klasik itu identik dengan
pambaratan (westernized). (Amin Rais, 1984: 32).
Dalam pada itu penting pula ditambahkan di sini
bahwa ide pembaruan dalam arti modernis klasik di
kalangan muslimin, banyaknya pelajar muslim yang
belajar di Barat atau mendapat pengaruh dari pendidikan
Barat. Dengan ide pembaruannya itu mereka ingin
menyamai Barat dalam kemajuan, dan atau mengusir
penjajah Barat dari dunia Islam. Hasilnya ada yang
kebarat-baratan, ada yang memilah-milah kebudayaan
Barat dan ada pula yang membedakan sama sekali.

D. TUJUAN PEMBARUAN
Sesuai dengan klarifikasi pembaruan di atas, maka
implikasi dan tujuan umum pembaruan yang dilakukan
mereka, yaitu:
memurnikan ajaran Islam
membolehkan ijtihad dan melarang taklid
kembali kepada ajaran-ajaran dasar: al-Qur’an
dan al-sunnah.
mengembalikan citra umat Islam, dan
memperbaiki sosial-ekonomi dan politik umat.
Mereka mengelaborasi ide tersebut melalui kegiatan
ilmiah dan amaliah, baik secara formal dan non-formal.
Muhammad bin abd al-Wahab mengembangkan ide pem-
baruannya melalui masyarakat dan pemerintah dan
kelompok elite. Al-Afghani mengembangkan idenya melalui
jalur-jalur pendidikan dan politik; sementara Muhammad

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


Abduh lebih menekankan kepada pendidikan. Muhammad
Abd al-Wahab berhasil mengubah pola pikir umat dan
membangun negara, yaitu Negara Wahabi, Saudi Arabia. Al-
Afghani dan Muhammad Abduh berhasil mengembangkan
berpikir rasional sehingga mengubah citra al-Azhar men-
jadi universitas bergengsi, dibandingkan dengan masa
sebelumnya yang masih bersifat tradisional. Para pembaru
yang hidup sesudah mereka mengikuti corak pemikiran
mereka. Ada yang mengikuti corak Muhammad bin abd al-
Wahab, ada yang mengikuti ide al-Afghani, dan ada pula
yang mengikuti pikiran Muhammad Abduh.
Di Indonesia corak pemikiran mereka diikuti pula
oleh gerakan Padri di Sumatra Barat, Ahmad Syurkati
dengan al-Irsyad, Ahmad Dahlan dengan
Muhammadiyah, A. Hasan dengan PERSIS, dan Abdul
Halim dengan PUI (Atjeh, 1970: 11-169).

TOKOH-TOKOH PEMBARU
Pada dasarnya penulis menemui kesulitan menyebut
pembaru secara definitif, hal ini karena berbeda sudut
pandang para penilai dan juga mereka yang dianggap
pembaru itu tidak menyebut dirinya sebagai pembaru
secara eksplisit. Di samping itu adakalanya seseorang
yang dianggap sebagai pembaru oleh yang lainnya,
sementara penilai yang lain menyebutnya sebagai mulhid,
kafir, murtad, dan gelaran-gelaran yang lainnya.
Namun lepas dari perbedaan-perbedaan penilaian
tersebut di atas, berdasarkan literatur-literatur yang
ditemukan menyatakan, bahwa yang dianggap pembaru
itu antara lain, Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abd al-

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


29
Wahab, Syekh Waliyullah al-Dahlawi, Muhammad Abduh,
al-Afghani, dan Muhammad Rasyid Ridha. Di Indonesia,
pada masa perjuangan, kita mengenal Cokroarimoto, H.
Ahmad Dahlan, A. Hasan, Ahmad Syurkati dan abdul Halim.
Malahan menurut penilaian abdul A’la al-Maududi, yang
dianggap pembaru adalah: Umar bin Abd al-azizi, imam
mazhab yang empat, Ibn Taimiyah, Syekh Ahmad Sirhindi,
imam wali Allah al-Dahlawi, Sayid Ahmad Al-Barbaelani,
dan Syekh Ismail (Maududi, 1984: 55-119).
Alasan mereka dianggap pembaru karena jasa-jasa
mereka dalam menggugah kebangkitan umat, baik secara
intelektual moral, dan lain sebagainya. Termasuk pula
tokoh-tokoh pembaru seperti Muhammad Ali, al-Tahtawi,
Qasim Amin, Musatfa Kamil, Ali Abd Raziq, Toha Husen,
Hasan al-Banna, Jamal Abd al-Naser, dan lainnya muncul
di kalangan Kristen, yaitu al-Bustami, dan lain-lain.

ASPEK-ASPEK PEMBARUAN
Secara implisit aspek-aspek pembaruan pada
dasarnya sudah disinggung di atas, namun perlu
dijelaskan lebih lanjut secara eksplisit.

Pra-Modernis
Para pembaru pra-modernis dan yang seide dengan-
nya lebih menekankan pada aspek pemurnian ajaran
Islam dalam bidang akidah, syari’ah, dan akhlak dari
subversi ajaran yang bukan Islam dan tidak dapat
diIslamkan, walaupun mereka tidak melupakan aspek
politik dan sosial ekonomi.

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


Modernis Klasik
Para modernis klasik sudah jauh melangkah dari
yang diperjuangkan pra-modernis. Mereka bukan hanya
sekadar merekonstruksi bidang teologi, akidah, dan
ibadah, akan tetapi sudah membicarakan apa yang di-
sebut ajaran dasar dan tidak dasar. Mereka melakukan
reaktualisasi penafsiran dan pemahaman kitab suci dan
juga mempertanyakan keotentikan hadis lebih tajam lagi.
Di antara mereka ada yang bersikap hati-hati terhadap
penerima hadis, seperti Muhammad Abduh dan ada yang
menolak hadis sama sekali. Dari kalangan mereka
muncul golongan yang disebut golongan Quraniyah,
seperti Sayyid Ahmad Khan. Kaum modernis ini berbicara
masalah ekonomi. kenegaraan, penafsiran, kontekstual,
dan mengambil metode modern dalam kajian-kajiannya.

Pasca Modernis
Pasca modernis dapat pula disebut sebagai neo-revi-
valisme yang menekankan pembaruan pada bidang
politik dan pendidikan. Para pembaru ingin memiliki
identitas khusus yang islami; mereka berbeda dengan
kaum modern klasik dan pra-modern.

G. KESIMPULAN
Demikianlah pembaruan dalam Islam dengan berbagai
variasinya, dapat membangkitkan umat Islam dari keva-
cuman intelektual dan kerusakan akidah. Pembaruan yang
dimulai di dunia Arab menghembuskan angin segar ke
seantero dunia Islam, sehingga kaum muslimin menemukan
kembali identitas dirinya dan mampu pula

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


31
membebaskan dirinya dari penjajahan dan kolonialisme
Barat.



Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


2
MUHAMMAD IBN ABD AL-
WAHHAB DAN GERAKAN
WAHABIYAH
Oleh: Zainun Kamal

A. PENDAHULUAN

D ari waktu ke waktu senantiasa ada usaha pem-


atau penyegaran, atau pemurnian pema- haman umat
baruan,

kepada agamanya, adalah sesuatu


yang telah menyatu dalam sistem Islam dalam sejarah.
Nabi sendiri dalam sebuah hadis mengisyaratkan kepada
adanya hal itu. Sabda Rasulullah:

‫هللا ث ع يب هذل ه ةم ألا ى ل ع سأر لك ةائ م ةن س من ددي ج ال ه‬ ‫إن‬


)‫ىف ن ن سال‬ ‫اه ن يد ( هاور و أب دوا د‬

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


33
”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk
umat ini, setiap penghujung seratus tahun, orang
yang memperbarui agamanya”
Maka dari sudut tinjauan ini adalah suatu kejadian
yang wajar saja, bahwa pada abad ke-18, Jazirah Arab
menyaksikan usaha tajdid yang militan, yang dilancarkan
oleh Syekh Muhamad Ibn Abd al-Wahhab, yang
melahirkan apa yang dinamakan gerakan Wahabi.

SEJARAH HIDUP ABD AL-WAHHAB


Ia adalah Muhammad Ibn Abd a-Wahab al-Najd al-
Hanbali, dari bani Tamim. Ia lahir di al-Uyainah di Nejed
pada 1115/1703 M. Awal pendidikannya bermula dari
belajar kepada para ahli fikih kaum Hanbali, yang
terkenal dengan berpegang teguh kepada sunah dan
mencela bid’ah (Mut’al: 437).
Kemudian untuk melanjutkan pendidikannya ia
pergi ke Madinah. Setelah itu, ia melakukan perjalanan
ke beberapa negara Islam, dengan tujuan untuk
menambah ilmu pengetahuan. Ia menetap selama empat
tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdistan, dua tahun di
Hamdan, kemudian ia pergi ke Ashfahan dan di sana ia
mempelajari falsafat isyraq (iluminasi) dan tasawuf,
kemudian ia mene- ruskan perjalanan ke Qum (Amin,
1979: 10). Disebutkan juga bahwa ia juga mengunjungi
negara-negara Turki, Aleppo di Damaskus, al-Quds
(Palestina) dan Mesir (Nashir, 1983: 31). Setelah
melakukan perjalanan panjang, ia kembali ke Nejed, lalu
ia tampil dengan menyerukan pemikiran-pemikiran baru.

SATUBabII ISLAM,—PembaruanBANYAK IslamJALAN:PraCorakZaman-corakModpernmikiran modern dalam Islam


Tetapi penulis-penulis Arab modern berpendapat bahwa
Abd al-Wahhab dalam perjalanannya tidak pernah keluar
dari kawasan dunia Arab (Nashir, 1983: 31). Wahabiyah
adalah suatu nama gerakan yang dipimpin oleh Abd al-
Wahhab pada abad ke-18. Nama ini diberikan oleh musuh-
musuh Abd al-Wahab dan orang-orang Eropa; dan akhirnya
menjadi umum dipakai. Sedangkan pendukung pendukung
Abd al-Wahhab menamakan gerakan mereka dengan al-
Muwahhidin atau al-Muslimin (Amin, 1979: 10)
Gerakan Wahabiyah adalah merupakan
perkembangan dari aliran Salafiyah, yang berpangkal
pada pemikiran-pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal,
yang kemudian dikonstruksikan dengan secara
sistematis oleh Ibn Taimiyah, dan terakhir dimapankan
oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Tidak ada sesuatu yang baru pada gerakan
Wahabiyah, selain dari usaha penerapan ajarannya
dengan lebih ekstrem, dan memperdalam pengertian
syirik dan bid’ah. Hal ini adalah akibat wajar dari situasi
masyarakat dan Jazirah Arab yang penuh dengan aneka
ragam khurafat dan bid’ah pada masa itu.

C. IDE-IDE TAJDID ABD AL-WAHHAB


Ide-ide tajdid Abd al-Wahhab berdiri di atas beberapa
prinsip, diantaranya adalah:
Pertama, Kembali kepada ajaran Islam yang murni
seperti yang ada pada masa Rasulullah dan para sahabat.
Karena kemurnian ajaran dan akidah itu Islam menjadi
besar dan memperoleh kemenangan serta cepat meluas
keluar Jazirah Arab. Tetapi setelah akidah umat turun ke

SATUSATUISLAM,ISLAM,BANYAKBANYAKJALAN:JALAN:CorakCorak-corakpemikiran modern dalam Islam


35
tingkat syirik, mereka mengalami kemunduran dan ditimpa
kehancuran. Dari situ, Abd al-Wahhab mengembalikan
sebab kelemahan umat Islam dan kemunduran mereka
adalah karena kelemahan akidah, yang telah bercampur
dengan syirik. Karena itu, Abd al-Wahhab berusaha untuk
memurnikan akidah mereka dengan cara kembali secara
langsung kepada al-Qur’an al-Karim dan al-Sunnah al-
Nabawiyah. Setiap yang berbeda dari keduanya dianggap
sebagai bid’ah, suatu ajaran yang kemudian masuk ke
dalam Islam (Al-Muhafazhah, 1978: 40). Semboyan gerakan
wahabiyah adalah “Back to the Qur’an !” dan “Back to the
Sunnah !” dalam artian, “Back to the God of the Sunnah and
it’s exhilaration,” (Smith, 1977: 44).
Kedua, Tauhid yang diformulasikan dalam kalimat
syahadat “ ‫هللا‬ ‫ال ه إل ال ا‬ ”. Menurut Abd al-Wahhab, tauhid
ada dua macam. Tauhid Rububiyah dan Tauhid Ulluhiyah.
Tauhid Rububiyah adalah memercayai bahwa Allah
sendirian dalam menciptakan alam dan mengaturnya.
Tetapi kepercayaan kepada tauhid Rububiyah tidak men-
jadikan seseorang menjadi muslim. Yang menjadikan
seorang muslim adalah kepercayaan terhadap tauhid
uluhiyah, yaitu memercayai bahwa tidak ada yang
disembah kecuali Allah. Orang yang menyembah Allah
dan juga menyembah berhala, atau nabi Isa, atau
malaikat, tidaklah disebut mentauhidkan Allah;
walaupun ia percaya bahwa sang pencipta dan pemberi
Rezeki hanyalah Allah (Ghannam, 1961: 299).
Di dalam kitab Kasyf al-Syububat, Abd al-Wahhab
mempertegas pengertian tauhid bahwa “tauhid adalah
pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lidah, dan

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


dilakukan dengan perbuatan. Jika kurang satu dari hal itu,
maka ia tidaklah termasuk orang Islam. Jika ia mengetahui
tauhid tetapi ia tidak mengerjakannya dalam perbuatan,
maka ia termasuk orang kafir dan pembangkang seperti
Fir’aun dan iblis”. (Ghannam, 1961: 299).
Bertolak dari pengertian prinsip tauhid itu, Abd al-Wahhab
menyerang dan memberantas semua adat kebiasaan yang
terdapat di dunia Arab. Minta berkah kepada para wali,
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menziarahi-
kuburan orang-orang saleh sebagai tawassul, adalah syirik.
Orang musyrik di zaman kita sekarang ini, kata Abd al-
Wahhab, lebih kafir daripada di zaman Nabi Muhammad”
(Ghannam, 1961: 303). Demikian juga Abd al-Wahhab
berpendapat bahwa menziarahi kuburan adalah bid’ah,
termasuk kuburan Nabi Muhammad di Madinah (Al-
Muhafazhah, 1978: 42). Ia tidak cukup dengan ber- pendapat
bid’ah saja, tetapi sekaligus menghancurkan dan meratakan
kuburan-kuburan, kubah-kubah para sahabat dan wali-wali
Allah (Zahrah, 1976: 507-508).
Tauhid adalah masalah dasar dalam pemikiran Abd al-
Wahhab, karena hal itu marupakan ajaran inti Islam yang
dikristalisasikan dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah, dan
sekaligus sebagai pembeda antara Islam dengan non-Islam.
Nabi Muhammad diutus adalah untuk pembenaran tauhid,
melarang menyembah kepada berhala, patung, orang tua,
nenek moyang, para wali, para pimpinan, dan lain
sebagainya. Itulah sebabnya pengikut-pengikut Abd al-
Wahhab menamakan diri mereka al-Muwahhidun.
Seperti yang sudah disinggung di atas, Abd al-Wahhab
berpendapat, bahwa Islam berkembang dengan pesat

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


37
sekali pada masa Rasulullah dan para sahabat karena
mengamalkan ajaran Islam yang murni. Tetapi setelah
umat Islam meninggalkan ajaran Islam yang murni dan
mencampuradukkan akidah tauhid dengan bid’ah dan
syirik, akibatnya mereka mengalami kemunduran. Dalam
artian, penyakit yang menimpa umat Islam adalah ke-
rusakan akidah tauhid. Itulah sebabnya, Abd al-Wahhab
berpendapat bahwa untuk sembuh kembali, umat Islam
harus kembali secara konsekuen kepada ajaran Islam
yang murni seperti yang terdapat pada masa Rasulullah
dan para sahabat. Atau dikenal dengan masa kaum
Salafus Shalih.
Ketiga, mempelajari ilmu yang tidak didasarkan pada
al-Qur’an dan Sunah, atau yang hanya bersumberkan
kepada akal semata, dianggapnya kufur. Termasuk juga
kufur mengingkari “qadar” dan menafsirkan al-Qur’an
dengan jalan Ta’wil (Al-Muhafazhah, 1978: 42).
Keempat, dalam bidang hukum, Abd al-Wahhab
berpendapat- bahwa untuk menentukan halal dan haram-
nya sesuatu hanya bersumber pada al-Qur’an dan al-
Sunnah. Pendapat para teologi dalam bidang akidah, dan
para ahli fikih dalam bidang hukum tidaklah dapat
dijadikan dalil; sebab setiap orang berhak untuk berijtihad,
bila memenuhi persyaratannya (Amin, 1979: 14). Hal-hal
yang dianggap bid’ah dan haram hukumnya serta wajib
diberan-tas,- diantaranya adalah mengadakan upacara
maulid nabi, wanita mengiringi jenazah, mengadakan per-
kumpulan-perkumpulan dzikir, seperti praktik para sufi.
Dikategorikan juga ke dalam bid’ah dan haram hukumnya
adalah merokok, lelaki berpakaian sutara, berfoto; dan

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


makruh hukumnya memotong jenggot. Kadang-kadang
soal kecil pun dianggap bid’ah (Mushtafa, 1976: 31).
Di samping itu, memerintah dengan paksa kepada
orang-orang Islam untuk mengerjakan shalat, menge-
luarkan zakat, dan melaksanakan rukun Islam lainnya.
Ini dimaksudkan untuk membangun masyarakat yang
islami (Al-Muhafazhah, 1978: 42).
Kelima, menyerukan dibukanya pintu ijtihad. Bagi
orang-orang yang memenuhi syarat berijtihad. Ia berhak
berijtihad secara langsung dalam memahami al-Qur’an
dan al-Sunnah. Ditutupnya pintu ijtihad, menurut Abd
al-Wahhab adalah sebuah kemunduran bagi orang-orang
Islam; karena kehilangan kepribadian dan daya nalar
mereka, dan menyebabkan terpecahnya umat Islam
kepada aliran-aliran yang saling mencaci maki.
Mereka menjadi orang yang statis dan taklid, yang
hanya mengkaji pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa dari
ulama yang ditaklidinya. Maka untuk menyelamatkan
umat dari bahaya yang buruk ini, menurut Abd al-
Wahab, adalah dengan membuka pintu ijtihad, dan
kembali secara langsung memahami agama dari sumber
aslinya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah (Amin, 1979: 14).

PENGARUH GERAKAN WAHABIYAH


Aliran Wahabiyah menjadi mazhab resmi di kerajaan
Saudi Arabia sampai saat ini. Sedangkan di luar Jazirah
Arab ajaran-ajaran Wahabiyah disebarkan dan
dikembang- kan oleh kaum muslimin yang pulang ke
negerinya masing-masing setelah bermukim dan
menunaikan ibadah haji di Mekah.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


39
Di anak benua India, tepatnya di Punjab (India
Utara) ajaran-ajaran Wahabi disiarkan oleh Sayyid
Ahmad, yang melakukan ibadah haji pada 1822-1823 M.
Dia mendirikan Negara Wahabiyah, dan memaklumkan
jihad terhadap orang yang tidak memercayai dakwahnya,
dan tidak masuk barisannya.
Gerakan “Ishlah” Muhammad bin Ali al-Sanusi di
abad ke-19, di Afrika Utara yang bermarkas di Libya,
adalah mengambil model dari gerakan Salafiyah
Wahabiyah; demikian juga gerakan Muhammad Ahmad
al-Mahdi di Sudan, dan gerakan mujahid muslim Usman
Danfudyu di pedalaman Afrika. Mereka mengenal ide-ide
pembaruan gerakan Wahabiyah di saat menunaikan
ibadah haji di tanah suci (Fathiyah, 1983: 229-230).
Adapun di Indonesia gerakan Wahabiyah pertama
sekali terdapat di Minangkabau, Sumatra Barat, yaitu
dengan pulangnya tiga orang haji dari Saudi Arabia di awal
abad ke-19 (tahun 1802 M). Mereka adalah Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piobang (Hamka, 1963: 26). Mereka
bermukim di Saudi Arabia di saat berkembangnya gerakan
wahabiyah, dan mempelajarinya dengan saksama. Mereka
berkesimpulan, sebab keberhasilan gerakan Wahabiyah
adalah karena adanya pemaduan kekuatan lisan dan
senjata dalam menjalankan dakwah.
Setelah kembali ke Sumatra Barat, mereka memulai
menjalankan dakwah dengan memberikan pengajian
halakah dan pelajaran-pelajaran agama Islam di Surau-
surau dan di Masjid-masjid. Mereka mengajak umat Islam
untuk menjalankan agama Islam sebagaimana yang
dilakukan oleh para salaf yang saleh (Rajab, 1954: 9).

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


Mereka mencegah dari yang mungkar dan dari adat dan
tradisi masyarakat yang bertentangan dengan ajaran
Islam, seperti minum arak (khamr), berjudi dan mengadu
ayam (Sckriche, 1973: 3), dan melarang wanita keluar
rumah dengan kepala terbuka. Orang yang melanggar
larangan tersebut ini akan diperlakukan kepadanya
hukuman mati (Hamka, 1963: 28).
Gerakan ini kemudian mendapat dukungan dari
ulama-ulama Sumatra Barat. Maka terbentuklah sebuah
gerakan dibawah delapan orang ulama, yang kemudian
terkenal dengan nama “Harimau nan Salapan”, yang
dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh (Hamka, 1963: 28).
Tujuan terakhir dari gerakan mereka adalah untuk men-
dirikan sebuah Negara Islam Salafiyah (Pane, 1970: 84).
Gerakan ini kemudian menjelma menjadi gerakan
Perang Paderi yang melawan penjajahan Belanda yang pro
kepada kaum adat. Gerakan Paderi merupakan permulaan-
gerakan kebangkitan umat Islam Indonesia dan merupakan
gerakan Islam yang terpenting dalam meng-hadapi musuh-
musuh Islam, baik dari dalam maupun- dari luar Indonesia
(Ricklef, 1981: 155). Ia kemudian- memberikan pengaruh
dan inspirasi yang besar atau gerakan dan kebangkitan
umat Islam Indonesia (Stoddard, 1966: 298).
Adapun gerakan Muhammadiyah awal berdirinya juga
terpengaruh oleh gerakan Wahabiyah, karena tokoh
utamanya, KH. Ahmad Dahlan (w. 1923/1340 H) mendiri-
kan organisasi ini setelah ia kembali dari tanah suci.

KESIMPULAN
Dari beberapa ide pembaruan Muhammad Ibn Abd

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


41
al-Wahab yang sudah dikemukakan di atas dapat dilihat
bahwa pembaruan yang dilancarkan tanpa sedikit pun
ada persinggungan dengan kemodernan dari Barat.
Namun demikian, seperti dikatakan Nurcholish Madjid,
gerakan ini merupakan satu-satunya gerakan pembaruan
keagamaan yang paling sukses secara politik, yaitu
setelah bergabung dengan dinasti Sa’ud.



Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


3
EKSPEDISI NAPOLEON
DI MESIR: IDE-IDE
BARU DAN
PENGARUHNYA
Oleh: Noorwahidah Haisy

A. PENDAHULUAN

P eriode modern dalam sejarah Islam yang dimulai sejak


1800 M ditandai dengan lahirnya ide-ide dan gerakan-
gerakan pembaruan. Zaman ini disebut juga zaman
kebangkitan Islam, karena umat Islam
yang sebelumnya beku, statis dan jumud kini sadar dan
bangun kembali untuk mengejar ketinggalan dan
keterbelakangannya. Pada periode modern ini, Negara-
negara Islam yang sebelumnya berada di bawah telapak
kaki penjajah, mulai berusaha membebaskan diri dan
membangun dirinya sendiri menuju masa depan yang
cerah dan lebih baik. Usaha-usaha pembebasan diri
SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam
43
tersebut menunjukkan hasil yang gemilang pada abad ke-20
dengan merdekanya negara-negara Islam satu persatu,
sehingga di penghujung abad ke-20 ini dapat dikatakan
bahwa tidak ada satu negara Islam atau mayoritas
penduduknya beragama Islam pun yang terjajah.
Salah satu aspek penting yang membawa kepada
kebangkitan umat Islam dan lahirnya gerakan-gerakan
pembaruan adalah ekspedisi Napoleon ke Mesir pada
1798-1801 M. Ekspedisi ini menyadarkan umat Islam
akan kelemahan dan kemunduran mereka dan membuka
mata umat Islam akan kemajuan yang dicapai oleh dunia
Barat (Nasution, 1985: 88). Di samping itu, Napoleon
datang ke Mesir tidak hanya sekadar menjajah, tetapi
juga membawa ide-ide baru yang bermanfaat besar bagi
perkembangan Islam khususnya di Mesir.
Ide-ide baru tersebut menjadi cambuk bagi umat
Islam Mesir, terutama kaum intelektualnya, untuk
bangkit melakukan pembaruan dan memperbaiki
keadaan. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan
pembaruan ini ber- gema ke seluruh dunia Islam.

RIWAYAT HIDUP NAPOLEON


Napoleon adalah seseorang jenderal dan kaisar Prancis
yang besar. Kehadirannya di pentas dunia tidak hanya
berpengaruh terhadap Perkembangan Prancis dan Eropa,
tetapi juga berpengaruh besar terhadap perjalanan sejarah
umat manusia. Karena itu, Michael H. Hart
menempatkannya pada urutan ke-34 dari seratus tokoh
yang paling berpengaruh dalam sejarah, di dalam karya
besarnya yang terkenal The 100, a Ranking Of The Most

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


Influential Persons In History (Hart, 1984: 193-199). Nama
lengkap Napoleon Bonaparte. Ia adalah anak
ke empat dari pasangan Carlo Buonaparte dan Letizia
Ramolino. Ia dilahirkan di Ajaccio, salah satu desa di
wilayah Corsica, Prancis, pada 15 Agustus 1769, dan
meninggal dunia di St. Helena pada 5 Mei 1821 (Preece,
1970: 1).
Karier militer Napoleon sangat menonjol. Ia masuk
akademi militer Prancis di usia muda. Dalam usia lima
belas tahun ia tamat dari akademi ini dan memperoleh
pangkat letnan artileri. Dalam usia 24 tahun, ia
membuktikan kepiawaiannya di bidang militer dengan
menghancurkan dan mengusir tentara Inggris di Toulun
sehingga daerah ini dapat dikuasai Prancis kembali.
Ia juga berhasil mematahkan pemberontakan Royalis di
Paris pada 1796. Pada 1976 ia diangkat sebagai komandan
pasukan Prancis di Italia. Perkawinannya dengan Josephine
de Beauharnais tidaklah menghalanginya untuk
menghancurkan pasukan Austria-Sardinia di Italia antara
1796-1797 (Shadily, 1983: 2334). Keberhasilannya dalam
berbagai pertempuran membuat namanya makin terkenal.
Pada 1797, ketika ia kembali ke Prancis, ia disambut
sebagai seorang pahlawan.
Pada 1798 ia bersama pasukannya melakukan eks-
pansi ke Mesir. Dalam waktu singkat, Mesir dapat di-
kuasainya. Namun, setahun kemudian (1799) ia kembali
ke Prancis, sementara pasukannya tetap tinggal di Mesir
(Hart, 1984: 194).
Ambisinya untuk menjadi penguasa tertinggi di Prancis
sangat besar. Karena itu, sebulan setelah ia berada

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


45
di Prancis sekembalinya dari Mesir, ia melakukan kudeta
bersama Abbe Sieyes pada 9 November 1799. Kudeta ini
berhasil sukses dan menghantarkan Napoleon ke puncak
kekuasaan. Pemerintahan yang baru dibentuk ini disebut
Consulate, dan Napoleon diangkat sebagai konsul
pertama. Selama berada dalam tampuk kekuasaan, ia
melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem
administrasi pemerintahan dan hukum. Ia merombak
struktur- keuangan dan kehakiman. Ia mendirikan bank
dan Universitas Prancis. Karya besarnya yang
ber-pengaruh sampai sekarang ialah Code Napoleon yang
merupakan dasar hukum Prancis.
Code ini dalam banyak hal, mencerminkan ide-ide
revolusi Prancis. Revolusi itu sendiri terjadi pada 1789,
dan ketika revolusi ini pecah, Napoleon bergabung
dengan kaum Jacobins (Shadily, 1983: 2334).
Pada 1804 Napoleon memproklamasikan dirinya
seba- gai kaisar. Meskipun angkatan laut Napoleon kalah
dengan armada Inggris dalam pertempuran Trafalgar
(1805), namun di medan tempur darat yang lain,
pasukannya tetap unggul. Napoleon berhasil
mengalahkan pasukan sekutu Eropa dalam perang
Austerliz (1805), Jena (1806), dan Friedland (1807). Ia
juga dapat mengakhiri kerajaan Romawi Suci (1806), dan
berkuasa hampir di seluruh Eropa (Shadily, 1983: 2334).
Ketika Napoleon menyerang Rusia pada 1812,
pasukannya mendapat pukulan yang hebat. Tidak sampai
10 persen tentaranya yang dapat keluar dari Rusia dalam
keadaan hidup. Kelemahan Prancis ini membangkitkan
kesadaran Negara-negara Eropa lainnya seperti Austria

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


dan Rusia. Mereka pun bangkit menggalang persatuan
untuk menyerang Prancis. Dalam pertempuran dahsyat di
Leipzig (1813), pasukan Napoleon dipukul mundur. Tahun
1814 Prancis diserbu dan Napoleon dimakzulkan. Ia
diasingkan ke pulau Elba, sebuah pulau kecil di lepas
pantai Italia. Namun, pada 1815 ia dapat melarikan diri dan
berkuasa kembali di Prancis selama 100 hari. Kekuatan
Eropa pun bergabung untuk memukul Napoleon, sehingga
dalam pertempuran di Waterloo, Napoleon mengalami
kekalahan paling besar. Ia ditangkap oleh pasukan Inggris
dan dibuang ke Saint Helena, sebuah pulau kecil di Selatan
Samudra Atlantik. Dalam penjara St. Helena inilah ia
menghembuskan napasnya yang terakhir- pada 1821
karena kanker (Hart, 1984: 199).

PENDUDUKAN MESIR DAN IDE-IDE BARU


YANG DIBAWA
Ambisi Napoleon untuk memiliki wilayah dan ke-
kuasaan yang besar sangat mencolok. Ia tidak saja ber-
usaha menguasai seluruh daratan Eropa, tetapi juga
berusaha merambah ke daerah Timur. Pada 1798 ia
berhasil menguasai Mesir yang ketika itu berada di
bawah kekuasaan dinasti Mamalik.
Keadaan Mesir sebelum diserbu Napoleon memang
sangat parah, terutama pada akhir abad ke-18. Seorang
pengembara Prancis, Founier, setelah melakukan kun-
jungan ke Mesir pada akhir abad ke-18, mengatakan,
“Kebodohan di Mesir adalah suatu gejala yang umum,
sama dengan keadaan di seluruh Turki, meliputi semua
lapisan. Hal itu tampak jelas di bidang literatur, ilmu

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


47
alam, dan teknik, bahkan juga di bidang kerajinan
tangan yang paling sederhana. Anda jarang menemukan
reparasi arloji di Kairo. Kalaupun ada tentu ia orang
Eropa (Amin t.t.,: 129).
Penaklukan Napoleon atas Mesir berjalan sangat
cepat. Pasukan dinasti Mamalik tidak mampu
mempertahankan kedaulatannya dengan baik, sehingga
hanya dalam beberapa hari seluruh wilayah Mesir berada
di bawah pasukan Napoleon. Pada 2 Juli 1798, pasukan
Prancis ini mendarat di Alexandria. Kota pelabuhan yang
penting ini dapat dikuasai hanya dalam waktu satu hari.
Kota berikutnya yang jatuh ialah Rasyid terletak di
sebelah timur Alexandria. Kejatuhannya berjarak waktu
hanya sembilan hari dari kejatuhan Alexandria. Daerah
piramid dekat Kairo dapat dicapai oleh pasukan Napoleon
pada 21 Juli. Pasukan Mamalik yang tidak mampu
menghadang pasukan Prancis ini mundur ke Kairo,
namun masyarakat Kairo tidak memedulikannya.
Terpaksa mereka mundur lagi ke Selatan.
Dengan kekalahan pasukan Mamalik ini, tepat pada
22 Juli 1798, praktis seluruh wilayah Mesir dikuasai
Napoleon (Nasution, 1988: 29).
Operasi militer Napoleon yang demikian cepat terhadap
Mesir disebabkan beberapa faktor, antara lain:
Persenjataan pasukan Napoleon lebih canggih dan
lebih mutakhir dibanding dengan persenjataan-
kaum Mamalik.
Pasukan Napoleon memiliki kemampuan dan ke-
mahiran berperang yang lebih baik daripada pasukan
Mamalik. Pasukan ini didukung oleh pengalaman

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


perang yang banyak di berbagai medan tempur,
dalam berbagai cuaca, dengan berbagai bangsa dan
Negara. Sejak meletusnya revolusi Prancis pada
1789, Prancis tidak pernah sepi dari peperangan.
Rakyat Mesir tidak membantu kaum Mamalik.
Hubungan mereka dengan dinasti Mamluk ini sangat
rapuh akibat perlakuan kasar penguasa Mamalik
yang menyakitkan masyarakat. Di samping itu, pada
umumnya kaum Mamalik tidak pandai berbahasa
Arab sehingga komunikasi di antara mereka tidak
terjalin baik.
Di samping faktor-faktor di atas, kondisi umat Islam
pada saat itu memang berada pada puncak kemunduran-
nya, sementara Eropa, khususnya Prancis dan Inggris
sedang menanjak maju. Ditemukannya benua Amerika
oleh Colombus pada 1492 dan Tanjung Harapan di Afrika
Selatan oleh Vasco de Gama sekitar tahun 1498, telah
mengangkat Eropa ke percaturan perdagangan
internasional. Monopoli perdagangan dunia Islam antara
Barat dan Timur yang sebelumnya dimiliki Islam telah
berubah. Dengan penemuan benua Amerika dan Tanjung
Harapan itu, hubungan dagang Barat dan Timur dapat
dilakukan tanpa melewati dunia Islam. Keadaan ini
melemahkan perekonomian Islam, sekaligus melemahkan
kekuatan politik umat Islam.
Ditambah lagi dengan kondisi dalam negeri Islam
sendiri yang sudah sangat rapuh akibat perebutan ke-
kuasaan dan kekurangan perhatian terhadap ilmu penge-
tahuan dan teknologi.
Gambaran umum terhadap keadaan dunia Islam

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


49
abad ke-18 diungkapkan oleh Lothrop Stoddard, antara
lain sebagai berikut:
Pada abad XVIII dunia Islam dijatuhkan ke reruntuhan jang
terdalam. Di mana pun tidak ada tanda adanya tenaga sehat
dan di mana-mana terdapat kematjetan dan pembekuan.
Kerusakan budi dan moral amatlah parahnja. Apa jang masih
tinggal dari kebudajaan Arab lenjap ditelan kemewahan jang
diluar batas dari segolongan ketjil, jang sama dengan
degradasi jang di luar batas pula dari golongan besar.
Pengadjaran terhenti. Sedjumlah ketjil Universitas jang masih
ada terdampar kepada pembekuan, hidup miskin dan tak
diatjuhkan. Pemerintahan menjadi despotis, kadang-kadang
terdjadi anarchi dan berbagai tjara pembunuhan. Di sana-sini
penguasa despotis luarbiasa seperti Sultan Turki atau
“Maharadja Mongol” India, sekaligus pembesar-pembesar
provinsi selalu berusaha mendirikan pemerintahan sendiri,
seperti radjanja di atas asas kesewenang-wenangan dan
tangan besi. Kebalikannja, pembesar itu selalu pula harus
bertindak terhadap kepala-kepala daerah jang tidak patuh
dan terhadap bandit jang banyak jumlahnya, bertjokol di
desa-desa. Di samping itu, pegawai-pegawai pemerintahan
jang tjurang memeras pula dan merampas rakjat habis-
habisan. Petani dan orang kota patah semangatnja untuk
bekerdja dan berusaha. Baik pertanian maupun perdagangan
djatuh merosot sekali (Stoddard, 1966: 29).

Keadaan dunia Islam sebagaimana digambarkan di atas


sangat berbeda dengan keadaan di Eropa. Eropa, dengan
semangat renaissance, berkembang maju. Amerika, sebagai
benua yang baru ditemukan, menghasilkan devisa yang
sangat banyak. Kekayaan alamnya berupa emas, ditambah
dengan terbukanya jalur perdagangan langsung

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


Timur-Barat, telah memberikan sumbangsih yang besar
terhadap peningkatan Ekonomi Eropa. Kemajuan yang
dicapai Eropa, tidak terbatas hanya di bidang ekonomi
dan politik saja, tetapi juga di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi (Nasution, 1987: 9).
Meskipun, kondisi umat Islam sudah sangat parah
pada abad ke-18, namun kesadaran mereka akan kele-
mahan dan kemundurannya baru muncul secara jelas
ketika Napoleon menguasai Mesir dalam waktu singkat,
padahal Mesir adalah salah satu pusat dunia Islam, yang
sebelumnya dikenal sangat kuat dan kokoh. Bagi Napoleon
sendiri, ekspedisi ke Mesir dimaksudkan untuk menjadikan
Mesir sebagai batu loncatan guna menguasai Timur,
khususnya India yang pada waktu itu sudah mulai berada
di bawah pengaruh kekuasaan Inggris (Nasution, 1979: 94).
Namun cita-cita Napoleon untuk menguasai wilayah Timur
ini kandas di tengah jalan. Dalam pertempuran di Palestina,
pasukannya kalah, sehingga pada 18 Agustuns 1799 M, ia
kembali ke Prancis (Nasution 1979: hlm. 94). Di samping
itu, berkembangnya politik di Prancis menghendaki
kehadirannya. Ia kembali ke Paris. Ekspedisi yang
dibawanya ditinggalkannya, dan pimpinan diserahkan
kepada Jenderal Kleber. Ekspedisi ini akhirnya
meninggalkan Mesir pada 31 Agustus 1801 setelah pasukan
Prancis mengalami kekalahan dalam pertempuran laut
dengan armada Inggris (Nasution, 1987: 30).

Bagi masyarakat Mesir, sekalipun kedatangan Napoleon


untuk menjajah, namun ekspedisi ini memberi- kan
semangat baru bagi kehidupan mereka. Napoleon telah

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


51
membawa ide-ide baru yang sangat bermanfaat bagi
Mesir, bahkan dunia Islam pada umumnya. Ide-ide baru
yang dibawa Napoleon itu, sebagaimana disebutkan oleh
Harun Nasution, ialah sistem pemerintahan republik,
persamaan hak (egalite) dalam pemerintahan, dan
kebangsaan -Nasionalisme (Nasution, 1987: 31-32).
Bagi masyarakat Mesir yang selama ini hanya me-
ngenal sistem kekhalifahan, kerajaan, atau kesultanan,
maka sistem pemerintahan republik yang dibawa
Napoleon merupakan hal yang baru. Di dalam sistem
kerajaan, ke- kuasaan dipegang secara turun-munurun,
kekuasaan raja bersifat absolut, tidak ada konstitusi
yang membatasi ke- kuasaannya, tidak ada batas waktu
berkuasa, dan tidak ada perlemen yang mengontrol
segala kebijaksanaan dan tindakan raja. Sedangkan
dalam pemerintahan republik kepala negara ditentukan
melalui pemilihan, kekuasaan kepala negara terbatas,
kepala negara harus tunduk kepada undang-undang
dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen, dan kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat.
Ide sistem pemerintahan seperti ini merupakan per-
wujudan dari cita-cita revolusi Prancis yang menen-tang
absolutisme penguasa. Bentuk pemerintahan republik yang
dibawa oleh Napoleon pun tampaknya tidak ter- lepas dari
bentuk pemerintahan yang dicanangkan oleh Montesquieu
(18 Januari 1689-10 Februari1755). Montesquieu, yang
nama lengkapnya adalah Charles Louis De Secondat
Montesquieu, adalah seorang ahli filsafat politik Prancis
yang sangat terkenal. Teorinya tentang pemisahan
kekuasaan badan-badan legislatif, eksekutif,

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


dan yudikatif, atau dikenal dengan teori trias politica,
diuraikan dalam karyanya yang terkenal De L’espirit des
Lois (Jiwa perundang-undangan) di tahun 1748 (Shadily,
1983: 2266). Bentuk pemerintahan seperti ini sama
sekali tidak dikenal di Mesir. Karena itu, pada mulanya
ide sistem pemerintahan republik tersebut agak sulit
diterima, namun akhirnya justru menjadi pemicu untuk
lahirnya gerakan pembaruan.
Ide persamaan (egalite) yang dikembangkan oleh
Napoleon di Mesir ialah persamaan kedudukan dan turut
sertanya rakyat dalam soal pemerintahan (Nasution, 1987:
32). Ide ini tampaknya merupakan perwujudan dari sistem
pemerintahan republik yang dibawanya. Dengan sistem ini
rakyat banyak ikut serta terlibat langsung di dalam
pemerintahan melalui wakil-wakil mereka.
Wujud dari ide persamaan ini diperlihatkan Napoleon
dengan dibentuknya sebuah badan kenegaraan dan Diwan
al-Ummah. Badan kenegaraan bertugas (1) membuat
undang-undang, (2) memelihara ketertiban umum, (3)
menjadi perantara antara penguasa-penguasa Prancis
dengan rakyat Mesir. Anggota-anggota terdiri dari para
ulama al-Azhar, tokoh-tokoh pedagang dari Kairo dan
daerah-daerah. Sedangkan Diwan al-Ummah bertugas untuk
membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang
berkaitan dengan kepentingan nasional. Anggotanya
berjumlah 180 orang. Tiap-tiap daerah mengirimkan
sembilan orang wakilnya yang terdiri dari golongan ulama 3
orang, golongan pedagang 3 orang, petani 1 orang kepala
desa dan kepala suku bangsa Arab masing-masing 1 orang.
Diwan ini melaksanakan sidang pertamanya

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


53
pada 5 sampai 20 Oktober 1798 dengan putusan yang
diambil “menganjurkan perubahan peraturan pajak yang
ditetapkan kerajaan Ustmani” (Nasution, 1987: 9). Memang,
meskipun secara de facto yang menguasai Mesir sebelum
Napoleon adalah dinasti Mamalik, namun secara de jure
daerah ini berada di bawah kekuasaan Turki Ustmani.
Di samping pembentukan dua institusi di atas,
Napoleon juga memperkenalkan sistem pemilihan ter-
hadap orang yang dilakukan secara langsung, bebas, dan
rahasia. Caranya, setiap anggota pemilih diberikan kertas
kosong, dan tiap mereka bebas menuliskan nama
seorang yang dipilih, tanpa diketahui dan dipengaruhi
oleh orang lain. Praktik pemilihan seperti ini
diperlihatkan ketika Diwan al-Ummah dalam menetapkan
ketua. Anggota diwan, sebagaimana biasanya, menunjuk
dan menyebut nama seseorang. Ketika itu yang ditunjuk
ialah Syekh al-Syarqawi, seorang ulama terkemuka yang
sangat di- hormati mereka. Namun cara penunjukan
semacam itu ditolak oleh penguasa Prancis sambil
menjelaskan tata cara pemilihan yang baik dan
demokratis, sebagaimana cara yang dikemukakan di
atas. Bagi rakyat Mesir, cara pemilihan seperti ini tidak
lazim, namun mereka dapat menerimanya.
Ide baru yang juga sangat penting yang dibawa oleh
Napoleon ialah ide kebangsaan. Di sini Napoleon mene-
gaskan kepada orang-orang Mesir bahwa Prancis adalah
satu bangsa (nation), orang-orang Mesir juga satu bangsa,
sementara kaum Mamluk adalah orang asing yang datang
dari Kaukakus ke Mesir (Nasution, 1987: 9). Antara orang
Mesir dengan kaum Mamluk memang sama-sama Islam,

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


tetapi mereka berbeda bangsa, sebelumnya umat Islam
Mesir tidak mempersoalkan perbedaan bangsa ini terlalu
mendalam, karena mereka mempunyai konsep al-Ummah
al-Islamiyah (Umat Islam) yang hanya dihadapkan kepada
non-muslim. Jadi, mereka hanya menyadari perbedaan
agama dan tidak begitu sadar akan perbedaan bangsa
dan suku bangsa (Nasution, 1987: 33).
Di samping ide-ide sebagaimana tersebut di atas,
Napoleon juga membangkitkan semangat rasionalisasi
(Robinson, 1987: 130) dengan mengembangkan ilmu
penge- tahuan dan teknologi. Ia datang ke Mesir bukan
hanya membawa pasukan militer, tetapi juga disertai
orang-orang sipil sebanyak 1000 orang, 160 orang
diantaranya adalah para ilmuwan dari berbagai bidang,
dua set percetakan dengan huruf latin, Arab, dan Yunani,
dan alat-alat ilmu pengetahuan yang dipakai dalam
eksperimen-eksperimen ilmiah (Nasution, 1987: 96).
Para ilmuwan yang dibawa Napoleon ialah ilmuwan-
ilmuwan spesialis yang terbagi dalam empat kelompok (1)
kelompok khusus di bidang matematika yang bertugas
membuat rencana tentang kota Kairo dan menyiapkan peta
bagi proyek Suez Kanal dan menetapkan jumlah pajak yang
harus dipungut oleh sultan Mamalik dari penduduk,
kelompok ahli fisika, mencurahkan perhatiannya kepada
pembuatan statistik kedokteran mengenai jenis penyakit di
Mesir dan cara penanggulangannya serta membuat statistik
tentang jumlah kelahiran dan kematian. Kelompok ini
mengharuskan pemerintah setempat segera melaporkan
penyakit apa saja yang ada di setiap daerah dan kota, (3)
kelompok ahli kesusasteraan yang kegiatannya

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


55
dicurahkan kepada pengadaan perpustakaan untuk
melayani para ahli ilmu pengetahuan dan siapa saja yang
berminat membaca pada waktu-waktu tertentu, dan (4)
kelompok ahli ekonomi yang mencurahkan perhatiannya
terhadap bidang ekonomi, antara lain masalah paspor,
penetapan kewajiban pembagian harta warisan kepada
para ahli waris yang berhak, dan lain-lain. Di samping
itu, ada pula ahli-ahli kimia yang bekerja membuat
rencana penyaringan air sungai Nil dan menghilangkan
kadar garamnya yang larut dari rerumputan dan
pepohonan (Amin, t.t: 130).
Untuk kepentingan ilmiah, ekspedisi Napoleon
dileng- kapi dengan sebuah lembaga ilmiah Institut d’
Egypte. Lembaga ini terdiri dari empat bagian (1) bagian
ilmu pasti, (2) bagian ilmu alam, (3) bagian ekonomi-
politik, dan (4) bagian sastra-seni. Dalam praktiknya,
lembaga ini tidak hanya digunakan untuk keperluan
ilmiah, tetapi juga untuk membantu Nepoleon dalam
memerintah Mesir dengan hasil-hasil penyelidikan para
ahlinya (Nasution, 1987: 96).
Institut ini terbuka untuk orang-orang Mesir sehingga
banyak ulama terkemuka yang mengunjunginya, antara lain
Abd al-Rahman al-Jabarti, seorang ulama dari al-Azhar dan
penulis sejarah. Ketika ia mengunjungi lembaga ini di tahun
1799, ia sangat tertarik dengan perpustakaan besarnya.
Buku-buku yang tersedia di sini terdiri dari berbagai macam
bahasa: Eropa, Arab, Persia, dan Turki. Alat-alat ilmiahnya
pun dipandang oleh Al-Jabarti sangat mengagumkan,
seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan
kimiawi, dan lain-lain. Demikian juga

Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


cara kerja orang-orang Prancis dan percobaan-percobaan
yang dilakukan di lembaga ini membuat al-Jabarti ter-
kagum-kagum, sehingga ia mengatakan “saya lihat di
sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang
meng- hasilkan hal-hal yang besar untuk dapat
ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita”
(Nasution, 1987: 30-31).
Ide-ide baru yang dibawa Napoleon dan aktivitas-
aktivitasnya selama ia menguasai Mesir telah mem-
bangunkan kesadaran umat Islam sehingga lahir ide-ide
dan gerakan pembaruan. Meskipun gerakan itu tidak
begitu kentara muncul pada saat Napoleon berkuasa di
Mesir, tetapi pengaruhnya jelas terlihat pada abad ke-19
dan 20. Gerakan pembaruan yang dilakukan Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh, Tahtawi, dan lain-lain di
Mesir tidak bisa dipisahkan dari pengaruh ekspedisi
Napoleon.

D. KESIMPULAN
Penjajahan, bagaimanapun bentuknya, sering digam-
barkan sebagai sesuatu yang menakutkan. Dalam istilah
penjajahanterkandungbayanganpenindasan,perbudakan,
pemaksaan, penganiayaan, dan hal-hal yang negatif bagi
bangsa terjajah. Tetapi ekspansi yang dilakukan Napoleon
Bonaparte ke Mesir, sekalipun tentu tidak luput dari hal-hal
negatif tersebut, ternyata memberi makna yang besar bagi
perkembangan Islam dan masyarakat Mesir sendiri. Dengan
ekspedisinya, kesadaran umat Islam untuk bangun
membenahi dirinya telah muncul, sehingga lahir gerakan-
gerakan pembaruan, tidak hanya di Mesir, tetapi

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


57
juga di berbagai negara Islam yang lain.
Dengan ekspedisi ini, kontak antara dunia Islam
dengan Barat telah terjadi secara langsung. Napoleon juga
membawa ide-ide baru yang menggugah semangat
masyarakat Islam di Mesir untuk melakukan perubahan
pada dirinya. Meskipun di awal abad ke-19, ide-ide itu pada
mulanya ditentang oleh sebagian ulama tradisional, namun
akhirnya, secara perlahan dapat di terima dan dipraktikan.
Ide sistem pemerintahan republik yang tidak membenarkan
absolutisme kekuasaan kepala negara dan menjadikan
kepala negara mempunyai kekuasaan tidak tak terbatas,
merupakan ide baru yang menarik untuk dipelajari dan
dikembangkan oleh para kaum intelektual. Demikian pula
ide persamaan kedudukan dan keikutsertakan rakyat dalam
pemerintahan, serta ide nasionalisme, yang sebelumnya
tidak begitu disadari oleh rakyat Mesir, merupakan ide-ide
yang menggugah mereka untuk melakukan pembaruan di
Mesir. Ide-ide baru ini- lah yang antara lain memberikan
inspirasi sejumlah tokoh pembaru Mesir dan dunia Islam,
sehingga gema pembaruan dan kebangkitan Islam
berdengung di mana-mana.



Bab II — Pembaruan Islam Pra Zaman Modern


BAB III

PEMBARUAN ISLAM PASCA


ZAMAN MODERN

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


59
Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern
1
MUHAMMAD ALI:
USAHA-USAHA
PEMBARUAN
Oleh: Mukhyar Sani

A. PENDAHULUAN

S ejak Napoleon Bonaparte mendarat di Alexandria


(Mesir) pada 2 Juli 1798 M. dengan maksud menjadikan
Mesir sebagai batu loncatan untuk menguasai Timur
terutama India (Nasution, 1979: 96) umat Islam di negeri itu
semakin berada di bawah pengaruh Eropa. Kendatipun
ekspedisinya ke Mesir berlangsung- tidak lama (1798-1801
M) namun dampak positif yang ditinggalkannya bagi
perkembangan Mesir selanjutnya- di luar dugaan sama
sekali, sehingga P.M. Holt dan kawan-kawan
menggambarkannya sebagai an episode of decisive
importance (Holt, dkk., 1970: 381).
Ekspedisi Napoleon itu secara tidak langsung mem-
bangunkan rakyat Mesir dari tidur panjang untuk menge-

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


61
jar ketertinggalan mereka dari Eropa melalui gerakan
pembaruan yang dipelopori Muhammad Ali, seorang
perwira Turki yang turut berperang melawan tentara
Prancis. Setelah Prancis keluar dari Mesir, ia dapat me-
rebut tampuk kekuasaan, dan menjadi penguasa tunggal
di negeri itu dari 1805 sampai 1849 M. (Nasution 1987:
hlm.10)
Muhammad Ali adalah keturunan Turki. Ia lahir di
Kawala Macedonia, Yunani tahun 1769 M. dan meninggal
2 Agustus 1849 di Iskandaria Mesir dalam usia 80 tahun.
Dia adalah The Founder Of Modern Egypte (Houtsma,
dkk., 1919: 681, 683).
Pada waktu kecil karena kesibukannya bekerja se-
bagai pedagang tembakau, ia tidak sempat menikmati
pendidikan di bangku sekolah, akibatnya ia tidak pandai
menulis dan membaca, tetapi sebuah sumber menyebutkan
ia baru mulai belajar di usia empat puluhan (William, 1973:
610). Setelah dewasa ia bekerja sebagai pemungut pajak,
dan karena kecakapannya dalam pekerjaan ini, ia menjadi
kesayangan Gubernur Ustmani setempat. Akhirnya ia
diangkat sebagai menantu oleh Gubernur tersebut dan sejak
itu bintangnya terus menaik (Nasution, 1975: 34).
Muhammad Ali memasuki dinas militer pada 1799 ketika itu
pasukan Albania mendarat di Mesir, dan selanjutnya tahun
1800 ia ditunjuk sebagai salah seorang komandan pasukan
tersebut dan kariernya terus menanjak sehingga
memperoleh pangkat kolonel (Houtsma, dkk., 1919: 681,
683).
Peluang terbuka bagi Muhammad Ali ketika tentara
Prancis meninggalkan Mesir 1801 dan Mesir mengalami

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kekosongan kekuasaan, lalu mengatur strategi dalam
rangka mencapai puncak kekuasaan. Kaum Mamluk
kembali ke Kairo dan Pasya dengan Sultan Ustmani datang
dari Istanbul yang masing-masing bermaksud untuk meraih
kembali kekuasaan lama (Edward, 1958: 74-75).
Muhammad Ali mengadu domba antara kedua saingannya
itu. Ia mulai dengan memukul saingan yang terlemah.
Pasukan yang dikirim sultan ia kepung. Pasya menyerah
dan dipaksa kembali ke Istanbul. Muhammad Ali
mengangkat dirinya sebagai Pasya yang baru, dan akhirnya
terpaksa diakui oleh Sultan Ustmani pada 1805 (Nasution,
1979: 35). Mulai saat itu ia berkuasa di Mesir dengan cara
memonopoli sumber daya alam untuk kepentingan
pemerintahannya sendiri (Savory, 1976: 150).
Selama 45 tahun memerintah, Muhammad Ali telah
melakukan upaya pembaruan di Mesir, baik dalam bidang
militer, ekonomi, pendidikan maupun di bidang lainnya,
sekalipun tidak semua usahanya itu berhasil baik. Karena
itu, pengaruhnya di mata rakyat Mesir sangat besar,
akibatnya ia dapat mewariskan kekuasaannya kepada
keturunannya dengan penguasa terakhir Raja Faruq yang
bertakhta selama 16 tahun - 1936-1952 (Hitti, 1974: 432).
Dengan demikian dinasti Muhammad Ali di tanah
Mesir dapat berkuasa selama setengah abad.

IDE-IDE PEMBARUANNYA
Mesir pada saat kehadiran ekspedisi Napoleon benar-
benar kurang dari satu bulan, tentara Napoleon berhasil
menjarah seluruh Mesir, yang ketika itu masih berada di
bawah kekuasaan Turki Ustmani. Kebudayaan, ilmu

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


63
pengetahuan dan teknologi, di samping alat-alat peperangan
yang dibawa Napoleon dalam ekspedisinya, jauh lebih tinggi
dari yang ada di Mesir pada waktu itu (Nasution, 1979: 9).
Keadaan seperti ini membuat Muhammad Ali tidak tinggal
diam, ia berupaya mengadakan pembaruan untuk mengejar
ketertinggalan itu.
Dalam rangka memperbarui bidang kemiliteran,
Muhammad Ali menunjuk seorang kolonel berkebangsaan
Prancis, Seves, yang kemudian setelah menganut agama
Islam berganti nama dengan Sulaiman Pasha untuk ikut
ambil bagian dalam menaklukkan Suriah dan mengatur
secara modern Angkatan Bersenjata Mesir dan seorang
insinyur yang dipercayakan membangun angkatan laut
(Hitti, 1974: 724). Angkatan Bersenjata yang diatur Seves
untuk pertama kali tahun 1811 beroperasi dalam rangka
memenuhi seruan Konstantinopel menyerang kekuatan
Wahabi di mana keberangkatannya oleh Muhammad Ali
serta rakyatnya dirayakan di sebuah gedung yang di-
bangun Saladin di pinggiran kota Kairo (Hitti, 1974: 724).
Muhammad Ali melihat perlunya bala tentara yang
loyal, berdedikasi dan berdisiplin tinggi sebagaimana
tentara-tentara Eropa, guna menangkal serangan dari
dalam dan luar. Karena itu dibangunlah kementerian
angkatan laut. Di Iskandaria dibangun sebuah industri
bahari dan sekolah perwira angkatan laut. At First He Ad
Ships Built In France And Italy And Bombay, But Soon
Alexandria Itself Get Its Yard. After The Destruction Of The
Egyptian Fleet At Navarine Ship-Building Began Again And
Quite A Number Of French And Italian Officers Employed In
The Egyptian Navy After 1831 (Hitti, 1974: 724).

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Laju pertumbuhan bidang kemiliteran selalu menga-
lami peningkatan dengan rata-rata pertahun (1821-1838)
kurang lebih 8.000 orang. Dari 16.000 orang di tahun
1821, menjadi 62.150 di tahun 1829, dan 83.000 di
tahun 1832 menjadi 100.000 di tahun 1829, dan 83.000
di tahun 1832 menjadi 100.000 di tahun 1833 dan
157.000 orang di tahun 1838 (Houtsma, dkk., 1919: 681-
683). Hal ini barangkali karena pengaruh didirikannya
Sekolah Militer di Mesir dan arena sebagian besar pelajar
(35%) yang dikirim ke luar negeri mendapat tugas
mempelajari masalah kemiliteran.
Dalam rangka mengatur dan memodernisasi militer
berikut Mesir pada umumnya, Muhammad Ali berkiblat ke
Barat. Karenanya pelatih militer dan tenaga pengajar di
sekolah-sekolah yang dibangunnya mayoritas didatangkan
dari Barat, sistem dan kurikulumnya menurut Barat,
bahkan pembangunan angkatan bersenjatanya sebagai-
mana disebutkan sebelumnya juga diserahkan kepada
tenaga yang berasal dari Barat. Sekolah-sekolah yang
pertama dibangun adalah sekolah militer dan sekolah-
sekolah yang mendukung peningkatan bidang kemiliteran.
Besarnya perhatian Muhammad Ali terhadap masalah
kemiliteran dapat dipahami berkaitan dengan ambisinya
mempertahankan kekuasaan.
Karena itu dapat dilihat dari titik perbedaan kebijak-
sanaan militer yang ditempuh Muhammad Ali dari ke-
bijakan tradisional sebelumnya. Muhammad Ali me-
nempuh sikap keterbukaan dan bersahabat dengan
Eropa, mengadakan pembaruan militer dari segi sistem
dan persenjataan dengan tenaga pelatih dari Barat, dan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


65
ia mengambil petani sebagai anggota angkatan
bersenjata, sedang sebelumnya dari para budak.
Mesir adalah negeri pertanian, dan untuk mem-
pertinggi hasil-hasil pertanian, Muhammad Ali di samping
memperbaiki irigasi lama, mengadakan irigasi baru,
memasukkan penanaman kapas dari India dan Sudan
(1821-1822) dan mendatangkan ahli pertanian dari Eropa
untuk memimpin pertanian. Untuk kemajuan ekonomi ia
juga membawa perbaikan dalam bidang pengangkutan
(Nasution, 1979: 36). Di Kairo terutama di bagian utara
dibangun tanggul-tanggul guna menahan air terusan,
khususnya di tahun-tahun kurang terjadi banjir. Di
beberapa daerah terusan-terusan dan pompa uap
memberikan peluang bagi petani meningkatkan produksi
pertanian mereka (Nettleton, 1967: 284). Terusan
Mahmudiah yang menampung arus perdagangan sungai Nil
dan Iskandariyah mengalami perkembangan pesat. Dalam
perkembangan berikutnya, Iskandariyah menjadi salah satu
kota perdagangan Laut Tengah, sehingga banyak orang
Eropa yang tinggal di sana dan akhirnya penduduknya
bertambah dari 15.000 orang di tahun 1805 menjadi
150.000 orang di tahun 1847 (Nettleton, 1967: 284).
Pengolahan katon meningkatkan dengan cepat produksi
pertanian yang merupakan salah-satu sumber devisa negeri
Mesir dan Muhammad Ali juga mengimpor pabrik tekstil dan
gula (Hitti, 1974: 432).
Muhammad Ali menyita harta kekayaan kaum Mamluk
dan demikian pula harta-benda orang Mesir yang berada di
bawah kekuasaannya (Nasution, 1979: 36). Pada 1815 ia
mulai menguasai hasil kapas, rami dan batang lenan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


di Sudan. Dua tahun kemudian ia kuasai pula hasil nila,
bijian dan tumbuh-tumbuhan minyak lainnya. Kemudian
ia membentuk tim penyelidik yang bertugas menyelidiki
keabsahan harta milik tetap. Pemilik tanah yang menurut
penyelidikan tidak sah, maka sejak itu, ia mengelola
lahannya sebagai petani dan bukan pemilik tanah, sebab
tanah itu jatuh menjadi milik Pasya (Brockelman, 1974:
544).
Dari upaya-upaya dilakukan ini, Muhammad Ali
bermaksud- melakukan gebrakan-gebrakan besar dalam
rangka meningkatkan perekonomian rakyat Mesir. Akan
tetapi, bagi mereka upaya-upaya itu masih terlalu dini,
mereka belum siap menyambut kehidupan modern
karena masih terpengaruh dengan budaya lama, santai
dan senang dengan kehidupan sederhana. Akhirnya
usaha Muhammad Ali berakhir dengan kegagalan, karena
keku- rangan tenaga ahli dan ketiadaan pasaran
(Nasution, 1979: 36).
Dalam rangka membenahi bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan, Muhammad Ali mendirikan kementerian
pendidikan dan Council of Education (Hitti, 1974: 724). Ia
mendirikan sekolah Teknik (1816), Sekolah Kedokteran
(1829), Sekolah Pertambangan (1834), Sekolah Pertanian di
tahun 1836 (Nasution, 1979: 38). Boleh dikatakan bahwa
sekolah-sekolah serupa ini barulah pertama kali didirikan di
dunia Islam, sekolah-sekolah yang jauh berlainan dengan
sekolah-sekolah tradisional yang ada pada waktu itu
(Nasution, 1979: 38). Sekalipun demikian he did not creat a
national education system. For his school were tied to very
limited goals: the staffing of his administration and

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


67
his military machine (Savory, 1976: 150).
Seirama dengan pembenahan di bidang pendidikan
ini, Muhammad Ali mengirim pelajar-pelajar Mesir untuk
belajar ke Eropa terutama ke Paris. Pertama kali para
pelajar dikirim tahun 1809 antara 1809 sampai 1826
sejumlah 20 orang pelajar dikirim ke Itali, Prancis, dan
Inggris untuk mempelajari percetakan, kelautan, teknik
dan yang berkaitan dengan itu. Orang yang pertama kali
dikirim adalah Niqula Nasabki yang pernah belajar
percetakan di Roma pada 1815-1820, yang kemudian
ditunjuk sebagai direktur percetakan Bulak (1821-1831).
Kedua adalah Utsman Nur al-Din yang mempelajari ilmu
pengetahuan kemiliteran dan kelautan di Italia dan
Prancis (1809-1817 M) yang kemudian menjadi admiral
angkatan laut Mesir (Lughod, 1963: 35).
Menurut Ibrahim Abu Lughod, 35% dari pelajar yang
dikirim, mempelajari bidang kemiliteran dan ilmu
kelautan, 27% bidang teknik industri, 18% bidang
engineering, 7% bidang pengobatan, 6% bidang
administrasi, hukum dan politik, 4% bidang pertanian
dan 3% mempelajari bidang chemistry. Umumnya yang
mempelajari bidang kemiliteran dan kelautan adalah
keluarga Muhammad Ali sendiri (Lughod, 1963. hlm.35).
Menurut statistik di antara 1813 dan 1849 M.,
Muhammad Ali mengirim 313 pelajar Mesir ke Italia,
Prancis dan Austria. Di Paris didirikan satu rumah Mesir
untuk menampung pelajar-pelajar itu (Nasution, 1979:
37) Pengiriman para pelajar itu menghabiskan biaya
sebesar LE. 272.360 (Hitti, 1974: 724).
Dampak negatif pembaruan di bidang pendidikan ini,

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


terutama dengan didirikannya sekolah-sekolah modern,
adalah melemahnya peran lulusan sekolah-sekolah
tradisional dan para ulama, karena lapangan kerja lebih
terbuka bagi lulusan sekolah modern. Para lulusan sekolah
tradisional dan ulama tidak mengetahui ilmu pengetahuan
modern dan bahasa asing, yang pada giliran- nya
menyempitnya lapangan kerja bagi mereka baik di lapangan
pemerintah maupun swasta. Selain itu, atmosfir Meser yang
sebelumnya tidak tersentuh oleh kebudayaan- Barat
kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat
dengan adanya pembaruan di bidang pendidikan.
Muhammad Ali dengan bantuan tenaga-tenaga ahli
bahasa asing dan orang yang bekerja di dewannya mela-
kukan usaha penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam
bahasa Arab. Upaya ini pada mulanya tidak berhasil de-
ngan baik, karena para penerjemah bukanlah ahli dalam
ilmu-ilmu yang terkandung dalam buku-buku yang perlu
diterjemahkan itu. Hasil terjemahan tidak sempurna dan
juga karena penerjemahan tersebut dilakukan secara
sambilan (Nasution, 1979: 39). Oleh sebab itu, pada 1836
ia mendirikan Sekolah Penerjemah, yang kemudian
diserah- kan kepada Rifa’ah al-Tahtawi yang pernah
belajar di Paris untuk memimpinnya dan sejak itu
penerjemahan berjalan lancar. Sekolah penerjemahan ini
tahun 1841 menjadi sekolah Bahasa-bahasa,
administrasi, dan akuntansi dan tahun 1875 menjadi
Sekolah Hukum dan Administrasi (Lughod, 1963: 32).
Penerjemahan di Sekolah Penerjemahan ini dibagi
empat bagian, bagian Ilmu Pasti, bagian Ilmu Kedokteran,
Ilmu fisika, Sastra dan Bahasa Turki. Yang terakhir ini

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


69
bertugas menerjemahkan buku-buku pedoman militer yang
akan dipakai oleh perwira-perwira Turki yang terdapat
dalam Angkatan Perang Muhammad Ali (Nasution, 1979:
37). Di antara buku-buku yang diterjemahkan adalah A
History Of Italy, Histoire De I’ Empire De Russie Sous Purre Le
Grans, Travels in America, Travels in India, The Pince, Apercu
Historique Sules Moeurs Et Coutomes Des Nations dan
Naopelon Code (Lughod, 1963: 32).
Adapun para penerjemah adalah Abdullah Aziz,
Hasan Abu al-Su’ud, M.M. Bayya, Abduh Khalifah
Mahmud, H. Al-Jubayli, Hasan Qasim, Ahmad Abid al-
Tahtawi, Abdullah Husayn, R. R. Tahtawi, Sa’ad Niam
dan Utsman Jalal (Lughod, 1963: 32).
Dengan adanya penerjemahan ini pandangan orang
Mesir mulai kenal dengan negara-negara Barat, negara-
negara di Timur jauh dan Amerika. Dunia yang digam-
barkan buku-buku Barat itu jauh berlainan dari dunia
yang mereka kenal dari buku-buku karangan orang Islam
di abad pertengahan. Juga mereka mulai kenal dengan
filsafat Yunani, adat istiadat Barat yang jauh berlainan
dengan adat istiadat Islam (Lughod, 1963: 32).
Di samping gerakan penerjemahan buku-buku asing,
Muhammad Ali juga menerbitkan untuk pertama kalinya
(1828) surat kabar resmi dalam bahasa Arab yang
bernama Al-Waqa’I al-Mishriyah (Hitti, 1974: 724).
Bidang kesehatan dan kebersihan tidak luput dari
perhatian Muhammad Ali. Di Iskandaria ia membangun
sebuah karantina dan menunjuk konsul-konsul asing
menjadi suatu Dewan Kebersihan yang mendapat suntikan
dana dan wewenang penuh dari pemerintah. Sesudah

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


tahun 1840 kedatangan wabah penyakit dapat dikurangi,
kesehatan rakyat semakin membaik dan produksi per-
tanian juga mengalami peningkatan (Nettleton, 1967: 432).

C. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa usaha-
usaha pembaruan yang dilakukan Muhammad Ali mulai
dari pembenahan militer lengkap dengan teknik per-
senjataan modern, industrialisasi perekonomian, moder-
nisasi sistem pendidikan, penerjemahan buku-buku Eropa
sampai kepada masalah kesehatan dan kebersihan.
Sekalipun demikian tidak semua usahanya itu berhasil baik,
karena sebagian terlalu dini bagi rakyat Mesir dan mereka
masih terpaksa dengan kebiasaan-kebiasaan lama seperti
senang hidup sederhana dan lain lain.



SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


71
2
AL-TAHTAWI DAN IDE-IDE
PEMBARUANNYA
Oleh: Amany Lubis

A. RIWAYAT HIDUP AL-TAHTAWI

R ifa’ah Badawi Rafi al-Tahtawi umumnya dikenal de- ngan


sebutan al-Tahtawi (1216-1290 h./1801-1873) hidup
dalam masa empat orang Pasya yang hidup
di Mesir, yaitu Muhammad Ali (1805-1848), Abbas (1848-
1854), dan Said (1854-1863) dan Ismail (1863-1875). Al-
Tahtawi berasal dari Tahta di Mesir Selatan. Orangtuanya
petani pemilik tanah yang diambil oleh Muhammad Ali
Pasya ketika dilancarkan pengambil-alihan tanah-tanah
milik rakyat oleh Raja, sehingga untuk membiayai
sekolah al-Tahtawi dibantu oleh keluarga ibunya.
Pendidikan dasar diselesaikan di kota kelahirannya,
kemudian masuk Al-Azhar pada usia 16 tahun.
Kecerdasan dan ketekunan al-Tahtawi menarik perhatian

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


salah seorang ulama al-Azhar, Syeikh Hasan al-Attar,
yang banyak bergaul dengan tentara Prancis yang datang
bersama Napoleon. Al-Tahtawi juga berkenalan dengan
mereka. Perkenalan ini akhirnya membawa tumbuhnya
wawasan baru dalam pandangan al-Tahtawi mengenai
perlunya mempelajari ilmu pengetahuan umum dan
teknik, di samping pelajaran-pelajaran keagamaan yang
diperolehnya di al-Azhar.
Keadaan Mesir seperti halnya keadaan negeri Islam
lainnya ketika itu jauh tertinggal dengan kemajuan yang
telah dicapai oleh Eropa, terutama Prancis yang mengusai
Mesir. Lembaga pendidikan di Mesir hanya menekankan-
pengajaran dan pendidikan keagamaan. Tidak meng-
herankan bila masyarakat dan bahkan kalangan terpelajar
merasa asing dengan peralatan-peralatan yang dibawa
ekspedisi Napoleon ke Mesir, seperti teleskop, mikroskop,
alat-alat untuk percobaan kimia dan lain sebagainya.
Lembaga-lembaga pendidikan di Mesir di waktu itu belum
memungkinkan para pelajarnya mengenali atau meng-
gunakan alat-alat tersebut.
Dalam kondisi masyarakat yang demikian, perkenalan
al-Tahtawi dengan para ahli Prancis telah menumbuhkan
dorongan yang besar untuk mempelajari ilmu pengetahuan
lebih jauh yang membawa kemajuan Eropa umumnya dan
Prancis khususnya. Setelah al-Tahtawi menamatkan
pendidikan di al-Azhar (1817-1822), ia dipercaya me-
ngemban tugas mengajar di almamaternya sendiri, tetapi
dua tahun kemudian dia mendapat tugas baru sebagai
imam tentara. Ketika Muhammad Ali mengirim pelajar-
pelajar Mesir ke Prancis untuk belajar dalam bidang-

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


73
bidang militer, teknik, kedokteran dan lain-lain, al-
Tahtawi termasuk salah seorang di antara mereka
dengan tugas sebagai imam mahasiwa. Dari tangan
mereka inilah tumbuh pemikiran baru di Mesir di mana
al-Tahtawi turut memainkan perannya.
Al-Tahtawi sangatlah gemar membaca dan mem-
pelajari ilmu-ilmu yang baru baginya. Dengan tekun ia
mempelajari ilmu-ilmu yang baru baginya. Dengan tekun
ia mempelajari bahasa Prancis secara otodidak atau
memanggil guru privat ke rumahnya setelah ia tinggal di
Paris. Dengan modal penguasaan bahasa yang baik, ia
dapat mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan
dari buku-buku berbahasa Prancis. Ia juga mempelajari
teknik penerjemahan. Al-Tahtawi pernah mendapat
hadiah dua buku karangan Silvestre de Sacy atas
keunggulannya dalam penguasaan bahasa Prancis;
kemudian kedua buku tersebut diterjemahkan oleh al-
Tahtawi sendiri ke dalam bahasa Arab. Pada ujian akhir
setelah lima tahun tinggal di Paris al-Tahtawi melahirkan
12 buku terjemahan hasil karyanya sendiri, diantaranya
Kitab al-Ma’ad dan Nubzah fi Tarikh Iskandar Al-Akbar.
Tiba di Kairo al-Tahtawi diangkat sebagai guru
bahasa Prancis dan penerjemah di Sekolah Kedokteran.
Tidak lama kemudian Muhammad Ali memindahkannya
ke sekolah Artileri untuk mengepalai bagian terjemah,
khususnya bidang-bidang teknik, geometri, dan militer.
Atas hasil jerih payah dan kontribusi al-Tahtawi dalam
bidang pengembangan ilmu pengetahuan, ia diberi gelar
kehormatan Bek.
Pada 1835 al-Tahtawi mendapat tugas men-dirikan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


sekolah Terjemah (Qalam Al-Tarjamah) yang kemudian
namanya berubah menjadi sekolah Bahasa-Bahasa Asing
(Al-Alsun). Beberapa bahasa yang diajarkan adalah
bahasa Prancis, Italia, Turki, Persia, dan Bahasa Arab
sendiri. Selain mata pelajaran bahasa diajarkan pula
ilmu teknik, sejarah, dan ilmu bumi. Kegiatan
menerjemah bahasa di sekolah ini dilakukan oleh staf
khusus dan para mahasiswanya. Menurut keterangan
sekitar 2000 buku yang berhasil diterjemahkan ke
bahasa Arab dan Turki oleh lembaga ini dari 1822-1842.
Selain tugas sebagai penerjemah dan mengepalai
sekolah militer, al-Tahtawi juga memimpin penerbitan
majalah sastra Raudah al-Madaris. Ia pernah meminpin
surat kabar al-Waqai’ al-Misriah yang bukan hanya
memuat berita-berita resmi, tetapi juga pengetahuan-
pengetahuan tentang kemajuan Barat. Al-Tahtawi adalah
seorang penulis yang aktif; ia tak pernah berhenti
menulis dan menerjemah hingga akhir hayatnya di tahun
1873. Atas jasa al-Tahtawi akhirnya Mesir mempunyai
banyak penerjemah, intelektual, insinyur, baik mereka
itu muridnya langsung atau pemikir-pemikir yang
berpengaruh oleh karya-karya yang sangat berguna itu.

IDE-IDE PEMBARUAN AL-TAHTAWI


Gerakan pembaruan yang jelas terlihat di Mesir
bermula setelah terusirnya pasukan Prancis di tahun 1801.
Pengaruhnya yang paling besar adalah masuknya
peradaban Barat ke negara-negara Arab, khususnya Mesir.
Aspek-aspek yang menyebabkan timbulnya gerakan pem-
baruan di abad XIX adalah berdirinya sekolah-sekolah

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


75
modern dan nilai-nilai baru dan lembaga-lembaga seperti
yang terdapat di Barat, seperti percetakan, pers, semangat
kebebasan pribadi, lembaga-lembaga sastra dan ilmiah,
perpustakaan umum, museum, dan seni sandiwara. Posisi
al-Tahtawi dalam gerakan ini jelas sangat kuat. Ia adalah
seorang pemikir dan sastrawan, sehingga ia dijuluki bapak
pembaruan di Mesir karena jasanya yang besar dalam
memasukkan ide-ide dan kebudayaan Barat ke Mesir.
Dalam buku Takhlis al-Ibriz, ia menyatakan gagasan-
gagasannya mengenai soal-soal kehidupan secara umum:
politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan militer yang
bersumber dari pengalamannya selama tinggal di Prancis. Ia
mengungkapkan bahwa ciri-ciri kehidupan modern adalah
kebebasan pribadi (al-hurriyah al-syakhsiah). Pengaruh
konsep ini besar sekali di dunia Arab, sehingga melahirkan
pemikiran-pemikiran yang bebas sehingga membuka mata
rakyat untuk menuntut persamaan hak dan kewajiban.
Jiwa kebebasan ini telah diterapkan oleh pelajar-pelajar
Mesir yang dikirim Muhammad Ali ke Paris; terlihatlah
mereka selalu berusaha melepaskan diri dari adat kebiasaan
yang menghantarkan kepada kemunduran. Al-Tahtawi juga
menyatakan bahwa keadilan adalah dasar dari kemajuan
negara dan menjamin ketenteraman antara penguasa dan
rakyat. Secara terselubung ia mengkritik keadaan sosial di
Mesir di mana tersebarnya kezaliman dan pungli. Rakyat
terlalu banyak dibebani pajak, sehingga mereka selalu
mengeluh.
Sebenarnya al-Tahtawi setibanya di Paris sangat
kaget melihat ilmuwan di sana menyatakan bahwa bumi
itu bulat, tetapi akhirnya diyakininya juga. Doktrin baru

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


ini disampaikan kepada rakyat Mesir dengan sangat hati-
hati, agar para pembacanya tidak menolaknya atau tidak
menertawakannya. Jadi, dalam mengungkapkan ide-ide
baru ia bersikap sebagai penerjemah saja tanpa
menyatakan pendapat pribadinya, apakah ia setuju atau
tidak.
Al-Tahtawi berpendapat bahwa memajukan ekonomi
adalah penting karena ia menyadari itulah sebab kemak-
muran. Kesejahteraan seperti di Eropa akan tercapai-
dengan memajukan ekonomi. Al-Tahtawi ingin mengubah
kebiasaan yang dipengaruhi oleh ajaran tarekat untuk tidak
mementingkan dunia agar taraf hidup dapat dinaikkan.
Dalam bukunya Manahij al-Bab al-Alba al-Tahtawi
mengatakan bahwa raja yang baik ialah yang mampu
menjalankan kekuasaannya dengan baik, tetapi agar
kekuasaan itu tidak menimbulkan kesewenang-wenang-
an perlu dibatasi oleh syari’at dan syura ulama. Raja
harus tunduk pada ketentuan-ketentuan syari’at dan
menjadikan ulama sebagai pembantunya agar dapat
memberikan tuntunan yang sesuai dengan tuntunan
syari’at. Di samping ulama pun harus melengkapi penge­
tahuannya sejalan dengan ilmu dan teknik agar dapat
memahami ajaran-ajaran syari’at dengan benar dan
sesuai dengan perkembangan zaman. Sejak umat Islam
mengalami kemunduran sesudah Baghdad jatuh, umat
Islam semakin sempit pandangannya dengan membatasi
diri untuk mempelajari soal-soal keagamaan saja dan
meninggalkan falsafat, aljabar, kimia, sejarah, dan ilmu
pengetahuan lain yang pernah berkembang di zaman
keemasan Islam. Akibatnya negeri-negeri Islam tertinggal

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


77
dari kemajuan yang dicapai di Eropa. Menyadari hal ini
al-Tahtawi berjuang keras untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan melalui penerjemahan buku-buku asing ke
dalam bahasa Arab dan menulis sendiri beberapa buku.
Dalam bagian lain bukunya Manahij al-Bab al-Misriah,
al-Tahtawi mengemukakan konsep Plato mengenai negara
yang menyatakan bahwa Negara tersusun dari 4 golongan
yaitu, raja, ulama, dan para cendekiawan, tentara, dan
kaum produsen. Keempat golongan ini merupakan
komponen yang saling melengkapi satu sama lain. Raja
sebagai penguasa harus didampingi ulama dan cendekiawan
yang membantu pelaksanaan kekuasaan raja sesuai dengan
tujuan yang benar. Dua golongan yang lain adalah golongan
yang diperintah, harus memiliki loyalitas dan ketaatan pada
golongan yang memerintah. Mengingat konsep kerajaan
merupakan sistem yang berlaku di se- luruh dunia Islam
pada waktu itu, maka al-Tahtawi dalam teori politiknya
banyak menggambarkan sistem kerajaan yang ideal.
Kemudian ia melanjutkan bahwa pemerintah kerajaan akan
mengalami stagnasi karena tidak men- dapatdukungan dan
ketaatan dari rakyat. Sedang untuk menjaga agar ketaatan
benar-benar terwujud dalam ke- hidupan “bernegara”, harus
dikembangkan hubungan antara yang memerintah dan yang
diperintah secara baik; masing-masing mempunyai hak dan
kewajiban.
Sekalipun raja memduduki takhtanya bukan dipilih
oleh rakyat, dalam hal ini golongan tentara dan kaum
produsen, jadi raja tidak bertanggung jawab kepada mereka
(tanggung jawab raja semata kepada Allah). Namun raja
tidak boleh melupakan rakyat, tidak boleh bersikap

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


zalim dan sewenang-wenang kepada rakyat sebab hal itu
bertentangan dengan ketentuan syari’at Allah. Untuk itu,
raja harus mengerahkan tenaga dan pikiran untuk
memajukan perekonomian dan perdagangan, pertanian dan
pendidikan. Produksi bahan-bahan kebutuhan bagi
kehidupan rakyat harus pula dikembangkan untuk
mencapai kesejahteraan dan kemajuan perekonomian.
Demikian pula, produksi peralatan militer dan pendidikan
personel harus mendapat perhatian raja untuk menjamin
terwujudnya tentara yang mampu menangkal serangan
musuh dan menjamin keamanan nasional.
Al-Tahtawi menulis buku al-Mursyid al-Amin li al-Banat
wa al-Banin dalam bidang pendidikan. Ia mengemukakan
pentingnya pendidikan bagi wanita agar dapat mengetahui
hak dan kewajiban sosial yang menjadi tanggung jawab
dalam hubungan dengan lawan jenis maupun hak dan
kewajiban sesama mereka sendiri. Wanita harus diajarkan
baca tulis, berhitung, dan pengetahuan lain. Dengan
pendidikan wanita akan lebih cerdas dan beradab, se-
hingga mereka mampu mendampingi suami sebagai istri
maupun sebagai kawan berdiskusi untuk menyelesaikan
masalah-masalah rumah tangga atau kemasyarakatan.
Menurut al-Tahtawi, penekanan terhadap wanita hanya
untuk memenuhi kebutuhan suami sebenarnya adalah
warisan jahili’ah sebelum Islam. Dikatakan selanjutnya
bahwa pendidikan wanita akan menyebabkan mereka
memiliki budi pekerti yang baik dan terpuji yang pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap pendidikan anak-
anak mereka. Tentang pendidikan wanita ini, al-Tahtawi
mendasarkan argumentasinya kepada hadis Nabi yang

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


79
artinya menyatakan bahwa baca tulis adalah mubah.
Demikian pula pembaruan dengan kalangan pria dalam
kelas juga tidak dilarang sepanjang hal itu bersifat wajar
dan sesuai dengan kodrat masing-masing.
Al-Tahtawi adalah pemikir Mesir pertama yang menya-
takan dengan jelas pentingnya pendidikan wanita. Setelah ia
wafat masalah hak dan kedudukan wanita sering diangkat
menjadi topik pembahasan dalam artikel-artikel dan
ceramah-ceramah. Adapun masalah kerudung wanita tidak
banyak dibahas di masa itu sampai Qasim Amin menulis
bukunya Tahrir al-Mar’ah. Hal ini disebabkan oleh karena
kebanyakan pembela wanita setelah al-Tahtawi adalah
kaum Nasrani. Konsep pendidikan yang dikemukakan al-
Tahtawi ini pada dasarnya adalah anjuran emansipasi
wanita (Tahrir al-Mar’ah) seperti yang dikemukakan Qasim
Amin, tetapi al-Tahtawi mengemukakan konsep ini 30 tahun
lebih dulu, sejak dia berada di Prancis.
Di bagian lain dari buku-buku yang ditulisnya al-
Tahtawi melontarkan ide baru tentang hubungan al-wathan
(patriotisme). Konsep pemikiran ini untuk pertama kali
muncul di dunia Islam, terutama bila dikaitkan dengan
pendidikan, yaitu bahwa tujuan pendidikan bukanlah
semata-mata pengajaran ilmu pengetahuan dan
keterampilan, tetapi juga untuk membentuk sikap
kepribadian dan patriotisme. Pemikiran yang mapan kala itu
ialah bahwa seluruh dunia Islam adalah tanah air (watan)
bagi orang muslim. Dengan konsep cinta tanah air ini, al-
Tahtawi menawarkan pandangan baru mengenai konsep
tanah air yang tidak berdasarkan pertalian agama,
sebagaimana pandangan yang berlaku ketika

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


itu. Ditekankannya bahwa Mesir adalah tanah air orang-
orang Mesir, sekalipun mereka tidak beragama Islam.
Tumbuh pemikiran alternatif untuk mengembangkan
ikatan persaudaraaan; yang pertama ikatan berdasarkan
kesamaan agama dan yang kedua berdasarkan ikatan
tanah air. Tidak dipersoalkan mana yang penting, sebab
kedua-keduanya sama penting. Tetapi, dalam
perkembangan selanjutnya persaudaraan setanah air
lebih banyak dianut di negeri-negeri Islam dari pada
persaudaraan seagama, ikatan setanah air berdirinya
Negara-negara Islam dewasa ini.
Salah satu pengalaman al-Tahtawi yang lain selama
tinggal di Prancis ialah sikap masyarakat yang tidak
memer- cayai qada dan qadar Tuhan, mereka tidak
memercayai ketergantungan manusia kepada Tuhan.
Tentang hal ini al-Tahtawi tidak sependapat. Sebaliknya
dia melihat masyarakat Mesir bersikap fatalistik.
Menyerahkan semua soal kehidupan kepada qada dan
qadar Tuhan tanpa melakukan ikhtiar terlebih dahulu.
Al-Tahtawi mencela kedua-duanya. Manusia tidak boleh
menyerahkan bulat-bulat semua soal kehidupannya
kepada Tuhan tanpa mau berusaha; demikian pula
manusia tidak boleh menolak adanya qada dan qadar
Tuhan sebab hal itu menyalahi kodrat manusia sendiri.

C. KESIMPULAN
Sebagai penerjemah sering kali al-Tahtawi hanya
menyampaikan ide-idenya kepada masyarakat tanpa
menyatakan pendapatnya sendiri; seperti yang dilaku-
kannya dalam cabang ilmu geografi atau mengenai konsep

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


81
demokrasi. Jadi, konsep demokrasi yang dibawanya belum
bisa berpengaruh karena di Prancis sendiri di kala itu belum
juga mantap. Al-Tahtawi hanya membahas masalah-
masalah tersebut, bukan harus untuk dite- rapkan
langsung; barulah di kemudian hari konsep-kon- sep ini
berkembang dan diterapkan. Meniru langkah yang
dilakukan al-Tahtawi, akhirnya para pembaru mulai
meninggalkan tradisi taklid dan menghasilkan karya-karya
bebas. Al-Tahtawi telah berhasil memengaruhi kaum
terpelajar di Mesir, khususnya para ulama al-Azhar.



Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


3
JAMALUDDIN AL-
AFGHANI IDE-IDE
PEMBARUAN DAN
KEGIATAN POLITIK
Oleh: H.A. Hafizh Anshari

A. PENDAHALUAN

D i dalam sejarah perkembangan modern di dunia


Islam, nama Sayyid Jamaluddin al-Afghani tercatat sebagai
salah seorang tokoh besar dan pemimpin pembaruan yang
sangat berpengaruh. Ide-ide pembaruan yang dilontarkannya
bergema di seluruh dunia Islam, sehingga di mana-mana
kaum muslimah bangkit berjuang membebaskan diri dari
cengkeraman kolonialisme dan
berusaha memperbaiki keadaan mereka.
Ia, putra Safdar, keturunan Husain bin Ali bin Abi
Thalib, yang lahir di As’adabad, dekat Konar, wilayah Kabul,
Afghanistan, pada 1254 H/1839, telah mencurahkan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


83
hidup dan perhatiannya untuk kebangkitan dan kejayaan
umat Islam (Lewis, dkk., 1965: 416-417). Ia sangat pri-
hatin terhadap dominasi Barat di dunia Timur, despotisme
sejumlah penguasa muslim, dan kelemahan serta kemun-
duran umat Islam. Karena itu, ia melanglang buana dari
satu negara ke negara lain menyerukan persatuan Islam,
mengingatkan kaum muslimin akan bahaya imperialisme
Barat, dan membangkitkan semangat mereka untuk ber-
juang mewujudkan kejayaan sebagaimana kejayaan yang
pernah diperoleh umat Islam pada zaman klasik (650-1250).

“Di mana pun ia berada,” kata Ahmad Amin, “saya


melihat api yang menyala-nyala, pemikiran-pemikiran
yang bangkit, tuntutan-tuntutan yang menggebu-gebu,
dan pemerintahan yang terguncang. Ia telah menetapkan
tujuan hidupnya dan mencurahkan segenap
ke-mampuan- nya untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu
membangkitkan negara-negara Islam dari kelemahan,
membuka pandangan bangsa-bangsa akan hak-hak
mereka, melepaskan be- lenggu bangsa asing dari
mereka, menetapkan batas-batas penguasa dan rakyat,
dan mengikat negara-negara Islam dengan satu ikatan
kekhalifahan- di Istambul (Amin, 1965: 291).
Aktivitasnya Sayyid Jamaluddin al-Afghani (selanjut-
nya disebut al-Afghani) memang tidak terbatas di tempat
kelahirannya, Afghanistan. Ia juga bergelut dalam dunia
politik di berbagai negara. Ia pernah tinggal di India, Mesir,
Turki, Iran, Inggris, dan Prancis. Bahkan, pengaruh terbesar
yang ditinggalkannya bukan di negerinya sendiri, melainkan
di Mesir; sekalipun ia berada di negara ini hanya

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


sekitar delapan tahun atau di tahun 1871-1879
(Nasution, 1988: 51-53). Selama ia berada di Mesir,
banyak tokoh yang dekat dan menjadi muridnya, antara
lain Muhammad Abduh, Sa’ad Zaglul (pemimpin
kemerdekaan Mesir), Ibrahim al-Laqani, Ibrahim al-
Halbawi, Mahmud Sami al-Barudi, Ibrahim al-Muwailihi,
dan Adib Ishak (Amin, 1965: 292).
Dalam kepastiannya sebagai filsuf, penulis, orator,
dan jurnalis (Gibb dan Kramers, 1953: 85), di samping
politikus uang ulung, ditambah dengan pengalaman yang
banyak dan kedalaman ilmu pengetahuan yang
dimilikinya, di mana pun ia berada, ia selalu mendapat
simpati dan memperoleh banyak pengikut, sekaligus di-
benci dan dimusuhi oleh sebagian yang lain. Ia dibenci
karena di mana pun ia berada, ia selalu meneriakkan
penentangan terhadap kolonialisme dan despotisme
penguasa. Karenanya, kaum imperialis dan para
penguasa despotis tidak senang terhadapnya. Ia juga
menyerukan pembaruan pemahaman dan interpretasi
ajaran-ajaran Islam agar ajaran agama tersebut sesuai
dengan situasi dan kondisi perkembangan zaman.
Seruan terakhir ini membuat sebagian tokoh agama,
khususnya kelompok tradisional, tidak menyukainya
karena hal itu dianggap dapat menodai ajaran agama.
Perjalanan hidup al-Afghani yang cukup panjang penuh
dihiasi dengan aktivitas dan perjuangan untuk kemajuan
dan kejayaan Islam. Sampai ia wafat di Istambul (Turki)
pada 9 Maret 1897 karena kanker yang menyerang rahang,
kemudian menjalar ke lehernya (Adams, 1933: 12). Ide-ide
baru yang dibawa dan aktivitas politik yang

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


85
dilakukannya memberikan pengaruh yang besar
terhadap gerakan pembaruan dan perlawanan terhadap
kolonialisme di periode sesudahnya.

IDE-IDE PEMBARUAN
Apabila ide pembaruan Muhammad Ali Pasya (1765-
1849) yang lebih menonjol adalah pembaruan di bidang
pranata sosial dan melahirkan sejumlah kaum intelektual
berpendidikan Barat dan Rafi’ al-Tahtawi (1801-1873) di
bidang pemikiran, maka ide pembaruan al-Afghani yang
pokok adalah di bidang politik. Karena itu, beberapa
penulis lebih menempatkan al-Afghani sebagai pemimpin
politik ketimbang pemimpin dan pembaru dalam Islam.
“Tetapi”, demikian Prof. Dr. Harun Nasution, “tak boleh
dilupakan bahwa kegiatan politik yang dijalankan al-
Afghani sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang
pembaruan dalam Islam. Kegiatan politik itu timbul
sebagai akibat yang semestinya dari pemikiran-
pemikirannya tentang pembaruan” (Nasution, 1988: 54).
Jika dilihat kapasitas ilmu agama yang dimiliki al-
Afghani dan latar belakang aktivitas politik yang dilaku-
kannya, apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution di
atas cukup beralasan, antara lain karena:
Aktivitas politik yang dilakukan al-Afghani menentang
dominasi Barat dan despotisme penguasa didasarkan
pada kenyataan bahwa dominasi Barat dan despotisme
penguasa tersebut sangat merugikan umat Islam dan
membawa mereka kepada kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan. Umat Islam sendiri ketika itu bersifat
statis dan fatalistis, menyerahkan diri kepada

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


nasib,dan tak berbuat apa-apa kecuali taat dan patuh
kepada penguasa (Amin, 1965: 294). Kenyataan ini
merupakan salah satu faktor penyebab lemah dan
mundurnya mereka. Fatalisme dan statisme itu terjadi
antara lain karena kekeliruan pemahaman terhadap
ajaran agama, khususnya pemahaman tentang qada
dan qadar. Bagi al-Afghani qada dan qadar mestilah
dipahami sebagai hukum kausalitas (Nasution 1988:
55), bukan pasrah tanpa berbuat apa-apa,
Dominasi Barat dan despotisme penguasa yang menye-
babkan kaum muslimin menderita dan sengsara adalah
suatu perbuatan aniaya. Tuhan tidak membenarkan
orang berbuat zalim dan memerintahkan umat Islam
untuk memerangi kezaliman.
Slogan perjuangan yang dibawa al-Afghani ialah firman
tuhan “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum kecuali mereka sendiri yang
mengubah keadaan mereka (surah al-Ra’d ayat 11).
Selama beberapa abad, ayat ini seperti tidak mendapat
perhatian. Umat Islam telah terjebak ke dalam jurang
kejumudan dan kepasrahan yang naïf.
Aktivitas politik dan ide-ide pembaruan al-Afghani
bertujuan untuk kepentingan dan kemajuan umat
Islam. Memperhatikan umat Islam dan berusaha
memperbaiki keadaan mereka merupakan bagian
dari ajaran Islam. Tidak ada fakta sejarah yang
menun- jukkan bahwa kegiatan politik al-Afghani
bertujuan untuk mengantarkannya ke puncak
kekuasaan ter- tinggi.
Di samping ahli politik, al-Afghani juga ahli agama,

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


87
bahkan dalam usia relatf muda, 18 tahun, dapat
dikatakan bahwa segala ilmu pengetahuan Islam
telah dipelajari dan diketahuinya (Adams, 1933: 4).
Sejak kecil ia rajin menuntut ilmu. Pada usia lima
sampai sepuluh tahun ia belajar di sekolah di
kampungnya. Sejak umur sepuluh tahun ke atas ia
belajar di berbagai daerah di Iran dan Afghanistan.
Dalam usia 18 tahun, disamping pengetahuan
agama, ia juga telah mempelajari dan mengetahui
logika, filsafat, fisika, metafisika, matematika,
astronomi, kedokteran, anatomi, dan lain-lain. Ia
juga pandai berbahasa Afgan, Persia, Turki, dan
Arab, di usia tersebut. Dalam usia 18 tahun ini pula
ia berangkat ke India untuk menambah ilmu
pengetahuan. Ia mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan
Barat dan metodologi berpikir mereka serta belajar
bahasa Inggris, dan tinggal di India selama sekitar
satu setengah tahun (Adams, 1933: 5).
Dengan beberapa alasan di atas, adalah logis bila
dikatakan bahwa ide-ide pembaruan dan aktivitas yang
dilakukan al-Afghani tidak terlepas dari kerangka ke-
agamaan. Aktivitas politik yang dilakukannya serta ide-
ide yang terkandung di dalamnya merupakan wujud dari
pembaruan yang dicanangkannya.
Al-Afghani adalah pelopor gerakan salafiyah modern
(Lewis dkk., 1965: 416). Ide-ide pembaruan tampaknya
tecermin pada pemikiran-pemikiran yang terkandung di
dalam gerakan Salafiyahnya ini. Salafiyah, menurut H.
Munawir Sadzali, MA, adalah suatu aliran keagamaan
yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran
Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan
oleh generasi pertama Islam, yang biasa disebut salaf
(pendahulu) yang saleh” (Sjadzali, 1990: 124). Pemikiran-
pemikiran yang terkandung di dalam gerakan Salafiyah
al-Afghani ini meliputi tiga komponen utama:
Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan
kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau
umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang
masih murni, dan meneladani pola hidup para
sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidun.
Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi
Barat, baik politik, ekonomi, maupun kebudayaan.
Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam
bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat
Islam harus belajar dari Barat dalam dua bidang
tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil
kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh
dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara
selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan
teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali
dunia Islam (Sjadzali, 1990: 125).
Ide pembaruan yang terkandung dalam komponen
pertama di atas tampaknya adalah keperluan akan adanya
interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Islam, sehingga
ajaran tersebut sesuai dengan perkembangan zaman. Pada
komponen kedua terkandung ide anti-kolonialisme dan
dominasi Barat yang melahirkan gagasan al-Afghani tentang
persatuan umat Islam atau lebih popular dengan sebutan
pan-Islamisme. Sedangkan pada komponen ketiga

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


89
terkandung pemikiran tentang pengambil-alihan ilmu
dan teknologi dari Barat ke dunia Islam. Berikut ini akan
dibahas ide-ide tersebut secara ringkas.

Interpretasi Baru terhadap Ajaran Islam


Salah satu faktor penyebab kemunduran umat Islam,
menurut pandangan al-Afghani, adalah ditinggalkannya
ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran
yang datang dari luar lagi asing bagi Islam (Nasution, 1988:
51-53). Hal ini antara lain karena umat Islam terbelenggu
oleh taklid dan tertutupnya pemikiran untuk melakukan
ijtihad. Kecenderungan terhadap taklid mengakibatkan
mereka dengan mudah dipermainkan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab sehingga ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya hanya tinggal di atas kertas. Apa yang
dikatakan oleh orang-orang terdahulu (ulama atau tokoh
tertentu yang dikagumi) dipegang erat-erat tanpa dilakukan
penilaian kritis dan penyelidikan akan kebenaran pendapat
itu. Akibatnya banyak ajaran Islam yang dipahami secara
keliru.
Salah satu contoh yang dikemukakan al-Afghani ialah
pemahaman tentang qada dan qadar. Akibat pemahaman
yang tidak tepat, kepercayaan terhadap qada dan qadar
membawa kepada sikap statis dan fatalistik. Padahal, umat
Islam di zaman klasik dapat maju, bersikap dinamis,
melahirkan peradaban yang tinggi, sehingga dikagumi oleh
dunia internasional, karena keyakinan dan kepercayaan
mereka terhadap adanya qada dan qadar. Bagi umat Islam
di masa lampau, keyakinan kepada qada dan qadar justru
memupuk keberanian dan kesabaran mereka dalam meng-

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


hadapi berbagai macam bahaya dan kesukaran sehingga
mereka dapat keluar sebagai pemenang dan memperoleh
kejayaan. Menurut al-Afghani, “qada dan qadar
sebenarnya mengandung arti bahwa segalau sesuatu
terjadi menurut ketentuan sebab-musabab. Kemauan
manusia merupakan salah satu dari mata rantai sebab-
musabab itu” (Nasution, 1988: 51-53).
Penulis tidak menemukan uraian lengkap tentang qada
dan qadar menurut al-Afghani; namun, dari penjelasan
singkat di atas dapat dikatakan bahwa al-Afghani tetap
memercayai adanya qada dan qadar, hanya pengertiannya
yang tidak sama dengan pemahaman mayoritas umat ketika
itu. Mayoritas kaum muslimin memahami qada dan qadar
sebagai suatu ketentuan Tuhan yang bersifat mutlak dan
tidak bisa diubah. Segala-galanya sudah ditetapkan-Nya.
Manusia hanya menjalani apa yang sudah menjadi
ketetapan Tuhan itu. Bagi al-Afghani qada dan qadar adalah
hukum kausalitas (sebab-akibat) yang disebut oleh Ahmad
Amin sebagai sunnatullah (Amin, 1965: 138). Karena itu,
apa pun yang terjadi pada diri manusia tergantung kepada
usaha manusia itu sendiri.
Karena pemahaman keagamaan yang berkembang di
zamannya ternyata membawa umat Islam kepada sikap
statis dan fatalistis sehingga mereka berada dalam
kemunduran dan keterbelakangan, maka al-Afghani
melontarkan ide pembaruan berupa dorongan untuk
melakukan interpretasi baru terhadap ajaran agama.
Dengan interpretasi baru ini, Islam akan mampu men-
jawab setiap tantangan zaman. Idenya ini tampaknya di-
dasari oleh keyakinannya bahwa Islam adalah agama

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


91
yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan
semua keadaan (Nasution, 1988: 54). Konsekuensi dari
pandangan dan keyakinannya ini adalah keharusan umat
Islam melakukan ijtihad. Memang, baginya pintu ijtihad
tidak tertutup (Nasution, 1988: 55). sebagaimana diyakini
oleh mayoritas umat ketika itu. Di samping itu, al-
Afghani adalah salah seorang penentang taklid yang gigih
berjuang membebaskan kaum muslimin dari belenggu
taklid (Enayat, 1982: 56).
Jalan pikiran al-Afghani sebagaimana tecermin dalam
contoh qada dan qadar di atas menunjukkan bahwa ia
adalah seorang rasional. Memang, jika dilihat pemikiran-
pemikiran dan aktivitas serta gerakan pembaruan yang
dilakukannya, al-Afghani tampaknya juga meniupkan angin
rasionalisasi ke dunia Islam; angin yang selama berabad-
abad tidak berhembus. Tetapi, rasionalisme yang
dikembangkan al-Afghani tidaklah liberal, dalam arti bebas
nilai sama sekali. Rasionalisasinya yang dikembangkannya
tetap terikat dengan ajaran dasar agama. Dalam hal
emansipasi wanita, misalnya, ia memandang kemampuan
intelektual wanita tidak berbeda dengan laki-laki. Ia
berpendapat, wanita boleh saja bekerja di luar rumah jika
memang diperlukan, tetapi harus didasari oleh niat dan
tujuan yang baik. Ia juga tidak melarang wanita membuka
tutup kepalanya, asal tidak sampai menimbulkan hal-hal
yang negatif (Amin, 1965: 114). Karena itu, wanita
mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendi-
dikan sebagaimana laki-laki. Namun, perlu dicatat di sini
bahwa al-Afghani tidak mencetuskan konsep emansipasi
wanita. Ia hanya bicara sedikit mengenai masalah ini.

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Pan-Islamisme
Ide pembaruan al-Afghani yang terpenting adalah
gagasan tentang persatuan umat Islam (Pan-Islamisme).
Beberapa penulis menyebutkan bahwa persatuan umat
Islam yang dimaksudkan oleh al-Afghani ialah per-
satuan di bawah naungan seorang khalifah. Charles C.
Adams, misalnya mengatakan, tujuan utama yang ingin
dicapai oleh al-Afghani dalam perjuangannya ialah
menegakkan persatuan seluruh umat Islam di bawah
satu pemerintahan Islam yang dikepalai oleh seorang
khalifah yang berkuasa penuh, sebagaimana di zaman
keemasan Islam dahulu (Adams, 1933: 13). Hal senada
juga dike- mukakan oleh H.A.R Gibb dan J.H. Kramers
(Gibb dan Kramers, 1953: 85). Bahkan, Ahmad Amin
lebih tegas menyebutkan- bahwa ikatan negara-negara
Islam menjadi satu yang dikehendaki oleh al-Afghani
adalah ikatan kekhalifahan di Istambul (Amin, 1965:
291). Pernyataan-pernyataan ini menggambarkan seolah-
olah al-Afghani ingin mengembalikan sistem kekhalifahan
di dunia Islam sebagaimana zaman kejayaan Islam
dahulu. Benarkah demikian, kiranya perlu dikaji
kembali. Pernyataan-per- nyataan tersebut barangkali
muncul dari kesimpulan adanya gerakan Salafiyah yang
dipelopori oleh al-Afghani karena Salafiyah, sesuai
dengan namanya, berorientasi kepada masa lampau, dan
masa lampau itu memakai sistem kekhalifahan.
Karena al-Afghani tidak memberikan penegasan khu-
sus dalam masalah ini, maka untuk memahami maksud
al-Afghani dapat dilihat dari pendiriannya tentang

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


93
pemerintahan. Ini dapat ditelusuri dalam tulisan Prof. Dr.
Harun Nasution berikut:
Corak pemerintahan otokrasi (menurut al-Afghani, pen.)
harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi. Kepala
negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin
masyarakat yang banyak mempunyai pengalaman.
Pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali. Islam
dalam pendapat al-Afghani, menghendaki peme- rintahan
republik yang di dalamnya terdapat kebebasan
mengeluarkan- pendapat dan kewajiban kepala negara
tunduk kepada undang-undang dasar (Nasution, 1988: 56).

Ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian


dari tulisan di atas, yaitu demokrasi dan republik yang
merupakan ide pemerintahan ideal menurut al-Afghani.
Demokrasi biasanya diartikan “bentuk atau sistem peme­
rintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah
dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat”
(Moeliono, 1989: 195). Republik berarti “pemerintahan
yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang
presiden”­ (Moeliono, 1989: 195). Apabila diperhatikan
sejarah khalifah-khalifah sejak zaman al-Khulafa’a al-
Rasyidun hingga zaman Turki Ustmani tidak akan dite-
mukan sistem pemerintahan sebagaimana pengertian
demokrasi dan republik di atas. Karena itu, kalau al-
Afghani ingin mengembalikan sistem kekhalifahan, dalam
arti sebagaimana kekhalifahan di masa lampau berarti
bertentangan dengan pendiriannya tentang bentuk
pemerintahan yang dikehendakinya.
Dengan demikian, Pan-Islamisme yang dicanangkan
oleh al-Afghani bukanlah dimaksudkan untuk mengum-

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


pulkan kekuasaan di tangan seorang khalifah sebab hal
itu sangat sulit dilakukan karena beberapa hal, antara
lain:
Umat Islam sudah terpecah-pecah ke dalam ber-
bagai negara dan telah memiliki pemerintahan
sendiri-sendiri.
Meskipun kesadaran nasionalisme belum tum-
buh subur di zaman al-Afghani, namun
pengaruh- etnis yang ditunjang oleh eksistensi
pemerintahan masing-masing, menyebabkan
timbulnya kesu- litan mempersatukan umat
Islam di bawah satu pemerintahan.
Para penguasa muslim yang berasal dari
berbagai macam latar belakang rata-rata
berambisi untuk menjadi penguasa tertinggi
sehingga sulit di- harapkan mereka bersedia
tunduk kepada perin- tah satu orang.
Tidak ada figur pemersatu yang bisa diterima
secara mutlak oleh semua pihak.
Al-Afghani sendiri tampaknya tidak menghendaki
kekuasaan berada di tangan satu orang. Yang dikehen-
dakinya ialah umat Islam seluruhnya tunduk kepada al-
Qur’an dan menjadikan agama sebagai penunjuk jalan.
Tiap Negara Islam yang sudah ada hendaknya berusaha
sekuat tenaga membela Negara Islam yang lain karena
wujud Negara Islam yang satu berkaitan erat dengan
eksistensi- Negara Islam yang lain (Amin, 1965: 84).
Dengan demikian, Pan-Islamisme yang dibawa al-Afghani
merupakan suatu ikatan politik yang mempersatukan
umat Islam seluruhnya yang didasarkan atas solidaritas

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


95
akidah Islam dengan tujuan membina kesetiakawanan
dan persatuan umat Islam (Sjadzali, 1990: 125-126).
Umat Islam yang ingin dipersatukan oleh al-Afghani
lewat gagasan Pan-Islamismenya ini tidak terbatas hanya
untuk kaum Sunni saja, tetapi seluruh kaum muslimin
dari aliran apa pun, termasuk kaum Syi’ah. Karena itu,
al-Afghani dikenal sebagai tokoh yang berusaha
mempersatukan Sunni-Syi’ah. bahkan, menurut Hamid
Enayat, al-Afghani lebih taat asas dibanding dengan
pemersatu yang lain (dalam hal ini Muhammad Abduh)
karena latar belakangnya sendiri yang berakar pada
tradisi Sunni maupun Syi’ah dan karena statusnya yang
“tak bernegara” sehingga ia mampu menyerukan
toleransi supra-mazhab (Enayat, 1982: 83).
Gagasan Pan-Islamisme al-Afghani ini ditanggapi
positif oleh Ahmad Amin sehingga ia mengecam Sa’ad
Azhlul yang mengatakan, “Nol ditambah nol sama dengan
nol,” Artinya, Negara terjajah biarpun bersatu tetap tidak
akan bisa berbuat apa-apa. Pernyataan Sa’ad Zaglul itu,
kata Ahmad Amin, tidak benar. Yang benar ialah, “Minus
lima dikali minus lima sama dengan plus dua puluh
lima”. Satu Negara jajahan mungkin tidak mempunyai
arti apa-apa, tetapi kalau semua negara jajahan bersatu
tentu sanggup menghadapi kolonialisme Eropa (Amin,
1965: 139).
Al-Afghani menganggap perlu umat Islam bersatu
karena ia melihat bahwa salah satu faktor lemahnya
umat Islam adalah karena mereka tidak bersatu itu. “Tali
persaudaraan Islam telah terputus, bukan di kalangan
awam saja, tetapi juga di kalangan alim ulama. Ulama

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Turki tidak kenal lagi pada ulama Hejaz, demikian pula
ulama India tidak mempunyai hubungan dengan ulama
Afghanistan. Tali persaudaraan antara raja-raja Islam juga
sudah terputus” (Amin, 1965: 139). Di samping itu, ide Pan-
Islamisme ini muncul tentu tidak lepas dari gerakan politik
yang dilakukannya: Menentang imperialisme dan dominasi
Barat dan despotisme para penguasa. Ia dikenal seorang
yang sangat anti terhadap kolonialisme dan merupakan
orang Islam pertama yang menyadari sepenuhnya akan
bahaya dominasi Barat (Stoddard, 1921: 63).
Untuk mewujudkan ide Pan-Islamismenya, al-Afghani
menggunakan segala kemampuan yang dimilikinya, baik
berpidato, menulis, berorganisasi, maupun melalui jalur
pengajian dan diskusi-diskusi dan pendekatan dengan para
tokoh terkemuka. Namun, usahanya itu tidak berhasil
(Nasution. 1988: 56), barangkali karena beberapa hal:
Para penguasa muslim dan umat Islam belum siap
menerima gagasan Pan-Islamisme yang dilontarkan-
nya.
Jalan yang ditempuh oleh al-Afghani adalah cara-cara
revolusioner. Dan ini tampaknya merupakan
sikapnya- yang tidak bisa diubah sehingga ia disebut
sebagai seorang revolusioner Islam yang tidak hanya
menyerukan- perlawanan terhadap para penguasa
muslim yang despotis (Fernau, 1955: 67). Hal ini
tentu tidak bisa diterima oleh para penguasa muslim
yang berambisi untuk tetap bertahan di atas
singgasana kekuasaannya, padahal, bagaimanapun,
keberhasilan Pan-Islamisme, pada akhirnya banyak
tergantung pada para penguasa muslim itu.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


97
Al-Afghani, sekalipun seorang tokoh besar, tetapi
tidak semua orang dapat menerimanya. Bahkan go-
longan ulama pun ada yang menolaknya seperti
ulama-ulama konservatif di Mesir karena usahanya
yang ingin menghidupkan pelajaran filsafat, suatu
ilmu yang dianggap musuh oleh mereka (Adams,
1933: 7). Akibatnya, tentu gagasan-gagasannya tidak
bisa berjalan mulus.
Pengaruh Barat sangat kuat di dunia Islam, terutama
pengaruh terhadap para penguasa muslim, sehingga
dalam beberapa hal, al-Afghani tidak bisa berbuat
banyak. Ia diusir dari Mesir pada 1879 Khedewi
Taufiq atas tekanan Inggris menunjukkan kuatnya
pengaruh Barat terhadap penguasa Mesir itu
(Nasution, 1988: 52).
Di dunia Islam tidak ada pemimpin atau penguasa
yang dapat diterima menjadi pemimpin dunia Islam
dan dapat dijadikan tokoh sentral.
Belajar dari Barat. Meskipun al-Afghani sangat anti
kolonialisme dan dominasi Barat, namun di pihak lain
ia menganjurkan umat Islam agar mempelajari ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh bangsa-
bangsa Barat. Ia berpendapat, untuk men- capai tujuan
kaum muslimin (persatuan umat Islam dan melepaskan
diri dari cengkeraman bangsa Barat), mereka harus
memiliki teknik kemajuan Barat dan mempelajari
rahasia-rahasia kekuatan Eropa (Stoddard, 1921: 65).
Kemajuan yang dicapai oleh Barat, baik di bidang
militer, politik, ekonomi, maupun kebudayaan, tidak
lain karena mereka menguasai

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


dunia ilmu pengetahuan. Karena itu, untuk bias
maju, umat Islam juga harus mempelajari ilmu
pengetahuan dan teknologi mereka.
Dalam jangka waktu yang cukup lama, banyak
ulama Islam yang tidak membenarkan kaum muslimin
mempelajari sesuatu dari Barat karena Barat bukan
beragama Islam sehingga apa pun produk mereka tidak
bisa diterima. Ketika itu memang yang dikenal oleh umat
Islam adalah “Islam” dan “kafir”.
Sebenarnya, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan
tek- nologi Barat sudah diperkenalkan oleh Napoleon
Bonaparte ketika ia melakukan ekspedisi ke Mesir (1798-
1801 M) dan ketika Muhammad Ali Pasya berkuasa di
Mesir (1805-1849 M), ia banyak mengirim mahasiswa ke
Eropa serta mendirikan beberapa lembaga pendidikan
yang diilhami oleh kemajuan Eropa, namun sampai
pada+ zaman al-Afghani masih banyak ditemui ulama-
ulama konservatif yang tidak menyukai dipelajarinya
ilmu pengetahuan Barat itu.
Untuk mengatasi masalah ini, al-Afghani
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimiliki Barat sekarang berasal dari orang Islam. Karena
itu, mem- pelajari ilmu pengetahuan dan teknologi dari
Barat pada hakikatnya adalah mengambil kembali milik
umat Islam itu (Sjadzali, 1990: 125).

Kegiatan Politik
Dalam perjalanan sejarah hidup al-Afghani sejak usia
remaja hingga akhir hayatnya, ia selalu terlibat dalam
kegiatan politik. Ini tentu tidak bisa terlepas dari tujuan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


99
pokok yang ingin diperjuangkannya, yaitu kemerdekaan
kaum muslimin dari dominasi Barat dan umat Islam
memperoleh kejayaannya kembali. Ia menyadari bahwa
tujuan itu bisa dicapai melalui proses yang panjang lewat
jalur pendidikan dan adaptasi ajaran agama Islam dengan
keadaan zaman, namun ia yakin pula bahwa aksi
revolusioner tidak dapat dihindarkan (Antonius, 1981: 69).
Karena itulah, di mana pun ia berada, ia selalu menyulut
api revolusi menentang dominasi Barat dan despotisme
penguasa karena despotisme penguasa pada dasarnya juga
merupakan faktor lemah dan mundurnya umat Islam.
Aktivitas politik tampaknya dimulai setelah ia
kembali dari menunaikan ibadah haji tahun 1857. Ia
diangkat menjadi pegawai Pangeran Dost Muhammad
Khan, Amir yang memerintah di Afghanistan ketika itu.
Dost Muhammad Khan sendiri memerintah di
Afghanistan sejak 1819 sampai 1863. Ia digantikan oleh
Shir Ali Khan dari 1863 hingga 1866 (Robinson, 1987: 2).
Pada masa pemerintahan Shil Ali ini, ia diangkat menjadi
penasihat di tahun 1864 (Nasution, 1988: 51). Ketika
terjadi perang saudara antara Shir Ali dengan
Muhammad A’zam Khan, al-Afghani berpihak kepada
Muhammad A’zam, dan berhasil menang. Muhammad
A’zam naik takhta, al-Afghani pun diangkat menjadi
Perdana Menteri saat ia berumur 27 tahun (Adams, 1933:
5). Tak lama kemudian perang saudara pecah lagi. Kali
ini dengan bantuan tentara dan emas dari Inggris Shir Ali
menang, Muhammad A’zam diusir dan meninggal dunia.
Meskipun al-Afghani berpihak kepada Muhammad
A’zam, namun karena ia seorang sayyid yang sangat ber­

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


pengaruh, Shir Ali tidak berani memusuhinya secara
terang-terangan. Namun, demi keamanannya, al-Afghani
berangkat ke India (1869). Tetapi, di sini ia tidak lama
karena tekanan pemerintah setempat yang dimotori oleh
Inggris karena India ketika itu sudah di bawah
kekuasaan Inggris. Pada 1879 ia pindah ke Mesir dan
tinggal di sana sampai 1879. Kegiatan politik yang
menonjol yang dilakukannya di sini ialah menghubungi
para tokoh dan pejabat, menulis artikel di media-media
cetak yang ada, berbicara di berbagai forum pertemuan
dan majelis-majelis tertentu, dan memberikan pelajaran
politik di tempat mana pun ia berada (Amin, 1965: 292).
Di samping itu, ia juga mendirikan partai Al-Hizb al-
Wathani yang bertujuan- untuk memperjuangkan
pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan pemasukan
unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi penting dalam
militer. Salah seorang anggota partai ini, Khedewi Taufiq,
berhasil naik takhta, berkat dukungan al-Hizb al-
Wathani, setelah Khedewi Ismail, ayahnya, digulingkan,
Khedewi Taufiq yang naik takhta 25 Juni 1876
diharapkan dapat berbuat banyak sesuai dengan
tuntutan partai, ternyata tidak seperti yang diharapkan.
Akibat tekanan Inggris, al-Afghani sendiri diusir oleh
Khedewi Taufiq, September 1879 (Adams, 1933: 7).
Dari Mesir sekali lagi al-Afghani pergi ke India dan
tinggal di Hyderabad Deccan. Di sini ia menulis sebuah
karya berjudul The Refutation of the Materialist (Bantahan
Terhadap Golongan Materialis) dalam bahasa Parsi yang
berisi pembelaan terhadap Islam dari serangan kaum
Dahriah. Kemudian ia pergi ke Eropa dan menetap di

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


101
Paris sekitar tiga tahun. Di sini ia membentuk sebuah
perkumpulan bernama Al-‘Urwah al-Wusqa yang bertujuan
untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela
Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan.
Anggota-anggotanya adalah kaum muslimin yang berasal
dari India, Mesir, Rusia, Afrika Utara, dan lain-lain.
Perkumpulan ini selanjutnya menerbitkan sebuah majalah
dengan nama yang sama Al-‘Urwah al-Wusqa (Nasution,
1988: 53). Namun majalah ini hanya sempat terbit 18 edisi.
Edisi pertama diterbitkan pada 15 Jumadil Awwal 1301 H/
12 Maret 1883 dan yang terakhir tanggal 26 Zulhijjah 1301
H/17 Oktober 1883 (Amin, 1965: 82) karena peredarannya
di negeri-negeri Islam dihalangi oleh penguasa kolonial
(Sjadzali, 1990: 118). Kegiatan politik lain yang cukup
penting bagi al-Afghani ialah keterlibatannya dalam usaha
penyelesaian sengketa Rusia-Persia yang timbul akibat
politik pro-Inggris pemerintah Persia. Tetapi karena terjadi
perselisihan paham dengan Syah Nasir al-Din, al-Afghani
akhirnya meninggalkan Persia. Yang terakhir ia tinggal di
Istambul (Nasution, 1988: 53). Ia datang ke sini karena
diundang oleh Sultan Abdul Hamid pada 1892 (Stoddard,
1921: 64). Sultan Abdul Hamid tertarik dengan ide Pan-
Islamisme al-Afghani. Karena itu, segera al-Afghani di-
angkat menjadi Kepala Biro Propaganda Pan-Islamisme
(Nasution, 1988: 54).
Meskipun pada mulanya kerja sama kedua tokoh ini
berjalan baik, namun akhirnya hubungan mereka
merenggang, karena terdapat perbedaan prinsip yang men-
dasar di antara keduanya. Al-Afghani mempunyai pemi-
kiran yang demokratis, sementara Sultan Abdul Hamid

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


ingin mempertahankan otokrasi lamanya. Al-Afghani
tidak dapat keluar dari Istambul karena dilarang Sultan,
sampai ia wafat pada 1897.

C. PENUTUP
Ide pembaruan terpenting dari al-Afghani adalah
pembaruan di bidang politik yang didasari oleh
pemikiran-pemikiran keagamaan. Meskipun idenya,
semacam Pan-Islamisme tidak berhasil baik, namun,
pengaruhnya sangat besar di kemudian hari dengan
lahirnya usaha-usaha pembebasan diri dari kolonialisme.
Bahkan pengaruh itu menjalar sampai ke Indonesia yang
tecermin dari perjuangan Syarikat Islam.
Ide-ide pembaruan yang dicetuskan oleh al-Afghani
yang diikuti dengan aktivitas politik tanpa henti merupa-
kan wujud dari kerinduannya yang dalam akan kejayaan
dan keagungan Islam seperti yang pernah dialami di
masa klasik. Ia juga meninggalkan sejumlah warisan
hidup yang tak ternilai harganya, antara lain Syekh
Muhammad Abduh, murid terkasihnya.



SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


103
4
MUHAMMAD ABDUH: TEOLOGI
RASIONAL DAN IDE-IDE
PEMBARUAN
Oleh: Ahmad Rofiq

PENDAHULUAN

D alam peta pembaruan dalam Islam, Muhammad


(1849-1905) boleh jadi merupakan tokoh yang paling
Abduh

berpengaruh, bukan saja di Mesir yang


menjadi wilayah garapannya melalui Universitas Al-Azhar,
tetapi juga di seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Di
dunia Arab, menurut J.L. Esposito, ia dicatat sebagai bapak
modernisme Islam (Esposito, 1988: 132). Muhammad
Abduh, memang bukan yang pertama melakukan gerakan
pembaruan, tetapi ide-idenya yang mencakup aspek-aspek
politik, agama, dan khususnya pendidikan serta reformasi
sosial melahirkan gaung pembaruan yang masih

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


terasa hingga kini. Di Indonesia, gerakan pembaruan
yang dimotori oleh al-Irsyad dan Muhammadiyah,
tampaknya juga dipengaruh Muhammad Abduh melalui
tulisan-tulisannya dan karya-karya muridnya. Lebih dari
itu atas pengaruh pemikirannya, telah melahirkan
ulama-ulama modern, seperti Mustafa al-Maraghy,
Mustafa abd al-Raziq, Farid Wajdi, dan lain-lain.
Basis pemikiran pembaruan Abduh, adalah panda--
ngannya- bahwa agama dan akal saling melengkapi,
agama dan sains tidak ada pertentangan (Esposito, 1988:
132). Namun menurut Abduh, hal ini tidak mendapat
perhatian yang memadai dari umat Islam. Umat Islam
telah tenggelam dalam samudra taklid dan bid’ah yang
menjadikan- me- reka tertidur berkepanjangan. Islam
sebagai ajaran, me- nurut Abduh, sebenarnya
diturunkan kepada umat Islam yang berpikir jauh ke
depan karena kemampuan akalnya. Ketika Abduh terlibat
polemik dengan Ernest Renan, Filsuf Prancis. Abduh
sempat mendesak Renan tentang keunggulan ajaran
Islam. Tetapi ketika Renan me- nanyakan umat mana di
antara umat Islam yang meru- pakan gambaran Islam
yang hebat itu. Muhammad Abduh pun bagai tanduk
terkesima dan dengan sedih berkata bahwa umat Islam
mundur karena meninggalkan ajaran agamanya-.
Sebaliknya orang-orang Kristen Eropa maju karena-
meninggalkan ajaran agamanya (Esposito, 1988: 15).
Sebagai tokoh pembaru kiranya tidak perlu diper-
debatkan, corak pemikirannya menjadi dasar ide-ide
pembaruannya- memengaruhi dunia Islam, termasuk di
Indonesia (Nasution, 1987: 97). Tulisan ini akan mencoba

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


105
mengungkap pemikiran teologi dan ide-ide pembaruannya.

BIOGRAFI SINGKAT MUHAMMAD ABDUH


Muhammad Abduh lahir pada 1849 bertepatan
dengan tahun 1265 H di daerah perkampungan wilayah
Mesir. Bapaknya bernama Abduh Khairullah pernah
masuk penjara karena dituduh terlibat sebagaimana
kakeknya, menentang pemerintahan Muhammad Ali.
Abduh mula-mula dibesarkan di Mahallat Nasr, dengan
kegiatan menulis dan membaca di rumah. Dilanjutkan
belajar menghafal al-Qur’an dan bisa diselesaikan dalam
tempo dua tahun. Pada usia 14 tahun, ia dikirim oleh
orang tuanya ke Tanta untuk meluruskan bacaannya di
masjid al-Ahmadi. Selain itu, Abduh juga belajar bahasa
Arab dan fiqh, namun karena metode menghafal yang
tidak disertai dengan penjelasan, meski satu setengah
tahun ia tempuh, ia masih belum mengerti apa-apa
(Nasution, 1987: 97). Dan tampaknya hal ini membawa
akibat yang kurang menguntungkan bagi dirinya. Ia
tinggalkan Tanta dan pulang ke Mahallat Nasr dengan
niat tidak akan belajar lagi.
Tahun 1292 H/1366 ia kawin dan 40 hari setelah itu,
oleh orang tuanya, Abduh dipaksa kembali ke Tanta.
Konsisten dengan niatnya, ia memilih lari ke Kanisah Urin,
dan bertemulah dengan seorang sufi kerabat ayahnya
Syeikh Daswisy Khadr. Ahmad Amin melukiskan, kalau saja
Abduh tidak bertemu dengan Syeikh Darwisy, Abduh yang
terkenal itu adalah Abduh sebagai petani yang hanya
dikenal di kampungnya yang terdaftar dalam buku mutasi
penduduk yang tercatat dalam daftar kelahiran dan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kematian (Amin, 1965: 283). Atas bimbingan dan dorongan
Syeikh Darwisy, Abduh bangkit dari keputusasaan dan
mulailah ke Tanta, ia telah dapat memahami apa yang
diberikan gurunya dan yang ia baca sendiri. Beberapa bulan
kemudian ia pergi ke al-Azhar, yang dianggap sebagai pusat
kajian Islam. Di al-Azhar, Abduh tampaknya juga kecewa,
karena metode pengajarannya tidak jauh berbeda dengan di
Tanta yaitu menghafal, dan mempelajarinya terbatas ilmu-
ilmu agama dan bahasa Arab, Logika, Matematika, Ilmu
ukur dan sebagainya tidak dipelajari (Nasution, 1987: 12).
membaca buku biografi, ilmu alam atau falsafah adalah
haram malahan memakai sepatu adalah bid’ah (Nasution,
1987: 13). Meskipun Muhammad Ali dan al-Tahtawi, telah
merintis pembaruan pendidikan modern, bahkan berkiblat
ke Barat, dan juga merangkul akademisi al-Azhar, dikotomi
pendidikan tampaknya tak dapat dihindarkan; sayap
tradisional begitu kokoh dengan pendiriannya, sementara
pendidikan sekuler – jika boleh dikatakan demikian –
berjalan didukung kekuasaan politik dan militer yang
bertambah mapan. Di mata rakyat awam, citra Muhammad
Ali terasa menakutkan, maka rakyat termasuk ayah
Muhammad Abduh berpindah-pindah tempat.

Bagi ulama al-Azhar, ilmu-ilmu umum atau sains


dipandang termasuk fardhu kifayah dan cukup diajarkan
oleh ulama di luar al-Azhar (Aqqad t.t: 39), seperti Syeikh
Hasan al-Jabarti, karena itu al-Azhar telah terlepas dari
kewajiban mengajarkan ilmu-ilmu demikian. Segala se-
suatu yang datang dari Eropa dipandang haram dan
membawa kekafiran.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


107
Menghadapi kenyataan demikian, Abduh, meski tetap
menuntul ilmu di al-Azhar, tetapi berusaha mencari ilmu-
ilmu dunia di luar al-Azhar. Di antaranya ia belajar kepada
Syeikh Hasan al-Tawil, yang tahu filsafah, logika, ilmu ukur,
soal-soal dunia dan politik (Nasution, 1987: 13). Selain itu
Abduh lebih suka membaca buku-buku yang dipilihnya di
perpustakaan al-Azhar. Abduh juga belajar falsafah, mate-
matika, teologi dan lain-lain kepada Jamaluddin al-Afghani
yang datang ke Mesir di penghujung tahun 1286 H/ 1870.
Bahkan, ia sempat memengaruhi banyak temannya untuk
belajar kepada tokoh pembaru dari Afghanistan ini.
Perkenalan intelektualnya ini nanti banyak mewarnai
kariernya, dan bekerja sama dalam menyebarkan gagasan-
gagasan pembaruan. Kecenderungan teologinya sempat
mengguncangkan tokoh-tokoh di al-Azhar, karena ia me-
nyebarkan pemikiran Mu’tazilah. Ia sempat dituduh ingin
menghidupkan kembali aliran Islam liberal. Tekadnya untuk
membasmi taklid dan Abduh tidak ingin melakukan taklid
baik kepada Asy’ari maupun Mu’tazilah. Yang Abduh
utamakan adalah bagaimana membangun argumen yang
kuat (Ridha, 1931: 134).
Di tengah-tengah kesibukan belajarnya, Abduh sejak
perkenalannya dengan al-Afghani, telah memulai menulis
artikel-artikel di harian al-Ahram yang baru saja didirikan
(Nasution, 1987: 15), meliputi sains, sastra Arab, politik,
agama dan sebagainya. Tahun 1877 Abduh menyelesaikan
studinya di al-Azhar, dengan hasil “baik”, penilaian yang
dinilai tidak fair, karena penguji-pengujinya tidak senang,
bahkan berniat menjatuhkannya. Seharusnya Abduh men-
dapat predikat amat baik. Bahkan kalau saja ada predikat

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


cum laude, seharusnya ia memperoleh derajat akademik
tertinggi ini (Ridha, 1931: 103).
Karier akademinya dilanjutkan sebagai pengajar
kampus almamaternya dan di Darul Ulum dan juga men-
jadikan rumahnya sebagai tempat belajar bagi murid-
muridnya. Di Azhar, ia mengajarkan logika, teologi dan
falsafah. Di Darul Ulum ia mengajar sejarah dengan buku
Mukaddimah karya Ibnu Khaldun sebagai buku referensi. Di
rumah, ia mengajarkan etika dengan merujuk buku Tahzib
al-Akhlaq karya filsuf Islam Ibn Maskawaih, dan Sejarah
Peradaban Eropa karangan F. Guizot dari Prancis, Bagi
Abduh, sasaran pengajarannya adalah mendidik mahasiswa
berpikir karena itulah majelis pengajarannya selalu
dikerumuni banyak mahasiswa. Selain mengajar,
tampaknya Abduh tidak bisa menolak keterlibatan politik,
akibat pengaruh gurunya al-Afghani. Hal ini karena pe-
nguasa Mesir, Khedewy Ismail, dalam melancarkan
modernisasi yang dirintis Muhamma Ali, mengubah Kairo
dan Iskandariah bagaikan kota Eropa dengan pinjaman
dana dari Inggris dan Prancis. Untuk kepentingan program
ini, Inggris dan Prancis turut campur tangan soal urusan
dalam negeri Mesir. Inilah, yang oleh al-Afghani ditentang. Ia
membentuk al-Hizb Watani (Partai Nasional Mesir) untuk
membangkitkan semangat cinta tanah air rakyat Mesir yang
dirintis al-Tahtawi (Nasution, 1987: 61).
Muhammad Abduh sendiri tidak segan-segan mem-
bicarakan isu nasionalisme di dalam kuliah-kuliah dan
tulisannya di koran. Cara ini tampaknya cukup efektif untuk
membakar semangat nasionalisme Mesir, melawan rezim
Khedewy Ismail yang telah terperangkap dalam kekuasaan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


109
Inggris dan Prancis. Karena terdesak, ia menyerahkan
kekuasaannya kepada anaknya Khedewy Tewfik.
Penguasa baru mengusir al-Afghani dan Abduh dari
Mesir, 1879. Tetapi jiwa Nasionalisme telah tumbuh
subur di kalangan rakyat Mesir. Tahun 1882 pecah
pemberontakan Urabi Pasya, tetapi gagal. Abduh sendiri
tidak setuju dengan cara politik Urabi yang menuntut
parlemen. Karena Abduh tahu bahwa rakyat Mesir belum
matang untuk kehidupan parlemen. Bagi Abduh, yang
terpenting justru pendidikan yang baik, yang dapat
mencerdaskan rakyat (Nasution, 1987: 17).
Keterlibatannya dalam pemberontakan ini, menerima
hukuman dibuang ke luar negeri setelah ditahan selama
3 bulan. Mula-mula ia memilih Beirut, kemudian atas
undangan al-Afghani, ia datang ke Paris untuk kemudian
membentuk gerakan dan penerbitan al-Urwah al-Wusqa.
Tema sentralnya menentang kolonialisme Eropa di dunia
Islam, meski hanya terbit 18 kali selama delapan bulan.
Tahun 1885 Abduh berpisah dengan al-Afghani dan
kembali ke Beirut untuk kemudian memusatkan
perhatian dan kegiatannya pada ilmu dan pendidikan. Ia
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan ijtihadnya sendiri.
Tanpa terikat kepada penafsir klasik. Ia juga mengajar di
madrasah Sultaniyah logika, teologi, sejarah Islam dan
Fiqh. Orang Nasrani juga ikut belajar di sini, selain orang
Islam Sunni, Syi’ah dan Druz. Ceramah-ceramahnya di
madrasah Sultaniyah kelak menjadi buku monumental
Risalah al-Tauhid.
Tahun 1888 Abduh baru bisa kembali ke Mesir, atas
lobbying kalangan istana dengan Lord Cromer dari pihak

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Inggris, dan Ahmad Mukhtar Pasya dari pihak kerajaan
Ustmani serta teman-teman Abduh di Kairo (Nasution,
1987: 19 dan Amin, 1965: 310). Tetapi niatnya mengajar
kembali di Dar al-Ulum tak disetujui oleh Khedewy
Tewfik karena dikhawatirkan pemikiran politiknya akan
memengaruhi para mahasiswa.
Untuk itu ia diangkat sebagai hakim pengadilan
negeri, mulanya di Benha di Zagazig. Kemudian
dipindahkan ke Kairo menjadi hakim pengadilan negeri.
Tahun 1890 diangkat menjadi Penasihat pada Mahkamah
Tinggi (Nasution, 1087: 19). Keadilan menjadi pegangan
utama dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim.
Selain itu cita-citanya memperbarui kurikulum al-Azhar
tetap men- dapat perhatiannya.
Tahun 1899 Abduh diangkat menjadi mufti Mesir,
suatu jabatan resmi penting yang berwenang menafsirkan
hukum syari’ah untuk seluruh Mesir, dan fatwa-fatwa yang
dikeluarkannya memiliki sifat mengikat. Produk pemikiran
hukumnya diwarnai kebebasan ijtihadnya dengan tidak
terikat dengan produk pemikiran hukum ulama-ulama
sebelumnya. Pada tahun ini juga ia diangkat menjadi Majelis
Syura, dewan legislatif Mesir Majelis Syura di saat
hubungan dengan pemerintah tidak harmonis. Berkat
ketekunan dan cita-citanya mendidik rakyat memasuki
kehidupan politik demokrasi berdasarkan musyawarah, ia
dapat menjadi mediator kedua lembaga di atas. Pemerintah
telah menaruh kepercayaan kepada Majelis Syura dalam
membahas ren-cana-rencana pem- bangunannya untuk
kepentingan rakyat Mesir. Meskipun demikian,
keterlibatannya di kancah politik tampaknya

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


111
tidak sepenuhnya menjadi pilihannya. Bahkan, ia
menulis “aku berlindung kapada Allah dari politik, kata
dan arti politik” (Abduh, 1973: 100-1).
Apresiasinya terhadap kemajuan sains dan
kebudaya- an Barat, ditunjuk melalui upaya memperluas
cakrawala pengetahuannya. Pada usia 44 tahun, Abduh
belajar bahasa Prancis. Begitu pentingnya bahasa untuk
mengetahui sains Barat, ia seakan mensyaratkan bahwa
orang yang tidak mengetahui salah satu bahasa Eropa di
zaman modern, tidaklah bisa disebut ulama (alim).
Pilihannya kepada bahasa Prancis, karena di Mesir telah
didominasi kebudayaan Prancis. Setelah menguasai
bahasa Prancis, ia banyak membaca buku-buku Prancis
meliputi falsafah, sosiologi, pendidikan, psikologi, etika,
matematika, ilmu alam, sejarah dan karya-karya
orientalis tentang Islam. Masa-masa liburan selama
belajarnya digunakan ber- kunjung ke Eropa
mengunjungi Universitas Oxford dan Cambridge. Juga
menjumpai ilmuwan-ilmuwan Barat seperti Gustave
Lebon, H. Spencer, W. Blunt dan E. Brown. Yang terakhir
ini bahkan menganggapnya sebagai guru. Tahun 1905,
tepatnya pada 11 Juli, Abduh harus memenuhi panggilan
Tuhan, setelah agak lama menderita kanker hati, dan
belum sempat menunaikan ibadah haji, karena faktor
politis, yaitu kecurigaan Khedewy Abbas di Mesir dan
sultan Abdul Hamid Istambul (Nasution, 1987: 27).

TEOLOGI RASIONAL
Corak teologi Muhammad Abduh adalah teologi
rasional. Corak tersebut dapat ditelusuri melalui karya-

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


karyanya, antara lain Risalah al-Tauhid, Hasyiyah al-Syarh
al-Dawwani li al-Aqaid al-Adudiah, dan Tafsir al-Nanar. Di
kalangan ilmuwan, sistem teologi Abduh tetap kontroversial.
C.C. Adams misalnya berkesimpulan bahwa ajaran teologi
Muhammad Abduh termasuk dalam teologi Ahlussunnah
(Adams, 1933: 115). Horten sebagaimana dikutip Prof.
Harun Nasution, menganggap Abduh meng- ikuti
Ahlussunnah secara ekstrim (Nasution, 1987: 3).
Michel dan Abd al-Raziq yang menerjemahkan Risalah
al-Tauhid ke dalam bahasa Prancis cenderung menilai
Abduh dalam sifat-sifat Tuhan sebagai pengikut Asy’ari, dan
dalam kebebasan memberi kritik sebagai seorang Mu’tazilah
modern (Nasution, 1987: 3). Mereka yang me- nilai Abduh
sebagai Ahlussunnah umumnya berpegang kepada buku
Risalah al-Tauhid, yang ditulis pada 1885 dari kumpulan
ceramahnya di madrasah Sultaniyah. Prof. Harun Nasution
melalui penelitiannya yang intens dalam tesis Ph. D-nya
berkesimpulan bahwa corak teologi Muhammad Abduh
adalah Mu’tazilah (Nasution, 1987:
atau paling tidak banyak persamaannya dengan
Mu’tazilah (Dunia, 1958: 62). Sependapat dengan ini, adalah
Jomier, Usman Amin, Gardet dan Anawati, Caspar,
Kerr dan Sulaiman Dunia. Malahan yang terakhir ini
menilai Abduh memberikan kedudukan akal lebih tinggi
daripada Mu’tazilah.
Akal menurut Abduh memiliki kemampuan bukan
hanya empat masalah; mengetahui tuhan, kewajiban
mengetahui tuhan, mengetahui baik dan buruk dan
mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan
kejahatan, tetapi mempunyai dua kelebihan, yaitu pertama,

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


113
mengetahui adanya kehidupan, tetapi mempunyai dua
kelebihan, yaitu pertama, mengetahui adanya kehidupan
akhirat sesudah kehidupan dunia, dan kedua, mengadakan
hukum-hukum tentang apa-apa yang diketahui akal itu dan
mengajak manusia untuk tunduk kepada hukum itu
(Nasution, 1987: 92). Karena memberikan kedudukan tinggi
kepada akal, maka peran wahyu lebih banyak ber- fungsi
konfirmasi. Karena pada dasarnya antara akal dan agama
tidak terdapat pertentangan (Esposito, 1989: 132). Umat
manusia saat Islam datang --kata Abduh-- telah mencapai
usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional
(Nasution, 1987: 45). Apa yang mereka cari terdapat dalam
Islam. Nabi juga berbicara kepada akal dan membuat akal
menjadi hakim antara apa yang benar dan apa yang salah.
Di dalam Islam agama berteriak kepada akal, sehingga ia
tersentak dari tidurnya yang panjang (Nasution, 1987: 148).

Bagi Abduh, pemikiran rasional adalah jalan untuk


memperoleh- iman yang sejati. Iman tidak sempurna, kalau
tidak didasarkan atas akal. Dan akallah yang menjadi
sumber keyakinan pada Tuhan dan Ilmu serta
kemahakuasaan-Nya dan para Rasul (Nasution, 1987: 124).
Namun demikian, kemampuan akal menurut Abduh,
memiliki keterbatasan. Karena itu, manusia tetap memer-
lukan wahyu yang berfungsi pertama, untuk memberi
penjelasan tentang alam gaib yang penuh rahasia. Kedua,
untuk mengatur masyarakat manusia dengan baik – atas
dasar prinsip keadilan. Maka nabi-nabi pun dikirim Tuhan
ke permukaan bumi (Nasution, 1987: 60). Selain itu, wahyu
menjelaskan kepada akal cara beribadat dan berterima

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kasih kepada Tuhan, mengetahui perincian kebaikan dan
kejahatan, menguatkan pendapat akal melalui sifat
sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu (Nasution,
1987: 61).
Karena akal mendapat porsi yang tinggi, maka
Abduh terlebih dahulu mempelajari falsafah kemudian
baru melihat teks ayat. Kalau teks ayat sesuai dengan
falsafah dan pemikirannya, arti harfiah ayat diterima.
Tetapi kalau tidak sesuai, teks ayat diberi arti
metamorforsis, atau setidak-tidaknya bahwa yang
dimaksud bukan arti harfiah dan menyerahkan kepada
Allah maksud dari ayat itu (Nasution, 1987: 93).
Dalam kaitannya dengan masalah teologi Qadariyah
dan Jabariyah, Muhammad Abduh sepaham dengan
teologi Mu’tazilah yang menganut paham Qadariyah.
Muhammad Abduh sangat menonjolkan bahwa Sunnah
Allah, hukum alam adalah ciptaan Tuhan.
Daya manusia untuk memilih dan melakukan per-
buatannya, menurut Abduh telah diciptakan Allah sejak
lahir, sementara Mu’tazilah berpendapat daya tersebut
diciptakan Allah ketika sebelum melakukan perbuatan.
Selanjutnya dalam pembahasannya mengenai sifat-sifat
Tuhan, keadilan Tuhan, diciptakannya kalam Tuhan,
kehendak mutlak Tuhan, antropomorfisme dan melihat
Tuhan di akhirat, dan perbuatan Tuhan. Muhammad
Abduh sejalan dengan Mu’tazilah (Nasution, 1987: 95).
Maka wajar saja apabila orang lain menyebutnya sebagai
Mu’tazilah. Tetapi menurut orang Mu’tazilah sendiri,
Muhammad Abduh jelas tidak cukup syarat disebut
sebagai Mu’tazilah. Karena kata ak-Khayyat, orang baru

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


115
dapat disebut Mu’tazilah adalah orang yang percaya kepada
Ushul al-Khamsah Mu’tazilah, yaitu tauhid, al-‘adl, al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (Nasution, 1987: 52).
Dengan demikian uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
corak teologi Muhammad Abduh adalah teologi rasional.

IDE-IDE PEMBARUAN MUHAMMAD ABDUH


Ide-ide pembaruan yang disampaikan Muhammad
Abduh sebenarnya telah mulai tampak sejak mudanya kala
ia harus menimba ilmu pengetahuan. Sikapnya yang tidak
pernah puas menghadapi pola pengajaran, baik ketika di
Tanta maupun di al-Azhar, secara diam-diam telah coba
diatasinya melalui usahanya sendiri (otodidak). Lebih-lebih
di al-Azhar yang hanya memberikan pelajaran bahasa Arab
dan ilmu agama, dan mengharamkan sains dan falsafah
yang datang dari Barat. Melalui perpustakaan dan orang-
orang yang dipandang kompeten seperti Syeikh Hasal al-
Tawil, ia mendapat banyak pengetahuan umum seperti
logika, falsafah, ilmu ukur, sejarah, politik dan lain-lain.
Perkenalannya dengan Syaikh Jamaluddin al-Afghani
memberi nuansa baru bagi perjalanan hidupnya. Selain
sebagai guru al-Afghani juga sebagai sahabat terutama
dalam menerbitkan al-Urwa al-Wutsqa.
Ketika keduanya dalam pengasingan, keterlibatan
Abduh dalam bidang politik, dirasakannya sebagai peng-
hambat untuk melancarkan ide-ide pembaruannya.
Karena itu ia memilih memusatkan perhatiannya dalam
bidang pengajaran dan pendidikan. Muhammad al-Bahy,
pemikir modern Mesir, mencatat bahwa pemikiran Abduh
di bidang pendidikan dan pengajaran mencakup:

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Perlawanan terhadap taklid dan kemazhaban.
Perlawanan terhadap buku-buku yang tendensius,
untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran
rasional dan historis.
Reformasi al-Azhar yang merupakan jantung umat
Islam; jika ia rusak maka rusaklah umat, dan jika
baik maka baiklah umat;
Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk
mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah
umatnya, serta mengikuti pendapat-pendapat
yang benar disesuaikan dengan yang ada (Bahy, 1986:
84).
Prof. Harun Nasution, mencatat bahwa yang menjadi
tujuan hidup Muhammad Abduh adalah dua:
Membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan me-
mahami ajaran agama sesuai dengan jalan yang
ditempuh ulama zaman klasik (salaf) zaman sebelum
timbulnya perbedaan-perbedaan paham, yaitu
dengan kembali kepada sumber-sumber utamanya;
Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai baik di
instansi-instansi pemerintah, maupun surat-surat
kabar dan masyarakat pada umumnya dalam surat-
menyurat mereka (Nasution, 1983: 24).
Dua kutipan di atas dengan jelas menunjukkan ide-
ide pembaruan Muhammad Abduh, terutama dalam
bidang- pendidikan, meskipun dalam kenyataan
tidak bisa terlepas dari masalah-masalah politik
dalam rangka membangkitkan kesadaran bangsa
Mesir (Nasionalisme). Konsekuensinya, ia ditangkap,
ditahan, dan diasingkan merupakan pengalaman

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


117
yang biasa dalam karier hidupnya. Tetapi Abduh tidak
pernah putus asa, termasuk juga dalam menghadapi
kelompok-kelompok tradisionalis yang selalu menen-
tang ide-ide pembaruannya. Ia sering dituduh Mu’tazi­
lah dan ingin menghidupkan ajaran liberal yang pernah
mencatat nuktah hitam dalam sejarah pemikiran Islam
yang terkenal dengan peristiwa Mihnah.
Langkah konkret pembaruannya telah dimulai sejak ia
lulus dari al-Azhar dan mendapat hak dan wewenang
mengajar di al-Azhar. Ia mulai mengajarkan pelajaran
yang tergolong fardhu kifayah menurut kelompok
tradisionalis,- jika tidak malah diharamkan, seperti
logika, teologi, falsafah, sejarah, etika, dan peradaban
Eropa. Agar ide-ide pembaruannya tidak hanya diserap
oleh kalangan akademisi, ia juga rajin menulis artikel-
artikel di harian, terutama al-Ahram agar dapat diserap-
oleh khalayak umum. Tulisannya mencakup sains,
sastra Arab, jurnalistik, politik, agama, sosial dan
sebagainya (Nasution, 1983: 24). Lahan untuk
menyebarkan gagasan pembaruannya semakin luas,
ketika ia pada 1880 diangkat menjadi pimpinan redaksi
al-Waqai’ al-Misriyah.
Ia juga menulis artikel-artikel mengenai masalah sosial,
politik, hukum, agama, pendidikan dan kebu- dayaan
(Nasution, 1983: 15). Atas gagasannya pada 15 Januari
1895, Khedewy Abbas mengeluarkan keputusan-
tentang pembentukan dewan pimpinan al-Azhar, yang
terdiri dari ulama-ulama besar dari Mazhab Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Ia diangkat sebagai wakil
pemerintah Mesir, di mana ia bertindak

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


sebagai motor dan jiwa penggerak dari dewan ini
(Nasution, 1983: 20). Hal ini tidak lain sebagai
penjabaran dari komitmennya untuk memberantas
taklid dan kejumudan serta bid’ah dan khurafat yang
membuat umat menyeleweng dari ajaran Islam yang
sebenarnya. Bagi Abduh, umat Islam harus kembali ke
ajaran-ajaran Islam yang otentik; ajaran Islam
sebagaimana terdapat di zaman salaf, yaitu zaman
sahabat dan ulama-ulama besar (Nasution, 1987: 63).
Namun demikian, ajaran Islam harus disesuaikan
dengan keadaan modern karena zaman telah berubah.
Karena itu, diperlukan interpretasi baru, dan pintu
ijtihad perlu dibuka. Tetapi tidak sembarang orang boleh
berijtihad. Baginya seorang mujtahid perlu memenuhi
syarat. Pendapat ulama lama tidak mengikat. Ijtihad
dijalankan langsung dari al-Qur’an dan Hadis. Abdullah
Mahmud Syahatain dalam penelitiannya berkesimpulan
bahwa metode penafsiran al-Qur’an yang digunakan
Abduh terdapat 9 poin (Syahataih, t.t: 42). Bagi
Muhammad Abduh, al-Qur’an dan Hadis melarang umat
Islam bersifat taklid. Al-Qur’an berbicara kepada
manusia bukan semata kepada hatinya tetapi juga
kepada akalnya. Karena itu, agama Islam adalah agama
rasional. Wahyu tidak membawa hal-hal yang
bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat bertentangan
dengan akal, haruslah dicari interpretasi yang membuat
ayat itu sesuai dengan pendapat akal.
Selain itu, Abduh menonjolkan konsep sunnatullah
(natural laws), kebebasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan (free will dan free act), dan umat Islam harus

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


119
mempelajari dan mementingkan sains. Konsekuensinya,
umat Islam harus mementingkan soal pendidikan. Dan
ini sudah ditempuh dalam perbaikan dan pembaruannya
pada Universitas al-Azhar. Selain untuk al-Azhar yang
telah dimodernisasi, ia juga memikirkan untuk
memasukkan pendidikan agama yang kuat pada sekolah-
sekolah pemerintah, seperti administrasi, militer,
kesehatan, dan perindustrian. Atas usulnya didirikanlah
Majelis Pengajaran Tinggi ((Nasution, 1983: hlm. 63-68).
Abduh tidak ingin terjadi dualisme pendidikan terus-
menerus berkelanjutan, karena itu sedapat-dapatnya ia
ingin memperkecil jurang pemisah antara ulama dan
ilmuwan. Jadi, bagi Muhammad Abduh faktor pendidikan
adalah segala-galanya. Artinya, untuk membangkitkan
kesadaran nasional rakyat Mesir adalah dengan
mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan dengan jalan
politik, meski ia sama sekali tidak dapat melepaskan
keterlibatannya dalam politik.

KESIMPULAN
Muhammad Abduh yang hidup akhir abad ke-19 dan
awal 20 adalah pemikir pembaru Islam yang berpengaruh
baik di dunia Arab maupun dunia Islam pada umumnya.
Corak teologinya serupa dengan Mu’tazilah, bahkan dalam
menempatkan akal lebih tinggi daripada Mu’tazilah itu.
Meski demikian, Muhammad Abduh menurut orang
Mu’tazilah sendiri belum cukup syarat untuk disebut
sebagai Mu’tazilah. Ia memiliki corak teologi rasional, karena
tidak mau taklid kepada para ulama terdahulu.
Ide-ide pembaruannya yang menonjol adalah di bidang

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


pendidikan dan pengajaran. Ia memasukkan pelajaran
umum seperti sains, politik, sejarah, falsafah, teologi,
matematika, etika, kebudayaan Barat pada kurikulum
Universitas al-Azhar. Di samping itu juga memasukkan
pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Hal ini ia
maksudkan agar umat Islam tidak memisahkan antara
urusan agama dan keduniaan. Dan semua itu untuk
kemajuan dan kepentingan umat Islam dalam mengejar
ketertinggalannya dari dunia Barat.



SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


121
5
RASYID RIDHA DAN IDE-IDE
PEMBARUANNYA
Oleh: Cecep

A. RIWAYAT HIDUP RASYID RIDHA DAN


LANGKAH-LANGKAH PERJUANGANNYA

R asyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang


terdekat. Ia lahir pada 1865 di al-Qalamun, suatu
desa di Libanon yang letaknya tidak jauh
dari kota Tripoli (Suriah). Menurut keterangan ia berasal
dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad. Oleh
karena itu, ia memakai gelar al-Sayyid di depan namanya
(Nasution, 1975: 69).
Seperti halnya anak-anak seusianya, mula-mula Ridha
dimasukkan ke madrasah tradisional di kampungnya untuk
belajar baca tulis, al-Qur’an, dan dasar-dasar ilmu hitung.
Setelah selesai ia meneruskan belajar ke sekolah

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


al-Rasyidiyyah, sekolah milik pemerintah di Tripoli. Di
samping Nahwu Saraf dan ilmu hitung, diajarkan pula ilmu-
ilmu yang lainnya, seperti geografi, teologi, hukum Islam
dan yang lainnya. Adapun bahasa pengantar yang
dipergunakan ialah bahasa Turki sebab alumni sekolah ini
dipersiapkan untuk menjadi pegawai di pemerintahan Turki.
Oleh karena, Ridha tidak berminat untuk menjadi pegawai
Turki, segera ia meninggalkan sekolah ini padahal baru satu
tahun ia belajar di sekolah ini (al-Adawi, t.t.: 23).
Pada 1882 ia meneruskan pelajarannya ke sekolah
Nasional Islam di Tripoli. Sebenarnya sudah sejak lama
tertanam di benak Ridha keinginan untuk bisa belajar di
sekolah ini, namun ayahnya baru mengizinkan setelah
Ridha dipandang cukup dewasa untuk tidak terpengaruh
dengankehidupandanpergaulankota.Sekolahinijauhlebih
maju ketimbang sekolah yang disebut sebelumnya karena
bukan hanya ilmu-ilmu agama Islam yang dipelajarinya,
ilmu-ilmu umum pun seperti mantiq, olahraga, fasafah juga
dipelajari. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah
bahasa Arab di samping bahasa Turki dan Prancis. Sekolah
ini didirikan oleh Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama
berpikiran modern yang berpendapat bahwa umat Islam
tidak akan maju kecuali dengan menguasai ilmu agama dan
ilmu dunia sekaligus dengan metode modern. Sekolah ini
didirikan untuk mengimbangi sekolah-sekolah Kristen dan
Amerika di Suriah yang menarik tidak sedikit anak-anak
penduduk setempat. Hanya sekolah ini tidak berumur
panjang karena mendapat tantangan dari Turki Ustmani (Al-
Syirbasyi, t.t.: 121). Sungguhpun sekolah ini telah
dibubarkan, Ridha meneruskan hubungan baiknya

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


123
dengan Syaikh al-Jisr dan berusaha mengikuti kuliah-
kuliahnya di tempat lain, Madrasah al-Rahbiyyah di
Tripoli, sehingga akhirnya ia berhasil mendapatkan ijazah
dan kewenangan untuk bisa mengajar.
Selain al-Jisr yang memengaruhi perkembangan
kepribadiannya,- dua tokoh idolanya, Jamaluddin dan
Syaikh Muhammad Abduh, amat memengaruhi kepri-
badian dan perkembangan pemikirannya. Meskipun pada
awalnya pemikiran-pemikiran kedua tokoh dimaksud
dicerna melalui tulisan-tulisannya dalam Majalah Al-
‘Urwah al-Wusqa yang diterbitkan oleh keduanya di
tempat isolasinya, Paris, konon Ridha tidak merasa puas
membaca majalah itu sebelum menyalin dengan
tangannya sendiri dan mendiskusikannya dengan al-Jisr.
Timbullah dalam diri Ridha keinginan dan kerinduan
untuk bisa bergabung dengan kedua tokoh dimaksud
namun tak kesampaian, karena al-Afghani meninggal
sebelum Ridha sempat melaksanakan obsesinya.
Di bulan Syawal tahun 1897 belum lama setelah
Jamaluddin al-Afghani wafat. Ridha bermaksud Hijrah ke
Mesir karena di Mesir dinilai lebih memberikan harapan
untuk dapat berkarya dan mengeluarkan gagasan-ga-
gasannya baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Lebih
dari itu, sebenarnya ia ingin berguru kepada orang yang
paling dekat dengan al-Afghani. Pada 3 Januari 1898 Ridha
tiba di Mesir melalui Iskandaria, dan pada tanggal 23 dalam
bulan yang sama ia menuju Kairo dan hari berikutnya ia
berjumpa dengan Syaikh Muhammad Abduh di rumahnya
(Al-Syirbasyi t.t.: 136). Sebelum ia datang di Mesir,
sebenarnya Ridha pernah men-dapat kesempatan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


baik berjumpa dan berdialog dengan Muhammad Abduh,
sewaktu Abduh berada dalam pembuangannya- di Beirut.
Perjumpaan-perjumpaan dan dialog-nya dengan
Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam
dirinya. Pemikiran-pemikiran pembaruan yang
diperolehnya dari Al-Jisr yang kemudian diperluas lagi
dengan ide-ide al-Afghani dan Abduh amat memengaruhi
jiwanya (Nasution, 1975: 70). Suatu waktu ia ditanya,
mengapa Anda memilih meninggalkan tanah kelahiran
sendiri, yang di sana tidak kau jumpai kemunkaran dan
kata-kata kasar seperti di Mesir ini. Ridha menjawab, di
tanah airku aku tidak mempunyai kemerdekaan untuk
mengutarakan yang hak baik secara lisan maupun
tulisan, padahal hati kecilku berkata mengutarakan yang
hak adalah kewajibanku. Seandainya aku mempunyai
kebe- basan melakukan semua ini di negeriku tentu aku
berada di sana.
Setelah agak lama berada di Mesir, sebagai langkah
pertama, Ridha mendesak dan meyakinkan gurunya,
Muhammad Abduh agar mau menerbitkan sebuah media
Dakwah wa al-Islah untuk kemajuan umat Islam. Karena
ide ini dinilai baik akhirnya guru setuju dan di bulan Syawal
tanggal 22 tahun 1315 H/ 15 Maret 1898 terbitlah majalah
perdana dengan nama Majalah al-Manar.
Dalam nomor perdananya dijelaskan bahwa tujuan
al-Manar sama dengan al-‘Urwah al-Wusqa yakni sebagai
media pembaruan dalam bidang agama, sosial, ekonomi,
menghilangkan paham yang menyimpang dari Islam,
peningkatan mutu pendidikan dan membela umat Islam
dari ketidakadilan politik Barat (Adams, 1933: 181).

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


125
Ridha melihat bahwa al-Qur’an yang merupakan
hidayah bagi manusia harus dipahami untuk selanjutnya
diaktualisasikandalamrealitassosial.Al-Qur’anyangmasih
merupakan konsep samawi itu perlu diinterpretasikan
secara modern. Itulah sebabnya, sebagai langkah kedua, ia
mendesak gurunya, Muhammad Abduh agar segera
menafsirkan al-Qur’an secara modern. Obsesi Ridha
berhasil setelah di tahun 1896 guru mulai memberikan
kuliah mengenai tafsir modern di al-Azhar (Al-Syirbasyi, t.t.:
14). Keterangan-keterangan yang diberikan guru ia catat
untuk seterusnya ia susun dalam bentuk karangan teratur.
Apa yang ia tulis ia serahkan kepada guru untuk diperiksa.
Setelah mendapat persetujuan, karangan itu ia siarkan
dalam majalah al-Manar. Dengan demikian timbullah apa
yang kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar. Muhammad
Abduh memberikan kuliah-kuliah Tafsir sampai ia
meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal, murid
meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide
yang dicetuskan gurunya. Muhammad Abduh sempat
memberikan tafsir sampai dengan ayat 125 surat al-Nisa
(Jilid III dari Tafsir Al-Manar) dan selanjutnya adalah
tafsiran murid sendiri (Nasution, 1985: 71).
Sepeninggalan Muhammad Abduh, selain aktif me-
nulis, Ridha juga aktif dalam bidang politik dan dakwah.
Tercatat tidak kurang dari delapan kali ia melakukan
kunjungan ke berbagai negara dalam rangka kegiatan
politik dan dakwah.
Di antaranya ke Istambul untuk mempersatukan
kelompok Turki dan kelompok Arab setelah Sultan Abdul
Hamid turun takhta, sekaligus mencari dukungan dana

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


bagi pendirian Jam’iyyah wa al-Irsyad. Untuk maksud yang
sama ia juga pergi ke India dan berhasil mendapatkan
sumbangan dana yang cukup besar untuk proyeknya itu.
Madrasah ini dengan segera didirikan karena tersiar
informasi dari berbagai penjuru khususnya dari Jawa,
Sudan, Singapura tentang kegiatan-kegiatan misionaris. Di
tahun 1912 madrasah itu secara resmi dibuka dan langsung
menerima pendaftaran mahasiwa baru dari seluruh dunia
Islam dengan seleksi ketat dan prioritas bagi peserta yang
datang dari negara-negara yang sangat membutuhkan
kader-kader dakwah.
Pada 1916 sementara Perang Dunia I masih berlang-
sung dia pergi ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji dan
sekaligus mengucapkan selamat atas keberhasilan Syarif
Husain memberontak terhadap kekuasaan Turki. Pada 1920
dia menjadi presiden Kongres Nasional Siria yang memilih
Faisal sebagai Raja Siria (Inayat, 1988: 169).
Pada 1925 dalam kapasitasnya sebagai seorang ang-
gota Partai Persatuan di Kairo ia pergi ke Jenewa untuk ikut
serta dalam Kongres Suria Palestina. Dalam tahun yang
sama ia berkunjung ke Hijaz untuk yang kedua kalinya
untuk mengahiri Kongres Islam yang membicarakan soal
pemerintahan Islam dan jabatan Khalifah. Waktu itu Hijaz
sudah dikuasai oleh Raja Abdul Aziz bin Su’ud, setelah
berhasil mengusir Syarif Husain. Terakhir pada 1931 ia
pergi ke Palestina atas undangan seorang sahabat dan
muridnya, Amin Husaini, Mufti Palestina, untuk menghadiri
kongres yang membicarakan kehadiran masyarakat Yahudi
di Palestina dan kemungkinan mendirikan satu Universitas
Islam di sana (Sjadzali, 1990: 124). Di masa

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


127
tua, meskipun kesehatannya selalu terganggu, ia tidak
mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia me-
ninggal dunia di bulan Agustus 1935, sekembalinya
meng- antarkan Pangeran Su’ud dari kapal Suez
(Nasution, 1975: 72).

IDE-IDE PEMBARUANNYA
Sebagai seorang intelektual yang merasa bertanggung
jawab atas keterbelakangan umat Islam dan terpanggil
untuk mencari terapi penyembuhannya, Ridha berusaha
keras melahirkan konsep-konsep untuk memperbaiki
kehidupan umat Islam dengan melakukan analisis terlebih
dahulu apa sebab-sebab keterbelakangan umat tersebut.
Paling tidak ada tiga masalah pokok, menurut Ridha, yang
perlu segera diperbarui, yaitu:

A. BIDANG AGAMA
Ridha prihatin melihat kondisi umat Islam yang jauh
ketinggalan dari Barat. Setelah sekian lama merenung, ia
berkesimpulan bahwa keterbelakangan umat Islam ternyata
bukanlah karena ajaran Islam itu sendiri, tetapi justru
karena umat Islam telah salah memahami Islam. Islam
dianggap sebagai beban dan penghalang dalam dinamika
kehidupan, padahal sebenarnya Islam sangatlah mudah dan
sederhana untuk diamalkan, tetapi karena sudah dimasuki
upacara-upacara spiritual yang sifatnya bukanlah
merupakan prinsip Islam kelihatannya menjadi berat dan
sekaligus penghalang bagi dinamika kehidupan. Akhirnya,
aktivitas dan dinamika umat Islam menjadi lemah dan tidak
sesuai dengan jiwa semangat ajaran Islam

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


itu sendiri.
Dalam pandangan Ridha, telah masuk banyak bid’ah
yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat
Islam. Di antara bid’ah itu ialah pendapat bahwa dalam
Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat
pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang
dikehendakinya, sedangkan kebahagiaan di akhirat dan
dunia sebenarnya diperoleh melalui hukum alam yang
diciptakan Tuhan (Nasution, 1975: 72). Untuk itu Ridha
berpendapat bahwa umat Islam harus dibawa kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala
bid’ah, sederhana dalam ibadah dan sederhana dalam
muamalahnya. Dalam soal muamalah hanya dasar-dasar
yang diberikan seperti keadilan, persamaan,
pemerintahan Syura. Perincian-perincian dan
pelaksanaan dari dasar-dasar itu diserahkan kepada
umat untuk menentukannya (Nasution, 1975: 73).
Islam, demikian Ridha, melarang manusia berlebih-
lebihan dalam agama, memberantas ajaran-ajaran pe-
nyiksaan diri demi agama. Ini dibuktikan dengan diper-
bolehkannya memakan makanan yang lezat-lezat dan
memakai- perhiasan yang indah dan elok asal tidak ber-
lebih-lebihan dan tidak bersikap sombong (Al-Syirbasyi,
t.t.: 455).
Rasyid Ridha sebagai Muhammad Abduh, menghargai
akal, namun penghargaannya terhadap akal tidak setinggi
penghargaan yang diberikan guru (Al-Syirbasyi, t.t.: 74).
Salah seorang teman Ridha bercerita bahwa pada suatu
waktu ia dan kawan-kawannya terlibat diskusi dalam
masalah--masalah politik, sehingga diskusi itu tidak

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


129
menghasilkan kesimpulan. Ridha adalah salah seorang
dari peserta diskusi. Setelah ia melihat semua kawan-
nya tidak mampu memberikan jawaban, Ridha mencoba
mengutarakan pemahamannya dengan penuh kesung-
guhan. Ternyata jawaban Ridha itu dinilai tepat dan
memuaskan- para peserta diskusi, sehingga keluarlah
komentar dari kawan-kawannya bahwa Ridha hafal
secara lafazh dan makna akan Sulam Hanafi. Padahal
pengakuan Ridha sendiri apa yang ia utarakan, hanya
berdasar pemahaman akalnya. Sehingga sejak itulah,
Ridha tidak mau menerima sesuatu kecuali bisa
dimengerti oleh akal (Adawi, t.t.: 73). Kelihatannya Ridha
percaya bahwa akal yang sehat dan merdeka bakal bisa
mencapai kebenaran yang hakiki.
Masih berhubungan dengan akal ini, lebih jauh Ridha
berkata bahwa al-Qur’an datang memberi petunjuk kepada
seluruh pengikut mazhab dan penganut agama-agama
kuno, agar mereka mempergunakan akalnya disertai
perasaan dan hati nurani untuk sampai kepada ilmu dan
petunjuk serta ketenteraman dalam beragama. Agar tidak
menganggap cukup hanya dengan mengikuti saja jejak
nenek moyangnya dalam bermazhab dan beragama, sebab
perbuatan taklid itu merupakan pelanggaran terhadap fitrah
kemanusiaan, pemerkosaan terhadap akal, pikiran dan
kalbu, yang justru dengan itu manusia jadi berbeda dan
istimewa dibanding makhluk lain (Al-Syirbasyi, t.t.: hlm.
428). Ridha meyakini bahwa Islam itu adalah agama yang
menjunjung ilmu dan menganjurkan kebebasan berpikir
dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
(Al-Syirbasyi, t.t.: 429). Tesis Ridha ini menghargai

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kemerdekaan akal yang berujung pada masih terbukanya
kesempatan ijtihad, sekaligus mengecam sikap taklid yang
hanya akan memenjarakan umat Islam dalam kejumudan.
Faktor utama keterbelakangan umat Islam dalam
pandangan Ridha ialah adanya paham fatalisme di kalangan
umat Islam. Sebaliknya salah satu sebab yang membawa-
masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah paham dinamika
yang terdapat di kalangan mereka. Padahal Islam
mengandung ajaran dinamika. Orang Islam disuruh
bersikap aktif. Dinamika dan sikap aktif itu terkandung
dalam kata jihad. Jihad dalam arti berusaha keras dan
bersedia mengorbankan harta bahkan jiwa untuk mencapai
tujuan perjuangan. Paham jihad serupa inilah yang
menyebabkan umat Islam di zaman klasik dapat menguasai
dunia (Nasution, 1975: 74).
Terhadap sikap fanatik yang terdapat di zamannya ia
menganjurkan supaya toleransi bermazhab dihidupkan.
Menurutnya, yang perlu dipertahankan dan tidak perlu
diubah- adalah yang berkaitan dengan ajaran dasar
Islam (ushul), sedangkan yang bukan ushul dan bersifat
muala- mat diberikan kemerdekaan bagi setiap orang
untuk men- jalankannya sesuai dengan pilihannya
(Nasution, 1975: 37).
Kelihatannya Ridha masih mentolerir tentang keber-
adaan mazhab dan menilai semua mazhab itu benar sejauh
masih mempunyai landasan dalam al-Qur’an dan hadis.
Ridha sendiri menganut mazhab salaf yang dikembangkan
Taimiyyah dan dipelopori Ahmad Ibn Hanbal. Malah ada
sumber yang menyatakan bahwa Ridha adalah pengamal
Thariqat Naqsyabandiyah (Al-Syirbasyi, t.t.: 125). Sebelum-

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


131
nya ia banyak mengenal dunia tasawuf lewat Kitab Ihya
Ulumuddin karya Imam Ghazali dan ternyata kitab Ihya
ini berpengaruh terhadap pola hidupnya.

PENDIDIKAN
Dalam upaya mengejar keterbelakangan dalam segala
bidang Ridha menilai bahwa pembaruan dalam bidang
pendidikan adalah prinsip dan tidak perlu ditunda-tunda.
Keberhasilan dalam bidang pendidikan merupakan syarat
mutlak untuk mencapai kemajuan. Pembaruan dalam
bidang pendidikan, bagi Ridha, di samping fasilitas harus
mencukupi, yang paling penting adalah penyempurnaan dan
pembaruan dalam bidang kurikulum. Untuk itu, Ridha
berpendapat bahwa perlu ditambahkan ke dalam kurikulum
itu mata pelajaran sebagai berikut: teologi, pendidikan
moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung
(matematika), ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan
ilmu mengatur rumah tangga (sema-cam pkk), di samping
fiqih, tafsir, hadis dan lain-lain yang biasa diberikan di
madrasah-madrasah (Nasution, 1975: 71).
Peradaban Barat modern, menurut Ridha, didasarkan
atas ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sama sekali
tidak bertentangan dengan Islam. Demi kemajuan Islam,
umat harus mau menerima peradaban Barat. Ia menga-
takan bahwa kemajuan umat Islam di zaman klasik karena
mereka menguasai bidang ilmu pengetahuan. Barat maju
karena mereka mengambil ilmu pengetahuan yang
dikembangkan umat Islam. Dengan demikian, meng- ambil
ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya berarti
mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


umat Islam (Nasution, 1975: 100-101).
Dalam berbagai artikel yang dimuat dalam al-Manar,
sering Ridha mengungkap tentang kedudukan harta dalam
Islam. Harta harus dijadikan sarana untuk mencapai cita-
cita hakiki yaitu Ridha Tuhan. Harta tidak boleh dijadikan
tujuan dan sasaran hidup manusia. Dalam kaitannya
dengan masalah pendidikan, Ridha berpendapat bahwa
umat Islam harus berani berkorban dengan harta untuk
membangun sarana pendidikan. Membangun sarana pen-
didikan lebih baik ketimbang membangun masjid. Baginya,
masjid tidak mempunyai nilai yang berarti apabila- orang-
orang yang saleh didalamnya hanyalah orang-orang yang
bodoh. Menurutnya, pembangunan sarana pendidikan
adalah media yang dapat menghapus kebodohan. Satu-
satunya cara menuju kemakmuran adalah- perluasan dan
pemerataan pendidikan secara umum (Adams, 1933: 195-
196).
Gagasan pembaruan Ridha dalam bidang pendidikan
ini tampaknya tidak terlepas dari pengaruh dua tokoh
yang mendahuluinya, yaitu al-Jisr dan Abduh. Al-Jisr,
misalnya, berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang
harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan
adalah memadukan ilmu-ilmu ke-Islaman dan ilmu-ilmu
sekuler dengan menggunakan metode modern (Adawi,
t.t.: 24 dan Al- Syirbasyi, t.t.: 121).
Demikian pula halnya Abduh, di mana ia mengatakan
bahwa umat Islam harus mau mempelajari dan memen-
tingkan- ilmu pengetahuan, sekolah-sekolah modern harus
dibuka, di mana-mana ilmu pengetahuan modern perlu
diajarkan di samping pengetahuan agama. Dengan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


133
memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam al-
Azhar dan dengan memperkuat pendidikan agama di
sekolah-sekolah pemerintah, demikian Abduh, bahaya
dualisme dan dikotomi antara ilmu pengetahuan agama
dan umum akan dapat diperkecil (Nasution, 1987: 67).
Pengaruh al-Jisr tampak lebih kentara ketika di
tahun 1912 Ridha mendirikan Madrasah al-Dakwah wa
al-Irsyad. Kalau al-Jisr mendirikan madrasah di Tripoli
untuk mengimbangi misionaris Kristen, demikian juga
Ridha membangun Madrasah ini untuk menangkal
misionaris Kristen dalam skala besar. Ridha berpendapat
bahwa missionaris Kristen hanya akan bisa ditangkal
dengan penyebaran dai-dai profesional yang kelak akan
dihasilkan sekolah ini ke berbagai penjuru dunia. Dai-dai
yang dicita-citakan Ridha ialah mereka yang mampu
dalam ilmu keagamaan secara baik dan mengenal secara
luas ilmu-ilmu dunia, di samping memiliki kepribadian
yang mantap. Dakwah yang dilaksanakan adalah dakwah
dalam arti luas dengan metode dan teknik yang cocok
untuk setiap daerah.

C. POLITIK
Sebagaimana al-Afghani, Ridha melihat perlunya
dihidupkan kembali kesatuan umat Islam. Salah satu sebab
kemunduran umat Islam ialah perpecahan yang terjadi di
kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksud bukanlah
kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa atau
kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan
yang sama. Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan gerakan
nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di Mesir dan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


gerakan Nasionalisme Turki yang dipelopori Turki Muda.
Ia menganggap bahwa paham nasionalisme bertentangan
dengan ajaran persaudaraan seluruh umat Islam. Per-
saudaraan- dalam Islam tidak kenal pada perbedaan
bahasa, tanah air dan perbedaan bangsa (Nasution,1975:
hlm. 74). Semua umat bersatu di bawah satu keyakinan,
satu sistem moral dan satu sistem pendidikan dan
tunduk pada satu sistem hukum. Hukum dan undang-
undang tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan
pemerintah. Oleh karena itu, kesatuan umat perlu
mengambil bentuk negara. Negara yang dianjurkan
Rasyid Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan.
Kepala Negara ialah khalifah. Khalifah karena
mempunyai kekuasaan legislatif harus mempunyai sifat
mujtahid, tetapi dalam hal itu khalifah tidak boleh
mempunyai sifat absolut bangsa (Nasution, 1975: 74).
Ridha bukan hanya mempertahankan lembaga kekhi-
lafahan, malah mempertahankan lembaga khilafah ini agar
tetap di tangan bangsa Turki. Al-Manar, majalah yang
dipimpinnya meskipun ide dasarnya sebagai media
pembaruan, secara politis majalah ini merupakan sarana
untuk mendukung kekhalifahan Turki. Lebih dari itu,
pengertian Jami’ah Islamiyyah bagi Ridha ialah persatuan
dan kesatuan umat Islam di bawah kepemimpinan Sultan
Abdul Hamid (Marakisy t.t.: 114).
Sulit mencari alasan mengapa Ridha begitu loyal ter-
hadap imperial Turki, khususnya kepada Sultan Abdul
Hamid. Rupa-rupanya dalam kapasitasnya sebagai se-
orang pembaru ia merasa perlu mendapatkan dukungan-
moral dari penguasa, lebih-lebih setelah Ridha men-

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


135
dirikan Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad, bukan hanya
memerlukan dukungan moral, tetapi juga dukungan
material, sungguhpun harapan yang disebut terakhir ini
tidak didapatinya kecuali dari India. Ridha adalah
penganut Sunni fanatik yang meyakini bahwa kedudukan
Sultan Turki adalah sebagai pengganti (khalifah) dan
penerus Nabi yang secara syar’i wajib ditaati.
Mengulang betapa pentingnya mewujudkan khilafah
dalam dunia Islam, Ridha mengatakan bahwa mendirikan
khilafah itu adalah kewajiban yang berdasar atas syara,
berdosa semua umat bila tak seorang pun mendirikannya.
Malah umat menempati posisi jahiliyyah bila mati tanpa
terwujud khilafah. Semua umat dituntut untuk me-
realisasikannya. Suara umat ditampung dan diwakili oleh
ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi. Jadi ahlu al-halli wa al-‘aqdi inilah
yang harus bertanggung jawab atas keberadaan khilafah
dan kemaslahatan umat secara umum (Ridha t.t.: 58).
Mengenai tesis Ridha ini, kalau boleh menilai,
tampaknya profesi ini merupakan kesimpulan yang ter-
gesa-gesa. Karena kalau kita kaji ayat-ayat dalam al-Qur’an,
seperti kata para ahli, tidak ada satu pun yang menyatakan
bahwa negara itu harus mengambil bentuk khilafah.
Memang benar dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok-
manusia memerlukan penguasa yang mengatur dan
melindungi kehidupan mereka, tetapi pemerintahan itu
tidak mesti mengambil bentuk khilafah, melainkan dapat
beraneka ragam bentuk dan sipfatnya disesuaikan dengan
perkembangan zaman, sebab masalah ini masalah ijtihadi,
bisa berbentuk konstitusional, kekuasaan abso- lut,
republik atau bentuk lainnya. Kedudukan negara

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


dalam Islam adalah sebagai suatu alat (instrumen) untuk
membumikan cita-cita moral Islam berupa kebebasan,
keadilan, kemakmuran persamaan, persaudaraan dan
sebagainya sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, namun al-
Qur’an sendiri tidak menunjukkan bentuk atau model
pasti yang harus diambil. Itulah sebabnya ulama
bersilang pendapat mengenai bentuk dan sistem
instrumen tersebut. Dengan demikian, mengenai sistem
pemerintahan ini termasuk masalah ijtihad, sejauh tidak
bertentangan denga cita-cita moral Islam bentuk dan
sifat mana pun yang diambil tidak dilarang dalam Islam.
Mengenai siapa ahlu al-halli wa al-aqdi ini, kelihatannya
konsep Ridha agak maju selangkah ketimbang pemikir
klasik lainnya. Bagi Ridha, ahlu al-halli wa al-aqdi bukan
hanya terdiri dari ulama mujtahid saja, tetapi jug dari
pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang, termasuk
bidang perdagangan, perindustrian dan sebagainya (Ridha
t.t.: 58). Tetapi baru sampai batas itu konsep ahlu al-halli
wa al-aqdi dalam pandangan Ridha. Ia tidak menjelaskan
lebih lanjut tentang bagaimana pengangkatan ahlu al-halli
wa al-aqdi itu, apakah dipilih oleh rakyat atau ditunjuk oleh
khalifah. Selanjutnya, ahlu al-halli wa al-aqdi ini tidak
berakhir dengan usainya pengangkatan Khalifah. Mereka
terus berperan sebagai pengawas terhadap jalannya
pemerintahan dan harus menghalangi dari berbuat penye-
lewengan, kalau perlu dengan jalan kekerasan. Menurut
Ridha, mereka harus mengadakan perlawanan terhadap
kezaliman dan ketidakadilan Khalifah. Dan kalau ke-
pentingan umat dibahayakan, mereka dapat mengakhiri
kekuasaannya dengan perang atau kekerasan sekalipun

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


137
(Maharakisi t.t.: 138 Sjadzali, 1990: 135).
Ridha membedakan antara fungsi khalifah dan ahlu
al-halli wa al-aqdi. Fungsi khalifah ialah menyebarkan
ke- benaran, menegakkan keadilan, memelihara agama
dari serangan musuh dan bermusyawarah dalam hal-hal
yang tidak ada nasnya dalam al-Qur’an, dengan
pengawasan ahlu al-halli wa al-aqdi (Ridha t.t.: 140).
Begitu berat tugas Khalifah, maka khalifah haruslah
seorang mujtahid besar dan di bawah Khalifah serupa
inilah kemajuan dapat dicapai dan kesatuan umat dapat
diwujudkan. Dalam ke- satuan ini termasuk segala
golongan umat Islam. Untuk mewujudkan- kesatuan
umat meletakkan harapan pada kerajaan Ustmani, tetapi
harapan itu hilang setelah Mustafa Kamil berkuasa di
Istambul. Selanjutnya ia meletakkan harapan- itu pada
kerajaan Saudi Arabia setelah Abdul Aziz berkuasa, tetapi
itu pun tak jadi kenyataan (Nasution, 1975: 75).

D. PENUTUP
Setelah mengkaji prestasi, karier dan gagasan-
gagasan Ridha dalam pembaruan agaknya penulis
mempunyai kecenderungan untuk menempatkan Ridha
dalam kelompok- pembaru bercorak tradisional yang
bersifat moderat. Ide-ide Ridha, memang tidak jauh ber-
beda dengan apa yang telah diungkap kedua gurunya, Al-
Afghani dan Abduh. Namun, dalam beberapa hal ide-ide
Ridha dalam bidang pendidikan dan politik tampak lebih
jelas dan realistis. Dan ide-idenya, dalam bidang politik
sangat berpengaruh dalam masyarakat Indonesia.

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


6
MUHAMMAD ABDUH DAN
RASYID RIDHA (PERBANDINGAN
ANTARA GURU DAN MURID)
Oleh: Nasarudin Umar

I. PERBANDINGAN LATAR BELAKANG

A bduh dan Ridha menempati posisi yang amat penting


dalam sejarah pergerakan pemikiran dan pembaruan dalam
Islam, baik di Mesir maupun dunia Islam pada umumnya.
Ide-idenya begitu cepat
meluas ke berbagai pelosok dunia Islam.
Hubungan antara Abduh dan Ridha adalah sebagai
guru dan murid. Ridha mulai mengenal Abduh ketika
Abduh berada dalam pembuangan di Beirut. Namun
demikian, Ridha sudah mengenal Abduh jauh lewat
karya-karyanya di dalam majalah Al-Urwah al-Wustqa.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


139
Ia mencoba menjalankan ide-ide pembaruannya
ketika masih tinggal di Suriah, tetapi usaha-usahanya
mendapat tantangan dari pihak kerajaan Ustmani,
karena merasa terikat dan tidak bebas, maka ia
memutuskan untuk ke Mesir bergabung dengan
Muhammad Abduh pada Januari 1898.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan
majalah yang termashyur, Al-Manar al-Wusqa, yakni
mengadakan- pembaruan dalam bidang agama sosial dan
ekonomi,- memberantas takhayul dan bid’ah yang masuk
dalam Islam, menghilangkan paham fatalisme dan
paham-paham keliru lainnya yang dibawa tarekat-tarekat
tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela
umat Islam dari permainan politik negara Barat.
Apa yang termuat di dalam Al-Manar sesungguhnya
tidak lain adalah ide-ide Abduh, bahkan di antara artikel-
artikel yang terdapat didalamnya adalah karangan-
karangan atau bahan-bahan kuliah Abduh.
Meskipun demikian, tidak berarti Abduh identik de-
ngan Ridha. Dalam banyak hal pemikiran Abduh kelihatan
jauh lebih liberal dibandingkan dengan pemikiran Ridha,
sebagaimana yang akan diuraikan nanti. Hal itu mungkin
disebabkan oleh latar belakang lingkungan keluarga,
pendidikan, pengalaman pribadi, dan yang tak kurang
pentingnya adalah faktor kecerdasan.
Ayah Abduh termasuk keluarga yang sangat mem-
perhatikan pendidikan. Dalam tempo dua tahun Abduh
sudah hafal Al-Qur’an ketika usianya baru dua belas
tahun, setelah itu Abduh diupayakan oleh orang tuanya
untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


tinggi, tetapi watak yang keras Abduh menyebabkan ia
berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah yang lain.
Ia tidak puas terhadap sekolah yang hanya menerapkan
metode menghafal di luar kepala yang dinilainya tidak
memberikan hasil seperti yang diharapkan. Abduh mu-
lai bergairah kembali belajar setelah diperkenalkan
metode baru oleh Syeikh Darwisy Khadr, seorang guru
yang pernah mengecap pendidikan di Mesir, Libia, dan
Tripoli. Selanjutnya Abduh melanjutkan pendidikannya
di Al-Azhar dan di sanalah ia bertemu tokoh idolanya,
Jamaluddin al-Afghani.
Rasyid Ridha yang memakai gelar al-Sayyid di depan
namanya karena ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu
Nabi Muhammad saw. Ia melanjutkan pendidikan di sebuah
sekolah yang didirikan oleh Syeikh Husain al-Jisr, yang
telah dipengaruhi ide-ide modern. Sekolah tersebut sudah
memasukkan mata kuliah Barat (bahasa Prancis dan sains).
Namun demikian, materi pendidikan agama masih
dipengaruhi secara mendalam oleh tulisan-tulian al-Ghazali.
Pada mulanya Ridha mencoba kehidupan spiritual dengan
menjalankan ajaran sufi sekalipun kemudian ia keluar
karena ketidaksetujuannya akan penekanan mereka pada
tata-cara dan upacara eksotis.
Pikirannya mulai berubah dalam tahun 1893 setelah
menemukan salinan-salinan Al-Urwah al-Wusqa, di antara
tumpukan buku-buku ayahnya dan sejak itu Ridha mulai
sangat tertarik pada ide-ide al-Afghani. Ridha tambah
bersemangat setelah sempat bertemu dan berdialog dengan
murid Afghani, yakni Muhammad Abduh.
Sepintas dapat dilihat adanya perbedaan latar bela-

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


141
kang pendidikan dan pengalaman keagamaan antara
Abduh dan Ridha. Abduh sejak kecil tampaknya secara
bebas menentukan model pendidikan yang disukainya.
Sedangkan Ridha sampai dalam usia 28 tahun masih
terikat dengan pola kehidupan sufistik.
Kecemerlangan Abduh dan Ridha tak dapat
dipisahkan dengan pengaruh Jamaluddin Afghani. Abduh
tertarik dan banyak dipengaruhi oleh ide-ide Afghani,
sekalipun antar keduanya sering terjadi perbedaan,
demikian pula Ridha, sekalipun ia tidak pernah bertemu
dengan Afghani tetapi melalui karya-karyanya ia banyak
mengenal ide-ide Afghani.
Kalau Ridha tidak pernah bertemu langsung dengan
Afghani, sebaliknya Abduh bertemu langsung dengannya,
bahkan sering kali terlibat secara bersama-sama dalam
suatu masalah politik, ia sering kali turut memikul akibat
yang sesungguhnya disebabkan oleh Afghani, gurunya.
Afghani yang berpengaruh terhadap kedua tokoh yang
kita bahas ini, hingga sekarang belum ada kesepakatan
tentang asal usulnya. G.H. Jansen menduga bahwa dia
adalah seorang anggota utama salah satu tarekat yang
bergerak dari suatu daerah ke daerah lain seperti di India,
Persia, Mesir, Turki, Inggris, Iran, dan Rusia. Dalam
kapasitasnya pembawa misi tertentu, ia terkadang ber-
tindak sebagai guru atau dai yang menarik dari Afghani
ialah kemana saja ia pergi di situ mempunyai murid dan
pengikut. Murid-muridnya pun bermacam-macam, ada yang
menonjol sebagai politisi, seperti Arabi Pasha, dan ada yang
menonjol sebagai penulis seperti Adib Ishaq, murid dan
sekaligus sahabatnya yang paling menonjol dan

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


paling memahami ide-idenya ialah Muhammad Abduh.
Abduh sering kali menyertai lawatan gurunya, termasuk
ketika gurunya itu melakukan lawatan ke Paris. Dalam
lawatan ke Paris ini, Abduh merasa mendapat
pengalaman berharga terutama ia sempat mengikuti
dialog antara gurunya dengan filsuf dan sejarawan
Prancis terkenal, Ernest Renan, yang banyak mendalami
karya-karya Ibn Rusyd dan Ibn Sina.
Optimisme Afghani yang kemudian ditularkan kepada
murid-muridnya didasarkan pada kenyataan bahwa
keunggulan Islam atas agama lain, dari Hinduisme sampai
Kristen dan Zoroasterianisme, terletak pada dogma-
dogmanya (Islam) yang fundamental yang sepenuhnya dapat
dirasionalkan dan bebas dari unsur-unsur raha- sia. Konsep
rasionalisasi dogma Afghani selanjutnya ber- pengaruh
kepada murid-muridnya. Abduh misalnya, secara gamblang
telah menguraikan hal tersebut ke dalam berbagai
karyanya. Ridha juga mencoba melanjutkan ide-ide tersebut
dalam berbagai karyanya, tetapi kelihatan Ridha lebih hati-
hati, seperti ketika ia membahas tentang fungsi wahyu, soal
perbuatan manusia, dan sifat-sifat Tuhan, kelihatan Abduh
jauh lebih liberal.
Abduh yang banyak melakukan perjalanan ke luar
negeri dan menguasai beberapa bahasa di Eropa seperti
bahasa Prancis, demikian pula banyaknya jabatan profesi
yang pernah didudukinya, seperti Mufti Mesir, Anggota
Majelis Perwakilan (Legislative Concil), di samping
kapasitasnya sebagai seorang guru. Pengalaman-penga-
laman yang padat yang pernah dilalui memberinya
wawasan yang luas. Sedangkan Ridha, meskipun juga

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


143
mempunyai- banyak pengalaman tetapi tidak seluas
pengalaman gurunya, sekalipun masa hidup Ridha lebih
lama (70 th) dibanding dengan Abduh (56 th). Kalau ide-
ide Abduh dengan gurunya (Afghani) tidak dijumpai
perbedaan yang mendasar tetapi Ridha dengan gurunya
(Abduh) dapat ditemukan beberapa perbedaan mendasar.

II. PERBANDINGAN METODOLOGI


Kalau kita meminjam istilah dalam teologi, metodologi
berpikir itu dapat dibagi pada dua bagian, yaitu pola
berpikir Mu’tazilah, yang memberikan peran lebih besar
kepada akal dan pola berpikir Asy’ariah yang memberikan
peran yang sangat kecil kepada akal. Mungkin pola ini
kurang tepat, tetapi dalam memudahkan permasalahan
untuk sementara pola ini dipergunakan pada kedua tokoh
yang kita bahas; yakni Abduh menganut pola yang pertama
sedangkan Ridha menganut pola yang kedua.
Indikator yang dapat mendukung dasar kategori
tersebut adalah sebagai berikut:
Sebagai halnya Ridha, Abduh mendasarkan pikiran- nya
pada al-Qur’an dan Hadis, tetapi Abduh, sebagai­ mana
halnya mu’tazilah, menerapkan ta’wil dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an dan hanya berpegang kepada hadis-
hadis mutawatir, sedangkan Ridha tidak membenarkan
ta’wil pada ayat-ayat mutajassimah dan bukan hanya
berpegang kepada hadis-hadis mutawatir tetapi juga
kepada hadis-hadis sahih.
Sebagaimana halnya Mu’tazilah, Abduh tidak mau
terikat pada salah satu aliran atau mazhab, sedangkan
Ridha masih mengikuti suatu mazhab, yaitu mazhab

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


Ahmad ibn Hanbal dan pendapat-pendapat Ibn
Taimiyah dan Wahabiyah.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Abduh, sebagaimana
halnya Mu’tazilah, menekankan kepada penafsiran
secara filosofis, sehingga surga dan neraka misalnya,
menurut Abduh tidak bersifat fisik tetapi bersifat
rohaniah, sedangkan Ridha banyak menghindar
kepada penafsiran secara filosofis, sehingga surga
dan neraka menurutnya sama dengan pendapat
Asy’ariah, yaitu bersifat jasmaniah.

III. PERBANDINGAN PEMIKIRAN


Perbedaan pokok pemikiran antara Abduh dan Ridha
dapat ditemukan pada tiga hal pokok, yaitu mengenai
fungsi wahyu dan kekuatan akal, perbuatan dan
kebebasan manusia, dan sifat-sifat Tuhan.

Fungsi Wahyu dan Kekuatan Akal.


Perbedaan pandangan teologis antara Abduh dan
Ridha dapat dianalisis melalui pernyataan-pernyataan
dan penafsiran-penafsirannya terhadap beberapa ayat
dalam al-Qur’an.
Abduh mengaggap kekuatan akal dapat mengetahui
Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di
akhirat, mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat
bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik,
sedangkan kesengsaraannya bergantung pada tidak
mengenal Tuhan dan perbuatan jahat, mengetahui wajibnya
mengenal Tuhan, mengetahui wajibnya manusia berbuat
baik dan wajibnya menjauhi perbuatan jahat

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


145
untuk kebahagiaannya di akhirat, dan membuat hukum-
hukum untuk kewajiban itu.
Begitu besar peranan akal bagi Abduh sehingga tidak
tampak fungsi wahyu. Bahkan, walau demikian pan-
dangan teologis Abduh, berarti Abduh jauh lebih liberal
daripada tokoh-tokoh Mu’tazilah lain sebelumnya. Abduh
mengemukakan enam poin dan bandingkan dengan
Asy’ary yang hanya menge­mukakan satu poin, Maturidi
Bukhara dua poin dan Maturidi Samarkan tiga poin.
Sebagai murid Abduh, Ridha juga memberikan peran
akal yang besar, yaitu mampu mengantarkan pada bukti-
bukti adanya al-wajib al-wujub, ilmu dan hikmahnya,
kewajiban bersyukur dan mengagungkan serta kewajiban
beribadah kepada-Nya. Bahkan me-nurut Ridha akal
juga dapat menerima ajaran tentang kekekalan jiwa.
Sampai di sini belum ditemukan perbedaan yang prinsip
dengan gurunya, bahkan pada bagian lain ketika Ridha
menjelaskan fungsi wahyu, ia hanya menukil pendapat
gurunya tanpa memberikan komentar, misalnya ketika
menjelaskan tentang kebutuhan manusia pada Rasul.
Meskipun Ridha tampaknya menghargai kedudukan
akal, tetapi agaknya ia tidak konsisten. Terbukti ketika
membahas ajaran-ajaran yang bersifat ‘ubudiyah tam­
paknya menekankan penggunaan akal. Bagi Ridha
persoalan-persoalan seperti ‘ubudiyah tidak perlu di­
ijtihadkan lagi; ijtihad hanya diperlukan dalam soal hidup
kemasyarakatan. Demikian pula, terhadap ayat-ayat dan
hadis-hadis yang mengandung arti tegas, ijtihad tidak
diperlukan lagi, akal hanya diperlukan pada ayat-ayat dan
hadis-hadis yang pengertiannya tidak tegas dan tidak

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


mendapatkan penjelasan dari ayat-ayat lain atau dari
hadis.
Perbandingan antara keduanya dapat pula dilihat
ketika keduanya memberikan komentar terhadap hadis-
hadis Nabi tentang terpecahnya umat menjadi 73 golongan
dan hanya satu golongan di antara golongan- tersebut yang
dinyatakan masuk surga. Abduh tidak menegaskan siapa
yang satu golongan tersebut karena menurutnya semua
golongan tersebut tetap mendasarkan pandangan-
pandangannya kepada al-Qur’an dan Hadis serta ijma’.
Sedangkan Rida menegaskan bahwa golongan yang selamat
tersebut ialah golongan al-Hadis dan ulamanya yang
mendapat petunjuk dari orang-orang salaf, yakni ulama
yang mendahulukan kalam Allah dan Rasul-Nya atas segala
sesuatu dan tidak mentakwilkannya. Ridha memahami
sikap gurunya yang tidak memberikan ketegasan karena
gurunya dianggap masih kurang menelaah kitab-kitab
hadis, lagi pula gurunya waktu itu masih sedang menekuni
ilmu kalam, ditambah lagi al-Azhar pada waktu itu sedang
dikembangkan kebebasan berpikir dan menentang
fanatisme dan taklid.
Yang sangat kontradiksi dengan gurunya adalah
mengenai ta’wil, Ridha menolak penggunaan ta’wil se­
dangkan Abduh membolehkannya.

Perbuatan dan Kebebasan Manusia


Menurut Ridha, perbuatan manusia atas dasar
kehendak dan pilihannya sediri, apakah itu perbuatan baik
atau buruk. Semua perbuatan manusia, termasuk iman
terjadi karena perbuatan dan pilihannya, hanya saja yang

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


147
menjadikan manusia mewujudkan perbuatannya adalah
iradah Allah. Kasb dan masyiah Allah, dengan demikian,
manusia tidak dapat membebaskan diri dari Allah ia
senantiasa membutuhkan taufik dan pertolongannya.
Ridha beranggapan bahwa Tuhan telah membuat sunah
Allah yang tidak berubah-ubah yang berlaku untuk
semua makhluk. Sunah tersebut ia juga menyebutnya
dengan nidhzam al-‘am.
Ridha beranggapan bahwa daya (qudrah), kemampuan,
dan iradah manusia untuk berbuat adalah pemberian Allah
dan dijadikan menurut masyiah-Nya. Tuhan menciptakan
manusia dengan daya yang terbatas dan dengan masyiah
yang berpangkal pada perbuatan yang dipilihnya sendiri.
Tuhan menjadikan sesuatu dengan qadar dan takdir, yakni
menciptakan aturan yang didalamnya berlaku hukum sebab
akibat. Ridha lebih jauh menjelaskan bahwa manusia itu
tidak menciptakan perbuatannya sendiri secara bebas tanpa
masyiah Tuhan dan Sunnah-Nya pada makhluk-Nya.
Tampaknya menurut Ridha, pilihan manusia itu terbatas
hanya pada memilih hukum sebab akibat yang telah
disediakan kepadanya, agaknya ia ingin mengatakan bahwa
perbuatan itu bukan semata-mata perbuatannya sendiri
melainkan ada keterlibatan Tuhan di dalamnya, tetapi ia
juga enggan mengatakan bahwa perbuatan itu sepenuhnya
kehendak Allah. Yang jelas kita dapat lihat dalam uraian
tersebut bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya
adalah tidak merdeka, karena perbuatan-perbuatannya
tidak murni dari manusia, tetapi ada campur tangan Tuhan,
karenanya, menurut pendapat ini, manusia itu lemah dan
bergantung kepada kehendak

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


kekuasaan Allah dan dengan demikian sesungguhnya
Tuhanlah yang lebih aktif dalam mewujudkan perbuatan
manusia.
Pandangan teologis Ridha ketika menafsirkan ayat
123 Surah Hud, mengingatkan kita pada konsep kasb-
nya Asy’ary yang cenderung searah dengan paham
Jabariah. Ridha mengatakan bahwa:
Begitu pula ketika menafsirkan ayat 20 Surah al-Baqarah ia
mengatakan: Dari uraian tersebut dapat dilihat betapa
lemahnya posisi manusia dalam menentukan dan melakukan
perbuatannya di mata Ridha. Berbeda dengan Abduh yang
memandang manusia itu mempunyai kebe- basan dalam
kemauan dan perbuatannya. Kebebasan manusia menurut
Abduh hanya dibatasi oleh perhitungan-perhitungannya
sendiri dalam meraih sukses bukan karena keterbatasan
kemampuan yang Tuhan berikan kepadanya melainkan
kelemahan manusia dalam memperhitungkan perilaku
Sunnah Allah. Jadi, kegagalan manusia dalam meraih sukses
bukan karena keterbatasan kemampuan yang Tuhan berikan
kepadanya melainkan kelemahan manusia dalam
memperhitungkan perilaku Sunnah Allah. Mengenai Sunnah
Allah, Ridha seolah-olah membayangkan Tuhan itu adalah
bagaikan raja yang absolut, bebas berbuat tanpa keterikatan
dengan Sunnah yang sudah dibuatnya, berbeda dengan
Abduh, seolah-olah menganggap Sunnah Allah dibuat oleh
Tuhan dan juga dirinya.

Sifat-sifat Tuhan
Ridha dengan tegas mengakui adanya sifat-sifat Allah.
Ia menempatkan pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat, dan
perbuatannya, sebagai ilmu yang fundamental bagi
kesempurnaan manusia, sebagaimana yang ia katakan:

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


149
‫ نى عا ه نا‬،‫ىف ه ق لخ وه ف سوة يل وم ق صد‬ ‫لى اع ت‬
‫م ل عال ى ذ ال ه ل بق من و ب رق ق رط ال م ل عال ال ل ه با‬
‫ه يال ى وق او ت ياال ا ةل د ال ه ي ل ع مظ عا ل ئا س وال الم كل‬
Lebih jauh Ridha mengatakan bahwa Allah sendirilah
yang menetapkan sifat-sifat itu bagi dirinya akan tetapi
sifat-sifat itu tidak serupa dengan sifat-sifat yang ada pada
makhluknya, semua sifat Allah menunjukkan kepada
kesempurnaan yang paripurna. Allah menggunakan sifatnya
dengan bahasa manusia agar manusia dapat memahami
sifat –sifat tersebut sesuai dengan tingkat kemampuannya;
namun, perbandingan antara sifat Tuhan dengan sifat
makhluknya adalah ketidakserupaan pada esensinya.Ridha
banyak menukil pendapat Ahlusunnah dalam membela
pendapat-pendapatnya tentang adanya sifat-sifat Tuhan
dengan mengatakan bahwa Allah itu Maha Suci dari
keserupaan dengan makhluknya, baik dalam zat, sifat,
maupun perbuatannya. Bagi Ridha, penggunaan nama yang
sama tidak mengharuskan persamaan pada sesuatu yang
diberi nama tersebut. Pendapat Ridha ini sangat berbeda
dengan pendapat gurunya yang cenderung kepada pendapat
filsuf yang meniadakan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat yang
berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan, Ridha cenderung
melakukan penafsiran secara harfiah dengan berpegang
kepada tanzih, sebaliknya gurunya cenderung
menafsirkannya secara rasional dan filosofis, sebagai
contoh, melihat Tuhan di akhirat, bagi Ridha adalah suatu
kenikmatan yang tertinggi dan sempurna, tentang

Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern


cara melihatnya, Ridha mengikuti pendapat ulama Salaf
yakni ru’yah bi la kaif. Sedangkan Abduh berpendapat
bahwa melihat Tuhan di akhirat adalah dengan suatu daya
yang ada pada manusia ataupun daya yang baru yang akan
diciptakan dalam dirinya dan mungkin dalam hatinya.
Contoh lain mengenai al-arsy, Ridha menafsirkan sebagai
pusat pengendali alam semesta, sedangkan Abduh
menafsirkan dengan kerajaan atau kekuasaan.
Tentang Kalam Allah, Ridha memandangnya sebagai
sifat kesempurnaan Tuhan yang berkaitan dengan ilmu.
Kalam adalah sifat yang tetap bagi Allah, sedangkan esensi
Kalam Allah adalah qadim dan azali dan tidak dapat
dikatakan sebagai mahluk atau baharu (hadis). Sedangkan
Abduh, kalam bukanlah sifat Tuhan melainkan perbuatan
Tuhan, dengan demikian, al-Qur’an adalah diciptakan.
Metode berpikir Ridha dapat dikategorikan masih
terikat pada metode berpikir tradisional, masih terikat
pada salah satu aliran dan mazhab salaf, sedangkan
Abduh memakai metode berpikir rasional dan tidak lagi
terikat pada salah satu aliran atau mazhab.
Perbedaan pola pikir antarguru dan murid mungkin
disebabkan oleh perbedaan latar belakang lingkungan ke-
luarga, pendidikan, pengalaman, dan kecerdasan antara
keduanya.
Ridha masih dapat ditempatkan ke dalam deretan
tokoh pembaru, karena sesungguhnya yang tradisional
hanyalah pemikirannya tetapi sikap-sikap yang ditampil-
kannya adalah sikap dinamis. Mungkin karena itu Charles
Adams menyebutkan sebagai pembaru yang konservatif.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


151
Bab III — Pembaruan Islam Paska Zaman Modern
BAB IV

ISU-ISU GAGASAN
NASIONALISME, EMANSIPASI
WANITA, KHILAFAH, NEO-
MODERNISME, ISLAM MODERAT,
IJTIHAD IDEOLOGI PANCASILA,
ISLAM, DAN JARINGAN ISLAM
LIBERAL (JIL)

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


153
Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....
1
QASIM AMIN:
EMANSIPASI WANITA
Oleh: Sulaiman Abdullah

I. PENDAHULUAN

G erakan pembaruan di Mesir, sebenarnya telah


pada penghujung abad XVIII ketika Muhammad Ali Pasya
dimulai

berkuasa setelah ber- hasil mengusir pasukan Napoleon


ynag menduduki
Mesir tanggal- 22 Juli 1798 sampai 31 Agustus 1801
(Nasution, 1975:29-30). Kehadiran ekspedisi Napoleon di
Mesir, bagaimanapun telah membuka mata umat Islam
Mesir akan kelemahan dan kemunduran mereka serta
membangunkan mereka dari tidur nyenyaknya, mengenali
jati diri dan membenahi posisinya sebagai suatu bangsa.
Pembaruan yang dibawa oleh Muhammad Ali yang
mulai berkuasa penuh di Mesir 1811, tak dapat dilepas-
kan dari kepentingannya untuk mempertahankan dan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


155
memperkokoh kekuasaannya. Oleh karena itu, ia mulai
mengadakan pembaruan kekuatan militer yang didukung
oleh kekuatan ekonomi yang keduanya menghendaki
ilmu-ilmu modern yang dikenal orang di Eropa. Untuk itu
ia bangun beberapa sekolah yang gurunya didatangkan
dari Barat, di samping mendorong siswa-siswa untuk
belajar ke Eropa (Nasution, 1975:29-30). Ia pun
mengadakan pembaruan di bidang administrasi negara.
Beberapa kemajuan yang dicapai Muhammad Ali,
betapa pun banyak melahirkan orang orang pintar
bangsa Mesir yang berwawasan luas dan berjiwa
nasionalis yang secara samar telah mulai dicetuskan oleh
Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi yang pengaruhnya sangat
besar di pertengahan abad XIX di Mesir, yaitu lahirnya
beberapa tokoh pembaru nasionalis Mesir yang berjuang
bagi kemerdekaan Mesir dari jajahan bangsa asing
(Inggris 1882-1922).
Akan tetapi, untuk mencapainya perlu dipersiapkan
kondisi masyarakat; pendidikannya, cara berpikir, kekuat-
an ekonominya serta kedudukan sosial masyarakat,
diperbarui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
modern dan tidak menyimpang dari ajaran agama.
Salah satu titik lemah yang berada pada bangsa Mesir
kala itu ialah diskriminasi antara kedudukan lelaki dan
wanita. Wanita diperlakukan secara tidak adil oleh belenggu
adat istiadat yang ketat yang merendahkan derajat wanita
dan telah berlangsung selama berabad-abad. Jumlah wanita
berimbang dengan lelaki, sehingga seperdua dari
keseluruhan potensi nasional tidak dapat digerakkan dalam
perjuangan memajukan bangsa. Karena itu, usaha

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


perbaikan kedudukan wanita adalah merupakan kegiatan
dari gerakan pembaruan Mesir.
Beberapa tokoh pembaru di Mesir merasa terpanggil
untuk mengubah dan memperbarui kedudukan wanita.
Sebelumnya al-Tahtawi (1801-1873) telah mengemukakan
pendapatnya yang termuat dalam bukunya al-Mursyid al-
Amin li al-Banat wa al-Banin bahwa wanita pun harus di-
berikan pendidikan dan pengajaran sebagai yang diberikan
kepada lelaki (Nasution, 1975: hlm. 48). Muhammad Abduh
pun telah mengemukakan bahwa dalam Islam, wanita
mempunyai kedudukan tinggi, tetapi adat istiadat yang
berasal dari luar Islam mengubah hal itu sehingga wanita
Islam akhirnya mempunyai kedudukan rendah dalam
masyarakat (Nasution, 1975:79).
Akan tetapi, yang mengupas secara meluas tentang
ide persamaan kedudukan antara lelaki dan wanita itu
adalah Qasim Amin, salah seorang murid dan pengikut
Muhammad Abduh. Ia menyadari perlunya perbaikan ke-
dudukan wanita dengan membebaskannya dari belenggu-
adat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ia mene-
gaskan bahwa “perbaikan keadaan suatu bangsa tak
mungkin terwujud tanpa memperbaiki kedudukan
wanita” (Amin, 1978:27).
Ide inilah yang dikupas Qasim Amin dalam bukunya
Tahrir al-Mar’ah (Emansipasi Wanita) yang diterbitkan
pada 1899. Menurut pendapatnya, kemunduran umat
Islam disebabkan kaum wanita tidak pernah memperolah
pendidikan sekolah. Karena itu, ia menuntut agar kaum
wanita diberikan pendidikan dan pengajaran seperti yang
diperoleh kaum lelaki, supaya mereka dapat mengatur

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


157
rumah tangga dengan baik dan memberikan pendidikan
bagi anak-anak. Ia pun menuntut pilihan kedua belah
pihak dalam soal perkawinan di mana wanita pun diberi
hak dalam memilih jodoh. Sejalan dengan itu, ia pun
menuntut supaya istri diberi hak cerai. Praktik poligami
menurut pendapatnya, walaupun disebut dalam al-
Qur’an tidaklah dianjurkan, tetapi sebaliknya dianjurkan
monogami.
Sebagaimana halnya terhadap setiap inovasi baru
akan mendapat reaksi pro-kontra, demikian pulalah
halnya dengan ide emansipasi yang dilontarkan Qasim
Amin. Tidak sedikit tokoh-tokoh terkemuka Mesir yang
menge- camnya, lebih-lebih terhadap pernyataannya
bahwa hijab (penutup wajah wanita) bukan merupakan
ajaran Islam, karena bukan merupakan aurat (Nasution,
1975: 79). Tetapi cukup banyak pula pemuka Mesir yang
menyetujui dan mendukung pendapatnya itu.
Untuk menjawab tantangan dan kecaman pihak yang
tak setuju tersebut, Qasim Amin menulis bukunya ´Al-
Mar’at al-Jadidah yang berisi ia tentang perbandingan
antara kemajuan wanita Eropa dan Amerika di satu pihak,
dan kemunduran wanita Mesir yang muslim di lain pihak.

BIOGRAFI SINGKAT QASIM AMIN


Qasim Amin lahir di Iskandariyah pada 1963
(Bahauddin, 1969:10; Farukh, 1969:10). Ayahnya,
Muhammad Bek Amin, adalah keturunan Turki, bekerja
sebagai- tentara yang didatangkan dari Irak ke Mesir.
Ibunya adalah wanita Mesir dari al-Sha’id (Amin, 1978:11).
Pendidikan dasarnya di madrasah Ra’s al-tin Iskandariyah

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


dan pendidikan menengah di madrasah Al-Tajhiziyah di
Kairo. Setamatnya dari sekolah menengah tersebut, ia
melanjutkan studi di Madrasah al-Huquq (Sekolah Tinggi
Hukum) dan memperoleh ijazah Lisence pada 1881
(Farukh, 1969:10). Selain pendidikan itu, ia bekerja pada
kantor Pengacara Mustafa Fahmi di Kairo. Kemudian ia
berangkat ke Prancis untuk mendalami ilmu hukum di
Universitas Montpellier (Farukh, 1969:10).
Sebelum berangkat, ia telah ikut dalam persiapan
revolusi Arab pimpinan Urabi Pasya. Selama di Paris ia tetap
mengikuti perkembangan keadaan di Mesir. Revolusi yang
dipimpin oleh Urabi Pasya dapat dipatahkan Inggris yang
merasa kepentingannya terancam, lalu menduduki Mesir
tahun 1882. Muhammad Abduh yang turut me- mainkan
peranan ditangkap dan buang pada penutup tahun 1882.
Pada 1884 ia pergi ke Paris dan bersama sama dengan al-
Afghani mengeluarkan majalah Al ‘Urwath al-Wusqa
(Nasution, 1975: 61-62). Qasim Amin pun ikut ambil bagian
mengisi tulisannya. Qasim Amin ketika itu membantu
Muhammad Abduh mempelajari bahasa Prancis (Amin,
1978:12-13). Majalah Al-Urwah al-Wusqa tidak berumur
panjang karena pada 1885 sudah dibredel oleh pihak
penjajah.
Pada 1885 itu pula, Qasim Amin kembali ke Mesir
dan diangkat menjadi hakim pada al-Mahkamah al-
Mukhtalathah (Tribunal Mixte). Setelah berpindah pindah
ke beberapa kota sebagai hakim, kemudian ia diangkat
menjadi Mustasyar (Hakim Agung) pada Mahkamah al-
Isti’naf pada 1892 (Farukh, 1969:10).
Pekerjaannya sebagai hakim tidaklah menghalanginya

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


159
untuk memperhatikan kepentingan masyarakat umum.
Maka pada 1900 ia mendirikan organisasi sosial Islam (Al-
Jam’iyah al-Khairiyah al-Islamiyah) dan tahun 1906
mendirikan Universitas Mesir (Al-Jami’ah al-Mishriyah )
bersama sama dengan Sa’ad Zaglul, Ahmad Ramzi dan lain-
lain. (Farukh, 1973:176). Universitas ini diubah nama- nya
menjadi Universitas Fuad I pada 1940 dan menjadi
Universitas Kairo (Jami’ah al-Qahirah) pada 1952.
Kedudukannya sebagai Mustasyar pada Mahkamah
al-Isti’naf dan sebagai pekerja aktif dalam lapangan ke­
masyarakatan itu tetap diembannya sampai akhir
hayatnya pada 1908 (Farukh 1969:10).
Dari data-data tersebut di atas, jelaslah bahwa Qasim
Amin adalah seorang nasionalis dan patriot yang ikut dalam
gerakan kemerdekaan bangsanya, tetapi tidak mengikuti
garis revolusioner seperti yang dijalankan oleh Sa’ad Zaglul,
seorang ahli hukum/hakim ulung, penulis yang produktif,
seorang sastrawan yang menghayati ke- indahan dan
aspirasi masyarakat, yang memandang bahwa sebab
terbesar dari kemunduran bangsa Mesir adalah
keterbelakangan mereka dari pengetahuan es- tetika, sendi
dan musik yang dapat mendidik sikap mental untuk
mencintai keindahan dan kesempurnaan (Amin, 1978:14).
Dengan latar pendidikannya, ia berusaha memadukan
kebudayaan Prancis dengan kebudayaan Mesir tanpa
melanggar ketentuan agama yang dianutnya. Ide ide
pembaruannya dituangkan dalam bentuk tulisan baik
dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Prancis. Buku-
bukunya yang ditulis dalam bahasa Arab, ada tiga buah:
pertama, Tahrir al-Mar’ah, yang namanya populer;

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


kedua, al-Mar’at al-Jadidah, yang membahas secara luas
tentang kebebasan wanita di Eropa dan Amerika; ketiga,
Asbab wa Nataij wa Akhlaq wa Mawa’zh yang
merupakan kumpulan dari artikel yang ditulisnya di
beberapa majalah dan surat kabar (Farukh, 1969:203).

II. Ide-ide Pembaruan Qasim Amin


Ide pembaruan Qasim Amin yang menonjol, adalah
hasratnya untuk meningkatkan harkat dan martabat wanita
Mesir setara dengan kaum pria. Ia merasa prihatin dan
tersentuh menyaksikan keterbelakangan kaum wanita Mesir
sebagai akibat terbelenggu oleh adat kebiasaan yang
menurutnya tak sejalan dengan ajaran Islam, bukan karena
ajaran Islam seperti yang dituduhkan oleh seorang Prancis,
Le Duc d’hartcourt dalam bukunya L’Egypte et les Egyptiens
(Farukh, 1969: 204) yang bermaksud memburuk-burukkan
Mesir dan Islam. Oleh karena itu, Qasim Amin
membantahnya dengan menulis bukunya Les Egyptiens
Response am Le Duc d’hartcourt di mana dikemukakannya
pembelaannya terhadap Islam yang dicap oleh d’hartcourt
sebagai penyebab kemunduran dan ketebelakangan bangsa
Mesir.
Keprihatinan itu mendorong Qasim Amin untuk mem-
perbaiki kedudukan wanita Mesir pada khususnya dan
perbaikan kehidupan rakyat Mesir dan Arab/Islam pada
umumnya. Ia menyadari bahwa keterbelakangan masya-
rakat Mesir dibandingkan dengan Eropa dan Amerika,
disebabkan tingginya pendidikan mereka tanpa membe-
dakan antara lelaki-wanita dan keikutsertaan lelaki-wanita
dalam kegiatan sosial ekonomi dan kegiatan lain-

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


161
nya. Oleh karena itu, untuk memacu kemajuan Mesir
sejajar dengan kemajuan yang telah diperoleh Barat adalah
dengan peningkatan pendidikan dan pengajaran baik bagi
lelaki maupun wanita. Karena di Mesir terdapat perbedaan
besar antara kedudukan hak wanita dengan lelaki, maka
titik berat perhatiannya terfokus pada perbaikan hak dan
kedudukan kaum wanita Mesir dan meningkatkan
emansipasi wanita Mesir. Untuk itu, menurutnya, kaum
wanita Mesir harus dibebaskan dari belenggu adat istiadat
yang keliru: hijab, praktik perkawinan, poligami dan talak
yang merugikan pihak wanita dan merendahkan mar-
tabatnya baik dilihat dari sudut kemasyarakatan maupun
syari’at Islam. Wanita harus mendapatkan pendidikan­ dan
hak hak lain yang didapatkan kaum lelaki.
Berikut ini, dikemukakan ide Qasim Amin terhadap
perbaikan kedudukan wanita.

Pendidikan dan pengajaran


Menurut Qasim Amin, pendidikan bagi wanita
adalah- sangat penting sekali, karena wanita adalah juga
manusia yang sama dengan lelaki baik dalam bentuk
tubuh, tugas, perasaan maupun pikiran. Per-bedaannya
hanya terletak pada perbedaan kelamin (Amin, 1978:41)
Kelebihan lelaki dari wanita dalam kekuatan fisik dan
mental, karena lelaki lebih dahulu diberikan kesempatan
bekerja dan berpikir, sedang wanita dilarang untuk
menggunakan dayanya bekerja dan berpikir.
Selanjutnya, Qasim Amin menegaskan, bahwa mene-
lantarkan pendidikan bagi wanita sama halnya dengan
membiarkan seperdua jumlah penduduk berada dalam

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


kegelapan dan kebodohan, sebab jumlah kaum wanita
diperkirakan sekitar setengah dari jumlah pen-duduk
sesuatu negeri (Amin, 1978:43). Tertutupnya lapangan-
pendidikan, menyebabkan wanita Mesir tidak dapat mela-
kukan berbagai aktivitas seperti yang dilakukan- oleh
wanita Barat dalam berbagai bidang: ilmu pengetahuan,
kesenian, kesusasteraan, perdagangan dan perindustrian.
Sekiranya wanita Mesir diberikan pendidikan- dan di-
tuntun dengan baik, niscaya memberi faedah besar bagi
kemajuan bangsanya. Dengan bekal penge-tahuan intelek-
tual dan bekal rohaniah yang cukup, wanita Mesir akan
dapat mengatur rumah tangga dengan baik dan dapat
memilih yang baik serta dapat membuang takhayul dan
kepercayaan yang salah yang banyak melanda kaum wanita
yang tak bependidikan (Amin, 1978:42).
Menurut pendapat Qasim Amin, kebodohan wanita
Mesir termasuk para istri sudah demikian parahnya,
sebagaimana digambarkannya:
…bahkan dalam urusan yang termasuk pekerjaannya dan
wanita diciptakan untuk itu, sang suami tidak melihat pada
istrinya hal yang menarik hatinya. Kebanyakan istri tidak
terbiasa menyisir rambutnya setiap hari, mandi tidak lebih
dari sekali setiap minggu, tidak tahu mempergunakan sikat
gigi, tidak memperhatikan keindahan dan kebersihan
pakaiannya yang berpengaruh besar dalam menggairahkan
suami. Dan tidak tahu bagaimana menumbuhkan keinginan
pada suami, bagaimana memeliharanya dan bagaimana
memenuhinya-. Itu disebabkan wanita yang bodoh, tidak
mengetahui gerakan-gerakan batin dalam jiwa. Apabila ingin
menggairahkan suami, biasanya ia berbuat kebalikannya
(Amin, 1978:57).

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


163
Menurut Qasim Amin, pendidikan dan pengajaran yang
diberikan pada kaum wanita, minimal cukup tingkat dasar
seperti yang diberikan kepada anak lelaki (Amin, 1978:68).
Akan tetapi, jangan dibatasi pada pengetahuan
kerumahtanggaan, seperti menjahit, menyetrika dan
memasak saja (Amin, 1978:52). Pendidikan wanita harus
mencakup pendidikan jasmani, pendidikan moral dan
intelektual. Wanita mesti diberikan kesempatan berolah
raga seperti wanita di Barat, karena tanpa olahraga wanita
jadi kurang sehat, mudah diserang penyakit, sangat
menderita sewaktu hamil dan melahirkan. Apabila wanita
dikurung di dalam rumah, kondisi fisiknya lemah karena
tak sempat berolahraga, tidak kena cahaya matahari dan
tdak menghirup udara segar, sehingga ketika bersalin untuk
pertama kalinya banyak yang jatuh sakit bahkan meninggal
dunia (Amin, 1978: 157-159). Kesehatan jas- mani ibu perlu
baginya dan bagi pencegahan penularan penyakit ibu
kepada anaknya.
Diperlukannya pendidikan moral bagi wanita terutama
ibu, karena mereka berperan besar dalam membentuk moral
anak anaknya. Dengan mengetahui akhlak yang baik,
wanita dapat menjadi ibu yang saleh yang pandai
menanamkan budi pekerti yang baik dan kebiasaan yang
benar pada anak-anaknya (Amin, 1978:157-159).
Juga diperlukan pendidikan intelektual bagi wanita
agar mereka mengetahui alam sekitarnya termasuk
dirinya. Dengan mengetahui hakikat sesuatu ia dapat
mengarahkan pekerjaannya kepada yang bermanfaat bagi
dirinya dan menikmati pengetahuan itu, sehingga
hidupnya berbahagia (Amin, 1978:160).

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Keinginan untuk menikmati ilmu pengetahuan itu sama
bagi lelaki dan wanita, mereka sama ingin mengetahui
rahasia dan keajaiban alam dan sama sama ingin mem-
pelajari keadaan alam, masyarakat dan sejarahnya.
Memberikan pendidikan intelektual kepada wanita bukan
berarti menjejali otaknya menghafal materi pengetahuan
yang diberikan, tetapi yang lebih penting ialah menanamkan
rasa cinta kebenaran dan memberikan motivasi agar tetap
merindukannya dan mencarinya. Pendidikan ini bermanfaat
bagi wanita sebagai bekal mengatur ekonomi rumah tangga,
menciptakan suasana rumah tangga menyenangkan suami
dan anak-anak, pendidikan seni dan musik sebagai bagian
pendidikan intelektual, diper- lukan pula bagi wanita untuk
memperhalus perasaan, menyenangi- sesuatu yang
sempurna dan indah. Bila ilmu pengetahuan mengajarkan
hakikat itu karena tampak dalam bentuk yang sempurna
seperti yang digambarkan dalam lukisan. Seni musik
merupakan bahasa yang paling tepat dalam
mengungkapkan isi hati dan sesuatu yang terindah dalam
pendengaran (Amin, 1978:157-161-162).
Sebagian besar masyarakat Mesir berpendapat bahwa
pendidikan dan pengajaran bagi wanita bukanlah meru-
pakan kewajiban. Bahkan mereka mempertanyakan apa-
kah belajar tulis baca itu dibolehkan oleh syari’at atau
diharamkan sama sekali (Amin, 1978:41). Sehingga tak
mengherankan apabila Qasim Amin menyadari bahwa
sebagian masyarakat Mesir mengkhawatirkan pendidikan-
wanita dapat merusak akhlak mereka. Ini merupakan
kendala bagi idenya. Oleh karena itu, anggapan masyarakat
yang tak benar itu dibantahnya dengan keras dengan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


165
mengemukakan argumentasi bahwa pendidikan itu disertai
dengan pendidikan akhlak. Lebih jauh ia terangkan bahwa
bila pendidikan intelektual diimbangi dengan pendidikan
akhlak, tentulah akan mengangkat harkat dan martabat
wanita, menyempurnakan akalnya sehingga membuatnya
berpikir mengamati dalam berhati-hati dalam menghadapi
atau melakukan sesuatu pekerjaan. Wanita yang baik akan
bertambah kebaikan dan kesalehan serta ketakwaannya
dengan ilmu pengetahuan,. Mereka lebih berhati-hati dalam
melakukan pekerjaan dibanding wanita yang bodoh (Amin,
1978:73).

Pengertian Hijab
Menurut asalnya pengertian hijab ialah membungkus
seluruh tubuh wanita dari ujung rambut sampai tapak kaki,
akan tetapi dalam praktiknya di Mesir dan sebagian besar
negeri Islam, diterapkan lebih luas, mencakup pengekangan
kebebasan wanita sehingga hidup terpenjara dalam rumah
atau dibalik tirai kereta dan tidak dapat berjalan keluar
rumah untuk menuntut ilmu atau melakukan kegiatan
masyarakat lainnya, kecuali bila sudah menjadi mayat
terbungkus kain kafan untuk dikuburkan. Demikianlah
keadaan yang berlaku bagi umumnya wanita Mesir dari
golongan menengah ke atas (Amin, 1978: 39 dan 168).
Adat hijab seperti inilah yang ditentang habis-habisan
oleh Qasim Amin, sebab tidak sesuai dengan ajaran Islam
yang membolehkan wanita membuka wajah dan kedua
tapak tangannya dan membolehkan keluar melakukan
kegiatan sosial ekonomi. Islam hanya melarang wanita
berduaan dengan lelaki bukan muhrim di tempat yang

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


dapat menimbulkan kecurigaan (Amin 1978: hlm. 84).
Qasim Amin tidak menuntut agar kaum wanita Mesir
meniru cara berpakaian wanita Barat seratus persen yang
sudah di luar batas kesopanan bahkan menarik nafsu
syahwat. Ia hanya menuntut agar cadar yang menutupi
wajah dihilangkan dan kaum wanita diberi kebebasan untuk
keluar rumah baik untuk keperluan mengikuti pendidikan,-
bekerja, maupun untuk berkomunikasi dan berinteraksi
dengan masyarakat seperti halnya kaum lelaki. Menurut
Qasim Amin, “adat hijab” di mana wanita menutup
wajahnya dengan burqa’ (seperti topeng) atau dengan niqab
(cadar tipis dan halus), adalah adat istiadat lama yang
sudah ada sebelum Islam dan dilanjutkan setelah Islam,
karena adat seperti ini tidak terkenal di negeri Islam bagian
Timur (Amin, 1978: hlm. 88-89). Untuk membenarkan
pendapatnya, ia kemukakan bahwa dalam mazhab Syafi’i,
Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa wajah dan dua
tapak tangan wanita bukan aurat yang wajib ditutup (Amin,
1978: hlm. 81-82).
Mengenai hijab dalam arti mengurung wanita di dalam
rumah dan melarangnya berinteraksi dengan kaum lelaki,
Qasim Amin membaginya kepada dua bagian:
Hijab yang khusus bagi istri-istri Nabi saw.
Hijab bagi kaum wanita muslimah selain istri
Nabi saw.
Mengenai hijab bagi istri-istri Nabi saw, menurut
Qasim Amin, telah disepakati oleh kitab-kitab Fikih dari
semua mazhab dan kitab-kitab tafsir bahwa hal itu diku-
suskan bagi para istri Nabi SAW., karena mereka tidak
sama dengan kaum wanita muslimah lain, berdasarkan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


167
sebab turun ayat 53 surat al-Ahzab tentang hijab adalah-
khusus pada istri-istri Nabi saw. Oleh karena, mengenai
hijab bagi wanita muslimah lainnya tidaklah merupakan
fardhu dan kewajiban (Amin, 1978:90). Dari sudut
kemasyarakatan, Qasim Amin menilai bahwa kebiasaan-
mengungkung wanita sejak kecil (umur 12-14) hanyalah
kebiasaan adat istiadat yang diwarisi turun temurun dan
diikuti secara naluri tanpa pertimbangan rasio. Adat seperti
itu tak dapat dibenarkan mengingat anak pada usia tersebut
berada pada tahap transisi dan perlu pengetahuan dan
pengalaman hidup di mana mereka telah mengetahui
bangsa, agama, tanah airnya. Dalam usia seperti itu tampak
aktivitas dan kreativitasnya, sehingga jika dikekang akan
menyebabkannya mundur dan kehilangan masa depannya.
Mereka harus dilepaskan dari kungkungan serta dibenarkan
berkomunikasi dan berinteraksi dengan kaum lelaki.
Pengungkungan kaum wanita sekalipun dengan alasan
menyayanginya, akan merusak kesehatannya karena tidak
mendapatkan udara segar dan cahaya matahari (Amin,
1978: 90-93).
Pendapat yang mengatakan bahwa wanita yang aktif
berkomunikasi dengan kaum lelaki mempunyai pikir-an
rendah yang menjurus kepada perbuatan amoral diten-
tangnya, dengan mengatakan bahwa wanita yang biasa
bekerja dan belajar di tengah kaum lelaki lebih terhindar
dari pikiran jelek dibandingkan wanita yang dipingit.
Alasannya, wanita yang terbiasa bebas melihat lelaki dan
mendengar bicaranya, tidaklah mudah tergerak nafsu
syahwatnya, betapapun gagahnya lelaki itu. Sebaliknya
wanita yang terbiasa terkurung, maka sekali ia melihat

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


lelaki dengan cepat dan tanpa disadarinya, tergerak
pikirannya pada perbedaan seks (Amin, 1978: 101-102).
Selain dari itu, dengan mengungkung kaum wanita sa-
malah artinya dengan tidak menaruh kepercayaan kepada
mereka, kepada ibu kita, kepada istri dan puteri-puteri kita,
bahwa mereka tahu menjaga kehormatan dirinya. Tentulah
tidak pantas kita menaruh kecurigaan kepada wanita wanita
yang kita cintai dan tidak memercayai mereka dapat
menjaga kehormatan dirinya, kehormatan wanita tidak
terletak pada pakaian yang membungkus badannya, tetapi
pada kesanggupan mereka memelihara diri. Sikap inilah
yang seharusnya ditanamkan sejak dini pada kaum wanita,
dengan membiasakannya berhu- bungan dengan lelaki baik
dari kerabatnya maupun bukan, dengan tetap memelihara
batas-batas ketentuan syari’at dan kesopanan, atas
bimbingan orang tuanya atau walinya (Amin, 1978: 104 dan
106).

Perkawinan dan Talaq


Menurut pendapat Qasim Amin, praktik perkawinan
dan perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat Mesir
pada masanya, terdapat unsur penghinaan dan perendahan
martabat kaum wanita. Wanita diperlakukan tak lebih dari
objek yang tidak mempunyai hak untuk memilih calon
jodohnya dan dengan cara sewenang-wenang dapat
diceraikan oleh suaminya melalui talak. Wanita dipandang
sebagai alat pemuas seks semata dalam suatu perkawinan.
Di dalam buku-buku Fiqih, perkawinan didefinisikan
sebagai satu akad yang menyebabkan seseorang lelaki
menguasai kehormatan wanita. Definisi

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


169
ini, dinilai Qasim Amin tidak memperlihatkan adanya
kewajiban kedua belah pihak dan tidak sesuai dengan
penegasan al-Qur’an dalam surah al-Rum ayat 21 yang
menempatkan perkawinan sakinah (ketenangan batin),
mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Penegasan
ini tampaknya telah diubah oleh ulama fikih sebagai alat
bersenang-senang kaum lelaki (Amin, 1978:139). Oleh
karena itu, maka untuk terjalinnya suatu mawaddah dan
rahmah sehingga menimbulkan sakinah, lelaki dan
wanita yang akan melakukan akad nikah dibenarkan
untuk saling mengenal.
Di sini terlihat betapa seriusnya Qasim Amin untuk
mengangkat derajat kaum wanita dari hanya sekadar
objek menjadi setara dengan derajat kaum lelaki sebagai
subjek. Ia tidak dapat menerima perkawinan yang
dilaksanakan tanpa proses perkenalan lebih dahulu
walaupun dalam waktu singkat. Sulit bagi seorang pria
dan wanita yang sehat akalnya akan dapat hidup
bersama dan bergaul dengan baik bila tidak saling
mengenal sebelumnya. Pria zaman now, tidak mau kawin
dengan wanita yang tak dilihatnya. Mereka ingin istri
yang mencintai dan dicintainya bukan pelayan wanita
yang melayani kebutuhannya (Amin, 1978:147).
Perkawinan poligami, menurut Qasim Amin berasal dari
adat istiadat kuno yang tersebar di masa lahirnya Islam dari
berbagai penjuru dunia ketika kaum wanita dianggap
sebagai makhluk antara manusia dan binatang (Amin 1978:
hlm. 148). Poligami merupakan bentuk penghinaan besar
terhadap wanita. Karena tak seorang pun lelaki yang rela
dimadu. Betapapun keadaannya, seorang wanita yang

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


menghormati dirinya akan merasa pedih hatinya bila me-
lihat suaminya kawin dengan wanita lain. Ia merasa pedih
karena tempatnya yang masih tersisa telah runtuh dan
tidak ada harapan baginya untuk menegakkan kembali
kedudukan yang terhormati itu (Amin, 1978: 149).
Qasim Amin menginginkan adanya pembatas yang
ketat dalam poligami, yaitu hanya dibolehkan dalam hal-hal
yang sangat mendesak seperti istri sakit berkepanjangan
sehingga tak dapat melayani kebutuhan biologis suami atau
bila istri mandul sehingga keinginan kebanyakan suami
untuk mendapatkan turunan tak terpenuhi (Amin 1078:
hlm. 152-153). Sungguhpun demikian, Qasim Amin tidak
senang juga bila suami dengan alasan tersebut kawin lagi
dengan wanita lain, karena hal itu bukan kesalahan istri.
Sepatutnya suami turut merasakan penderitaan dan
kesedihan istrinya (Amin 1978: hlm. 153). Hanya dua alasan
itulah yang dibenarkan Qasim Amin untuk diperbolehkan
berpoligami, sedang alasan-alasan lain merupakan alasan
untuk memenuhi syahwat hayawaniyah (Amin 1978: hlm.
153). Mengenai ayat yang membolehkan poligami, menurut
Qasim Amin, mengandung kebolehan dan larangan, boleh
jika sanggup berlaku adil, dilarang jika tak sanggup berlaku
adil. Pendapat seperti ini telah lebih dahulu dikemukakan
oleh al-Tahtawi dan Muhammad Abduh (Hourani 1962 hlm.
166). Jadi ia mengikuti pendapat kedua pendahulunya.
Mengenai hal talak, Qasim Amin mengemukakan
perlunya diadakan pembatasan yang ketat dalam peng-
gunaannya oleh suami, sesuai dengan ketentuan agama
yang hanya membolehkan menjatuhkan talak bila sudah
tidak mungkin lagi hidup rukun antara suami-istri. Ia

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


171
mengecam kebiasaan mentalak istri secara sewenang-
wenang tanpa suatu alasan yang dibenarkan agama. Ia
merasa prihatin melihat banyaknya perceraian yang
terjadi di Mesir seperti terjadi pada 1898 di mana dari
12.000 perkawinan terjadi 3.300 perceraian (Amin 1298
H sampai tahun 1315 H.). Ia meminta agar perceraian
diputuskan melalui proses peradilan, tidak cukup dengan
ucapan talak dari suami yang kadangkala diucapkan
tanpa pertimbangan. Bahkan ia menginginkan agar istri
juga mendapat hak cerai bila merasa dianiaya atau dapat
perlakuan kekerasan oleh suami.

IV. KESIMPULAN
Ide emansipasi wanita yang dicanangkan dan diper-
juangkan dengan serius oleh Qasim Amin, namun
sementara bagi pihak lain dianggap berbahaya dan dapat
menyebarkan- kemorosatan akhlak di tengah masyarakat
dan melemahkan bangsa Mesir. Tantangan terhadap ide
ini, antara lain datang dari Tal’t Harb, seorang tokoh
nasionalis Mesir dan dari Mustafa Kamil. Pemimpin
nasionalis Mesir. Qasim Amin dituduh sebagai agen
imperialis Eropa yang ingin merusak persatuan nasional,
karena ia bukan orang Mesir asli.
Akan tetapi, tidak kurang pula yang mendukungnya
agar terus memperjuangkan idenya itu, antara lain dari
Muhammad Rasyid Ridha, dari sastrawan seperti penyair
Syauqi Bek dan dari kalangan wanita terpelajar. Ide ini
disambut mereka dengan gegap gempita karena sejalan
dengan ajaran Islam yang menghargai kedudukan wanita
dan menyejajarkannya dengan kaum lelaki.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Ide emansipasi Qasim Amin ini akhirnya diterima
dan dilaksanakan dalam kehidupan wanita Mesir, yaitu:
Dilarangnya pemakaian cadar sejak 1922.
Lahirnya organisasi wanita Mesir, “Jam’iyat al-
Ittihad al-Nisa’i al-Misri” pada 1923, dibawah
pimpinan Huda Sya’rawi.
Dibukanya sekolah menengah untuk anak-anak
wanita sejak 1925 yang kemudian terus
berkembang sampai ke tingkat perguruan tinggi.



SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


173
2
MUSTAFA KAMIL:
NASIONALISME MESIR
Oleh: Afifi Fauzi Abbas

A. RIWAYAT HIDUP MUSTAFA KAMIL

M ustafa Kamil dilahirkan di Kairo pada 14


Agustus 1874 dan meninggal pada 1908.
Kedua orangtuanya tergolong sebagai keluarga
terpelajar, ayahnya seorang ahli mesin. Mustafa Kamil
merupakan produk dari pendidikan modern yang telah
dirintis oleh Moh. Ali Pasya. Ia masuk sekolah hukum
pada 1891, dan pada tahun berikutnya 1892, bersamaan
dengan dibukanya Sekolah Hukum Prancis di Kairo,
Mustafa Kamil masuk ke sekolah ini. Kemudian Mustafa
Kamil melanjutkan studinya ke Prancis dan pada 1894 ia
memperoleh gelar licence dalam bidang hukum dari
Universitas Taulouse.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Sifat kepemimpinannya sudah terlihat sejak ia masih
menjadi mahasiswa. Sepulangnya dari Prancis pada 1894
ia mendirikan Hizb-al-Wathan (Partai Nasional). Dia
pernah memimpin demonstrasi ke kantor surat kabar
harian Al-Muqattan, untuk memprotes sikap pimpinan
harian ini yang mendukung police Cromer, wakil Inggris
di Mesir. Surat kabar tersebut didirikan oleh orang
Kristen Libanon, Nimer dan Sarrouf.
Untuk mengantisipasi berita dari al-Muqattan orang-
orang Mesir menerbitkan pula surat kabar, antara lain al-
Mu’ayyad yang diterbitkan al-Liwa. Al-Liwa diterbitkan
dalam dua bentuk, dalam bentuk surat kabar harian,
diterbitkan pada 1900 dan dalam bentuk majalah kuar-
talan diterbitkan pada 1902. Surat kabar al-Liwa juga
diterbitkan dalam edisi Inggris dan Prancis. Sirkulasi
surat kabar ini cukup luas untuk ukuran Mesir saat itu.
Oplahnya mencapai 10.000 eksemplar atau 20.000
eksem- plar dengan edisi Inggris dan Prancis.
Kemahiran Mustafa Kamil dalam bidang jurnalistik
dipupuknya lewat persahabatan yang dalam dengan
seorang jurnalis Prancis bernama Juliette Adam.
Pada 1904 Sultan Abdul Hamid II memberikan gelar
Pasya kepada Mustafa Kamil, berkat dukungan yang
diberikannya kepada kebijaksanaan Turki tentang Pan-
Islamisme. Dukungan tersebut dimanifestasikan dengan
mendukung rencana pembangunan jalan kereta api di
Hejaz.
Ketika Khedewi Abbas II mengadakan pendekatan
dengan Inggris terutama ketika Cromer diberhentikan
dan digantikan oleh Grost. Mustafa Kamil melancarkan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


175
sikap oposisi dan membangkitkan sentimen nasional
rakyat Mesir. Hal ini terutama semakin berkobar ketika
terjadi peristiwa Danishway, 3 Juni 1906, di mana
Inggris menginjak-injak hak-hak rakyat Mesir. Sikap
Inggris ini mendapat dukungan dari Khedewi Abbas II.
Peristiwa Danishway ini adalah bentrokan yang terjadi
antara penduduk desa Denishway dekat delta Nil dengan
sekelompok serdadu Inggris yang sedang berburu/
menembak burung di sana. Perburuan serdadu-serdadu
Inggris ini suatu ketika mengenai seorang wanita desa
Denishway. Para petani desa tersebut menuntut balas
dengan memukuli serdadu-serdadu Inggris tersebut. Dalam
peristiwa tersebut salah seorang serdadu Inggris mati
terbunuh ketika hendak berusaha melarikan diri. Cromer
yang menjadi wakil Inggris di Mesir memerintahkan untuk
menghukum petani desa tersebut tanpa ampun. Empat
orang di antaranya dihukum gantung di depan umum
(tanggal 28 Juni 1906) dan tujuh orang dicambuk untuk
kemudian dimasukkan ke penjara.
Peristiwa ini menimbulkan keguncangan kedudukan
Inggris di Mesir. Protes-protes bermunculan di mana-mana,
terutama yang dipimpin oleh Mustafa Kamil, sehingga
memaksa Perdana Menteri Inggris Sir Campbell Bannerman
memerintahkan Cromer untuk mundur, dan
menggantikannya dengan Sir Eldon Grost. Peristiwa ini oleh
Qasim Amin dinilai sebagai pukulan bagi rakyat Mesir.
Mustafa Kamil meninggal dalam usia yang amat muda,
yaitu 34 tahun. Ia meninggal pada 10 Februari 1908 akibat
dari penyakit ringan yang dideritanya. Kematiannya
meninggalkan bekas yang mendalam bagi rakyat Mesir,

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


sehingga gagasannya tentang nasionalisme Mesir akan
tetap dikenang oleh rakyat Mesir sepanjang zaman.

NASIONALISME MESIR
Konsep tentang tanah air (wathan) dan rasa cinta
kepada tanah air (patriotisme-wathaniyyah), yang berujung
pada rasa kebangsaan Mesir yang benihnya sudah mulai
ditabur oleh al-Tahtawi. Tahtawi agaknya orang yang per-
tama yang mengenalkan kedua konsep tersebut ke dalam
dunia Islam. Ikatan yang berdasarkan persaudaraan se-
tanah air inilah yang kemudian melahirkan nasionalisme
yang menjadi dasar berdirinya negara-negara Islam.
Gerakan kebangsaan Mesir ini semakin tumbuh dan
berkembang akibat terlalu jauhnya campur tangan
orang-orang Eropa (Inggris dan Prancis) dalam kehidupan
politik dan keuangan Mesir. Hal ini dimanfaatkan oleh
Mustafa Kamil dan Saad Zaghlul untuk membangkitkan
perasaan dan kesadaran kebangsaan rakyat Mesir.
Zaghlul berjuang dalam kegiatan politik praktis,
sedangkan Kamil muda yang masih energik menampilkan
nasionalisme Mesir lewat pidato dan tulisan-tulisannya.
Ini dimaksudkan oleh Kamil agar bangsa Mesir dapat
membebaskan dirinya dari kekuasaan Inggris.
Patriotisme Mesir mempunyai arti sebagai upaya
menyadarkan bangsa Mesir sebagai suatu bangsa yang
mandiri, bebas dari kekuasaan asing. Ide ini dikembangkan
oleh Kamil ketika ia menyaksikan Mesir berada di bawah
kekuasaan dan kontrol Inggris, meskipun dalam struktur
pemerintahan Mesir ada raja, ada badan perwakilan dan ada
kabinet, akan tetapi hakikatnya pemerintahan diatur

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


177
dan dikendalikan oleh Inggris.
Mustafa Kamil tidak puas dengan keadaan ini. Bagi
Kamil kebudayaan Mesir tidak akan dapat bertahan lama
pada waktu yang akan datang, kecuali apabila dia berdiri
atas usaha bangsa Mesir sendiri, dan apabila orang Mesir
menyadari bahwa manusia mempunyai hak moril untuk
hidup secara wajar, maka mencintai tanah air adalah
suatu perasaan batin yang sangat luhur. Bangsa yang
tidak merdeka mengatur dirinya sendiri, pada hakikatnya
bangsa itu tidak ada di bumi ini. Cinta tanah airlah yang
mendorong suatu bangsa untuk dapat menuju puncak
kemajuan dan kemuliaan.
Mustafa Kamil mempunyai semboyan: “Bangsa Mesir
untuk Mesir dan Mesir untuk bangsa Mesir”. Yang
dituntut Kamil adalah kemerdekaan Mesir dari
kekuasaan asing. Mesir tidak akan mencapai kemajuan
sesuai dengan yang diinginkan manakala Mesir tidak
dapat melepaskan diri dari cengkeraman Inggris. Oleh
karena itu, menurut Kamil semua orang Mesir
berkewajiban memperjuangkan dan membebaskan tanah
airnya dari kekuasaan asing. Hal ini baru dapat tercapai
apabila rakyat Mesir bersatu. Persatuan dapat dibangun
atas perasaan ikut memiliki Mesir dan ikut bertanggung
jawab terhadapnya dengan dasar setanah air. Jiwa
patriotik (wathaniyyah) adalah rahasia- kekuatan orang
Eropa dan menjadi dasar bagi kebudayaan mereka.
Perasaan itu bukan berdasarkan bahasa, agama ataupun
kedudukan dalam ikatan wathaniyyah, akan tetapi
tekanannya adalah pada negeri tumpah darah Mesir.
Lebih lanjut Kamil mengungkapkan bahwa antara

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


agama dan kehidupan kebangsaan (nasionalisme) dapat
berdampingan dan tidak akan menimbulkan konflik, apa-
bila disadari bahwa agama yang benar akan meng-ajarkan
patriotisme yang benar pula. Fokus utama pemikiran Kamil
bukan Islam dan bukan pula umat, akan tetapi adalah
negeri Mesir. Gejolak semangatnya ini terpantul di antara
pidatonya tentang Mesir sebagai berikut ;
“Negeriku, oh negeriku, bagimu cinta dan kasihku.
Bagimu hidup dan keberadaanku. Bagimu jiwa dan
darahku.
Bagimu pikiran dan ucapanku. Engkau . . . . engkaulah
Mesir hidup itu sendiri.
Dan tiada kehidupan kecuali dalam dirimu”.

Meskipun demikian, bagi Kamil Islam tetap dipandang


penting karena ia merupakan agama rakyat Mesir, namun
berada di bawah status aspek kebudayaan nasional.
Esensi dari pemikiran Kamil adalah Mesirisme, suatu
doktrin yang menuntut pengabdian tanpa akhir terhadap
keberlangsungan kebudayaan dan tanah air Mesir. Pemi-
kiran Kamil ini mendapat sambutan terutama ketika ia
pada 1907 tampil sebagai tokoh dominan pada “Partai
Nasional” dan berhasil menghimpun pendukung penting
dari kalangan mahasiswa dan massa perkotaan.
Ide nasionalisme Kamil ini adalah suatu lompatan
pemikiran yang jauh pada waktu itu, sebab dunia Islam
masih dilingkupi oleh pemikiran al-Jamiah al-Islamiyah
al-Afghani. Bagaimanapun konsep Afghani sehingga ia
mendapat kecaman dari pendukung-pendukung Abduh.
Sebagai konsekuensi idealismenya, Kamil meng-
hendaki agar campur tangan asing (Inggris) di Mesir

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


179
supaya segera diakhiri. Kamil menyadari bahwa dengan
bercokolnya Inggris dalam pemerintahan Mesir akan
menunjukkan bahwa Mesir belum mampu mengatur sendiri.
Dalam menyerukan pengusiran Inggris Kamil tidak mau
minta belas kasihan pada orang lain, namun secara praktis
Kamil tidak mau menggerakkan perjuangan bersenjata,
karena ia menyadari bahwa itu hanya akan merugikan diri
dan pengikutnya. Jadi Kamil tidak me- mobilisasi rakyat
untuk melakukan pemberontakan fisik, tetapi hanya
menganjurkan pemogokan umum.
Di samping itu, untuk menyebarkan paham nasional-
ismenya, Kamil tidak lupa memperhatikan dunia pendi-
dikan. Ia memperhatikan pendidikan bagi generasi muda di
sekolah-sekolah dan kursus-kursus untuk menanamkan
kesadaran nasional. Kamil menanamkan kesadaran
nasional terutama patriotisme kepada masyarakat luas
lewat perkumpulan-perkumpulan massa yang terorganisir.
Pendidikan dan kesadaran politik juga ia hembuskan
kepada kaum intelektual lewat al-Liwa.
Al-Liwa berfungsi sebagai alat penyebar ide-ide
nasionalisme Partai Nasional mendapat sambutan dari
masyarakat, sehingga oplahnya dari waktu ke waktu
semakin besar jumlahnya. Hal ini dimungkinkan karena
masyarakat Mesir sedang bergelora hatinya menuntut
kemerdekaan, menentang penjajahan dan ingin berdiri
sendiri. Jadi Kamil mempunyai peran dana andil yang
cukup besar dalam membentuk kesadaran berbangsa bagi
rakyat Mesir. Kesadaran bahwa Mesir adalah untuk bangsa
Mesir dan bangsa Mesir adalah untuk Mesir. Bangsa Mesir
harus memegang kekuasaan di negerinya sendiri.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Kekuatan asing harus dilenyapkan dari Mesir. Untuk itu
rakyat Mesir harus bersatu tanpa harus membedakan
agama, bahasa maupun asal muasal masing-masing.
Di samping kegiatannya mengobarkan semangat cinta
tanah air, Kamil juga melahirkan gagasan-gagasan baru
yang membawa kepada kemajuan bangsa Mesir. Gagasan-
gagasan itu antara lain adalah Mesir perlu mengambil apa
yang berharga dari peradaban Barat, tetapi Mesir harus
selektif dalam menapaki jejak Barat tanpa harus melupakan
prinsip Islam yang diinterpretasikan secara benar. Bagi
Kamil, Islam pada hakikatnya adalah patri- otisme,
keadilan, perjuangan, persatuan, persamaan, dan toleransi.
Ini dapat dijadikan basis untuk membentuk cara kehidupan
Islam yang mengambil kekuatannya dari ilmu pengetahuan
dan pemikiran yang luas dan tinggi.
Meskipun mungkin banyak lagi yang dapat diperbuat
oleh Kamil, namun ia harus berhenti, karena ia keburu
meninggal dunia dalam usia yang relatif muda. Setelah
kematiannya Saad Zaghlul tampil sebagai pemimpin per-
gerakan nasional dan berhasil mendapat dukungan dari
rakyat dan membawa kemerdekaan bagi Mesir.

C. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas, kiranya dapat
disimpulkan- bahwa konsep nasionalisme Mesir yang
dicetuskan oleh Mustafa Kamil merupakan ide baru bagi
masyarakat Mesir pada waktu itu. Kalau Tahtawi dan
Jamaluddin al-Afghani baru mencetuskan patriotisme,
maka Kamil mencetuskan nasionalisme Mesir. Nasional-
isme yang dimaksud ialah paham kebangsaan yang

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


181
didasarkan atas kesatuan dan cinta tanah air,
Nasionalisme tidak disebabkan oleh bahasa, agama
maupun status, ia pada prinsipnya meliputi bagi semua
orang yang hidup di tanah Mesir.
Bagi Kamil agama dan paham kebangsaan tetap
dapat berdampingan, karena menurut dia agama yang
benar maupun kebangsaan yang benar sama-sama
mengajarkan patriotisme yang benar pula.
Meskipun Kamil anti kekuasaan asing, baginya upaya
untuk mengusir kekuatan asing dari Mesir, tidaklah mesti
dengan perjuangan fisik/senjata, tetapi dengan menye-
barkan paham kebangsaan dan cinta tanah air kepada
seluruh rakyat Mesir. Dalam perjuangannya Kamil juga
tidak berdiri dalam kalangan elite pemerintahan seperti
halnya Saad Zaghlul. Doktrin Mesirisme Kamil pada
dasarnya adalah akibat pengaruh dari produk pendidikan-
Barat yang pernah ia peroleh di Prancis. Ia agak longgar
terhadap ajaran Islam, karena menurut penga-matannya,
bagi Mesir masalah akidah tidak lagi menjadi masalah.
Akibatnya membuat ia tersesat ke dalam orbit pemikiran
Barat. Pengaruh Barat yang paling penting terhadap
nasionalisme Mesir adalah loyalitas dan prioritas baru yang
disuntikkan ke dalam kehidupan rakyat Mesir. Cita
pembentukan kekhalifahan sebagai media pengendali umat
di bawah kendali Syari’ah, diganti dengan patriotisme
regional, di mana kemerdekaan tanah air dan institusi
konstitusionalisme Barat liberal menjadi sasaran utama.
Ini adalah wajar karena nasionalisme merupakan tema
politik dominan di Eropa di akhir abad XIX, dan sangatlah
alamiah jika Kamil juga berupaya mengembangkan Mesir

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


dalam versi serupa, apalagi Mesir pada waktu itu berada
di bawah pendudukan Inggris.



SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


183
3
ALI ABD RAZIQ:
KONTROVERSI SISTEM
POLITIK KHILAFAH
Oleh: Najmudin Zuhdi

A. PENDAHULUAN

R asulullah wafat pada 8 Juni 632 setelah menderita


kurang lebih empat malam. Tak ada bukti yang kuat
sakit

yang menunjukkan bahwa beliau telah


mempertimbangkan cara yang harus digunakan untuk
melanjutkan pemerintahannya setelah beliau wafat.
Setelah terjadi perdebatan yang seru, akhirnya umat
Islam memilih Abu Bakar sebagai pemimpin mereka.
Seusai dibai’at, Abu Bakar menyandang gelar Khalifat
Rasulullah. Saat itulah gelar Khalifah untuk pertama kali
dipakai oleh pemimpin tertinggi di kalangan umat Islam
dan dilestarikan penggunanya sampai abad kedua puluh.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Sistem Khilafah mengalami keguncangan saat Baghdad
dihancurkan oleh pasukan tentara dari Mongol yang
dipimpin oleh Hulagu pada 1258, untung saat itu dinasti
Mamluk berhasil menyelamatkannya. Pada masa kerajaan
Ustmani mencapai kejayaannya dan menjadi negara adi
kuasa, sistem khilafah mengalami jaya kembali, tetapi pada
1924 sistem tersebut sirna di muka bumi ini karena
dihapuskan oleh Mustafa Kamal Atarturk.
Penghapusan khilafah di Turki tersebut menimbulkan
pro dan kontra, khususnya di kalangan ulama Mesir dan di
dunia Islam pada umumnya, karena kebanyakan mereka
menganggap bahwa sistem khilafah itu merupakan ajaran
agama. Oleh karena itu, penghapusannya bertentangan
dengan ajaran agama Islam.
Ali Abd Raziq salah seorang ulama Mesir pada waktu
itu berpendapat lain, sistem khilafah itu bukan berasal
dari agama dan tidak disinggung dalam al-Qur’an
maupun Hadis. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam tidak
terdapat ketentuan-ketentuan tentang corak
pemerintahan. Nabi hanya memperoleh tugas kerasulan
dan dalam misinya tidak termasuk tugas pembentukan
negara. Abu Bakar yang dilantik setelah nabi wafat tidak
mempunyai tugas keagamaan, dia hanyalah kepala
negara bukan kepala agama demikian pula Umar Ibn
Khaththab, Usman Ibn Affan dan Ali.
Soal corak dan bentuk pemerintahan bukanlah soal
agama, tetapi termasuk soal duniawi dan diserahkan sepe-
nuhnya kepada akal manusia untuk menentukannya. Oleh
karena itu, tindakan Mustafa Kamal dalam penghapusan
khilafah bukanlah suatu tindakan yang bertentangan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


185
dengan ajaran agama Islam.

RIWAYAT HIDUP ALI ABD RAZIQ


Ali ibn Raziq dilahirkan di pedalaman provinsi Menia
Mesir pada 1888 dan dari keluarga yang kaya raya dan
aktif dalam kegiatan politik ayahnya bernama Hasan Abd
Raziq. Ayahnya seorang pasya besar yang mempunyai
pengaruh besar di kalangan masyarakatnya.
Hasan Abd Raziq berkecimpung dalam dunia politik
bahkan dia pernah menjadi wakil ketua Hizb al-Ummah
pada 1907. Setelah revolusi tahun 1919, dibentuklah partai
politik baru yang bernama Hizb al-Ahram al-Dusturiyah,
yang merupakan kelanjutan dari Partai Rakyat dan
mempunyai hubungan erat dengan Inggris. Pada waktu itu
dia menjadi pejabat pada kantor Sultan Husain yang
merupakan agen Inggris pada masa perang dunia ke-1. Pada
1922 Hasan terbunuh ketika keluar dari rapat partai.
Ali Abd Raziq mempunyai saudara yang lain bernama
Musthafa Abd Raziq, kedua-duanya belajar di perguruan al-
Azhar. Setelah menamatkan perguruan tersebut, Musthafa
Abd Raziq melanjutkan studinya ke Paris dan pada 1945 –
1947 diangkat menjadi rektor al-Azhar. Sedangkan Ali Abd
Raziq selain belajar di al-Azhar juga belajar di al-Jami’ah al-
Mishriyyah untuk memperluas ilmunya. Pada 1911 dia lulus
dari al-Azhar dan setahun kemudian diangkat menjadi
pengajar di almamaternya dalam mata kuliah Retorika dan
Bahasa Arab. Pada 1912 dia berangkat ke Inggris untuk
melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di tempat ini
Ali Abd Raziq mendalami ilmunya di bidang ekonomi dan
politik. Setelah belajar selama satu tahun. Ali

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Abd Raziq pulang ke Mesir karena saat itu sedang terjadi
Perang Dunia I, meskipun studinya belum selesai.
Pada 1915 Ali Abd Raziq memangku jabatannya yang
pertama sebagai Hakim pada Mahkamah Syar’iah di Mesir,
mula-mula di Alexandria kemudian pindah ke provinsi
lainnya. Selama di Alexandria dia memberikan perkuliahan
di masjid dalam mata kuliah Sejarah dan Bahasa Arab. Pada
waktu itulah Ali Abd Raziq mengadakan penelitian dan hasil
penelitiannya dibukukan dalam bukunya al-Islam wa Ushlul
al-Hukm, yang terbit pada 1925.

C. ALI ABD RAZIQ DAN SISTEM KHILAFAH


Khilafah secara bahasa merupakan mashdar dari kata

‫ف ل تخ‬. Seorang dikatakan menggantikan orang lain

apabila dia melaksanakan fungsi yang telah diberikan orang


itu kepadanya baik bersama-sama orang tersebut atau
sesudahnya. Jadi khilafah berarti menggantikan orang lain
baik karena yang digantikan itu meninggal dunia, tidak
mampu melaksanakan tugas, atau alasan-alasan lain.
Adapun arti khilafah yang berlaku di kalangan kaum
muslimin yaitu kepemimpinan yang menyeluruh dalam
persoalan yang berkenaan dengan masalah keagamaan dan
duniawi sebagaimana fungsi Rasulullah.
Atas dasar definisi ini Abu Bakar yang dibai’at oleh
kaum muslimin sepeninggal Rasulullah diberi gelar kha-
lifat Rasulullah. Gelar ini memiliki wibawa, kekuatan dan
pesona yang hebat dapat mendorong kaum muslimin untuk
tunduk kepadanya dalam bentuk keagamaan seba- gaimana
tunduk mereka kepada Nabi. Kaum muslimin berusaha pula
untuk mempertahankan kekuasaan Abu

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


187
Bakar sebagaimana yang mereka lakukan terhadap apa
yang akan menjatuhkan agama mereka.
Sementara itu Ibn Khaldun mengatakan bahwa
khilafah merupakan tanggung jawab umum yang sesuai
dengan syari’at Islam dengan tujuan menciptakan kema­
slahatan hidup umat manusia di dunia ini dan di akhirat
kelak.
Sistem khilafah menurut para ulama wajib hukumnya
dan sebagai konsekuensinya berdosalah seluruh kaum
muslimin apabila sistem tersebut tidak diwujudkan. Meski-
pun banyak di antara mereka bersepakat atas wajibnya
sistem khilafah, tetapi mereka berselisih tentang dasar yang
mewajibkannya, diantaranya yaitu:
Wajibnya khilafah itu didasarkan atas ijma’ sahabat
dan Tabi’in. Setelah Rasullah meninggal, para sa­
habat memberikan bai’atnya kepada Abu Bakar dan
memercayakan semua urusan dan persoalannya
kepada Abu Bakar. Demikian pula yang terjadi pada
masa-masa berikutnya, dan umat Islam tidak
dibiarkan sesaat pun dalam keadaan kacau balau
tanpa seorang pemimpin dan dengan dasar ini pula
mereka jadikan dasar atas wajibnya sistem tersebut.
Adanya sistem khilafah itu sesuai dengan nash-nash
ajaran agama Islam, karena perintah amar ma’ruf dan
nahy munkar yang wajib hukumnya itu tidak dapat
terlaksana dengan baik kecuali bila ada seorang
pemimpin atau khalifah. Bila tidak ada yang
menduduki jabatan tersebut umat tidak mungkin dapat
diorganisir bahkan akan muncul pertentangan,
kezhaliman merajalela, sikap bermusuhan sulit

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


dihentikan, dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak di-
ragukan lagi wajibnya sistem khilafah.
Sementara itu sebagian ulama termasuk di dalamnya
Rasyid Ridha menyatakan bahwa mendirikan
khilafah itu merupakan keharusan agama yang
didasarkan atas ayat-ayat al-Qur’an seperti:

‫هللا اوع ي طأو ل وس رال لى واو رم ألا‬ ‫مك نم اه يأ اي ن يذ ال اومن آ اوع ي طأ‬

Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan
Rasulnya dan ulil amri di antara kamu.

‫مل ه نم رمل أالى والاىه ودرول وهب اوع اذأف وخل اوان لمأامن رمأهمءآجاذاو‬

‫م ه نم ن هوط ب ت س ي ن يذالمه ل ع‬

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita


tentang keamanan ataupun ketakutan mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah mereka yang ingin mengetahui kebenarannya
akan dapat mengetahuinya dari Rasul dan Ulil Amri.
Mengajak kebaikan dan melarang kemungkaran
adalah wajib hukumnya. Kewajiban ini tidak akan
terlaksana- dengan baik kecuali bila di sana ada
pemimpin atau khalifah yang menanganinya.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


189
Para ulama Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat
bahwa umat Islam tidak harus membentuk khilafah.
Tugas khilafah adalah menegakkan pelaksanaan
hukum dan peraturan Syari’at. Kalau Syari’at sudah
dapat terlaksana dengan baik begitu pula keadilan,
maka tidak diperlukan lagi seorang khalifah.
Para ulama juga membicarakan perihal kedudukan
khalifah, mereka berpendapat bahwa khalifah itu adalah
pengganti Nabi yang di waktu hidupnya menangani
masalah-masalah keagamaan yang diterima dari Allah.
Setelah Nabi meninggal, para sahabat Nabi menjadi peng-
gantinya dalam memelihara kelestarian ajaran agama dan
mengurus persoalan duniawi. Mereka juga menambahkan
bahwa kedudukan khalifah di hadapan umatnya sama
dengan para rasul di tengah-tengah kaumnya. Khalifah
memiliki kekuasaan yang menyeluruh, hak untuk di- taati,
wewenang untuk mengurus persoalan agama dengan
demikian dia harus melaksanakan fungsinya di tengah-
tengah umat-nya dalam batas-batas yang ditetap- kan oleh
agama. Khalifah juga memiliki hak untuk mengatur
persoalan-persoalan- yang berkenaan dengan urusan
duniawi mereka, oleh karena itu umat wajib meng-
hormatinya dan mematuhi segala perintahnya.
Di samping itu, mereka juga berpendapat bahwa
khalifah itu memperoleh kedaulatan dan kekuasaannya dari
Allah bahkan mereka berpendapat bahwa khalifah itu
adalah bayangan Allah. Dalam hal ini khalifah Ja’far al-
Manshur sendiri menganggap dirinya sebagai sultan Allah di
muka bumi ini. Pendapat ini tersebar luas dan sering
mereka lontarkan dalam ucapan syair-syair mereka yang

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


isinya dapat ditangkap bahwa Allah yang menjatuhkan
pilihannya terhadap seorang khalifah dan Dia-lah mem-
berikan wewenang kekhalifahan kepadanya, seperti:

‫ من ةمأ اه حال صإ اهدا ش رو‬# ‫هللا ذا اهكالو‬ ‫دق ل دارأ‬


Allah telah memilihmu saat Dia memberimu kuasa untuk
mengatur umat dan memberi mereka bimbingan.

‫هللا سان ل ى ذال و هب ى لج يت ن ع لك ض رأ‬


‫امه الظ ما ش ه راي خ‬
Hisyam pilihan Allah untuk manusia yang dengannya
sirnalah kegelapan yang menutupi bumi.

‫ل وحم م ل لى ج ربءا سم‬#‫ت نأو‬ ‫م ه ي ب ندع ب سان الاذهل‬

‫امه ام غ‬

Kaulah Hisyam penguasa mereka sesudah Nabi,


tumpuan harapan untuk melenyapkan awan.
Setelah mengemukakan pendapat para ulama tentang
khilafah, Ali Abd Raziq mulai mengemukakan pendapat-
pendapatnya sendiri, yaitu Khilafah ialah salah satu pola
pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi dan mutlak
berada pada seorang kepala negara atau pemerintahan
dengan gelar khalifah, pengganti Nabi dengan kewenangan
untuk mengatur kehidupan dan urusan umat baik
keagamaan maupun keduniaan yang hukumnya wajib

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


191
bagi umat untuk taat dan patuh sepenuhnya.
Seperti disinggung sebelumnya bahwa mendirikan
kekhilafahan bagi para ulama pada umumnya wajib
hukumnya dan bila tidak ditegakkan umat menjadi dosa.
Pernyataan tersebut oleh Ali Abd Raziq ditolak dengan
menyatakan- bahwa pengangkatan Abu Bakar sebagai
khalifah tidak terjadi atas dasar ijma’ karena tidak semua
sahabat ikut memberikan bai’atnya. Di antara sahabat
yang tidak ikut memberikan bai’atnya ialah Ali ibn Abi
Thalib dan Saad ibn Abi Ubadah.
Bila melihat sejarah, kita akan mengetahui bahwa
sistem khilafah ini menimbulkan perpecahan di kalangan
mereka. Hal tersebut terbukti saat kaum muslimin me-
merintah berbagai daerah yang mereka taklukkan, kaum
Anshar berkata kepada Muhajirin: “Sebaiknya kami
mempunyai seorang pemimpin sendiri begitu pula
kalian”. Abu Bakar menjawab dengan tegas: “Kamilah
yang men- jadi pimpinan, sedangkan kalian dari Anshar
menjadi pembantu kami”.
Selanjutnya Ali Abd Raziq menyatakan bahwa Yazid ibn
Mu’awiyah karena kecintaannya terhadap jabatan khilafah,
gairah yang tinggi, dan tersedianya kekuatan yang besar
menyebabkan dia menghalalkan tumpahnya darah Husain
Ibn Ali ibn Abi Thalib dan memporak poran- dakan kota
Medinah. Malik Ibn Marwan yang berani meng- hancurkan
Ka’bah karena kecintaannya pada khilafah. Begitu pula Abu
Abbas al-Saffah yang berubah menjadi seorang yang haus
darah karena cintanya kepada jabatan khilafah, padahal
darah yang ditumpahkan itu adalah darah kaum muslimin
dari Bani Umayyah, dan juga para

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


khalifah lainnya dari berbagai dinasti.
Di samping itu, Ali Abd Raziq juga berpendapat bahwa
adanya sistem khilafah itu tidak memiliki landasan yang
kuat dari al-Qur’an, untuk menguatkan pendapatnya ini dia
mengemukakan alasan bahwa al-Qur’an sama sekali tidak
menyebutkan sistem khilafah dengan pengertian khusus
yang dikenal dalam sejarah. Semua ayat yang dianggap
sebagai dalil pendukung sistem khilafah dalam
kenyataannya tidaklah demikian. Ayat-ayat tersebut hanya
memerintahkan kaum muslimin agar taat pada Allah, Rasul,
dan para Ulil amri, seperti firman Allah:

‫أوالهل اوع ي طأمك نم رمل أالى واول وس رالاوع يط‬

Ayat ini tidaklah mengandung sesuatu yang dapat


dijadikan pegangan sebagai dalil untuk itu. Selanjutnya Ali
Abd Raziq menyatakan bahwa Ulil Amri yang tertera pada
ayat tersebut telah mendorong para mufasir untuk
menafsirkan para pemimpin kaum muslimin pada masa
Rasulullah dan masa-masa sesudahnya termasuk para
khalifah, para panglima perang, dan para ulama, tetapi
baginya Ulil Amri berarti: para pembesar sahabat yang
memahami seluk-beluk persoalan umat atau yang men- jadi
pemimpin mereka. Di samping itu dia menambahkan bahwa
ayat tersebut sama sekali tidak mengandung dalil yang
cocok untuk diterapkan pada wajibnya khilafah, me-
lainkan ayat tersebut menunjukkan adanya keharusan bagi
kaum muslimin untuk memiliki sekelompok orang yang
dapat dijadikan tempat rujukan bagi persoalan yang mereka
hadapi dan makna yang demikian itu lebih umum

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


193
dan luas dari pada arti khilafah.
Adapun hadis-hadis yang dianggap
khilafah ialah:

‫األئمةمنقريش‬
Para imam itu dari kalangan Quraisy.

‫تلزممجاعةاملسلمين‬
Tetaplah berada dalam jamaah kaum muslimin.

‫منماتوليسىفعنقهبيعةفقدمامتيتةجاهلة‬
Barang siapa mati dan tidak pernah berniat, maka ia
mati dalam keadaan jahiliyah.

‫منابيعإمامافأعطاهصفتةيدهومثرةقلبهفليطعهاانستطاعفإنج اءآخرينازعهفاضربواعنقاآخلر‬
Barang siapa yang telah memberikan bai’atnya kepada
seorang imam dengan sepenuh hati maka hendaknya ia
menaati imamnya itu bila dia mampu, dan bila ada
orang lain yang menentangnya. maka bunuhlah dia.

‫ااقتدوا ابلذين من بعدى اىب بكر وعمر اخل‬


Ikutilah para pemimpin sesudahku Abu Bakar, Umar
dan lain-lain.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi 194


Wanina,....
Ali Abd Raziq berpendapat bahwa hadis-hadis yang
dikemukakan di atas tadi, sama sekali tidak mengandung
petunjuk yang dapat dijadikan argumentasi bagi
pendapat mereka yang menyatakan bahwa syari’at
mengakui adanya khilafah atau imamah.
Selain itu Ali Abd Raziq juga berpendapat bahwa
Muhammad itu hanyalah seorang Rasul yang bertugas
menyampaikan ajaran-ajaran agama. Dengan dakwahnya
kepada bangsa Arab mereka dapat bersatu tidak
berpecah belah. Persatuan mereka bukanlah persatuan
politik dan tidak pula mempunyai arti kerajaan atau
pemerintahan, tetapi itu adalah persatuan keimanan
atau keagamaan. Oleh karena itu, baginya risalah itu
tidak sama dengan pemerintahan.
Selanjutnya Ali Abd Raziq menyatakan bahwa
Muhammad adalah semata-mata seorang utusan Allah
untuk menempatkan agama Islam tanpa maksud untuk
mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan
duniawi, negara, maupun pemerintah. Dia adalah nabi
sebagaimana para nabi sebelumnya.
Oleh karena itu, sepeninggalnya berhentilah tugas
kerasulannya dan kepemimpinannya dan tak seorang pun
yang berhak menggantikan tugas beliau yaitu menega- kan
Risalahnya. Ali Abd Raziq menambahkan bahwa kepimpinan
sesudah Nabi merupakan kepemimpinan dalam bentuk
baru dan tak ada hubungan sedikit pun dengan tugas
kerasulan dan bukan pula untuk memelihara agama.
Karena itu kepemimpinan tersebut adalah kepe- mimpinan
duniawi yang bercorak kekuasaan dan pemerin- tahan
bukan kepemimpinan agama. Menurutnya, Abu

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


195
Bakar adalah raja pertama dalam sejarah Islam.
Barangkali ada beberapa faktor yang mendorong
masyarakat melakukan kesalahan hingga mereka meng-
anggap pemerintahan Abu Bakar itu bercorak agama.
Abu Bakar memang mempunyai kedudukan
istimewa di sisi Nabi dan menjadi pengikutnya yang
paling setia. Dengan seluruh kemampuan yang
dimilikinya dia men- jalankan roda pemerintahannya
sesuai dengan ajar- an Islam. Oleh karena itu, tidak
diragukan lagi ketika melaksanakan tugasnya sebagai
kepala negara yang baru, Abu Bakar selalu berusaha
mewarnai semua kegiatannya dengan warna islami.
Gelar Khalifat Rasullah dengan berbagai atributnya
merupakan salah satu sebab yang melahirkan kesalahan
di kalangan umat Islam hingga mereka mengkhayalkan
bahwa kekhilafan itu merupakan sesuatu yang berkaitan
dengan agama dan orang yang diserahi mengurus per-
soalan umat Islam dianggap memiliki kedudukan yang
sama dengan Rasulullah. Sejak masa permulaan Islam
banyak di antara mereka yang meyakini bahwa khalifah
itu merupakan jabatan yang bercorak agama sebagai
pengganti Rasulullah.
Mempopulerkan kesalahan semacam ini di tengah-
tengah masyarakat merupakan sesuatu yang mengun-
tungkan bagi para khalifah atau raja, sehingga mereka
dapat memanfaatkan- agama sebagai perisai untuk
menolak berbagai ancaman dari para pemberontak.
Mereka mena- namkan konsep di tengah-tengah
masyarakat bahwa menaati khalifah berarti menaati
Allah dan ingkar kepada- nya berarti mengingkari Allah.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Barangkali dari sini masalah khilafah menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari akidah agama dan umat Islam
menempatkan khilafah sebagai bahan kajian yang sejajar
dengan sifat-sifat Allah dan sifat-sifat Rasulullah, bahkan
konsep khilafah dianggap sebagai bagian dua kalimat
Syahadat.
Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa Islam
tidak mengenal sistem khilafah seperti yang selama ini
dikenal oleh umat Islam di seluruh dunia. Sistem
khilafah- sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
ajaran agama Islam, demikian halnya dengan masalah-
masalah yang berkenaan dengan politik. Agama Islam
tidak menge- nal lembaga semacam itu tetapi juga tidak
menolak wujudnya. Agama tidak memerintahkan dan
juga tidak melarangnya,- semua itu terserah kepada
manusia untuk mempertimbangkannya sebagaimana
masalah-masalah lainnya, seperti organisasi kemiliteran
dalam Islam, pemerintah daerah, dan lain-lain.
Di samping itu, di dalam Islam tidak terdapat larangan
bagi umatnya untuk berlomba dengan bangsa-bangsa lain di
berbagai hal seperti ilmu, militer, politik dan lain-lain.
Untuk itu, mereka diberi hak untuk menolak sistem
khilafah yang telah usang dan yang menjadi sebab ke-
munduran mereka dan mereka bebas memilih landasan dan
sistem apa pun bagi pemerintahan mereka, yaitu sistem
yang dianggap cocok melalui berbagai pengalaman dari
berbagai bangsa di seluruh dunia.
Buku al-Islam wa Ushul al-Hukm karangan Ali Abd
Raziq menimbulkan pro dan kontra di kalangan ulama pada
waktu itu di antara mereka yang pro kepadanya ialah

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


197
Bahauddin, Husain Haikal, Mahmud Pasya Abd Raziq
dan lain-lain. Dari berbagai artikel mereka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Mereka menetapkan bahwa Ali Abd Raziq adalah
pahlawan bangsa sebab dia menentang Inggris yang
bermaksud menegakkan kekhilafahan Islam di Mesir.
Mereka juga menetapkan bahwa Ali Abd Raziq adalah
pahlawan kemerdekaan, pejuang konstitusi,- dan
pejuang demokrasi, sebab dia berani menentang raja
Fuad yang saat itu berada dalam puncak kekuasaan
dan berambisi untuk menegakkan- kembali
kekhilafahan di Mesir setelah dihapuskan di Turki
pada 3 Maret 1924.
Mereka juga menetapkan Ali Abd Raziq adalah Imam
mujtahid, pemikir hebat, dan Pembaru sebab dia berani
menentang para ulama al-Azhar melalui pandangan
barunya yang ditulis dalam bukunya yang
menghebohkan itu. Buku tersebut dapat mendobrak
kejumudan umat Islam, membuka pintu ijtihad, dan
mengobarkan revolusi intelektual yang pengaruhnya
tersebar ke berbagai negara Islam di seluruh dunia.
Adapun di antara ulama yang menentang buku Ali
Abd Raziq ialah Rasyid Ridha, Syeikh M. Syakir, Syeikh
Bukhait, Yusuf al-Dajwa dan lain-lain. Karena banyaknya
ulama yang menentang bukunya, akhirnya Ali Abd Raziq
diajukan ke pengadilan mahkamah dengan tuduhan
sebagai berikut:
Menjadikan Syari’at Islam sebagai syari’at yang
semata-mata bercorak spiritual yang tidak memiliki
kaitan dengan hukum duniawi.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Jihad yang dilaksanakan oleh Rasulullah itu untuk
mempertahankan kekuasaannya dan tidak dalam
rangka keagamaan dan bukan pula untuk menyam-
paikan dakwah ke seluruh alam.
Sistem pemerintahan periode Nabi adalah suatu hal
yang kabur penuh dengan hal-hal yang meragukan,
dan kurang informasi semuanya ini menimbulkan
kebingungan bagi umat Islam sepeninggalnya.
Tugas Rasul hanya menyampaikan syari’at tanpa ada
kaitannya sedikit pun dengan masalah pemerintahan
maupun pelaksanaannya.
Ali Abd Raziq mengingkari ijma’ para sahabat yang
berkenaan dengan wajibnya jabatan khilafah.
Ali Abd Raziq mengingkari peradilan yang merupakan
tugas syari’ah.
Ali Abd Raziq beranggapan bahwa pemerintahan Abu
Bakar dan para khulafa’ al-Rasyidun lainnya tidak
bercorak agama.
Atas dasar tujuh tuduhan tersebut di atas, Ali Abd
Raziq dikeluarkan dari barisan ulama al-Azhar oleh
Syeikh al-Azhar yang didukung oleh 24 ulama besar lain-
nya. Bahkan, ada beberapa ulama seperti Rasyid Rida, M.
Syakir, Yusuf al-Dajwa, dan M. Bukhait menyatakan
bahwa Ali Abd Raziq telah murtad dari Islam.

D. KESIMPULAN
Ali Abd Raziq adalah seorang ulama Mesir yang
belajar di Oxford Inggris hingga beberapa
pemikirannya dipengaruhi oleh Barat.
Yang mula-mula menggunakan gelar khalifah adalah

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


199
Abu Bakar, tetapi pengangkatannya tidak didasarkan
atas ijma’ sahabat, di mana masih ada beberapa
sahabat yang tidak mau membai’atnya.
Gelar Khalifat Rasulullah menimbulkan kesalahan di
kalangan umat Islam, mereka beranggapan bahwa
khilafah itu bagian dari agama dan tak dapat dipisah-
kan darinya, dan mereka wajib menegakkannya.
Sistem Khilafah tidak mempunyai landasan dari al-
Qur’an dan Hadis, bentuk dan corak pemerintahan
umat Islam diserahkan seluruhnya kepada mereka
untuk menentukannya.
Berdirinya beberapa negara republik di berbagai
negara, sedikit banyak dipengaruhi oleh idenya.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


4
NEO-MODERNISME
ISLAM DAN ISLAM DI
INDONESIA:
MEMPERTIMBANGKAN
FAZLUR RAHMAN
Oleh: Ahmad Syafii Maarif*)

PENDAHULUAN
D alam lingkungan sosio-religius Pakistan yang telah
melahirkan tokoh pemikir seperti Iqbal, ternyata
konflik pemikiran antara kelompok pembaru
dan kaum tradisional, atau antara kaum tradisional dan
pemerintah sangat sulit untuk dijembatani. Ambillah
misalnya keluarga berencana yang di Indonesia tampaknya

*) Disampaikan dalam seminar sehari Pikiran-Pikiran Fazlur


Rahman, yang diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat
(LSAF) Jakarta, 3 Desember 1988.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


201
tidak banyak mendapat tentangan di Pakistan pada 1960-
an, oposisi ulama terhadapnya begitu sengit dan keras.
Fazlur Rahman yang antara 1962-1968 menjadi Direktur
Lembaga Pusat Riset Islam yang dibentuk oleh Pemerintah
Ayub Khan, pada 1971 menulis tentang ini sebagai berikut:
Beberapa minggu menjelang meledaknya agitasi dari
khalayak ramai terhadap rezim Ayub Khan pada musim
semi 1963, seorang alim dalam suatu konferensi besar.
Ulama di Rawalpindi menyatakan bahwa para Fir’aun
menurut al-Qur’an telah menghabisi anak laki-laki
Yahudi di Mesir tetapi anak perempuannya dibiarkan
hidup, sementara orang-orang Arab pagan dalam praktik
pembunuhannya terhadap anak-anak telah melakukan
yang sebaliknya, Ayyub Khan lebih jahat dari keduanya
karena lewat program keluarga berencananya, ia
memusnahkan baik laki-laki maupun perempuan.
(Rahman, No.4, November, 1971: 12).
Retorika yang senada dengan itu dalam menghadapi
kasus-kasus lain seperti masalah bunga Bank, sembelihan
dengan mesin, soal warisan, telah menggusur kemungkinan
dialogis antara pihak-pihak yang berbeda pandangan.
Dalam iklim yang serupa ini “perbedaan pendapat bukan
lagi rahmat, tetapi malapetaka”. Fazlur Rahman yang ingin
melihat Islam itu benar-benar dijalankan dalam kehidupan
modern secara bertanggung jawab dalam seluruh bidang
kegiatan manusia, akhirnya kewalahan juga menghadapi
aksi massa yang tak terkendali ini. Akhirnya ia hijrah ke
Chicago sejak 1970 sampai saat meninggalnya pada 26 Juli
1988. Dari Chicago-lah ia selama lebih kurang delapan belas
tahun melontarkan gagasan-gagasan pemikiran

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


keislamannya yang dipandang kontroversial itu.
Dalam makalah ini akan kita lihat secara kritis ten-
tang pemikiran-pemikiran Fazlur Rahman sebagai
seorang intelektual, Muslim yang .gelisah, gagasannya
tentang neo-modernisme Islam sebagai alternatif yang
ditawarkannya; dan sebelum penutup akan kita kaitkan
pula tinjauan dengan iklim pemikiran Islam di Indonesia.

FAZLUR RAHMAN: CERMINAN KEGELISAHAN


INTELEKTUAL YANG BERTANGGUNG JAWAB
Dalam salah satu kuliahnya di awal 1980-an Rahman
mengatakan: “Bila bahan bakar minyak lenyap dari dunia,
mungkin akan ada gantinya. Tetapi bila Islam yang lenyap,
gantinya tidak akan ada.” Pernyataan ini adalah pernyataan
komitmen Rahman yang amat kuat dan dalam terhadap
Islam. Islam bila dipahami secara benar dan cerdas akan
dapat ditawarkan sebagai dasar peradaban alternatif bagi
dunia yang akan datang. Namun ia menyadari sepenuhnya
bahwa umat Islam secara keseluruhan belum siap untuk
itu. Menurut perkiraannya pada 1979 lalu, umat Islam baru
akan memiliki suatu fondasi intelektualisme Islam yang
kokoh dalam jangka waktu 20-30 tahun (Kuliah tanggal 8
Juni 1979). Ia mengakui betapa kuatnya keterkaitan umat
terhadap Islam, tapi “intelektualisme mereka adalah nol”
(Kuliah tanggal 8 Juni 1979). Fenomena inilah yang agak
merisaukannya. Oleh sebab itu ia mengimbau agar kita
menempuh cara berpikir yang radikal untuk menangkap
maksud al-Qur’an. Ia mengatakan: “Study the Qur’an first,
then judge the past and present situation with it” (Kuliah
tanggal 15 Mei 1979). Sikap yang sangat Qur’an

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


203
Oriented inilah yang membedakan Rahman dengan para
pemikir muslim lainnya, baik yang klasik maupun yang
kontemporer. Sampai di mana dia berhasil merumuskan
suatu metodologi untuk memahami al-Qur’an dapat kita
nilai dari beberapa karyanya, baik dalam bentuk buku
maupun masih berupa artikel (Rahman, 1982, 5-8;
Rahman, 1980; Rahman, 1986: 45-49; Rahman, terj.
Taufik Adnan Amal, 1987:54-67). Di antara kritiknya
terhadap kaum modernis muslim, apalagi kaum tradi-
sionalis dan fundamentalis, adalah karena mereka tidak
menawarkan suatu metodologi yang sistematis dan padu
dalam memahami al-Qur’an. Pendekatan parsial dan ad
hoc, menurut Rahman, terhadap al-Qur’an, tidak
mungkin membuahkan hasil yang dituntut oleh Kitab
Suci ini (Rahman, 1982: 5-8).
Kalaulah Rahman dapat mengendalikan diri untuk
tidak menggunakan ungkapan-ungkapan yang terlalu
tajam untuk meredam lawan-lawannya, dan ini di antara
kelemahannya menurut saya, gagasan-gagasan pemba-
ruannya mungkin akan cepat mendapat pendukung yang
lebih luas dan merata. Metode pendekatannya yang
kurang persuasif dalam melontarkan ide-idenya
meru-pakan salah satu kendala mengapa radius
pengaruh pemikirannya masih terbatas pada sebagian
elit intelektual muslim. Sebagai ilustrasi dapat saya
sebutkan di sini bahwa Catatan Pengantar untuk buku
Islam and Modernity yang antara lain berbunyi:
Di sini saya ingin mencatat bahwa dua tokoh intelektual
Pakistan, Abu’l-A’la Mawdudi dan Ishtiaq Husain Qureishi,
meninggal bulan September 1979 dan Januari 1981.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Kepergian mereka adalah sebuah kehilangan bagi Islam,
sentana kritik saya keras terhadap mereka, dan saya percaya
dapat dibenarkan sepenuhnya (Rahman, 1982:5-8).

Semula tidak akan dicantumkan. Adalah karena saran


dari saudara Wan Mohd. Nor Wan Daud (mahasiswa
Rahman dari Kelantan, Malaysia), sekadar penghargaan itu
diberikan kepada Mawdudi dan Qureshi, dua nama besar
yang mendapat kritik tajam dari Rahman dalam buku di
atas. Dalam melumpuhkan argumentasi lawan, Rahman
rupanya lupa akan satu diktum al-Qur’an yang
memerintahkan Musa dan saudaranya Harun agar berkata
lunak dan sopan (qaulan layyinan), (QS. Thaha: 44), sekali-
pun terhadap musuh beratnya Fir’aun. Saya berharap agar
kritik-kritik keras dan tajam yang mungkin telah melampaui
etik al-Qur’an tidak merupakan ciri dari neo-modernisme
Islam, yang kini sedang menyeruak memasuki bursa
pemikiran umat yang kreatif dan kritis. Sebuah iklim
“berbeda dalam persaudaraan atau bersaudara dalam
perbedaan” perlu kita budayakan dalam kehidupan umat,
teristimewa di lingkungan intelektual muslim. Dengan cara
ini diharapkan agar model sengketa klasik antara al-Ghazali
dan para filsuf atau antara Ibn Taimiyah dengan kaum sufi,
teolog dan juga filsuf, tidak kita warisi di abad kita. Cara-
cara semacam itu telah meninggalkan trauma sejarah yang
dalam dan sulit menghapusnya.
Rahman memang menghadapi tembok-tembok kon-
servatisme yang tebal dan kuat. Menurut pendapatnya,
tembok-tembok itu harus dirubuhkan, manakala Islam
itu memang ingin ditegakkan secara berwibawa dalam
kehidupan modern. Maka perlawanan keras yang di-

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


205
terimanya dari para ulama tradisional konservatif dan go-
longan fundamentalis telah dijawabnya dengan cara yang
tidak kurang tegar dan kerasnya. Cara-cara semacam ini
tampaknya merupakan bagian dari kegelisahan inte-
lektualnya yang teramat dalam dan mendasar. Kita kutip
kritiknya terhadap dinding-dinding tebal tradisionalisme:
Suatu masyarakat yang harus memulai hidup dalam
kerangka masa lampau betapapun manis kenangannya
dan gagal dalam menghadapi realitas kekinian secara jujur
betapapun tidak seronoknya, ia pasti menjadi sebuah fosil;
dan sudahlah merupakan hukum Tuhan yang tetap bahwa
fosil tidak tahan lama: “Bukanlah Kami berbuat zhalim
terhadap mereka; merekalah yang menzhalimi diri mereka
sendiri” (XI: 101; VXI.-33, dl1.), (Rahman, 1965:176).

Bagi Rahman tampaknya adalah sebuah kezhaliman


bila mempertahankan tradisi yang sudah lapuk, yang telah
kehilangan dinamika dan kesegaran, atau untuk meninjau
Rendra: sebuah budaya “kasur tua” yang kumal dan apak.
Dalam konteks hubungan antar kelompok modernis dan
tradisionalis muslim di Pakistan, Rahman pernah
merekamkan: “The modernist accuses the traditionalist of
worshipping history, not God (Rahman, dalam Little
(ed.),1976:301). Suatu cara polemik yang jelas tidak sehat
bila dilihat dari sisi etik al-Qur’an. Dalam hal itu dengan
cara yang tidak kurang pedasnya golongan konservatif lewat
jurnalnya a.l. al-Bayyinat, telah menuduh Rahman sebagai
munkir Qur’an (penampik al-Qur’an), (Rahman, dalam Little
(ed.),1976:300), dengan alasan yang akan kita jelaskan lebih
jauh pada waktu kita membicarakan neo-modernisme Islam.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Yang mengherankan adalah bila Rahman kita jejer- kan
dengan Iqbal dalam soal kritik-mengkritik ini. Iqbal dalam
ungkapan-ungkapan yang jauh lebih pedas tinimbang
Rahman dalam mengkritik realitas umat, tidak mengundang
perlawanan yang berarti. Apakah ini karena Iqbal
menyampaikannya dalam bahasa puisi yang menawan,
sementara Rahman dalam bahasa prosa yang langsung.
Atau mungkin juga Iqbal terlalu besar untuk dilawan.
Wallahu a’lam. Yang jelas ialah bahwa Iqbal diminati oleh
seluruh lapisan masyarakat konservatif, tradisional dan
modernis. Sebenarnya bukan saja diminati, tetapi dipuja-
dan disenandungkan. Dalam perspektif ini dapat kita
katakan bahwa beruntunglah mereka yang mampu
menyampaikan ide-ide pembaruan lewat bahasa puisi.
Kasus Iqbal adalah di antara bukti untuk ini. Inilah contoh
kritik Iqbal terhadap mulia (ulama tradisionalis): (Agama
Tuhan lebih dilecehkan ocehkan tinimbang kekufuran,
Gara-gara mulia, seorang mukmin, berdagang dalam
kekafiran!), (May, Vol XVIII, No.4 1978:21). Anehnya lagi
adalah Rahman yang sering mengutip sajak-sajak Iqbal yang
berisi kritikan terhadap kaum ulama, yang dimarahi bukan
si penyairnya, tetapi si pengutip!.
Puncak dari kemarahan publik Pakistan terhadap
Rahman yang memang disulut oleh para ulama terjadi pada
September 1968. Ini beranjak dari pendapatnya tentang
wahyu yang termuat dalam bukunya Islam yang kemudian
dilarang di negerinya. Rahman dituduh berpendapat bahwa
al-Qur’an adalah karya kerja sama antara Allah dan
Muhammad, suatu posisi, menurut Rahman, yang tidak
mungkin dipegang oleh seorang Muslim pun. Tapi

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


207
akibatnya memang fatal. Para ulama bukan saja marah
kepada Rahman, tetapi kepada Presiden Ayyub Khan
yang telah memintanya untuk merumuskan Islam dalam
kerangka modern. Di Lahore bahkan ada poster-poster
dinding yang mengumumkan sebuah harga dari kepala
Rahman (L.S. May, Vol XVIII, No.4 1978:21), padahal
yang bersangkutan baru saja keluar dari Rumah Sakit
akibat serangan jantung yang berat. Iklim anti Rahman
ini juga terdapat di Dakka, Pakistan Timur (waktu itu),
dengan corak yang tidak kurang ganasnya.
Demi meredakan suasana yang sudah demikian
men- didih, akhirnya Fazlur Rahman mundur dari
jabatan- nya sebagai Direktur Lembaga Pusat Riset Islam
untuk kemudian menetap di Chicago, sebagaimana yang
telah kita sebutkan sebelumnya. Itulah sebuah episode
dari budaya anti-intelektualisme Pakistan yang belum,
dan mudah-mudahan tidak terjadi di Indonesia.

NEO-MODERNISME ISLAM: SEBUAH ALTERNATIF


Sampai kira-kira pertengahan 1970-an, Rahman, se-
panjang sumber yang saya ketahui, belum lagi berbicara
tentang gagasan neo-modernisme Islami. Bahkan sebenar-
nya Rahman tidak sering menggunakan ungkapan neo-
modernisme Islam itu, sekalipun ia menawarkannya sebagai
prasyarat bagi kebangkitan Islam (Islamic Renaissance),
Rahman, dalam Welch & Cachia (ed.), 1979: 323-327). Neo-
modernisme Islam tidak lain dari modernisme Islam plus
metodologi yang mantap dan benar untuk memahami al-
Qur’an dan sunnah nabi dalam perspektif sosiohistoris. Bagi
Rahman, tanpa suatu metodologi yang tepat dalam

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


memahami Islam dan seluruh pesannya, orang akan sulit
menangkap secara jelas dan tajam kaitan organik antara
fondasi teologisnya dengan persoalan dan nilai praktis
kemanusiaan dalam kehidupan kolektif. Oleh sebab itu,
Rahman berkali-kali menegaskan bahwa, seperti yang telah
kita kutip sebelumnya, al-Qur’an harus dijadikan pedoman
pertama dan utama dalam memahami Islam: “study the
Qur’an first, then judge the past and the present situation
with it” (Kuliah Rahman, 15 Mei 1979). Dengan dasar inilah
ia kemudian mempertanyakan secara sangat serius tentang
posisi Islam sejarah bila dihadapkan kepada Islam cita-cita.
Di mata kaum modernis muslim Pakistan, kelompok
tradisionalis sudah tidak mampu lagi membedakan antara
Islam sejarah dan Islam cita-cita, hingga mereka demikian
terpautnya dengan Islam yang menjadi sejarah itu. Mereka
kehilangan kemandirian dalam memahami Islam. Mereka
“menyembah sejarah, bukan Tuhan”, (Rahman, dalam Little
(ed.),1976:301). kata kaum modernis. Fazlur Rahman dalam
hal ini tampaknya sama-sama satu biduk dengan kaum
modernis dalam menilai kelompok tradisionalis berpikir itu.
Sebenarnya bukan saja kehilangan, tetapi kemerdekaan
berpikir itu mereka pandang sebagai bahaya besar bagi
Islam, yaitu Islam sebagaimana yang mereka pahami.

Di samping, alergi terhadap kemerdekaan berpikir, ada


alasan lain mengapa pihak tradisionalis tidak per- caya
kepada kaum modernis. Alasan itu berkaitan dengan latar
belakang pendidikan kaum modernis pada umum- nya,
yaitu pendidikan Barat. Trauma sejarah dari masa
kolonialisme Barat memang merupakan beban psikologis

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


209
tersendiri bagi umat Islam. Islam memang selalu di-
hadapkan kepada apa saja yang bercorak Barat, kecuali
ilmu dan teknologi. Beban psikologis inilah yang turut
bertanggung jawab mengapa umat Islam sangat curiga
kepada Barat. Kecurigaan ini semakin bertambah intens
setelah menyaksikan hancurnya moral dan sistem famili
di sana.
Tetapi apakah kaum modernis mau meniru Barat
seperti yang dituduhkan itu? Tidak selalu demikian,
sekalipun tokoh seperti Ahmad Khan, Ameer Ali dan
beberapa nama yang lain memang terasa agak apologetik
bila mengaitkan Islam dengan Barat. Tetapi tokoh-tokoh
seperti Iqbal dan Fazlur Rahman tidak dapat kita sama
ratakan dengan mereka. Dalam menyoroti masalah sosial
dan moral dalam masyarakat Barat, Rahman sepenuhnya
mengikuti jejak Iqbal, dan sampai batas tertentu tidak
berbeda dengan pandangan kaum tradisionalis. Salah satu
sajak Iqbal yang menjadi favorit Rahman menggambarkan
betapa kritisnya ia membaca perkembangan sosial dan
moral di Barat yang dikatakan sebagai bagian dari
utilitarianisme sekuler. Sajak itu adalah:
Yang menakjubkan
Bukanlah terutama karena Anda memiliki
Seni penyembuhan mukjizat, penaka Yesus;
Yang lebih menakjubkan
Adalah karena si pasien Anda
Bahkan lebih sakit tinimbang sebelumnya.
(Kuliah Rahman, 15 Mei 1979); Rahman, dalam Little
(ed.),1976:301); (Rahman, dalam Little (ed.),1976:301) .

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Masyarakat Barat yang kehilangan orientasi etis-
spiritual, melalui sajak Iqbal itu, dinilai Rahman sebagai-
pasien yang bertambah sakit, sementara “seni penyem­
buhan mukjizati” yang ditawarkan adalah sia-sia belaka.
Tetapi kubu tradisionalis dan fundamental tidak mau
melihat kenyataan ini. Bagi mereka, produksi pendidikan
Barat pasti membawa “penyakit menular”, betapapun
sungguh dan seriusnya mereka mencintai ‘dan
mempelajari Islam. Bahkan dalam kasus Ahmad Khan
yang dituduh pengkhianat oleh al-Afghani misalnya, kita
tidak boleh membenarkan tuduhan itu secara semena-
mena. Tokoh modernis ini dengan tradisi Aligarh-nya
telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
kebangkitan intelektualisme Islam di anak benua India
itu. Tidaklah dapat kita bayangkan sebuah renaisans
pemikiran Islam di Asia Selatan itu tanpa Aligarh dengan
Ahmad Khan, Syibli Nu’mani, Ameer Ali dan lain-lain.
Pendekatan yang bersifat “black and white” terhadap
sejarah masa lampau adalah pendekatan yang ceroboh
dan sebuah intellectual myopia.
Sekarang kita lihat metodologi yang ditawarkan
Rahman untuk memahami Islam dengan al-Qur’an sebagai
tolok ukurnya yang utama. Tawaran metodologi inilah yang
memberikan cap khas kepada Neo-modernisme-nya
Rahman. Dengan metodologi ini diharapkan agar Islam
dapat menyelesaikan persoalan-persoalan, betapapun
ruwetnya, yang dihadapi umat manusia dengan landasan
moral yang solid. “... an Islam that does not solve human
problems has, at best, a precarious future, indeed!”, tulis
Rahman dalam”’ sebuah jurnal. Keprihatinan akan masa

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


211
depan Islam inilah yang memaksanya untuk mencari
jalan keluar yang secara iman dapat dibenarkan dan
secara ilmu dapat dipertanggungjawabkan. Di bawah ini
kita ringkaskan metodologi itu.
Asumsi dasarnya adalah bahwa al-Qur’an harus
dipahami secara utuh dengan mempertimbangkan secara
kritis latar belakang sosio-historis turunnya ayat (asbab
al-nuzul). Bagi Rahman cita-cita moral (moral ideals) al-
Qur’an haruslah ditangkap lebih dulu sebelum
merumuskan suatu ketentuan hukum yang bersifat
positif. Kasus-kasus warisan, poligami, jumlah saksi
wanita untuk suatu perkara misalnya, haruslah dilihat di
bawah sinar cita-cita moral al-Qur’an itu.
Kita ambil umpamanya soal poligami. Dalam al-
Qur’an surat al-Nisa’: 3 kita membaca suatu diktum
tentang bolehnya seorang beristri lebih dari satu asal
dapat bersifat adil terhadap istri-istrinya itu. Bila tidak,
jumlah istri cukup satu saja. Kemudian pada surat yang
sama ayat 129, al-Qur’an menegaskan bahwa seseorang
tak mungkin bersifat adil terhadap istri-istrinya,
sekalipun ia ingin benar untuk berbuat demikian.
Tentang masalah ini Rahman menulis: “Kelihatannya
ada satu kontradiksi antara izin poligami sampai empat;
tuntutan keadilan di antara para istri; dan deklarasi yang
tegas bahwa keadilan yang semacam itu dalam wujudnya
tidaklah mungkin”.
Bila demikian soalnya, mengapa masalah tuntutan
akan kedilan ini tidak dijadikan klausal pokok dalam
menetapkan sistem perkawinan dalam Islam? Rahman
kemudian menegaskan: “Interpretasi tradisionalis adalah

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


bahwa klausal izin (untuk berpoligami) punya kekuatan
legal sementara tuntutan akan keadilan, sekalipun penting,
diserahkan kepada kesadaran sang suami”. Pendapat yang
semacam inilah yang dipandang tidak tepat oleh golongan
modernis. Bagi mereka, yang utama adalah tuntutan akan
keadilan dan deklarasi tentang tidak mungkinnya berbuat
adil. Oleh sebab itu menurut pendapat mereka bahwa izin
poligami haruslah bersifat sementara dan untuk satu
maksud yang terbatas. Dengan pertimbangan ini, Rahman
kemudian berbicara tentang-cita moral al-Qur’an tentang
masalah perkawinan ini. Kita kutip: “Yang benar tampaknya
adalah bahwa izin poligami menjadi legal dengan sanksi-
sanksi yang dikenakan atasnya adalah dalam wujud suatu
cita-cita moral ke arah mana masyarakat diharapkan untuk
bergerak, karena tidaklah mungkin menghapuskan poligami
secara legal dengan satu kali pukulan”. Tegasnya Rahman
berpendapat bahwa poligami secara berangsur, tetapi pasti
harus dihapuskan, kecuali dalam menghadapi kasus-kasus
yang sangat darurat. Dari sudut pendekatan ini,
penghapusan sistem poligami dalam Islam bukanlah karena
ayat 3 surat al-Nisa’ itu tidak berlaku lagi, tetapi karena
evolusi pembumian cita-cita moral. Al-Qur’an me­ nuntut
kita untuk sampai kepada kesimpulan semacam itu. Hal
yang serupa dapat pula kita temui dalam kasus perbudakan
dalam Islam yang pada akhirnya harus kita temui dalam
kasus perbudakan dalam Islam yang pada akhirnya harus
dihapuskan.
Pada halaman terdahulu kita telah menyinggung
tentang tuduhan ulama terhadap Rahman berkenaan
dengan al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Rahman sama

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


213
sekali tidak mengatakan bahwa al-Qur’an adalah: “... bahwa
al-Qur’an adalah seluruhnya kalam Allah se­ jauh ia bersifat
sempurna dan sepenuhnya bebas dari kesalahan, tetapi,
sejauh ia turun ke hati Muhammad dan kemudian
(diucapkan) lewat lidahnya, ia seluruhnya adalah
perkataannya”. Penegasan ini didasarkan Rahman atas
pemahamannya terhadap ayat: Al-Ruh al-Amin telah
membawanya turun ke dalam hatimu agar engkau menjadi
salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan. Dengan demikian jibril datang kepada
Muhammad bukanlah seperti tukang pos pengantar surat.
Persoalan di atas bukanlah persoalan murni “aka­
demik”, kata Rahman, tetapi ia punya konsekuensi-kon-
sekuensi yang sangat jauh dan mendasar tentang metode
penafsiran al-Qur’an. Rahman berpendapat tentang ter­
pisahnya gagasan keabadian dan sifat keTuhanan al-Qur’an
dari gagasan keabadian muatan hukumnya secara spesifik
(the eternity of its specificlly legal content). Ketentuan
hukum seperti tentang poligami dan perbudakan adalah di
antara muatan hukum yang spesifik itu.
Ringkasnya, metodologi dalam memahami al-Qur’an
yang ditawarkan Rahman adalah seperti berikut ini. Dia
mengistilahkannya sebagai gerakan ganda: dari situasi
kekinian ke masa al-Qur’an, kemudian balik lagi ke masa
kini. Ada dua langkah yang harus ditempuh untuk gerakan
pertama. 1. Orang harus memahami makna dari suatu
pernyataan tertentu dengan melihat situasi sejarah atau
masalah yang kemudian diberi jawaban oleh al-Qur’an.
Langkah ini menuntut adanya pemahaman yang utuh
tentang makna al-Qur’an, di samping juga memahami

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


terma-terma spesifik yang merupakan jawaban terhadap
situasi spesifik. Langkah-langkah pertama sebenarnya
telah mengandung langkah kedua, dan akan mengarah
ke sana. Al-Qur’an secara keseluruhan punya sikap yang
pasti terhadap hidup dan punya suatu Weltanschauung
yang konkret. 2. Menggenerasasikan jawaban-jawaban
yang spesifik itu dan menyatakannya sebagai
pernyataan-pernyataan- tentang tujuan-tujuan moral-
sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks spesifik
dengan mem- perhatikan latar belakang sosiohistoris dan
rationes legis yang sering dinyatakan.
Gerakan kedua dari masa al-Qur’an ke masa kini
mengandung makna bahwa dari prinsip-prinsip umumnya
diambilkan yang spesifik yang harus dirumuskan dan
direalisasikan sekarang. Artinya prinsip-prinsip umumnya
harus diwujudkan ke dalam konteks sosio-historis yang
konkret. Jelas ini menuntut kajian yang cermat terhadap
situasi sekarang. Dengan cara ini kita menempatkan
perintah-perintah al-Qur’an menjadi hidup dan efektif
kembali-. Menurut Rahman, kerja ini adalah jihad inte-
lektual yang secara teknis disebut ijtihad.
Bagaimana dengan pemikiran Islam di Indonesia bila
ditempatkan dalam pemikiran Rahman, akan kita
bicarakan selintas di bawah ini.

FAZLUR RAHMAN DAN IKLIM PEMIKIRAN


ISLAM DI INDONESIA
Arus pemikiran Islam di Indonesia lebih banyak
dipengaruhi oleh arus pemikiran yang datang dari luar.
Terakhir arus pemikiran Rahman mulai kita rasakan di

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


215
sini. Dengan kata lain, kita di Indonesia lebih banyak
tampil sebagai intelektual konsumen tinimbang yang
mampu berpikir orisinal. Tetapi menurut saya, tidak ada
yang perlu dirisaukan, asal kita secara sungguh-sungguh
berusaha untuk melahirkan pemikiran-pemikiran yang
mendekati orisinalitas dengan ramuan dari berbagai arus
pemikiran yang dapat dicerna.
Rahman telah menawarkan suatu metodologi untuk
memahami al-Qur’an dan cara melaksanakan ajaran-
ajaannya dalam darah dan daging sejarah pada waktu
sekarang. Metodologi itu perlu kita tanggapi secara
apresiatif tetapi kritis. Sikap yang diambil oleh Prof.
Naquib al-Attas terhadap Rahman tampaknya bukanlah
sikap seorang kritis tetapi sikap seorang yang a priori
antipati. Kita kutip Naquib: ...karena 30 tahun tinggal di
Amerika, Rahman tidak mengenal persoalan-persoalan
Islam. Dia hanya melontarkan pemikiran-pemikiran yang
bersifat spekulatif.”
Saya pernah menyatakan bahwa siapa pun bebas
untuk menerima atau menolak pemikiran Rahman.
Tetapi sebelum sampai kepada kesimpulan menerima
atau menolak, seluruhnya atau sebagian, orang perlu
lebih dulu mempelajarinya secara mendalam. Saya
mendapat kesan Prof. Naquib belum mempelajari karya-
karya Rahman secara menyeluruh, hingga dengan
demikian kritiknya belum punya landasan teoretik yang
dapat dipertanggung jawabkan.
Pemikiran Rahman tampaknya secara berangsur akan
berpengaruh di Indonesia, terutama melalui lembaga pasca
sarjana IAIN. Lembaga ini menurut penglihatan

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


saya adalah mereka yang pada umumnya cukup potensial
secara akademik. Mereka bukanlah tipe orang yang a priori-
priori-an. Metodologi yang ditawarkan Rahman agaknya
akan menjadi bahan pertimbangan untuk memahami Islam
secara lebih bertanggung-jawab. Tentang masalah ini
Rahman dapat dijadikan contoh. Setahu saya Rahman
dapat memahami bahasa-bahasa, aktif atau pasif, Persi,
Turki, Urdu, Jerman, Prancis, Greek, Arab, dan Inggris.

PENUTUP
Sebagai penutup saya rekamkan kembali pemikiran
Fazlur Rahman dalam bukunya Islamic Methodology in
History dalam makalah ini: Suatu masyarakat yang
memulai dalam kerangka masa lampau betapapun manis
kenangannya dan gagal menghadapi realitas kekinian
secara jujur betapapun tidak seloroknya ia pasti menjadi
sebuah fosil; dan sudahlah merupakan hukum Tuhan
yang tetap bahwa fosil tidak tahan lama: “Bukanlah kami
berbuat zhalim terhadap mereka; merekalah yang
menzhalimi diri mereka sendiri” (XI; 101; XVI; 33, dan
lain-lain.)

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


217
5
NURCHOLISH MAJID: ARUS
BARU ISLAM DI INDONESIA
Oleh: M. Amin Nurdin

T ak ada intelektual muslim di Indonesia saat ini


hampir sebagian besar hidupnya sarat dengan kontroversi
yang

seperti Nurcholish Majid. Gagasan-gagasanya yang telah


menimbulkan polemik yang cukup sengit itu bukan hanya
membentuk arus baru, tetapi juga
diterima oleh kalangan luas.
Sejak menyampaikan dua pemikirannya, yaitu “Ke­
harusan Pembaruan Pemikiran dan Masalah Integritas
Umat” (14 Oktober 1970) dan “menyegarkan paham ke­
agamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” (28 Oktober
1972), Nurcholish memulai polemik panjang. Makalah- yang
pertama mengelola dua gagasan utama “Islam Yes, Partai
Islam No”, dan konsep tauhid yang merupakan pangkal

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


dari sekularisasi. Dalam makalah kedua, Nurcholish
menolak gagasan Negara Islam.
Dengan dua gagasan itu, ia adalah pemikir Islam
Indonesia pertama dengan gigih mencoba memisahkan
Islam sebagai Agama dengan Islam sebagai lembaga. Pe-
misahan demikian memang lazim bagi generasi Islam
sekarang. Tetapi ide itu, pada masanya, begitu sulit karena
mengandung cara pandang keagamaan yang lain sama
sekali. Umat Islam terlalu terbiasa dengan penyetaraan
antara Islam sebagai agama dengan Islam sebagai lembaga
partai politik. Dengan kata lain, terjadi sakralisasi atas
lembaga. Kesertaan seseorang dalam partai Islam, misal-
nya, menentukan apakah ia muslim atau kurang Muslim.
Sakralisasi semacam ini, dalam pandangan
Nurcholish Madjid, sama sekali bertolak belakang dengan
gagasan- tauhid. Jika selama ini tauhid secara sederhana
dipahami sebagai pengesahan Allah, yaitu pengakuan
akan Tuhan sebagai satu-satunya yang layak disembah,
maka Nurcholish menarik lebih jauh konsekuensi dari
paham itu. Baginya, tauhid berarti mengesahkan Allah
sebagai satu-satunya sesembah yang sakral, sementara
objek-objek lain bersifat profan atau duniawi belaka. Ia
sampai kepada suatu pendapat bahwa tauhid adalah
pangkalan dari sekularisasi. Jika hanya Allah yang
sakral, maka yang lain tidak, termasuk lembaga-lembaga
Islam. Ikatan pada partai Islam, dengan demikian,
bukanlah mutu keislaman seseorang. Pada saat partai
Islam sebagai bagian integral dari agama itu sendiri,
pandangan ini jelas mengguncangkan.
Berangkat dari sana, ia menolak gagasan negara

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


219
Islam. Baginya gagasan itu sejenis apologia yang muncul
dari perasaan rendah diri umat terhadap Barat. Peno- lakan
Nurcholish atas Negara Islam mengandung suatu tafsiran
yang menarik tentang kata dien (agama) itu sendiri. Sebagai
kalangan Islam, ia terpesona dengan ideologi-ideologi Barat
modern yang bersifat totaliter, yang “bersifat menyeluruh
dan secara mendetail mengatur setiap segi kehidupan,
khususnya politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain”.
Hal ini menimbulkan pikiran pada kalangan Islam yang
ideologis itu untuk membawa Islam sebagai dien sebagai
sistem yang totaliter bertentangan dengan kenyataan bahwa
istilah itu dipakai bukan saja untuk Islam, tetapi juga
agama lain, seperti Yahudi dan Kristen. Kita bisa
mengatakan bahwa kedua Agama itu adalah dien, sebagai
mana Islam. Dengan demikian, dien bukanlah betara
dengan ideologi yang bersifat totaliter dan tertutup, seperti
ideologi-ideologi sekuler yang lain. Dien, sebagaimana
dielaborasi oleh Nurcholish dalam gagasan-gagasannya yang
lanjut di tahun 1990-an, adalah sebentuk kepasrahan diri
kepada Tuhan adalah inti dari keberagaman yang otentik.
Pengelolaan negara adalah bidang duniawi, di mana umat
Islam dengan kemantapan hati bisa belajar dari bangsa-
bangsa lain yang unggul dalam bidang-bidang duniawi itu,
meskipun ada perbedaan dien atau agamanya.

Dengan gagasan ini, Nurcholish sebenarnya mem-


perkenalkan keberislaman yan terbuka. Inilah sumbangan
Nurcholish yang cukup besar dalam membentuk kembali
pandangan dunia umat Islam Indonesia. Pandangan ini
jelas, jika kita sekarang menyaksikan gelombang

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


keberagaman yang menekankan esensi agama ketimbang
bentuk-bentuk lahiriah dan semua dari agama itu; jika
sekarang orang-orang bicara tentang Islam yang inklusif,
maka tanpa ragu kita akan menyebut Nurcholish sebagai
pemikir yang memungkinkan hal ini semua bisa terjadi.
Ia telah memperkenalkan cara keberislaman baru.
Setelah kehadiran Nurcholish, keberIslaman Indonesia
mempunyai corak yang lain.
Banyak orang mengira, bahwa dengan gagasannya
mengendor pandangan keagamaan yang telah mapan,
Nurcholish sepenuhnya tercerabut dari akar. Ia telah
dianggap melawan tradisi, sekurang-kurangnya melawan
bentuk Islam murni sebagaimana dicontohkan oleh Nabi.
Hal ini jelas keliru, tetapi inilah tuduhan yang hampir selalu
ditudingkan ke kalangan pemikir yang kerap disebut
sebagai “pembaru” di mana-mana. Pada 1984, ia
menerbitkan esai panjang “Warisan Intelektual Islam”
sebagai pengantar buku Khasanah Intelektual Islam. Di
sana, ia menekankan pentingnya semacam rasa hayat
kesejarahan serta penghargaan terhadap kekayaan tradisi
intelektual Islam. Ia bahkan mengutip kebijaksanaan klasik
yang masyhur, al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-
akhzdu bi al-jadid al-ashlah (memelihara yang baik dari yang
lama, serta mengambil hal-hal baru yang lebih baik). Ia
sendiri menulis disertasi tentang pemikiran klasik yang
dianggapnya terlalu apologetik, dan kurang memberikan
apresiasi tradisi pemikiran Islam klasik.
Sepulang dari studinya di University of Chicago,
Amerika Serikat, pada 1984, ia bersama teman-teman
pendukungnya mendirikan Yayasan Paramadina dan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


221
mencurahkan tenaganya untuk sumber-sumber klasik
bagi upaya pembaruan- pemikiran Islam di Indonesia.
Melalui lembaga baru ini, Nurcholish mencoba men-
dakwahkan suatu pola keberIslaman yang selain terbuka
atas tantangan-tantangan modern, juga sadar atas ke-
kayaan tradisi klasik Islam. Bagi Nurcholish, pengkajian
atas warisan klasik ini akan menimbulkan suatu sikap
relativisme internal pada umat Islam, yaitu sikap untuk
menerima setiap bentuk peradaban sebagai ba- gian
keberagaman ijtihad yang boleh jadi benar, boleh juga
salah, dan oleh karena itu sikap mutlak-mutlakan
bukanlah sesuatu yang tepat dari sudut pandang Islam.
Tema inilah yang ia kemukakan dalam pidato kebu-
dayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 21 Oktober
1992 dengan judul Beberapa Perenungan tentang Kehidupan
Keagaaman di Indonesia untuk Generasi Mendatang. Pidato
ini menandai polemik tahap kedua dalam karier pemikiran
bagi Nurcholish. Dalam pidato itu, ia mempertajam gagasan-
gagasannya tentang Islam sebagai agama yang hanif atau
inklusif, serta melakukan kritik keras atas gejala
fundamentalisme agama. Dalam pidato ini pula, ia
melontarkan gagasan tentang kepasrahan sebagai inti dasar
keIslaman, tentang Islam sebagai sebutan generis untuk
semua bentuk keberagaman yang berdasarkan pada
kepasrahan terhadap kebenaran mutlak. Islam, dalam
pandangan Nurcholis, bukan saja sebutan khusus buat
agama yang selama ini membawa nama itu, tetapi juga
sebutan yang berlaku untuk semua agama dengan
semangat kepasrahan itu. Dengan pandangan seperti ini, ia
telah memberikan definisi baru atas Islam dalam cara

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


yang sama sekali tak konvesional.
Gagasan tentang Islam sebagai agama hanif dianggap
oleh para pengkritiknya sebagai usaha mengaburkan Islam
itu sendiri. Tetapi, gagasan Nucholish ini bukan tanpa suatu
dasar yang kokoh dari tradisi itu sendiri. Ia melandaskan
idenya tentang Islam sebagai agama kepasrahan ini tak
kurang pada otoritas klasik yang kebetulan menjadi bahan
disertasinya, yaitu Ibn Taimiyyah. Ia juga merujuk dua
otoritas besar dalam Islam, yakni al-Qur’an dan Hadis, yang
dalam banyak kesempatan berbicara tentang warisan
Ibrahim yang mengalir dalam tiga agama besar, Yahudi,
Islam, Kristen. Warisan itu tak lain agama hanifiyyah-
samhah, agama kepasrahan toleran.
Gagasan Nurcholish ini sesungguhnya adalah ke-
lanjutan pikiran-pikirannya di tahun 1970-an tentang
desakralisasi dan sekulerisasi. Baik dulu atau sekarang,
Nurcholish selalu ingin membedakan antara Islam sebagai
nilai yang universal dengan lembaga yang partikular. Ia
selalu setia pada yang pertama, dan mencoba mengatasi
dampak-dampak buruk yang timbul dari fanatisme buta
kepada aspek Islam yang kedua itu. Saat menyampaikan
pidato di TIM itu, Nurcholish boleh jadi sadar benar, bahwa
fundamentalisme sudah menjadi gejala keagamaan yang
meluas di kalangan muslim perkotaan, dan itu adalah
tantangan yang harus dipikirkan dengan sungguh-sungguh
oleh umat Islam. Fundamentalisme telah mem- bawa cara
keberagamaan yang tertutup, sehingga tidak
menguntungkan dari sudut pandang pengembangan
hubungan harmonis antara umat beragama.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


223
Pemikir yang lahir di Jombang, 17 Maret 1939 ini
memang bukan seorang agama soliter yang hanya me-
ngungkung diri di kamar perpustakaan. Ia adalah
intelek- tual publik yang seluruh energi pemikirannya
dikerahkan- untuk memikirkan soal-soal yang dihadapi
oleh umat Islam dalam konteks negara bahasa Indonesia.
Posisi inilah yang menyebabkan gagasan Nurcholish
bukan saja menjadi diskusi terbatas di ruang akademis
yang sepi, tetapi juga menjadi bagian percakapan publik
yang ramai. Gagasan Nurcholish telah memberikan
kepekaan dalam keberislaman, kepekaan atas
keberagaman, baik internal- maupun eksternal. Pikiran-
pikirannya telah mela- hirkan Islam baru Indonesia.
Nurcholish telah membentuk mazhab pemikiran yang
sama sekali berbeda dengan arus-arus sebelumnya. Ia
adalah perintis, pembuka jalan. Jalan itu, kini, boleh jadi
telah menjadi jalan rutin yang dilalui oleh banyak orang,
sehingga seolah menjadi kehilangan arti pentingnya sebagai
jalan baru. Saat ini hampir semua orang telah menerima
begitu saja kenyataan bahwa Islam di Indonesia adalah
Islam yang moderat, seolah-olah Islam yang demikian itu
sudah hadir dengan sendirinya, tanpa kerja keras tangan-
tangan telaten para perintis. Kita layak menempatkan
Nurcholish sebagai salah satu nama yang penting, dalam
deretan perintis-perintis yang memulai jalan moderat.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


6
WASATIYYAT ISLAM UNTUK
PERADABAN DUNIA: KONSEPSI
DAN IMPLEMENTASI
Oleh: Din Syamsuddin

I. PENDAHULUAN

W asatiyyat Islam (berasal dari istilah Arab,


Islam, di Indonesia dikenal
Wasatiyyatul
dengan Islam
Wasathiyah), adalah suatu corak
pemahaman dan praksis Islam. Ia juga merupakan suatu
metode atau pendekatan dalam mengkontekstualisasi Islam
di tengah peradaban global. Kehadiran Wasatiyyat Islam
sangat perlu dan dibutuhkan baik di lingkungan umat Islam
sendiri, maupun di tengah pergulatan Islam dengan
beragam agama dan sistem dunia lainnya. Dalam upaya
menyebarluaskan pemahaman, konsep dan praktik
Wasatiyyat Islam, vernakularisasi, indigenisasi dan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


225
kontekstualisasi Islam merupakan langkah strategis untuk
mengembangkan dan mengimplementasikan praktik
keislaman wasatiyah. Pemahaman dan praksis keislaman
wasatiyah menjadi keniscayaan di tengah tantangan krisis
di banyak bagian Dunia Muslim dan peradaban dunia yang
disebabkan pemahaman dan praksis keagamaan tidak
wasatiyah dan perkembangan dunia yang tidak
berkeseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan seperti
politik, ekonomi, sosial-budaya, sains- teknologi, ilmu
pengetahuan, lingkungan hidup dan lain-lain.
Wasatiyyat Islam juga mendorong adanya islah
(refor- masi) peradaban sebagaimana makna yang
terkandung di dalamnya. Agenda membangun peradaban
dunia lebih damai, berkeadilan dan berkeseimbangan
merupakan agenda Wasatiyah Islam baik di Dunia
Muslim maupun lingkungan internasional lebih luas.
Dalam agenda mem- bangun peradaban tersebut terdapat
pilar-pilar peradaban seperti agama dan spiritualitas,
ekonomi, politik,- sains, pranata sosial, dan demografi
yang perlu mendapat per- hatian khusus.
Berbagai pilar tersebut mesti bersatu padu dan ber-
sinergi untuk membangun kembali peradaban baru. Tanpa
agama yang mengandung nilai spritualitas dan etika,
niscaya peradaban damai, adil dan berseimbangan tidak
dapat terwujud. Dengan sains, berbagai inovasi dan temuan
yang berharga dan berguna bagi masyarakat mempercepat
laju kemajuan peradaban. Sains berkontribusi pada
perkembangan politik dan ekonomi dan mengubah pola
hidup masyarakat. Pranata sosial merupakan prasyarat
berikutnya berdiri dan berkembangnya peradaban. Lalu,

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


demografi. Penduduk yang majemuk, terdiri dari berbagai
kelompok usia, turut menentukan dan menjadi pilar
peradaban.
Konsultasi tentang Wasatiyyat Islam kali ini bukanlah
prakarsa baru karena sudah luas dimaklumi adanya
prakarsa-prakarsa terdahulu, antara lain: Pertama, al-Azhar
asy-Syarif di Kairo, Mesir, sebagai pusat pendidikan dan
kebudayaan Islam, yang memiliki pengaruh dalam
keberagaman umat Islam di banyak negara. Luas diketahui,
celupan (shibghah) al-Azhar berwarna Wasatiyyat Islam.
Shibghah ini telah memengaruhi persebaran manhaj wasati
sebagai arus utama pemikiran keislaman di dunia Islam.
Kedua, Pangeran Ghazi ibn Talal dari Yordania yang
memprakarsai terbitnya Pesan Amman (Risalat Amman),
sebagai hasil kesepakatan ratusan ulama dan cendekiawan
muslim dunia, juga menampilkan orientasi wasati. Prakarsa
yang melahirkan gerakan pijakan yang sama (kalimatun
sawa) jelas berwarna wasati karena mengajak umat berbeda
agama untuk menekankan persamaan daripada perbedaan.
Ketiga, Raja Abdullah bin Abdul Aziz dari Saudi Arabia lebih
lanjut menekankan signifikasi Wasatiyyat Islam, yakni
dengan mendirikan Pusat Dialog Internasional (King
Abdullah International Centre for Interreligious and
Intercultural Dialogue) yang berpusat di jantung Eropa, Wina,
Austria. KAICIID adalah salah satu gerakan dialog yang
inklusif dan aktif membangun upaya saling memahami dan
saling menghormati di dalam pemeluk agama dan budaya
yang berbeda. Keempat, dari Asia Tenggara, prakarsa
Perdana Menteri Malaysia Tun Najib Razak patut diapresiasi
yaitu dengan pendirian

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


227
Gerakan Kaum Moderat Dunia (Global Movement of the
Moderate). Gerakan ini secara relatif ikut menampilkan
citra Islam sebagai agama dengan prinsip wasatiyah
Kelima, patut juga diketahui dari Indonesia, Menteri
Agama Tarmizi Taher pada tahun 1990-an pernah
merevitalisasi wawasan wasatiyat Islam yang sesung-
guhnya sudah secara historis dan kultural menjadi warna
dasar keberagaman umat Islam di Indonesia. Hal ini
mengejawantah pada keberadaan ratusan ormas dan
lembaga- Islam yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia
sekaligus menjadi ciri khas Islam di Indonesia. Organisasi-
organisasi Islam ini merupakan organisasi massa dan
gerakan kebudayaan sekaligus. Inilah yang telah menjadi
tulang punggung berdirinya negara Republik Indonesia yang
rancang bangunnya pada tingkat tertentu dapat dipandang
sebagai manifestasi wasatiyyat Islam.
Konsultasi Bogor dimaksudkan sebagai upaya revi-
talisasi semua prakarsa mencerahkan tersebut dalam
konteks peradaban global yang mengalami dekadensi dan
kerusakan sehingga Wasatiyyat Islam dapat diajukan
sebagai solusi.

II. KONSEPSI WASATIYYAT ISLAM


Konsepsi Wasatiyyat Islam salah satu ajaran sentral
dalam Islam untuk pembentukan kepribadian dan karak-ter
muslim,baikindividualataupunkolektif.Konsepinimelekat
dengan konsep umatan wasathan. Konsep Wasatiyyat Islam
berhubungan dengan ajaran Islam secara keseluruhan. Al-
Qur’an dan Hadis juga berulang kali menekankan
pentingnya menjadi wasatiyyah. Konsep wasatiyyah

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


inheren (menyatu dan melekat dan sifat atau watak yang
tidak dapat dipisahkan)- dalam ajaran Islam. Wasatiyyah
yang dalam bahasa- Arab berasal dari kata ‘wasat’ berarti
penengah, perantara, yang berada- di posisi tengah, pusat,
jantung, mengambil jalan tengah atau cara yang bijak atau
utama, indah dan terbaik, bersifat teguh dalam pandangan,
berbuat adil. Dalam kajian Islam akademik, ‘Wasatiyyat
Islam’, sering diterjemahkan sebagai ‘justly-balanced Islam’,
‘the middle path’ atau ‘the middle way’ Islam dan Islam
sebagai mediating and balancing power untuk me- mainkan
peran mediasi dan pengimbang. Istilah-istilah ini
menunjukkan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta
jalan tengah dalam Islam untuk tidak terjebak pada
ekstremitas. Selama ini konsep Wasatiyyat Islam dipahami,
merefleksikan prinsip tawassut (tengah), tasamuh, tawa-
zun (seimbang), i`tidal (adil), qtisad (sederhana). Dengan
demikian, istilah Umatan Wasatan sering juga disebut
sebagai ‘a just people’ atau ‘a just community. yaitu masya-
rakat atau komunitas yang menampilkan kriteria di atas.
Ada yang memahami bahwa watak Wasatiyyat Islam
berhubungan dengan posisi tengahan Islam antara dua
agama samawi terdahulu, yaitu Yahudi yang menekankan
keadilan (din al-‘adalah) dan Kristen yang menekankan
kasih (din al-rahmah). Islam sebagai agama tengahan
memadukannya menjadi agama keadilan dan kasih sayang
sekaligus (din al-‘adalah rahmah). Dengan tidak terjebak ke
dalam dua titik ekstremitas (al-ghuluw wa al-taqsir).
Wasatiyyat Islam juga dipahami sebagai jalan tengah antara
dua orientasi beragama yang asketis-spiritualistik dan
legalistik-formalistik. Hal ini menunjukkan bahwa

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


229
Wasatiyyat adalah watak dasar Islam sejak kelahirannya.
Wasatiyyat Islam dengan demikian adalah upaya untuk
memadukan kehidupan dunia dan akhirat dan mencapai
kebahagiaan duniawi dan ukhrawi (sa’adat al- daraini).
Dalam perspektif di atas, umatan wasatan adalah
‘komunitas terbaik’ (khayr-ummah), yang dalam al-Qur’an
menganjurkan pada kebaikan dan mencegah kemung-
karan, serta beriman kepada Allah. Dengan demikian,
umatan wasatan sebagai khaira-ummah adalah
komunitas yang senantiasa berorientasi pada kualitas
dan prestasi, dengan demikian dapat memimpin
perwujudan peradaban utama.
Berdasarkan penjelasan di atas dan mempertimbang-
kan pendapat para ulama dan cendekiawan muslim di
dunia, para ulama Indonesia melalui Musyawarah
Nasional Majelis Ulama Indonesia pada 2015, terdapat 12
Prinsip Wasatiyyat Islam, yaitu:
Tawassut (mengambil jalan tengah), yaitu
pemahaman dan pengamalan agama yang tidak ifrat
(berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrit
(mengurangi ajaran agama).
Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan
pengamalan agama secara seimbang yang meliputi
semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun
ukhrawi; tegas dalam menyatakan prinsip yang
dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan)
dan ikhtilaf (perbedaan).
I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu
pada tempatnya, melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban dan tanggung jawab secara proporsional,

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


bersikap tegas dan berpegang teguh pada prinsip.
Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan
menghormati perbedaan, baik dalam aspek
keagamaan dan ber- bagai aspek kehidupan lainnya
dan oleh karena itu wasatiyyat menuntut sikap fair
dan berada di atas semua kelompok/golongan.
Musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif
pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan,
status sosial-ekonomi, tradisi, asal usul seseorang,
dan atau gender.
Syura (musyawarah), yaitu menyelesaikan persoalan
dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat
dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas
segalanya.
Ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip
reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang
mengakomodasi perubahan dan kemajuan za-man
dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashla-
hah ‘ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-
muhafazah ‘ala al-qadimi al-salih wa al-akhdzu bi al-
jadid al-aslah.
Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu
kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih
penting harus diutamakan untuk diimplementasikan
dibandingkan dengan yang kepentingan lebih rendah.
Tatawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu
selalu terbuka melakukan perubahan sesuai dengan
perkembangan zaman serta menciptakan hal baru
untuk kemaslahatan dan kemajuan umat manusia.
Tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


231
akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas
sebagai khair-ummah dalam kehidupan kemanusiaan
dan peradaban.
Wathaniyah wa muwathanah, yaitu penerimaan
eksistensi negara-bangsa (nation-state) di mana- pun
berada dengan mengedepankan orientasi kewarga-
negaraan.
Qudwatiyah, yaitu melakukan kepeloporan dalam pra-
karsa-prakarsa kebaikan demi kemaslahatan hidup
manusia (common good and well-being) dan dengan
demikian umat Islam yang mengamalkan Wasatiyat
memberikan kesaksian (syahadah).
Prinsip-prinsip di atas seyogianya mengkristal dalam
paradigma dan perilaku muslim baik individual maupun
kolektif dalam berbagai aspek kehidupan. Wasatiyyat
Islam adalah aktualisasi atau pengejawantahan Islam
Rahmatan lil ‘Alamin (QS.21: 107). Keadilan, misalnya,
mendapat tempat dalam praktik keseharian Rasulullah
saw dan generasi terdahulu. Teladan keadilan Rasulullah
adalah ketika beliau mengingatkan supaya keadilan
ditegakkan kepada siapa saja walaupun kepada keluarga
sendiri. Bila keadilan diabaikan karena yang melakukan
ketidakadilan adalah seorang tokoh atau pejabat, hal
tersebut sudah menjadi ancaman binasanya suatu kaum.
Salah satu contoh pengalaman dari prinsip wasatiyyat
adalah tentang mengatasi masalah dengan konsultasi dan
musyawarah. Dalam menghadapi berbagai masalah dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, Rasulullah
melakukan musayawarah dan konsultasi dengan para
sahabat. Dalam mengambil keputusan Rasulullah

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


meminta pendapat sahabat Abu Bakar dan Umar.
Bahkan, pendapat Umar sering dikukuhkan dengan
turunnya ayat terkait masalah yang ditanyakan. Ahl al-
masyurah dan ahl al-hall wal-aqd merupakan pranata
sosial-politik yang memberikan pertimbangan kepada
pemimpin tertinggi ketika ada masalah yang harus
diselesaikan. Bentuk konsultasi dan musyawarah dapat
berupa keputusan, kontrak, perjanjian, dan kesepakatan.
Contoh penerapan jalan tengah dalam sejarah Islam
adalah keberadaan dokumen, seperti piagam (mitsaq),
penjanjian gencatan senjata (hudnah), perjanjian
perdamaian (mu’ahadah), aliansi (hilf) perjanjian kerja
sama (ittifaq ta’awun). Bahkan, terjadinya konsesi
(tanazul) dan adanya kom- pensasi (ta’wid) juga
merupakan jalan tengah, apabila hal ini merupakan jalan
keluar yang adil dalam kondisi tertentu.
Selanjutnya, prinsip tasamuh dalam berbeda
pendapat dicontohkan Rasulullah dalam berbagai aspek
seperti memberikan kebebasan beragama dan tidak
memaksakan kabilah atau seseorang untuk pindah
agama. Praktik tasamuh menjadi penting di tengah dunia
yang sedang dilanda saling curiga terhadap kelompok
lain berbeda. Anggapan yang mengatakan, Islam
intoleran dan tidak menghargai jelas tidak mendasar.
Faktanya, ketika umat Islam menjadi mayoritas di
wilayah tertentu, kelompok minoritas non-muslim dapat
dengan leluasa melakukan aktivitas keagamaannya.
Sebagai contoh bagaimana Islam mengajarkan tole-
ransi, dalam hadis riwayat al-Bukhari menyatakan, suatu
ketika Nabi Muhammad saw pernah berdiri meng-hormati

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


233
jenazah seorang Yahudi yang melewatinya lalu ditanya
kenapa beliau berdiri. Beliau menjawab “Apakah dia
bukan seorang manusia?” Dari hadis tersebut dapat
dipahami, Rasulullah bertoleransi dengan berdiri
menghormati jena- zah seseorang meskipun dia Yahudi.
Wasatiyyat Islam juga berorientasi pada perilaku
yang menghargai etos keunggulan. Perilaku ini didasari
atas posisi ilmu pengetahuan (knowledge) yang sentral
dalam Islam. Banyaknya kata dalam ayat al-Qur’an yang
mengandung pentingnya proses berpikir seperti ulul
albab, afalaa yatadabbarun, afalaa ya’qiluun. Hal ini
merefleksikan nilai penting yang mendorong pada
pencarian ilmu pengetahuan berkesinambungan. Proses
ini akhirnya menghasilkan- keunggulan di berbagai
bidang. Kehadiran ilmuwan-ilmuwan muslim dalam
sejarah kejayaan Islam merupakan manifestasi dari
kecintaan pada ilmu penge- tahuan yang tidak hanya
memberi kontribusi positif pada perkembangan-
infrastruktur peradaban Islam di masa itu, tetapi juga
menjadi katalisator bagi perkembangan di Barat di era
selanjutnya. Nama-nama seperti Ibnu Sina, Ibnu Rushd,
Ibnu Haitam telah menghasilkan banyak temuan penting
bagi perkembangan sains modern di bidang kedokteran,
matematika, astronomi, arsitektur dan lain-lain.
Selanjutnya, salah satu karakter dari wasatiyyat Islam
adalah al- hanifiyyah al-samhah, yaitu semangat mencari
kebenaran yang disertai dengan sikap terbuka, lapang dada,
dan toleran. Konsep ini mengandung dua arti.
Pertama, Islam melarang pemaksaan dalam menerima
kebenaran (QS. 2: 256). Dalam sejarah pembebasan kota

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Mekkah di masa Nabi Muhammad misalnya, masyarakat
Quraisy tidak dipaksa untuk konversi ke Islam. Kebijakan
serupa juga ditemukan dalam pembebasan Palestina di
masa al-Khulafa al-Rasyidun. Umat Nasrani dan Yahudi
diberikan kebebasan untuk tetap memeluk agamanya. Sikap
semacam ini didasari pandangan bahwa meskipun setiap
manusia memiliki naluri mencari kebenaran, namun
pencarian kebenaran tersebut memerlukan proses
bervariasi. Bagi mereka yang terlahir dalam keluarga
Muslim dan dibesarkan dalam pendidikan islami, proses
menemukan kebenaran lebih mudah. Namun bagi mereka
yang terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak
mengenal Islam, bisa jadi proses pencarian tersebut tidak
mudah dan memerlukan waktu tidak singkat. Oleh karena
itu Islam menekankan untuk menghormati proses yang
tengah dilalui para pencari kebenaran dengan
mengapresiasi keberagamaan yang mereka anut.
Kedua, Islam menganjurkan untuk mencari kesamaan
dalam perbedaan (QS. 3: 64). Keaneka-ragaman agama yang
dipeluk oleh masyarakat adalah sesuatu yang alami dan
harus dihormati lantaran semua orang selalu ber- proses
dalam mencari kebenaran. Oleh karena itu, yang perlu
dibangun adalah pengelolaan kemajemukan. Upaya mencari
titik kesamaan dapat ditemukan dalam kepe- mimpinan
Nabi Muhammad di Madinah. Beliau menya- tukan
masyarakat Madinah yang majemuk dalam satu
kepentingan, yaitu melindungi Madinah dari serangan
musuh dan membangun masyarakat Madinah sesuai
dengan landasan agama masing-masing.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


235
WASATIYYAT ISLAM DALAM LINTASAN
SEJARAH PERADABAN ISLAM
Konsepsi Wasatiyyat Islam telah dielaborasi dalam
berbagai kajian dan referensi. Terdapat banyak pendapat
mengenai umatan wasatan yang kemudian dikaitkan
dengan Wasatiyyat Islam. Wasatiyyat Islam dapat dimak- nai
sebagai justly-balanced. Sifat dan karakter ini meru- pakan
cerminan umma atau komunitas yang adil, komu- nitas
terbaik, dan komunitas tengahan (seimbang). Pada bagian
ini, berbagai praktik Wasatiyyat Islam dalam lintasan
sejarah, sejak masa Ta’sis, Tathwir, dan Tahdits, akan
dielaborasi sebagai bagian dari upaya melihat bahwa
Wasatiyyat Islam merupakan warisan sejarah yang pantas
dan layak ditindaklanjuti umat Islam saat ini.

Masa Pembentukan (Ta’sis)


Kedatangan Islam dan kerasulan Nabi Muhammad
saw merupakan rahmat bagi semesta alam. Namun,
kedatangan Islam dan kerasulan Nabi Muhammad saw
bukan rahmat bagi umat Islam saja, tetapi juga bagi
seluruh umat manusia dan alam semesta. Islam sebagai
agama rahmat terbukti telah memberikan perbaikan
nyata. Artinya, rahmat dalam konteks ini bukan sekadar
kasih sayang, namun juga perbaikan peradaban. Pada
masa pembentukan ini, praktik Wasatiyyat Islam selama
rentang masa kenabian selama 23 tahun, Rasulullah
berhasil mengader individu-individu dan kelompok
masyarakat dengan landasan keimanan yang kuat, dan
mengimplementasikan sebuah rancang bangun (blue-
print) peradaban. Sebagai tokoh yang sukses mengubah

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


peradaban manusia, Rasul merupakan figur yang wasat
(adil dan seimbang). Dalam berbagai perjanjian dengan
kaum Quraisy, Rasul memprioritaskan nilai-nilai per-
damaian dan mencari jalan tengah untuk kebaikan ber-
sama. Misalnya, dalam Perjanjian Hudaibiyah Rasul
menunjukkan jiwa besar dan kesabarannya. Kemudian,
Rasul juga pernah mempersilakan komunitas Kristen
Najran untuk melakukan sembahyang di Masjid Nabawi.
Contoh lainnya praktik Wasatiyyat Islam di masa Rasul
ketika menjadi pemimpin Negara Madinah dengan
membangun komunitas orang-orang beriman yang diikat
dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Prinsip- prinsip
dasar mengenai pembangunan masyarakat majemuk
terjamin didalamnya seperti: larangan membunuh, kebe-
basan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, per-
lindungan harta benda, kerjasama membangun masya-
rakat dan saling membantu saat menghadapi peperangan.
Inilah konstitusi modern pertama yang jauh lebih modern
dari zamannya.
Selain itu, praktik Wasatiyyat Islam dapat disimak pada
peristiwa Fathu Makkah. Saat memasuki Makkah, Nabi
mengedepankan sikap kesatria dan terpuji dengan tidak
menonjolkan sikap ego sebagai pemenang. Sebagai pihak
yang unggul, yang nasib dan takdir penduduk Mekkah
berada di genggaman tangan dan telapak kaki pasukannya,
Rasul justru memberikan amnesti kepada Quraisy Mekkah
yang di masa sebelumnya hendak membunuh, mengusir,
menyakiti, dan menganiaya sahabat-sahabat Rasul.
Memaafkan di saat kemenangan sudah diraih merupakan
cermin kebesaran jiwa yang tidak

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


237
dikotori oleh dendam dan dengki. Rasul mewariskan
suatu teladan mengenai kebaikan, kemanusiaan,
keteguhan menepati janji serta bersikap adil.
Pada masa kekhalifahan, praktik Wasatiyyat Islam
dapat dilihat pasca wafatnya Rasul. Pada era Khalifah Umar
Ibn Khaththab, setelah penaklukan Yerusalem, Umar
berkunjung ke kota suci ketiga umat Islam tersebut untuk
penyerahan pribadi. Saat tiba, orang-orang Kristen
menyangka Khalifah Islam itu ingin melakukan shalat di
dalam gereja mereka yang paling suci sebagai tanda
kemenangannya, tetapi Umar menolak. Umar mengatakan
kepada orang-orang Kristen bahwa umat Islam akan hidup
bersama, beribadah sesuai dengan keyakinan, dan
menetapkan contoh lebih baik. Jika orang-orang Kristen
menyukai, silakan bergabung. Jika tidak, biarkan saja.
Allah telah mengatakan, tidak ada paksaan dalam agama.

Masa Pengembangan (Tathwir)


Salah satu tonggak penting Wasatiyyat Islam pada
masa ini adalah yang terjadi di masa Umar ibn Ábd Aziz
(wafat 101 H/720 M) dengan upayanya mengembangkan
inklusivisme intra-umat dan mengakomodasi kelompok
Syi’ah dan merehabilitasi nama Ali Ibn Abi Thalib melalui
apa yang dikenal dengan tarbi’, yaitu menyatakan bahwa
khalifah yang sah terdahulu, yang disebut al- Khulafa’al-
Rasyidun, ada empat, yaitu Abu Bakr, Umar, Utsman, dan
Ali. Sebelumnya, terdapat tiga versi: bagi kaum nawashib
dari kalangan Umawi ialah Abu Bakr, Umar, dan Utsman,
tanpa Ali, tetapi sebagian memasukkan Muawiyah; bagi
kaum Khawarij, hanya Abu Bakr dan Umar, sedangkan

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Utsman, Ali dan Muawiyah semuanya kafir; bagi kaum
Syiah Rafidah hanyalah Ali seorang, sedang yang lain
adalah- perampas hak sah Ali yang telah diwasiatkan
Rasulullah saw. Tarbi’ menjadi bentuk Wasatiyyat Islam dan
penyebutan tersebut tumbuh menjadi kebiasaan umat, dan
salah satu lambang paham jamaah dan sunnah.
Dalam bidang akidah al-Asy’ari menjadi penengah
antara pertentangan paham Qadariyah dan Jabariyah
dengan memperkenalkan paham kasb (perolehan,
acquisition) yang rumit. Metodenya dianggap paling ber-
imbang sehingga berkembang menjadi paham Sunni di
bidang akidah.
Di masa Dinasti Utsmani, praktik Wasatiyyat Islam
mewujud dalam sistem sosial yang melindungi dan men-
jamin kebebasan dan kehidupan beragama yang bernama
Millet. Millet merupakan sistem yang mengatur hubungan
antara komunitas beragama yang berbeda di kekhalifahan.
Sistem ini bertanggung jawab atas ritual keagamaan,
pendidikan, keadilan, amal, dan pelayanan sosial sendiri di
tiap-tiap kelompok agama. Hasilnya adalah terwujudnya
Millet Yahudi, Millet Armenia, Millet Komunitas Ortodoks
Timur di bawah kekuasaan Utsmani—selain tentu saja umat
muslim. Masing-masing millet menjalankan fungsi
koordinatif di internal mereka dan melaporkan ke Sultan
bila terdapat isu atau masalah yang perlu diselesaikan.
Sultan mengayomi seluruh millet dan umat Islam memiliki
pemimpin puncak sendiri yang disebut sebagai Syaikh al-
Islam. Sistem millet merupakan salah satu bentuk
Wasatiyah Islam dalam pengelolaan keragaman agama dan
pemerintahan yang membentang hingga Eropa Timur.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


239
Namun, seiring kian melemahnya kekaisaran Utsmani di
tahun 1700-1800, sistem millet tidak berlangsung hingga
masa akhir kekaisaran Utsmani dan digantikan dengan
sistem sekular.

Masa Modernisasi (Tahdits)


Ekspresi Wasatiyyat Islam dalam hal modernisasi dapat
ditemukan sejak perempatan terakhir abad 19. Periode ini
adalah masa di mana hampir seluruh dunia Islam seperti
Mesir, India, dan Indonesia dijajah negara-negara Eropa.
Meskipun penjajahan menyebabkan han- curnya kekuatan
politik umat Islam, tetapi di sisi lain juga menyebabkan
bangkitnya kesadaran umat Islam mengenai pentingnya
mengembangkan melakukan tahdits dalam berbagai bidang
sejak dari kemiliteran, pemerintahan,- pranata dan lembaga
sosial, ekonomi, kebudayaan- dan pendidikan. Alih-alih
menolak berbagai aspek kemajuan Eropa penjajah, umat
Islam justru mempelajari- dan mengembangkannya. Karena
dalam prinsip wasatiyyat Islam, kemajuan yang bersumber
dari ilmu pengetahuan adalah milik Allah. Mencapai
kemajuan melalui- ilmu pengetahuan termasuk yang
berkembang di Eropa tidak menjadi halangan bagi umat
Islam. Atas dasar pandangan itulah untuk mencapai
kemajuan pelajar-pelajar terbaik dari dunia Islam dikirim ke
negara-negara Eropa untuk mempelajari ilmu pengetahuan.

Pada masa ini, praktik wasatiyyat memasuki era


untuk kembali mencapai kebangkitan (‘asrun nahdah).
Intelektual-intelektual muslim melakukan pembaruan
dan mengejar ketertinggalan dari bangsa Barat. Praktik

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


wasatiyat mulai melangkah untuk mencapai kemajuan
dengan mengadopsi dan mengakomodasi peradaban
Eropa. Masa ini, bergeraklah berbagai tokoh pemikir dan
aktivis gerakan pembaruan Islam modern di seluruh
dunia, Muhammad Ali Pasha, Rifa’ah Rafi Al-Tahtawi,
Nawawi Al-Bantani, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi,
Mahfudz Al-Termasi dan lain-lain.
Di Turki Ustmani, ekspresi wasatiyyat Islam dalam
hal modernisasi mulai muncul sejak era Tanzimat.
Tanzimat berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki
kembali (islah atau reform). Era ini merupakan gerakan
pembaruan yang bermula sejak pertengahan abad ke-19.
Masa ini praktik wasatiyat ini ditandai dengan
munculnya gerakan yang dipelopori sejumlah tokoh
pembaruan Turki Ustmani yang belajar dari Barat dalam
bidang pemerintahan, kemi- literan, hukum,
administrasi, pendidikan, keuangan dan perdagangan.
Era kebangkitan mendorong munculnya banyak
tokoh pembaru di berbagai belahan dunia Islam. Karena
itu, fase ini disebut era pembaruan dan reformasi (tajdid
wa al-islah). Era ini melahirkan tokoh pembaru seperti
Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Ahmad Dahlan, Hasyim
Asy’ari, Rahmah El-Yunusiyah, Soekarno, Mohammad
Hatta, Muhammad Natsir dan lain-lain.
Era tajdid wa al-islah memberikan momentum bagi
praktik wasatiyyah yang belanjut di zaman mu’asharah. Di
masa ini, tokoh-tokohnya di dunia, antara lain; Mahmud
Syaltut, Wahbah Zuhaili, Fazlur Rahman, Mohammed
Arkoun, Ismail Raji al-Faruqi, Mahmood Ayub, Harun

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


241
Nasution, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid,
Aisyah Abdurrahman (binti Asy-Syati’), Seyyed Husein
Nasr, Murtadha Muthahari, Abdullah Badawi, Tuty
Alawiyah dan lain-lain.

IV. WASATIYYAT ISLAM: TANTANGAN DAN


PELUANG DI TENGAH PERADABAN GLOBAL
Peradaban global saat ini mengalami situasi ketidak-
pastian (uncertainty), kekacauan dan ketidakteraturan
(disorder). Beberapa ahli juga menyebutkan tentang se- dang
terjadinya great shift, big disruption. Semua ini meng-
akibatkan accumulative global damage. Pendapat semacam
ini mencerminkan trend yang menunjukkan risiko ke arah
kembalinya Perang Dingin dengan terbentuknya blok-blok
kekuatan politik, militer dan ekonomi baru di dunia. Selain
itu, tantangan dunia juga terjadi berupa munculnya
fenomena post-truth society yang sesungguhnya menjadi
tantangan bagi agama-agama.
Selain itu, paska Perang Dingin situasi dan keadaan di
banyak bagian Dunia Islam sendiri terjebak pada proxy war
di antara kekuatan-kekuatan global. Lebih jauh, masalah-
masalah yang mendera akibat terjadinya perang proxy
adalah tetap tingginya indeks keterbelakangan di negara-
negara Dunia Muslim Islam dan terus terjadinya konflik dan
perang yang terkait kepentingan perang proxy.
Situasi ini tidak lepas dari gejala dunia yang mengalami
kekeringan nilai etik dan moral, dan kebajikan bersama
(common good) karena cara pandang dunia antroposentris
dan mengabaikan ketuhanan, etika dan moral (teo-
sentrisme). Di tengah keadaan tidak menguntungkan itu,

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Dunia Muslim yang kaya dengan sumber daya alam,
sumber daya manusia, serta sumber daya sejarah karena
di masa silam memiliki sejarah peradaban gemilang—
memiliki potensi dan peluang untuk menjawab tantangan
kontemporer dengan membangun dunia dengan
peradaban etik dan moral (spiritualized world) melalui
Wasatiyyat Islam.

Tantangan
Dunia mengalami perkembangan, kemajuan dan
percepatan di berbagai bidang yang terkait dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan
manusia secara bertahap sudah terjadi sejak awal per-
adaban manusia muncul dan berkembang hingga terus
melalui revolusi industri I, II, III, dan kini memasuki industri
IV (4.0) di mana cyber-physical-systems akan mewarnai arah
materialisasi dunia yang akan bertabrakan dengan tata nilai
dan etika global. Pada tahap ini, di tengah perkembangan
dan kemajuan di berbagai bidang, dunia internasional tetap
dihantui berbagai persoalan kemanusiaan yang muncul di
berbagai belahan dunia.
Berikut beberapa tantangan:
Global Disorder dan Hilangnya Public Civility/
Common Good
Perubahan sistem internasional yang ditandai dengan
multipolaritas dan kompetisi power telah menimbulkan
banyak ketidakpastian. Pasca krisis ekonomi dunia 1997-
1998 dan 2008, kapasitas ekonomi negara-negara Great
Power mengalami penurunan. Namun demikian, kondisi
ini tidak meredupkan hegemoni negara-negara

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


243
ini secara global. Aliansi baru yang mereplikasi blok- blok
Perang Dingin menemukan momentumnya kembali pada
dinamika politik global di Asia Pasifik dan Arab Spring.
Pendulum ekonomi yang mulai bergerak ke wilayah Asia,
telah membuat Great Powers seperti Amerika Serikat
terlibat dalam ketegangan di berbagai penjuru dunia.
Peningkatan ekonomi Tiongkok semakin menambah
eskalasi ketegangan di wilayah ini.
Sementara itu, dinamika Arab Spring membuka
kembali ketegangan antara aliansi AS-NATO dan Aliansi
Rusia-Tiongkok di Timur Tengah. Aliansi-aliansi ini juga
membawa kembali negara-negara di kawasan ke dalam
pusaran konflik yang lebih kompleks. Konflik Suriah
merefleksikan kepentingan yang saling berbenturan.
Kekacauan dalam sistem internasional juga berkaitan
dengan migrasi internasional yang memunculkan per-
soalan menguatnya konservatisme politik dan agama.
Gelombang pengungsi internasional ke Eropa dan Amerika
menimbulkan babak baru ketegangan Dunia Islam dan
Barat. Sejumlah penelitian menun-jukkan, keberadaan
pengungsi dan warga keturunan muslim di Eropa dan AS
menimbulkan persoalan ekonomi dan sosial, seperti
pengangguran dan peningkatan kriminalitas. Ketidak-
mampuan migran muslim di Eropa dan Amerika untuk
berintegrasi dengan budaya lokal juga memberi kontri- busi
pada gesekan-gesekan antara warga Asli Eropa dan Amerika
dan migran muslim. Belakangan, home grown terrorism
dalam bentuk serangan- serangan bom di kota-kota Eropa,
yang melibatkan warga migran muslim semakin menambah
situasi ketidak-amanan dan

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


meningkatkan Islamophobia. Kondisi ini memicu respon
negatif dari kalangan konservatif di Eropa dan Amerika yang
memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan politik populis
anti migran dan anti muslim. Populisme politik dan agama
juga berada di balik kemenangan Donald Trump di AS,
Brexit di Inggris dan menguatnya dukungan untuk partai-
partai konservatif di Prancis, Belanda dan Jerman.
Menguatnya populisme dan konservatisme politik
dan agama menyebabkan kian merosotnya public civility
dan common good dalam perilaku banyak kalangan
masyarakat internasional. Jelas kecenderungan ini
menimbulkan dampak negatif dalam usaha
merealisasikan perdamaian global.
Kesenjangan Global
Dominasi dan hegemoni kekuatan global yang me-
nguasai berbagai bidang kehidupan mulai dari ekonomi,
politik, militer hingga sosial budaya menimbulkan proble-
matika rumit dan kompleks. Keadaan ini menciptakan
kesenjangandanpolainteraksiglobalasimetris.Selanjutnya
kondisi ini menimbulkan sederet persoalan seperti krisis
ekonomi dan finansial, kemiskinan, perdagangan
manusia (human trafficking), krisis lingkungan hidup.
Ketidakadilan dan kesenjangan dalam tahap ini dapat
memicu kemunculan berbagai kelompok radikal atas nama
agama dan juga kelompok anti-globalisasi. Aksi kekerasan
mereka dan tindakan aparat keamanan menimbulkan
lingkaran dendam yang sulit untuk diselesaikan (unbroken
circles of revenge). Perkembangan teknologi juga memberi
dampak negatif dengan mudahnya penyebaran paham
radikal melalui internet dan media sosial. Keberhasilan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


245
ISIS misalnya merekrut ribuan anak muda melalui media
sosial harus mendapat perhatian serius. Di sisi lain,
perkembangan teknologi informasi yang fenomenal tidak
diiringi kemampuan negara-negara muslim menguasai
dan mengembangkan infra dan suprastruktur sains dan
teknologi. Sehingga mereka menjadi konsumen teknologi
semata.
Akibatnya, peradaban dunia saat ini mengalami apa
yang disebut sebagai, lack of moral values, lack of well-
being, dan moral illiteracy. Banyak kalangan masyarakat
dunia mengalami berbagai disorientasi dalam kehidupan.
Hal ini membuat upaya menciptakan perdamaian dunia
kian tidak kondusif.
Lemahnya Fondasi Wasatiyyat
Kelemahan ini bersumber atau berkaitan dengan
primordialisme yang kuat serta orientasi sektarianisme yang
tinggi dalam institusi sosial dan politik di banyak bagian
dunia Islam. Lemahnya tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance) mengakibatkan meluasnya perbuatan
mudharat seperti korupsi, dan rendahnya sikap tasamuh
dan toleran. Semua ini memperlemah fondasi Wasatiyyat
Islam. Kondisi ini akhirnya memunculkan kepemimpinan
otoriter dan korup. Primordialisme politik dan orientasi yang
sektarian melahirkan perpecahan semakin akut dalam
entitas politik dunia Islam.
Civil Society di Dunia Muslim
Eksistensi dan peran civil society di banyak bagian
Dunia Islam juga masih sangat terbatas. Civil Society masih
dianggap sebagai produk Barat yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Dalam beberapa kasus, kehadiran

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


civil society dianggap sebagai oposisi yang menciptakan
instabilitas keamanan dan mengancam legitimasi kepe-
mimpinan. Jika civil society eksis, perannya masih ter-
batas pada aktivitas filantropis karitatif yang belum
menghasilkan efek pemberdayaan dan penguatan elemen
masyarakat- yang memiliki civic culture dan civility.

Peluang
Solidaritas Ummah dan peningkatan kerjasama
global
Transformasi sistem internasional modern sejak awal
abad ke-20 melahirkan negara bangsa (nation-state) di
Dunia Islam dengan sistem pemerintahan beragam. Akan
tetapi, hal ini tidak serta merta membuat lemahnya
solidaritas ummah di kalangan masyarakat muslim. Soli-
daritas merupakan faktor pengikat yang membentuk
identitas- kolektif yang bersifat transnasional. Karena itu,
solidaritas dapat menjadi landasan yang mengikat
negara-negara muslim dan komunitas muslim yang
hidup dalam lokasi geografis berbeda-beda. Solidaritas
ummah bisa dirasakan sejak awal terbentuknya banyak
negara bangsa di Dunia Islam. Negara-negara muslim
saling memberi dukungan untuk perjuangan
kemerdekaan dan pengakuan internasional atas
kedaulatan. Indonesia pada 1945 misalnya merupakan
negara yang kemerdekaannya pertama kali diakui
negara-negara muslim lain di Timur Tengah.
Solidaritas ummah membentuk jaringan global di
kalangan masyarakat muslim yang dapat memberi manfaat
luas. Kejadian-kejadian penting di suatu negara muslim

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


247
mendapat respons cepat dari masyarakat muslim lain
yang hidup di negara dan bentuk dukungan politik untuk
perjuangan rakyat Palestina atau Rohingya (Myanmar)
misalnya merupakan contoh sangat jelas solidaritas
ummah. Dunia Islam juga terus memberi perhatian
khusus pada krisis kemanusiaan yang terjadi di Thailand
Selatan dan juga pada konflik Kashmir, Afghanistan dan
Suriah. Masyarakat Muslim global juga memberi
perhatian pada Islamophobia yang menimbulkan
persoalan politik dan sosial pada komunitas muslim yang
hidup di Barat. Solidaritas ummah bisa berfungsi sebagai
fondasi untuk mempererat kerja sama internasional di
antara negara-negara muslim.
Perkembangan teknologi informasi membuat jaringan
solidaritas ummah kian menguat. Perkembangan teknologi
juga telah melahirkan kultur populer yang inklusif (inclusive
digital ummah) di kalangan generasi milenial muslim. Di
satu sisi, perkembangan ini semakin merekatkan identitas
ummah. Akan tetapi identitas ummah yang muncul ini juga
melahirkan diversitas dan pilihan-pilihan lifestyle beragam.
Pharrell Williams seorang bintang pop dan produser film
merilis lagu berjudul happy yang menjadi viral. Lagu ini
menggambarkan ekspresi keragaman kehidupan (lifestyle)
muslim di Inggris yang mampu menjaga diversitas dan
hidup bahagia (happy).
Pertumbuhan Kelas Menengah Muslim
Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan
ekonomi di Negara-negara muslim, kelas menengah
muslim juga semakin tumbuh. Hal ini tidak terlepas dari
keberhasilan memadukan peningkatan ekonomi dengan

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


nilai-nilai Islam. Keberhasilan ini juga terkait dengan
meningkatnya tingkat pendidikan generasi muda dan
interaksi mereka dengan modernisme. Indonesia, Malaysia,
India dan beberapa negara muslim di Timur Tengah dan
Afrika memiliki kelas menengah yang terus meningkat
secara signifikan. Kelas menengah populasi muslim juga
sedang mengalami peningkatan di Eropa dan Amerika.
Peningkatan kelas menengah muslim juga diiringi
dengan tumbuhnya kesadaran pada identitas religius.
Saat ini mudah menemukan figur muslim, di kalangan
generasi milenial modern, berpendidikan tinggi dan ber-
beda. Inisiatif-inisiatif bantuan kemanusiaan dan
memiliki pekerjaan dengan income yang baik, sekaligus
sangat asertif mengekspresikan identitas Islam dalam
berpakaian dan sikap kritis menyikapi berbagai persoalan
di Dunia Islam.
Indonesia secara khusus mengalami pertumbuhan
ekonomi yang relatif baik dalam tiga atau empat dasa- warsa
terakhir. Perkembangan ini berkontribusi pada
bertambahnya jumlah kelas menengah muslim di Indo-
nesia. Kelas menengah muslim Indonesia juga mencakup
generasi milenial yang progresif. Generasi ini memiliki pan-
dangan terbuka, toleran dan inklusif terhadap perbedaan.
Berbagai survei tentang peningkatan kelas menengah
muslim menunjukkan bahwa mereka tidak hanya memberi
perkembangan positif pada pertumbuhan ekonomi negara-
negara muslim, tetapi juga memberi pengaruh positif pada
ekonomi global. Kelas menengah mendorong pertumbuhan
pelbagai industri menengah dan maju seiring dengan
meningkatnya daya beli masyarakat muslim. Pertumbuhan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


249
industri halal, bank Islam, fashion muslim dan turisme
halal adalah beberapa contoh penting efek positif yang
dihasilkan peningkatan kelas menengah di Dunia
Muslim. Perkembangan kelas menengah muslim dengan
gaya hidup seperti itu tidak terbatas pertumbuhannya di
negara-negara muslim, tetapi juga mendapat perhatian
besar di negara-negara non-muslim di Eropa, Amerika
Utara, Asia seperti Thailand, Korea dan Jepang.
c. Kekuatan Kepemimpinan Dunia Islam yang
Potensial
Dunia Islam merupakan komunitas global yang me-
miliki sumber daya alam, sumber daya manusia, serta
sumber daya sejarah yang kaya karena di masa silam
me- miliki sejarah peradaban gemilang. Potensi ini bisa
menjadi modal bagi dunia Islam untuk tampil sebagai
kekuatan yang memayungi dan memberikan tawaran
solusi atas berbagai permasalahan global. Kekayaan etik
dan moral berupa Wasatiyyat Islam sesungguhnya
merupakan ke- kuatan luar biasa. Seiring dengan
meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di Negara-
negara muslim, kelas menengah muslim juga semakin
tumbuh. Hal ini tidak ter- lepas dari keberhasilan
memadukan peningkatan ekonomi dengan nilai-nilai
Islam. Keberhasilan ini juga terkait dengan meningkatnya
tingkat pendidikan gene-rasi muda dan interaksi mereka
dengan modernisme. Indonesia, Malaysia, India dan
beberapa negara muslim di Timur Tengah dan Afrika
memiliki kelas menengah yang terus meningkat secara
signifikan. Kelas menengah populasi muslim juga sedang
mengalami peningkatan di Eropa dan Amerika.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


V. WASATIYYAT ISLAM: PENGALAMAN INDONESIA
Secara konseptual, Wasatiyyat Islam telah banyak
dikaji dan dibahas oleh para ahli pemikiran Islam, baik
klasik maupun kontemporer. Namun, nilai lebih yang di-
miliki Indonesia adalah bagaimana penerapan dan
aktual- isasi Wasatiyyat Islam telah berlangsung sejak
lama sampai sekarang dan ke masa depan. Wasatiyyat
Islam adalah karakter dan distingsi Islam Indonesia dan
merupakan salah satu kekayaan khazanah (legacy) Islam
Indonesia. Penerapan Wasatiyyat Islam di Indonesia
dapat ditinjau dari empat ciri atau aspek. Pertama, corak
pemahaman dan praktik Islam; kedua, kultur atau
budaya; dan ketiga, masyarakat sipil (sosiologis dan
historis). Ketiga, pendidikan. Keempat, negara.
Pertama, corak pemahaman dan praksis Islam Indo-
nesia sejak masa awal bersifat wasatiyah berkat penye-
baran yang damai dan berangsur-angsur selama beberapa
abad. Hal ini tidak terlepas dari proses masuknya Islam ke
Indonesia yang apresiatif terhadap budaya lokal seperti
metode dakwah para guru sufi pengembara dengan
mengadopsi- budaya lokal seperti wayang dan pranata sosial
seperti dayah, surau dan pesantren. Dari segi arsitektur,
masjid yang dibangun oleh para Wali penyiar Islam
mengadopsi tradisi dan budaya khas setempat dan masa
itu, sebagaimana yang terdapat di Masjid Agung Demak dan
juga Masjid Sunan Kudus yang masih tampak pengaruh
tradisi budaya pra-Islam.
Selain itu, praktik Wasatiyyat Islam di tanah air
dapat dari sejarah adopsi tradisi lokal pra-Islam yang

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


251
telah diIslamisasikan untuk kepentingan dakwah. Sunan
Kalijaga, salah seorang Wali Songo, para penyiar Islam di
Jawa, menggunakan tradisi pra-Islam setelah sintesa
dengan ajaran Islam seperti wayang dan pesan pewayangan
untuk menyebarkan Islam. Sangat banyak contoh lain,
tetapi poin terpenting dalam hal ini adalah kesediaan para
penyiar Islam dan ulama selanjutnya mengakomodasi dan
mengadopsi tradisi lokal melalui proses Islamisasi tertentu.
Karena itulah Islam Indonesia akrab dengan tradisi lokal.
Hal ini merupakan bentuk rekonsiliasi antara agama dan
budaya yang berlangsung dengan baik di Indonesia. Hal ini
karena dalam proses akulturasi agama dan budaya, para
ulama tidak secara frontal menolak atau membuangnya; bila
ada hal yang masih sesuai diteruskan, bila ada yang kurang
dimodifikasi sesuai prinsip yang bermanfaat tetap diambil
(ma la yudraku kulluhu, la yutraku kulluhu).
Corak Islam Indonesia itu sejak abad ke-17 meng-
hasilkan ortodoksi Islam Indonesia yang terdiri dari tiga
aspek: Pertama, kalam Asy’ariyah yang merupakan jalan
tengah antara kalam khawarij literal dan Mu’ta­zilah
rasional-liberal; kedua, fiqh mazhab Syafi’i yang meru­
pakan jalan tengah antara fiqh Hanbali yang cen-derung
rigid dengan fiqh Hanafi yang lebih rasional; ketiga,
tasawuf Ghazalian yang merupakan jalan tengah antara
tasawuf falsafi yang teoretis-spekulatif dengan tasawuf
antinomian yang eksesif.
Warisan ortodoksi Islam Indonesia bisa ditemukan
dalam banyak literatur lokal yang menggunakan ber-
bagai bahasa lokal. Dengan begitu, kekayaan warisan
intelektual Islam Indonesia mengalami vernakularisasi—

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


pengungkapan dalam bahasa lokal—yang kemudian men-
ciptakan proses indigenisasi dan kontekstualisasi.
Proses-proses ini juga memainkan peran instrumental
dalam pertumbuhan dan penguatan tradisi Wasatiyyat
Islam di Indonesia.
Perkembangan dan dinamika kehidupan agama, pen-
didikan, sosial, budaya dan politik dalam empat dasawarsa-
terakhir memperkuat tradisi Islam yang cair (fluid) sejak
zaman bahari. Fluiditas itu yang membuat- sektarianisme di
antara mazhab dan aliran intra Islam tidak pernah kuat di
Indonesia. Dalam masa kontemporer,- fluiditas itu pula
menghasilkan terjadinya ‘konvergensi’ keagamaan di antara
berbagai tradisi Islam yang sedikit berbeda dalam hal
furu’iyah. Dengan kon-vergensi keagamaan itu pula,
Wasatiyyat Islam Indonesia menjadi kian terkonsolidasi.
Ortodoksi Islam Indonesia sebagai Wasatiyyat
Islam— yang juga disebut sebagai Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah— yang sudah menjadi paradigma jumhur ulama
Indonesia ini terus mengalami konsolidasi sejak abad ke-
17 melintasi masa penjajahan Belanda. Konsolidasi Islam
Wasatiyyat Indonesia menemukan momentumnya sejak
awal abad 20 beriringan dengan bangkitnya pergerakan
nasional me- nuju kemerdekaan Indonesia.
Satu persatu ormas Islam pendukung dan penyebar
Islam wasatiyyah muncul dan berkembang baik dengan
cakupan nasional maupun lokal. Mereka menjadi arus
utama (mainstream) Islam Indonesia. Daftar yang tidak
exhaustive mulai dari Jamiat Khair (1905), Sarekat Dagang
Islam (SDI)/Sarekat Islam (SI, 1905/1911), Persatuan Umat
Islam (PUI, 1911) Muhammadiyah (1912), al- Irsyad

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


253
(1914), Mathlaul Anwar (1916), Thawalib Sumatera
(1920), Persatuan Islam (Persis 1923), Nahdlatul Ulama
(1926), Jam’iyatul Washliyah (1930), Tarbiyah Islamiyah
(Perti 1930), al-Khairat (1930), Masyumi (1937), Darud
Dakwah wal Irsyad (1937), Nahdlatul Wathan (NW, 1953),
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII, 1967), Dewan
Masjid Indonesia (DMI, 1972) dan masih banyak lagi
organisasi lain yang berskala nasional sehingga
jumlahnya mencapai lebih dari 100.
Ormas-ormas tersebut pada dasarnya adalah orga-
nisasi massa dan organisasi kebudayaan yang menye-
barkan dan memperkuat Wasatiyyat Islam melalui ber-
bagai usaha dakwah dan penyiaran Islam, pendidikan,
pelayanan sosial, pelayanan kesehatan, peningkatan sosial
ekonomi dan sebagainya. Kebanyakan berdiri sebelum
kemerdekaan 17 Agustus 1945, ormas-ormas Islam aktif
sepenuhnya menegakkan dan berkomitmen pada NKRI,
Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Selain itu, tidak kalah pentingnya adalah Islam
Indonesia memberikan posisi yang tinggi dan luas bagi
aktualisasi peran perempuan. Secara signifikan ini terlihat
dengan adanya ratu (sultanah) di Kesultanan Aceh pada
abad 17 misalnya. Di masa Kerajaan Aceh tercatat nama-
nama besar seperti Sulthanah Syafiatuddin Syah dan
Laksamana Malahayati yang memimpin armada laut
melawan kolonialisme Eropa. Empat Sultanah Aceh menjadi
patron para ulama dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada awal era modern ekspresi kaum perempuan Muslimah
Indonesia terlihat dengan ke- munculan organisasi-
organisasi perempuan; mereka

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


melaksanakan Kongres Wanita Indonesia pertama di
tahun 1928. Kongres ini di kemudian hari menjadi awal
bang- kitnya gerakan perempuan di Indonesia dalam
melawan penjajahan dan mencapai Indonesia Merdeka
dan dite- tapkan sebagai Hari Ibu. Ormas-ormas Islam
yang dise- butkan di atas, juga memiliki sayap ormas
perempuan masing-masing.
Selanjutnya, ormas-ormas Islam tersebut juga aktif dan
giat dalam menggerakkan filantropi dan berkontribusi
meningkatkan kesadaran filantropi Islam di Indonesia.
Filantropi yang semula bersifat charity dan sporadis dengan
pola pemberian langsung, kemudian berkembang menjadi
lebih produktif dan terlembagakan secara modern dan lebih
tertata. Dana-dana zakat, infaq, shadaqah, dan juga wakaf
dimaksimalkan penggunaannya tidak saja kepada ashnaf
yang sebagaimana telah diatur al-Qur’an, namun juga
kepada ashnaf tafsirnya telah diperluas dan lebih
kontekstual dengan tantangan zaman. Gerakan filantropi
Islam Indonesia juga kini tidak hanya terfokus pada
penanggulangan bencana alam dan kemanusiaan baik di
dalam ataupun luar negeri Myanmar —seperti membangun
rumah sakit di Gaza. Palestina dan di Rakhine dan tetapi
juga dalam mengembangkan ‘filantropi Islam untuk keadilan
sosial’. Karena itu, filantrofi Islam Indonesia kini aktif dalam
upaya pemberdayaan ekonomi mikro dan kecil, penguatan
gender dan HAM, penciptaan perdamaian (peace camp) dan
juga dalam program Sustainable Development Goals (SDGs)
yang diinisiasi PBB.
Kedua, Islam Indonesia memiliki ruang cukup besar
dan lapang untuk mengakomodasi budaya lokal. Islam

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


255
Indonesia juga mengadopsi banyak perayaan atau kegiatan
sosial-keagamaan, sejak dari slametan, tasyakuran atau
ziarah, yang belakangan juga berkembang dalam ber- bagai
bentuk walimah. Beberapa walimah tidak hanya walimah al-
‘ursy, tetapi juga walimah al-khitan, walimah al-safar,
walimah al-haj, walimah al-‘umrah. Semua tradisi sosial
keagamaan ini memainkan peran penting dalam
memperkuat silaturahim, kohesi sosial dan juga saling
berbagi doa, makanan dan berkah.
Ketiga, yakni masyarakat sipil atau persisnya masya-
rakat sipil atau masyarakat madani berbasis Islam (Islamic-
based civil society). Masyarakat sipil Islam Indonesia terdiri
dari ormas-ormas Islam yang sudah disebutkan di atas dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM, atau non-government
organizations/NGOs). Sesuai dengan definisi masyarakat
sipil mereka adalah ‘independen dari negara, mengatur dan
membiayai diri sendiri dan menjadi mediasi dan kekuatan
pengimbang antara negara dengan masyarakat akar
rumput. Islamic-based civil society Indonesia sangat vibran
dan dinamis memainkan berbagai peran, khususnya
penguatan Wasatiyyat Islam.
Eksistensi masyarakat sipil ini juga menjadi distingsi
Islam Indonesia yang membedakannya dengan negara-
negara muslim lain yang tidak memiliki basis civil society
sejak pra dan pasca-Perang Dunia II khususnya.
Akibatnya, tidak ada kekuatan penengah dan mediasi
untuk mencegah terjadinya konflik di antara negara
dengan rakyat akar rumput. Absennya civil society juga
menjadi salah satu penyebab utama kenapa transisi dari
otoritarianisme ke demokrasi tidak bisa berlangsung baik

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


di banyak negara berpenduduk mayoritas muslim.
Di luar ormas Islam dan LSM, masyarakat sipil yang
digerakkan alumni-alumni Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam Negeri (PTKIN), Perguruan Tinggi Islam Swasta
(PTAIS), dan juga Perguruan Tinggi Umum Negeri (PTUN)
dan Perguruan Tinggi Umum Swasta (PTUS). Mereka yang
memiliki latar pendidikan keislaman atau mempunyai
komitmen keislaman yang kuat menggerakkan organisasi
non-pemerintah yang mengusung dan mengampanyekan
nilai-nilai Wasatiyyat Islam yang bersifat universal dan
kosmopolit. Mereka mencoba mengajukan Islam Indonesia
yang wasatiyah ke dalam wacana pemikiran yang ter-
kontekstualisasi dengan norma-norma internasional baru.
Mereka menerjemahkan kemanusiaan ke dalam perspektif
Wasatiyyat Islam menjadi kemanusiaan yang terbuka
dengan keterbukaan, menerima Hak Asasi Manusia (HAM),
mengakomodasi ide kompatibilitas Islam dengan demokrasi,
kesetaraan gender, kewarganegaraan, pluralisme dan
toleransi.
Pendidikan Islam Indonesia turut berperan mengem-
bangkan karakter Wasatiyyat Islam. Pendidikan Islam di
pesantren, madrasah dan sekolah Islam merupakan
model sangat baik tentang bagaimana pendidikan Islam
dalam berkolaborasi dan adaptif terhadap kultur lokal
dan sekaligus dinamika perubahan. Dalam ilmu-ilmu
yang dipelajari, ilmu-ilmu Islam tradisional berperspektif
wasatiyyah menjadi bagian integral di berbagai lembaga
pendidikan Islam ini, yang dipadukan dengan ilmu
pengetahun modern. Lembaga pendidikan Islam ini sulit
ditemui di negara-negara lain. Pendidikan Islam khas

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


257
Indonesia ini turut berkontribusi kepada pendidikan
Islam yang mengajarkan Wasatiyyat Islam.
Dari aspek negara, yang dibayangkan dan dicita-
citakan para pendiri bangsa adalah negara yang sejalan
dengan semangat Islam rahmat bagi semesta dengan
menderivasikannya ke dalam konstitusi dan kebijakan
negara. Negara turut mendorong penguatan Wasatiyyat
Islam dengan mengakomodasi aspirasi umat Islam
dengan mengadopsi Pancasila yang ‘bersahabat’ dengan
agama’ (religiously friendly) sebagai dasar negara. Negara
dan pemerintah juga hampir selalu mempertimbangkan
aspirasi umat Islam dalam berbagai kebijakan Negara.
Dasar negara Pancasila merupakan konsekuensi
logis dari sikap Wasatiyyat para ulama dan intelektual
muslim yang lebih memprioritaskan kemaslahatan
bersama dengan komponen bangsa lain dalam
perdebatan dan pembahasan mengenai dasar negara
Indonesia yang dibayangkan merdeka seusai Perang
Dunia II. Perdebatan para pendiri bangsa di awal
kemerdekaan saat menentukan dasar negara merupakan
peristiwa yang menentukan dalam sejarah bangsa. Sejak
1920-1930-an, perdebatan diwarnai oleh dua kutub yang
saling berseberangan, nasionalisme dan Islam dengan
dua tokoh terdepannya, Soekarno dan Mohammad Natsir.
Perdebatan yang dimulai di media massa di tahun 1920-
1930-an, berlanjut ke ruang-ruang PPKI dan BPUPKI di
tahun 1945 saat membahas mengenai asas negara.
Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan dan
tokoh ormas menyatakan komitmen penuh pada Pancasila
dan NKRI. NU secara resmi menerima Pancasila melalui

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


khittah 1926 yang diputuskan pada muktamar 1984 di
Situbondo. Demikian pula, Muhammadiyah melalui konsep
sebagai Negara Darul ‘Ahd wa al-Syahadah (Negara
Pancasila sebagai tempat perjanjian dan kesaksian). Doku-
men resmi dari masing-masing organisasi ini menunjukkan
hubungan antara agama dan negara di Indonesia berjalan
akomodatif dan harmonis. Pancasila sendiri merupakan
kristalisasi dari nilai-nilai Islam. Mulai dari hadirnya aspek
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan
keadilan sosial, yang kesemuanya merupakan nilai-nilai
dasar ajaran agama.
Dengan berbagai faktor tadi, Wasatiyyat Islam Indo-
nesia bukan tidak menghadapi tantangan baik dari sudut
politik domestik dan transnasional; ketegangan, benturan
dan kontestasi bukan tidak terjadi di lingkungan intra-
Islam, antar agama dan juga dengan pemerintah. Tetapi
dengan karakter Wasatiyyat Islam yang telah mapan di
Indonesia beserta budaya yang telah embedded dalam
Islam, sintes-sintes merupakan ‘jalan tengah’ baru yang
juga selalu dapat ditemukan. Mempertimbangkan semua
ini, orang boleh optimis dengan masa depan Wasatiyyat
Islam sebagai berkembang dan terus terkonsolidasi di
Indonesia.

VI. PENUTUP
Sangat jelas Wasatiyat Islam adalah ajaran Islam yang
sentral namun dalam banyak hal masih bersifat potensial,
belum aktual dalam kehidupan umat Islam baik dalam
aspek ibadat maupun muamalat, baik pada skala lokal
maupun pada skala nasional dan global. Wasatiyyat

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


259
Islam mengandung dimensi keluasan, keluhuran dan
keindahan. Ajaran ini membawa kedamaian, keteraturan
dan keharmonian.
Oleh karena itu, adalah tanggung jawab keagamaan
umat Islam di seluruh dunia untuk mengamalkan Sepuluh
Prinsip Wasatiyyat Islam dalam kehidupan nyata, terutama
untuk mengeliminasi bahkan meniadakan perilaku yang
menyimpang dari sebagian kecil Muslim yang menampilkan
kekerasan bahkan dalam bentuk yang ekstrem seperti
kekerasan semacam pembunuhan manusia tak berdosa dan
berbagai bentuk perbuatan merusak lainnya.
Begitu pula Wasatiyyat Islam dapat diajukan untuk
menjadi solusi bagi peradaban manusia yang mengalami
berbagai bentuk krisis (sejak krisis pangan, krisis energi,
sampai kepada krisis lingkungan hidup). Berbagai krisis tadi
jelas berpangkal pada sistem dunia yang keliru, yang
berwajah antroposentrik dan jauh dari spiritualitas, etika
dan moral. Oleh karena itu, kini saatnya umat Islam bangkit
memperbaiki diri, mengamalkan ajaran Islam yang sejati
sehingga Islam dapat menjadi penyelesai masalah
peradaban (problem solver), bukan sebagai bagian dari
masalah, dan apalagi pencipta masalah peradaban dunia.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


7
ISLAM INDONESIA
SEBAGAI POROS
WASATHIYYAH ISLAM
DUNIA
Oleh: M. Amin Nurin

Indonesia adalah sebuah negara yang unik dengan


masyarakat multikultural, terdiri dari 300 etnis dan berdiam di
17.508 pulau, masing-masing memiliki budaya mereka sendiri
dan menerima 6 agama besar dunia sebagai agama resmi
pemerintah. Yaitu Islam, Protestan,
Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Indonesia adalah negara dengan berpenduduk
muslim terbesar di dunia. Total jumlah penduduk adalah
260 juta: 87.18% adalah Muslim; 6.96% Protestan; 2.91%
Katholik; 1.69% Hindu; 0.72% Buddha; 0.05% Konghucu;
dan 0.13 animis atau kepercayaan. Meski kaum muslim
adalah penduduk mayoritas, namun Indonesia bukan
negara Islam dan tidak pula negara sekular.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


261
Kaum Muslim Indonesia terdiri dari 3 karakter, yaitu
karakter Islam Indonesia adalah moderat, inklusif, dan
toleran. 2. Islam di Indonesia sangat kompatibel dengan
ke-modernan, demokrasi, dan fenomena lain dari dunia
kontemporer. 3. Islam tetap toleran dan inklusif sebagai
karakter mainstream Islam di Indonesia, meski akhir-
akhir ini ada indikasi kemunduran akibat perkembangan
modernisasi dan globalisasi. (Azra, 2005: 2).
Akhir-akhir ini, isu tentang wasathiyah (moderatisme)
Islam kerap terdengar sejak berbagai peristiwa kekerasan
maupun terorisme yang dituduhkan kepada umat Islam.
Konflik sosial keagamaan yang disertai kekerasan mening-
kat sejak Pasca Soeharto –Era Reformasi. Konflik bernuansa
agama tidak hanya antar agama (Islam vs Kristen), tetapi
juga intra agama, seperti kalangan Sunni vs Syi’ah di
Lombok Timur; suku/etnis, seperti kalangan Sunni vs
Syi’ah di Lombok Timur; dan konflik kelompok sosial dan
suku/etnis, seperti penduduk pribumi dengan pendatang
Bali di Lampung. Konflik dan kekerasan banyak terkait
dengan perebutan dan kesenjangan penguasaan sumber
ekonomi dan politik.

WASATHIYAH: TAWAZZUN DAN I’TIDAL


Istilah wasathiyah tidak terlepaskan dari dua kata yang
mengikatnya, yaitu berimbang (tawazun/balance) dan
keadilan (i’tidal/justice). Moderat bukan berarti kita
kompromi dengan prinsip-prinsip pokok (ushuliyah) ajaran
agama yang kita yakini demi bersikap toleran kepada agama
lain. Moderate berarti confidence, right balancing and justice.
Tanpa keduanya seruan moderasi beragama

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


tidak akan efektif. Keduanya harus mendekat dan mencari
titik temu dan masing-masing pihak tidak boleh ekstrem.
Karakter Islam Indonesia adalah Wasathiyah. Tradisi
mainstream Muslim Indonesia adalah karakter wasathiyah
dengan menekankan tawazun dan i’tidal seperti yang
dicerminkan oleh Muhammadiyah dan NU. Umat Islam
Indonesia adalah umatan washatan yg memberikan cukup
ruang bagi saling respek, toleransi, kompromi, dan
akomodasi. Tradisi wasathiyah telah berkembang berkat
pemahaman berimbang (balance) terhadap sumber-sumber
Islam (al-Qur’an, Hadis, dan qaul ulama). Pemaham- an dan
praktik Islam wasathiyah diperkuat dengan kon-
tekstualisasi dan akomodasi tradisi sosial budaya lokal yang
pada dasarnya tidak bertentangan dengan akidah dan
ajaran pokok ajaran Islam.
Tradisi wasathiyah Indonesia kaya dengan berbagai
tradisi sosial budaya keagamaan lokal yang pada giliran-
nya tidak hanya memperkuat ibadah keagamaan tetapi
sekaligus juga memperkuat tali silaturahim dan kohesi
umat-bangsa. Pertemuan wasathiyah Islam dengan tradisi
lokal Indonesia kemudian menjadi ijtihad para ulama
dengan istilah Islam Nusantara. Sementara Muhammadiyah
menggunakan istilah Islam yang ber- kemajuan. Pandangan
hidup masyarakat Indonesia ini kemudian menjadi inspirasi
para intelektual/ulama (a.l. Bassam Tibi dan Tariq
Ramadhan) yang hidup di Eropa agar kaum muslim Eropa
bisa hidup berdampingan dengan masyarakat Eropa
berkulit putih dengan damai tanpa ada kecurigaan dan
diskriminatif dengan melakukan ijtihad: Islam Nusantara
Eropa (Euro-Islam Norms). Dengan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


263
demikian, Islam Wasathiyah Indonesia menjadi contoh
teladan- bagi dunia internasional. Karena itu tradisi ini
perlu disosialisasikan ke segala penjuru dunia.

PANCASILA DAN BHINNEKA TUNGGAL IKA


Faktor pemersatu yang merukunkan bangsa
Indonesia yang sangat beragam adalah Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila adalah jalan
tengah (wasathiyah) yang diambil oleh pemimpin
Indonesia beserta rakyat Indonesia sebagai ijtihad untuk
mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk ke
dalam suatu kesatuan NKRI. Salah satu sumbangan
wasathiyah Islam Indonesia- terhadap bangsa Indonesia
adalah mencari kompabilitas Islam dan demokrasi.

PENDEKATAN ISLAM WASATHIYAH


Kemunculan kelompok moderat bukan untuk meng-
ajak berpaling dari perjuangan kelompok umat yang
terzalimi karena tidak ada balance dan justice, melainkan
menolak penggunaan jalan pintas dalam proses perla-
wanan dan pembebasan. Menurut Syafii Maarif, jalan pintas
yang digunakan kelompok Islam radikal itu sebagai harakiri.
Sejarah peradaban manusia menceritakan bahwa
radikalisme dalam bentuk teror berujung dengan ke-
gagalan karena berpijak pada kebencian dan fanatisme (self
defeating). Pendekatan Islam moderat menawarkan wacana
pembebasan yang mencerahkan dalam bentuk elegan,
sistematis, dan evolutif. Pendekatan dialog, khususnya
“dialog emansipatoris” secara terbuka dan pemahaman
timbal balik dengan penuh kejujuran, iktikad

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


baik dan siap mengubah persepsi yang keliru. (Nurdin
dan Ropi, 2011:20.)
Islam moderat merupakan usaha membangun
peradaban dunia dan sekaligus penyelamatan terhadap
kondisi dunia saat ini. Namun tak dapat dipungkiri,
banyak kritikan terhadap kaum moderat yang dianggap
kurang tegas dalam menyikapi aksi-aksi kekerasan yang
dilakukan kelompok garis keras. Sering kali ormas-ormas
arus utama ini dianggap ambigu dan membiarkan
kekerasan terjadi.

KOMPATIBILITAS ISLAM DAN DEMOKRASI:


TITIK TEMU ISLAM WASATHIYAH
Istilah demokrasi, menjadi perdebatan di kalangan
ulama Islam: Apakah Islam itu kompatibel (cocok) dengan
demokrasi. Bagi Abul Ála al-Maududi, Islam itu tidak
kompatibel dengan demokrasi karena sudah ada hukum
Islam yang mengatur segala kehidupan umat Islam. Begitu
pula Sayyid Qutub, diperlukan negara Islam/khilafah yang
berdasarkan hukum al-Qur’án yang mengatur dengan
prinsip syura yang disebut dengan hukum syari’at.
Sementara ulama/intelektual Islam lain memandang Islam
kompatibel dengan demokrasi. Demokrasi di negara-negara
Barat secara historis mengambil bentuk sekularisme sebagai
ideologi, sedangkan negara Islam mengambil agama sebagai
landasan hukum. Ada perbedaan mendasar antara
sekularisme dan negara Islam. Negara Islam meyakini ada
hubungan vertikal antara Tuhan dengan manusia yang
disebut dengan kedaulatan Tuhan, sedangkan sekularisme
berdasarkan hubungan horizontal antara manusia

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


265
dengan manusia (kedaulatan rakyat). Dari perbedaan ini
muncul dan berkembang interpretasi di kalangan ulama/
pemikir tentang politik keagamaan di dalam membangun
demokrasi dengan menggunakan konsep syura, ijma, dan
ijtihad. Proses demokrasi yang sedang berlangsung di
Indonesia, bisa dijadikan sebuah model pembangunan
kerangka politik agama di antara pergumulan
kompabilitas demokrasi dan Islam di dunia Islam.
Indonesia dianggap sebagai negara yang menerapkan
demokrasi terbaik ketiga di dunia setelah US dan India.

HUBUNGAN ISLA]M DENGAN DEMOKRASI:


TIGA PEMIKIRAN
Secara umum ada tiga kelompok pemikiran yang ber-
beda tentang hubungan Islam dan demokrasi (M. Amin
Nurdin, dkk., 2014:15):
Kelompok yang menolak adanya hubungan antara
Islam dan demokrasi. Alasan penolakan:
Prinsip persamaan (kelas, ras, dan gender) tidak
mungkin diterapkan dalam Islam.
Islam merupakan pedoman hidup. Karena itu,
muslim tidak memerlukan legislasi lain. Tugas
manusia hanya melaksanakan hukum Tuhan di
muka bumi, bukan menciptakan hukum baru.
Kedaulatan Tuhan di muka bumi berlaku baik
melalui sunnatullah maupun wahyu.
Syura tidak otomatis membawa pada demokrasi.
Prinsip mayoritas tidak otomatis selalu benar
dan adil secara moral.
Demokrasi, sebenarnya hanya sebagai alat Barat

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


semata untuk mendiskreditkan Islam.
Tokoh: Syakh Fadlallah Nuri, Sayyid Qutub, al
Sya’rawi, Ali Benhadj dan Thabathabai.
Kelompok yang menyetujui bahwa ada kemiripan dan
perbedaan antara sistem syura dalam Islam dan
demokrasi. Alasannya:
Keduanya memiliki kesamaan dalam prinsip-
prinsipnya seperti keadilan, musyawarah, dan
akuntabilitas penguasa.
Keduanya memiliki perbedaan, seperti konsep
kedaulatan rakyat.
Jika pada sistem demokrasi yang ada sekarang ini
kedaulatan rakyat bersifat mutlak, sementara dalam
Islam kedaulatan mereka dibatasi oleh kedaulatan
Tuhan atau syari’ah. Islam berada antara teokrasi
dan demokrasi. Karena, parlemen memiliki ruang
untuk membuat legislasi sepanjang tidak diatur oleh
syari’ah.
Tokoh: Abu A’la al-Maududi dan Moh. Natsir
Kelompok yang berpendapat bahwa Islam dan demo-
krasi dapat dipadukan. Alasannya:
Keduanya sama baik dalam prinsip maupun
prosedur kenegaraan.
Sistem demokrasi pertama dicanangkan oleh Islam.
Argumentasinya: “Islam menghendaki
pemerintahan yang disetujui rakyatnya, penolak-
an kediktatoran, pemilu sebagai kesak-sian rakyat,
menjunjung tinggi keadilan dan toleransi,-
keyakinan bahwa imamah merupakan kontrak
sosial. Karena itu, demokrasi berarti mengembali--

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


267
kan sistem sebagaimana yang dipraktikkan Nabi.

TITIK TEMU PEMIKIRAN


Jawaban kelompok ketiga terhadap kritik dari dua
kelompok sebelumnya adalah:
Demokrasi tidak berarti menolak kedaulatan Tuhan
Mayoritas tidak identik dengan kesesatan
Legislasi tidak berarti menentang hukum Tuhan
Sistem multipartai dalam demokrasi menghindari
kezhaliman
Meminta kekuasaan itu dilarang, tetapi mengajukan
diri sebagai kandidat dibolehkan sebagaimana Nabi
Yusuf dan Sulaiman.
Hukum-hukum tertentu seperti hudud atau qishash
bukanlah ajaran murni Islam dan tidak berlaku se-
panjang masa. Itu hanya sebagai ajaran subsider
dan transisional belaka. Karena ajaran itu hanya
merupakan akomodasi Islam terhadap ajaran ajaran
sebelumnya.
Tokoh: Fahmi Huwaidi, Mahmoud Muhammed
Abdullah An-Naim, Mohammad Arkoun, dan lain-lain.

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA


Ada tiga macam hubungan agama dan negara dan
masing-masing memiliki alasan sendiri-sendiri seperti
terlihat berikut ini.
Paradigma Integralistik: Agama dan negara tidak
dapat dipisahkan. Alasannya: Islam tidak mengenal
pemisahan agama dan negara (Islam din wa daulah).
Pada konsep ini kehidupan bernegara diatur dengan

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


menggunakan hukum agama. Contoh: Iran, Arab
Saudi, Pakistan dan lain-lain.
Paradigma Simbiotik: Hubungan agama dan negara
saling membutuhkan dan timbal balik. Dalam
konteks ini, agama membutuhkan negara dalam
rangka mengembangkan dan melestari- kan nilai-
nilai agama, sementara negara membutuhkan agama
karena agama dapat menjadi penjaga moral dan
spiritual warga negara. Contoh: Indonesia, Malaysia,
dan lain-lain.
Paradigma Sekularistik: Ada pemisahan antara agama
dan negara. Menurut paradigma ini, agama dan negara
memiliki garapan masing-masing sehingga
keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh
intervensi. Hukum negara didasarkan pada hukum
positif dan konsensus. Contoh: Turki.
Dengan penjelasan di atas terlihat Indonesia memilih
bentuk nomor 2, yaitu Paradigma Simbiotik, di mana
agama dan negara saling membutuhkan secara timbal
balik.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


269
8
TAFSIR ATAS ISLAM
NUSANTARA: (DARI
ISLAMISASI NUSANTARA
HINGGA METODOLOGI
ISLAM NUSANTARA)
Oleh: Abdul Moqsith Ghazali

PENDAHULUAN

S ejak dicanangkan menjadi tema muktamar NU ke-33


di Jombang Jawa Timur pada 1-5 Agustus 2015, Islam
Nusantara sebagai sebuah ide atau gagasan terus menjadi
percakapan publik. Percakapan tentangnya
begitu riuh. Ada yang menyorot dari sudut linguistik.
Tetapi, tak sedikit juga yang mempertanyakannya secara
epistemologis dan metodologis. Intinya, gagasan Islam
Nusantara menimbulkan sikap pro dan kontra. Sejumlah
buku dan artikel pun ditulis untuk menjelaskan gagasan
Islam Nusantara tersebut. Namun, yang menarik, hingga

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


artikel ini ditulis Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU)
sebagai penyelenggara muktamar tak mengeluarkan satu
buku apa pun tentang Islam Nusantara
Dengan ini, NU seakan ingin menyerahkan definisi dan
batasan termasuk metodologi Islam Nusantara ini ke publik
akademik. Dari sinilah, cikal bakal kesalah-pahaman
mengenai Islam Nusantara bermula. Sejumlah prasangka
terus dilemparkan terutama terhadap Ketum PBNU, KH Said
Agil Siradj. Kiai Said dituduh hendak men- ciptakan agama
baru dengan ide Islam Nusantaranya. Bagi penentang Islam
Nusantara jelas bahwa Islam tak perlu dinusantarakan.
Justru Nusantaralah yang harus diislamkan. Sebab,
sekiranya Islam (al-Qur’an) merupakan wahyu yang bersifat
sakral dan universal, maka budaya Nusantara adalah
produk manusia yang profan dan parti- kular. Argumen
mereka jelas, tak mungkin yang sakral dan yang universal
ditundukkan pada sesuatu yang pro- fan dan yang
partikular. Justru yang harus dilakukan ada- lah
sebaliknya; mengislamkan Nusantara. Sampai di sini, apa
yang dikemukakan pihak kontra itu tentu tak salah jika
dilihat dari sudut pandang agama Islam. Hanya perta-
nyaannya, bagaimana proses pengislaman Nusantara itu?
KH Said Aqil Siradj menegaskan bahwa Islam Nusan-
tara bukanlah sekte atau aliran baru dan tidak dimak-
sudkan untuk mengubah doktrin Islam. Menurutnya, Islam
Nusantara adalah pemikiran yang berlandaskan pada
sejarah Islam yang masuk ke Indonesia tidak melalui
peperangan, tetapi melalui kompromi terhadap budaya
(Sahal, 2015:15). Zainul Milal Bizawie menegaskan bahwa
Islam Nusantara adalah Islam yang khas Indonesia, ga-

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


271
bungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal,
budaya, dan adat istiadat di tanah air. Bagi Bizawie, Islam
Nusantara arif menyinergikan ajaran Islam dengan adat
istiadat lokal di Nusantara (Bizawie, 2016:3). Ini selaras
dengan cara berpikir NU yang mendorong munculnya
ekspresi keberislaman yang toleran, damai, dan akomodatif
terhadap budaya Nusantara (Sahal, 2015:15). Selanjutnya,
bagaimana definisi, sejarah Islamisasi Nusantara, dan
metodologi Islam Nusantara, artikel ini coba membantu
menjelaskannya sehingga sejumlah kesalahpahaman peri-
hal gagasan Islam Nusantara itu bisa diminimalkan.

PENGERTIAN DASAR ISLAM NUSANTARA


Menarik, sebagian kiai membahas Islam Nusantara
dengan mengurai frasa “Islam Nusantara” itu dari sudut
gramatika bahasa Arab. Dalam sebuah forum diskusi di
arena muktamar NU di Jombang, Kiai Afifuddin Muhajir
menjelaskan bahwa “Islam Nusantara” itu tarkib idhafi.
Karena itu, Islam Nusantara memiliki tiga kemungkinan
makna. Pertama, Islam Nusantara bermaka Islam yang
dipahami dan dipratikkan kemudian menginternalisasi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Inilah pengertian
Islam Nusantara dengan memperkirakan adanya huruf jar
“fi” pada frasa Islam Nusantara (Islam fi Nusantara).
Kedua, dengan memperkirakan huruf jar “ba`” di
antara kata Islam dan Nusantara, Islam bi Nusantara.
Dengan ini, maka Islam Nusantara menunjuk pada
konteks geografis, yaitu Islam yang berada di kawasan
Nusantara. Lalu, apa yang dimaksud Nusantara itu?
Nusantara bisa merujuk pada wilayah Indonesia modern

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


sekarang, yaitu negara dengan gugusan pulau-pulau besar
dan kecil yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia modern ini merupakan kelanjutan dari wilayah
kekuasaan penjajahan Belanda, dikenal sebagai “Hindia
Belanda” atau Hindia Timur Belanda (Dutch East Indies).
Walau begitu cukup jelas bahwa Indonesia bukan hasil
bentukan Belanda atau pemerintah penjajah. Indonesia
adalah hasil perjuangan melawan penjajahan itu (Madjid,
2004:9). Nusantara yang lebih besar dari Indonesia modern
sekarang, mencakup Semenanjung Melayu, Kalimatan
bagian Utara, Mindanao, Thailand bagian selatan, hingga
Formusa dan Madagaskar.
Dua makna Islam Nusantara di atas jelas menunjuk
pada pengertian Islam Nusantara yang bersifat antropologis
dan sosiologis (Yusqi, 2015:5). Karena itu, jenis keislaman
yang tumbuh dan berkembang di Nusantara bisa berbeda
dengan jenis keislaman yang tumbuh dan berkembang di
Timur Tengah. Dua makna Islam Nusantara di atas
meniscayakan kehadiran Islam terus menerus yang
berdialektika dengan kebudayaan masyarakat Nusantara.
Dalam proses dialektika itu tak jarang Islam Nusantara
berhasil menciptakan simbol-simbol keislaman baru yang
tak ada di kawasan Timur Tengah. Contoh yang bisa
ditunjuk dengan mudah adalah fenomena kebiasaan para
santri Nusantara mengenakan sarung. Padahal jelas, selain
untuk kepentingan menurut aurat, sarung itu tak pernah
diteladankan Nabi Muhammad saw dan tak menunjuk
secara langsung pada ajaran universal Islam. Namun,
sebagaimana diketahui, sarung secara kultural telah
menjadi simbol keislaman di tanah air. Hingga sekarang,

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


273
tradisi mengenakan sarung itu terus dilestarikan oleh
kalangan santri dan kaum nahdhiyyin. Bahkan, NU
sering disebut sebagai organisasi kaum sarungan.
Ketiga, pengertian Islam Nusantara dengan mem-
perkirakan huruf jar “lam” yang mengantarai kata “Islam”
dan “Nusantara”. Dengan ini, maka “Islam” tampak sebagai
subjek, sementara “Nusantara” adalah objek. Dengan
demikian, Islam Nusantara adalah pengejawantahan ajar-
an Islam kepada masyarakat Nusantara. Dahulu misal- nya
para Wali Songo mendakwahkan ajaran Islam yang ramah
dan santun kepada masyarakat Jawa. Nilai-nilai toleransi
dan kemanusiaan yang bercorak sufistik itulah yang
membentuk corak keislaman yang berkembang di tanah air.

Namun, yang penting diperhatikan dari pengertian


Islam Nusantara yang ketiga adalah kenyataan bahwa
tingkat penerimaan masyarakat Nusantara terhadap Islam
tidaklah- sama. Ada yang menerima ajaran Islam secara
“kaffah” dan ada yang menerimanya secara “setengah-
setengah”. Di sebagian masyarakat Islam Nusantara, ada
keengganan- untuk menerima Islam secara “kaffah”, jika
ajaran Islam itu memberangus tradisi masyarakat yang
sudah berjalan ratusan tahun. Salah satu peristiwa yang
paling representatif menggambarkan itu adalah pecahnya
Perang Padri (1822-1823) di Sumatra Barat yang kemu- dian
melahirkan satu tagline, “adat basandi syara`, syara`
basandi kitabullah” (adat bersendikan syara` dan syara`
bersendikan al-Qur’an).
Perbedaan tingkat dan dosis penerimaan penduduk
Nusantara terhadap ajaran Islam itu menyebabkan Islam

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Nusantara pun tidak tunggal. Begitu juga sebaliknya;
penerimaan Islam terhadap keragaman budaya yang
tersebar di Nusantara tidaklah sama. Azyumardi Azra
menjelaskan, tingkat penerimaan Islam pada satu bagian
atau bagian yang lainnya tergantung tidak hanya pada
waktu pengenalannya, melainkan juga pada watak
budaya lokal yang dihadapi Islam itu (Azra, 2002:17-18).
Dari situ lahirlah ekspresi keberislaman yang plural. Ada
Islam Jawa, Islam Sasak, Islam Minang, Islam Bugis yang
menunjukkan kebhinekaan Islam Nusantara.
Perkembangan Islam di Nusantara pun berbeda. Taufik
Abdullah mencatat sekurangnya ada empat macam
model pertumbuhan dan perkembangan Islam di
Indonesia, yaitu model Aceh, model Minang, model Goa,
dan model Jawa (Abdullah, 1987:32).
Jika demikian, maka pertanyaan berikutnya adalah;
apakah yang terjadi di Nusantara itu islamisasi Nusantara
atau Nusantaraisasi Islam? Ini jelas memiliki makna yang
berbeda. Sekiranya Islamisasi Nusantara bermakna
mengislamankan Nusantara, maka nusantaraisasi Islam
bermakna menusantarakan Islam; bahwa Islam perlu
menyesuaikan diri dengan kenyataan-kenyataan sosial dan
religius di Nusantara. Artinya, Nusantara bukanlah satu
entitas yang harus ditaklukkan untuk diselaraskan dengan
ajaran Islam melainkan Islamlah yang perlu menyelaraskan
diri dengan kehidupan Nusantara. Jika ditelusuri,
semuanya ini terkait dengan pola-pola dakwah pada periode
awal Islam di Nusantara.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


275
ISLAMISASI NUSANTARA
Islam masuk ke Nusantara tak menghancurkan seluruh
kebudayaan masyarakat. Wali Songo mendakwahkan Islam
bahkan dengan menggunakan strategi kebudayaan. Dalam
beberapa kasus, Islam justru mengakomodasi budaya yang
sedang berjalan di masyarakat Nusantara. Tradisi sesajen
yang sudah berlangsung lama dibiarkan berjalan untuk
selanjutnya diberi makna baru. Sesajen di- maknai sebagai
bentuk kepedulian kepada sesama bukan sebagai
pemberian terhadap dewa. Begitu juga tradisi nadran
dengan mengalirkan satu kerbau ke pantai Jawa tak
dihancurkan, melainkan diubahnya hanya dengan
membuang kepala kerbau atau kepala sapi ke laut. Nadran
tak lagi dimaknai sebagai persembahan pada dewa, me-
lainkan sebagai wujud syukur kepada Allah. Hasil bumi
yang terhidang dalam upacara tak ikut dilarungkan ke laut,
tetapi dibagi ke penduduk.
Dalam menyampaikan ajaran Islam Wali Songo
meng- gunakan cara-cara persuasif bukan konfrontatif.
Anasir-anasir Arab yang tak menjadi bagian dari ajaran
Islam tak dipaksakan untuk diterapkan. Sunan Kudus
membangun masjid dengan menara menyerupai candi
atau pura. Me- modifikasi konsep “Meru” Hindu-Budha,
Sunan Kalijogo membangun ranggon atau atap masjid
dengan tiga susun yang menurut Abdurrahman Wahid
untuk melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang
muslim, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Ini kearifan dan
cara ulama dalam me- manifeskan Islam sehingga umat
Islam tetap bisa ber-Islam tanpa tercerabut dari akar
tradisi mereka sendiri (Wahid, 2001:118).

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Para Wali tak ragu meminjam perangkat-perangkat
budaya sebagai perangkat dakwah. Sunan Kalijogo
menggunakan- Wayang Kulit sebagai media dakwah. Ia
memasukkan kalimat syahadat dalam dunia
pewayangan. Doa-doa, mantra-mantra, jampi-jampi yang
biasanya berbahasa Jawa ditutupnya dengan bacaan dua
kalimat syahadat. Dengan cara ini, kalimah syahadat
menjelma di hampir semua mantra yang populer di
masyarakat-. Alih-alih mengharamkan wayang dan
gamelan, para wali justru menggunakan keduanya
sebagai sarana dakwah Islam. Gamelan yang dipadukan
dengan unsur-unsur upacara Islam populer telah
melahirkan tradisi Sekatenan di pusat-pusat kekuasaan
Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta, dan Solo.
Yang paling spektakuler dari dialektika antara Islam
dan budaya lokal itu adalah upacara peringatan untuk
orang-orang yang sudah meninggal dunia. Upacara itu
dikenal dengan istilah Tahlilan, (hari pertama sampai hari
ketujuh dari kematian, lalu diperingati lagi pada hari ke 40,
100, 1000 hari). Upacara seperti sulit ditemukan contohnya
pada zaman Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, menurut
Nurcholish Madjid, itu adalah cara yang paling efektif untuk
menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan suasana
keharuan yang membuat orang menjadi senti- mentil (penuh
perasaan) dan sugestif -gampang menerima paham atau
pengajaran (Madjid, 1995: 551). Namun, bagi kalangan
Islam tradisional seperti kaum nahdhiyyin, lebih dari
sekadar pendidikan tauhid, tahlilan juga berfungsi untuk
menghadiahkan pahala (ihda` al-tswab) untuk orang yang
sudah meninggal dunia.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


277
Lepas dari itu, cara dakwah yang ditempuh para
ulama Nusantara ternyata efektif dalam mengubah
masyarakat-. Dalam berdakwah, para ulama Nusantara
sempurna mengamalkan firman Allah, ud`u ila sabili
rabbika bil hikmah wal maw`idhatil hasanah wa jadilhum
billati hiya ahsan. Jika dakwah dengan jalan hikmah dan
mau`idhah hasanah tak menghasilkan perubahan, maka
jalan dialog yang dilakukan, bukan pentungan dan
pedang yang dihunjamkan.
Dengan cara dan strategi dakwah yang demikian,
Islam dianut banyak orang. Islam memang masuk ke
Indonesia sejak abad ke-13, tetapi kenyataannya Islam
betul-betul dipilih warga Nusantara secara luas baru
pada periode Wali Songo. Ini berkah dari dakwah penuh
perdamaian- para ulama. Jawa bisa diislamkan tanpa
pertumpahan darah. Begitu juga dengan dakwah damai
yang dilakukan para ulama Nusantara lain di Sumatra
bagian utara, Kalimantan, Maluku, dan lain-lain bahkan
hingga ke Malaka.
Cara-cara persuasif para ulama Nusantara dalam
menyiarkan Islam tersebut, menjadi “trademark” Islam
Nusantara, yaitu Islam yang sanggup berdialektika dengan
kebudayaan masyarakat. Ajaran-ajaran Islam bisa diserap
masyarakat tanpa menumbangkan basis-basis tradisi
masyarakat. Hubungan Islam dan kebudayaan Nusantara
adalah ‘alaqah jadaliyah (hubungan dialektik) bukan
‘alaqah ikhdha’ (hubungan penundukan-subordinatif) oleh
satu pihak pada pihak lain. Islam Nusantara sekali lagi lebih
mendahulukan cara-cara persuasi daripada konfrontasi,
lebih mengutamakan jalan damai ketimbang

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


jalan perang walau dalam beberapa kasus perang tak
terhindarkan terutama sejak kaum penjajah merampas
kedaulatan Nusantara.
Dengan menggunakan cara bil hikmah wal mau`idah
al-hasanah wal mujadalah bil husna, para ulama berhasil
mengislamkan Nusantara. Dengan dakwah seperti ini,
penduduk Nusantara--meminjam bahasa al-Qur’an--
yadkhuluna fi dini Allah afwaja (mereka berbondong-
bondong masuk Islam). Mungkin benar, Islam masuk ke
Nusantara sejak abad ke-13 M. Namun, yang memeluk
Islam saat itu diperkirakan hanya para pedagang dari
luar. Sementara penduduk asli Nusantara masih
memeluk agama-agama lama. Berbagai sumber
menyatakan bahwa pemelukan Islam secara masif dari
orang-orang Nusantara baru terjadi dua abad berikutnya,
yaitu pada era Wali Songo.
Keberhasilan dakwah Wali Songo itu mencengangkan
dan menjadi renungan para kiai NU dalam kurun waktu
lama. Tak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya; apa
yang istimewa dari dakwah para wali itu sehingga banyak
orang melepas agama lamanya dan berpindah ke agama
baru, Islam. Setelah mempelajari sejarah, para pengusung
Islam Nusantara berkesimpulan bahwa dakwah para wali itu
mengikuti pola dakwah Nabi Muhammad; Islam disebarkan
dengan penuh rahmat dan kasih sayang. Para wali lebih
mendahulukan cara dialog ketimbang konfrontasi.
Masyarakat kerap dibiarkan menjalankan tradisi leluhurnya
sambil sedikit demi sedikit ajaran tauhid diinjeksikan ke
dalamnya. Memberantas kemungkaran pun tak dilakukan
dengan cara-cara mungkar (al-nahyu

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


279
`an al-munkar bi ghair al-munkar).
Mengikuti pola turunnya wahyu yang tak sekaligus,
para sufi Nusantara tak memaksa orang-orang yang baru
masuk Islam untuk langsung melaksanakan syari’at
secara penuh. Syari’at Islam dijalankan setahap demi
setahap mengikuti tingkat kesiapan masyarakat.
Sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad, Islam
didakwahkan para wali itu secara bertahap (al-tadrij fi al-
tasyri`), tak mem- beratkan (`adam al-haraj), dan tak
banyak beban (taqlil al-takalif). Cara-cara ekstrem
(tatharruf) dalam penyelesaian masalah dijauhi para wali.
Menurut KH Said Aqil Siroj, dalam menyebarkan Islam,
para sufi Nusantara berdiri di atas prinsip toleransi
(tasamuh) dan moderatisme (tawassuth). Dengan prinsip
toleransi, Sunan Kudus per- nah melarang umat Islam
menyembelih sapi khusus daerah Kudus Jawa Tengah
sebagai bentuk penghormatan terhadap orang-orang
Hindu yang memercayai kesucian binatang tersebut.
Itulah kesimpulan para kiai ketika membaca metode
dakwah dan melihat ekspresi keberislaman yang dite-
ladankan para wali di Nusantara dulu. Menurut saya, jika
itu yang menjadi narasi utama Islam Nusantara, maka pro-
kontra di atas tak diperlukan. Sebab, baik yang pro maupun
yang kontra sesungguhnya tak sedang mempertentangkan
sesuatu. Mereka hanya membicarakan sesuatu dari ranah
berbeda. Sekiranya kelompok kontra Islam Nusantara
berbicara pada tataran normatif-ideal, maka para
pengusung Islam Nusantara itu berbicara pada tataran riil-
empirikal. Tentu, sesuatu yang ideal itu tak boleh dibiarkan-
-meminjam bahasa Kiai Afifuddin

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Muhajir--“hanya menggantung di langit”. Sesuatu yang
ideal itu harus dibawa ke ruang yang lebih realistis.
Dalam konteks itu, para wali tak ragu untuk
“menusantarakan” hal-hal tertentu dalam Islam.
Disebut “hal-hal tertentu”, sebab tak semua hal dalam
Islam bisa dinusantarakan. Sebagaimana diketahui, Islam
memiliki dua jenis ajaran. Pertama, adalah ajaran yang
tetap-tak berubah (al-tsawabit). Akidah adalah salah satu
hal dari al-tsawabit tersebut. Umat Islam di mana pun
misalnya harus meyakini tentang keesaan Allah SWT,
kenabian Muhammad saw, dan kewahyuan al-Qur’an al-
Karim. Tak bisa dengan alasan budaya, umat Islam
Nusantara menolak ajaran tauhid-monoteisme. Di mana
pun berada, syahadat umat Islam adalah sama, asyhadu an
la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan
Rasulullah. Dengan ini jelas, tak ada akidah Islam Nusan-
tara yang distingtif dengan akidah umat Islam lain.
Contoh lain adalah soal shalat. Dalam pokok soal ini,
Islam Nusantara tak masuk pada syarat dan rukun shalat.
Tak bisa dengan alasan budaya, bacaan shalat diganti
dengan tembang Nusantara. Terkait shalat, yang bisa
dinusantarakan adalah soal tempat pelaksanaan shalat dan
pakaian penutup aurat dalam shalat. Apakah umat Islam
misalnya boleh membangun masjid dengan desain dan
arsitektur gereja atau pura. Begitu juga, soal bentuk
mukena dan pakaian yang menjadi penutup aurat seorang
muslim dalam shalat. Dalam dua perkara itu, Islam bisa
berdialektika dengan kebudayaan. Di Jawa dan Madura
misalnya laki-laki muslim biasanya mengenakan sarung
ketika shalat. Sunan Kudus membangun masjid

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


281
menyerupai bentuk pura di Bali.
Kedua, adalah ajaran yang tidak tetap dan berubah (al-
mutaghayyirat). Jenis ajaran kedua ini sebagian besar
berada pada domain mu`amalah, siyasah (politik), dan `urf-
ijtima`i (sosial-budaya). Pada bidang ini, Islam
sesungguhnya lebih banyak bicara mengenai prinsip-prinsip
etis-moral seperti tahqiq al-`adalah (mewujudkan keadilan),
syura baynahum (musyawarah), ishlah dzati al-bayn
(perdamaian), mu`asyarah bi al-ma`ruf (pergaulan yang
baik), wujud al-taradhi (adanya kerelaan), izalah al-dharar
(menghilangkan kemudaratan), `adam al-ikrah (tak ada
pemaksaan), dan `adam al-gharar (tak ada penipuan).
Intinya, seluruh hal terkait relasi antar manusia, mulai dari
lingkungan keluarga, masyarakat hingga negara harus
didasarkan pada prinsip menarik maslahat (jalbu al-
mashlahah) dan menolak mafsadat (dar’u al-mafsadah).
Prinsip-prinsip itulah yang menjadi acuan etis para
pengusung Islam Nusantara dalam merespons problem-
problem sosial-ekonomi dan politik di masyarakat. Misal-
nya, ketika baru merdeka, Indonesia terjebak dalam dua
pilihan sulit; menjadikannya sebagai negara Islam atau
sebagai negara sekular. Jika yang satu memaksakan negara
Islam, maka yang lain memaksakan negara sekular. Tarik
menarik di antara keduanya cukup keras hingga ditemukan
satu traktat politik, Pancasila. Dengan Pancasila, Indonesia
bisa selamat dari ancaman perpecahan dan peperangan
sesama anak bangsa. Mengacu pada kaidah fikih, menolak
terjadinya kemafsadatan harus didahulukan daripada
menarik kemaslahatan (dar’u al-mafasid muqaddam `ala
jalbi al-mashalih), NU menerima Pancasila.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Begitu juga ketika sebagian umat Islam Indonesia
gamang apakah akan menerima konsep Hak Asasi Manusia
atau menolaknya. Para kiai berkumpul dan bersepakat
bahwa ada sub bahasan di dalam kitab kuning yang bisa
menjadi rujukan hak asasi manusia dalam Islam yang
disebut dengan al-kulliyat al-khams (lima pokok ajaran),
yaitu memelihara jiwa (hifzh al-nafs), memelihara agama
(hifzh al-din), memelihara akal (hifzh al-`aql), memelihara
harta (hifzh al-mal), memelihara kehormatan-keturunan
(hifzh al-`irdh wa al-nasab). Lima ajaran pokok ini di
samping didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an, juga dilan­
daskan pada pidato Nabi Muhammad SAW pada Haji Wada`
yang memerintahkan umat Islam untuk menjaga jiwa, harta,
dan kehormatan (inna dima’akum wa amwalakum wa
a`radhakum haramun `alaikum kahurmati yawmikum hadzi
wa syahrikum hadza wa baladikum hadza).
Dengan paparan di atas, maka tak seharusnya Islam
Nusantara ditampik. Di era Indonesia modern, Islam
Nusantara telah berhasil menjembatani sejumlah kete-
gangan antara Islam dan budaya, Islam dan Negara Bangsa,
Islam dan Pancasila, Islam dan Demokrasi, Islam dan Hak
Asasi Manusia. Keberhasilan ini bisa dicapai karena
kecakapan Islam Nusantara dalam meramu dalil normatif
Islam (fiqh al-nushush) dengan fakta-fakta empirik di
lapangan (fiqh al-waqi`). Dengan demikian, dalam
mengoperasikan Islam Nusantara, para ulama perlu
memperhatikan nash al-Qur’an-hadis dan konteks sosial-
ekonomi-politik secara sekaligus. Dengan cara ini kiranya
fatwa ulama Nusantara tak hanya membuahkan maslahat
bagi umat Islam secara terbatas di Indonesia melainkan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


283
justru sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.
Hanya untuk pengembangan gagasan Islam Nusan-
tara ke depan, tentu ia membutuhkan perangkat metodo-
loginya. Dengan kehadiran metodologi itu, maka pengu-
sung Islam Nusantara akan tahu objek dan wilayah
garapan Islam Nusantara. Metodologi yang ditawarkan ini
bukanlah metodologi baru. Ia adalah penyederhanaan
dari ushul fikih yang disusun para ulama seperti Imam
Syafii, Imam Ghazali, Imam Izzu al-Din ibn Abdi al
Salam, al-Syathibi, dan lain-lain.

METODOLOGI ISLAM NUSANTARA


Seperti dijelaskan pada paparan berikutnya, ide Islam
Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia
hanya ingin membentuk tafsiran ajaran yang sesuai dengan
ajaran universal Islam dan mencari cara bagaimana
melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang
beragam. Upaya akademik pertama itu dalam ilmu ushul
fikih disebut takhrij al-manath, sedang- kan upaya kedua
disebut tahqiq al-manath. Penjelasan sederhananya
demikian. Pertama, takhrij al-manath seba- gai kerja
intelektual untuk membuat tafsir Islam yang relevan dengan
konteks zaman. Salah satu hasil akade- mik dari kerja
takhrij al-manath ini adalah dirumuskannya- Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia. Penetapan
Pancasila sebagai dasar negara dicapai ber- dasarkan
konsensus di kalangan para pendiri bangsa (founding
fathers) setelah sebelumnya terjadi perdebatan panjang di
antara mereka. Nurcholish Madjid dengan meminjam
bahasa al-Qur’an menyebut Pancasila kalimah

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


sawa’ (Madjid, 1995:76), atau common platform yang
merekatkan seluruh warga negara.
Melalui penelusuran selintas bisa dikatakan bahwa
yang menyebabkan Pancasila dengan cepat diterima
seluruh elemen bangsa, karena di dalam Pancasila itu
terdapat sila bahkan sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa. Namun, ada kekhawatiran sila pertama
menimbulkan kontroversi penafsiran, maka dengan cepat
Soekarno mengantisipasi melalui pidato politiknya
tanggal 1 Juni 1945. Bung Karno berkata:
“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-
masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa Al-Masih; yang Islam menurut petunjuk Nabi
Muhammad saw.; orang Buddha menjalankan ibadatnya
menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah
kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia
ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah
Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan
tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia
satu negara yang bertuhan” (Latif, 2014:2-3).

Bung Karno tampaknya hendak menyerahkan soal


ketuhanan kepada setiap umat beragama. Biarlah setiap
umat merumuskan konsep ketuhanan sendiri-sendiri.
Ketuhanan menurut Islam dirumuskan umat Islam.
Begitu juga ketuhanan menurut Hindu, Budha, Kristen,
Katolik, Konghucu dan Aliran Kepercayaan lain
hendaknya dirumuskan umat masing-masing.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


285
Atas dasar itu, NU merumuskan satu deklarasi
tentang Pancasila termasuk tentang sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo,
pada 16 Rabi’ul Awwal 1404 H/21 Desember 1983 M
tahun 1983, NU menyatakan:
Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik
Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggan- tikan
agama dan tidak dapat dipergunakan untuk
menggantikan kedudukan agama.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara
Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila
yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian
keimanan dalam Islam.
Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan
syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan
Allah dan hubungan antar manusia.
Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan
perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk
menjalankan syari’at agamanya.
Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul
Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar
tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan
konsekuen oleh semua pihak (Keputusan Musyawarah Alim
Ulama Nahdlatul Ulama, Nomor II/MAUNU/1404/1983
Tentang Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926).
Rumusan deklarasi itu bukan hanya menunjukkan
sikap politik NU untuk terus bertumpu pada Pancasila
melainkan juga merupakan penjelasan teologis NU kepada
umat Islam mengapa umat Islam menerima Pancasila dan

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


mengapa juga mereka harus ikut merawat Pancasila. K.H.
As`ad Syamsul Arifin (Pengasuh PP Asembagus Situbondo)
menyatakan bahwa mengamalkan Pancasila merupakan
kewajiban bagi semua umat (Feilard, 1999:239). Dalam
perkembangannya, penerimaan NU terhadap Pancasila itu
diikuti ormas-ormas Islam lain seperti Muhammadiyah.
Tentang keunikan Pancasila, menarik
memperhatikan penjelasan Izzat Mufti (pejabat tinggi
Arab Saudi) seba- gaimana dikutip As`ad Said Ali. Dalam
sebuah kunjungan ke Indonesia tahun 1980-an, setelah
mendengarkan pen- jelasan tentang Pancasila di Museum
Satria Mandala, Izzat Mufti menyatakan demikian:
“Arab Saudi menjadikan al-Qur’an dan Hadis sebagai lan­
dasan bernegara karena seluruh warganya adalah muslim.
Indonesia yang multiagama menjadikan Pancasila sebagai
dasar negara di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa. Itu keputusan yang benar dan tidak ber-
tentangan dengan Islam” (Ali, 2009:xi).

Dengan ini bisa dinyatakan bahwa Pancasila meru-


pakan hasil ijtihad (takhrij al-manath) para pendiri
bangsa Indonesia. Pancasila hanya ada di Indonesia,
tidak ada di negara-negara lain. Ia dianggap paling
relevan untuk menyatukan seluruh bangsa yang
menganut agama yang berbeda-beda. Dengan perkataan
lain, Pancasila adalah semen yang merekatkan seluruh
warga negara yang ber- beda latar belakang agama,
budaya, bahasa, etnis, dan suku.
Kedua, yaitu tahqiq al-manath yang dalam praktiknya
bisa berbentuk mashlahah mursalah, istihsan dan `urf.
Dengan merujuk pada dalil, “apa yang dipandang baik oleh

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


287
kebanyakan manusia, maka itu juga baik menurut Allah”
(ma ra’ahu al-muslimuna hasanan fahuwa `inda Allah
hasanun), ulama Malikiyah tak ragu menjadikan istihsan
sebagai dalil hukum. Dan kita tahu, salah satu bentuk
istihsan adalah meninggalkan hukum umum (hukm kulli)
dan mengambil hukum pengecualian (hukm juz’i)
Sekiranya istihsan banyak membuat hukum penge-
cualian, maka `urf sering mengakomodasi kebuda-yaan
lokal. Sebuah kaidah menyatakan, al-tsabitu bil `urfi kats
tsabiti bin nash (sesuatu yang ditetapkan berdasar tradisi
“sama belaka kedudukannya” dengan sesuatu yang
ditetapkan berdasar al-Qur’an-Hadis). Kaidah fikih lain
menyatakan, al-`adah muhakkamah (adat bisa dijadikan
sumber hukum). Tentang `urf atau tradisi, Abdul Wahab
Khallaf membuat pernyataan demikian:
“Oleh karena itu, para ulama berkata: al-`adat syari`ah
muhakkamah (adat adalah syari’at yang dijadikan hukum).
Dan adat kebiasaan (`urf) dalam syara` harus dipertim-
bangkan. Imam Malik membangun banyak hukum dengan
bertumpu pada perilaku penduduk Madinah. Imam Abu
Hanifah dan para ulama pendukungnya ber-beda pendapat
dalam soal hukum yang diakibatkan perbedaan adat
kebiasaan mereka. Setelah berdiam diri di Mesir, Imam Syafii
mengubah sebagian pendapat hukumnya yang ditetapkan
ketika dia berada Baghdad. Ini karena perbedaan tradisi (dua
negeri itu). Karena itu, ia mempunyai dua pandangan hukum,
yang lama (qaul qadim) dan yang baru (qaul jadid). Dan dalam
fikih Hanafi banyak hukum yang didasarkan pada adat
kebiasaan. …. Karena itu ada ungkapan-ungkapan
populer, “al-ma`rufu `urfan ka al-masyruthi syarthan” (yang
baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


syarat yang harus dipenuhi); “al tsabit bi al-nash ka al-
tsabiti bi al-nash” (apa yang ditetapkan oleh tradisi sama
nilanya dengan apa yang ditetapkan berdasarkan nash -
Qur`an atau Hadis (Khallaf, 1968:90).

Ini menunjukkan, betapa Islam sangat menghargai


kreasi-kreasi kebudayaan masyarakat. Sejauh tradisi itu tak
menodai prinsip-prinsip kemanusiaan, maka ia bisa tetap
dipertahankan. Sebaliknya, jika tradisi itu mengandung
unsur yang mencederai martabat kema- nusiaan, maka tak
ada alasan untuk melestarikan. Dengan demikian, Islam
Nusantara tak menghamba pada tradisi karena tradisi
memang tak kebal kritik. Sekali lagi, hanya tradisi yang
menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang perlu
dipertahankan. Sementara tradisi yang bertentangan
dengan universalitas Islam, maka ia harus ditentang.
Menurut Nurcholish Madjid, Islam adalah agama yang
menentang satu sikap yang secara a priori memandang
bahwa tradisi lelulur selalu baik dan harus dipertahankan
serta diikuti. Menurutnya, sikap kritis terhadap tradisi
inilah yang menjadi unsur penyebab terjadinya transformasi
sosial masyarakat yang mengalami perjumpaan dengan
Islam (Madjid, 1995: 552).
Ini karena Islam berpendirian bahwa tak boleh ada
tradisi yang layak dipertahankan sekiranya bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penghormatan pada nilai-
nilai kemanusiaan adalah soko guru hukum Islam. Izzuddin
ibn Abdis Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-
Anam menyatakan, tercapainya kemaslahatan manusia
adalah tujuan dari seluruh pembebanan hu- kum dalam
Islam -innama al-takalif kulluha raji’atun ila

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


289
mashalihil `ibad (Madjid, 1995: 552). Demikian penting-
nya kemaslahatan tersebut, maka kemaslahatan yang tak
diafirmasi oleh teks al-Qur’an-Hadis pun bisa dija- dikan
sebagai sumber hukum. Tentu dengan catatan,
kemaslahatan itu tak dinegasi nash al-Qur’an-Hadis.
Itulah mashlahah mursalah.
Dengan demikian jelas bahwa dalam penerapan al-
Qur’an dan Hadis, Islam Nusantara secara metodologis
bertumpu pada tiga dalil tersebut, yaitu mashlahah
mursalah, istihsan, dan `urf. Tiga dalil itu dipandang relevan-
karena sejatinya Islam Nusantara lebih banyak bergerak
pada aspek ijtihad tathbiqi ketimbang ijtihad istinbathi. Jika
ijtihad istinbathi tercurah pada bagaimana menciptakan
hukum (insya’ al-hukm), maka ijtihad tathbiqi berfokus pada
aspek penerapan hukum (tathbiq al-hukm). Sekiranya ujian
kesahihan ijtihad istinbathi dilihat salah satunya dari segi
koherensi dalil-dalilnya, maka ujian ijtihad tathbiqi dilihat
dari korespondensinya dengan aspek kemanfaatan di
lapangan (Ghazali dalam Sahal, 2015:106).
Contoh terang dari ijtihad tathbiqi adalah kebijakan
Khalifah Umar Ibn Khaththab yang tak memotong tangan
para pencuri saat krisis, tak membagi tanah hasil ram-
pasan perang, tak memberi zakat pada para muallaf. Ketika
Khalifah Umar dihujani kritik karena kesukaannya
mengubah--ubah kebijakan, ia menjawab, “dzaka `ala ma
qadhaina, wa hadza `ala ma naqdhi” (itu keputusanku yang
dulu, dan ini keputusanku yang sekarang). Perubahan-
kebijakan ini ditempuh Khalifah Umar setelah mem-
perhatikan perubahan situasi dan kondisi di lapangan.
Sebuah kaidah fikih menyebutkan, “taghayyur al-ahkam

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa
al-`adat” (perubahan hukum mengikuti perubahan
situasi, kondisi, dan tradisi).
Mengambil inspirasi dari kasus Sayyidina Umar Ibn
Khtattab tersebut, Islam Nusantara datang bukan untuk
mengubah hukum waris al-Qur’an misalnya. Namun,
bagaimana hukum waris itu diimplementasikan
sekarang. Dalam kaitan implementasi itu, di Indonesia
misalnya dikenal harta gono-gini, yaitu harta rumah
tangga yang diperoleh suami-istri secara bersama-sama.
Harta gono-gini biasanya dipisahkan terlebih dahulu
sebelum pembagian waris Islam dilakukan. Penyesuaian
hukum ini dijalankan masyarakat secara turun-temurun
karena rupanya narasi keluarga Islam di Indonesia
berbeda dengan narasi keluarga Islam di Arab sana.
Begitu juga, tak ada yang membantah bahwa me-
nutup aurat adalah perintah syari’at. Namun, di kalangan
para ulama terjadi perselisihan mengenai batas aurat. Ada
ulama yang longgar, tetapi ada juga ulama yang ketat
dengan menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan
bahkan suaranya adalah bagian dari aurat yang harus
disembunyikan. Keragaman pandangan ulama menge- nai
batas aurat tersebut tak ayal lagi berdampak pada
keragaman ekspresi perempuan muslimah dalam berpa-
kaian. Beda dengan pakaian istri para ustad sekarang, istri
tokoh-tokoh Islam Indonesia zaman dulu terlihat hanya
memakai kain-sampir, baju kebaya, dan kerudung penutup
kepala. Pakaian seperti itu hingga sekarang dilestarikan
salah satunya oleh istri almarhum Gus Dur, Ibu Shinta
Nuriyah Abdurrahman Wahid.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


291
PENUTUP
Dengan paparan ini, maka penting dikatakan. Pertama,
kesalahpahaman sebagian orang tentang Islam Nusantara
tidak berdasar. Jika ada yang berkata Islam Nusantara ingin
mengubah wahyu, maka itu tidak benar. Sebab, umat Islam
sekarang tak hidup di zaman wahyu. Pasca era pewahyuan,
tugas umat Islam adalah bagaimana menafsirkan dan
mengimplementasikan wahyu tersebut dalam konteks
masyarakat yang terus berubah. Dalam kaitan itu, bukan
hanya pluralitas penafsiran yang meru- pakan keniscayaan.
Keragaman ekpresi pengamalan Islam pun tak
terhindarkan. Itu bukan sebuah kesalahan, asal tetap
dilakukan dengan menggunakan metodologi yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Kedua, di tengah kecenderungan sebagian umat Islam
untuk mendakwahkan Islam dengan jalan keke- rasan,
maka “jalan damai Islam” yang fondasinya telah diletakkan
para ulama Nusantara bisa dijadikan solusi untuk
menyelesaikan konflik dan ketegangan. Harapan- nya,
melalui jalan damai ini kemajuan di berbagai aspek
kehidupan bisa dicapai. Bukankah dalam suasana damai,
umat Islam bisa bekerja lebih produktif dengan mengem-
bangkan ilmu pengetahuan, memperbaiki pereokonomian
umat, dan lain-lain. Sebaliknya, dalam kekerasan yang tak
berkesudahan, energi umat Islam akan ter-kuras untuk
pekerjaan yang tak banyak gunanya bagi kepentingan izzul
Islam wal muslimin, izzu Nusantara wa nusantariyyin, izzu
Indonesia wa indunisiyyin.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


9
JARINGAN INTELEKTUAL
MUDA ISLAM LIBERAL (JIL):
RUH HIDUP DALAM JASAD
KAKU:
Oleh: Media Zainul Bahri

“Setiap orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam


masyarakat memiliki fungsi intelektual.” (Antonio Gramsci)

PENDAHULUAN

B oleh jadi, bagi sebagian muslim muda Indonesia


ini, mendengar istilah Islam liberal atau Jaringan Islam
saat

Liberal (JIL) tidak terlalu familier lagi dibanding mendengar


nama NU, Muhammadiyah, atau
Hizbut Tahrir Indonesia yang masih populer. JIL saat ini
masih eksis, dalam pengertian masih menggelar diskusi-
diskusi aktual keislaman, namun suaranya terdengar
sayup-sayup saja. Padahal kelompok ini pernah menjadi
SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam
293
primadona dalam diskursus Islam Indonesia pada awal dan
pertengahan 2000. Islam liberal adalah lumbung gagasan;
sebuah wadah elite-intelektual muda yang menyebarkan
ide-ide Islam progresif dan intelektual. Ia memang di-
rancang bukan sebagai organisasi massa. Meski telah
melewati masa keemasan periode pertama, jejak dan spirit
Islam liberal masih terasa dalam konstelasi keindonesiaan
dan keislaman. Dalam beberapa hal gagasan-gagasan
progresif Islam liberal masih kontekstual. Jika Islam liberal
mengampanyekan pluralisme agama, toleransi, HAM,
kesetaraan gender dan menolak teokrasi, maka saat ini
“rumah Indonesia” masih sesuai dengan harapan mereka.
Bersama-sama dengan NU dan Muhammadiyah, spirit
gagasan-gagasan pokok Islam liberal sesungguhnya telah
memberi kontribusi bagi wajah Indonesia modern. Artikel ini
hanya berfokus pada isu-isu utama Jaringan Islam liberal
pada masa keemasan mereka pada periode pertama (2001-
2009) seperti gagasan mengenai ‘Islam yang hidup’,
pluralisme agama, menolak negara Teokrasi, dan penafsiran
ulang mengenai kesucian Kitab al-Qur’an. Artikel ini akan
ditutup oleh penjelasan singkat mengenai faktor-faktor
meredupnya gerakan Islam liberal di Indonesia sejak 2010
hingga kini.

KEMUNCULAN JARINGAN ISLAM LIBERAL


Secara khusus, Jaringan Islam Liberal (JIL) mulai aktif
pada Maret 2001 dengan menggelar kelompok diskusi maya
(milis) yang tergabung dalam Islamliberal@yahoogroups.
com. Kemudian gagasan-gagasan JIL juga disebarkan lewat
website www.Islamlib.com (Assyaukani, 2007:xvii

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


dan 87). Sejak Juni 2001, JIL mengisi satu halaman
Jawa Pos Minggu,1 berikut puluhan Koran jaringannya,
dengan artikel dan wawancara seputar perspektif Islam
Liberal. Tiap Kamis malam, JIL menyiarkan talkshow dan
diskusi interaktif dengan para kontributor dan tokoh
Islam yang sepaham dengan mereka, melalui kantor
Berita Radio 68H Utan Kayu, dan disiarkan juga oleh
beberapa radio jaringannya (Husaini, 2002:4-5). Pada
mulanya, kegiatan JIL tidak bisa dipisahkan dengan dua
figur: Luthfi Assyaukani2 (Universitas Paramadina Mulya)
dan Ulil Abshar Abdalla,3 yang saat itu bekerja di ISAI
(Institut Studi Arus Indonesia) dan Lakpesdam NU. Saat
itu, Luthfi yang memulai membuka website JIL dan
membuat milisnya untuk diskusi terbuka, dan Ulil—yang
dianggap memiliki kemampuan intelektual dan retorika
yang bagus—dijadikan juru bicara ide-ide JIL.4 Terkait

Sebagai contoh sebagian besar artikel-artikel Luthfi di Jawa


Pos kemudian diterbitkan menjadi buku, Islam Benar versus Islam
Salah (2007).
Luthfi Assyaukani lahir di Jakarta 27 Agustus 1967.
Menyelesaikan sekolah Menengah dan Atas di sebuah pesantren di
Bekasi, Jawa Barat. Menyelesaikan S-1 bidang Hukum Islam dan
Filsafat di University of Yordan, Amman-Yordania, meraih gelar master
dari International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC) Malaysia, dan mendapat Ph.D dalam bidang Pemikiran
Politik Islam dari University of Melbourne, Australia (2006).
Ulil Abshar Abdalla lahir di Pati, Jawa Tengah. Menyelesaikan
Pendidikan Menengah dan Atas di pesantren Maslakul Huda, Kajen-
Pati pimpinan KH Sahal Mahfudz. Menyelesaikan S-1 pada Fakultas
Syari’ah Lembaga Pendidikan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta dan
pernah kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Mendapat
gelar master di Boston University, Amerika Serikat.
Ulil Abshar adalah Direktur Eksekutif JIL yang pertama. Ketika
kemudian Ulil mengambil S-2 di Amerika dan Luthfi kuliah S-3 di
Australia, Hamid Basyaib menjadi Direktur yang kedua. Setelah

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


295
dengan ide-ide JIL yang dimuat satu halaman penuh di
Koran Jawa Pos, maka Goenawan Muhamad adalah figur
yang sangat berperan karena ia adalah salah satu pemilik
saham Jawa Pos.
Selain Luthfi dan Ulil, terdapat tiga tokoh perdana
yang sangat aktif di JIL, yaitu Akhmad Sahal, Hamid
Basyaib dan Saiful Muzani. Secara umum, mereka
berlima yang menggerakkan diskusi, kajian dan kegiatan
di JIL. Mereka juga aktif menulis opini di Koran-koran
nasional seperti Kompas, Media Indonesia, dan Koran
Tempo, dengan perspektif Islam Liberal. Di masa awal
kegiatan-kegiatan di JIL, terdapat beberapa tokoh yang
aktif menjadi narasumber seperti Komaruddin Hidayat,
Azyumardi Azra, Bakhtiar Effendi, Kautsar Azhari Noer,
Zainun Kamal, dan Nasaruddin Umar dari UIN Jakarta,
Said Aqiel Siraj5 dan Masdar Mas’udi dari NU, Jalaluddin
Rakhmat (tokoh Syiah Indonesia) dari Yayasan
Muthahhari Bandung, dan lain-lain.
Jika melihat proses ‘pematangan’ Islam intelektual para
penggagas JIL, maka sesungguhnya Ulil, Luthfi dan Sahal
adalah santri-santri Muslim yang berlatar belakang
pesantren tradisional dengan penguasaan kitab-kitab klasik
Islam yang memadai. Pengetahuan Islam tradisional mereka
kemudian dipertajam dan diperluas dengan wawasan
Filsafat Islam, Filsafat Barat, Sosiologi modern dan Ilmu
Politik yang mereka pelajari di perguruan tinggi.

Luthfi selesai S-3, ia menjadi Direktur yang ke-3, lalu Moqsith yang
ke-4.
Said Aqil Siraj pernah aktif menjadi narasumber bulanan JIL
sampai menjadi ketua umum PBNU untuk kajian sufisme Ibn ‘Arabi.
Wawancara dengan Abd. Moqsith Ghazali, Jakarta, 5 Maret 2015.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Karena itu, JIL memiliki fondasi tradisional Islam yang kuat,
tetapi mereka “melampauinya” dengan pisau analisis ilmu-
ilmu sosial dan humaniora modern. Dalam pengertian ini,
JIL bukanlah komunitas muslim yang sedang “bermain-
main” dengan Islam atau hanya ingin tampil beda semata,
melainkan memang memiliki “cita rasa” Islam intelektual.
Sebelum Islam liberal menjadi gerakan atau komunitas
eksklusif, muslim Indonesia telah mengenal dua buku
berbahasa Indonesia yang terbit dengan memakai nama Islam
liberal, yaitu Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam
Kontemporer tentang Isu-Isu Global (2001) karya Charles
Kurzman, dan Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran
Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib dan Abdurrahman Wahid 1968-1980 (1999) karya Greg
Barton. Dua buku itu diterbitkan oleh Paramadina, salah
satunya bekerja sama dengan Penerbit Pustaka Antara, adalah
sebuah Yayasan yang didirikan oleh Nurcholish Madjid. Jika
buku Kurzman memang judul aslinya adalah Liberal Islam: A
Sourcebook (terbit pada 1998), namun judul asli karya Barton
(yang berasal dari Disertasinya di Monash University,
Australia), adalah A Textual Study Examining the Writings of
Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib and
Abdurrahman Wahid 1968-1980. Untuk lebih provokatif buku
ini diberi judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia dengan studi
empat tokoh yang disebut Barton dalam disertasinya itu.
Karena popularitas Penerbit Paramadina dan wibawa
intelektual Nurcholish Madjid, buku-buku terbitan Paramadina
selalu laris di pasaran, dan karena itu pula sejak 2000, istilah
Islam liberal menjadi cukup hangat diperbincangkan oleh kaum

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


297
muslim muda Indonesia. Pada saat inilah, kemunculan
JIL dengan Ulil Abshar sebagai tokoh utamanya berada
pada momentum yang tepat.
Secara umum, kemunculan JIL dapat dibaca dengan
banyak faktor. Azhar Ibrahim (2014) misalnya, seorang
peneliti tamu di National University of Singapore, menje-
laskan tujuh faktor kemunculan JIL (Ibrahim, 2014:234-
237). Bagi saya, terdapat empat faktor yang paling signi-
fikan yang memunculkan gerakan JIL secara agresif.
Pertama, Konteks global. Saya setuju dengan Zuly Qodir
bahwa kemunculan Islam liberal Indonesia tak bisa
dilepaskan dari perkembangan global ketika banyak
negara di planet bumi ini mengalami perubahan besar
dan mendasar, terutama tuntutan demokratisasi dalam
kehidupan sosial, politik dan keagamaan. Agama, dalam
alam demokrasi, harus diredefinisikan untuk sesuai
dengan tuntutan kehidupan yang demokratis seperti soal
hubungan agama dan negara, kesetaraan gender,
pluralisme, hak asasi manusia, hubungan dengan non-
muslim dan lain-lain. Hanya agama dalam definisi, spirit
dan bentuknya yang progresif, setelah direkonstruksi,
yang dapat menyesuaikan diri dengan alam demokrasi.
Dalam pengertian inilah, para pemikir muslim Indonesia,
termasuk tokoh-tokoh JIL, “mengidolakan” para sarjana
Barat dan Timur ahli Islam yang dianggap progresif dan
liberal seperti Abdullah Ahmad an-Naim, Farid Esack,
Hasan Hanafi, Arkoun, Abid al-Jabiri, Hamid Abu Zayd,
Abdul Karim Soroush, Muhammad Syahrur, dan lain-lain
(Qodir, 2010: 89-90). Pemikiran keislaman mereka
dianggap cocok dengan perubahan dunia yang sedang

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


terjadi saat itu.
Kedua, era reformasi—dengan tumbangnya rezim
Orde Baru (1998) membuka kran kebebasan berekspresi
dan berpendapat. Dalam kehidupan keagamaan, banyak
muncul paham Islam garis keras yang diimpor dari Timur
Tengah, suatu model Islam yang sebenarnya tidak cocok
dengan Indonesia. Pada momen ini fundamentalisme
Islam menguat. Muslim skripturalis terus menyuarakan
pentingnya formalisme Islam (syari’ah) bagi masyarakat
Indonesia. Kemunculan JIL tidak semata karena
euphoria reformasi, melainkan juga usaha untuk
melawan funda- mentalisme dan formalisme Islam itu.
Karena itu, relevan ungkapan Luthfi bahwa salah satu
misi Islam liberal adalah “mengembalikan semangat
kebangkitan pemikiran Islam yang sejak satu abad silam
telah dibajak oleh konservatisme dan fundamentalisme
agama.” Benar, di dunia Islam telah satu abad, tetapi di
Indonesia baru beberapa tahun fundamentalisme Islam
menguat. Bagi JIL, fundamentalisme Islam ala Timur
Tengah itu berlawanan dengan sejarah berabad-abad
Islam kultural Indonesia yang moderat dan toleran.
Secara politik, rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa
32 tahun telah mengontrol kegiatan sosial-politik umat
Islam di “pusat” supaya tetap terjaga “kemurniannya.”
Karena itu, menurut Daniel S. Lev, perubahan secara
signifikan lebih mudah dilakukan di “pinggiran” daripada di
“pusat.” Masa reformasi adalah masa ketika sejarah terbuka
untuk perubahan besar karena negara sedang lemah,
suasana sosial, politik dan intelektual sangat labil, dan
masyarakat mengharapkan perubahan (Lev dalam

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


299
Assyaukani, ed., 2002: hlm. xiii). JIL muncul di saat yang
tepat. Tetapi di sisi lain, secara politik juga isu-isu yang
diangkat JIL seperti mengapresiasi pluralisme dan toleransi
serta menolak teokrasi sesungguhnya sangat
menguntungkan pemerintah. Karena itu, JIL tidak pernah
dilarang secara resmi dan tidak dimusuhi pemerintah.
Kedua, saya setuju dengan Ibrahim bahwa sejak 1990-
an diskursus Islam intelektual telah menyebar luas di
banyak IAIN di Indonesia (sekarang UIN). Hal ini terjadi
karena banyak dosen IAIN yang telah pulang dari sekolah di
Barat (Ibrahim, 2014:235-236). Selain membawa gelar
Master dan Doktor, mereka juga membawa isu-isu baru
seperti Islam dan pluralisme, Islam dan demokrasi, Islam
dan hak asasi manusia, Islam dan konsep nation-state,
Islam dan dialog antar-agama dan lain-lain. Penting dicatat
bahwa dengan sumber daya manusia unggul, IAIN dan UIN
di kota-kota besar di Indonesia memainkan peran yang
sangat signifikan dalam mengembangkan kajian teoretis
Studi keislaman (Islamic studies) di satu sisi, dan
menyebarkan gagasan Islam moderat, bahkan Islam liberal
di sisi lain. Tokoh-tokoh UIN, terutama di Jakarta dan
Yogyakarta, setelah Harun Nasution dan Mukti Ali, seperti
Azyumardi Azra dan Abdul Munir Mulkhan dengan isu Islam
kultural Indonesia, Komaruddin Hidayat dan Amin Abdullah
dengan diskursus Hermeneutik, Din Syamsuddin dan
Bahtiar Effendi dengan politik Islam Indonesia, dan
Nasaruddin Umar dengan isu Islam dan kesetaraan gender
(Ibrahim, 2014: 236), adalah para peno- pang yang kuat bagi
eksistensi dan masa keemasan JIL pada periode 2000-an.
Mereka ‘dimanfaatkan’ JIL untuk

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


menjadi para kontributor utama dalam acara-acara yang
digelar JIL. Tentu saja, JIL mendapat dukungan dari
tokoh senior seperti Abdurrahman Wahid dengan NU,
Nurcholish Madjid dengan Paramadina, dan dua tokoh
senior lain, Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo. JIL dan
para tokoh itu kemudian menjadi semacam “elit Islam
Indonesia” yang menjadi rujukan kaum muda Muslim
Indonesia yang progresif.
Ketiga, Islam kultural yang toleran yang selama ini
dikampanyekan oleh NU, Muhammadiyah dan Paramadina
(Ibrahim, 2014:236), bagi JIL adalah bagian dari kehidupan
keseharian dan keislaman mereka. Para tokoh dan
simpatisan JIL hampir seluruhnya adalah anak-anak muda
yang dibesarkan di lingkungan NU dan Muhammadiyah.
Mereka tidak semata merasa berkewajiban menjaga Islam
kultural, tetapi juga ingin mengembangkannya menjadi
Islam intelektual dengan spektrum yang lebih luas dan
mendalam. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa tiga
figur senior, yaitu Harun Nasution dengan Islam Rasional,
Nurcholish Madjid dengan Islam Peradaban dan
Kemodernan, dan Abdurrahman Wahid dengan Pribumisasi
Islam, dijadikan ikon-ikon yang banyak diapresiasi oleh
tokoh-tokoh JIL.

PENGERTIAN ISLAM LIBERAL


Apa itu Islam liberal? Charles Kurzman—yang pada
mulanya sering dirujuk oleh para tokoh JIL—mendefi--
nisikan Islam liberal sebagai kelompok yang secara
kontras berbeda dengan Islam adat (customary Islam) dan
Islam revivalis (revivalist Islam). Islam adat adalah Islam

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


301
yang diekspresikan dalam bentuk budaya-budaya lokal
tempat Islam itu tumbuh, seperti Islam yang merayakan
ziarah kubur kepada orang-orang suci, membunyikan
bedug, tradisi musikal, menghormati roh orang mati, dan
lain-lain. Sedangkan Islam revivalis adalah kelompok
Islam yang biasa disebut sebagai “Islam Fundamentalis”
atau “Wahhabisme.” Islam Revivalis suka menyerang
Islam adat karena dianggap Islam mereka tidak murni
lagi. Sementara tradisi Islam liberal adalah tradisi Islam
yang menghadirkan masa lalu dalam konteks
modernitas, dan menyatakan bahwa Islam jika dipahami
secara benar maka ia akan sejalan dengan liberalisme
Barat (Kurzman dalam Charles Kurzman, ed., 1998: 5-6).
Kurzman lalu menyebut tiga bentuk utama Islam
liberal. Pertama, syari’ah liberal (liberal shari’a). Model ini
menyatakan bahwa syari’ah bersifat liberal pada dirinya
sendiri jika dipahami secara tepat. Kurzman menyebut
beberapa nama sarjana muslim liberal untuk bentuk yang
pertama ini seperti Ali Bullac, Muslim liberal Turki; Syafique
Ali Khan dari Pakistan, dan Abdelkebir Alaoui M’Daghri dari
Maroko yang berpendapat bahwa syari’ah membangun
kebebasan berpikir (Kurzman dalam Charles Kurzman, ed.,
1998:14). Kedua, Syari’ah yang diam (silent shari’a). Model
ini menyatakan bahwa syari’ah tidak memberi jawaban yang
pasti tentang topik-topik tertentu. Kaum muslim bebas
mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syari’ah
dibiarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan
kecerdasan manusia (Kurzman dalam Charles Kurzman,
ed.,1998:14-15). Ketiga, syari’ah yang ditafsirkan
(interpreted shari’a). Terdapat kesan

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


bahwa syari’ah yang bersifat ilahiah ditujukan bagi
berbagai penafsiran manusia yang beragam. Tidak ada
tafsir tunggal terhadap syari’ah kecuali untuk beberapa
doktrin ibadah yang sudah pasti (qath’iy) (Kurzman
dalam Charles Kurzman, ed., 1998:5-6) (Kurzman dalam
Charles Kurzman, ed., 1998:16). Dalam batas-batas
tertentu JIL mengambil inspirasi dari definisi dan tiga
model Kurzman itu. Selebihnya, JIL melangkah lebih
jauh dengan mengambil referensi yang luas untuk
mengolah isu-isu keagamaan yang lebih kompleks.
Ulil sendiri dalam banyak kesempatan menjelaskan
makna “liberal” dan pengertian “Islam liberal” yang sering
kali disalahpahami oleh banyak muslim Indonesia.
Menurut Ulil, banyak muslim yang memahami bahwa
istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna
kebebasan tanpa batas, sebuah sikap permisif, ibahiyah
(serba boleh), sikap menolelir setiap hal tanpa mengenal
batas yang pasti. Dengan cara pandang seperti ini, Islam
liberal dianggap sebagai ancaman terhadap
keberagamaan yang sudah terlembaga (Abdalla dalam
Abd Moqsit Ghazali, ed.,2015:xviii), bahkan dianggap
sebagai “musuh” Islam itu sendiri. Padahal kata Ulil,
tidak begitu pengertian Islam liberal. Ulil menulis:
Bahwa dengan membubuh kata liberal pada Islam,
sesungguhnya saya hendak menegaskan kembali dimensi
kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah niat atau
dorongan-dorongan emotif-subjektif dalam manusia itu
sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam ‘Islam liberal’
dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata ‘liberal’ di
sini tidak tersangkut paut dengan kebebasan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


303
tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan
kecenderungan ‘intrinsik’ dalam diri manusia itu sendiri.
Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan
manusia, dan menempat- kan manusia pada fokus
penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan
kembali inte- gritas wahyu dan Islam itu sendiri (Abdalla
dalam Abd Moqsit Ghazali, ed.,2015: xix).
Menurut Ulil, kebebasan memiliki nilai yang tinggi
dalam Islam karena ia berhubungan langsung dengan
penggunaan nalar dan keagungan martabat manusia.
Agama tidak diturunkan bagi keledai yang dungu, tetapi
bagi manusia yang memiliki kemampuan untuk
memaksimalkan akal dan nalarnya. Nabi menyebut bahwa
al-din huwal ‘aql. La dina liman la aqla lahu: agama adalah
akal, tidak ada agama bagi mereka yang tidak mempunyai
akal. Dalam konteks penggunaan akal dan jaminan
kebebasan itu, maka seorang muslim boleh tidak
menjalankan syari’at jika ia tidur (pingsan), menjadi gila dan
seorang anak kecil. Artinya hanya orang dewasa dan berakal
yang diberi beban untuk melaksanakan syari’ah (atau
memilih untuk menjalankan atau tidak). Menurut Ulil, yang
terlihat menonjol di dunia muslim adalah ‘bahasa
kewajiban’, yaitu tekanan-tekanan kewajiban menjalankan
syari’ah kepada Tuhan. Bahasa ‘hak dan kebebasan
manusia’ jarang muncul. Dalam pengertian inilah, Islam
liberal muncul untuk menyeimbangkan “neraca” antara
bahasa kewajiban dan kebebasan/hak (Abdalla dalam Abd
Moqsit Ghazali, ed.,2015:xviii).
Secara lebih spesifik, Luthfi menyebut istilah “Islam
liberal” berarti “pembebasan” kaum muslim dari dua hal.

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Pertama, dari cengkraman kolonialisme yang menguasai
hampir seluruh dunia Islam di masa lalu. Kedua, pembe-
basan kaum Muslim dari pola pikir dan sikap keagamaan
yang jumud yang menghambat kemajuan. Pembebasan
yang kedua ini adalah yang masih relevan dan
kontekstual untuk terus dikembangkan. Pola pikir yang
jumud biasa- nya akan melahirkan sikap keagamaan
yang konservatif dan fundamentalis, dalam
pengertiannya yang negatif. Karena itu menurut Luthfi,
‘musuh utama’ Islam liberal adalah konservatisme dan
fundamentalisme yang meng- hinggap sebagian besar
kaum muslim. Termasuk dalam fundamentalisme adalah
ide teokrasi yang ingin diper- tahankan kaum muslim
fundamentalis (Assyaukani, 2007: 61-65).
Dalam menyebar gagasan-gagasannya, JIL memiliki
beberapa agenda pokok. Dalam milis resmi JIL, islib.com
disebutkan beberapa agenda JIL, yakni; (a) Membuka pintu
ijtihad pada semua dimensi Islam, (b) Mengutamakan
semangat religio etik, bukan makna literal teks, (c)
Memercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, (d),
Memihak pada yang minoritas dan tertindas, (e) Meyakini
kebebasan beragama, dan (f) Memisahkan otoritas duniawi
dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Luthfi,
menyebut empat agenda utama yang harus menjadi
perhatian para pembaru muslim, termasuk JIL, yaitu;
agenda politik. Ide negara teokrasi harus dilawan. (2)
hubungan muslim dan non-muslim. Untuk memperkuat
hubungan itu, ide tentang teologi pluralisme harus di-
kembangkan. (3) memberdayakan peran perempuan.
Untuk agenda ini, kaum muslim harus memikirkan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


305
kembali ajaran-ajaran Islam yang cenderung merugikan
dan mendiskreditkan kaum perempuan. (4) Kebebasan
berpendapat harus mendapat prioritas dalam kehidupan
kaum muslim modern. Islam sangat menghormati HAM,
dan karena itu juga, sangat menghormati kebebasan
berpendapat (Assyaukani, 2007:72-75).
Untuk menyuburkan kebebasan berpikir dalam Islam,
maka Islam liberal mendorong kreativitas ber-ijtihad.
Moqsith Ghazali, tokoh JIL yang lain, menegaskan bahwa
Islam harus dikembalikan ke posisi awalnya sebagai agama
yang membebaskan dan mencerahkan. Islam harus liberatif
untuk mengatasi keterbelakangan kaum muslim. Islam
harus dibersihkan dari beban-beban sejarah masa lalunya
yang kelam. Islam, yang saat ini telah banyak dimanipulasi
oleh elite-elite ulama sehingga tampak kacaubalau harus
dipulihkan kembali dengan cara menye- marakkan aktivitas
ijtihad. Hanya ijtihad cara yang paling efektif untuk
menghidupkan kembali rasionalitas Islam. Di sinilah
relevansi dan signifikansi peran-peran intelektual JIL
Ghazali dalam Ijtihad Islam Liberal.

TIGA PIONIR ISLAM LIBERAL


Seperti telah disinggung, terdapat tiga figur senior,
yaitu Harun Nasution dengan Islam Rasional, Nurcholish
Madjid dengan Islam Peradaban dan Kemodernan, dan
Abdurrahman Wahid dengan Pribumisasi Islam, yang
dijadikan ikon awal oleh tokoh-tokoh JIL. Karena itu,
penting mengingat kembali ide-ide pokok ketiga tokoh yang
kelak pemikiran “Islam liberal” yang sering disematkan
kepada mereka kemudian menjadi institusi jaringan Islam

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


liberal.
Harun Nasution pada era 1970-1980-an dikenal sebagai
tokoh Islam Rasional. Ia yang merombak model perkuliahan
di IAIN Jakarta yang kental dengan corak fikih dan teologi
Asy’ari yang fatalistik ke arah model Islam rasional
Mu’tazilah. Menurut Harun, kehidupan Muslim Indonesia
tidak berkembang karena kuatnya orientasi fikih dan teologi
tradisional Asy’ari yang jumud dan fatalistik. Padahal zaman
keemasan Islam pada 650 hingga 1250 M adalah karena
kaum muslim mengembangkan Islam rasional. Sedangkan
pemikiran tradisional berkembang pada masa 1250 hingga
1800 M. Islam rasional dapat berkembang karena tingginya
kedudukan akal dalam memahami al-Qur’an dan hadis
serta perjumpaan Islam dengan filsafat Yunani, Mesir dan
Persia. Pada masa itu, pemikiran para filosof muslim dan
penemuan-penemuan ulama-saintis tidak ada yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis. Filsafat, teologi
dan sains berkembang bersamaan pada masa keemasan
Islam itu. Itulah masa Islam Rasional. Sebaliknya, pada
model pemikiran Islam tradisional, peran akal tidak begitu
menentukan dalam memahami ajaran al-Qur’an dan hadis.
Pemikiran tra- disional sulit sekali menyesuaikan diri
dengan perkem- bangan modern sebagai hasil dari filsafat,
sains, dan teknologi (Nasution, 1995:7-9).

Budhy Munawar Rachman, seorang kontributor JIL,


ketika menulis tentang Islam Rasional ala Harun Nasution
menegaskan bahwa landasan epistemologis dari Islam
Rasional ini adalah keyakinan bahwa pada dasarnya Islam
itu bersifat rasional. Rasionalitas menjadi entitas paling

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


307
akhir dan paling menentukan untuk kebenaran sebuah
proposisi Islam. Yang membuat rasionalisme Islam menjadi
“betul-betul rasional” adalah karena dalam rasionalisme ini
termuat sifat kritis, dengan penghargaan yang tinggi
terhadap peran akal. Kritisisme ini terlihat dalam tekanan
yang kuat ketika membuat distingsi-distingsi, kategori-
kategori, analisis, dan sebagainya. Sifat analitik inilah
menurut Rachman, yang menjadikan “Islam Rasional”
begitu kuat sebagai sebuah teologi rasional (Rahman dalam
Jurnal Ulumul Qur’an No. 3, vol. VI, 1995:27). Secara umum,
dalam teologi Islam rasional, Nasution mendiskusikan soal
fungsi wahyu bagi manusia, kebebasan manusia, hubungan
antara keadilan dan kekuasaan Tuhan, serta perbuatan
Tuhan terhadap manusia.
Nurcholish Madjid, lokomotif pembaruan Islam
Indonesia,- dikenal luas karena gagasannya tentang
sekularisasi, neo-modernisme Islam dan belakangan soal
pluralisme agama. Menurut Madjid, istilah sekular dan
sekularisasi berhubungan erat, tetapi tidak identik dengan
sekularisme. Sekular yang berarti dunia atau duniawi
adalah istilah yang netral, tidak positif tidak pula negatif.
Sekular yang berarti duniawi berarti bahwa manusia adalah
makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa ia hidup di
alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke
alam baka. Jika kata ‘duniawi’ diganti dengan kata ‘sekular’,
maka istilah bahwa ‘manusia adalah makhluk sekular’ tidak
saja benar melainkan juga sesuai dengan kenyataan
(Madjid, 1997: 217). Dalam konteks ajaran Islam tentang
dunia, maka bagi Islam menurut Madjid, dunia bukanlah
tempat yang rendah, hina dan harus

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


dimusuhi oleh kaum muslim. Umat Islam tidak boleh
curiga atau memandang pesimis terhadap dunia, apalagi
lari dari problem-problem duniawi. Hal itu sangat
dilarang oleh Islam (Madjid, 1997:217).
Dari pemahaman sekular di atas, Madjid melangkah
kepada soal sekularisasi. Bagi Madjid, sekularisasi adalah
proses ‘penduniawian,’ sebuah proses membawa sesuatu
‘turun ke bumi,’ yang selama ini proses tersebut telah lama
disingkirkan dan digantikan oleh kebohongan-kebohongan-
atas nama kesucian agama. Efek dari pemahaman
sekularisasi bagi Madjid adalah bahwa persoalan-persoalan
duniawi harus diberi perhatian oleh ilmu pengetahuan dan
metodologinya. Hanya dengan cara ini dunia dan proses
penduniawian (sekularisasi) dapat dipahami secara tepat
(Madjid, 1997:218). Bagi Madjid, yang sakral atau yang
harus disakralkan hanya Tuhan saja. Selain Tuhan bersifat
profan dan sekular. Dengan gagasan mengenai sekularisasi
pada era 1970 hingga 80-an, Madjid mengkritik keras sikap
umat Islam yang ‘mensakralkan’ atribut-atribut keagamaan,
lembaga agama dan partai agama, yang sebenarnya semua
hal itu bersifat sekular dan profan saja. Tetapi berkali-kali
Madjid mengingatkan bahwa “sekularisasi tidak sama
dengan sekularisme.” Sekularisme adalah suatu paham
tentang keduniawian; bahwa yang duniawi adalah segala-
galanya. Bagi Madjid, sekularisme tidak hanya diharamkan
oleh Islam tetapi juga ditentang oleh agama-agama dunia
(Madjid, 1997:218). Sekali lagi bagi Madjid, sekularisasi
tidak otomatis mengarah apalagi identik dengan
sekularisme.
Dari diskursus mengenai sekularisasi, Madjid lalu

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


309
mendiskusikan soal modernisasi. Baginya, pengertian yang
mudah mengenai modernisasi adalah pengertian yang
hampir identik dengan rasionalisasi. Modernisasi berarti
merombak pola pikir dan tata kerja yang tidak rasional dan
digantikan dengan pola pikir dan kerja yang rasional.
Menurut Madjid, sesuatu disebut ‘modern’ jika ia bersifat
rasional, ilmiah, dan sesuai dengan hukum-hukum alam
(Madjid, 1997:174-175)). Karena modernisasi berarti
penerapan ilmu pengetahuan, maka modernisasi bagi
Madjid adalah “suatu keharusan, malah kewajiban yang
mutlak. Modernisasi merupakan perintah dan ajaran Tuhan
YME.” Karena itu, keislaman dan kemodernan adalah
sesuatu yang identik. Modernitas (sikap modern) dalam
pengertian yang lebih mendalam lagi, bagi Madjid, adalah
pendekatan kepada Kebenaran Mutlak, kepada Allah. Jadi,
modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses
penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif menuju ke
Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah. Dan yang modern
secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yaitu
Tuhan saja (Madjid, 1997:174-175).
Pada era 1990-an Madjid membuat banyak tulisan
mengenai Islam dan pluralisme agama. Pada masa inilah
istilah ‘pluralisme agama’ menjadi sangat populer di
Indonesia. Menurut Madjid, kemajemukan agama adalah
takdir Tuhan yang tidak bisa dilawan, dan pluralitas
komunitas keagamaan adalah fakta yang tak mungkin
dihindari. Al-Qur’an sendiri berkali-kali menegaskan
bahwa keseragaman dan kesatuan sejarah manusia tidak
diinginkan oleh Tuhan. Tuhan memang menghendaki
bahwa tiap-tiap komunitas keagamaan yang beragam

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


telah memiliki orientasi kehidupan dan keagamaan masing-
masing (Madjid dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 3, vol. VI,
1995: 62). Meskipun berbeda-beda dalam doktrin dan
dogma keagamaan, namun para pemeluk agama yang
beragam itu memiliki titik-temu dan kesatuan substansial di
antara ajaran keagamaan mereka. Kata Madjid, ibarat roda,
pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari adalah jalan dari
berbagai agama. Artinya meskipun jalan-jalan keagamaan
itu banyak dan beragam tetapi mereka menuju Pusat Tujuan
yang sama, yaitu Tuhan, karena mereka memang berasal
dari sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Esa itu. Menurut
Madjid, Islam itu bersifat inklusif, dan jika dipahami secara
mendalam, pemahaman akan Islam akan terus meluncur
menjadi pluralis (Madjid dalam Grose dan Hubbard, 1998:
xix). Bagi Madjid, doktrin pluralisme agama yang dipahami
dari ajaran Islam sesungguhnya sangat relevan dengan
bangsa Indonesia yang memiliki banyak agama dan
kepercayaan. Juga sesuai dengan ideologi Pancasila dan
falsafah hidup berbangsa, yaitu Bhineka Tunggal Ika,
meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua (Madjid,
1997:64-65).
Abdurrahman Wahid, presiden keempat RI dan
Ketua Umum PBNU dua periode, adalah pembela gigih
humanisme dan pluralisme, dan karena itu ia dijuluki
“Bapak pluralisme Indonesia modern. ”Selain banyak
mendiskusikan soal pluralisme dan inklusivisme Islam, ia
juga sangat terkenal dengan gagasannya tentang
‘Pribumisasi Islam.’ Pribumisasi Islam adalah lokal Islam
atau bagaimana inti ajaran Islam diekspresikan dalam
bentuk budaya lokal. Tesis Pribumisasi bagi Wahid

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


311
bermula dari sebuah kenyataan bahwa Islam mengalami
perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Dalam
bidang teologi, fikih, politik dan unsur-unsur Islam lainnya,
Islam selalu mengalami pergumulan dan dialektika dengan
budaya-budaya di seluruh dunia tempat Islam datang dan
disambut. Ruh Islam tetap pada esensinya, namun bentuk-
bentuk luarnya tidak harus selalu di “Arabkan,” karena
tidak adanya keharusan (kewajiban) hukum agama untuk
diseragamkan. Dalam konteks Islam Indonesia, Wahid ber-
tanya: mengapa harus menggunakan kata ‘shalat,’ kalau
kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapa
harus ‘dimushalakan,’ padahal dahulu toh cukup langgar
atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’
kalau dijadikan ‘milad.’ Dahulu tuan guru atau kiai
sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa.
Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang
semula mendukung kehadirannya di Nusantara ini? (Wahid
dalam Ismail, ed., 2000:64 dan Wahid dalam majalah
Tempo: 16 Juli 1983).
Menurut Wahid, yang ‘dipribumikan’ adalah mani­
festasi atau ekspresi kehidupan Islam, bukan ajaran yang
menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya.
Tidak diperlukan adanya ‘al-Qur’an Batak’ atau ‘Hadis
Jawa.’ Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak
berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Karena
itu, sebagai bentuk kecintaan kepada budaya-budaya yang
telah lama berakar di Nusantara, Wahid lagi-lagi bertanya
secara retoris: salahkah jika Islam ‘dipribumikan’ sebagai
manifestasi kehidupan? (Wahid dalam Ismail, ed.,2000:64
dan Wahid dalam majalah Tempo: 16 Juli 1983). Tentu

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


saja bagi Wahid, jawaban atas pertanyaaan itu adalah
bukan semata tidak salah melainkan juga perlu demi
menunjukkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, di mana
rahmat-Nya bisa “menyentuh” atau “mengakomodasi”
kebudayaan umat manusia yang sejalan dengan esensi
ajaran Islam, bahkan rahmat itu bisa mewujud dalam
wajah kebudayaan yang humanis.
Semasa hidupnya, Wahid aktif sebagai kontributor
dalam acara-acara JIL, terutama on air di Radio 68H setiap
Sabtu pagi selama 4 tahun (2005-2009), dengan acara
khusus “Kongkow Bersama Gus Dur”.6 Dalam salah satu
acara on air bersama JIL (2006), Wahid pernah membuat
pernyataan yang menghebohkan. Ketika menjelaskan
hubungan lelaki dengan perempuan dalam al-Qur’an, Wahid
berseloroh bahwa “al-Qur’an adalah kitab suci paling porno
di dunia.” Kontan saja, muncul reaksi keras dan kemarahan
sebagian muslim Indonesia. Mereka meminta Wahid untuk
meminta maaf kepada umat Islam karena dianggap telah
“melecehkan” al-Qur’an . Namun, Wahid

Host acara ini adalah Muhammad Guntur Romli. Romli adalah


alumni Pesantren Al-Amin, Madura (1997) dan menyelesaikan
Bachelor/LC di Universitas al-Azhar, Mesir (2004). Ia bergabung
dengan JIL pada 2005. Salah satu karyanya yang terkait dengan
aktivitasnya di JIL adalah Islam Tanpa Diskriminasi (2013). Tidak lama
sebelum Romli bergabung dengan JIL, terdapat anak-anak muda
progresif yang telah bergabung dengan JIL pada 2002 seperti Anick HT,
Burhanuddin Muhtadi dan Novriantoni Kahar. Novri adalah alumni
Pesantren Gontor, Jawa Timur (1996), menyelesaikan Bachelor/LC di
Universitas al-Azhar, Mesir pada 2001 dan S-2 di Universitas Indonesia
pada 2005. Moqsith bergabung pada 2003.
Bisa dikatakan bahwa Anick, Burhan, Novri, Moqsith Ghazali, dan
Guntur Romli adalah generasi kedua JIL setelah Ulil Abshar-
Abdalla.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


313
enggan melakukannya dengan argumen bahwa ia sedang
membicarakan sesuatu yang faktual dalam al-Qur’an,
dan bukan sedang menghina al-Qur’an . Kejadian itu
cepat berlalu, dan Wahid tetap dihormati oleh sebagian
besar warga NU karena kewibawaan intelektual dan
spiritual yang melekat pada dirinya.
Pemikiran tiga tokoh di atas: Nasution, Madjid dan
Wahid, bagi sebagian muslim awam Indonesia dianggap
‘terlalu tinggi,’ dan sulit dipahami. Kesulitan memahami
mereka pada saat itu juga dihubungkan dengan isu-isu
emosional seperti ‘proyek orientalis’, ‘antek asing’ dan lain-
lain. Akhirnya, alih-alih merenungkan ide-ide keislaman
mereka, yang sering kali muncul adalah kecurigaan,-
kecaman, dan kebencian terhadap ketiga tokoh di atas,
terutama dari kelompok muslim skripturalis. Bagai-
manapun, dalam diskursus Islam Indonesia, ketiga tokoh
itu bersama-sama dengan Ahmad Wahib dan Djohan Effendi
dianggap sebagai “tokoh Islam liberal Indonesia” periode
pertama.7 Dan karena itu, sulit memisahkan

Termasuk dalam tokoh liberal periode ini adalah Munawir


Sjadzali (1925-2004), mantan diplomat dan mantan Menteri Agama RI
dua periode (1983-1993). Sjadzali dibesarkan di sebuah pesantren di
Solo, dan mendapat gelar Master di Amerika Serikat dengan tesis
tentang politik Islam Indonesia. Sjadzali dikenal luas setelah
melontarkan gagasan mengenai hukum waris Islam yang bersifat adil,
yaitu laki-laki dan perempuan mendapat jatah waris yang sama.
Padahal ketentuan waris al-Qur’an adalah laki-laki mendapat dua,
sedangkan perempuan mendapat satu. Gagasan Syadzali tentu
mendapat reaksi dan penolakan yang luas dari muslim Indonesia
karena dianggap bertentangan dengan teks al-Quran. Dalam salah
satu karyanya, Ijtihad Kemanusiaan (1997), Sjadzali kembali
menunjukkan karakternya sebagai muslim liberal. Ia mengulas isu-isu
kemanusiaan dan keislaman dengan perspektif kedudukan nalar yang
tinggi. Teks-teks Islam dipahami oleh Sjadzali secara

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


kemunculan dan perkembangan JIL dengan gagasan
‘Islam progresif’ dari kelima tokoh itu. JIL, terutama pada
sosok Ulil Abshar-Abdalla, telah mengambil banyak in-
spirasi, isu dan metodologi dari para tokoh Islam liberal
periode pertama. Di samping itu, seperti telah disebut--
JIL juga mendapat banyak pengaruh dari para sarjana
Muslim global dari Barat dan Timur.

MENGAMPANYEKAN ISLAM YANG HIDUP,


PLURALISME DAN MENOLAK TEOKRASI
Pada 18 November 2002 panggung Islam Indonesia
dihebohkan oleh tulisan Ulil di Harian Kompas. Di Koran
dengan oplah terbesar di Indonesia itu, Ulil menulis sebuah
opini bertitel Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.
Dalam tulisan itu, Ulil terlihat “geram” sekali dengan kaum
fundamentalisme Islam. Ada empat hal pokok isi tulisan itu.
Pertama, soal jilbab, potong tangan, qishas,

kontekstual. Sjadzali banyak merujuk kepada Umar Ibn Khaththab


yang dianggapnya liberal. Kasus-kasus Umar dengan Nabi dan
para Sahabat menunjukkan bahwa Umar “melampaui teks” dengan
cara melihat konteks dan penggunaan nalar untuk kemaslahatan
ummat Islam. Sjadzali dikenal dekat dengan tokoh-tokoh liberal
seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Lihat
Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (1995) dan Ijtihad
Kemanusiaan (1997). Dalam menolak negara teokrasi dan
mengampanyekan negara Pancasila, Sjadzali menulis satu buku
berjudul Islam dan Tata Negara (1990). Dalam buku itu, Sjadzali
menegaskan bahwa Nabi di Madinah tidak pernah membentuk
negara Islam (teokrasi). Yang ia bentuk adalah negara madani
dengan konsep pluralitas warganya. Piagam Madinah yang dibuat
Nabi adalah aturan hidup bersama antara kaum muslim dan para
penganut agama lain di Madinah. Piagam itu menurut Sjadzali,
sangat inklusif. Indonesia yang majemuk dengan ideologi Pancasila
dan Bhineka Tunggal Ika, menurut Sjadzali, sudah sangat sesuai
dengan negara madani yang dibentuk oleh Nabi.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


315
hukum rajam, jenggot dan jubah tidak wajib diikuti oleh
kaum muslim karena itu hanya ekspresi lokal partikular
Islam di Arab. Kedua, menurut Ulil, tidak ada “hukum
Tuhan” dalam pengertian yang biasa dipahami oleh umat
Islam. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum universal
yang disebut dengan maqashid al-syari’ah (tujuan umum
syari’at Islam). Ketiga, kaum muslim tidak wajib mengikuti
Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di
Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai
universal dengan situasi sosial Madinah dengan seluruh
kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu
trade-off antara yang “universal” dengan yang “partikular.”
Lagi pula kata Ulil, Islam di Madinah adalah one among
others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi.
Keempat, adanya kecenderungan umat Islam Indonesia yang
“me-monumenkan” Islam hingga menjadi agama yang beku
dan mati. Seolah-olah Islam adalah “paket” Tuhan yang
taken for granted; tidak bisa dipikirkan dan diperdebatkan
lagi. Karena itu, Ulil mengajak pembacanya untuk
mengembangkan Islam yang hidup, yang segar, yang cerah,
yang lebih dapat memenuhi maslahat umat manusia
(Abshar dalam Kompas, 18 November 2002).
Kontan saja, setelah tulisan itu tersebar luas, muncul
kemarahan umat Islam di mana-mana dan menganggap Ulil
telah “menghina” Islam. Suara Hidayatullah, sebuah
majalah bulanan milik muslim konservatif membuat jajak
pendapat dengan pertanyaan: setujukah bahwa tulisan Ulil
telah menghina Islam? Jawaban responden: 78.15% setuju,
17.68% tidak setuju, dan 4.17% tidak tahu. Tulisan Ulil juga
telah membuat 80 ulama Jawa Timur, Jawa

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


Tengah dan Jawa Barat yang tergabung dalam Forum
Ulama-Umat Indonesia (FUUI) berkumpul di Bandung
pada 1 Desember 2002. Hasil dari pertemuan itu sangat
mengejutkan. Para ulama menuntut Ulil—dan siapa pun
yang telah menghina Islam, Allah dan Rasulullah untuk
“dihukum mati.” Untuk mengeksekusi tuntutan itu, FUUI
kemudian melaporkan Ulil ke Polri. Ulil sendiri mengaku
merasa agak takut meskipun ia menilai “fatwa” FUUI itu
tidak kredibel karena NU dan Muhammadiyah tidak ikut
menandatangani. (Jurnal Dirosah Islamiyah, Vol. 1, No.
1,2003:7-9.
Peristiwa itu membuat JIL semakin populer dan
menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Ulil dan JIL
“dikutuk” di mana-mana namun juga didukung oleh
kaum muda muslim progresif. Bagi kaum muda muslim,
pemikiran Ulil dan para pembaru yang lain adalah
sebuah “harapan” akan kelangsungan dan masa depan
Islam itu sendiri. Agama yang hidup adalah agama yang
bisa beradaptasi menghadapi perubahan. Adaptasi dan
reformasi tafsir keagamaan tidak akan menghilangkan
prinsip pokok ajaran agama. Kaum beragama harus
berusaha mengadaptasi dan memahami setiap konsep-
konsep baru yang berkembang di dunia modern untuk
diselaraskan dengan jiwa dan nilai agama. Jika mereka
menemukan kontradiksi, mereka akan menafsirkan
ulang doktrin-doktrin lama yang mereka anut agar sesuai
dengan semangat zaman yang dihadapi.
Apakah setelah kegaduhan akibat fatwa FUUI Ulil
menjadi bungkam? Ternyata tidak. Tokoh-tokoh Muslim
moderat di NU, Muhammadiyah, UIN dan Paramadina

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


317
kerap membelanya, sehingga Ulil merasa memiliki
banyak dukungan. Bagi Ulil, agama adalah suatu
kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia
adalah organisme yang terus berkembang, baik secara
kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa
mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu
sendiri. Karena itu, yang dibutuhkan adalah “agama yang
hidup” atau “Islam yang hidup” sebagai lawan dari “Islam
yang mati” milik kaum fundamentalis (Abshar dalam
Kompas, 18 November 2002).
Salah satu bentuk Islam yang hidup adalah meng-
apresiasi pluralisme. Untuk isu ini, Ulil memulai dengan
cara mendekonstruksi pandangan kaum Muslim bahwa
Islam adalah agama yang paling benar dan sempurna.
Menurut Ulil, pandangan ini begitu kuat di abad 20
ketika kaum muslim inferior di hadapan modernitas dan
peradaban Barat yang unggul. Padahal, jika menelaah
tradisi penafsiran Quran pada periode klasik (yaitu
antara abad ke-8 hingga ke-12 Masehi, periode di mana
kegiatan intelektual dalam dunia Islam mencapai puncak
kreativitasnya), konsep “kelengkapan/kesempurnaan” itu
tidak terlalu mendapatkan perhatian yang khusus. Saat
itu, Islam sedang berada di puncak tertinggi peradaban.
Karena itu, konsep kesempurnaan tidak terlalu
dimunculkan oleh para sarjana muslim saat itu.
Menurut Ulil, menganggap Islam sebagai yang paling
sempurna seperti terlihat sangat mencolok di abad modern
ini, melahirkan perasaan “superior budaya.” Perasa­an
superior itu akan menyebabkan rasa “cukup diri” (self
sufficiency) secara kebudayaan, sehingga tak perlu belajar

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


dari golongan lain. Jika saya atau kami sudah cukup,
kenapa mesti mengambil dari yang lain? Dari superior
budaya, lahirlah sikap tertutup (eksklusif), yang
sebenarnya sangat berbahaya. Sikap tertutup dan
menutup diri itulah yang sekarang menimpa kaum
muslim di mana-mana. Mereka tidak mau belajar dan
menerima kebenaran dari orang lain.
Ulil kemudian bertanya, apakah maksud kesempurna-
an Islam adalah bahwa agama ini telah menjelaskan semua
pesoalan keagamaan dan kehidupan yang kompleks ini?
Tentu saja jawabannya: tidak! Persoalan-persoalan
keagamaan yang sederhana seperti bagaimana hukumnya
merokok, halal, haram atau makruh? Al-Qur’an tidak
menjelaskan secara eksplisit. Bagaimana hukumnya KB,
bayi tabung, menikah jarak jauh (melalui telepon), dan lain-
lain, al-Qur’an juga tidak menjelaskan secara gamblang.
Apakah al-Qur’an dan hadis Nabi menjelaskan undang-
undang penerbangan sipil, undang-undang moneter dan
fiskal, undang-undang migas dan batubara, dan undang-
undang mengenai perlindungan hutan, laut, dan kekayaan
alam? Tentu saja tidak. Menurut Ulil, setiap tahun ada
ribuan undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh
parlemen di seluruh dunia yang tidak ada pedomannya di
dalam agama.
Lalu mengapa kaum muslim menganggap Islam sebagai
agama yang paling sempurna? Sempurna itu maksudnya
apa? Menurut Ulil, kaum muslim harus merumuskan
kembali konsep kesempurnaan itu melalui dua penafsiran
yang progresif. Pertama, kesempurnaan itu terletak pada
aspek akidah dan norma umum. Norma-norma umum ini

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


319
yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para sarjana
muslim menjadi norma khusus. Misalnya, dalam al-Qur’an
ada ayat tentang pentingnya melakukan musyawarah di
antara kaum muslim. Konsep musyawarah ini ternyata
kompatibel dengan model demokrasi modern. Kedua, watak
kesempurnaan Islam artinya sebuah watak dan sikap yang
terbuka untuk menerima berbagai kebenaran dan kekayaan
dari berbagai agama dan tradisi lain. Jadi, kesempurnaan
justru bermakna kesanggupan untuk menampung berbagai
kebenaran dari orang lain, bukan malah ketertutupan.
Karena itu menurut Ulil, kebenaran ada di mana-mana di
luar kaum muslim; ada di agama Zoroaster, Yahudi, Kristen
dan lain-lain. Dengan merujuk kepada Fazlur Rahman,
justru ciri orang bertakwa adalah rendah hati, yaitu sikap
mau menerima hikmah (wisdom) dari orang lain.8

Menurut Ulil dengan mengutip Nurcholish Madjid, pada


masa Nabi, Islam tidak dikenal sebagai nama agama, tapi
sebuah sikap ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan.
Pada mulanya, Islam adalah sebuah kualitas personal,
bukan agama institusional. Dalam pengertian kepasrahan
ini, agama Islam dengan agama lain sesungguhnya sejajar
(Qodir, 2010:205) . Ulil kemudian mengutip ayat al-Qur’an
tentang ‘khataman nabiyyin’. Kaum muslim biasanya
mengartikan ‘khatim’ sebagai penutup. Maksudnya Nabi
Muhammad adalah yang terakhir karena ia penutup para

Terkait pandangan-pandangan Ulil ini, saya ringkaskan dari dua


artikel Ulil di blog-nya, yaitu “Tentang Quran, Konsep Kelengkapan,
dan Superioritas Budaya ( 9 Juli 2010),” dan “Memahami Kitab Kitab
Suci Secara non-Apologetik (6 Agustus 2008)”. Lihat www.Ulil.net

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


nabi. Tetapi, Ulil lebih memilih membaca ayat itu sebagai
‘khatam’ yang berarti cincin. Nabi Muhammad adalah jari
di antara jari-jari yang ada, hanya saja “jari Nabi” begitu
istimewa karena mengenakan cincin kehormatan.
Dengan tafsir ini, maka Ulil meyakini bahwa sejarah
kenabian tidak berakhir dengan meninggalnya Nabi
Muhammad. Karena itu, setiap muslim adalah
“Muhammad-Muhammad kecil” yang mengemban sejarah
profetis sebagaimana Muhammad dulu. Tafsir ini
menurut Ulil, lebih progresif dibanding- penafsiran kaum
muslim fundamentalis yang hanya ingin menjadi “replika”
atau “imitator” Nabi tanpa berusaha keras membuat
sejarah yang progresif (Abshar, 2007: 77).
Terkait konsep pluralisme agama, Abd. Moqsith
Ghazali,9 akademisi UIN Jakarta yang pernah menjadi
Direktur Eksekutif JIL periode 2008-2013, menulis sebuah
buku akademik berjudul Argumen Pluralisme Agama,
Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (2009). Buku ini
adalah disertasi Doktoral Moqsith dalam bidang Tafsir al-

9 Moqsith adalah santri Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah,


Situbondo, Jawa Timur, yang diasuh oleh Kyai Romo As’ad
Syamsul Arifin, tokoh besar NU. Ia tinggal di pesantren itu hingga
menyelesaikan S-1 pada Institut Agama Islam Ibrahimi (1995) milik
pesantren itu. Kemudian menyelesaikan S-2 (1999) dan S-3 (2007),
keduanya pada Pascasarjana UIN Jakarta. Moqsith diajak
bergabung dengan JIL pada 2003 karena dianggap memiliki
kemampuan mendalam membaca dan menganalisis kitab-kitab
klasik Islam, terutama Hukum Islam dan Tafsir. Selain itu,
retorikanya juga memukau. Saya kira penunjukan Moqsith
menjadi Direktur Eksekutif JIL ke-4 adalah karena penguasaannya
terhadap kitab klasik Islam untuk memperkuat argumen eksistensi
Islam liberal, karena kitab-kitab klasik itu biasa menjadi rujukan
kaum muslim, terutama ulama-ulamanya.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


321
Qur’an. Moqsith mendiskusikan tema-tema pokok yang
cukup sensitif di kalangan kaum Muslim yaitu soal
toleransi dan kebebasan beragama, pengakuan akan
keselamatan umat non-Islam, doktrin tentang kafir,
syirik, ahli kitab, kebolehan menikah dengan pasangan
non-Muslim, soal perbedaan jihad dan perang. Tema-
tema itu dieksplorasi menurut ayat-ayat al-Qur’an dan
perspektif para mufasir. Moqsith mengurai secara detail
pandangan para ahli tafsir klasik dan modern, baik yang
eksklusif maupun yang inklusif, kemudian mengarahkan
pembicaraan ke arah tafsir al-Qur’an yang humanis dan
progresif dalam bingkai Islam yang pluralis. Yang
istimewa dalam karya itu adalah bahwa Moqsith berhasil
menyajikan wawasan al-Qur’an dan perspektif para
mufasir mengenai doktrin Islam yang bersifat lokal-
partikular dan ajaran lain yang humanis-universal.
Gagasan pluralisme agama yang diusung Madjid,
Wahid, Djohan Effendi, dan diperkuat oleh tokoh-tokoh JIL
di atas mengundang kemarahan kaum muslim konservatif.
Bagi mereka, pandangan yang ingin menyetarakan Islam
dengan agama-agama lain, sangat membahayakan akidah
kaum muslim. Melalui lobi-lobi mereka yang cukup intens
kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), akhirnya pada 2006
MUI mengeluarkan fatwa haram bagi paham pluralisme
agama. Dalam fatwa itu, MUI menjelaskan bahwa yang
dimaksud pluralisme agama adalah “suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh
sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


agama lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan
bahwa semua pemeluk agama yang berbeda-beda akan
masuk surga dan hidup berdampingan di dalamnya.”
Dengan paham seperti itu, maka bagi MUI “Pluralisme,
sekularisme, dan liberalisme agama adalah paham yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam.” “Umat Islam
haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan
liberalisme agama” (Sekretariat Majelis Ulama Indonesia,
2011: 91-92). Bagi MUI jelas, secara teologis, kebenaran
dan keselamatan di akhirat hanya milik agama Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad, dan hanya Islam
satu-satunya agama yang mendapat ridha Tuhan
(Sekretariat Majelis Ulama Indonesia 2011:89-90).
Segera setelah fatwa itu diumumkan, para tokoh Islam
moderat dan liberal berkumpul untuk memberikan reaksi
yang sangat keras. Dalam konferensi pers, secara
bergantian, Wahid, Syafii Ma’arif, Azyumardi Azra, dan Ulil
Abshar memberikan pernyataan yang berisi keprihatinan
atas fatwa itu dan mengkritik keras MUI. Menurut Wahid,
dengan fatwa itu MUI seolah-olah menutup mata atas
kemajemukan Indonesia, namun di sisi lain ingin tetap
hidup di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Ulil
sendiri secara emosional menyebut para ulama dalam MUI
bukanlah orang-orang yang berilmu (ulama) melainkan
orang-orang yang bodoh (juhala).
Fatwa hukuman mati bagi Ulil dan fatwa keharaman
pluralisme ternyata memiliki efek yang serius bagi
munculnya teror dan kekerasan. Dengan merujuk kepada
fatwa-fatwa itu, beberapa laskar Islam seperti Forum
Umat Islam (FUI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


323
Front Pembela Islam (FPI) mulai aktif berdemo menuntut
kepada pemerintah bahwa JIL harus dibubarkan. Ada
banyak kampanye di media massa dan foster-foster yang
bertuliskan “Indonesia damai tanpa JIL.” FPI secara aktif
juga menyerang markas JIL di Utan Kayu dan menuntut
markas itu untuk ditutup. Ulil sendiri merasakan bahwa
nyawanya dalam bahaya. Ia sering diintai oleh orang-orang
tak dikenal. Bahkan, seorang aktivis Islam, Iqbal Husaini
telah tiga kali mendatangi markas JIL di Utan Kayu dengan
niat membunuh Ulil. Namun sayang, ia tak memiliki
kesempatan yang tepat untuk bisa membunuh Ulil. Menurut
Luthfi yang mengutip laporan majalah Tempo (2005), niat
pembunuhan terhadap Ulil itu didasarkan Husaini pada
fatwa FUUI (2002) yang mengeluarkan fatwa mati untuk Ulil
(Assyaukani, 2007:147-148). Tak diragukan, di satu sisi,
aksi-aksi demonstrasi dan tindak kekerasan terhadap
tokoh-tokoh pengusung pluralisme dan liberalisme
membuat suatu kecemasan yang serius, namun di sisi lain
hal itu membuat JIL semakin po- puler. JIL dan tokoh-tokoh
senior muslim moderat yang membela Islam liberal menjadi
pembicaraan luas di ka- langan muslim Indonesia. Tindakan
pembunuhan tidak terjadi, dan segala kegaduhan akhirnya
terhenti. Dalam suatu cara yang “halus” kelihatannya
beberapa tokoh di pemerintahan berhasil “melindungi”
tokoh-tokoh muslim moderat-liberal.

Gagasan dan praktik mengenai Islam yang hidup dan


pluralisme agama tidak akan tumbuh berkembang di negara
yang menganut ‘negara Islam.’ Karena itulah, sejak awal JIL
menolak konsep negara teokrasi dan mendukung

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


konsep negara-bangsa (nation state) dengan sistem
demokrasi. Menurut Luthfi, Islam liberal meyakini bahwa
urusan pemerintahan dan politik adalah persoalan ijtihad
manusia, dan bukan sesuatu yang baku yang datang dari
masa silam dan dipaksa untuk diterapkan bagi manusia
modern. Argumen formalisme negara Islam tak lagi memadai
untuk menjawab kompleksitas kehidupan masyarakat
modern yang mengidealkan pluralitas, persamaan hak, dan
demokrasi. Bagi Luthfi, Islam liberal meyakini bahwa dasar
negara harus dikembalikan kepada unsurnya yang paling
luhur, yaitu keadilan dan persamaan, dan bukan pada
formalisme monolitik—seperti yang dikampanyekan kaum
Muslim fundamentalis, yang hanya akan memecah belah
masyarakat yang heterogen (Assyaukani, 2007:xxvi.

MENDEKONSTRUKSI PANDANGAN
TENTANG KESUCIAN AL-QUR’AN
Bagi kaum muslim di mana pun, al-Qur’an adalah kitab
suci yang sangat sakral dan harus diperlakukan secara
sakral pula. Ia menjadi ‘pusat fokus’ kaum Muslim dalam
kehidupan material dan spiritual. JIL memiliki perhatian
serius mengenai posisi al-Qur’an ini. Dengan mengambil
inspirasi dari seorang ulama klasik ahli kajian al-Qur’an,
Jalaluddin al-Suyuti, dan beberapa sarjana Muslim modern
seperti Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun, tiga tokoh
JIL: Ulil Abshar, Luthfi Assyaukani, dan Moqsith Ghazali
menulis beberapa artikel kritis tentang sejarah al-Qur’an,
proses kodifikasi al-Qur’an, kemungkinan kesalahan
gramatik al-Qur’an dan bagaimana seharusnya kaum
muslim memperlakukan al-Qur’an. Puncaknya, tiga

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


325
tokoh JIL itu menulis satu buku berjudul Metodologi
Studi al-Qur’an (2009). Menurut mereka, al-Qur’an harus
dilihat dalam dua hal yang berbeda. Pertama, ia adalah
wahyu aural, wahyu yang didengarkan. Persis seperti
wahyu dalam Weda yang disebut Sruti, yang artinya
“sesuatu yang didengarkan” oleh orang-orang bijak yang
dalam tradisi Hindu disebut rshi. Al-Qur’an adalah wahyu
yang didengarkan, lalu kemudian “dibaca” (dalam bahasa
Arab menjadi al-Qur’an, artinya bacaan). Kedua, al-
Qur’an harus dilihat sebagai kitab suci yang ditulis
(scripture) dan dikodifikasi (Ghazali, dkk., 2009: 38-39).
Ada proses manusiawi atau proses sejarah dalam
penulisan dan kodifikasi al-Qur’an .
Wahyu atau wahyu aural adalah sesuatu yang berada
di alam Ilahi bukan di area manusiawi. Klaim penerimaan
wahyu oleh kaum muslim adalah klaim subjektif yang
berada di luar nalar ilmiah. Persoalan wahyu sepenuhnya
adalah persoalan keimanan, dan bukan persoalan ilmu
pengetahuan. Karena itu klaim keterjagaan al-Qur’an seperti
firman-Nya, “Kami yang menurunkan al-Qur’an dan Kami
pula yang menjaganya (surat al-Hijr: 9),” harus dipahami­
bukan dalam konteks manusiawi, tetapi dalam konteks
Ilahi. Sebaliknya, berbeda dengan hal itu, me- nurut
ketiganya, penulisan dan kodifikasi al-Qur’an adalah proses
panjang pengumpulan, penyeleksian, peng- editan, dan
percetakan hingga akhirnya menjadi sebuah buku suci.
Menjadi jelas bahwa penulisan adalah proses manusiawi
yang bisa diuji dan diverifikasi secara objektif. Proses
penulisan kitab suci tak lebih dari sekadar proses penulisan
buku, melibatkan berbagai unsur: budaya,

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


bahasa, politik, dan kekuasaan.10 Dari sini harus di-
pahami, menurut tiga tokoh itu, sakralisasi al-Qur’an ber­
kaitan erat dengan proses pembentukan dan perjalanan
wahyu sebagai kitab suci. Proses sakralisasi berkembang
seiring proses penulisan dan kodifikasi al-Qur’an . Dalam
perkembangan itulah, pensucian atau menganggap suci al-
Qur’an adalah konstruksi sebuah masyarakat. Al-Qur’an
dianggap suci karena ada sekelompok masyarakat yang
menganggapnya suci (Ghazali, dkk., 2009: 31-32), tanpa
pernah memperhatikan secara kritis adanya proses-proses
manusiawi didalamnya.
Menurut ketiga figur JIL, saat ini yang terjadi adalah
kecenderungan kaum muslim untuk mensakralkan
huruf, script atau tulisan al-Qur’an dibanding semangat

Seperti diketahui secara umum oleh kaum muslim bahwa


Mushaf yang ada sekarang disebut Mushaf Utsmani karena
dikodifikasi secara seragam oleh Khalifah Utsman Ibn Affan. Kodifikasi
itu tentu saja adalah sebuah ijtihad yang baik tetapi tetap saja
melibatkan sisi subjektif Utsman dan adanya kekuasaan politik sang
Khalifah. Misalnya komisi yang dibentuk Utsman adalah Zayd Ibn
Tsabit, Abdullah Ibn Zubayr, Abdullah Ibn ‘Amr Ibn ‘Ash dan Abdullah
Ibn ‘Abbas. Nama-nama itu juga hasil seleksi Khalifah Utsman yang
dianggap mampu melakukan tugas besar, dan yang terpenting adalah
loyal kepada Khalifah. Sebenarnya ada tokoh senior seperti Ibn Mas’ud
tetapi tidak dipilih oleh Utsman karena Ibn Mas’ud adalah tokoh senior
yang keras kepala. Sebelum Mushaf
Utsmani dikodifikasi, sebenarnya terdapat 15 Mushaf primer,
diantaranya Mushaf Umar Ibn Khaththab, Mushaf Ibn Mas’ud,
Mushaf Ali Ibn Abi Thalib, Mushaf Ibn ‘Abbas dan lain-lain. Tetapi
Utsman, dengan segala kekuasaan politiknya, ingin agar Mushaf
al-Quran milik umat Islam hanya satu saja. Maka terbentuklah
Mushaf Utsmani. Ternyata, antara Mushaf Utsmani dan Mushaf-
Mushaf yang primer itu terdapat beberapa perbedaan dalam hal
jumlah Surat, ayat dan kalimat-kalimat ayat al-Quran. Lebih lanjut
soal ini baca Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an
(Jakarta: Pustaka al-Vabet, 2013).

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


327
pembebasan dan pemuliaan manusia yang dikandung
Qur’an. Kaum muslim telah meletakkan Qur’an hanya
sebagai kitab suci yang tertulis dan sebagai kitab hukum
yang kaku dan rigid. Akibatnya, pertama, terjadi penguatan
skripturalisme yang eksesif, yaitu anggapan bahwa huruf
dan kalimat yang tertera dalam kitab suci harus dimengerti
secara “harfiah”, dan bahwa maksud Tuhan terkandung
secara transparan dan langsung dalam huruf itu. Kedua, al-
Qur’an disempitkan menjadi sekadar dokumen hukum yang
kedudukannya tidak jauh berbeda dengan naskah hukum
dalam pengertian hukum positif modern saat ini (Ghazali,
dkk., 2009: 43-44). Dengan kata lain, al-Qur’an
dimerosotkan derajatnya hanya menjadi “huruf” dan “kanon
resmi”, menjadi kitab aturan, atau dalam bahasa
Muhammad Arkoun menjadi “korpus resmi yang tertutup”.
Artinya, kanon resmi yang dibaca dan dipahami menurut
penafsiran tertentu yang dianggap otoritatif, dan
mengabaikan adanya pemahaman dan penafsiran lain yang
beragam. Padahal menurut ketiganya, al-Qur’an adalah
kitab petunjuk, kitab ilham yang membuka peluang banyak
penafsiran. Al-Qur’an adalah sumber inspirasi yang
membebaskan, sebagai bagian dari ritual sosial, sebagai
ilham dalam penciptaan artistik, sebagai elemen yang juga
ikut membentuk fantasi dan harapan komunitas muslim di
sebuah tempat tertentu, pada waktu tertentu pula (Ghazali,
dkk., 2009: 44-45) .
Melalui pandangan di atas, JIL telah mengkritik sikap
Bibliolatria11 kaum muslim Indonesia, yaitu sikap memuja

Kata Bibliolatry secara harfiah berarti “Penyembahan Bibel.”


Secara umum kata itu berarti “Pengagungan” Kitab Suci secara

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


dan menyembah kitab suci. Menurut Ulil, kesalahan fatal
kaum muslim adalah meyakini bahwa al-Qur’an adalah
kitab yang mengandung ketentuan yang seluruhnya
bersifat permanen, universal, dan abadi. Al-Qur’an
dianggap sebagai kitab yang “selalu relevan untuk semua
waktu dan tempat.” Al-Qur’an diyakini sebagai kitab yang
sempurna, mengandung seluruh kata kunci penyelesaian
atas semua masalah. Pandangan ini sering kali dipakai
sebagai ‘jargon politik’ oleh kelompok-kelompok tertentu
dan partai politik. Karena itu, pandangan ini harus
didekonstruksi. Kaum muslim harus menyadari secara
logis dan realistis bahwa ada beberapa ajaran dari Qur’an
yang bersifat permanen dan universal, tetapi banyak juga
yang bersifat temporer dan kontekstual. Adalah keliru
menganggap bahwa seluruh isi al-Qur’an bersifat
permanen dan universal (Ghazali, dkk.,2009:136-137) .
Menurut Ulil, universalisasi al-Qur’an adalah sama
bahayanya dengan universalisasi HAM dalam pandangan
modern yang juga ditentang di mana-mana. Alasannya
sederhana: kehidupan manusia pada dasarnya bersifat
konkret, dan kehidupan semacam itu bersifat partikular
bukan universal. Al-Qur’an turun dalam konteks kehi­
dupan Sahabat dan masyarakat Arab yang partikular,
sehingga tidak bisa dilakukan universalisasi al-Qur’an yang
pada mulanya turun kepada konteks yang konkret dan
partikular. Bagi JIL, sikap menguniversalkan al-Qur’an —
yang melahirkan sikap bibliolatria--harus dilawan (Ghazali,
dkk., 2009:137). Sikap bibliolatria hanya

berlebihan sehingga menyerupai penyembahan. Kata itu dikutip


oleh Ulil dari buku T.H. Huxley, Science and Hebrew Tradition.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


329
ingin meletakkan al-Qur’an semata-mata sebagai teks yang
terisolasi dari kenyataan dunia sekitarnya. Seolah-olah
umat Islam bisa dengan mudah ditarik mundur ke zaman
Nabi abad ke-7, dan al-Qur’an tidak bisa diajak berdialog
dengan kenyataan dan pengalaman hidup kaum Muslim di
abad industri ini (Ghazali, dkk.,2009:134). Menurut JIL,
agar al-Qur’an sebagai wahyu aural dan sebagai tulisan
dapat menjadi kitab suci yang hidup, maka kaum Muslim
harus dapat menangkap visi etis al-Qur’an yang
mencerahkan (Ghazali, dkk.,2009:138). Al-Qur’an memiliki
konsepsi yang cerah, optimis dan maju tentang manusia.
Karena itu, al-Qur’an berbicara tentang doktrin “takrim”
atau pemuliaan manusia; bahwa manusia dapat menjadi
“agen” atau khalifah dalam memakmurkan planet bumi
(Ghazali, dkk., 2009: 111).
Untuk dapat menangkap visi etis al-Qur’an, kaum
muslim harus berani “menyeberangi teks” atau go beyond
text. Menyeberangi teks tidak berarti “meninggalkan
teks”. Itu dua hal yang berbeda (Ghazali, dkk.,2009:135).
Kaum muslim menurut JIL, harus menyadari bahwa
wahyu verbal dalam al-Qur’an hanyalah separuh wahyu,
separuh lainnya adalah wahyu non-verbal berupa
pengalaman sejarah manusia (Ghazali, dkk.,2009:138).
Teks dan konteks harus terus berdialog. Dengan cara itu,
al-Qur’an benar-benar memiliki fungsi inspiratif dan
transformatif bagi kaum muslim modern.
Apa yang dilakukan JIL diatas tidak semata meng-
kritik tetapi juga ingin mendekonstruksi cara pandang
konvensional kaum muslim terhadap al-Qur’an, sebuah
kitab yang sangat sakral bagi kaum muslim. JIL ingin

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


mendekonstruksi bahwa al-Qur’an bukan segala-galanya
bagi kehidupan muslim. Sejarah dan pengalaman hidup
manusia juga memiliki nilai yang penting untuk mem-
bangun hidup yang lebih baik. Kandungan al-Qur’an juga
tidak semuanya bersifat final, permanen dan universal.
Kritik atau dekonstruksi JIL ini tentu saja mendapat
reaksi yang sangat keras dari muslim Indonesia.
Sebagian besarnya adalah reaksi berupa amarah yang
tidak pro- porsional.
Salah satu kritik yang cukup “proporsional” dan
“akademik” kiranya muncul dari Eva Nugraha, seorang
akademisi Studi al-Qur’an dan tafsir UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.12 Menurut Nugraha, JIL dalam Metodologi Studi al-
Qur’an (2009) tidak merujuk kepada karya-karya
kesarjanaan tentang teori-teori kitab suci, misalnya What Is
Scripture (19) karya W.C. Smith dan The Divine Inspiration of
Holy Scripture (1981) karya William Abraham. Cara pandang
JIL terhadap al-Qur’an persis sama dengan cara pandang
orang-orang Barat atau Kristen Barat terhadap Al-Kitab yang
menganggap kitab suci sebagai buku hasil intervensi
manusia. Jika JIL merujuk kepada Smith dan William
Abraham, maka akan dipahami bahwa apa yang disebut
kitab suci (scripture) adalah yang tertulis yang bermula dari
wahyu aural dan oral, lalu menjadi teks yang tertulis yang
tetap memiliki sakralitas dan otoritas. Dua hal ini yang amat
penting: sakralitas dan otoritas. Kitab suci, meskipun ia
telah menjadi buku yang tertulis sebagai

Nugraha menulis disertasi tentang Komodifikasi dan Sakralitas


Kitab Suci: Studi Industri Penerbitan Mushaf al-Quran di Indonesia
(2015).

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


331
hasil intervensi manusia, namun ia tidak kehilangan
sakralitas dan otoritasnya bagi para pembacanya. Bagi
JIL, kitab suci, termasuk al-Qur’an —melalui proses
kodifikasi yang manusiawi--seolah-olah telah kehilangan
sakralitas dan otoritasnya. Menurut Nugraha, inilah letak
kekeliruan pertama JIL.
Kedua, tulisan JIL tentang al-Qur’an terkesan seolah
ingin membuat perbandingan dengan karya-karya lain yang
serupa, misalnya “Ketika Torah menjadi Buku,” atau “Ketika
Al-Kitab menjadi Buku.” Namun, menurut Nugraha, yang
tidak dipertimbangkan JIL secara cermat adalah adanya
fakta terdapat ratusan versi Al-Kitab yang akhirnya
mengerucut kepada Al-Kitab versi King James yang
kemudian digunakan sampai sekarang. Fakta ini berbeda
dengan kasus al-Qur’an . Jika dibuat perbandingan dengan
Al-Kitab misalnya, maka naskah-naskah Mushaf yang
dianggap valid dan otoritatif yang kemudian “diseleksi”
hingga menjadi Mushaf Utsmani seperti yang ada saat ini
jumlahnya tidak mencapai ratusan seperti dalam kasus Al-
Kitab. Taufik Adnan Amal misalnya, mencatat hanya
terdapat 15 Mushaf primer dan 13 Mushaf sekunder yang
diseleksi oleh tim Utsman bin Affan (Amal, 174-175). Fakta
ini mengisyaratkan dua hal. Pertama, secara prinsipiel, tidak
terdapat pertentangan yang signifikan dalam hal makna
dalam mushaf-mushaf yang diseleksi, terutama pada
mushaf-mushaf primer. Biasanya yang terlihat berbeda
adalah dalam hal lafadz atau ekspresinya, tidak dalam
maknanya. Karena itu, kedua, meskipun terdapat intervensi,
namun intervensi itu tidak terlalu jauh dan rumit. Hanya
mencocokkan,

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


memilah dan mengedit mushaf-mushaf yang ada lalu
dikerucutkan dan diputuskan satu mushaf saja yang
dianggap valid dan otoritatif, yaitu Mushaf Utsmani. Sekali
lagi, proses ini pun bukan mengintervensi terlalu jauh dan
kompleks karena mushaf-mushaf yang ada secara umum
sudah seirama dalam hal susunan, lafadz dan maknanya.13
Menurut Nugraha, jika membaca karya JIL tentang al-
Qur’an, akan muncul kesan seolah hanya kitab al-Qur’an
yang paling terkena intervensi manusia dibanding kitab-
kitab suci yang lain. Padahal faktanya sama saja. Semua
kitab suci selalu mengalami proses manusiawi. Dan yang
terpenting, meskipun telah menjadi buku suci, tetapi kitab-
kitab suci itu tetap tidak kehilangan dua wataknya, yaitu
sakralitas dan otoritas. Kritik JIL, terhadap umat Islam yang
mensakralkan kitab al-Qur’an dengan “tanpa pernah
memperhatikan secara kritis adanya proses-proses
manusiawi di dalam pembentukannya menjadi buku suci”
memberi kesan bahwa wahyu Allah yang telah menjadi kitab
suci al-Qur’an itu telah kehilangan sakralitasnya. Menurut
Nugraha, kritik JIL itu kurang tepat. JIL sesung- guhnya
masih bisa mengingatkan kaum muslim untuk lebih
memahami isi dan spirit al-Qur’an tanpa perlu “menghajar”
proses kodifikasi Mushaf Utsmani. Karena proses kodifikasi
kitab suci semua agama pasti mengalami intervensi
manusia.
Ketiga, dengan banyak mengutip al-Suyuthi, bagi
Nugraha, pandangan-pandangan JIL sesungguhnya bukan
hal yang baru. Yang berbeda adalah bahwa al-Suyuthi sejak
abad ke-10 H atau 17 Masehi telah menceritakan
Menurut Nugraha, proses.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


333
pandangan banyak orang tentang pewahyuan al-Qur’an dan
beragam cara membacanya tanpa ada motivasi untuk
“menghajar” kitab (buku) al-Qur’an itu. Berbeda dengan JIL
yang sedari awal sudah “curiga” dengan semua hal (proses)
manusiawi dalam formasi al-Qur’an . Keempat, JIL sering
menyatakan bahwa sejarah (kodifikasi) al-Qur’an adalah
sejarah kekuasaan. Menurut Nugraha, dalam kajian sejarah,
telah sejak lama sejarah memang “milik” penguasa. Dan
Mushaf Utsmani sendiri memang lahir ketika sebagian besar
sejarah ditentukan oleh kekuasaan politik. Fenomena ini
juga menimpa sebagian besar sejarah dan perkembangan
agama-agama umat manusia yang arahnya ditentukan oleh
kekuasaan (termasuk formasi kitab-kitab suci mereka).
Baru di abad modern muncul secara kuat penulisan-
penulisan sejarah yang fokusnya pada masyarakat biasa
(sejarah sosial), dan bukan pada penguasa. Dengan model
ini, sekarang masyarakat jadi pemilik dan penentu sejarah.
Namun sekali lagi menurut Nugraha, kritik JIL terhadap
kekuasaan Utsmani yang telah membukukan al-Qur’an
memberi kesan yang kuat seolah hanya al-Qur’an saja kitab
suci sebagai hasil (produk) kekuasaan dari karya tulis
sejarah (historiografi).
Kritik-kritik lain terhadap JIL biasanya bersifat
emosional. Beberapa buku kemudian diterbitkan untuk
mengkritik JIL, di antaranya Islam Liberal: Sejarah,
Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya karya Adian
Husaini dan Nuim Hidayat (2002), Melawan Konspirasi
Jaringan Islam Liberal karya Fauzan Anshori (2003),
Membedah Islam Liberal: Memahami dan Menyikapi
Manuver Islam Liberal di Indonesia karya Adian Husaini

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


dkk (2003), Menangkal Bahaya JIL dan FLA (Fikih Lintas
Agama) karya Hartono Ahmad Jaiz dan Agus Hasan Bashori
(2004) dan lain-lain. Biasanya tulisan-tulisan dalam buku-
buku itu adalah reaksi yang bersifat emosional, berisi
asumsi-asumsi dan tuduhan yang menghubungkan JIL dan
tokoh-tokoh senior pembaru seperti Nurcholish Madjid dan
Harun Nasution dengan proyek Yahudi-Zionisme dan misi
Kristenisasi. Adian Husaini misalnya, seorang Islamis yang
sangat aktif mengkritik JIL dan tokoh-tokoh pembaru
menegaskan bahwa pemikiran teologi inklusif-pluralis, yang
diusung oleh Madjid dan JIL, adalah “hal yang sangat serius
dalam penghancuran akidah Islam” (Husaini dan Hidayat,
2002:82). Tentu saja, tuduhan Husaini itu terlalu
berlebihan, karena puluhan buku dan artikel yang ditulis
oleh Madjid dan tokoh pembaru lainnya tidak pernah
dimaksudkan untuk menghancurkan akidah Islam kaum
Muslim Indonesia. Sebaliknya, karena mencintai Islam,
Madjid dan Nasution misalnya--justru merumuskan model
Islam yang selaras dengan kemodernan dan ke-
indonesiaan. Dalam buku Husaini dan Nuim Hidayat, Islam
Liberal (2002), kita menemukan puluhan halaman berisi
asumsi-asumsi dan tuduhan-tuduhan keduanya bahwa JIL
dan para tokoh pembaru sangat terkait erat dengan
penghancuran akidah Islam, penghancuran syari’at Islam
serta hubungan Islam liberal dengan imperialisme Barat dan
Zionisme.
Adanya kritik dan reaksi emosional terhadap JIL adalah
sesuatu yang lumrah dan dapat dipahami karena cara
pandang dan referensi yang berbeda dalam memahami
Islam. Bacaan yang luas dan pengalaman bersentuhan

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


335
dengan banyak hal yang membentuk cakrawala dan horizon
yang luas tentu berbeda dengan bacaan yang terbatas dan
pengalaman terbatas dalam berinteraksi dengan dunia yang
luas dan kompleks. Dalam konteks ini, saya setuju dengan
catatan Zuly Qodir bahwa tema-tema yang diangkat dalam
diskursus JIL—dan para pembaru senior—adalah tema-
tema yang tidak semua orang dapat mengikutinya. Tema-
tema tersebut adalah khas kaum intelektual yang telah
dibekali dengan ilmu politik, sosiologi modern, antropologi,
filsafat dan ilmu sejarah. Di dalam kajian Islam sendiri,
mereka telah membaca ulumul qur’an, ulumul hadis, dan
sirah nabawiyah. Karena itu menurut Qodir, discourse Islam
liberal memang discourse tingkat tinggi yang membuat
‘orang awam’ kelabakan. Dan JIL sendiri memang bukan
komunitas “sembarangan,” tetapi kelompok eksklusif yang
hendak menawarkan discourse masa depan Islam Indonesia.
Meski eksklusif menurut Qodir, sisi positif dari discourse
Islam liberal adalah sosialisasi topik-topik keislaman yang
dahulu dianggap sangat “elitis” hanya milik kaum ulama,
para mujtahid dan intelektual Islam semata (Qodir,
2007:120-122). Tema-tema keislaman yang dahulu elitis itu
kini disebarluaskan oleh JIL, dan secara terbuka
didiskusikan oleh publik muslim dengan respons yang
sangat beragam.

MASA REDUP DAN KEMUNGKINAN MASA DEPAN


Memasuki dasawarsa kedua era 2000, komunitas JIL
dan istilah Islam liberal tidak populer lagi. Sesekali
terdengar nama itu secara sayup-sayup. Mungkin ada
faktor kritik keras, serangan, dan fatwa kaum ulama

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


tentang bahaya JIL bagi umat Islam, tetapi menurut
Moqsith, hal itu tidak terlalu signifikan. Moqsith Ghazali
mengungkapkan setidaknya ada tiga hal pokok yang
sangat signifikan yang membuat JIL semakin lemah.
Pertama, JIL kalah cepat merespons isu-isu aktual
keislaman dari lembaga lain seperti NU dan UIN. Kedua,
ketiadaan lagi dukungan dana yang memadai untuk
kegiatan-kegiatan JIL. Tahun 2001 hingga 2005 JIL
didanai oleh The Asia Foundation (TAF). Setelah itu ada
evaluasi dari TAF. Kabarnya TAF tidak mengurusi lagi
soal teologi, dan karena itu para Indonesianis yang
menjadi konsultan TAF menganggap tidak perlu lagi kerja
sama dengan JIL diteruskan. Indonesia dianggap sudah
menjadi negara yang sangat demokratis, sehingga
lembaga-lembaga donor memindahkan proyeknya ke
negara-negara yang penuh konflik seperti Afghanistan,
Pakistan, Mesir, Libya dan lain-lain (Wawancara dengan
Moqsith Ghazali, Jakarta, 5 Maret, 2015).
Ketiga, JIL dan penyebutan ‘Islam liberal’ mendapat
kritik dari tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, dan UIN yang
dulu menjadi para pendukungnya. Ada beberapa peristiwa
kompleks yang bisa dijelaskan. Ketika Islam radikal
melakukan aksi terorisme di banyak tempat di Indonesia
dan menyedot perhatian publik, maka tokoh-tokoh muslim
moderat dari NU, Muhammadiyah, dan UIN melakukan
kritik tajam terhadap radikal Islam dan mengampanyekan
Islam moderat. Namun bersamaan dengan mengkritik Islam
radikal (ekstrem kanan), mereka juga mengkritik Islam
liberal (ekstrem kiri) demi mengampanyekan Islam moderat
(Wawancara dengan Moqsith Ghazali, Jakarta, 5

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


337
Maret, 2015).
Terkecuali Gus Dur, Madjid, Djohan Effendi dan
Dawam Rahardjo, beberapa tokoh terkemuka NU dan
Muhammadiyah seperti Hasyim Muzadi, Said Aqil Siraj
dan Din Syamsuddin kerap mengkritik Islam liberal.
Beberapa tokoh UIN—yang dulu menjadi kontributor—
mulai “menjaga jarak” dengan JIL dan isu-isu Islam
liberal karena alasan-alasan politis, misalnya sekarang
telah menjadi pejabat tinggi di universitas atau Kemenag
RI, atau menginginkan diterima sebagai pejabat tinggi di
lembaga Islam lain. Dalam persepsi banyak muslim
Indonesia, di tengah semangat kembalinya muslim
Indonesia kepada Islam moderat, maka Islam liberal
dianggap sama bahaya- nya dengan Islam radikal. Dalam
pengertian inilah, para tokoh itu harus menjaga jarak
dengan isu-isu Islam liberal (Wawancara dengan Moqsith
Ghazali, Jakarta, 5 Maret 2015).
Dari sisi keilmuan, diskursus yang kerap diusung JIL
seperti hubungan Islam dengan pluralisme, hermeneutik,
HAM dan kesetaraan gender, sudah tidak banyak lagi
didiskusikan. Tokoh-tokoh UIN seperti Komaruddin Hidayat
dan Amin Abdullah tidak lagi banyak mendiskusikan
hermeneutik. Hidayat lebih banyak menulis tentang
spiritualitas Islam, pentingnya agama bagi masyarakat, dan
perlawanan terhadap fundamentalis muslim yang
mengusung ide teokrasi.14 Sementara Abdullah lebih

Karya terlaris Komar dalam satu dasawarsa terakhir adalah


Psikologi Kematian (2005). Karya ini sampai sekarang masih dicetak
dan diperbincangkan di kalangan kelas menengah muslim awam
perkotaan. Pada 2012 Komar menerbitkan bukunya yang lain berjudul
Agama Punya Seribu Nyawa. Sedangkan karya teranyar

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


banyak merumuskan integrasi ilmu-ilmu Islam dengan
sains untuk pengembangan keilmuan di universitas
Islam.15 Nasaruddin Umar yang dulu sangat terkenal
dengan isu Islam dan kesetaraan gender, sekarang
setelah menjabat sebagai pejabat tinggi Kemenag RI lebih
banyak menulis tentang pentingnya sufisme Islam bagi
muslim Indonesia.16 Kiranya saat ini tema-tema yang
dulu diusung JIL sudah tidak relevan. Perubahan dan
dinamika pemikiran dan gerakan Islam Indonesia hari ini
menyebabkan para pemikir muslim senior lebih senang
mendiskusikan tema-tema yang sedang aktual. Secara
umum topik-topik seputar spiritualitas Islam dan
normatif Islam masih menyedot perhatian publik muslim.
Sebaliknya, diskursus tentang Islam progresif dan isu-isu
Islam yang lebih akademik-intelektual sudah kurang
diberitakan oleh media massa, kurang publikasi, karena
itu kurang pula respons dari masyarakat luas.
Momen pemilu 2004, terlebih lagi pada pemilu 2009
dan 2014, sebagian besar anak-anak muda Muslim ter-
libat dalam politik praktis, baik untuk menjadi anggota
legislatif maupun menjadi pendukung calon-calon

Komar adalah Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila


(2014), sebuah karya kumpulan tulisan Komar dengan para sarjana
muslim Indonesia lainnya sebagai respons terhadap gerakan Hizbut
Tahrir Indonesia yang getol mengampanyekan negara teokrasi.
Gagasan besar Amin Abdullah tentang hubungan agama
dan sains dirumuskannya dalam apa yang ia sebut Integrasi-
Interkoneksi. Proyek besar Abdullah ini kemudian menjadi “
benchmark” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang
diimplementasikan dalam kurikulum-kurikulum yang dirancang
dan bangunan fisik kampus.
Karya terbaru Nasaruddin Umar tentang tasawuf adalah
Tasawuf, Gender dan Deradikalisasi Tafsir Agama (2014).

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


339
presiden yang akan bertarung. Kini, anak-anak muda itu
menjadi pragmatis. Dalam tujuh tahun terakhir, perhatian
masyarakat muslim juga tersedot terutama pada soal-soal
sosial dan politik, sesekali terjadi perbincangan keagamaan
karena insiden intoleransi. Namun, diskursus Islam
intelektual dengan respons yang luas seperti pada masa
1990-an dan awal 2000-an sudah melemah. Menurut
Moqsith, JIL dan isu-isu Islam liberal semakin melemah
ketika tokoh-tokoh senior muslim liberal seperti Madjid,
Wahid meninggal, Djohan dan Dawam sudah meninggal.
Tidak ada generasi pertama setelah mereka yang memiliki
akar Islam sosial (pengikut) yang kuat seperti Wahid, dan
akar Islam institusional seperti Madjid. Ringkasnya, figur-
figur muda seperti Ulil, Luthfi, Ihsan Ali Fauzi, Saiful
Muzani, Moqsith Ghazali dan lain-lain kurang memiliki
wibawa Islam intelektual dan spiritual seperti yang dimiliki
tokoh-tokoh senior di atas.
Masa depan gagasan-gagasan Islam liberal di Indonesia
sesungguhnya masih terbuka, namun harus dikemas dalam
format yang bisa diterima kaum muslim secara luas.
Sesungguhnya, meskipun JIL sudah redup, namun tokoh-
tokohnya masih aktif memberikan sumbangan pemikiran
bagi Indonesia, baik melalui tulisan-tulisan di media massa
maupun dalam ceramah-ceramah yang mereka sampaikan
di mana-mana. Sebagian ide besar Islam liberal
sesungguhnya senapas dengan ide-ide muslim moderat yang
ada di NU, Muhammadiyah, Paramadina dan UIN.
Pandangan keislaman yang moderat dan liberal juga sejalan
dengan nilai-nilai di dalam Pancasila dan Bhineka Tunggal
Ika. Karena itu, pemerintah juga akan

Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....


“mendukung” ide-ide progresif mereka. Hanya saja, ide-
ide progresif Islam liberal harus muncul dengan nama
lain yang simpatik, karena istilah ‘Islam liberal,’ bagi
sebagian besar Muslim Indonesia, sudah telanjur menjadi
hantu yang menakutkan, sama menakutkannya dengan
istilah ‘Islam radikal.’ Sepertinya, nama JIL sudah
“tamat” bagi sebagian besar muslim Indonesia.
Akhirul kalam, ide, pikiran, dan gagasan sejatinya
tak akan pernah mati. Ia seperti ruh; selalu hidup dalam
alam yang abstrak namun denyut kehidupannya selalu
terasa dalam alam yang nyata. Karena itu, jika anak-
anak muda muslim yang terdidik dalam Islam intelektual
terus merawat idealisme mereka untuk pembaruan Islam,
untuk Islam yang dinamis, dan untuk Indonesia yang
modern—dan dengan dukungan pendanaan yang
memadai, maka ruh dan gagasan-gagasan besar Islam
liberal sesungguhnya tidak pernah mati.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


341
Bab IV — Isu-isu Gagasan Nasionalisme, Emansipasi Wanina,....
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik,. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah


Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.
Adams, Charles C., Islam and Modernism in Egypt, Oxford
university Press. London, 1933.
Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. Melacak Akar Sosial-
Politik Intelektual Islam Indonesia: Sebuah Survei
Bibliografis, dalam Culture and Literature, Kyoto
Review of Southeast Asia, 8-9 March 2007
Ali, As`ad Said, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan
Berbangsa, Jakarta: LP3ES, 2009.
Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar, Merambah Jalan Baru
Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam masa Orde Baru.
Bandung: Mizan, 1986.
Al-Salam, Izzu al-Din Ibn Abdi, Qawaid al-Ahkam fi
Mashalih al-Anam, Beirut: Dar al-Jil, Tanpa Tahun.
Amin, Ahmad, Yaum al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah
al-Mishriyyah, t.t.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


343
_____, Zu’ama’ al-Ishlal fi al-‘Ashr al-Hadis, Kairo: Maktabah
al-Nahdah al-Mishriyyah, 1979.
Amin, Qasim, Tahrir al-Mar’ah Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970
_____, Al-Minhaj al-Jadidah fi al-Adab al-Arabiy, Jl.II, Dar
al-‘ilm li al-Malayin, Bairut, 1969.
Antonius, George, The Arab Awakening : The Story of the
Arab National Movement. New York: Gordon Press,
1981.
Anwari, Tontowi dan Rahmawati, Evi, Pembaruan Pemi-
kiran Islam di Indonesia. Jakarta: LSAF, 2011.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama, Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung:
Mizan,,1999.
____, ‘Teaching Tolerance Through Education in Indonesia’,
Symposium International Paper in Cultivating
Wisdom, Harvesting Peace, Multy-Face Centre
Graffith Uni- versity, 10-13 Augutus 2005.
Bahar, Saafroedin dkk (ed.), Risalah Sidang BPUPKI &
PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Jakarta:
Sekretariat Negara RI, 1995.
Russel, Bertrand, History of Western Philosophy. London:
Routledge, 1966.
Bizawie, Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara:
Sanad dan Jejaring Ulama Santri (1830-1945),
Ciputat-Tangerang: Pustaka Compass, 2016.
Carl Brockelmann, History of The Islamic People. London:
Routledge & Kegan Paul, 1980.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Donohue, John J dan Esposito, John L. Islam dan

Daftar Pustaka
pembaruan. Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Thought, The
Macmillan Press, London: LTD., 1982.
Encyclopedia Britanica, USA: William Benton Publisher,
vol.XV, 1970.
Esposito, Jhon L., Dinamika kebangkitan Islam. Jakarta:
Rajawali Pers, (2001).
Feilard, Andree, NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk
dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Fernau, F.W., Moslems on the March : People and Politics
in the World of Islam, London: Robert Hale Limited,
(1955).
Gibb, H.A.R., dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of
Islam. New York: Cornell University Press, 1953.
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1975.
Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age. London:
Oxford University Press, 1962.
Huntington, Samuel P., The Clash of Civilization:
Remaking of the World Order. New York: Simon and
Schister. Lapidus, M. Ira “Sejarah sosial Umat Islam”.
Rajawali Press, 1997.
Jamhari dan Jahroni, Jajang (ed.). Gerakan Salafi Radikal
di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Jan Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam,
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Khallaf, Abdul Wahab, `Ilm Ushul al-Fiqh, Mesir:
Maktabah al-Da`wah al-Islamiyah, 1968.
Lewis, B., dkk. (Editor), The Encyclopaedia of Islam, Leiden:
volume II, E.J. Brill, L., (1965).

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


345
Lorens Bagus, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Madjid, Nurcholish, (1993). “Beberapa Renungan tentang
Keagamaan untuk Generasi Mendatang, dalam
Ulumul Qur’an 1, IV, 1993.
____, Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina,
2004.
____, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan
Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
____, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina,
1995.
____, Khazanah Intelektual Islam. 1995. Jakarta: Bulan
Bintang.
May, L.S., Iqbal, the Humanist: In Memoriam. Iqbal
Review, Vol XVIII, No.4, 1978
Moelino, Anton M. (Penyunting Penyelia), Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Jakarta, cetakan ke-2, (1989).
Nasution, Harun, Pembaruan dalam Islam: Sejarah dan
Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1984 Nurcholish
Madjid. (1995).
Nurdin, M. Amin dan Ropi, Ismatu, Respons Kelompok
Non-Islam terhadap Islam di Indonesia. Jakarta:
Idayus, 2011.
Panitia Muktamar NU, (1986). Hasil Muktamar Nahdlatul
Ulama ke-27 Situbondo. Semarang: Sumber Barakah,
1986.
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas. Bandung:
Pustaka, 1985.
____, Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban. Jakarta:
LSAF, 2017

Daftar Pustaka
____, Interpreting the Qur’an Inquiry, 1986.
____, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago & London: The University of
Chicago Press, 1982.
____, Islamic Methodology in History, Karachi: Central
Institute of Islamic Research,1965.
____, “Some Islamic Issues in the Ayyub Khan Era” dalam
Donal P. Little (ed.), Essays on Islamic Civilization:
Presented to Niyazi Berkes, Leiden: E.J. Brill, 1976.
____, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford
T.Welch & Pieree Cachia (ed.), Islam: Past Influence
and Present Challenge, Edinburgh: Edinburgh Uni-
versity Press, 1979.
____, Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an,
Minneapolis-Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980.
____, The Ideological Experience of Pakistan. Islam and the
Modern Age, Vol. No.4, 1971.
Rippin, Andrew, “Interpreting the Bible Through the
Qur’an.” Dalam Hawting, G.R. dan Shareef Abdul-
Kader A. (ed.). Approaches to the Qur’an. London:
Routledge, 1993.
Ropi, Ismatu, “Wacana Inklusif Ahl al-Kitab.” Jakarta:
Paramadina 1, no. 1, 1999.
Russel, Bertrand, History of Western Philosophy. London:
Routledge,1966.
Sahal, Ahmad, “Prolog: Kenapa Islam Nusantara”, dalam
Akhmad Sahal (ed.), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh
Hingga Paham Kebangsaan, Bandung: Mizan, 2015.
Sidjabat, Bonar, Religious Tolerance and the Christian Faith:
A Study Concerning the Concept of Divine Omnipotence

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


347
in the Indonesian Constitution in the Light of Islam
and Christianity. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1965.
Sjadzali, Munawir, H.,M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran
Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1990.
Tal’at harb, Tarbiyat al-Mar’at wa al-Hijab. Kairo: Dar al-
Ma’arif, 1905.
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai
Indonesia & Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The
Wahid Institute, 2007.
____, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta:
Desantara, 2001.
Yudi Latif, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam
Perbuatan, Bandung: Mizan, 2014.
Yusqi, M. Isom, dkk, Mengenal Konsep Islam Nusantara,
Jakarta: Pustaka STAINU, 2015.

Daftar Pustaka
INDEKS

A Abdul Halim 29
Abdul Karim Soroush 298
Abd al-Rahman al-Jabarti
Abdullah Ahmad an-Naim
56
298
Abd al-Raziq 113
Abdurrahman Wahid 242,
Abd. Moqsith Ghazali 296,
321 276, 291, 297, 301,
Abduh viii, 5, 15, 20, 24, 27, 306, 311, 315
29, 30, 31, 57, 70, 85,
Abid al-Jabiri 298
96, 103, 104, 105, 106,
absolutisme 52, 58
107, 110, 113, 114, 115,
accumulative global damage
118, 119, 120, 122, 124,
125, 126, 129, 133, 134,
242
Adian Husaini 334, 335
138, 139, 140, 142, 144,
Adib Ishak 85
145, 147, 149, 151, 157,
Adib Ishaq 142
159, 171, 179, 241
Agus Hasan Bashori 335
Abduh, Muhammad 5 A. Hasan 29, 30
Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah 253

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


349
Ahmad Amin 84, 91, 93, 239, 241, 267, 287,
96, 106 300, 302, 327, 340
Ali, Mukti 9
Ahmad Dahlan 29, 30, 41, al-Irsyad 29, 105, 127, 134,
241 136
Ahmad Khan 5, 27, 31, al-Jisr 123, 124, 133, 134,
210, 211, 241 141
Ahmad Syurkati 29, 30 Al-Jisr 125, 133 al-
Akhmad Sahal 296, 347 al- Maududi, Abul Ála 30,
Afghani 5, 15, 20, 27, 29, 265, 267
30, 57, 83, 84, 85, 86, al-Suyuthi 333
87, 88, 89, 90, 91, 92, al Sya’rawi 267
93, 96, 99, 101, 102, al-Tahtawi 30, 69, 70, 72,
103, 108, 109, 110, 73, 74, 75, 76, 77, 78,
116, 124, 125, 134, 79, 80, 81, 82, 86, 107,
141, 159, 179, 211 109, 156, 157, 171,
Al-Afghani viii, 28, 29, 88, 177
95, 96, 98, 102, 103, Al-Tahtawi viii, 15, 72, 73,
138, 241 74, 75, 76, 77, 79, 80,
81, 82, 241
al-Afghani, Jamaluddin 5 al-Tahtawi, Qasim Amin 30
al-Bustami 30 Amin Abdullah 300, 338,
al-Farabi 27 339
al-Ghazali 141, 205 an episode of decisive
al-Hizb Watani 109 importance 61
Ali, Amir viii, 5, 15, 30, 40, a priori 216, 217, 289
62, 65, 68, 71, 73, 74, Aristotelian 3
76, 83, 86, 99, 100, Arkoun 241, 268, 298, 325,
101, 106, 107, 109, 328
155, 156, 174, 185, asimilasi 24 Azhar
186, 187, 192, 193, Ibrahim 298
195, 197, 199, 211,
Indeks
Azyumardi Azra 6, 275, 264, 265, 266, 267, 268,
296, 300, 323 298, 300, 320, 325
despotisme 84, 85, 86, 87,
B
97, 100
Bahtiar Effendi 300 dialektika 273, 277, 312
Bakhtiar Effendi 296 Din Syamsuddin iii, vi, 14,
Blunt 112 225, 300, 338
BPUPKI 258, 344 Diwan al-Ummah 53, 54
Brown 112 Djohan Effendi 9, 297, 301,
Budhy Munawar Rachman 314, 322, 338
307
Bukhait, M. 198, 199
E
Effendi, Djohan 9
C
Effendy, Bahtiar 8, 343
Chandra Muzaffar 23 elitisme 11
Charles C. Adams 93 Ernest Renan 105, 143
Charles Kurzman 297, 301, Esposito, John L 11, 13, 14,
302, 303 104, 105, 114
civil society 246, 247, 256
F
Cokroarimoto 30
Colombus 49 Fahmi Huwaidi 268
Farid Esack 298
D
fatalisme 131
Daniel S. Lev 299 Fatalisme 87
Dawam Rahardjo 7, 9, 10, Fauzan Anshori 334
301, 338 Fazlur Rahman viii, 23, 26,
de facto 54 27, 201, 202, 203, 208,
de jure 54 209, 210, 215, 217,
demokrasi 22, 82, 94, 111, 241, 320, 325
198, 256, 257, 262, filsafat 307

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


351
Filsafat 307 filsafat Holt 61
rasional 27 hukum kausalitas 5, 87, 91
Front Pembela Islam (FPI) humanisme 311
324 Humanisme 3
fundamentalisme 222, 223,
I
299, 305, 315
Ibn Khaldun 188
G Ibn Maskawaih 109
Gerakan Sanusiyah 26 Ibn Qayyim al-Jauziyah 35
Greg Barton 297 Ibn Rusyd 143 Ibn Sina
Guizot, F 109 Gustave 27, 143
Lebon 112 Ibn Taimiyah 12, 20, 25,
26, 29, 30, 35, 145, 205
H
Ibn Taimiyyah 223
Hak Asasi Manusia (HAM) Ibnu Haitam 234
257 Ibnu Rushd 234
Hamid Abu Zayd 298 Ibnu Sina 234 Ibrahim al-
Hamid Basyaib 295, 296 Halbawi 85 Ibrahim al-
Hamid Enayat 96 Laqani 85 Ibrahim al-
H.A.R Gibb 93 Muwailihi 85 Imam Ghazali
Hartono Ahmad Jaiz 335 132, 284 imperialisme 97
Harun Nasution 9, 22, 24, imperialisme Barat 84, 335
52, 86, 94, 113, 117, Iqbal 201, 207, 210, 211,
241, 300, 301, 306,
307, 335 241, 324
Hasan al-Banna 30 Islam kultural 299, 300,
Hasan Hanafi 298 301
hermeneutik 338
H. Munawir Sadzali, MA, Islam liberal 108, 293, 294,
88 Hodgson 3 297, 298, 299, 300,
301, 302, 303, 304,

Indeks
305, 306, 314, 315, Jansen, G.H. 142
321, 324, 325, 335, Jaringan Islam Liberal (JIL)
336, 337, 338 293, 294
Islam moderat 264, 265,
K
300, 323, 337, 338
Islam Nusantara viii, 15, Kamil viii, 15, 30, 134, 138,
263, 270, 271, 272, 172, 174, 175, 176,
273, 274, 275, 278, 177, 178, 179, 180,
279, 280, 281, 282, 181, 182
283, 284, 289, 290, Kautsar Azhari Noer 296
291, 292 kebebasan berpikir 130,
147, 302,
Islam progresif 294, 315, 306 Kemal, 5
339 Khan, Sayyid Ahmad 5
kolonialisme 7, 32, 83, 85,
Islam radikal 264, 337, 86, 89, 96, 97, 98, 103,
338, 341 110, 209, 254, 305
Komaruddin Hidayat 296,
Islam rasional 307, 308 300, 338
Islam Rasional 301, 306, konservatisme 205, 244,
307, 308 245, 299, 305
Islam tradisional 257, 277, Kramers 85, 93, 345
296, 307 Kristenisasi 7, 335
Izzuddin ibn Abdis Salam
L
289
lack of moral values 246
J lack of well-being 246 Le
Jalaluddin al-Suyuti 325 Duc d’hartcourt 161
Jalaluddin Rakhmat 296 Lembaga Swadaya
Jamal Abd al-Naser 30 Masyarakat 256
Jamaluddin al-Afghani 5,
15, 20, 57, 83, 84, 108,
116, 124, 141, 181
SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam
353
Lothrop Stoddard 50 211, 249, 250, 308
LSAF (Lembaga Studi Mohammad Arkoun 268
Agama dan Filsafat) 10 Montesquieu 52
Luthfi Assyaukani 295, 325 Moqsith Ghazali iii, vi, 15,
270, 296, 306, 313,
M
321, 325, 337, 338, 340
Madjid, Nurcholish viii, 7, moral illiteracy 246
273, 277, 284, 285, Muhammad al-Bahy 116
289, 290, 297, 301, Muhammad Ali viii, 15, 30,
306, 308, 309, 310, 62, 63, 64, 65, 66, 67,
311, 314, 315, 320, 68, 69, 70, 71, 72, 73,
322, 335, 74, 76, 86, 99, 106,
Mahmoud Muhammed 107, 155, 156, 241
Abdullah An-Naim 268 Muhammad A’zam 100
Mahmud Sami al-Barudi 85 Muhammad bin abd al-
Majelis Mujahidin Indonesia Wahab 28, 29
(MMI) 323 Muhammad bin Abd al-
Majelis Ulama Indonesia wahab 26
(MUI) 322 Muhammad bin Abd al-
makhluk sosial 13 Wahab 25, 29
Masdar Mas’udi 296 Muhammad bin Abd Wahab
Mesirisme 179, 182 20
Michael H. Hart 44 Muhammadiyah 6, 29, 41,
Michel 113 105, 253, 259, 263,
M.M. Sharif 24 287, 294, 301, 317,
modernisasi 4, 8, 12, 20, 337, 338, 340
21, 22, 71, 109, 240, Muhammad Rasyid Ridha
241, 262, 310 30, 172
modernisme 2, 12, 104, Muhammad Syahrur 298
203, 205, 206, 208, Musatfa Kamil 30

Indeks
Mustafa Kamil viii, 15, 134, neo-Revivalisme 27
138, 172, 174, 175, nepotisme 11
176, 177, 178 NKRI 254, 258, 264
NU 6
N
Nugraha 334
Nahdlatul Ulama 254, 286 Nuim Hidayat 334, 335
Napoleon vii, 2, 4, 15, 16, Nurcholish Majid 15, 42,
44, 45, 46, 47, 48, 51, 52, 218, 219, 242
53, 54, 55, 56, 57, 58, 61,
63, 64, 73, 99, O
155 orum Umat Islam (FUI) 323
Napoleon Bonaparte 45, 57,
P
61, 99
Nasaruddin Umar 296, 300, Pan-Islamisme 93, 94, 95,
339 96, 97, 102, 103, 175
Paradigma Integralistik 268
nasionalisme 58, 135, 177, Paradigma Sekularistik 269
179 Paradigma Simbiotik 269
Nasution, Harun 2, 9, 20, patriotisme 80, 177, 179,
22, 24, 26, 44, 48, 51, 180, 181, 182
53, 54, 55, 56, 57, 61, pemikiran rasional 114,
62, 64, 67, 69, 70, 85, 117
87, 90, 92, 94, 97, 98, Perang Dingin 242, 244
100, 102, 105, 107, Perang Dunia I 127, 187
108, 109, 111, 113, Perang Paderi 41
115, 117, 120, 122, Perang Padri 274
125, 126, 128, 129, Perang Salib 4
131, 133, 134, 138, Perguruan Tinggi Islam
155, 156, 157, 158, Swasta (PTAIS) 257
159, 242, 300, 301, Perguruan Tinggi Keaga-
306, 307, 308, 314,
335
SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam
355
maan Islam Negeri 173, 176
(PTKIN) 257
Perguruan Tinggi Umum R
Negeri (PTUN) 257 radikalisme 264
Perguruan Tinggi Umum Rahardjo, M. Dawam 7, 9,
Swasta (PTUS) 257 10, 301, 338
periode formalistik 10 rasionalisme 22, 92, 308
Perjanjian Hudaibiyah 237 Rasyid Rida 189, 199
Piagam Madinah (Mitsaq al- reformasi 4, 11, 20, 21, 104,
Madinah) 237 226, 231, 241, 299, 317
pluralisme 257, 294, 298, Reformasi Protestan 3
300, 305, 308, 310, renaisans 2, 3, 5, 12, 20,
311, 318, 321, 322, 23, 211
323, 324, 338 Rendra 206
poligami 158, 162, 170, Revolusi Industri 3
171, 212, 213, 214 Revolusi Prancis 3
PPKI 258, 344 Ridha viii, 15, 30, 108, 109,
pranata sosial 86, 226, 122, 123, 124, 125,
233, 251 126, 128, 129, 130,
Pribumisasi Islam 301, 131, 132, 133, 134,
306, 311 135, 136, 137, 138,
primodialisme 8 139, 140, 141, 142,
primordialisme 246 143, 144, 145, 146,
147, 148, 149, 150,
Q
151, 172, 198, 241
Qasim Amin viii, 15, 30, Russel, Bertrand 3, 344,
80, 157, 158, 159, 160, 347
161, 162, 163, 164, S
165, 166, 167, 168,
169, 170, 171, 172, Sa’ad Azhlul 96

Indeks
Saad Zaghlul 177, 181, 182 Syeikh M. Syakir 198
Sa’ad Zaglul 85, 96, 160 Syekh Waliyullah al-
Saiful Muzani 296, 340 Dahlawi 30
sains 307 Syibli Nu’mani 211
sakralisasi 219
T
Salafiyah 35, 40, 41, 88,
89, 93, 321 tajdid 4, 20, 21, 23, 24, 34,
Sarekat Dagang Islam (SDI) 35, 241
6, 253 Taufik Abdullah 275
Sayyid Qutub 265, 267 Teknikalisme 3
sekularisme 22, 265, 308, teologi 144, 307
309, 323 teologi rasional 112, 116,
Silvestre de Sacy 74 120, 308
skolastisisme 3
Spencer 112 The Asia Foundation (TAF)
statisme 87 337
sufisme 11, 12, 26, 296, Toha Husen 30
339 tradisionalisme 206
trias politica 53 U
Sustainable Development
Goals (SDGs) 255 Ulil Abshar Abdalla 295
Syafii Maarif 201, 264 Universitas Islam Negeri
Syaikh al-Islam. 239 Syakh (UIN) 14, 349
Fadlallah Nuri 267 syari’ah
V
liberal (liberal
shari’a) 302 Vasco de Gama 49
Syari’ah yang diam (silent
W
shari’a) 302
Syeikh Bukhait 198 Wahabiyah vii, 15, 35, 39,
Syeikh Hasan al-Jabarti 40, 41, 145
107 Wahib, Ahmad 9

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


357
Wahid 242, 276, 291, 297,
301, 306, 311, 312,
313, 314, 315, 322,
323, 340
Wasatiyyat Islam viii, 14,
225, 226, 228, 229,
230, 232, 234, 236,
237, 238, 239, 246,
250, 251, 253, 254,
256, 257, 258, 259
W.C. Smith 331
William Abraham 331

Y
Yusuf al-Dajwa 198, 199

Z
Zainul Milal Bizawie 271
Zainun Kamal iii, vi, 15, 33,
296
zaman kebangkitan Islam
1, 43
Zuly Qodir 298, 336

Indeks
TENTANG EDITOR

Dr. M. Amin Nurdin, M.A. adalah Dosen Tetap


Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Alumni Pondok Modern
Gontor Ponorogo lalu melanjutkan kuliah di Fakultas
Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Jakarta
(sekarang UIN). Mengambil Master dan Doktoral di UIN
Jakarta dengan melakukan penelitian disertasi di
Universitas Melbourne Australia dengan judul Islam dan
Multikulturalisme di Australia pada 1999-2000. Pada 2016
menjadi peneliti tamu di Universitas Philipps Marburg
Jerman dengan tema penelitian Islam di Eropa.

SATU ISLAM, BANYAK JALAN: Corak pemikiran modern dalam Islam


359

Anda mungkin juga menyukai