Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara geogafis, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam terbesar yang
terletak sangat jauh dari tempat kelahiran Islam di Arab Saudi. Yang dari sinilah salah satu
alasan mengapa pembicaraan mengenai Islam di Indonesia selalu menarik. Dinamika
pemikiran dan intelektualisme di negeri ini juga menunjukkan intensitasnya yang cukup
tinggi, belum lagi jika melihat banyaknya gerakan keislaman. Semua ini semakin menambah
daya tarik Islam Indonesia, di samping, tentu saja, menggambarkan begitu rumit dan
kompleksnya membaca persoalan keislaman di negeri ini.

Perkembangan pemikiran keislaman di wilayah Indonesia, bisa dikatakan sebagai


“kepanjangan tangan” dari perkembangan pemikiran di negeri asalnya, dan ini merupakan
bagian dari rentetan sejarah panjang pertumbuhan Islam itu sendiri. Konon, Islam masuk
“Indonesia” sudah dimulai sejak masa awal-awal Islam. Beberapa ‘spekulasi’ teori sejarah
mengatakan Islam sudah masuk sejak abad ke-12 atau 13, ada juga yang mengatakan sejak
abad ke-9, bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-8. Yang jelas beberapa abad
setelahnya dinamika pemikiran Islam dan intelektualisme sudah sedemikian merata.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia?


2. Bagaimana dinamika pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia?
3. Siapa sajakah tokoh-tokoh pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia


2. Untuk mengetahui dinamika pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditunjukkan
terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif Kerajaan
Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah
melahirkan kebangkitan Islam dikalangan warga Arab dipinggiran imperium itu. Yang
terpenting diantaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformasi puritanis
(Salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapan jembatan ke arah pembaharuan
Islam abad ke-20 yang lebih bersifat intelektual.Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini
adalah Jamaluddin Al-Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan
terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dan pertahanan terhadap
imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah
dimodernisasi.

Pada awal abad ke-20, ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan
gerakan Islam di Indonesia. Memiliki latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya,
sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak
dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah), Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat
menimba ilmu di Mekkah dan melalui media publikasi dan korespondensi mereka
berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir. Tokoh
lainnya seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya
dari ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India.

Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat dibaca
berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur:

1. Jalur haji dan mukim, yakni tradisi (pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan
ibadah haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan
memperdalam ilmu keagamaan atau pengetahuan lainnya. Sehingga ketika mereka
kembali ke tanah air, kualitas keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka

2
umumnya semakin meningkat. Ide-ide baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian
juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah mereka di tanah air.
2. Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau majalah-majalah yang memuat ide-ide
pembaharuan Islam baik dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana yang disuarakan
media tersebut kemudian menarik muslim nusantara untuk mentransliterasikannya ke
dalam bahasa lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas
Melayu di Singapura. Di Sumatera Barat juga terbit al-Munir yang sebagian
materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam bahasa Jawa agar mudah dikonsumsi
anggota masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini.
3. Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad
Jainuri, para pemimpin gerakan pembaharuan Islam awal di Indonesia hampir merata
adalah alumni pendidikan Mekah.

Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang
sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini penting dipahami
bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad ke-20 diusung
sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui kendaraan gerakan yang
berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Islam ternyata
hanya menjadi salah satu alternatif yang mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di
Indonesia sebagai sumber rujukan teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan
nasionalismenya. Sekalipun demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya
keterkaitan antara dimensi penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di
masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh
penguasa asing tampaknya memikat mereka untuk bersama-sama menempatkan prioritas
nasional sebagai ujud kepeduliannya.

Dengan kian massifnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-tengah


masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan Islam
di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam sebagai berikut: (1) Tradisionalis-
konservatis, yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan
mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi
yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat dan
penduduk pedesaan; (2) Reformis-modernis, yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk
semua lapangan kehidupan baik privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter

3
fleksibilitas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman; (3) Radikal-puritan, seraya
sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan memakai
kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka lebih percaya
pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga mengkritik
pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis. Sebagai pengayaan, menarik jika
tipologi ini dikomparasikan dengan kasus gerakan Islam yang berkembang di Turki.

B. Dinamika Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

Dinamika itu antara lain nampak dari keterlibatan ulama-ulama nusantara pada jaringan
ulama yang berpusat di Haramain (Makkah dan Madinah). Perintis keterlibatan ulama itu
antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Nur al-Din al-Raniri (w. 1068 H/1658 M), Abd
al-Rauf al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M), Muhammad Yusuf al-Maqassari (1030-1111
H/1629-1699 M), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) dan sebagainya. Dari
beberapa ‘ulama berpengaruh itu, bahkan menunjukkan silsilah atau isnad yang hampir tak
terputus dengan para ‘ulama Timur-Tengah, khususnya Haramain dan Kairo. Mereka terlibat
jaringan keilmuan global dengan agenda pembaharuan pemikiran Islam, dari apa yang
disebut mistiko-filosofis menjadi bercorak neo-sufisme.

Lalu pada paruh kedua abad 19, wacana keagamaan nusantara antara lain ditandai dengan
semakin mapannya jaringan tersebut. Namun pada masa ini ada perubahan-perubahan
signifikan mengenai posisi ulama nusantara di Haramain. Jika pada masa-masa sebelumnya
ulama “Jawi” lebih sebagai murid dari ulama Haramain, pada abad 19 mulai muncul ulama-
ulama nusantara bertaraf internasional yang menjadi “guru besar” di pusat Islam tersebut.

Selanjutnya pada awal abad ke-20, pemikiran Islam di Indonesia digambarkan secara jelas
oleh Deliar Noer dalam disertasinya. Secara umum, Deliar Noer melihat adanya dua
kecenderungan pemikiran Islam di awal abad ke-20, pertama apa yang ia sebut sebagai
“gerakan tradisional,” dan kedua “gerakan modern” yang terdiri dari gerakan sosial di satu
sisi dan gerakan politik di sisi yang lain. Kategori pertama diwakili oleh Nahdlatul Ulama
(NU) yang berdiri tahun 1926 dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), 1929, sedang yang
kedua diwakili oleh Sarekat Islam (SI), 1911 dan Muhammadiyah, 1912.

4
C. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

Abad ke-19 adalah awal kemunculan ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh
Jamaludin Al-afghani dan Muhammad Abduh. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat
didukung pula dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909),
Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915).

1. Cak Nur (Nurcholis Madjid)

Cak Nur atau biasa di sebut nurcholis madjid dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran
dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya
sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus
di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Cak Nur dikenal dengan
konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman / ke-bhinneka-an keyakinan di
Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan
meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat
mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang
sama.

2. H. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan atau dikenal dengan Kiai Dahlan telah membawa pembaharuan dan
membuka kacamata modern Islam di Indonesia sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman,
bukan lagi secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan
dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melantunkan ayat Al Qur’an
semata, melainkan dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian
diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan dalam Al
Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya
mempelajari Islam dari kulitnya saja tanpa mendalami dan memahami isinya.

Di bidang Organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus
untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari
Muhammadiyah ini, sebagai bentuk kesadaran pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup
dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda,
Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka –

5
dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris
dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga
mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.

3. Syekh Muhammad Jamil Jambek

Sebagai ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20, serta sebagai
ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan
sebutan Syekh Muhammad Jambek. Beliau dilahirkan dari keluarga bangsawan dan juga
merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala
nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda. Kiprahnya mampu memberikan warna
baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatera Barat. Mengutip Ensiklopedia Islam, Syekh
Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara
bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya
dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan
tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.

Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang
dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi
Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan
dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis
Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

4. Abdul Karim Amrullah

Lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera
Barat, 10 Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul dan merupakan salah satu ulama
terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Beliau juga merupakan pendiri Sumatera
Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.

5. M. Hasyim Asy’ari

Lahir pada Tanggal 14 Februari 1871. Tempat kelahiran berada di desa Tambakrejo
Kecamatan Jombang, tepatnya di pesantren Gedang. Karena berlatar belakang pesantren, kali
pertama ia dididik dan dibimbing mendalami ilmu pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri.
Kyai Hasyim mendapat bimbingan dari ayahnya mulai masa kanak-kanak hingga umur 15

6
tahun, ia mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadits, Bahasa Arab dan bidang kajian
keislaman lainnya. Belum puas atas yang didapatkannya mula-mula Kyai hasyim belajar di
pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu di Pesantren Lagitan (Tuban), merasa belum puas,
beliau melanjutkan ke pesantren Tenggilis (Surabaya), dan ke pesantren Kademangan
(Bangkalan) yang saat itu diasuh oleh Kyai Kholil, selanjutnya ke pesantren Siwilan Panji
(Sidoarjo) yang diasuh oleh Kyai Ya’kub. Kyai Kholil dan Kyai Ya’kub merupakan dua
tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Kyai Hasyim.

 Pergerakan Sosial politik, Dakwah, dan Pendidikan

Gerakan yang lahir di Timur tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan
kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di
Minangkabau, yang disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat
Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi
sosial keagamaan, seperti:

1. 1990 jauh sebelum tahun 1900 sudah berjalan lama perjanjian Surau Jembatan Besi
Padang Pajang di bawah asuhan Syekh Abdullah. Dari bibit ini kemudian tumbuhlah
Sumatra Thawalib Padang Panjang yang kemudian menjadi pusat pertumbuhan ulama
dan Zuama Islam bertebaran diseluruh Indonesia. Disamping Syekh Abdullah, para
pemimpin lain gerakan Sumatra Thawalib antara lain kita sebutkan yaitu Syekh Daud
Rasyidi (ayah H. M. D. Dt. Palimo Karyo), Syekh A. Lathif Rasyidi (ayah H. Muchtar
Luthfi), Syekh H. A. Karim Amrullah (ayah Hamka). Tuanku Muda Abdul Hamid
Hakim, Zainuddin Labay el Janusi, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan lain-lain.
2. Sarekat Islam Organisasi Serikat Islam pada awalnya merupakan perkumpulan
pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh R.M. Tirtoadisuryo pada
tahun 1909 dengan tujuan untuk melindungi hak-hak pedagang pribumi
Muslim dari monopoli dagang yang dilakukan untuk pedagang-pedagang besar
Tionghoa. Kemudian tahun 1911 di kota Solo oleh Haji Samanhudi didirikan
organisasi dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuan perkumpulan ini adalah
untuk menghimpun para pedagang Islam agar dapat bersaing dengan para pedagang
asing seperti pedagang Tionghoa, India dan Arab. Karena pada saat itu pedagang-
pedagang tersebut lebih maju usahanya daripada pedagang Indonesia dan
keadaan itu sengaja diciptakan oleh Belanda. Adanya perubahan sosial
menimbulkan kesadaran kaum pribumi. Sebagai ikatan solidaritas dan lambang
7
kelompok, perlu ada ideologi gerakan. SDI merupakan organisasi ekonomi yang
berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya.
Di bawah pimpinan H. Samanhudi perkumpulan ini berkembang pesat hingga
menjadi perkumpulan yang berpengaruh dan akhirnya pada tahun 1912 oleh
pimpinannya yang baru yaitu Haji Omar Said Cokroaminoto namanya diubah
menjadi Sarekat Islam. Hal ini dilakukan agar organisasi ini tidak hanya bergerak
dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Walaupun
dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam
kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang
ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI
memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran
pemerintah Belanda.
Tujuan SI mencapai kemajuan rakyat yang nyata dengan jalan persaudaraan,
persahabatan dan tolong-menolong diantara muslim. Tujuan utama SI 1913 adalah
mengembangkan perekonomian. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan. SI
berkembang pesat, pada waktu diajukan sebagai Badan Hukum, Gubernur Jendral Idenburg
menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Dengan perubahan waktu
akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan
M a r e t t a h u n 1 9 1 6 . S e t e l a h pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI
berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917. SI
akhirnya mengalami perkembangan yang lebih pesat dibandingkan Budi Utomo dan mulai
disusupi aliran Revolusioner Sosialis, mengapa begitu? Karena SI tidak membatasi
keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. SI sebagai organisasi besar
akhirnya terpecah setelah disusupi oleh orang-orang yang telah dipengaruhioleh paham
sosialis. Paham sosialis ini disebarkan oleh Sneevlet yang mendirikan organisasi
ISDV(Indische Sosialistische Democratische Vereeniging). Mereka menyebar luaskan ajaran
sosialis dan terang-terangan menentang kebijakan-kebijakan pimpinan Sarekat Islam. Hal ini
menyebabkan SI pecah menjadi SI putih yang dipimpin oleh HOS
C o k r o a m i n o t o d a n S I m e r a h y a n g d i p i m p i n S e m a u n . S I m e r a h berlandaskan
Sosialisme Komunisme. Pecahnya SI terjadi setelah Semaun dan Darsono dikeluarkan dari
organisasi. Hal ini ada kaitannya dengan kongres SI ke-6 tahun 1921 tentang perlunya
disiplin partai, seorang harus memilih antara SI atau organisasi lain tujuannya agar
SI bersih dari unsur-unsur komunis. SI berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam
(PSI). Pada kongres PSI tahun 1927 menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah

8
mencapai kemedekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas itulah PSI ditambah namanya
dengan Indonesia sehingga menjadi Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun itu juga
PSII menggabungkan diri dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia(PPPKI).
Pada perkembangan selanjutnya tumbuhlah cabang-cabang SI di berbagai daerah, seperti SI
Semarang, SI Yogyakarta, SI Surakarta serta SI Surabaya dan tidak lupa dibentuk pula
semacam SI pusat atau CSI dengan struktur modern. Walaupun para pengikut Sarekat Islam
begitu banyak, tetapi tidak semuanya mempunyai pengertian dan pemahaman atas tujuan dan
kegiatan organisasi tersebut, sehingga terjadi berbagai penyimpangan yang
mengatasnamakan organisasi Sarekat Islam. Pada tahun 1916 sampai tahun 1921 SI mulai
memliki struktur organisasi yang stabil. Sifat politik dari organisasi ini dirumuskan dalam
Asas dan Program kerja yang disetujui oleh kongres yang diadakan pada tahun 1917.
Program kerja dibagi atas 8 bagian, yaitu:
1) Masalah politik, Sarekat Islam menuntut berdirinya dewan-dewan daerah,
perluasan hak-hak Volksraad dengan tujuan untuk mentransformasikannya menjadi
suatu lembaga perwakilan yang sesungguhnya untuk keperluan legislatif.
2) Dalam bidang pendidikan, partai menuntut penghapusan peraturan yang
mendiskriminasikan penerimaan murid di sekolah-sekolah.
3) Dalam bidang agama, partai menuntut dihapuskannya segala bentuk undang-
undang dan peraturan yang menghambat penyebarluasan ajaran agama Islam,
pembayaran gaji kyai dan penghulu, subsidi bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam
dan pengakuan hari-hari besar Islam.
4) Sarekat Islam menuntut dalam hal pemisahan kekuasaan yudikatif dan
eksekutif, dan menganggap perlu dibangun suatu hukum yang sama bagi menegakkan
hak-hak yang sama diantara golongan penduduk negeri.
5) Dalam bidang agrarian dan pertanian, menuntut penghapusan particuliere
landrijen (milik tuan tanah), dan dengan mengadakan ekspansi serta perbaikan irigasi.
6) Dalam bidang industry, menuntut agar industri-industri yang sangat penting
agar dinasionalisasikan industry-industri yang bersifat monopoli dan memenuhi
pelayanan dan barang-barang pokok bagi rakyat banyak.
7) Dalam bidang keuangan dan perpajakan, partai menuntut adanya pajak-pajak
berdasarkan proposianal serta pajak-pajak yang dipungut terhadap laba perkebunan.
Partaipun menuntut adanya bantuan pemerintah bagi perkumpulan koperasi.

9
8) Dalam bidang sosial, partai menuntut hendaknya pemerintah memerangi
minuman keras dan candu, perjudian dan prostitusi, melarang penggunaan tenaga
anak-anak, mengeluarkan peraturan perburuhan yang menjaga kepentingan para
pekerja serta menambah jumlah poliklinik secara gratis.
Kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913. Dalam kongres ini Tjokroaminoto
menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi politik, dan bertujuan untuk
meningkatkan perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang mengalami
kesulitan ekonomi serta mengembangkan kehidupan religius dalam masyarakat Indonesia.
Kongres kedua diadakan pada bulan Oktober 1917. Kongres ketiga diadakan pada tanggal 29
September hingga 6 Oktober 1918 di Surabaya. Dalam kongres ini Tjokroaminoto
menyatakan jika Belanda tidak melakukan reformasi sosial berskala besar, SI akan
melakukannya sendiri di luar parlemen.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada awal abad ke-20, ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan
gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya,
sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak
dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia.Seperti misalnya: Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah), Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat
menimba ilmu di Mekkah dan melalui media publikasi dan korespondensi mereka
berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir. Tokoh
lainnya seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya
dari ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India.

Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat dibaca
berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur:

1. Jalur haji dan mukim


2. Jalur publikasi
3. Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah

11
DAFTAR PUSTAKA

Yatim, Badri. 2013.Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers

Azra, Azyumardi. 1999.Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan.
Bandung: Rosdakarya

Noer, Deliar. 1980.Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES

Zuhri, Muhibbin Zuhri. 2010.Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah Wal-
Jama’ah. Surabaya: Khalista

Saifudin Anshari, Endang. 2004.Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran Tentang Paradigma


dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani Press

http://aalmuqoddas.blogspot.co.id/2011/06/dinamika-pemikiran-islam-diindonesia.html?m=1

12

Anda mungkin juga menyukai