Anda di halaman 1dari 18

DJARINGAN INTELEKTUAL KEAGAMAAN ANTAR 2 NEGARA

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sosial Intelektual Islam 2

Disusun oleh :

Retno Rizki Amalia (A72219065)

Widad Sef (A02219042)

Ardan Candra Negara (A92219077)

Dosen Pengampu :

Drs. Sukarma, M.Ag

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA


2021

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan Islam di Timur Tengah. Sudah sejak
lama terjalin hubungan antara Timur Tengah dan Nusantara dalam bentuk jaringan intelektual.
Hubungan intelektual yang dilakukan antar Ulama sebenarnya terkait dengan paham keagamaan.
Timur Tengah dan Nusantara abad ke-17-18 dicatat sebagai titik awal penyebaran pembaharuan
Islam Nusantara. Islam di wilayah Melayu Nusantara abad ke-17 bukan semata-mata Islam yang
berorganisasi pada tasawwuf melainkan juga Islam yang berorganisasi pada syariat. Hal
tersebutlah yang menjadi perubahan besar dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab pada abat-
abat sebelumnya Islam ialah istilah yang dominan. Setelah belajar di pusat jaringan di Timur
Tengah para Ulama Melayu Nusantara sejak setengah abad ke-17 dan seterusnya melakukan
usaha-usaha untuk menyambut ide-ide baru di Nusantara.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah awal mula munculnya Jaringan intelektual antar Ulama Indonesia-
Arab?
2. Apa manfaat ilmu pengetahuan dengan adanya jaringan intelektual antar Ulama
Indonesia-Arab?
3. Apasajakah tokoh-tokoh ulama yang terkaid dalam jaringan intelektual antar Ulama
Indonesia-Arab?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Bagaimana sejarah awal mula munculnya Jaringan intelektual antar
Ulama Indonesia-Arab.
2. Untuk mengetahui Apa manfaat ilmu pengetahuan dengan adanya jaringan intelektual
antar Ulama Indonesia-Arab.
3. Untuk mengetahui Apasajakah tokoh-tokoh ulama yang terkaid dalam jaringan
intelektual antar Ulama Indonesia-Arab.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah

Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan Islam di Timur Tengah. Sudah sejak
lama terjalin hubungan antara Timur Tengah dan Nusantara dalam bentuk jaringan intelektual.
Hubungan intelektual yang dilakukan antar Ulama sebenarnya terkait dengan paham keagamaan.
Timur Tengah dan Nusantara abad ke-17-18 dicatat sebagai titik awal penyebaran pembaharuan
Islam Nusantara. Islam di wilayah Melayu Nusantara abad ke-17 bukan semata-mata Islam yang
berorganisasi pada tasawwuf melainkan juga Islam yang berorganisasi pada syariat. Hal
tersebutlah yang menjadi perubahan besar dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab pada abad-
abad sebelumnya Islam ialah istilah yang dominan. Setelah belajar di pusat jaringan di Timur
Tengah para Ulama Melayu Nusantara sejak setengah abad ke-17 dan seterusnya melakukan
usaha-usaha untuk menyambut ide-ide baru di Nusantara.

Para ulama yang terlibat dalam jaringan intelektual tersebut berbeda satu dengan yang
lainnya OP, bukan hanya pada latar belakang geografis mereka, namun mereka memiliki tradisi-
tradisi kecil Islam (Islam little tradition), ciri tradisi intelektual dari jaringan ulama ini adalah
upaya kearah harmonisasi syariah dengan tasawwuf, atau yang lebih dikenal dengan istilah neo-
sufisme. Munculnya neo-sufisme merupakan hasil usaha jaringan Ulama dan intraksi berbagai
tradisi pengetahuan Islam dari Afrika Utara, Mesir, Syiria, Irak, dan India yang terpusat di
Haramaen, maka Haramaen memiliki pesan yang penting dalam menghubungkan berbagai
macam tradisi-tradisi kecil, maka dengan adanya peleburan dari tradisi-tradisi kecil tersebut akan
membentuk tradisi besar (great tradition).1

1
Azyumardi Arza, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam
Indonesia, (Prenada Media, 2005), halm 117-118
Pembaharuan dalam jaringan ulama tidak selalu sama, kebanyakan ulama menndukung
pendekatan damai dan evolusioner terhadap pembaharuan, sementara sebagian di antara mereka,
seperti ‘Abd Al-Wahab dan Utsman B. Fudi, memilih pendekatan yang lebih radikal dan
melancarkan jihad terhadap kaum muslimin yang tidak menerima ajaran-ajaran mereka. Dalam
kasus wilayah melayu Indonesia, gagasan-gagasan pembaharuan yang disebarkan para ulama
sebelumnya menemukan ekspedisi yang radikal dalam gerakan Padri.

Wahabi adalah sebuah gerakan pembaharuan atau reformasi dalam pemikiran agama
Islam. Reformasi yang dimaksud adalah suatu upaya untuk memurnikan kembali pemahaman
terhadap agama Islam sebagaimana yang dipraktekkan pada zaman Nabi SAW dan para sahabat
(salafus shalih), yang dianggap telah menyimpang pada masa-masa munculnya gerakan ini.
Gerakan ini memang berdiri bersama dengan saat terpuruknya dunia Islam pada masa itu yang
terjadi dalam berbagai aspeknya, baik pemikiran, akidah, politik, sebagaimana juga terjadi di
bidang social. Kondisi social masa itu memang tengah dilanda berbagai penyakit masyarakat
seperti penindasan, kezaliman, hingga krisis identitas.

Pandangan umum lainnya berkaitan dengan wahabisme yang tertanam dalam pikiran
banyak kalangan Muslim, bahwa Wahabisme merupakan asal dari serangkaian gerakan
pembaharuan yang sebagian kasus masih tetap aktif di Dunia Muslim. Dengan demikiam,
dibayangkan bahwa pewaris langsung dari kaum Wahabi pertama-tama adalah Jamaluddin Al-
Afghani (1838-1897), Muhammad ‘Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935), lalu
dilanjutkan dengan Ikhwan Al-Muslimin, dan diteruskan oleh berbagai tokohdan gerakan yang
dikenal sebagai Salafiyah. Memang terdapat kesamaan antara kelompok Wahabi dan Salafi,
karena Muhammad bin ‘Abdul Wahhab mengusung dakwah salafiyah yang bertujuan untuk
kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.

Dinamakan berdasarkan pendirinya, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (meskipun pada


kenyataannya yang menanamkannya demikian bukanlah beliau sendiri, melainkan orang di luar
gerakan tersebut, gerakan Wahabi mulai muncul sebagai suatu gerakan yang berpengaruh secara
signifikan pada tahun 1115-1206 H/1703-1792 M). Dalam perkembangannya gerakan ini
mengalami berbagai upaya pendiskreditan nama hingga ancaman yang lebih ekstrem lainnya.
Contoh paling nyata dari hal tersebut adalah penanaman gerakan ini sendiri dengannama
Wahabi, yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk stigmatisasi yang menyimpang nama dari
esensi gerakan tersebut.

Dalam segi bahasa Arab, gelar Wahabi yang dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad bin
Abd Wahhab adalah kekeliruan. Nisbat yang benar adalah Muhammadiyah, karena nisbat kepada
namanya yaitu Muhammad, bukan ayahnya yang tidak ada sangkut pautnya yaitu Abdul
Wahhab.2

Gerakan pemurnian agama ini lebih tepat disebut sebagai gerakan salafi, dimana makna
dari salafi adalah menjalankan agama sesuai dengan manhaj As-Salafi (jalanya orang-orang
terdahulu) yaitu jalan orang yang selamat dan merupakan masa yang terbaik dari umat Islam.

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab telah mengikuti jejak langkah tiga tokoh besar,
yaitu :

1. Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H)


2. Ibnu Taimiyah (661-728 H)
3. Mumammad Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691-751 H)

Oleh karena itu, dakwahnya merupakan pantulan dari pemikiran-pemikiran, sekaligus


tujuan-tujuan mereka dalam realitas amaliyah yang nyata. Untuk masa kini gerakan salafi
dilanjutkan oleh para ulama-ulama terkemuka Arab seperti, Syaikh Muhammad Nasirudin Al-
Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin, dan lain lain.

Dalam salah satu sumber disebutkan bahwa nama Wahabi yang melekat pada gerakan
reformasi ini pertama kali diberikan oleh musuh-musuhnya. Mereka memberikan nama tersebut
dengan maksud yang negatif, guna mencela dan membuat cacat namanya. Mereka sengaja
menciptakan pandangan yang menyatakan bahwa gerakan tersebut adalah madzhab baru yang
diadakan oleh Islam, atau madzhab kelima.

Secara kontras, salah satu pandangan dari seorang yang bersimpati pada gerakan ini,
yakni Abdurrahman Ar-Ruwaisyid, justru menyatukan hal yang sangat berbeda dari yang
disebarkan oleh stigma tersebut. Beliau menganggap bahwa gerakan tersebut bukanlah sebuah
2
Aenu Rafiq Gufran, Mengharuskan Sejarah Wahhabi, (Pustaka Al-Furqan, 2005), halm 76-77
madzhab baru, melainkan sebuah gerakan yang bertujuan menghidupkan agama yang benar.
Nashir Al-‘Aqli mengutip pendapat Abdurrahman Ar-Ruwaisyid dalam buku Al-Wahhabiyah
Harakah Al-Fikri wa Ad-Daulah: “Wahhabiyah bukan merupakan agama baru atau madzhab
yang dibuat seperti isu yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak simpati kepadanya. Akan
tetapi, Wahhabiyah adalah hasil perjuangan murni yang menyerukan untuk kembali kepada
ajaran Islam sejati yang bersumber dari tasyri’ yang murni dan mengajak pada gerakan
pembersihan total terhadap segala bentuk kemusyrikan, bid’ah, penyimpangan, serta kesesatan
yang dapat menodai kesucian iman, merusak agama, dan menjauhkan kesetian kaum muslimin
terhadap nilai-nilai ajarannya, baik dari segi keyakinan maupun perilaku.3

Terlepas dari berbagai kontroversi yang melingkupinya, Arab Saudi tempat bermulanya
gerakan ini, menjadi tempat pemikiran yang dominan hingga saat ini, dan pada saat yang
bersamaan Negara itu tetaplah menjadi rujukan utama dalam ilmu keislaman bagi para
mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru dunia hingga saat ini. Dengan kata lain,
kemungkinan besar mahasiswa-mahasiswa tersebut ketika datang dan menuntut ilmu di negeri
itu untuk bersentuhan dengan paham ini, yang akan terus dilanjutkannya ketika mereka pulang
ke negeri-negeri asal mereka. Proses transfer ilmu ini menjadi sesuatu yang penting diperhatikan,
karena paham ini, yang dianggap beberapa kalangan sebagai keras, tidak tertutup kemungkinan
untuk menyebabkan suatu “cultural-shock” terhadap masyarakat di berbagai Negara yang
memiliki budaya-budaya dan cara pandang yang tentunya berbeda. Contohnya seperti
mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu Islam di Arab Saudi dan kembali dengan
membawa pemahaman Wahhabi tersebut ke tempat asal mereka. Pemikiran yang berusaha
mereka ekspresikan dan tanamkan di masyarakat Indonesia tentunya menimbulkan berbagai
reaksi, baik yang mendukung maupun yang menentang. Bagaimanapun, kenyataan menunjukkan
bahwa penganut paham ini memiliki jumlah yang cukup signifikan di negeri ini.

Dengan munculnya gerakan Wahhabi tersebut membawa perubahan yang sangat


signifikan dalam kehidupan masyarakat khususnya di jazirah Arab, maka kita bisa lihat
bagaimana ajaran pemurnian tauhid sudah berakar dalam kehidupan masyarakat, memberantas
segala fenomena syirik dan bid’ah serta berhukum dengan syariat-syariat yang telah ditentukan

3
Al-Aqli, Nashir bin Abdul Karim, Hanya Islam bukan Wahhabi (Jakarta, Darul Falah, 2006). Halm 5
oleh Allah SWT, tentunya ini semua akan berimbas pada terciptanya rasa aman, kedamaian,
persatuan dan tersebarnya ilmu pengetahuan.

Tercatat sejak abad ke-16 telah terjadi sebuah jaringan intelektual cosmopolitan antar
ulama dan para penuntut agama dari seluruh penjuru dunia Islam di Makkah dan Madinah.
Jumlah penuntut ilmu dari Nusantara selama abad ke-16 hingga 19 akhir adalah salah satu
yang terbanyak dari segi jumlah sebagaimana diperlihatkan dalam data berikut; pada tahun
1912, salah satu periode puncak dalam sejarah madrasah. Dari jumlah total 537 murid,
komposisi mereka secara kasar dilihat dari Negeri asal, Turki 13 orang, Afganistan 4 orang,
dan Bukhara 22 orang. Adapun laporan tahunan Saulatiyah (1913) mengemukakan data yang
mungkin lebih akurat. Komposisi murid Hijaz 186 orang, India 108 orang, Indonesia 156
orang, Bukhara 23 orang, Afganistan 18 orang, Irak 6 orang, dan Hadramaut 7 orang. Selain
itu dari segi keberhasilan rupanya para pelajar Nusantara yang dari berbagai daerah itu
menunjukkan tingkat yang cukup mengesankan. Banyak dari mereka yang setelah selesai
menuntut ilmu kemudian pulang ke wilayah masing-masing dan mendirikan madrasah-
madrasahnya sendiri, dan juga ada yang kemudian menetap dan menjadi ulama-ulama yang
dikenal bukan hanya oleh komunitas daerah asalnya, namun juga oleh seluruh komunitas
ulama dan penuntut ilmu cosmopolitan. Beberapa di antaranya adalah Abd Al-Ra’uf,
Muhammad Yusuf, Abd As-Shamad Al-Palimbani, Muhammad Arshad Al-Banjari (1122-
1227 H./1710-1812 M.), Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari (lahir sekitar tahun 1160
H./1735 M.), Nawawi Al-Bantani (1230-1314 H./1813-1879 M.), Ahmad Khatib Al-
Sambasi, Abd Al-Krim Al-Bantani, Ahmad Ri’fai Kalisalak (1200-1286 H./1786-1870 M.),
Ismail Al-Khalidi Al-Minangkabawi, Daud bin Abdallah Al-Fatani, Junaid Al-Batawi,
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1276-1334 H./1816-1916 M.), Syeh Ahmad Nahrawi Al-
Banyumas (wafat di makkah 1346 H./1928 M.), Muhammad Mahmud Al-Termasi (1285-
1338 H./1842-1920 M.), Hasan Mustafa Al-Garuti (1268-1348 H./1852-1930 M.), Sayyid
Muhsin Al-Balimbani, Muhammad Yasin Al-Padani (1335-1410 H./1917-1990 M.), Abd Al-
Karim Al-Banjari, Ahmad Damanhuri Al-Bantani, dan lain-lain. Jaringan interaksi yang
tercipta antara para murid da guru fari berbagai penjuru dunia berjalan dengan amat baik.
Dikatakan bahwa setamatnya pemndidikan, maka murid yang memutuskan untuk pulang ke
daerah asal biasanya tetap menjaga kontak dengan sang guru maupun murid laoinnya
dengan amat baik melalui korespondensi lintas samudra.
Ternyata jaringan interaksi mengalami pasang surut, khususnya pada awal abad ke-
20 hingga sekarang. Surutnya jaringan interaksi para penuntut ilmu dan ulama dari berbagai
penjuru, khususnya pada mereka yang berasal dari Nusantara dengan mereka yang
bermukim di Tanah Suci disebabkan oleh beberapa hal, seperti ditemukannya minyak
(petrodollar) yang menyebabkan pemerintah Arab Saudi memiliki lebih banyak kekuasaan
untuk mengontrol madrasah-madrasah yang ada dengan kekayaannya yang digunakan untuk
menyesuaikan kurikulum sekolah menjadi sesuai dengan yang diinginkan oleh rezim yang
berkuasa, yakni yang dapat megokohkan posisinya sebagai penguasa, terlepas dari apakah
hal itu sesuai dengan panduan Islam atau tidak.

Pemerintah Arab Saudi juga melakukan pengetatan dengan berbagai prasyarat baik bagi
ulama maupun para murid yang datang dari penjuru dunia yang akhirnya dirasakan menyulitkan
bagi mereka. Bagi para ulama dan guru, pemerintah menetapkan standar dan kualifikasi resmi
tertentu yang diakui oleh pemerintah sebelum mereka dapat mengajar, selain itu terdapat pula
analisis yang mengatakan bahwa pemerintah Arab Saudi memiliki niat untuk membatasi kiprah
para ulama asing dan mengutamakan para ulama asal Saudi untuk mencapai posisi-posisi
terhormat dalam pengajaran ilmu agama. Hal ini amat berbeda dengan apa yang telah terjadi
ratusan tahun sebelumnnya, dan tentunya hal tersebut menyulitkan dan akhirnya mengurangi
jumlah ulama asing yang dapat berkontribusi terhadap diskursus ilmu agama di wilayah ini,
termasuk dari mereka yang berasal dari Nusantara (lebih dikenal sebagai Jawi). Sementara itu
untuk membatasi jumlah murid asing, pemerintah Saudi mempersulit para pemuda yang
merminat menuntut ilmu di Haramaen untuk mendapatkan visa belajar. Mereka yang
mendapatkannya rata-rata hanyalah mereka yang mendapatkan beasiswa, sementara mereka yang
berusaha dengan biaya sendiri umumnya tidak diberikan izin untuk belajar. Hal itu jelas
menyebabkan berkurangnya minat para siswa untuk belajar di wilayah ini. Beberapa yang
memiliki tekad cukup kuat memang melakukan hal yang nekad, yang menggunakan visa haji
atau umrah untuk masuk dan akhirnya menetap secaa gelap. Bagaimanapun disinyalir
ketidakjelasan status visa ini turut mempengaruhi psikologis mereka dalam menuntut ilmu yang
akhirnya mempengaruhi prestasi mereka. Buku-buku karangan ulama asing, termasuk Nusantara,
juga tidak boleh diterbitkan di Arab Saudi dengan berbagai alasan. Disebutkan bahwa buku-buku
tersebut akhirnya hanya bisa diterbitkan di Kairo maupun Beirut.

Segala kesulitan tersebut kemudian diperparah dengan berubahnya orientasi para


pendatang dari Nusantara yang sebelumnya berniat menuntut ilmu agama menjadi pekerja kasar
(blue collar worker), khususnya semenjak tahun 1970-an. Mereka yang berniat untuk bekerja
sebagai pekerja kasar tentunya rata-rata hanya memikirkan uang sebagai sasaran, alih-alih ilmu
agama. Beberapa hal tersebut akhirnya bermuara pada kondisi yang memprihatinkan dari
jaringan interaksi diskursus Nusantara dan Haramaen pada hari in.

Perkembangan yang berlawanan arah, pada satu sisi terjadi proses menguatnya ortodoksi
yang melahirkan non-sufisme, tetapi pada sisi lain pemikiran hukum dalam Islam semakin tidak
memiliki signifikasi politik, yang sebenarnya terjadi disebagian besar Negara-negara muslim, ini
telah melahirkan gerakan pra-modernis yang memiliki takad melakukan pembaharuan dengan
jihad bila perlu.4

Pada era 80-an para salafi mengalami perkembangan yang begitu signifikan, yaitu dengan
adanya lembaga donor dari Arab Saudi dalam dunia pendidikan, sebagai contoh yang bisa kita
lihat adalah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengtahuan Islam dan Arab).

LIPIA merupakan salah satu lembaga terpenting untuk mengajak kepada syariat Islam
yang murni sesuai dengan pemahaman salafus shaleh, di samping penyebaran bahasa Arab yang
bisa menjadi sarana untuk memahami teks-teks syariat. Lembaga pendidikan tinggi ini
merupakan cabang dari Universitas Iman Muhammad bin Sa’ud di Riyadh.

LIPIA adalah salah satu dari lima lembaga pendidikan di bawah naungan Universitas
yang berada di luar Arab Saudi, yang dibuka pada tahun 1400 H./1980 M, yang krtika awal
dibuka bernama Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA). Dibukanya lembaga ini dengan
tujuan pengembangkanilmu pengetahuan Islam dan bahasa Arab di Indonesia dan sekitarnya di
bagian Asia Tenggara, dalam perkembangan LIPIA terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut,

A. Bagian Persiapan Bahasa, meliputi:


1. Persiapan Bahasa, selama 4 semester

4
Badri Yatim, Sejarah social keagamaan tanah suci, (PT. Logos, 1987) halm.240
2. Pendidikan Takmili (Pra-Universitas), selama 2 semester
B. Bagian Pendidikan Tinggi, meliputi:
1. Syari’ah, masa belajar 8 semester
2. Pendidikan Guru (Diplomat), masa belajar 2 semester

Jumlah lulusan LIPIA sejak pertama dibuka smpai tahun 2005 mencapai 6598orang
mahasiswa, diantaranya 87 mahasiswa berasal dari Negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia,
Philipina, Thailand, amboja, Korea, dan Singapura. Dan jumlah dosen LIPIA pertama kali 5
orang, dan pada tahun ajaran 1425/1426 H jumlah dosen menjadi 29 orang dosen pria dan
wanita.

B. Manfaat

a. Sebagai bahan kajian untuk dipelajari. Karena jaringan intelektual antara indo-arab
membawa perubahan yang signifikan di wilayah nusantara.
b. Menjalin hubungan kerja sama dengan negara dari timur negri yang menghasilkan
perguruan tinggi belajar bahasa arab seperti LIPIA dll.
c. Menambah wawasan bagi para pembaca nya dan kita sebagai mahasiswa bisa
mengambil ibrah dari sifat-sifat para tokoh jaringan intelektual antara indo-arab.
d. Sebagai alat bantu penelitian sehingga para peneliti bisa lebih mudah dalam meneliti
jaringan intelektual antara indo-arab. Dan bisa menghasilkaan pengetahuan tentang
jaringan intelektual antar indo-arab

C. Tokoh-tokoh Ulama

Pembaruan Islam ajaran keselarasan Tasawuf dengan Syariat (Neo-Sufisme)


dimulai di wilayah Melayu-Indonesia pada abad ke-17 yang dilanjutkan ke abad 18 sudah
ada di Nusantara bukan awal abad ke-19 maupun awal abad ke-20. Maka dari itu, ulama
yang berperan dalam pembaruan tersebut, yaitu:
1) Nur al-Din al-Raniri (w. 1068/1658)
Al-Raniri dilahirkan di Ranir terletak sebuah kota pelabuhan tua di Gujarat. Ia dianggap
sebagai tokoh sufi ketimbang seorang pembaru (mujaddid). Padahal di Nusantara pada abad ke-
17 seorang mujaddid. Kemudian al-Raniri memperoleh pendidikan awal di tempat kelahirannya,
lalu ke Hadhramawt. Setelah itu tidak ada keterangan sampai kapan dia menghabiskan waktu
disana, tapi kemungkinan besar, dia langsung pergi ke Haramayn, karena dalam pandangan al-
Hasani, dia berada disana pada 1030/1620 atau 1031/1621 untuk menunaikan ibadah haji,
sehingga dia menjalin hubungan dengan murid-murid dan jamaah haji Jawi sebelum kembali ke
Gujarat.
Dari sudut pandangnya, Islam di wilayah Aceh ini telah dikacaukan oleh kesalahpahaman
atas doktrin sufi yaitu Wujudiyyah. 5Aqidah al-Raniri memegang doktrin Asy-ariyyah, secara

5
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah sdan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung:
Mizan, 1998), hlm. 59
umum dia dikenal berafiliasi dalam tarekat Rifa’iyyah, Aydarusiyyah, dan Qadiriyyah. Al-Raniri
berpandangan, satu masalah dasar pada kaum Muslim Melayu-Indonesia adalah landasan
keimanan, karena itu dia berusaha menerangkan, antara lain, hubungan antara hakikat Tuhan
dengan alam raya serta manusia, perbedaan antara Tuhan dan alam raya, asal-muasal dunia
dalam masa dan transendensi mutlak Tuhan vis a vis manusia. Sebab itu dia menentang terhadap
Hamzah dan Syam al-Din yang mempertahankan imanensi Tuhan dalam ciptaannya.
Dalam karya polemiknya, dia gencar menuduh pengikut Wujudiyyah sebagai sesat dan
mempercayai banyak Tuhan (politeis) akibatnya, mereka dihukum mati jika tidak mau bertaubat.
Bahkan al-Raniri memperdebatkan masalah Wujudiyyah dengan pengikut Wujudiyyah selama
beberapa hari di Istana kesultanan. Bahwa mereka tetap mengatakan al-alam huwa Allah, huwa
al-alam(alam itu Allah dan Allah itu alam), sehingga Sultan menyuruh mereka bertaubat tapi itu
sia-sia, maka dari itu Sultan menyuruh dibunuh dan dibakar buku-buku mereka di depan masjid
Besar Banda Aceh, Bayt al-Rahman.
2) Abd al-Ra’uf al-Sinkili (1024-1105/1615-930)
Pembaruan setelah al-Raniri di Nusantara di lanjutkan oleh al-Sinkili. Koneksi al-Sinkili
dengan ulama Haramayn melebihi al Raniri. Al-Sinkili seorang muslim asal Fansur, Sinkil di
wilayah barat laut Aceh. Al-Sinkili diperkirakan berangkat dari Aceh ke Arabia tahun
1052/1642. Jumlah guru al-Sinkili 19 orang dan 27 ulama lain yang memiliki hubungan kontak
pribadi. Kota-kota tempat al-Sinkili menuntut ilmu adalah Dhuha (wilayah teluk Persia), Jeddah,
makkah dan akhirnya madinah.
Adapun pembaruan dan pemikiran al-Sinkili mempunyai empat langkah, yaitu fikh
muamalat, tafsir, hadits dan tasawuf. Langkah pertama, pembaruan beliau mengenai fikh melalui
karya Mir’at al-Thullab, yang tidak hanya menerangkan pada ibadah tapi mencakup seluruh
aspek kehidupan sehari-hari. Yang kedua, tafsir lengkap al Qur’an dalam bahasa Melayu
(Tarjamun al-Mustafid). Riddell dan Harun menegaskan karya ini terjemah dari kitab Tafsir
Jalalayn karya Jal al Din al Mahlli dan Jalal al Din al Suyuthi. Hanya saja pada bagian-bagian
tertentu saja, al-Sinkili juga memanfaatkan tafsir al-Baydhawi dan al-Khazim.
Yang ketiga, melalui karyanya di bidang hadis. Yaitu penafsiran hadist Arba’in karya al-Nawawi
dan yang kedua al Mawa’izh al Badi’ah sebuah koleksi Hadits Qudsi. Yang keempat, ilmu
kalam dan tasawuf. Dalam ajaran mistisnya melalui Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-
Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdat al-Wujud,mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-
Nya. Beliau menolak Wujudiyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya.
Dari karya dan ajaran al-Sinkili dapat disimpulkan bahwa beliau secara sadar turut
menyebarkan doktrin dan kecenderungan intelektual dan praktis dalam jaringan ulama untuk
memperkuat tradisi Islam di kepaulauan Melayu Indonesia. Ciri dari ajarannya adalah Neo-
Sufisme. Karya menunjukkan bahwa tasawuf harus berjalan sesuai dengan syariat. Adapun
pendekatan yang dipakai al-Sinkili dalam pembaruan bergaya evolusioner bukan radikal.

3) Muhammad Yusuf al-Maqassari (1037-1111/1627-99)


Muhammad Yusuf bin Abd Allah Abu al-Mahasin al-Taj al-khalwati al-Maqassari
dilahirkan dari keluarga muslim, memulai perjalanannya dari Sulawesi Selatan, Jawa Barat,
Arabia, Sri Langka dan Afrika Selatan. Ia mendapatkan pendidikan islam dari kalangan sufi,
Setelah itu melajutkan ke Cikoang belajar seorang guru keliling Jalal al-Din al-Aydid. Dari
tempat ini Maqassari menikah dengan puteri Sultan Gowa. Setelah itu al Maqassari
meninggalkan makasar menuju Arabia untuk belajar pada bulan Rajab 1054/September 1644.
Adapun pembaruannya, dalam konsep tasawuf adalah pemurnian kepercayaan pada
keesaan Tuhan. Dia menekankan bahwa keesaan Tuhan itu tak terbatas dan mutlak. Tauhid
adalah komponen penting dalam islam. Lebih jauh dia membandingkan tauhid murni dengan
sebuah pohon berdaun: pengetahuan makrifat adalah cabang dan daunnya, sedangkan ibadah
adalah buah-buahnya. Orang yang tidak memiliki makrifat, bodoh dan orang tidak melakukan
ibadah, fasiq.
Beliau sufi tapi taat syariat dan tidak mengasingkan diri dari masyarakat. Teologi al-
Asy’ariyyah lah yang dipegang oleh al-Maqassari. Terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan,
al-Maqassari membaginya kedalam 4 kelompok: 1) orang yang hanya mengucapkan syahadat
tapi tidak benar-benar berimana (munafiq). 2) orang yang mengucapakan syahadat tetapi juga
menanamkannya ke dalam jiwa (orang awam). 3) orang yang benar-benar paham akan implikasi
lahir dan batin dari pernyataan keimanannnya (orang-orang elit). 4) orang-orang dari golongan
ketiga yang mengintensifkan syahadah mereka dengan mengamalkan tasawuf (orang terpilih dari
golongan elite).
Analisis Kritik

@Widad sef
Pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan sumber dinamika Islam dengan terbentuknya
sebuah jaringan ulama yang berpusat di Haramain (Makkah dan Madinah), berawal dari para
ulama yang memiliki tujuan utama untuk melaksanakan haji dan kemudian semakin mendorong
para ulama untuk menuntut ilmu, mengajar di dunia Islam bahkan ada juga yang bermukim
disana sehingga menciptakan sebuah jaringan ulama kosmopolitan dari sinilah para ulama
menyampaikan sebuah gagasan-gagasan pembaharuan Islam, dalam pokok pembahasannya pada
ortodoksi sunni yang lebih menyeimbangkan antara Syariat dan Tasawuf dengan cara menelaah
hadits dan tarekat sehingga menghasilkan wacana ilmiah yang unik dan bahkan karya tulis
lainnya.Terdapat tiga tokoh ulama penting yang membawa perubahan Islam di wilayah Melayu
Indonesia pada abad ke-17 dalam jaringan ulama yaitu Nur Al-Din Al-Raniri, Abd Ra'uf Al-
Sinkili, Muhammad Yusuf Al-Maqassari dengan menyebarkan gagasan pembaharuannya yang
menyeimbangkan antara Tasawuf dan Syariat (Hukum) dapat disebut Neo-Sufisme yang pada
abad sebelumnya Islam di Nusantara lebih dominan pada Islam Mistis. Dengan adanya gagasan
pembaharuan di wilayah Nusantara dan berhasil diterima dengan baik oleh masyarakat muslim
sehinggaa dapat menuju ke arah sosio- moral.

@Ardan Candra Negara


Setelah saya membaca berbagai materi dari makalah dan dari sumber-sumber yang lain
saya memiliki berbagai kritik dan saran. Saya sepakat dengan adanya jaringan ulama intelektual
antara indo-arab ini. saya sepakat karena dengan adanya jaringan intelektual ini bisa memperluas
wawasan masyarakat pada zaman dahulu tentang kondisi bagaimana keadaan yang ada di timur
tengah. Kemudian, di lain sisi dengan adanya jaringan ulama antara indo-arab ini bisa
menjadikan sebagai alat untuk menyebarkan ajaran agama islam dari timur hingga ke berbagai
wilayah yang ada di nusantara. Karena dengan adanya jaringan ini masyarakat nusantara pada
zaman dahulu bisa belajar ilmu agama langsung yang berasal dari wilayah atau dari daerah arab
langsung. Di satu sisi, kita sebagai mahasiswa bisa meneladani sifat dari tokoh-tokoh jaringan
ulama antara indo-arab ini. ini dikarenakan saya yakin bahwasannya tokoh-tokoh jaringan
intelektual antara indo-arab ini memiliki sifat yang sangat baik dan bagus untuk dijadikan suri
tauladan. Dengan itu maka wajib bagi kita kaum intelektual untuk mempelajari bagaimana sifat-
sifat para tokoh jaringan intelektual antara indo-arab pada zaman dahulu. Kemudian, dengan
adanya jaringan intelektual yang seperti ini negara kita bangsa indonesia bisa bekerja sama
dengan negara dari arab saudi untuk mendirikan perguruan tinggi bahasa arab di indonesia.
Namun, dilain sisi saya juga tidak sepakat dengan adanya jaringan intelektual antara indo-arab
karena bisa melahirkan gerakan pembaharuan di indonesia yang sangat radikal dengan
penggiringan opini memakai kata jihad. Karena menurut penulis pribadi gerakan radikal yang
terjadi di indonesia kebanyakan berasal dari wilayah timur. Kemudian biasanya gerakan tersebut
berawal dari kelompok yang terlalu fanatik dengan bangsa arab sehingga mereka melupakan
budaya nenek moyang leluhur bangsa indonesia sendiri. Dan jaringan intelektual antara dua
negara ini tentu nya memiliki dampak negatif dan dampak positif. Maka saya sebagai pembuat
makalah dan sebagai peneliti hanya menilai bagaimana dampak terhadap bangsa indonesia
dengan adanya jaringan intelektual antar dua negara tersebut. tulisan saya diatas bukan
bermaksud menjelek-jelekan tetapi saya hanya menilai berdasarkan pemahaman pribadi penulis.

@Retno Rizki Amalia

Dari literature yang saya baca, kita harus bersyukur atas adanya Jaringan Intelektual ini,
karena adanya Jaringan Intelektual ini orang kita (rakyat Indonesia) juga mampu menjadi calon-
calon Ulama besar dan juga bisa menghadirkan Ulama-ulama besar Arab Saudi sendiri ke
Indonesia. kita juga harus mengsyukuri di zaman kita ini semua sudah dipermudah, tidak ada lagi
kesulitan seperti yang terjadi di abad-17 silam, seperti hanya dengan menghafal 5 juz Al-Quran
atau menhafal kitab gundul kita sudah bisa mendapatkan biasiswa penuh di Universitas-
universitas Timur Tengah. Yang harus kita lakukan saat ini dan seterusnya adalah terus menjalin
kontak yang baik dengan Arab Saudi melalui Jaringan Intelektual atau sebagainya walaupun
sekarang agak terbatas dikarenakan fenomena Covid’19 ini. “Semangat, Terus berbuat baik, dan
jangan pernah menyerah walau badai menerjang.”
DAFTAR PUSTAKA

Azra Azyumardi,2005, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar
Pembaharuan Islam Indonesia, Bandung, Prenada Media.

Aenu, Rafiq Gufran,2005, Mengharuskan Sejarah Wahhabi, Pustaka Al-Furqan.

Al-Aqli, Nashir bin Abdul Karim, 2006, Hanya Islam bukan Wahhabi, Jakarta, Darul Falah.

https://ibnu622.wordpress.com/2016/03/18/4/ diakses pada tanggal 19 September 2021

yatim Badri, 1987, Sejarah social keagamaan tanah suci, PT. Logos.

Anda mungkin juga menyukai