Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar  Belakang

Sejarah telah mencatat bahwa islam telah memberikan suatu kerangka bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban dunia. Sikap dan semangat ilmiah yang telah di bentuk oleh dunia islam pada
abad pertengahan, melahirkan figure ensiklopedik dari berbagai ilmu pengetahuan. Peradaban dan
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang telah di capai  Oleh kaum muslimin sebelumnya tidak
nampak lagi bahkan kaum muslimin tampak statis dalam lapangan pemikiran, termasuk bidang pemikiran
keagamaan.

Sejak itu kondisi dunia islam dengan berbagi aspeknya menarik perhatian banyak kalangan. Dari
pihak non muslim yang bersimpati berpandangan agar kaum muslimin itu bisa menyesuiakan diri dengan
semangat kebudayaan modern. Bagaimana kaum muslimin dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda itu memahami ajaran islam untuk memecahkan persoalan-persoalan kini. Bahkan sebagian dari
kelompon non muslim yang lebih ekstrim mengatakan bahwa kemungkinan yang ada untuk
mengembalikan kejayaan islam adalah meninggalkan warisan lama dan memasukkan kebudayaan barat
ke dalam kehidupan kaum muslimin. Kelompok ini mengganggap bahwa setiap apa yang di hasilkan
barat identik kemajuan.

Dari kalangan kaum muslimin terdapat dua kelompok. Pertama, mereka yang menyadari tentang
keadaan kaum muslimin dan menilai kenyataan pemahaman dari praktek keagamaan kini yang telah di
anggap menyimpang dari ajaran islam yang benar. Mereka berpendapat jika kaum muslimin kembali pada
prinsip ajaran islam dan mengegerakkan semangat islam dan mengegerakkan semangat ijtihad dalam
setiap proses pemikiran, maka kaum muslimin akan memperoleh kembali kemajuan sebagai mana yang
telah di capainya pada waktu lampau. Kedua, mereka yang berpegang teguh pada warisan tradisi abad
pertengahan beranggapan bahwa apa yang telah di capai oleh ulama islam di bidang pemikiran agama di
nilai mutlak, dan tidak mungkin ada pemikiran lain yang bisa menandinginya.

Di Indonesia, proses perubahan alam pikiran tentang islam, selain fakor kondisi intern umat islam
terjadi setelah terbukanya komunikasi yang luas dengan Negara timur tengah yang menjadi pusat islam.
Proses perubahan ini di lakukan oleh individu dalam kelompok masyarakat yang ingin memperjuangkan
identitas dan prinsip ajaran islam di  tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia. Usaha tersebut di
realisir  dengan mendirikan organisasi tertentu. Di antara organisasi ini, muhammdiyah di pandang
memiliki peranan yang sangat penting dalam menyebarkan ide-ide pembaharuan islam dan memiliki
perngaruh yang cukup kuat di kalangan masyarakat menengah Indonesia. (Din Syamsuddin )

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas kami merumuskan beberapa masalah yaitu diantaranya:

1.       Apa asal-usul kemuhamadiyahan ?

2.       Bagaimana teori masuknya islam di nusantara?

3.       Bagaimana proses perkembangan islam di nusantara?

4.       Apakah corak islam di nusantara?

1.3  Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui asal-usul kemuhamadiyahan

2.      Untuk mengetahui teori masuknya islam di nusantara

3.      Untuk mengerti proses perkembangan islam di nusantara

4.      Untuk mengetahui corak islam di nusantara


BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Asal-Usul Kemuhamadiyahan

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil
dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang
yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk


memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya
juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu
peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal
sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School
Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin khusus laki-laki, yang bertempat di
Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat Muhammadiyah khusus Perempuan, di Suronatan
Yogyakarta).

Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut nabi Muhammad, karena berasal dari kata
Muhammad, kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan secara terminologi berarti gerakan Islam,
dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Berkaitan
dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah secara garis besar faktor penyebabnya adalah pertama,
faktor subyektif adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap al-Qur’an dalam menelaah,
membahas dan mengkaji kandungan isinya. Kedua, faktor obyektif  di mana dapat dilihat secara internal
dan eksternal. Secara internal ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an dan as-
Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagiab besar umat Islam Indonesia.

Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan
maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh
aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu
kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan
mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama
Islam menjadi rahmatan lil-‘alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.

Visi Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqamah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam
amar ma’ruf nahi mungkar di segala bidang, sehingga menjadi rahmatan li al-‘alamin bagi umat, bangsa
dan dunia kemanusiaan menuju terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang diridhai Allah
swt dalam kehidupan di dunia ini. Misi Muhammadiyah adalah:

(1) Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah swt yang dibawa oleh
Rasulullah yang disyariatkan sejak Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad saw.

(2) Memahami agama dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk
menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang bersifat duniawi.

(3) Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an sebagai kitab Allah yang terakhir
untuk umat manusia sebagai penjelasannya.

(4) Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Lihat Tanfidz
Keputusan Musyawarah Wilayah ke-39 Muhammadiyah Sumatera Barat tahun 2005 di Kota Sawahlunto

2.2  Teori Masuknya Islam Di Nusantara

Secara umum terdapat tiga teori masuknya islam ke indonesia atau nusantara. Teori tersebut sebagai
berikut: :
A. Teori Masuknya islam di Nusantara berdasarkan Teori Gurajat

      Menurut Teori Gurajat, islam masuk ke indonesia melalui wilayah-wilayah di anak benua India
seperti Gurajat, Bengali, dan Malabar. Pendapat ini didasarkan pada temuan nisan-nisan kuburan di
beberapa wilayah indonesia yang dibuat dan dibawa langsung dari kota Gurajat.

      Pendapat tentang masuknya islam dari Gurajat, india didasarkan pada corak ajaran Islam yang
berkembang di Nusantara pada awalnya cenderung memiliki warna tasawuf yang kental. Hal ini mirip
dengan tradisi tasawuf yang berkembang di india. Seperti diketahui bahwa setelah masa hancurnya
Kesultanan Abbasiyah di bagdad, umat islam menekuni jalan tassawuf. Utamanya di tanah india. Islam
berkembang di tanah india dengan kerajaan mugal dan kerajaan Deccan. Kedua kerajaan ini menjadi
beberapa diantara pusat Islam Asia Tengah dan Asia Tenggara. Pengaruh kedua kerajaan tersebut juga
terdengar hingga wilayah Nusantara.

       Salah satu pendukung utama teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia seorang ilmuwan belanda yang
diperintahkan untuk belajar agama Islam dan mencari kelemahan umat islam di Nusantara Khususnya
umat islam di Aceh. Dalam melaksanakan tugasnya, shouck banyak mengeluarkan kesesatan yang
bertujuan melemahkan mental dan ajaran agama islam yang dipahami oleh umat islam.

  B. Teori masuknya Islam di Nusantara Berdasarkan Teori Persia

      Teori kedua masuknya islam di Nusantara bahwa islam masuk melalui persia. Hal ini terjadi pada
abad XII. Dasar pendapat ini adalah maraknya paham syiah pada awal-awal masuknya islam di
Nusantara. Paham syiah berkembang sangat luas dalam masyarakat persia. Hal tersebut tidak lepas dari
hadirnya salah satu istri Ali bin Abi Talilb yang berasal dari persia. Keadaan ini membuat masyarakat
persia merasa senasib dengan saudara mereka, yaitu keluarga ali yang diburu oleh Pemerintahan
Muawiyah.

      Maraknya syiah di wilayah Nusantara terlihat dari tradisi upaca seperti mengarak tabut di jambi yang
dilambangkan dengan mengarak jasad Husein bin Ali yang terbunuh dalam peristiwa Karbala. Kuatnya
tradisi Syiah bahkan masih terasa hingga saat ini.

Suku ini disinyalirkan merujuk pada orang-orang Leran dan Jawi di persia. Suku yang disebut
terakhir dikenal dengan tradisi penulisan arab jawa atau aran pegon yang ditengarai sebagai cara
penulisan adopsi sebagaima adopsi yang dilakukan oleh masyarakat Persia dan tulisan arab. Hal ini
diperkuat dengan berbagai istilah seperti istilah Jer yang lazim digunakan oleh masyarakat Persia

  C. Teori Masuknya Islam di Nusantara berdasarkan Teori Arab

      Teori ketiga adalah teori Arab. Berdasarkan teori arab, islam di Nusantara bukan berasal dari Gurajat
India atau Persia melainkan langsung dari Arab, yaitu mekah dan madinah pada abad VII Masehi. Seperti
diketahui bahwa jalur perdagangan dunia telah ada jatuh sebelum masa kelahiran agama islam. Pada masa
itu perdagangan dan nusantara telah lama berjalan. Dengan demikian, kontak antara para pedagang
Nusantara dan Arab sangat mungkin terjadi.

      Menurut teori arab, Islam datang pada masa khulafaur Rasyidin atau bahkan pada masa nabi. Hal ini
terlihat dari adanya hubungan yang intensif antara Arab dan Nusantara. Bukti dokumentasi yang tercatat
adalah dokumen dari cina yang ditulis oleh Chu-Fan-Chi mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou
Ku-Fei. Dia menyatakan adanya pelayaran dari wilayah Arab  di Timur Tengah yang makan waktu jauh
lebih panjang untuk berlayar. Wilayah Tha-Shih yang tercantum dalam dokumen tersebut adalah
komunitas Arab yang berada di pelabuhan kecil yang dikenal sebagai Bandar Khalifah di pantai Barus,
Sumatera Barat.
       Keberadaan Komunitas Muslim arab di pantai Barus tercatat dalam dokumen Kuno Cina bahwa
sekitar tahun 625 Masehi telah ada perkampungan Arab islam di pesisir sumatera. Menilik angka tahun
tersebut berarti hanya sembilan tahun dari saat Rasulullah SAW. Memproklamasikan dakwah islam
secara terbuka pada penduduk mekkah, beberapa sahabat telah berlayar dan membentuk perkampungan
islam di Sumatera. Hal inilah yang menyebabkan sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin
bahwa islam telah masuk Ke Nusantara saat Rasullullah SAW masih hidup di mekkah dan madinah.

      Bukti lain dari masuknya Islam pada abad VII adalah ditemukannya makam kuno di kompleks
pemakaman Mahligai, Barus yang pada batu nisannya tertulis nama Syekh Rukunuddin yang wafat pada
tahun 672 Masehi. Sebuah tim arkeologi dari Perancis, yaitu tim dari ECOLO FRANCAISE
D'EXTREME-ORIENT (EFEO) bekerja sama dengan pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Lobu Tua-
Barus menemukan bahwa sekitar abaf IX-XII masehi, barus telah menjadi sebuah menjadi sebuah
wilayah pusat pelabuhan yang didiami oleh pemukim dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, Cina,
Tamil, Jawa, Bugis, dan Bengkulu.

       Bukti tersebut diperkuat dengan munculnya kerajaan islam pertama di Nusantara, yaitu kerajaan
Perlak atau Peurula sekita abad IX Masehi. Kerajaan  inilah yang pertama kali menyebarkan agama islam
di sumatera hingga berkembang menjadi Kerajaan Samudera pasai. Selain itu, juga hingga ke jawa
dengan adanya makam Fatimah binti Maimun berangka tahun 1082 Masehi. Adanya sebuah kerajaan
Islam Perlak abad IX membuktikan masuknya islam pada masa sebelum itu.

       Di antara ketiga teori ini, teori Arablah yang saat ini diterima oleh para ahli sejarah. Meskipun
demikian, bukan berarti masuknya islam di Nusantara hanya berasal dari tanah arab. Kaum muslimin dari
Wilayah yang juga telah memeluk agama islam juga ikut berperan semisal para pedagang dari Gurajat
atau Persia meskipun datang kemudian.

2.3  Perkembangan Islam di Indonesia

Sebagian ahli menyatakan bahwa agama Islam itu masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 sampai dengan
abad ke-8 Masehi. Pendapat itu didasarkan pada berita dari Cina zaman Dinasti T’ang yang menyebutkan
adanya orang-orang Ta Shih (Arab dan Persia) yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Ho Ling di
bawah pemerintahan Ratu Sima (674).

Sebagian ahli yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia baru abad ke-13. Pernyataan
ini didasarkan pada masa runtuhnya Dinasti Abbassiah di Bagdad (1258). Hal itu juga didasarkan pada
berita dari Marco Polo (1292), berita dari Ibnu Batuttah (abad ke-14), dan Nisan Kubur Sultan Malik al
Saleh (1297) di Samudera Pasai. Pendapat itu diperkuat dengan masa penyebaran ajaran tasawuf.
Sebenarnya kita perlu memisahkan pengertian proses masuk dengan berkembangnya agama Islam di
Indonesia, seperti berikut:

1. masa kedatangan Islam (kemungkinan sudah terjadi sejak abad ke-7 sampai

dengan abad ke-8 Masehi)

      2. masa penyebaran Islam (mulai abad ke-13 sampai dengan abad ke-16

Masehi, Islam menyebar ke berbagai penjuru pulau di Nusantara);

      3. masa perkembangan Islam (mulai abad ke-15 Masehi dan seterusnya melalui kerajaan-kerajaan
Islam).

Terdapat berbagai pendapat pula mengenai negeri asal pembawa agama serta kebudayaan Islam
ke Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa kebudayaan dan agama Islam datang dari Arab, Persia, dan
India (Gujarat dan Benggala). Akan tetapi, para ahli menitikberatkan bahwa golongan pembawa Islam ke
Indonesia berasal dari Gujarat (India Barat). Hal itu diperkuat dengan bukti-bukti sejarah berupa nisan
makam, tata kehidupan masyarakat, dan budaya Islam di Indonesia yang banyak memiliki persamaan
dengan Islam di Gujarat.

Pembawanya adalah para pedagang, mubalig, dan golongan ahli tasawuf. Ketika Islam masuk
melalui jalur perdagangan, pusat-pusat perdagangan dan pelayaran di sepanjang pantai dikuasai oleh raja-
raja daerah, para bangsawan, dan penguasa lainnya, misalnya raja atau adipati Aceh, Johor, Jambi,
Surabaya, dan Gresik. Mereka berkuasa mengatur lalu lintas perdagangan dan menentukan harga barang
yang diperdagangkan. Mereka itu yang mula-mula melakukan hubungan dagang dengan para pedagang
muslim. Lebih-lebih setelah suasana politik di pusat Kerajaan Majapahit mengalami kekacauan, raja-raja
daerah dan para adipati di pesisir ingin melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Oleh karena itu,
hubungan dan kerja sama dengan pedagang-pedagang muslim makin erat. Dalam suasana demikian,
banyak raja daerah dan adipati pesisir yang masuk Islam. Hal itu ditambah dengan dukungan dari
pedagang-pedagang Islam sehingga mampu melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.Setelah raja-raja
daerah, adipati pesisir, para bangsawan, dan penguasa pelabuhan masuk Islam rakyat di daerah itu pun
masuk Islam, contohnya Demak (abad ke-15), Ternate (abad ke-15), Gowa (abad ke-16), dan Banjar
(abad ke-16).
Proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia berlangsung secara
bertahap dan dilakukan secara damai sehingga tidak menimbulkan ketegangan sosial. Cara penyebaran
agama dan kebudayaan Islam di Indonesia melalui berbagai saluran berikut ini.

1. Saluran Perdaganga

Saluran yang digunakan dalam proses islamisasi di Indonesia pada awalnya melalui perdagangan.
Hal itu sesuai dengan perkembangan lalu lintas pelayaran dan perdagangan dunia yang ramai mulai abad
ke-7 sampai dengan abad ke- 16, antara Eropa, Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Cina.

Proses islamisasi melalui saluran perdagangan ini dipercepat oleh situasi politik beberapa
kerajaan Hindu pada saat itu, yaitu adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan
pemerintah pusat di Majapahit. Pedagang-pedagang muslim itu banyak menetap di kota-kota pelabuhan
dan membentuk perkampungan muslim. Salah satu contohnya adalah Pekojan.

2. Saluran Perkawinan

Kedudukan ekonomi dan sosial para pedagang yang sudah menetap makin baik. Para pedagang
itu menjadi kaya dan terhormat, tetapi keluarganya tidak dibawa serta. Para pedagang itu kemudian
menikahi gadis-gadis setempat dengan syarat mereka harus masuk Islam. Cara itu pun tidak mengalami
kesulitan. Saluran islamisasi lewat perkawinan ini lebih menguntungkan lagi apabila para saudagar atau
ulama Islam berhasil menikah dengan anak raja atau adipati. Kalau raja atau adipati sudah masuk Islam,
rakyatnya pun akan mudah diajak masuk Islam.

Misalnya, perkawinan Maulana Iskhak dengan putri Raja Blambangan yang melahirkan Sunan
Giri; perkawinan Raden Rahmat (Sunan Ngampel) dengan Nyai Gede Manila, putri Tumenggung
Wilatikta; perkawinan putri Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon; perkawinan putri
Adipati Tuban (R.A. Teja) dengan Syekh Ngabdurahman (muslim Arab) yang melahirkan Syekh Jali
(Jaleluddin).

3. Saluran Tasawuf

Tasawuf adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur dengan mistik dan hal-hal magis. Oleh
karena itu, para ahli tasawuf biasanya mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan
menyembuhkan. Kedatangan ahli tasawuf ke Indonesia diperkirakan sejak abad ke-13, yaitu masa
perkembangan dan penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India yang sudah beragama Islam.
Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, para ulama dalam mengajarkan agama Islam di
Indonesia menyesuaikan dengan pola pikir masyarakat yang masih berorientasi pada agama Hindu dan
Buddha sehingga mudah dimengerti. Itulah sebabnya, orang Jawa begitu mudah menerima agama Islam.
Tokoh-tokoh tasawuf yang terkenal, antara lain Hamzah Fansyuri, Syamsuddin as Sumatrani, Nur al Din
al Raniri, Abdul al Rauf, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Panggung.

4. Saluran Pendidikan

Lembaga pendidikan Islam yang paling tua adalah pesantren. Murid-muridnya (santri) tinggal di
dalam pondok atau asrama dalam jangka waktu tertentu menurut tingkatan kelasnya. Pengajarnya adalah
para guru agama (kiai atau ulama). Para santri itu jika sudah tamat belajar, pulang ke daerah asal dan
mempunyai kewajiban mengajarkan kembali ilmunya kepada masyarakat di sekitar. Dengan cara itu,
Islam terus berkembang memasuki daerah-daerah terpencil.

Pesantren yang telah berdiri pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, antara lain Pesantren Sunan
Ampel di Surabaya yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Pesantren Sunan Giri yang
santrinya banyak berasal dari Maluku (daerah Hitu). Raja-raja dan keluarganya serta kaum bangsawan
biasanya mendatangkan kiai atau ulama untuk menjadi guru dan penasihat agama. Misalnya, Kiai Ageng
Selo adalah guru Jaka Tingkir; Kiai Dukuh adalah guru Maulana Yusuf di Banten; Maulana Yusuf adalah
penasihat agama Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Saluran Seni Budaya

Berkembangnya agama Islam dapat melalui seni budaya, misalnya seni bangunan (masjid), seni
pahat (ukir), seni tari, seni musik, dan seni sastra. Seni bangunan masjid, mimbar, dan ukir-ukirannya
masih menunjukkan seni tradisional bermotifkan budaya Indonesia–Hindu, seperti yang terdapat pada
candi-candi Hindu atau Buddha. Hal itu dapat dijumpai di Masjid Agung Demak, Masjid Sendang Duwur
Tuban, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, Masjid Baiturrahman Aceh, dan
Masjid Ternate. Pintu gerbang pada kerajaan Islam atau makam orang-orang yang dianggap keramat
menunjukkan bentuk candi bentar dan kori agung. Begitu pula, nisan-nisan  makam kuno di Demak,
Kudus, Cirebon, Tuban, dan Madura menunjukkan budaya sebelum Islam. Hal itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa Islam tidak meninggalkan seni budaya masyarakat yang telah ada, tetapi justru ikut
memeliharanya. Seni budaya yang tetap dipelihara dalam rangka proses islamisasi itu banyak sekali,
antara lain perayaan Garebek Maulud (Sekaten) di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.Islamisasi juga
dilakukan melalui pertunjukkan wayang yang telah dipoles dengan unsur-unsur Islam. Menurut cerita,
Sunan Kalijaga juga pandai memainkan wayang. Islamisasi melalui sastra ditempuh dengan cara
menyadur buku-buku tasawuf, hikayat, dan babad ke dalam bahasa pergaulan (Melayu).
6. Saluran Dakwah

Gerakan penyebaran Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dengan peranan Wali Songo. Istilah
wali adalah sebutan bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkat pengetahuan dan penghayatan agama
Islam yang sangat dalam dan sanggup berjuang untuk kepentingan agama tersebut. Oleh karena itu, para
wali menjadi sangat dekat dengan Allah sehingga mendapat gelar Waliullah (orang yang sangat dikasihi
Allah). Sesuai dengan zamannya, wali-wali itu juga memiliki kekuatan magis karena sebagian wali juga
merupakan ahli tasawuf.

Para Wali Sanga yang berjuang dalam penyebaran agama Islam di berbagai daerah di Pulau Jawa adalah
sebagai berikut.

1. Maulana Malik Ibrahim

2. Sunan Ampel

3. Sunan Drajad

4. Sunan Bonang

5. Sunan Giri

6. Sunan Kalijaga

7. Sunan Kudus

8. Sunan Muria

9. Sunan Gunung Jati

2.4  Corak Islam di Nusantara

Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan Nusantara menimbulkan transformasi


kebudayaan (peradaban) lokal. Tranformasi melalui pergantian agama dimungkinkan karena Islam selain
menekankan keimanan yang benar, juga mementingkan tingkah laku dan pengamalan yang baik, yang
diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.

Terjadinya transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan lokal kepada sistem
keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat kepada Islam terjadi berbarengan
dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam
perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat
perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam
internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat
di kawasan ini pada masa-masa sebelumnya.

Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena
beberapa sebab sebagai berikut:

1. Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan lokal
berpusat kepada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak siap pakai. Oleh karena itu, sistem
kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan di manapun
mereka berada, mereka temukan di dalam Islam.

2. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan
pedagang Muslim yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan
peran penting dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatik.

3. Kejayaan militer. Orang Muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. Hal ini bisa dilihat
dari beberapa pertempuran yang dialami dan dimenangkan oleh kaum Muslim.

4. Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara
(Nusantara) yang sebagian belum mengenal tulisan, dan sebagian sudah mengenal tulisan sanskerta.
Tulisan yang diperkenalkan adalah tulisan Arab.

5. Mengajarkan penghapalan. Para penyebar Islam menyandarkan otoritas sakral. Ajaran Islam yang
mengandung kebenaran dirancang dalam bentuk –bentuk yang mudah dipahami dan dihafalkan oleh
penganut baru. Karena itulah, hafalan menjadi sangat penting bagi para penganut baru yang semakin
banyak jumlahnya.

6. Kepandaian dalam penyembuhan. Karena penyakit selalu dikaitkan dengan sebab-sebab spiritual, maka
agama dipandang mempunyai jawaban terhadap berbagai penyakit dan ini menjadi jalan untuk
pengembang sebuah agama yang baru (Islam). Contohnya, Raja Patani menjadi muslim setelah
disembuhkan penyakitnya oleh seorang ulama dari Pasai.

7. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat. Ini terangkum
dalam moral dunia yang diprediksi bahwa orang-orang yang taat akan dilindungi Tuhan dari segala
kekuatan jahat dan akan diberi imbalan surga di akhirat.
Melalui sebab-sebab itu, Islam cepat mendapat pengikut yang banyak. Menurut Azra, semua daya tarik
tersebut mendorong terjadinya “Revolusi keagamaan”.

Adapun corak awal Islam dipengaruhi oleh tasawuf, antara lain terlihat dalam berbagai aspek berikut:

a). Aspek Politik

Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural
masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Ditambah lagi kalangan
pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan, panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan
untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan penguasa yang masih kafir. Menurut penulis,
pengambil alihan kekuasaan dari penguasa yang masih kafir ini merupakan konflik yang terjadi antara
rakyat dengan penguasa. Karena, rakyat yang sudah memeluk agama Islam, menginginkan kehidupan
yang adil di bawah pimpinan yang adil pula. Maka dalam hal ini, keadilan tersebut akan sangat mungkin
didapatkan apabila pemimpin sudah memeluk Islam dan melaksanakan ajarannya.

Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya pusat
kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti
paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di
kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada
bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, Malik al-
Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai. Pada tahap-tahap selanjutnya,
banyak kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara, seperti kerajaan Aceh, Demak,
Pajang, Mataram, Ternate, Tidore, dan sebagainya.

Menurut penulis, banyaknya kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara tidak terlepas dari
adanya peran para ulama yang dekat dengan Raja. Dengan demikian, terjadi kontak antara Raja dengan
ulama, yang selanjutnya mengislamkan raja kemudian diikuti oleh rakyatnya. Pada tahap berikutnya, raja
yang muslimpun akan membantu penyebaran dan pengembangan agama Islam ke wilayah-wilayah di
Nusantara, dan diikuti dengan banyaknya kerajaan Islam yang berdiri.

b). Aspek Hukum

Adanya sebuah kerajaan, akan melahirkan undang-undang untuk mengatur jalannya kehidupan di
sebuah kerajaan. Karena dengan undang-undang inilah masyarakat akan diatur.
Sebelum masuknya Nusantara, telah ada sistem hukum yang bersumber dari hukum Hindu dan
tradisi lokal (hukum adat). Berbagai perkara dalam masyarakat diselesaikan dengan kedua hukum
tersebut.

Setelah agama Islam masuk, terjadi perubahan tata hukum. Hukum Islam berhasil menggantikan
hukum Hindu di samping berusaha memasukkan pengaruh ke dalam masyarakat dengan mendesak
hukum adat, meskipun dalam batas-batas tertentu hukum adat masih tetap bertahan. Pengaruh hukum
Islam tampak jelas dalam beberapa segi kehidupan dan berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi
penganutnya.

Berbagai kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang
menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang bersumber dari kitab-kitab karya ulama
Sunni di berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab undang-undang Melayu
menunjukkan ajaran-ajaran syari’ah sebagai bagian integral dalam pembinaan tradisi politik di kawasan
ini.

Sebagai contoh, yaitu kitab Undang-Undang Melaka. Kitab undang-undang ini menunjukkan
kuatnya pengaruh unsur-unsur hukum Islam, khususnya yang berasal dari Mazhab Syafi’i. Undang-
Undang Melaka pada intinya meletakkan beberapa prinsip pertemuan antara hukum Islam dan adat
setempat. Pertama, gagasan tentang kekuasaan dan dan sifat daulat ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip
Islam. Kedua, pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian perkara hukum didasarkan pada
ketentuan-ketentuan Islam dan adat. Ketiga, hukum kekeluargaan pada umumnya didasarkan pada
ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Keempat, hukum dagang dirumuskan berdasarkan praktek perdagangan
kaum Muslimin. Kelima, hukum yang berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.

Dengan demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di Nusantara, pembinaan hukum
dilakukan dengan mengambil prinsip-prinsip hukum Islam, dan mempertahankan ketentuan-ketentuan
adat yang dipandang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

c). Aspek Bahasa

Kedalaman pengaruh bahasa Arab dalam politik Islam di Asia Tenggara (nusantara) tidak
diragukan lagi banyak berkaitan dengan sifat penyebaran Islam di kawasan, khususnya pada masa-masa
awal. Hal ini berbeda dengan Islamisasi di wilayah Persia dan Turki yang melibatkan penggunaan militer,
Islamisasi di Nusantara pada umumnya berlangsung damai.
Konsekuensi dari sifat proses penyebaran itu sudah jelas. Wilayah Muslim Asia Tenggara
(Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Muslim Melayu tidak
mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan , bahkan warna lokal cukup menonjol dalam perjalanan
Islam di kawasan ini.

Walaupun kurang terarabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan sosial
keagamaan kaum Muslim. Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi peristilahan Arab,
tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal.

Dari aspek tersebut, kemunculan Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah
signifikan bagi sebagian penduduk di Nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan tulisan. Selanjutnya,
hal tersebut melahirkan tulisan yang dikenal dengan akasara Arab Melayu atau aksara Arab Jawi.

Ketiga aspek tersebut yang dipengaruhi oleh Islam, hal tersebut menjadi corak Islam yang terus
berkembang hingga abad ke 17. Hal ini menunjukkan kehidupan beragama Islam sangat terasa pada masa
tersebut.

2.5      Perkembangan Peradaban Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan   Barat

1.      Masa Penjajahan Portugis

 Perjalanan bangsa Portugis hingga benua Asia tidak terlepas dari watak sebagian besar bangsa
Eropa (beragama Kristen) yang membenci umat Islam. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pernah
terjadi peperangan besar yang terjadi antara umat Islam dan Kristen yang disebut “Perang Salib” (1096-
1270 M). Penguasaan besar-besaran oleh umat Islam di daerah Timur Tengah dan beberapa wilayah
Eropa pada saat itu memancing umat Kristen di sekitarnya untuk segera mengambil alih kedudukan itu.
Walaupun perang Salib berhasil dimenangkan oleh umat Islam, namun beda halnya dengan yang terjadi
di belahan Dunia Islam sebelah barat. Orang-orang Islam (Arab) yang telah berkuasa atas semenanjung
Iberia (Spanyol-Portugal) semenjak abad 6 Masehi mengalami pasang naik dan pasang surut. Karena
sebab-sebab perpecahan ke dalam, pertentangan politik, penonjolan rasa keakuan yang melampaui batas,
berebut kekuasaan dan kekayaan, tidak dapat membedakan yang mana boleh dikerjakan sendiri-sendiri di
antara golongan-golongan dan yang mana harus bersatu, dan karena mengabaikan ajaran-ajaran Syara’
Islam, maka pada periode demi periode mengalami kemunduran dan persengketaan. Akhirnya pada
tahun-tahun memasuki abad ke-15 M daerah-daerah yang mereka kuasai, propinsi demi propinsi direbut
kembali oleh orang-orang Spanyol-Portugis hingga akhirnya pecahlah Kerajaan Islam Spanyol yang jaya
menjadi berkeping-keping di Afrika Utara. Istilah “reconquistia” pun mulai didengung-dengungkan
sebagai lambang kemegahan orang Spanyol dan Portugis. Istilah ini dikemukakan oleh Dr. W. B. Sijabat
yang berarti “merebut kembali dari suatu yang pernah diambil pihak lain”.
          Bersamaan dengan itu, orang-orang Portugis mengambil kesempatan untuk melakukan apa yang
mereka namakan “reconquistia”. Mereka bukan saja merebut miliknya yang pernah hilang, akan tetapi
lebih dari itu. Mereka menjadi bernafsu untuk merebut milik orang-orang Islam di mana saja mereka
berada baik di Barat maupun di Timur. Setiap orang yang beragama Islam bagi mereka adalah orang
Moro, orang yang harus diperangi.
          Mulailah orang-orang portugis berlanglang buana atas nama “conquistador-conquistador” (jagoan
penakluk) yang direstui Sri Paus. Tujuannya berganda, membalas dendam, merebut tanah jajahan,
kekuasaan politik, mengangkut rempah-rempah dan harta kekayaan penduduk pribumi serta menyebarkan
agama Katholik.
          Portugis menetapkan diri mereka sebagai penguasa samudra Hindia pada awal abad ke-16. Pada
tahun 1509 mereka mengalahkan sebuah pasukan gabungan Mesir dan India serta merebut Goa. Setelah
menguasai Goa, bandar perdagangan di pantai barat India, Portugis mengarahkan lirikan mata
imperialismenya ke Timur, Malaka (Malaysia). Pada tahun 1511 mereka menaklukkan Malaka di bawah
pimpinan d’Albuquerque , tahun 1515 menaklukkan Hormuz di teluk Persia, dan pada tahun 1522 mereka
menaklukkan Ternate sebagai sebuah upaya untuk menguasai perdagangan antara Cina, Jepang, Siam,
Molucca, Samudra India dan Eropa. Portugis diusir dari Ternate pada tahun 1575, tetapi mereka tetap
menguasai sejumlah kepulauan lainnya di Molucca.
          Tahun-tahun sekitar 1510 itu Kerajaan Islam Malaka memang sedang mengalami kemerosotan
akibat pertentangan dan perang saudara memperebutkan kekuasaan dan kekayaan. Agaknya penyakit
inilah yang sedang melanda umat Islam di mana-mana sejak dari Spanyol hingga ke Asia Tenggara.
Di Malaka, selain banyak sekali berdatangan para pedagang bangsa Arab (Islam) juga tidak sedikit datang
dan pergi para pedagang Muslimin bangsa Indonesia baik yang berasal dari Sumatra (Pase dan Perlak)
maupun yang datang dari Jawa (Demak). Hal itulah yang lebih menarik perhatian Portugis. Pertama,
orang-orang dari Jawa ini pemeluk agama Islam yang taat dan menjadi sahabat Malaka. Kedua, karena
pedagang dari Demak itu dagang dengan membawa rempah-rempah yang amat mempesonakan Portugis.
Ketiga, kapal-kapal dagang Demak tidak dipersenjatai karena tujuan pelayarannya memang semata-mata
untuk berniaga.
          Mulailah Portugis melakukan provokasi-provokasi untuk memutuskan hubungan Malaka-Demak
dan sekaligus merampas rempah-rempah yang sangat harum di hidung orang Eropa itu. Lama kelamaan
gelagat buruk ini diketahui oleh Adipati Yunus yang ketika itu menjadi sultan Demak. Mengusik dan
merampas rempah orang Demak sama artinya dengan mematahkan ekonomi Negara Demak dan
menghalang-halangi dakwah Islam. Memang, di kapal-kapal dagang orang Demak banyak pula berlayar
para saudagar Islam bangsa Arab, akan tetapi buat Demak banyak pula mereka adalah warga negaranya
sendiri yang selain sedang melakukan kegiatan berniaga sekaligus juga melakukan tugas dakwah yang
dilindungi oleh kedaulatan Demak. Sejak kerajaan Demak berdiri, maka kegiatan dakwah dan niaga
dilakukan secara serentak. Mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar pribumi Demak berdampingan
bahu membahu dengan mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar Arab. Mereka tidak saja dalam
hubungan antara murid dan guru tetapi telah menjadi satu saudara yang dipertalikan oleh satu agama yaitu
Islam di bawah daulat kerajaan Demak.
          Perlawanan pun mulai digencarkan yaitu pada tahun 1513 dan 1521 yang langsung dipimpin oleh
Sultan Yunus. Namun sayangnya pertempuran ini masih bisa dihalau oleh pasukan Portugis yang
memiliki kemajuan teknik dan pengalaman di laut sambil berperang, bahkan pertempuran ini
menewaskan Sultan Yunus sebagai syuhada’. Peperangan tak berhenti di sini, dengan kata lain
perlawanan tetap berlanjut walau sering kali mengalami kegagalan.
Ternyata pertahanan yang dilakukan Demak ini membawa dampak negatif dalam sisi internal.
Pemerintahan pusat di Demak lebih mencurahkan kegiatannya pada masalah politik terutama politik luar
negeri. Penggarapan terhadap masalah-masalah sosial, pendidikan, kemakmuran dan sebagainya tidak
seimbang. Dan yang paling diabaikan adalah masalah kaderisasi atau pembinaan generasi muda untuk
calon-calon pengganti mereka di masa datang. Yang terasa pula ialah bahwa jalannya dakwah dan amar
ma’ruf nahi munkar tidak terorganisir seperti sedia kala. Padahal pelaksanaan politik yang lepas dari
dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dengan mudah akan menimbulkan penyelewengan-penyelewengan
politik, politik menjadi lepas dari norma-norma Taqwallah, maka akibatnya menjurus kepada gejala
“politik menghalalkan segala cara”. Kalau sudah demikian, pasti goyahlah sendi-sendi kerajaan, jauhlah
hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, dan jurang itu akan semakin melebar jikalau tidak
cepat dijembatani. Oleh karena itulah, merenggangnya hubungan penguasa dengan para ulama juga bisa
dijadikan sebagai penyebab melemahnya kerajaan Demak. Pendek kata, Islam sebagai pedoman hidup
harus tetap dijaga, komunikasi yang baik antara para ulama dan para penguasa sangat penting untuk
diwujudkan.
            Demak telah berakhir, namun Islam tidaklah berakhir.Intervensi Portugis secara tidak langsung
justru menyokong bagi penyebaran Islam. Dengan hancurnya kekuasaan Malaka, para guru dan misionari
Muslim berpindah ke Sumatra Utara, Jawa, Molucca, dan ke Borneo. Setelah hancurnya kekuasaan
Malaka, tiga pusat utama kehidupan politik dan kultural Muslim tumbuh berkembang. Di Aceh, sultan
Syah Ali Mughayat menyatukan lawan-lawan Portugis, dan berhasil mengalahkan mereka pada perang di
Pidie 1521 dan pada perang Pasai tahun 1524, menaklukkan wilayah pesisir utara kerajaan Aceh yang
menjadi pusat persaingan utama pihak Portugis. Antara tahun 1529-1587 Aceh melancarkan usaha-usaha
secara berkesinambungan untuk merebut kembali Malaka. Antara tahun 1618 dan 1620, kerajaan Aceh
merebut Pahang, Kedah, dan Perak. Puncak kekuasaan Aceh tercapai pada masa pemerintahan Iskandar
Muda (1607-1636), yang mengorganisir sebuah rezim yang efektif dan memperkokoh dominasinya atas
para penguasa lokal (uleebalang) dan berbagai kelompok perkampungan. Ambisi Sultan Iskandar untuk
menguasai seluruh wilayah semenanjung ini dipatahkan oleh kekuatan pemerintahan Malaya lainnya pada
tahun 1629.
           Beberapa kesultanan Muslim didirikan di semenanjung Malaya pada abad 15 dan abad 16. Di
antaranya yang paling besar adalah kesultanan Johor (1512-1812). Kesultanan Johor tidak merupakan
sebuah dinasti, melainkan sebuah wilayah kewenangan yang diperintah oleh beberapa penguasa yang
berbeda. Johor bertempur melawan Aceh dan Portugis untuk memperebutkan kekuasaan atas
Malaka.Jawa menjadi wilayah bagi pusat kekuasaan Muslim ketiga. Antara tahun 1513 dan 1528, sebuah
koalisi kerajaan Muslim mengalahkan kekuasaan Majapahit, dan tumbuhlah dua negara baru di wilayah
pusat Jawa, yaitu kerajaan Banten di Jawa Tengah dan Jawa Barat (didirikan pada tahun 1568), dan
kerajaan Mataram di wilayah timur Jawa Tengah.
          Melanjutkan perjalanan Portugis, setelah berhasil mengacau perdagangan di Malaka, mereka mulai
menemukan pedagang Melayu yang melarikan diri ke daerah lain seperti Demak dan Makasar. Mereka
yang menyelamatkan diri ke Maluku, oleh Portugis diikuti jejaknya seolah dijadikan “guide”, penunjuk
jalan untuk menemukan Maluku.Islamisasi di Maluku pada saat itu sudah berkembang, yaitu sejak
pertengahan abad ke limabelas. Hal itu ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang dipimpin
oleh penguasa-penguasa yang taat beribadah dan sangat memperhatikan dakwah Islam.
            Keadaan seperti itulah yang tidak disukai Portugis. Mereka mulai menggunakan taktik adu domba
untuk kembali melakukan misi utamanya, yaitu menjajah bumi Nusantara dan menghancurkan Islam.
Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba di sana pada tahun 1522 M berharap dapat
menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan
hasil yang sedikit.
           Hingga pada suatu saat, seorang utusan dari Roma yang terkenal, Fransisco Xaverius, melakukan
kristenisasi besar-besaran sekitar tahun 1546 padahal ratusan tahun yang lalu Islam sudah memasuki
Maluku dan penduduk gugusan pulau-pulau yang padat itu telah memeluk agama Islam. Menghadapi
tantangan seperti itu maka tidak sedikit terjadi perlawanan terhadap pasukan-pasukan Portugis yang
membawa agama Katholiknya. Dakwah Islam itu mencapai puncaknya ketika motivasinya didorong oleh
unsur politik membela kepentingan bangsa dan tanah air berhubung dengan perbuatan Portugis yang
melukai sentimen nasional yang sangat kuat.
          Akhirnya tindakan kristenisasi tersebut membangkitkan semangat juang di kalangan kaum
Muslimin Maluku. Sultan Ternate mengambil inisiatif utnuk mengadakan tindakan timbal balik. Keras
dihadapi dengan keras, sentimen dengan sentimen, ekspansi atau perluasan daerah diimbangi dengan
ekspansi pula. Itu sebabnya, di mata Gereja Katholik, Sultan Ternate dipandang sebagai “orang keras
paling dibenci”. Hal itulah yang oleh pemimpin Gereja sendiri akhirnya diakui sebagai suatu fanatisme
yang meluap-luap. Ya, tetapi siapa mendahului siapa
          Sekali pun penyebaran Kristen demikian pesat di kepulauan Maluku, namun dakwah Islam terus
berkembang baik di kepulauan Maluku Utara, Tengah maupun Selatan. Umat Islam di sana mempunyai
potensi yang hidup dan sanggup berdiri di atas kaki sendiri.Keadaan pada waktu sekarang tetaplah
demikian dan semakin memperlihatkan perkembangan Islam yang mantap dan maju. Hal itulah yang
membuat kesadaran di kalangan pemeluk agama Kristen tentang keadaan Islam yang sebenarnya di
Maluku.
2. Masa Penjajahan Belanda

 Penindasan Belanda atas Islam justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas
bangsa Indonesia. Selain itu Islam juga dijadikan lambang perlawanan bagi imperialisme. Bagi para
penguasa pribumi, memeluk agama Islam berarti memiliki dua senjata. Pertama, mendapat dukungan dari
rakyat, karena rakyat banyak dari kalangan petani dan pedagang yang telah menjadikan Islam sebagai
agamanya. Kedua, selain para penguasa dengan memeluk agama Islam mendapatkan dukungan rakyat,
juga dapat memiliki senjata dalam melawan agresi agama dan perdagangan dari imperialis barat.
          Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharu dan pengaruh ulama
pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren. Ternyata pesantren itu tidak hanya
merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan lembaga penyemaian kader-kader pemimpin
rakyat, sekaligus berfungsi sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral
yang tinggi. Sepintas lalu ulama hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren. Akan tetapi,
peranannya dalam sejarah cukup militan. Diakui oleh Thomas Stanford Raffles bahwa ulama merupakan
part nearship para penguasa dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan
demikian, ulama memegang peranan multifungsi, termasuk bidang politik dan militer.
           Kelanjutan dari pengaruh ulama yang demikian luas tersebut tidak hanya terbatas dibidang politik
dan militer saja, melainkan meluas juga terhadap ekonomi yang telah meninggalkan bekas-bekasnya atas
the ecology of economic activities. Maka jelaslah Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari
ulama terutama dibidang perdagangan. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai dwifungsi
sebagai pedlar missionaries (da’i dan pedagang). Akibatnya, usaha perdagangan Belanda menghadapi
ancaman dari umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

https://yunidanindya.blogspot.com/2018/04/makalah-dakwah-islam-di-nusantara-dan.html

https://www.academia.edu/24591605/MAKALAH_MASUKNYA_ISLAM_DI_NUSANTARA

https://sangkualita.blogspot.com/2016/09/makalah-agama-islam-perkembangan-islam.html

https://kitahebat1.blogspot.com/2014/02/makalah-perkembangan-islam-di-nusantara.html

Anda mungkin juga menyukai