Anda di halaman 1dari 7

A.

Klasifikasi Bidah
B. Aqidah
Pemahaman dan kerangka berfikir al-Syafi’i dalam bidang fiqh menjadi acuan
banyak orang, sehingga akibatnya sederetan ulama besar menisbatkan namanya pada
al-Syafi’i. Maknanya mereka berpegang teguh pada madzhab al-Syafi’i di bidang
fiqh. Selain di bidang fiqh, ada juga akidah al-Syafi’i. Sisi akidah sebenarnya
otomatis menjadi bagian tak terpisahkan dari diri seorang Muslim. Apalagi orang
sekaliber al-Syafi’i. Ia tidak mungkin hidup dengan hati yang kosong dari akidah.
Agaknya, sisi akidak (keyakinan) al-Syafi’i yang lebih penting dari fiqh, kabur di
mata sebagian penganut madzhabnya.
Akidah, keyakinan, dan pemikiran al-Syafi’i dapat diketahui melalui kitab-
kitab karangannya, utamanya kitab al-Umm dan al-Risālah. Akidah beliau juga dapat
diketahui melalui buku-buku biografinya yang ditulis ulama-ulama Islam seperti
Manāqib al-Syafi’i (karya Khathib al-Baghdadi), Tawāli al-Ta’sis (karya al-Hafidz
Ibn Hajar al-‘Asqalani) dan lainnya. Di sela-sela pembahasan buku-buku tersebut
terselip pernyataan tegas al-Syafi’i tentang Tawhīd (akidah), kewajiban seorang
Muslim untuk tunduk mengikuti hadits sahih, larangan berbuat ihtihsān (mengangap
baik persoalan tanpa dalil), dan sebagainya.
Mengikuti al-Syafi’i dalam berakidah merupakan perkara yang lebih
substansial. Bahwa akidah al-Syafi’i bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah,
sebagaimana diyakini oleh generasi Salaf, generasi terbaik umat ini dari kalangan
Shahābat, Tābi’īn dan Tābi’ al-Tābi’īn. Sehingga mengikuti al-Syafi’i tidak hanya
berkutat pada taklīd dalam masalah furū’, tetapi juga harus merujuk pada al-Syafi’i
dalam masalah-masalah keimanan.
Adapun akidah al-Syafi’i, di antaranya sebagai berikut :
1) Tentang Perbuatan Manusia
Sebagaimana telah dimaklumi bahawa corak teologi tradisional yang diwakili
di antaranya oleh aliran al-Asy'ariyah memandang bahawa perbuatan manusia
tidak diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diciptakan Tuhan. Hanya dalam
perwujudan perbuatan itu, manusia mempunyai peranan walaupun bukan manusia
yang mewujudkan perbuatan dengan kekuasaan dan daya yang diciptakan dan
diberikan Tuhanviii. Tetapi daya yang ada pada perbuatan manusia itu sebenarnya
la yu’aththir (‫ ) ال ي ؤثر‬iaitu tidak memberi bekasix. Dengan kata-kata lain
perbuatan manusia dilakukan bukan dari daya manusia itu sendiri tetapi
merupakan kuasa Allah semata-mata. Jadi hanya perbuatan Allah sahaja yang
dapat memberi kesan bukan perbuatan manusia. Dalam menghuraikan tentang
hakikat af’al al-ibad, Imam al-Syafi’i memulakan penjelasan pandangannya
dengan firman Allah S.W.T. yaitu: “Dan bukan kamu yang menghendakinya
melainkan Allah yang menghendakinya, sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Insan: 30).
Allah bermaksud memberitahu kepada manusia ciptaan-Nya bahawa kehendak
itu adalah milikNya, bukan milik mereka. Kehendak mereka tidak terjadi kecuali
jika Dia menghendakinya. Dan kehendak Allah itu adalah masyi’ah-Nya.
Tambahan lagi Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana yang
tentunya setiap kehendak dan ketentuan Allah mempunyai hikmah dan tujuan
yang tidak banyak diketahui oleh makhluknya.
Tentang perbuatan-perbuatan manusia, Imam al-Syafi'i berkata: “Manusia
tidak menciptakan perbuatan-perbuatan mereka, tetapi perbuatan-perbuatan itu
adalah ciptaan Allah yang berupa perbuatan hamba-hamba-Nya”.1 Begitu juga,
tentang kejahatan, Allah mencipta kejahatan sedang hambaNya melakukan
kejahatan adalah sebagai ‘kasb’.
Dalam masalah af’al al-‘ibad ini, Imam al-Syafi'i jelas sekali berpendapat
Tuhan yang menciptakan dan menzahirkan perbuatan-perbuatan makhluk-Nya
dari tiada kepada ada dalam bentuk daya yang juga diciptakan Tuhan untuk
mereka. Semua itu telah tercatat dalam Qadar Allah dan sarat dengan hikmah
meskipun tidak diketahui oleh manusia.
Tuhan adalah pencipta setiap perbuatan manusia. Dengan sifat pencipta,
menurut Imam al-Syafi’i, Allah mengetahui dengan terperinci tentang ciptaannya.
Seandainya manusia yang menciptakan perbuatan, seharusnya ia mengetahui
segala bentuk aktivitinya, baik yang sedang atau akan dilakukannya. Al-Qur'an
surah 37:96, jelas menunjukkan bahawa Tuhanlah yang menciptakan manusia dan
apa-apa yang diperbuatnya.2
2) Terkait dengan Sifat Allah
Al-Syafi’i meniti madzhab Salaf Umat, yang menyifati Allah dengan sifat
yang Dia dan Rasul-Nya tetapkan untuk Diri-Nya. Yakni mengimani ayat–ayat
1
Al-Fakhr Al-Razi, Manaqib al-Syafi’i, tahqiq Ahmad Hijazi al-Saqa. Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah. 1406
H. h.125; Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Juz 1. h. 41
2
Muhammad bin. Yusin bin `Abdullah, Al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Figh al-Akbar, Al-Maktabah Al-Tijariyah,
Mushtafa Ahmad AI-Baz, Mekah, t.t., h. 18.
sifat sebagaimana dhahir (teks)nya yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, dan
tidak men-ta’wīl dan men-tahrīf-nya.
Akidah al-Syafi’i ialah mengikuti madzhab Salaf dan para Imam umat Islam
bahwa Allah disifati dengan siafat yang Dia tetapkan bagi Diri-Nya, maupun
RasuluLlah tetapkan bagi Allah, tanpa melakukan tahrīf (mengubah), atau ta’thīl
(menghilangkan maknanya), serta takyīf (menggambarkan), ataupun tamtsīl
(menyamakan-Nya dengan makhluk). Ini artinya, al-Syafi’i menetapkan sifat-sifat
yang Allah tetapkan untuk Diri-Nya, dan menafikan adanya kesamaan antara
Allah dengan makhluk. Penetapan yang al-Syafi’i lakukan tidaklah disertai
dengan menyerupakan Allah dengan makhluk, dan pensucian yang dilakukan
terhadap Allah tidaklah disertai ta’thīl.
Firman Allah : “Tidak ada sesyatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dial ah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS, al-Syūrā: 11). Ayat ini
membantah ahli ta’thīl. Maksud yang hendak dikemukakan adalah bahwa
menetapkan nama dan sifat bagi Allah tidaklah mengharuskan Allah itu serupa
atau sama dengan makhluk-Nya. Tetapi sekarang, seandainya seseorang
mengatakan apa yang dikatakan di atas, niscaya orang tersebut akan
dituduh Mujassimah atau Musyabbihah.
3) Al-Syafi’i melarang ilmu kebal, jimat, dan praktek ilmu tenaga dalam.
Hal itu dikarenakan termasuk perbuatan/ praktek sihir, sebagaimana riwayat
berikut; Dan dikatakan kepada pelaku sihir : Sifatkan sihir yang engkau menyihir
dengannya. Apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir berupa perkataan kufur
yang jelas, maka ia diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, taubatnya diterima; dan
jika tidak, ia dibunuh, diambil hartanya sebagai fai’. Namun apabila sesuatu yang
ia pakai untuk menyihir berupa perkataan yang tidak mengandung kekufuran,
tidak ma’rūf, dan tidak menyebabkan bahaya bagi seseorang, maka ia dilarang
darinya. Jika ia mengulangi, ia dihukum ta’zīr. Jika ia mengetahui bahwasannya
sihir itu menyebabkan bahaya bagi orang lain tanpa membunuhnya, lalu ia sengaja
melakukannya, maka ia dihukum ta’zīr.” (al-Syafi’i, Al-Umm, 1/293).
Larangan yang  al-Syafi’i fatwakan tersebut berdasarkan hadits bahwa sihir termasuk
dosa besar. Dalam riwayat disebutkan,
َ ‫ق تَ ِمي َمةً فَقَ ْد أَ ْش َر‬
‫ك‬ َ َّ‫َم ْن َعل‬
“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat
syirik” (HR. Ahmad 4: 156).
Nabi  ‫ ﷺ‬pernah melihat di lengan seorang pria gelang yang
ditampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari
kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi
menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahīnah (penyakit yang ada di
lengan atas). Nabi  ‫ ﷺ‬lantas bersabda, “Gelang tadi malah
membuatmu semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan
masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.”
(HR. Ahmad 4: 445 dan Ibnu Majah no. 3531).
4) Al-Syafi’i melarang pengagungan kuburan.
Merupakan kebiasaan yang sudah jamak, di sekitar kita banyak yang hobi
beribadah di kuburan-kuburan, padahal mereka mengaku sebagai penganut
madzhab al-Syafi’i yang fanatik. Terlalu banyak dalil yang berisi larangan ibadah
berkaitan dengan kuburan, tetapi diabaikan begitu saja oleh sebagian besar kaum
Muslimin.
Dari Jābir, ia berkata : “Rasulullah telah melarang kubur untuk dikapur,
diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya.” (HR, Muslim no. 970, dll). “Dan aku
pun  tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhājiriin dan Anshār dikapur.....
Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang
dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat
para fuqahā’ mencela perbuatan tersebut” (al-Syafi’i, al-Umm, 1/316).
“Dan aku membenci kubur dibangun masjid di atasnya, diratakan, atau dipakai
shalat di atasnya. Padahal, kubur tidaklah diratakan atau tidak boleh shalat
menghadap kepadanya. Dan apabila ada yang shalat menghadapnya, shalatnya sah
namun perbuatan itu buruk. Telah mengkhabarkan kepada kami, Mālik,
bahwasannya Rasulullah  ‫ﷺ‬bersabda : ‘Semoga Allah memerangi
orang-orang Yahudi dan Nashara yang telah menjadikan kubur nabi-nabi mereka
sebagai masjid. Tidak boleh ada dua agama di negeri ‘Arab.” (al-Syafi’i, al-
Umm, 1/317).
Setelah merenovasi kuburan, dan menghiasinya dengan lampu-lampu, mereka
bangun masjid-masjid di atasnya. Mereka menamakannya dengan Masyāhid, yang
menyaingi rumah-rumah Allah, di tempat mana mereka memanjatkan doa dan
ber-tabarruk kepada selain Allah.
5) Al-Imam al-Syafi’i tidak men-jahr-kan dzikir/ doanya, kecuali jika tujuannya
untuk pengajaran.
Al-Syafi’i rahimahu Allah berkata : “Dan aku memilih bagi imam dan
makmum agar berdoa kepada Allah setelah selesai melakukan shalat, dan
melembutkan suara dalam berdzikir kecuali seorang imam yang ingin
mengajarkan kepada makmum. Hendaknya ia mengeraskan bacaan dzikir
sehingga makmum mengetahui bahwa mereka telah diajarkan, kemudian setelah
itu imam harus melembutkan suaranya dengan pelan ketika berdoa, sebagaimana
firman Allah : ‘Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam doamu dan
jangan pula merendahkannya. Carilah jalan tengah di antara keduanya’ (QS. Al-
Isrā’ : 110). Dan yang dimaksud dengan ayat ini adalah doa” [Al-Umm, 1/241].
Apa yang ditegaskan oleh al-Syafi’i selaras dengan firman Allah :
َ‫اآلصا ِل َوال تَ ُك ْن ِمنَ ْالغَافِلِين‬
َ ‫ضرُّ عًا َو ِخيفَةً َو ُدونَ ْال َجه ِْر ِمنَ ْالقَوْ ِل بِ ْال ُغ ُد ِّو َو‬ َ َّ‫َو ْاذ ُكرْ َرب‬
َ َ‫ك فِي نَ ْف ِسكَ ت‬
“Dan berdzikirlah/sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu
pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-
A’rāf : 205).
6) Tentang Hakikat Iman
Dalam ‘Al-Umm’, bab ‘al-Niyyah’ Imam al-Syafii menjelaskan bahawa
melakukan solat tidak cukup dengan niat sahaja kerana para sahabat dan tabiin
telah ijma’ bahawa iman itu ialah dengan ucapan, amalan dan niat, ketiga-tiganya
saling berkait antara satu dengan lainnya. Al-Baihaqi meriwayatkan dengan
sanadnya dari al-Rabi' bin Sulaiman al-Muradi ia berkata: “Aku telah mendengar
Imam al-Syafi'i berkata: “Iman itu adalah ucapan dan perbuatan, ia bertambah
dan berkurang.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Al-Hakim berkata dalam Manaqib Imam al-
Syafi'i `telah bercerita kepada kami Abu al-`Abbas al-Asham, al-Rabi' bercerita
kepada kami, aku telah mendengar Imam al-Syafi'i berkata: “Iman adalah ucapan
dan amal, berambah dan berkurang”.3
Dalam kitabnya, Hilyah al Auliya, Abu Nu'aim meriwayatkan dengan
sanadnya dari al-Rabi' bin Sulaiman, tuturnya: “Seorang lelaki dating dari negeri
Balkan bertanya kepada Imam al-Syafi’i tentang iman. Beliau menjawab:
“Menurut engkau bagaimana?” Lelaki itu menjawab: “Menurutku, iman itu
adalah ucapan”. “Darimana kau dapatkan pendapat itu?” tanya Imam al-Syafi'i.

3
Ibn Hajr al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ma’rifah. 1379 H. Juz 1. h. 47
Ia menjawab: “Dari firman Allah; “Sesungguhnya orang orang yang beriman dan
beramal salih...”. (Al-Bagarah: 277).
Lelaki Balkan itu menjelaskan bahawa huruf ‘waw’ (dan) merupakan pemisah
antara iman dan amal. Iman adalah ucapan, amal adalah syari'ahnya. Maka Imam
al-Syafi'i berkata: “Jadi ‘waw’ di situ fungsinya ‘fashl’ (pemisah)?” "Ya,"
Jawabnya. “Kalau begitu kamu menyembah dua Ilah, Ilah di barat dan Ilah di
timur, kerana Allah Ta'ala juga telah berfirman; “Dia adalah Rabb (yang
memelihara) kedua tempat terbit matahari dan Rabb (yang memelihara) kedua
tempat terbenamnya.” ( Al-Rahman: 17).
Mendengar perkataan Imam al-Syafi'i seperti itu, lelaki itu terperanjat dan
marah, terus ucapnya; “Subhanallah, kau anggap aku menyembah berhala?”
“Kau sendiri yang punya pandangan seperti itu!” Balas Imam al-Syafi'i.
“Bagaimana mungkin?” tanyanya lagi. Beliau menjawab: “Kerana engkau
mengatakan, bahawa `waw' adalah ‘fasl’ (pemisah)”. Maka lelaki Balkan itu
berkata: “Aku memohon ampun kepada Allah atas ucapanku. Aku adalah mukmin
yang menyembah hanya kepada Allah sahaja. Mulai sekarang aku tidak lagi
berpendapat `waw' pada ayat tersebut berfungsi sebagai ‘fashl’ (pemisah). Mulai
sekarang, aku berkeyakinan bahawa iman itu adalah ucapan dan amal, yang
bertambah dan berkurang”.
Al-Rabi' terus menambah: “Maka lelaki Balkan itu mengeluarkan infaq dalam
jumlah yang banyak, dan mengumpulkan kitab-kitab Imam al-Syafi'i, kemudian
dia keluar dari Mesir sebaga seorang yang beraqidahkan Ahlus Sunnah”.
Jelas takrif iman dalam pandangan Imam al-Syafi’i adalah ma'rifat dengan
hati, ikrar dengan lisan, dan mengamalkan rukun-rukunnya. Meskipun hampir
sama, tetapi tetap berbeza dengan faham Muktazilah, Imam al-Syafi’i melihat
maksiat, kecuali yang berupa syirik, tidak menghilangkan iman. Pada ayat Q.S. 4 :
48 dijelaskan bahawa hanya dosa syirik yang tidak diampuni Allah, sedangkan
selain itu akan diampuni bagi siapa yang dikehendaki Nya. Maksiat selain syirik
tidak berlawanan dengan iman dan keduanya mungkin berkumpul pada saat yang
bersamaan.
Imam al-Syafi’i berpendapat, ahlu alqiblah yang berbuat dosa besar berada
pada masyiah atau kehendak Allah. Bila Allah menginginkan untuk menyiksanya,
maka Allah akan menyiksanya dan bila Allah menghendaki untuk memaafkannya,
maka Allah akan memaafkannya. Imam al-Syafi’i berkata, “Orang yang lari pada
saat pertempuran bukan kerana ingin bersiasat atau bukan ingin bergabung
dengan pasukan lain maka saya bimbang ia mendapat murka dari Allah S.W.T..
kecuali jika Allah memaafkannya.”
Lebih lanjut Imam al-Syafi’i berhujjah bahawa bila iman hilang kerana
maksiat, tentu pelakunya dihukumi murtad dan dituntut untuk beriman lagi, bukan
dituntut untuk bertaubat. Dan Nabi pun bersabda bahawa orang yang dalam
hatinya tersimpan sedikit iman tidak akan abadi dalam neraka. Dan telah terjadi
ijma’ ulama bahawa seorang mukmin tidak menjadi kafir kerana maksiat yang
dilakukannya. la hanya merupakan mukmin yang fasiq.
Imam al-Syafii berbeza dengan Asy’ariyah kerana iman bagi mereka ialah
cukup dengan membenarkan dengan hati. Adapun ucapan dan perbuatan hanya
merupakan cabang daripada iman. Jadi dengan hanya membenarkan di hati
terhadap keesaan Allah dan terhadap ajaran Rasul-Nya iman seseorang telah sah.4

PENDAPAT SAYA:

Menurut saya Imam Syafi’i merupakan seorang ulama klasik yang memiliki jasa dan
usaha yang mulia dalam membela sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
mengajak umat untuk kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Beliau juga merupakan sosok
ulama pembaharu agama yang sebagian besar ulama menganggap beliau salah satu bagian
dari sabda Nabi, dalam HR. Abu Daud berkata bahwa “Sesungguhnya Allah ta’ala akan
mengutus untuk umat ini pada tiap 100 tahunnya seseorang yang akan membaharui agama-
Nya”. Prinsip beliau dalam beragama terutama dalam aqidah merupakan prinsip yang haq
(benar) prinsipnya para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak ada kontradiksi ataupun
perbedaan padanya karena mereka semua mengambil dari sumber yang satu yaitu dari al-
Quran dan Sunnah yang dipahami sesuai pemahaman para Shahabat Nabi Muhammad.

DAFTAR PUSTAKA

Nizar, Tamar Jaya. & Yusof, Farahwahida Mohd. (2013). Pemikiran Akidah Imam Al-
Syafi’i. Jurnal Teknologi, 62(1), hal. 55-65.

4
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, tahqiq Muhammad Sayyid Kilani, Beirut, Dar al-Ma’rifah. 1975 Jld 1 h.
101.

Anda mungkin juga menyukai