Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Sejak masa Islam klasik, aliran pemikiran Islam dapat dibedakan dari dua karakter
utamanya yang menonjol. Pada masa klasik, aliran-aliran muncul sebagai dinamika internal umat
Islam dalam menghadapi persoalan-persoalan doktriner keagamaan (mencari kebenaran), pada
zaman modern muncul sebagai respons atas ketertinggalan Islam dari dunia Barat (mencari
jawaban). Respon "mencari jawaban" muncul dalam dua bentuk gerakan, yaitu: Pertama,
gerakan otokritik berupa refleksi ke dalam (inward looking) dan kedua, gerakan reaktif yang
berorientasi ke luar (outward looking).
Gerakan otokritik adalah usaha-usaha mencari sumber masalah ketertinggalan umat "ke
dalam" dengan mengarahkan telunjuk pada realitas kejumudan, keterbelakangan, dan kebekuan
berpikir umat. Tradisi dan heterodoksi adalah kambing hitamnya.
Di bagian lain, respons reaktif muncul berupa gerakan modernisasi Islam abad ke-19
yang melihat kemajuan Barat sebagai stimulus untuk melakukan pembaruan pemikiran. Gerakan
ini terkonsentrasi di wilayah-wilayah oikoumene terutama Mesir sebagai pusat keilmuan dan
peradaban Islam yang menonjol. Di sini terdapat tokoh-tokoh awalnya yaitu Muhammad Ali
Pasya (1765-1849) dan Al-Tahtawi (1801-1873) yang bersentuhan langsung dengan pendudukan
Napoleon Bonaparte di Mesir pada masa Kekuasaan Turki Utsmani. Melihat langsung kemajuan
Barat, Ali Pasya dan Tahtawi memprakarsai program pengiriman para pelajar Islam ke Eropa
dan menginisiasi penerjemahan buku-buku berbahasa Inggris dan Prancis ke dalam bahasa Arab
(Nasution, 1993 34-50). Puncaknya, gerakan modernisasi Islam pada abad ke-19 diasosiasikan
kepada "tiga serangkai" yang paling menonjol yaitu Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897),
Muhammad Abduh (1845-1905), dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935).
Al-Afghani mengusung Pan-Islamisme yang berusaha menyatukan dunia Islam dalam
satu semangat untuk meninggalkan kemunduran dan mendorong kemajuan. Bersama
Muhammad Abduh, Al-Afghani menerbitkan majalah Al-'Urwatul Wusqa untuk menyebarkan
pikiran-pikiran modernnya. Selain itu, ia menulis beberapa buku yang isinya berusaha
menyadarkan kaum Muslimin akan ketertinggalannya dari dunia Barat. Langkah Al-Afghani
kemudian mendapatkan kerangka ideologis dan teologisnya terutama dari muridnya, Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha (Ali-Bahtiar, 1986: 63). Modernisme Abduh menyatakan kemunduran
Islam diakibatkan oleh stagnansi berpikir unat Islam yaitu sikap jumud dan kebekuan berpikir
yang menghalangi kemajuan. Karenanya, penting bagi umat Islam untuk meninggalkan sikap-
sikap taklid dan mengembangkan semangat berpikir untuk membuka kembali pintu-pintu ijtihad
yang sudah tertutup. Rasionalisme modern sejalan dengan perintah penggunaan akal pikiran
dalam Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (Nasution, 1992, 62-67). Dari
modernisme Islam, lahir tokoh-tokoh lain yang meneruskan usahanya seperti Sayyid Ahmad
Khan (w. 1898), Amir Ali (w. 1928), Muhammad Iqbal (1938), Abul Kalam Azad (1958), dan
lain-lain.
Dari ulasan di atas, tampak bahwa "gerakan otokritik" yang purifikatif hingga "gerakan
membuka mata" modernisme Islam abad ke-19 yang imitatif, keduanya bergerak di atas spirit
memajukan Islam dengan jalan yang sama memerangi tradisi yang telah menjebak umat Islam
dalam kemunduran.
Secara psikologis, sikap ofensif sebuah kubu akan selalu melahirkan kesadaran defensif
di kubu lain. Begitulah umumnya peta relasi modernisme-tradisionalisme Islam di banyak tempat
termasuk di Indonesia. Bila sebelumnya tradisionalisme hanyalah berupa praktik dan kebiasaan
yang dilakukan tanpa pretensi ideologis, dengan "gangguan dan keusilan" kaum pembaharu
justru menjadi alasan kuat mereka untuk menegaskan identitasnya menjadi gerakan perlawanan
dan pemikiran yang bersifat ideologis, metodologis, dan organisatoris. Walhasil, saat agresi
kaum pembaharu terus meluaskan pengaruhnya, tradisionalisme Islam diam-diam
mengonsolidasikan dirinya dalam parade barisan yang kuat.
Dalam bentangan luas dunia Islam, konsolidasi tradisionalisme Islam pertama kali
muncul di Indonesia. Berbeda dengan abad ke-18/19 di sepanjang semenanjung Arabia, di mana
tradisi berkembang sebagai "praktik semata" sejalan dengan maraknya paham sufisme dan
gerakan tarekat, di Indonesia tradisionalisme muncul sebagai reaksi dan perlawanan.
Kemunculan reaksi ini untuk pertama kalinya terjadi pada awal abad ke-20 berupa perlawanan
kaum adat di Sumatera dan berdirinya Nahdatul Ulama di Jawa. Di Sumatera muncul di
Minangkabau antara tahun 1913-1916. Gerakan ini muncul akibat pengaruh pemikiran modern
Syekh Ahmad Khatib dan meluasnya pengaruh Padri yang anti adat. Reaksi kedua muncul dari
kalangan Islam tradisional. Dua kelompok berseberangan beberapa kali berhadapan
memperdebatkan persoalan tarekat, usalli, talqin, ru'yah, keramat, ijtihad, dan taqlid. Syekh
Mungkar dan Syekh Khatib Ali menerbitkan beberapa tulisan yang berisi pembelaan terhadap
tarekat yang banyak diserang kaum pembaharu.
Tampak bahwa motivasi kedua gerakan di atas jelas-jelas dimaksudkan sebagai reaksi
dan perlawanan atas kaum pembaharu yang menyebar dari Arab Saudi ke Indonesia yang
mengancam kenyamanan eksistensi mereka.
Tradisionalisme Islam telah berakar kuat di Indonesia bahkan telah tumbuh dan
berkembang menjadi gerakan yang lebih besar dari modernisme Islam sendiri yang disebabkan
beberapa hal, yaitu:
Ketiga, perbedaan perspektif dalam memahami agama dan ukuran yang digunakan dalam
membuat kedua pemikiran tidak pernah bertemu. Kedua kubu akhirnya saling mempertahankan
diri, berjalan sendiri-sendiri dan sulit untuk disatukan dalam kesatuan pandangan.
Kelima, hilangnya tradisi secara sosiologis banyak membawa kerugian bagi Islam
sendiri. Unifikasi Islam dan budaya lokal menjadi terkikis dan hilang.
Keenam, kenyataan bahwa tradisionalisme Islam justru secara kultur lebih kuat dan
mengakar, tradisi pemikiran dan intelektual lebih kaya dan enlighted, karenanya secara
organisasi dan kepengikutan lebih besar dan lebih banyak, dan kenyataan bahwa tradisionalisme
tetap hidup dan lebih memberikan tempat dan jawaban atas orientasi keberagaman manusia
modern.