Anda di halaman 1dari 24

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN KONTEMPORER

(Book review untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Islamisasi Ilmu - Teori)

Dosen Pengampu : Dr. Hamid Fahmi Zarkasy, M.Phil.

Oleh :

Devi Muharrom Sholahuddin

PROGRAM DOKTOR

AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR

2017
ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN KONTEMPORER
Devi Muharrom Sholahuddin
Mahasiswa Program Doktoral Aqidah dan Filsafat Islam
Program Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor Ponorogo
Indonesia
Email: ibnusholah@gmail.com

First Book:
Judul : Issues in Islamization of Human Knowledge;
Civilization Building Discourse of Contemporary
Muslim Thinkers
Penulis : Muhammad Mumtaz Ali
Penerbit : IIUM Press, Gombak, 2014
Tebal : 198 hlm.

PENDAHULUAN

Invasi dan kolonialisasi yang dilakukan oleh Negara-negara Barat

terhadap dunia Islam yang berlangsung sejak abad 15 masehi, banyak

merugikan umat Islam, bukan hanya menjajah akan tetapi memiskinkan

jajahan mereka, baik moril maupun materil, serta mereka manfa’atkan juga

untuk menyebarkan ideologi mereka, hal ini mereka lakukan untuk

mempertahankan hegemoni mereka atas umat Islam yang mereka jajah.

Abad Ke-15 yang merupakan abad kebangkitan eropa (renesaince),

ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu rasional yang dipelopori oleh

ahli sains dan cendikiawan Barat. Ilmu yang dikembangkan oleh mereka

ini tidak lepas dari pengaruh pemikiran filsafat Barat yang berasaskan

sekulerisme, utilitarianisme dan materialisme. Pemikiran ini

mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri. Konsep-

konsep yang lahir dari pemikiran ini sudah tentu bertentangan dengan

1
fitrah manusia apalagi kalau dilihat dari cara pandang Islam (Islamic

worldview), konsep ilmu Barat menimbulkan lebih banyak masalah

daripada kebaikan dan keadilan.

Menghadapi kenyataan ini, banyak cendikiawan Muslim yang

peduli terhadap permasalahan yang sedang dihadapi umat Islam, salah

satu bentuk kepedulian intelektual Muslim adalah dengan munculnya

gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Modern sekitar empat dekade yang

lalu.

SEJARAH MENGAPA PERLU ISLAMISASI

Didalam dinamika pemikiran Islam, terdapat sedikitnya empat

kelompok pemikiran: (1) Tradisionalis, (2) Modernis/Liberalis, (3) Reformis,

dan (4) Revivalis (pembaharu), dalam kurun waktu tahun 70-an yang

mencuat kepermukaan adalah kelompok revivalis. Pergerakan kelompok

revivalis ini dijuluki oleh sarjana Barat modern dengan berbagai istilah,

diantaranya: konservatitif, fundamentalis, literalis, ekstrimis dan jihadis,

sedangkan lawannya adalah: liberal, modern dan Muslim progresif.

Muslim liberal, modern dan progresif ini didukung penuh oleh Barat

modern sekuler baik intelektual maupun finansial. Agenda kelompok

Muslim liberal adalah memodernkan dan mengglobalisasikan ilmu

pengetahuan dan pendidikan di dunia umat Islam, sementara disaat yang

bersamaan, kelompok revivalis Muslim disibukan dengan

mengartikulasikan framework Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Modern itu sendiri dimulai

sekitar empat dekade yang lalu, tepatnya pertama kali diperkenalkan oleh

Syed M. Naquib al-Attas sekitar tahun 1970-an, kemudian dipopulerkan

2
secara luas oleh Ismail Raji al-Faruqi sekitar tahun 1980-an beriringan

dengan didirikannya International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Al-Attas mengemukakan gagasan ini bukan tanpa alasan, saat itu al-

Attas menemukan problem yang dihadapi oleh umat Islam, problem yang

dihadapi oleh umat Islam adalah masalah ilmu pengetahuan modern yang

tidak bebas nilai (netral) yang dipengaruhi oleh pandangan-pandangan

keagamaan, kebudayaan, dan filsafat Barat. Oleh karena itu, dipandang

perlu untuk mengislamkan ilmu pengetahuan Modern dengan

mengislamkan simbol-simbol linguistic mengenai realitas dan kebenaran.

RESPON TERHADAP ISLAMISASI

Islamisasi Ilmu Pengetahuan Modern saat ini bukan sekedar slogan,

akan tetapi merupakan refleksi intelektual Muslim untuk mentransformasi

pemahaman ummat terhadap Ilmu Pengetahuan Modern baik

epistemology maupun methodology.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan Modern pada hakikatnya merupakan

representasi keinginan semua pihak yang ingin mengenali dan mengakui

kebenaran dan realitas dunia dan struktur kehidupan serta korelasi antara

masyarakat terhadap kebenaran dan realitas.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporen memiliki rencana untuk

mendudukan kembali term kebenaran dan realitas pada tempatnya semula,

yang mana persfektif mayoritas orang telah berubah akibat dari pengaruh

Barat Modern yang berlandaskan dugaan, spekulatif serta pengingkaran

kebenaran.

3
Kebenaran dalam pandangan Islam merupakan basis dari

metafisika, epistemologi, metodhologi, ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Dalam hal ini al-Attas menyatakan bahwa bentuk Ilmu pengetahuan

pertama yang diberikan kepada manusia berupa wahyu (al-Qur’an), al-

Qur’an merupakan wahyu dari Allah yang lengkap dan sudah final. Maka

dari itu, sudah cukup bagi manusia menjadikan al-Qur’an sebagai panduan

keselamatan, tidak ada sumber lain sebagai basis dari Ilmu Pengetahuan

yang bisa membimbing dan menjaga manusia.

Dalam menyikapi Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terdapat beberapa

ilmuwan Muslim yang menyumbangkan pemikirannya, masing-masing

memiliki proses yang berbeda, sehingga outputnya pun berbeda antara

satu dengan yang lainnya.

1. Mohd. Kamal Hassan (1942- )

Mohd. Kamal Hassan merupakan mantan rektor Universitas

Islam Antar Bangsa Malaysia (IIUM), Lair pada tanggal 26 oktober 1942

di Pasir Mas Kelantan Malaysia, mendapatkan gelar PhD pda tahun

1976 di Columbia University New York. Bidang keahliannya adalah

pemikiran Islam Modern di Asia Selatan, serta fokus kajiannya adalah

integrasi dan Islamisisasi Ilmu Pengetahuan Modern. Berbagai

karyanya sudah diterbitkan baik dalam bentuk buku ataupun artikel di

berbagai jurnal, serta di presentasikan di berbagai seminar

internasional.

Respon Kamal Hasan terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan

diaktualisasikan dengan memperkenalkan istilah Islamisisasi Ilmu

Pengetahuan Humaniora Modern (Islamicisation of Contemporary Human

Knowledge), Kamal Hasan dalam hal ini menekankan dua istilah penting,

4
Islamicisation dan Human, ia menyatakan bahwa kedua istilah tersebut

dapat digunakan secara bergantian sesuai dengan situasi tertentu.

Istilah human knowledge dipergunakan untuk menghindari kebingungan

dan kontroversi, karena apabila hanya menggunakan istilah knowledge

saja, berarti semua ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu Ilahi,

maka harus ada pembeda antara wahyu Ilahi yang pasti dan Ilmu

Pengetahuan yang dihasilkan oleh hasil pemikiran manusia yang bias

berubah dan direvisi.

Adapun istilah Islamicisation dipergunakan dengan alasan istilah

ini dipergunakan untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam,

mengakui sesuatu yang selaras dengan nilai dan norma Islam

darimanapun asalnya.

Bagi Kamal Hassan, semua yang namanya ilmu pengetahuan

harus di Islamisisasi, karena ilmu pegetahuan yang ada sekarang

berbasis paradima dan epistemologi Barat Sekuler Modern.

Kamal Hassan menambahkan poin penting dalam proses

Islamisisasi Ilmu Pengetahuan, yaiu adanya hubungan antara

pendidikan dan pembangunan, dimana untuk merubah problematik

Ummat Islam tidak akan terwujud anpa adanya reformasi pendidikan.

Untuk reformasi pendidikan ini yang harus pertama dilakukan adalah

mencetak pribadi yang islami yang ulul albab.

2. Syed Muhammad Naquib al-Attas

Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan philosof, theolog

dan pemikir Malaysia Modern, lahir di Bogor pada tahun 1931, beliau

5
menulis dalam berbagai disiplin ilmu, baik agama, metafisika,

theology, filsafat, pendidikan, filologi, surat, seni, arsitektur dan ilmu

militer.

Al-Attas merupakan ilmuwan Muslim pertama yang

mengemukakan gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Modern,

gagasannya tersebut dikemukakan dalam seminar pendidikan Islam

dunia pertama yang diadakan di Mekah pada tahun 1977.

Al-Attas menemukan problem yang dihadapi oleh umat Islam,

problem yang dihadapi oleh umat Islam adalah masalah ilmu

pengetahuan modern yang tidak bebas nilai (netral) yang dipengaruhi

oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat

Barat. Disamping itu, Ilmu Pengetahuan Barat Modern dibangun

dengan mendaulat akal sebagai penuntun kehidupan manusia,

bersikap dualistic terhadap realitas dan kebenaran, mengutamakan

eksistensi pandangan hidup secular, menjunjung tinggi humanisme,

dan menjadikan drama dan tragedy sebagai unsur-unsur utama fitrah

dan jatidiri manusia. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk

mengislamkan ilmu pengetahuan Modern dengan mengislamkan

simbol-simbol linguistic mengenai realitas dan kebenaran.

Proses awal Islamisasi Ilmu Pengetahuan Modern adalah

dengan cara dewesternisasi Ilmu Pengetahuan Barat yang terdapat

dalam ilmu alam, humaniora dan ilmu terapan. Untuk bisa melakukan

dewesternisasi Ilmu Pengetahuan Barat langkah yang harus dilakukan

adalah mengidentifikasi dan mengisolasi elemen-elemen dan konsep-

konsep kunci Ilmu Pengetahuan Barat Modern, kemudian memasukan

6
elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam terhadap Ilmu

Pengetahuan Modern tersebut.

3. Isma’il Rāji al-Farūqi

Isma’il Rāji al-Farūqi lahir di kota Jaffa Palestina pada tanggal 1

Januari 1921 dan dibunuh bersama istrinya pada tanggal 27 Mei 1986 di

rumah kediamanya yang terletak di Wyncote, Pennsylvania, USA. Al-

Farūqi mendapatkan pendidikan keagamaannya pertamakali dari

ayahnya sendiri ‘Abd al-Huda al-Farūqi, kemudian memulai

pendidikan formalnya di The French Dominician College Des Freres

(St. bJoseph, lalu di Universitas al-Azhar Kairo, McGill University

Montreal. Al-Farūqi juga merupakan Professor of Religion di Temple

University, dan di Universitas ini pula al-Farūqi mendirikan Program

Islamic Studies.

Pada tahun 1982, dalam acara Konferensi Internasional

Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang diadakan di Islamabad Pakistan,

melalui Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang di kembangkan oleh

The International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang dipimpinnya,

al-Faruqi bersama kolega nya menerbitkan sebuah buku Islamization of

Knowledge: General Principles and Work Plan, al-Faruqi mengemuakakan

problem utama yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah problem

pendidikan, akibat dari pengaruh dan hegemoni Barat di dunia Islam

terjadi dualisme system pendidikan, yaitu System Pendidikan Islam

dan System Pendidikan Sekuler, dalam pandangan al-Farūqi kedua

system tersebut harus disatukan dan di integrasikan, jika sudah

7
terintegrasi maka harus dimasukan didalam nya prinsip dan spirit

Islam.

4. Abdul Hamid Abu Sulayman

Abdul Hamid Abu Sulayman lahir pada tahun 1937, merupakan

figure penting dalam sejarah Global Muslim Scholarship, Menjabat

Rektor pada International Islamic University Malaysia (IIUM) dari

tahun 1989-1999, Abu Sulayman merupakan salah satu pendiri IIIT

bersama al-Faruqi.

Abu Sulayman menyoroti kemunduran dan kejatuhan umat

Islam dalam bidang ilmu pengetahuan, isu Islamisasi ilmu

pengetahuan di dalam system pendidikan dan akademik harus di

integrasikan dengan pemikiran Islam dan metodologinya. Penjajahan

yang dilakukan oleh kolonial mengakibatkan umat Islam jauh dari

agama, aqidah dan syari’ah, implikasi dari penjajahan ini terjadinya

dekadensi moral, spiritual, pendidikan dan melemahnya umat Islam

dalam bidang politik dan ekonomi. Untuk mengatasi hal ini dan untuk

membumikan pemikiran Islam dan metodologinya Abu Sulayman

mengemukakan pentingnya untuk memahami kembali khazanah

turats Islam.

IDE POKOK ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MODERN

Terdapat beberapa isu yang berkaitan dengan proses Islamisasi Ilmu

Pengetahuan Modern, isu-isu tersebut dpat di klasifiksikan sebagai berikut:

Historis, Konseptual, Epistemologis, Methodologis, Filosofis, dan

Ideologis.

8
IDE POKOK METODOLOGI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Untuk mendapatkan pedoman dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan

ada beberapa poin penting yang harus dijawab:

1. Bagaimana melakukan Islamisasi Pengetahuan dan menformulasikan

metodologi yang baru?

2. Apakah basis methodology yang diperlukan untuk diikuti?

3. Apakah kita menerapkan metode qualitative, quantitative, deskriftif,

historis, analisis, komparatif, atau kombinasi dari semua metodologi

tersebut?

4. Apabila kita mengaplikasikan metode diatas, lalu apakah input

Islaminya?

5. Basis apakah yang akan diaplikasikan untuk menghasilkan produk

Islamisasi?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, beberapa ilmuwan

menformulasikan methodologi yang sesuai dengan kebutuhan saat ini,

sebagai contoh, al-Attas mendukung methode komparatif dan analitik

terhadap wahyu, dimana al-Attas menekankan identifikasi dan isolasi

konsep kunci dari pengetahuan Barat kontemporer. Al-Attas juga

menekankan pentingnya memasukan konsep kunci Islam ke dalam ilmu

pengetahuan kontemporer.

Selain al-Attas, Abu Sulayman pun sagat konsen terhadap isu ini,

dalam pandangan Abu Sulayman, pengetahuan mengenai methodology

mutlak diperlukan sebagai prasyarat untuk menformulasikan

methodology baru yang sesuai dengan visi islamisasi. Abu Sulayman

menekankan akan pentingnya reformasi intelektual untuk mensukseskan

9
program Islamisasi ilmu, langkahnya adalah dengan kembali

mengaplikasikan metodologi Intelektual Muslim klasik, yang dianggap

stagnan dan ditinggalkan saat ini, metodologi klasik yang dimaksud Abu

Sulayman adalah kembali kepada al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Ijtihad.

Ijtihad adalah proses elaborasi dan interpretasi akal terhadap syari’ah

dengan menggunakan qiyas, istihsan, maslahah dan ‘urf.

Adapun dalam pandangan Al-Faruqi, islamisai ilmu berarti sebuah

ijtihad untuk mendefenisikan kembali makna ilmu, menyusun ulang data,

memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan

data itu, menilai kembali kesimpulan dan penafsiran, membentuk kembali

tujuan dan melakukan cara-cara yang menjadikan disiplin itu memperkaya

visi dan perjuangan Islam. Al-Faruqi mengemukakan ide islamisasi ilmu

berdasarkan pada tauhid. Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dasar

dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran, metodologi, dan cara

hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:

1. Keesaan Allah.

2. Kesatuan penciptaan

3. Kesatuan kebenaran

4. Kesatuan ilmu

5. Kesatuan kehidupan

6. Kesatuan kemanusiaan.

Al-Faruqi juga merumuskan konsep dan kerangka kerja usaha-

usaha islamisasi ilmu dengan menggariskan lima tujuan pokok dari

gagasan islamisasi ilmu:

1. Menguasai disiplin ilmu modern

10
2. Menguasai warisan Islam (islamic heritage)

3. Menentukan relevansi Islam yang tertentu bagi setiap bidang ilmu

modern

4. Mencari cara-cara bagi melakukan sintesis yang kreatif antara lain

ilmu modern dan ilmu warisan Islam

5. Melancarkan pemikiran Islam ke arah jalan yang boleh membawanya

memenuhi kehendak Allah.

Selain itu, Al-Faruqi juga menetapkan setidaknya terdapat 12

langkah yang perlu dilalui untuk mencapai tujuan mulia di atas, langkah-

langkah yang dimaksud adalah:

1. menguasai disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern yang meliputi

prinsip, metodologi, masalah, tema, dan perkembangannya

2. Mensurvey disiplin-disiplin ilmu pengetahuan

3. Menguasai ilmu warisan Islam dari sisi ontology

4. Menguasai ilmu warisan Islam dari sisi analisis

5. Menetapkan relevansi Islam kepada disiplin-disiplin

6. Menila secara kritis disiplin modern untuk memperjelas kedudukan

disiplin terhadap langkah yang harus diambil untuk menjadikannya

bersifat islami

7. Menilai secara kritis ilmu warisan Islam, seperti pemahaman terhadap

Alquran dan sunnah, perlu analisis dan kajian terhadap kesalaha-

pahaman

8. Mensurvey problem-problem utama umat Islam

9. Mensurvey problem-problem utama yang membelit manusia sejagad

10. Analisa kreatif dan sintesis

11
11. Pengacuan kembali disiplin dalam kerangka Islam, seperti buku-

buku teks universitas

12. Penyebaran dan sosialisai ilmu pengetahuan yang sudah di-

Islamkan.

12
Second Book:
Judul : Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam
Syed M. Naquib Al-Attas
Penulis : Wan Mohd Nor Wan Daud
Penerbit : Mizan, Bandung, 2003
Penerjemah : Hamid Fahmy Zarkasy
Tebal : 552

PENDAHULUAN

Memasuki abad ke-15 H/21 M, al-Attas sebagai ilmuwan muslim

menemukan tiga temuan ilmiah terpenting dalam dunia Islam yang

mempengaruhi perjalanan kehidupan umat Islam secara mendalam dan

menyeluruh, penemuan tersebut adalah:

1. Problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini dalah masalah

ilmu pengetahuan.

2. Ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi

oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang

mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia Barat.

3. Umat Islam, oleh karena itu, perlu mengislamkan ilmu

pengetahuanmasa kini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistic

mengenai realitas dan kebenaran.

Temuan-temuan tersebut digali dari sejarah pengalaman spiritual

intelektual dan pencapaian kebudayaan umat Islam. Semua itu

disampaikan dengan sangat konseptual dan mencakup skema

metodologisnya sehingga memudahkan umat Islam untuk melihat temuan

ini secara utuh. Temuan ini sangat berguna untuk mengatasi kebingungan

intelektual secara praktis, tanpa harus kehilangan nilai-nilai keagamaan

13
dan kebudayaan dan tidak pula menepikan apa-apa yang baik dan berguna

dari sumber pemikiran dan kebudayaan lain.

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MASA KINI AL-ATTAS

Agenda al-Attas dalam mengislamkan pikiran umat Islam, diawali

dengan mentransformasikan istilah-istilah dan konsep-konsep kunci yang

terdapat dalam worldview umat Islam.

Usaha ini telah menunjukan hasilnya dalam studi desertasi

doktoralnya di SOAS (School of Oriental and African Studies) Universitas

London yang dilakukan dari tahun 1963-1965 mengenai tasawwuf Hamzah

fansuri, dalam studinya ini al-Attas mempekenalkan metode analisis

semantik dalam mengkaji konsep-konsep tasawwuf Fansuri. Al-Attas

menganalisis secara cermat istilah kunci dalam bahasa melayu kemudian

melakukan perbandingan dengan istilah-istilah yang sama dalam bahasa

Arab, Yunani, Persia, dan Sanskerta dalam karya-karya Fansuri dan tokoh

lain yang serupa. Dalam studi nya ini al-Attas menjelaskan periodisasi

islamisasi di kalangan masyarakat Melayu-Indonesia melalui metafisika

tasawwuf, dalam proses Islamisasi ini terdapat tiga elemen penting:

1. Transformasi pandangan dunia estesis Hindu-Budha yang terdapat

dalam kehidupan bangsa Melayu-Indonesia kepada pandangan dunia

Islam yang lebih rasional, ilmiah dan universal.

2. Peranan bahasa dalam proses islamisasi dan deislamisasi.

3. Pentingnya transformasi metafisika sebagai komponen utama islamisasi.

Salah satu sumbangan utama al-Attas terhadap pemikiran umat

Islam kontemporer adalah uraiannya mengenai peranan bahasa yang

secara ibstrinsik berhubungan dengan proses islamisasi. Sebab

14
penggunaan bahasa dalam penggunaan konsep dan istilah secara tepat

dapat mengindikasikan konsepsi Islam mengenai wujud (pandangan

mengenai realitas dan kebenaran). Sisi terpenting dalam pandangan dunia

Islam itu sendiri telah dibakukan dalam sebuah system kepercayaan

(Aqidah).

Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa semua istilah dan konsep

kunci yang digunakan yang digunakan dalam wacana intelektual dan

spiritual bernahasa melayu berasal dari Arab-Islam. Al-Attas juga

menerangkan bahwa istilah-istilah dan konsep-konsep kunci dalam bahasa

Melayu-Indonesia khususnya yang membahas realitas wujud dan

hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya mengalami proses Islamisasi dalam

bidang semantik dan merupakan refleksi dari pandangan dunia Islam.

Islamisasi bahasa tidak hanya menyangkut arabisasi tulisan, istilah

dan konsep kunci bahasa daerah umat Islam, akan tetapi ia juga

menyangkut islamisasi istilah dan konsep penting dari bahasa daerah

tersebut, khususnya yang berkaitan dengan konsep dunia riil.proses ini

juga menyangkut penyusunan kembali bidang semantik istilah dan konsep

daerah tersebut agar dapat mencerminkan pandangan hidup Islam yang

baru.

Inti dari apa yang dibicarakan al-Attas dalam semua karyanya

secara konsisten adalah tantangan terbesar pada zaman ini adalah ilmu

pengetahuan yang kehilangan tujuannya, ilmu pengetahuan yang

berkembang saat ini adalah produk dari kebingungan dan skeptisisme

yang meletakan keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi

15
ilmiah dan menjadikannya sebagai alat epistemology yang valid dalam

mencari kebenaran.

Menurut al-Attas, ilmu pengetahuan kontemporer secara

keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan

dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan

peradaban Barat, jiwa utama kebudayaan dan peradaban Barat dapat

diringkas menjadi lima karakteristik yang saling berhubungan:

1. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing mengarungi

kehidupan.

2. Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas

dan kebenaran.

3. Membenarkan aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu

pandangan dunia sekuler.

4. Pembelaan terhadap doktrin humanisme.

5. Peniruan terhadap drama dan tragedy yang dianggap sebagai realitas

universal dalam kehidupan spiritual atau transcendental, atau

kehidupan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama dan tragedy

sebagai elemen yang riil ,dan dominan dalam jati diri dan eksistensi

manusia.

Masuknya aspek-aspek yang berasal dari pandangan filsafat Barat

ke dalam pikiran elit terdidik umat Islam berpengaruh terhadap

deislamisasi pikiran umat Islam, fenomena ini berlangsung melalui

penyamarataan kategori dasar pengetahuan (fardu ‘ain dan fadu kifayah)

sehingga menimbulkan kebingungan terhadap hakikat masing-masing dan

metode pendekatan terhadap keduanya. Adapun di kalangan Islam

16
tradisional, hubungan pedagogis antara al-Qur’an dan berbagai bahasa

local umat Islam sudah terputus, sebagai gantinya ditekankan kultur

sekuler, nasionalis, etnis dan tradisional. Sedangkan pada tingkat

pendidikan tinggi, studi terhadap bahasa dan kebudayaan menggunakan

perangkat metodologi linguistic dan antropologi, sementara studi literature

dan sejarah Islam menggunakan nilai-nilai dan model-model Barat,

kerangka studi orientalis dan filologi, serta ilmu sosial yang telah

disekulerkan, seperti sosiologi, teori pendidikan dan psikologi. Fenomena

lainnya adalah munculnya pemimpin-pemimpin gadungan ditengah umat

Islam dalam semua lapisan. Dalam konteks ini al-Attas menarik benang

merah antara reformasi epistemologis dan perubahan sosial.

Berangkat dari fenomena ini, al-Attas kemudian menjelaskan

gagasan “Islamisasi Pengetahuan Masa Kini” pada sat konferensi di

Makkah dan Islamabad. Gagasan islamisasi al-Attas ini merupakan bagian

integral dari konsepsinya mengenai pendidikan dan universitas Islam serta

kandungan dan metode umumnya. Selanjutnya al-Attas mencoba

menghubungkan antara deislamisasi dengan westernisasi, dari situ

kemudian al-Attas menghubungkan program islamisasi pengetahuan masa

kini dengan dewesternisasi. Predikat “Masa Kini” sengaja digunakan sebab

ilmu pegetahuan yang diperoleh umat Islam yang berasal dari kebudayaan

dan peradaban masa lalu, seperti Yunani dan India, telah diislamkan.

Ciri khas al-Attas yang tercermin dalam karya-karyanya adalah

istilah-istilah dan ide-ide kunci yang digunakannya jelas dan tidak

dibiarkan kabur dan membingungkan.

17
Pada tingkat individu dan pribadi, islamisasi berkenaan dengan

pengakuan terhadap Nabi sebagai pemimpin dan pribadi teladan bagi pria

maupun wanita, pada tingkat kolektif, sosial dan historis, berkaitan dengan

perjuangan umat kea rah realisasi kesempurnaan moralitas dan etika yang

telah dicapai pada zaman Nabi.

Secara epistemologis, islamisasi berkaitan dengan pembebasan

manusia dari keraguan (syakk), prasangka (zhann), dan argumentasi kosong

(mir ) menuju pencapaian keyakinan (yaqin) dan kebenaran (haqq)

mengenai realitas-realitas spiritual, penalaran dan material.

Dalam Islam and Secularism al-Attas menyatakan bahwa Islamisasi

ilmu pengetahuan masa kini melibatkan dua proses yang saling

berhubungan:

1. Pemisahan elemen-elemen dan konsep kunci yang membentuk

kebudayaan dan peradaban Barat.

2. Pemasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam

setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.

Kedua tugas yang sangat menantang ini mensyaratkan pemahaman

yang mendalam mengenai bentuk jiwa, dan sifat-sifat Islam sebagai agama,

kebudayaan, dan juga peradaba, juga mengenai kebudayaan dan

peradaban Barat. Beberapa konsep dasar Islam yang harus dimasukan ke

dalam tubuh ilmu apa pun yang dipelajari umat Islam adalah konsep d n,

ins n, ‘ilm dan ma’rifah, ‘adl, ‘amal sebagai adab, dan semua istilah dan

konsep yang berhubungan dengan itu semua.

18
RESPON TERHADAP ISLAMISASI ILMU

Sejak pertengahan 70-an, isu mengenai islamisasi ilmu pengetahuan

telah menjadi agenda intelektual yang memberikan harapan besar pada

kebangkitan Islam dan menjadi salah satu topic yang kontroversial. Isu

islamisasi pengetahuan kontemporer menjadi sebuah “revolusi

epistemologis”, bagi yang memahami misinya, revolusi ini lebih

fundamental dan bersifat membebaskan serta inklusif dibandingkan

revolusi yang dibawa oleh kepentingan nasionalistis dan etnis.pada saat

yang sama isu ini juga ditakuti oleh mereka yang belum memahami atau

salah faham atau bahkan malah melecehkan signifikansi yang

sesungguhnya. Mereka itu mengira islamisasi berartiumat islam set back

pada perjuangan masa lampau yang telah berabad-abad umurnya agar

berperan aktif dalam kehidupan modern.

Sangat sedikit pemikir dan pembaharu muslim yang menyadari

problem dasar yang menimpa umat Islam sejak berabad-abad yang lau

yang berkaitan dengan isi dan metode pendidikan yang kabur pada

masyarakat mereka, menurut Fazlur Rahman, reformis Muslim modern

menggunakan dua pendekatan dasar terhadap ilmu pengetahuan Barat

modern, yaitu: mereka berpendapat bahwa pencarian ilmu pengetahuan

modern harus dibatasi oleh kebutuhan-kebutuhan pragmatis, yang

bertolak dari kepercayaan bahwa ilmu-ilmu teoritis akan menyebabkan

keraguan terhadap agama dikalangan umat Islam, dan mereka yang

berpendapat bahwa keseluruhan ilmu pengetahuan modern haruslah

diserap oleh umat Islam sebab dianggap berguna.

19
Selain pandangan diatas terdapat pula beberapa pandangan yang

berada di tengah-tengah, seperti pendapat bahwa tekhnologi, sains murni

di Barat juga baik, tetapi bukan pemikiran murninya, atau tekhnologi Barat

dapat berbahaya jika tidak dibarengi pengetahuan moral yang cukup

handal. Oleh karena itu, beberapa reformis muslim mencoba menafsirkan

kembali agama Islam agar sesuai dengan pandangan Barat dalam bidang

ilmu pengetahuan dan sains, sedangkan yang lain berusaha menanamkan

aspek-aspek ilmu Barat dan pada saat yang sama sambil mempertahankan

ilmu agama dalam kurikulum pendidikan.

Al-Faruqi dan IIIT (International Institute of Islamic Thought)

Agenda islamisasi ilmu pengetahuan yang popular saat ini

dikalangan cendikiawan muslim adalah ide yang disebarkan oleh Isma’il

al-Faruqi dan IIIT yang didirikannya pada tahun 1981. Ide islamisasi yang

disebarkan al-Faruqi hakikatnya adalah ide islamisasi yang di gagas oleh

al-Atas, al-Faruqi telah memanfaatkan tulisan-tulisan al-Attas yang

kemudian menginspirasinya untuk menulis sebuah buku The Islamization of

Knowledge.

Adanya beberapa istilah dan konsep dalam tulisan-tulisan al-Faruqi

yang sejak awal telah digunakan al-Attas secara konsisten, menunjukan

bahwa al-Faruqi terpengaruh dengan istilah-istilah dan konsep-konsep

kunci al-Attas serta implikasinya, al-Faruqi juga telah terpengaruh oleh

pandangan al-Attas mengenai masalah-masalah umat Islam dan solusinya.

Meskipun telah jelas bukti dan fakta bahwa al-Attas adalah sumber utama

ide al-Faruqi, namun al-Faruqi dan IIIT tidak mengakui dalam karya-

karyanya mengenai al-Attas sebagai sumber ide nya.

20
Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr merupakan cendikiawan Muslim dalam

bidang sejarah sains Islam yang terkenal pada zaman modern ini. Nasr

menyampaikan konsep tradisionalisme secara ekspresif dalam pengertian

yang sangat luas dengan mengikuti alur filsafat perennial, namun dia

belum banyak memikirkan islamisasi sebagai program kependidikan dan

filosofis yang terencana. Meskipun pernah menyinggung adanya

kesadaran di dunia Islam mengenai perlunya mengislamkan sains dn

cabang ilmu pengetahuan lainnya, namun dia hanya menunjukan secara

implisit metode untuk mengislamkan sains modern dengan menyarankan

agar sains modern diinterpretasikan dan diaplikasikan ke dalam “konsepsi

Islam mengenai kosmos”.

Fazlur Rahman

Fazlur Rahman, seorang pemikir neomodernis adalah partisipan

akhir dan tidak langsung dalam agenda islamisasi ilmu pengetahuan.

Perhatiannya terhadap islamisasi bermula saat bersahabat dengan rezim

Ayyub Khan pada 1960-an, berkisar terutama dalam bidang hukum. Istilah

islamisasi yang dipakai pada saat itu masih sangat kabur, dia tidak

memberikan pengertian yang positif pada istilah itu dan tidak mengetahui

struktur serta metodenya.

Jaafar Syeikh Idris

Jaafar Syeikh Idris merupakan ulama Sudan yang dianggap oleh

beberapa penulis sebagai cendikiawan pelopor. Dalam pertemuan tahunan

AMSS (Association of Muslim Social Saintists) mengungkapkan bahwa

ilmu Barat itu berdasarkan ideology yang salah dan ilmu itu bukanlah

21
semata-mata metode dan batang tubuh fakta-fakta, melainkan juga suatu

ideology yang mengungkapkan batasan-batasan ilmiah dan menentukan

bentuk teori-teori penjelasannya serta pemakaiannya. Oleh karena itu dia

menyarankan agar para cendikiawan Muslim membawa pandangan Islam

ke dalam bidang dan karya akademis mereka dalam rangka evolusi sosial

Islam. Disini jelas bahwa Syeikh Idris tidak menguasai scara mendalam

tantangan islamisasi sains dan ilmu pengetahuan modern yang lebih

fundamental dan sulit.

Reaksi-Reaksi Lain

Tidak sedikit penulis yang berkepentingan mengekspresikan

pendapat mereka mengenai islamisasi pengetahuan kontemporer. Muhsin

Mahdi, seorang sejarahwan filsafat Islam dan ahli historiografi dari

Garvard membahas isu ini secara tidak langsung dan merujuk pada usaha-

usaha umat Islam terdahulu bukan sebagai islamisasi, melainkan sebagai

harmonisasi antara ilmu agama dan ilmu rasional. Abdus Salam, penerima

hadiah Nobel dalam bidang fisika, dan Abdul Karim Soroush, seorang

penulis Iran radikal, menolak sama sekali ide ini, sementara yang lain

menganggapnya sebagai bagian dari reaksi Dunia ketiga terhadap

kolonialisme Barat, dan merupakan suatu aspek dari fundamentalisme

Islam.

Salah satu reaksi paling keras terhadap program islamisasi ilmu

pengetahuan dating dari mereka yang berlatar belakang politik dan

sosiologi. Bassam Tibi, misalnya mengartikan program ini secara natural,

sebagai suatu bentuk indigenisasi atau pribumisasi yang berhubungan

secara integral dengan strategi kultural fundamentalisme Islam

22
Kesimpulan

Filsafat dan metodologi pendidikan al-Attas mengarah pada suatu

tujuan fundamental, yaitu islamisasi pikiran, jiwa dan raga serta efek-

efeknya terhadap kehidupan umat Islam dan umat lain secara individual

maupun kolektif, termasuk elemen-elemen non manusia yang bersifat

spiritual dan fisikal di lingkungan mereka.

Contoh praktis dari islamisasi pengetahuan masa kini yang di gagas

al-Attas adalah dengan mengaplikasikan konsepsinya mengenai islamisasi

pikiran melalui metode linguistic. Baik dengan mengintroduksikan istilah-

istilah Arab-Islam dalam arti yang orisinil maupun dengan mendefinisikan

kembali istilah-istilah dan konsep kunci yang telah ada dalam bahasa

Melayu dan Inggris agar dapat mencerminkan visi Islam mengenai realitas

dan kebenaran atau dengan mengaplikasikn keduanya.

Dalam disiplin Islam dan perbandingan agama, al-Attas telah

memberikan sumbangan yang berharga dengan menekankan perbedaan

teologis yang fundamental antara Islam dan agama-agama lain dengan

tetap mengakui kesamaan-kesamaan etika tertentu yang dengan itu

toleransi dan keharmonian global dan antarkomunitas dapat ditegakan.

23

Anda mungkin juga menyukai