Anda di halaman 1dari 15

Reformulasi Pendidikan menurut Syed Muhammad Nauquib Alattas

Makalah
Disampaikan pada Seminar Kelas untuk Mata Kuliah
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Bersama
Martin Saputra, M.Ag.

Oleh :
Fulan bin Fulan
NIM : 44.2023.224.000

PRODI AQIDAH DAN FILSFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
2023/1444
A. Pendahuluan

Banyak tokoh cendikiawan Muslim modern yang peduli akan kemunduran


umat islam dan telah banyak wacana yang berkaitan langsung dengan isu ini.
Hal ini dapat diamati dari adanya pelbagai usaha para cendekiawan muslim,
dan banyak bidang kehidupan dan keilmuan, yang mencoba menawarkan
pembaruan pemikiran atau strategi pembenahan kondisi umat. Usaha-usaha
pembaruan pemikiran semacam itu pada zaman modern ini memiliki
kecenderungan yang berbeda-beda, tetapi dikalangan cendekiawan muslim
kontemporer sekurang-kurangnya terdapat pemikiran-pemikiran yang
menonjol termasuk pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas mungkin tidak banyak dikenal oleh


masyarakat awam di Indonesia, tapi bagi kalangan akademisi yang pernah
membaca karya-karyanya yang telah diindonesiakan, seperti Islam dan
Sekularisme, yang sangat popular pada tahun 80-an pasti mengenalnya.
Namun, sisi penting sosok Al-Attas sebagai pemikir Muslim terkemuka dan
pembaru pemikiran Islam tidak dapat ditangkap hanya dari karya-karya yang
telah diterjemahkan tersebut. Sosoknya sebagai pemikir dan pembaru di Dunia
Islam sebenarnya tercermin dari gagasan perlunya islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer. Gagasannya bukan tanpa konsep, melainkan justru
merupakan titik kulminasi beberapa pemikiran konseptualnya yang kemudian
dikumpulkan dalam karyanya.

B. Pembahasan
a. Biografi Singkat Syed Muhammad Naquib Alattas
Nama lengkap al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn
Abdullah ibn Muhsin Al-Attas, beliau lahir pada 5 September 1931 di
Bogor, Jawa Barat. Ayahnya, Syed Ali ibn Abdullah al-Attas adalah orang
yang terkemuka dikalangan syed. Ibunya bernama Syarifah Raquan
Al-‘Aydarus adalah keturunan raja-raja Sunda. Al-Attas adalah keturunan

1
ke-37 dari Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad saw. Silsilah yang dapat
dilacak secara pasti hingga seribu tahun kebelakang, melalui silsilah
keluarga sayyid Ba’Alawi di Hadramaut.1

Mengenai mazhab al-Attas baik tasawuf dan filsafat, al-Attas lebih


cendrung bermazhab Al-Ghazali. Latar belakang keluarga memberikan
pengaruh yang besar dalam pendidikan al-Attas, baik pendidikan ilmu-
ilmu keislaman di bogor, maupun pendidikan bahasa, sastra dan
kebudayaan Melayu di Johor. Pada usia lima tahun, al-Attas dididik di
Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941) di Johor, Malaysia. Kemudian
diteruskan di Madrasah al-‘Urwatu al-Wutsqa di Sukabumi (1942-1945),
belajar bahasa Arab dan agama Islam. Empat tahun kemudian, tahun 1946,
ia masuk dan bersentuhan dengan pendidikan modern di English College,
Johor, Malaysia (1946-1951). Kemudian pada tahun 1951, ia masuk dinas
militer, dan berkat prestasi dan kedisiplinannya, ia dipilih untuk mengikuti
pendidikan militer di Easton Hall, Chester, dan kemudian di Royal
Military Academy di Sandhurst, Inggris, pada tahun 1952-1955. Selama
pendidikan militer di Inggris inilah, ia mengenal dan memahami semangat
dan gaya hidup kebudayaan Barat.2

Kecerdasannya dalam mengakaji khaznah keilmuan dan kebudayaan,


terutama sikap kritisnya terhadap peradaban Barat, telah menarik banyak
perhatian dikalangan sarjana dan cendikiawan Muslim maupun non-
Muslim. Satu diantaranya, Jennifer Webb, yang mencatat pemikiran al-
Attas dalam bukunya Powerful Ideas: Perspectives on the God Society,
sebagai satu-satunya ilmuan Islam yang memandang peradaban Barat
secara kritis. Buku ini menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar
sepanjang sejarah umat manusia.3
1
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), hlm.1.
2
Ismail dan Wan Suhaimi, Adab dan Peradaban, (Malaysia: MPH Group Printing,
2012), hlm. 5 dan 7.
3
Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. Cit., hlm. 56.

2
Sikap kritis al-Attas terhadap perdaban Barat, telah dimulai pada awal
1950-an. Namun, sikap kritisnya ini baru tampak pada tahun 1970-an
dengan tampilnya sebuah buku yang mengkritik gagasan sekularisme,
yaitu Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kemudian ia semakin dikenal
sebagai cendikiawan Muslim yang sangat kritis terhadap peradaban Barat,
setelah menerbitkan satu karyanya, yaitu “Islam and Sekularism”, pada
tahun 1978.4 Sikap kritis al-Attas yang menentang faham sekularisme yang
dibawa peradaban Barat, juga tampak, misalnya dalam konferensi
Internasional di University of Hawaii. Konferensi ini diikuti sekitar 160
cendikiawan dari 30 negara dan berlangsung selama dua minggu. Tema
yang dibahas adalah “Technology and Cultural Values on the Egde of the
Third Millennium (2000).

b. Gagasan Alattas terhadap dunia Pendidikan Islam

Menurut al-Attas, Islam harus selalu membei arah terhadap kehidupan


kita, agar umat Islam terhindar dari serbuan pengaruh-pengaruh pemikiran
Barat dan Orientalis yang menyesatkan itu. Selain itu, al Attas
berpendapat bahwa perlunya ditimbulkan kesadaran terhadap ilmu dan
pendidikan dalam dunia Islam.

Intisari dari gagasan al-Attas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan


adalah hendak mengcounter krisis dalam ilmu modern, baik dalam
konsepsi realitas dan pandangan duania pada setiap bidang ilmunya,
maupun langsung pada persoalan-persoalan epistemologi, seperti sumber
pengetahuan, nilai kebenaran, bahasa, dan lain-lainnya, dimana krisis itu
akan sangat berpengaruh terhadap nilai-nilai ilmu yang dihasilkan
masyarakat modern. Memprihatinkan kondisi objektif terhadap dunia
islam, terutama pada sistem dan pelaksanaan pendidikan Islamnya, maka
al-Attas mencoba menggagas beberapa konsep mengenai reformulasi
pendidikan islam sebagai berikut:

4
Ahmad Suyuthi, “Ta’dib Sebagai Upaya Rekonstruksi Pendidikan Islam Perspektif Syed Naquib
Al-Attas” 1, no. 2 (2011).

3
a) Gagasan tentang Manusia
Berdasarkan objek dan fungsinya, manusia adalah objek
sekaligus subjek dari pendidikan, sehingga pendidikan hanya
dikhususkn untuk manusia saja. Para ahli sepakat bahwa teori dalam
praktik pendidikan Islam itu sangatlah dipengaruhi oleh pandangan
tentang fitrah manusia.5

Al-Attas mendefinisikan manusia sebagai “binatang rasional”


(al-Hayawan al-Nathiq). Nathiq berarti rasional, yang mengacu pada
fakultas batin (mengetahui), bawaan yang mampu memahami makna
hal-hal universal dan yang mampu merumuskan makna-makna (dzu
nutq). Perumusan makna itu melibatkan penilaian, perbedaan
(pemilah-milahan), dan penjelasan yang membentuk rasional manusia.
Sementara makna adalah pengenalan tempat-tempat segala sesuatu
yang berada di dalam suatu sistem. Nathiq dan Nuthuq adalah
“pembicaraan/yang berbahasa” (suatu kekuatan dan kapasitas untuk
merangkai simbol bunyi yang menghasilkan makna, sehingga manusia
adalah “binatang berbahasa”, yang merupakan realisasi dan ekspresi
manusia tadi.

‘Aql pada dasarnya adalah ikatan atau simbol yang


mengandung makna suatu sifat dalam yang mengikat dan
menyimpulkan objek-objek ilmu pengetahuan dengan menggunakan
sarana kata-kata. ‘Aql juga merupakan padanan qalb (hati), yaitu suatu
substansi ruhaniah (al-Nafsu al-Natiqah) yang dapat memahami dan
membedakan kebenaran daripada kepalsuan.

Berdasarkan penjelasan Al-Qur’an bahwa manusia itu


mempunyai sifat ganda: jiwa dan raga, yang berwujud fisik dan roh.
Selain itu, manusia memiiki dua jiwa, yang tinggi adalah jiwa rasional
(al-Nafs al-Natiqah), sedangkan yang rendah adalah jiwa
5
Mohammad David El Hakim dan Eni Fariyatul Fahyuni, “Pendidikan Islam dalam Perspektif
Syed Naquib Al-Attas dan Relevansinya bagi Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia,”
ISLAMIKA 2, no. 1 (29 Januari 2020): 46–62, https://doi.org/10.36088/islamika.v2i1.494.

4
hewani/badan (al-Nafs al-Hayawaniah) yang utuh (monodualis),
dimana yang tinggi harus mengalahkan yang rendah, sebagaimana
Allah SWT mengatur jagad raya ini.6

Eksistensi manusia mempunyai tingkat-tingkat berbeda


bergantung kepada beragam jangkauan operasi indera lahir dan batin.
Tingkat-tingkat eksistensi tersebut adalah:

a. Eksistensi yang real atau nyata, ia merupakan eksistensi pada tingkat


realitas objektif seperti dunia lahir
b. Eksistensi yang dapat diindera dan terbatas kepada fakultas-fakultas
indera serta pengalaman inderawi, termasuk mimpi, penglihatan batin
dan ilusi merupakan pengalaman inderawi dalam imajinasi ketika
objek-objek itu tidak ada dalam persepsi manusia.
c. Eksistensi intelektual, yang terdiri dari atas konsep-konsep abstrak
dalam pikiran manusia.
d. Eksistensi analog, yang dibentuk oleh hal-hal yang tidak wujud pada
tingkat-tingkat yang disebutkan di atas, tetapi wujud sebagai sesuatu
yang lan yang menyerupainya dalam hal-hal tertentu atau analog
dengannya.7
b) Gagasan tentang Tarbiyah, Ta’lim, dan Ta’dib
Terma tarbiyah, ta’lim dan ta’dib adalah suatu terma yang
disepakati kalangan dunia pendidikan Islam, untuk dijadikan istilah
pendidikan Islam, dan yang terbanyak dipakai adalah terma
tarbiyah.al-Attas mengkritik orang-orang yang menggunakan istilah
tarbiyah dan ta’lim. Terma tarbiyah bukanlah terma yang tepat dan
benar untuk pendidikan Islam, karenanya perlu segera ditinjau ulang.
Tarbiyah terjemahan dari kata education yang hanya mementingkan
fisik material saja sesuai dengan masyarakat, manusia dan negaranya

6
Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed
Muhammad Naquib al-Attas) (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007), hlm. 18-19.
7
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 145-146.

5
yang bersifat sekuler, karena dalam kajiannya terhadap kitab-kitab
klasik ternyata tidak ada yang menggunakan terma tarbiyah dengan
makna pendidikan. Begitu juga ta’lim yang diartikan al-Attas sebagai
pengajaran. Jadi, kata ta’lim itu lebih sempit dari pendidikan.8

Al-Attas berpendapat bahwa terma yang paling tepat dan benar


untuk membawakan konsep pendidikan Islam adalah ta’dib yang
berakar kata adaba yang dalam bahasa Indonesia mempunyai banyak
arti, di antaranya mendidik, undangan penjamuan, kebudayaan, tata
tertib sosial, kehalusan budi, kebiasaan yang baik, menghias,
ketertiban, kepantasan, kemanusiaan, dan kesusastraan. Al-Attas
sendiri memberikan makna ta’dib dengan pendidikan. Dalam bukunya
Islam dan Sekularisme, ia menulis bahwa pendidikan adalah
meresapkan dan menanamkan adab pada manusia yaitu ta’dib. Dari
sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ta’dib dalam
terminologi al-Attas secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu
muatan atau kekurangan yang mesti ditanamkan dalam proses
pendidikan Islami(ta’dib).9

Pengajaran dan proses mempelajari keterampilan betapapun


ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan jika di dalamnya
tidak ditanamkan sesuatu. Sesuatu yang harus ditanamkan dalam
pendidikan tersebut adalah ilmu. Tujuan mencari ilmu terkandung
dalam konsep adab. Makna pendidikan dari kata ta’dib penekanannya
cenderung lebih banyak pada perbaikan budi pekerti atau nilai-nilai
kehidupan manusia. Al-Attas melanjutkan bahwa pendidikan adalah
meresapkan dan menanamkan adab pada manusia, ini adalah ta’dib.
Oleh karenanya, dia menganjurkan menggunakan istilah ta’dib untuk
menunjuk pengertian pendidikan Islam. Dia menegaskan bahwa tidak
ada lagi kebimbangan maupun keraguan dalam menerima proposisi
bahwa konsep pendidikan dan proses pendidikan telah tercakup di
8
Kemas Badaruddin, Op.Cit., hlm. 23-30.
9
Syamsul Kurniawan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, hlm. 179.

6
dalam istilah ta’dib yang dalam struktur konseptualnya ta’dib sudah
mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm) pengajaran (ta’lim) dan
penyuluhan yang baik (tarbiyah). Oleh karena itu, tidak perlu lagi
mengacu kepada konsep pendidikan Islam sebagai tarbiyah, ta’lim,
dan ta’dib secara sekaligus.10

c) Gagasan tentang Definisi Pendidikan Islam


Menurut al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penanaman
sesuatu ke dalam diri manusia yang mengacu kepada metode dan
sistem penanaman secara bertahap, dan kepada manusia penerima
proses dan kandungan pendidikan tersebut. Dari definisi dan
pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan, yaitu
adanya (1) proses, (2) kandungan, dan (3) penerima. Kemudian
disimpulknnya lebih lanjut yaitu “sesuatu yang secara bertahap
ditanamkan ke dalam manusia”. Jadi definisi pendidikan Islam adalah
pengenalan dan pengalaman yang secara berangsur-angsur
ditanamkan dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari
segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang
tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. “pengenalan adalah
menemukan tempat yang tepar sehubungan dengan apa yang dikenali,
sedangkan pengakuan merupakan tindakan yang bertalian dengan
pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan,
dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan
kata lain ilmu dan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal ataupun
amal tanpa ilmu adalah keiaan. Dalam pandangan al-Attas pendidikan
Islam itu harus harus terlebih dahulu memberikan pengetahuan kepada
manusia sebagai peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia
disusul pengetahuan-pengetahuan lainnya. dengan demikian, dia akan
mengetahui jati dirinya dengan benar, tahu “darimana ia, sedang
dimana ia dan mau kemana ia kelak”. Jika ia tahu jati dirinya maka ia
10
Kemas Badaruddin, Op.Cit, hlm. 31.

7
akan selalu ingat dan sadar serta mampu dalam memosisikan dirinya,
baik terhadap sesama makhluk, apalagi terhadap Allah SWT sebagai
Khaliq.11

d) Gagasan tentang Tujuan Pendidikan Islam


Menurut al-Attas, tujuan pendidikan Islam selalu berkaitan
dengan gagasan dan konsep-konsepnya. Tujuan pendidikan Islam
menekankan pada tujuan akhir, yakni menghasilkan manusia yang
baik, dan bukan masyarakat seperti dalam peradaban Barat, atau
warga negara yang baik, yang dalam perspektif ini adalah individu-
individu yang beradab atau yang bijak, yang mengenali dan mengakui
segala tata tertib realitas sesuatu, termasuk posisi Tuhan dalam realitas
itu. Sebagai hasilnya mereka akan selalu beramalseuai dengan kaidah
itu sendiri.12

Konsep pendidikan islam pada dasarnya berusaha mewujudkan


manusia yang baik atau manusia universal ( al-insn al-kamil), yakni
misi, yaitu (a) sebagai Abdullah (hamba Allah) dan (b) khalifatullah fi
al-ardh ( wakil Tuhan di muka bumi). Oleh karena itu, seharusnya
system pendidikan islam merefleksikan ilmu pengetahuan dan
perilaku Rasulullah Saw. Serta berkewajiban mewujudkan umat
muslim yang menampilkan kualitas keteldanan Rasulullah semaksimal
mungkin sesuai dengan potensi dan kecakapan masing-masing. Posisi
normative ini didasarkan pada dictum Al-qur’an yang menyakatakan
bahwa Nabi Muhammad Saw. Adalah keteladanannya yang
merupakan manusia paling takwa dan paling mulia.13

e) Gagasan tentang Bentuk Sistem Pendidikan Islam


Tujuan pendidikan Islam seperti telah dideskripskan di atas
pada intinya adalah mewujudkan insan kamil. Maka, sistem
pendidikan Islam harus mencerminkan aspek manusia itu sendiri.
11
Ibid, hlm. 36-37.
12
Ibid, hlm. 39-40.
13
Syamsul Kurniawan, Op.Cit, hlm. 188-189.

8
Perwujudan paling tinggi dan sempurna dari sistem pendidikan adalah
universitas. Menurut Al-Attas, universitas yang dirancang untuk
mencerminkan yang universal, harus pula merupakan pencerminan
manusia itu sendiri. Universitas Islam tidak begitu saja mencontoh
unversitas Barat, sebab secara konseptual keduanya berbeda.
Universitas Barat diyakini tidak mencerminkan manusia, tetapi lebil
mencerminkan unsur-unsur yang sekuler. Hal ini terjadi karena dalam
peradaban Barat atau lainnya di luar Islam tidak pernah ada seorang
manusia sempurna yang bisa menjadi model untuk ditcladani dalam
hidup dan dipakai untuk memprokyesikan ilmu pengetahuan dan
tindakan yang benar dalam bentuk universal sebagai universitas. Al-
Attas menegaskan bahwa universitas Islam harus mencerminkan
pribadi Nabi dalam hal ilmu pengeahuan dan tindakan yang benar,
yang berfungsi menghasilkan manusia laki-laki dan perempuan yang
kualitasnya sedckat mungkin menyerupai beliau, yakni manusia
beradab.14

f) Gagasan tentang Ilmu


Al-Attas mendefinisikan ilmu dari sudut epistemologi sebagai
sampainya makna sesuatu pada jiwa dan sampainya jiwa pada makna
sesuatu itu. Yang dimaksud makna sesuatu adalah maknanya yang
benar, dan yang disebut sebagai makna yang benar dalam konteks ini,
ditentukan oleh Pandangan Islam tentang hakikat dari kebendaan
sebagaimana yang diproyeksikan oleh sistem konseptual Al-Qur’an.

Al-Attas mengklasifikasi ilmu menjadi dua bagian, 1) fardu


‘ain yang memahaminya pemberian Allah, yang mencakup di
dalamnya ilmu-ilmu agama. (2) fardu kifayalh yang memahami ilmu-
ilmu capaian manusia yang meliputi ilmu-ilmu rasional, intelektual
dan filosofis.

I. Ilmu-ilmu Agama
14
Ibid, hlm. 189-190.

9
1. Al-Qur'in: Pembacaan dan penafsirannya (tafsir dan ta'wil)

2. Al-Sunnah: Kehidupan nabi, sejarah dan pesan-pesan para rasul


sebelumnya, hadis dan riwayat-riwayat otoritatifnya

3. Al-Syari'ah: Undang-undang dan hukum prinsip-prinsip dan u dan


pada Yang makna yang benar tentang ksikan dan memahami tidak
praktik-praktik Islam (Islam, Iman dan Ihsan).

4. Teologi: Tuhan, Esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, serta


tindakan-tindakan-Nya (al-Tauhid).

5. Metafisika Islam (al-Tasawuf: psikologi, kosmologi, dan onto- logi:


unsur-unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk doktrin-doktrin
kosmologis yang benar, berkenaan dengarn tingkatan-tingkatan
wujud.

6. Ilmu-ilmu linguistik: Bahasa Arab,tata bahasa,leksikografidan


kesusasteraan.

II. Ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis

1. Ilmu-ilmu Kemanusiaan

2. Ilmu-ilmu Alam

3. llmu-ilmu Terapar

4. Ilmu-ilmu Teknologi.

Kemudian lebih lanjut al-Attas menjelaskan bahwa berkaitan


dengan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis itu, harus
ditambahkan, disiplin-disiplin ilmu baru yang mesti dimasukkan di
dalamnya, yaitu: Perbandingan agam dari sudut pandang Islam,
Kebudayaan dan peradaban Barat, llmu-ilmu linguistik: Bahasa-
bahasa Islam, tata bahasa, leksikografi dan literatur, Sejarah Islam:
Filsafat dan sains Islam sebagai sejarah dunia.

10
Sebagai kesimpulan dari keseluruhan uraian di atas dapatlah
dirangkum sebagai berikut: 1. Konsep agama

2. Konsep manusia (insän)

3. Konsep pengetahuan (ilmu dan ma'rifat)

4. Konsep kearifan (hikmah)

5. Konsep keadilan (adI)

6. Konsep perbuatan yang benar (amal sebagai adab)

7. Universitas (kulliyah jamř ah).

C. Penutup

Dari ulasan tentang biografi, pemikiran dan kontribusi Syed Muhammad


Naquib Al-Attas pada makalah ini, tidak diragukan lagi bahwasannya beliau
adalah seorang ilmuwan yang penuh dengan gagasan dan ide-ide yang
cemerlang bahkan mempengaruhi pemikiran pendidikan Islam. Maka,
Penetapan konsep yang tepat untuk digunakan dalam pendidikan Islam
sebagaimana didefinisikan dalam hal ini adalah Ta’dib, bukannya Tarbiyah
atau Ta’lim. Hal ini dikarenakan dalam Ta’dib itu sudah mencakup kedua hal
tersebut.

Tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan yang dimaksudkan Al-Attas


adalah Insan Kamila tau manusia universal. Hal ini merujuk pada pribadi Nabi
Saw, yang merupakan perwujudan manusia sempurna, sedangkan pendidikan
diarahkan pada terwujudnya potensi dan bawaan manusia sehingga bisa
sedekat mungkin menyerupai Nabi.

Melihat realita dalam dunia pendidikan dewasa ini, kiranya menuntut


untuk mengubah konsep dasar pendidikan Islam yang selama ini digunakan
dalam pendidikan Islam. Hal ini dikarenakan sifat-sifat konsep tersebut yang
tidak sesuai dengan konsep dasar pendidikan Islam sebagaimana yang
dikehendaki

11
Kontribusi beliau jelas mempengaruhi disegala aspek dan disiplin ilmu,
seperti filsafat, teologi, pendidikan, sastra, seni, dll. Ini menunjukkan bahwa
beliau adalah manusia produktif yang istiqomah dalam menolak westernisasi.

12
Daftar Pustaka

Ahmad Suyuthi, “Ta’dib Sebagai Upaya Rekonstruksi Pendidikan Islam


Perspektif Syed Naquib Al-Attas” 1, no. 2 (2011).

Ismail dan Wan Suhaimi, Adab dan Peradaban, (Malaysia: MPH


Group Printing, 2012).

Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemikiran Prof.


Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas) (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007), hlm.
18-19.

Mohammad David El Hakim dan Eni Fariyatul Fahyuni, “Pendidikan


Islam dalam Perspektif Syed Naquib Al-Attas dan Relevansinya bagi
Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia,” ISLAMIKA 2, no. 1 (29 Januari
2020): 46–62.

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis,


dan Praktis (Jakarta: Ciputat Press, 2002).

Syamsul Kurniawan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.

Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy And Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998).
NB :
1. Menjilid makalah menggunakan KERTAS MIKA BERWARNA
BIRU dan KERTAS BUFALO BERWARNA BIRU
2. Ketentuan Pembahasan bisa berbeda-beda, menyesuaikan dengan
materi dan isntruksi dari Dosen Pengampu.

Anda mungkin juga menyukai