Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ISLAMISASI

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

Dosen Pengampu:
Al-Ustadz Muhammad Taqiyuddin, S.H.I

Disusun Oleh :
Hasna Hanifah AR
36.2015.7.1.1128

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu istilah yang paling populer yang sering dipakai dalam konteks integrasi
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata “Islamisasi”. Menurut Echols dan Hasan
sadily, kata islamisasi berasal dari bahasa inggris islamization yang berarti pengislaman.
Dalam kamus Webster, islamisasi bermakna to bring within islam. Makna yang lebih luas
adalah menunjukkan pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah orang atau manusia,
bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya. Topik Islamisasi ilmu pengetahuan dan
pendidikan dalam Islam sudah diperdebatkan sejak Konferensi Dunia Pertama tentang
Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Namun tidak banyak yang berusaha serius
untuk melacak sejarah gagasan dan mengkaji atau mengevaluasi sejumlah persoalan pokok
yang berkenaan dengan topik ini pada tingkat praktis.
Selain itu munculnya konsep Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya bukan berasal
dari kondisi adanya westernisasi ilmu pengetahuan, namun lebih kepada adanya
ketidakyakinan akan netralitas dan universalitas ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan
muslim berpendapat bahwa ilmu pengetahuan barat dibangun dengan cara pandang dan
filosofi barat termasuk dalam memandang realitas. Oleh karena itu konstruksi ilmu
pengetahuan perlu dibangun kembali dengan cara pandang yang Islami. Hal ini lah yang
menjadi suatu proyek keilmuan umat Islam saat ini yang akan diimplementasikan atau
diaplikasikan dalam bentuk Islamisasi ilmu pengetahuan.
Adapun yang menjadi tokoh utama dalam ide Islamisasi ilmu pengetahuan ini adalah
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi, namun yang paling
mengerikan dalam menetapkan tokoh utamanya saja, sudah ada perdebatan, artinya ada yang
mengatakan bahwa ide Islamisasi ini datangnya dari al-Attas akan tetapi al-Faruqi juga
mengakui bahwa dia tidak pernah meniru idenya al-Attas. Berdasarkan uraian diatas,
makalah ini akan dibahas tentang pengertian, latar belakang, langkah-langkah, pro kontra
terhadap ide Islamisasi ini serta perbedaan Islamisasi sains teknologi dengan sains sosial.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Islamisasi ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana latar belakang munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan?
3. Apa saja model-model Islamisasi ilmu pengetahuan?
4. Apa langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan?
5. Bagaimana pro-kontra dari gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan?
6. Apa perbedaan Islamisasi sains teknologi dengan sains sosial?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Islamisasi ilmu pengetahuan
2. Mengetahui latar belakang munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan
3. Mengetahui model-model Islamisasi ilmu pengetahuan
4. Mengetahui langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan
5. Mengetahui pro-kontra dari gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan
6. Mengetahui perbedaan Islamisasi sains teknologi dengan sains sosial
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Definisi Islamisasi ilmu pengetahuan menurut kata perkata, terdiri dari tiga kata yaitu,
kata Islamisasi, ilmu, dan pengetahuan. Berawal dari kata Islamisasi yang berarti
pengIslaman, pengIslaman dunia, dapat juga diartikan sebagai bentuk usaha mengIslamkan
dunia. Sedangkan kata Ilmu merupakan produk dari proses berfikir menurut langkah-langkah
tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berfikir ilmiah. Dan kata terakhir adalah
pengetahuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengetahuan disamakan
artinya dengan ilmu. Namun sebenarnya ilmu dan pengetahuan tidaklah sama persis, dimana
arti dari ilmu itu lebih luas cakupannya, karena pengetahuan belum pasti dikatakan ilmu
sedangkan pengetahuan sudah barang tentu dikatakan ilmu. Penjelasan tersebut menjelaskan
bahwa Islamisasi pengetahuan berarti mengIslamkan segala ilmu pengetahuan.

Sedangkan definisi Islamisasi menurut istilah, Islamisasi ilmu pengetahuan


merupakan sebuah aksi untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang islami (al-Ma’rifah al-
Islamiyah) yakni pengetahuan yang bersumber pada nilai-nilai wahyu dan tujuan-tujuan
kerasulan dan berkaitan dengan segala yang benar dari warisan umat dan para ulama serta
pemikirannya sepanjang zaman. Pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan secara jelas juga
diterangkan oleh al-Attas, yaitu: “pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis,
animistis, budaya nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham
sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya
yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia
dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat
tidak adil terhadapnya.

Sebagaimana menurut AI-Faruqi dalam bukunya Budi Handrianto; menyebutkan


bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowladge) merupakan usaha untuk
mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk mendefenisikan kembali, menyusun ulang data,
memikir kembali argument dan rasionalisasi, menilai kembali tujuan dan melakukannya
secara yang membolehkan disiplin itu memperkaya visi dan perjuangan Islam. Islamisasi
ilmu juga merupakan sebagai usaha yaitu memberikan defenisi baru, mengatur data-data,
memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali
kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu
sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat
bagi cause (cita-cita) Islam.

2.2. Latar Belakang Munculnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Gagasan awal adanya Islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat konferensi dunia
pertama tentang pendidikan muslim di Makkah, pada tahun 1977 yang di prakarsai oleh King
Abdul Aziz University. Ide Islamisasi ilmu pengetahuan dilontarkan oleh Ismail Raji al-
Faruqi dan Muhammad Naquib al-Attas. Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi
umat Islam adalah tantangan pengetahuan yang disebarkan keseluruh dunia Islam oleh
peradaban Barat. Menurut al-Faruqi bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak dalam
sebuah karikatur Barat, dimana sains Barat telah terlepas dari nilai dan harkat manusia dan
nilai spiritual dan harkat dengan Tuhan.

Bagi al-Faruqi, pendekatan yang digunakan untuk melakukan gerakan Islamisasi ilmu
pengetahuan adalah dengan jalan menuang kembali seluruh khazanah sains Barat dalam
kerangka Islam, salah satunya dengan penulisan kembali buku-buku teks dan berbagai
disiplin ilmu dengan wawasan ajaran Islam. Sedangkan menurut al-Attas, pendekatannya
dapat dengan jalan pertama-tama sains Barat harus dibersihkan dulu dari unsur-unsur yang
bertentangan dengan ajaran Islam, kemudian merumuskan dan memadukan unsur Islam yang
esensial dan konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan komposisi yang merangkum
pengetahuan inti.

2.3. Model-Model Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Diketahui terdapat lima (5) model islamisasi diantaranya yaitu, model
instrumentalistik, justifikasi, sakralisasi, integrasi dan epistemologi (paradigma).
1. Model Instrumentalistik.
Konsep Islamisasi Instrumentalistik menganggap ilmu atau sains sebagai alat
(instrumen). Menurut mereka, sains hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak
memperdulikan sifat dari sains itu sendiri. Yang terpenting sains itu dapat
menghasilkan tujuan bagi pemakainya. Tokoh metode ini adalah Jamaluddin al-
Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Sir Sayyid Ahmad Khan.
Konsep Islamisasi Instrumentalistik menganggap ilmu atau sains sebagai alat
(instrumen). Bagi mereka, sains sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak
memperdulikan sifat dari sains itu sendiri. Saat Perancis menjajah Mesir, pada kurun
waktu akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 oleh Napoleon Bonaparte. Satu persatu
negeri muslim mengalami kekalahan. Ekspansi besar-besaran Dunia Barat atas Islam
didukung oleh teknologi dan kemiliteran. Beberapa pemimpin muslim bertahan dan
mencoba menggunakan sains dan teknologi untuk melawan kaum penjajah.
Diantaranya Muhammad Ali di Mesir, dan Sultan Salim di Turki. Mereka
mengirimkan pelajar-pelajar ke Eropa, mengembangkan teknologi militer,
menerjemahkan buku-buku dan memasukkan pengajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah dan pengajar-pengajar Eropa.
Hal ini diawali oleh kesadaran Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Menurut
Abidin Bagir, gagasan al-Afghani mengilhami Turki, Iran, Mesir, dan India.
Meskipun anti imperialis, ia mengangungkan pencapaian ilmu pengetahuan barat. Ia
tidak melihat adanya kontradiksi antara islam dan Barat. Bagi al-Afghani, ilmu
pengetahuan bisa dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah, karena
memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, sebab itu kaum muslimin harus juga
mampu menguasainya agar dapat melawan imperialisme. Disinilah muncul embrio
‘instrumentalistik’ tersebut.
Tokoh lain yang concern terhadap masalah sains dan teknologi adalah Sir
Sayyid Ahmad Khan (1817-1898). Ia adalah pemikir yang aktif menyerukan
‘saintifikasi’ masyarakat muslim. Ia melihat, bahwa ilmu pengetahuan memiliki
kekuatan ‘pembebas’ dari unsur-unsur metafisik ke unsur-unsur yang lebih rasional.
Dan itulah yang terjadi di Barat. Ia mengajukan pemikiran yang sama di dunia
muslim. Bahwa Spirit Ilmu Pengetahuan wajib membebaskan Orang Muslim dari
keyakinan Supranatural –yang tak ilmiah- dari al-Qur’an. Namun, karena terlalu
berlebihan, agaknya ia justru menciptakan sebuah ‘teologi baru’.
2. Model Justifikasi.
Model justifikasi adalah Islamisasi dengan pembenaran melalui ayat Al-
Qur’an dan Hadits. Meski Islamisasi model ini sangat cukup gencar, tidak sedikit
yang mengkritiknya. Diantaranya adalah Ziauddin Sardar, ia menolak dengan
anggapan bahwa Islamisasi bukan ayatisasi.
Tokoh yang sering mengemukakan masalah kesesuaian ayat-ayat al-Qur’an
dengan penemuan ilmiah modern adalah Maurice Bucaille. Menurut beliau,
penemuan sains modern ini sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Sehingga menjadi
bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan. Cara membuktikannya dengan
mengukur dan melakukan penyesuaian dengan fakta objektif dalam sains modern.
Selain Maurice Bucaille, ilmuwan yang paling banyak melakukan penyebaran
Islamisasi dengan model ini adalah Harun Yahya. Salah satu penjelasan Harun Yahya
dalam model sains-nya, adalah tentang Big-Bang.
Harun Yahya menyimpulkan bahwa temuan-temuan ilmu alam modern
mendukung kebenaran yang dinyatakan dalam Al-Qur’an dan bukan dogma
materialis. Materialis boleh saja menyatakan bahwa semua itu “kebetulan”, atau
mungkin tercipta atas hukum-hukum yang menghendaki penciptaan dirinya sendiri.
Akan tetapi, fakta yang jelas adalah bahwa alam semesta terjadi sebagai hasil
penciptaan dari pihak Allah dan satu-satunya pengetahuan yang benar tentang asal
mula alam semesta ditemukan dalam firman Allah.
3. Model Sakralisasi
Model sakralisasi sains memandang bahwa sains modern bernilai sekuler dan
jauh dari nilai-nilai spiritualitas, sehingga harus diarahkan pada sains yang
mempunyai nilai sakral. Ide ini dikembangkan oleh Sayyed Husain Nasr, dan
dikembangkan oleh muridnya diantaranya Osman Bakar. Dalam sains sakral, iman
tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman. Ilmu pengetahuan pada
akhirnya terkait dengan intelek Ilahi dan bermula dari segala yang sakral.
Inti gagasan Nasr dapat diringkas, (1) Pandangan sekular tentang alam
semesta yang melihat tidak ada jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan
lagi sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri. (2) Alam yang
digambarkan secara mekanistis bagaikan mesin dan jam. Alam menjadi sesuatu yang
bisa ditentukan dan diprediksikan secara mutlak-yang menggiring kepada munculnya
masyarakat industri modern dan kapitalisme. (3) Rasionalisme dan empirisisme. (4)
Warisan dualisme Descartes yang mengandaikan sebelumnya pemisahan antara
subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. (5) Eksploitasi alam sebagai
sumber kekuatan dan dominasi.
4. Model Integrasi
Model Islamisasi yang diibaratkan sebagai ‘pemaduan’ antara sains barat dan
ilmu-ilmu Islam ide ini pertama kali dicetuskan oleh Ismail Raji al-Faruqi. Dari sudut
metodologi, al-Faruqi mengemukakan ide Islamisasi ilmunya bersandarkan pada
“prinsip tauhid”. Yang menurut pandangannya, metodologi tradisional tidak mampu
memikul tugas ini karena beberapa kelemahan. Pertama, meneyempitkan konsep
utama seperti fiqh, faqih dan mujtahid. Kedua, kaidah tradisional ini memisahkan
pemikiran dan tindakan. Ketiga, Kaidah ini membuka ruang untuk dualisme sekular
dan agama. Sehinga berdasarkan analisisnya, Ia mengajukan lima prinsip kesatuan.
(1) Kesatuan tuhan, (2) Kesatuan ciptaan, (3) Kesatuan Kebenaran dan Pengetahuan
(4) Kesatuan Kehidupan dan (5) Kesatuan Kemanusiaan.
Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan
ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains
sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang
konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga
mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam
apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin
harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga
sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah. Hingga
sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat manusia,
ketunggalan umat manusia dan penciptaan alam semesta kepada manusia dan
ketundukan manusia kepada Tuhan, harus mengganti kategori-kategori Barat dengan
menentukan presepsi dan susunan realita.
5. Model Epistemologi (Paradigma)
Konsep Islamisasi sains yang dirasakan paling mendasar dan menyentuh akar
permasalahan sains adalah konsep dengan pendekatan yang berlandaskan paradigma
Islam. Ide Islamisasi sains ini disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Syed
Muhammad Naquib al-Attas. Secara khusus beliau menyebut permasalahan Islamisasi
adalah permasalahan mendasar yang bersifat epistemologis. Beliau mengemukakan
pikirannya tentang tantangan terbesar yang sedang dihadapi kaum Muslimin adalah
sekularisasi ilmu pengetahuan.
Al-Attas melihat bahwa ilmu pengetahuan yang ada ini tidak bersifat netral,
sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas
nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Pengetahuan dan ilmu yang
tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah
diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Pandangan seperti itu muncul karena
sains Barat tidak dibangun di atas wahyu. Ia dibangun diatas budaya yang diperkuat
oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai
makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan, nilai-nilai etika dan moral, yang
diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.
Proses Islamisasi sains itu dilakukan menurut al-Attas dapat dengan dua cara
yang saling berhubungan dan sesuai urutan, pertama, dengan melakukan proses
pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan
dan peradaban Barat, dan kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-
konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.

2.4. Langkah-Langkah Islamisasi Ilmu pengetahuan


Pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam Islamisasi ilmu
pengetahuan, dia mengemukakan ide Islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid
yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi
menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran
metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
1. KeEsaan Allah.
2. Kesatuan alam semesta.
3. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi
saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan
terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga
merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran.
Menurut al-Faruqi, sasaran atau tujuan yang dituliskan di atas dapat dicapai atau
untuk mempermudah proses Islamisasi ilmu pengetahuan dapat melalui 12 langkah sistematis
yaitu;
1. Penguasaan disiplin ilmu modren: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat
kemajuannya sekarang di Barat harus dipisah-pisahkan menjadi kategori-kategori,
prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema-tema.
2. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis
dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan
metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun
pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan
menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia
Barat.
3. Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara
yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai
warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
4. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi telah
disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalah-masalah
masa kini.
5. Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan
dengan mengajukan tiga persoalan. Pertama, apa yang telah disumbangkan oleh
Islam, mulai dari al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam
keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua,
seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah
diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah
yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam,
kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga
memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
6. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia
harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
7. Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap
bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus
dirumuskan.
8. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus
dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral
dan spritual dari kaum muslim.
9. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini
difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
10. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan
sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk
menjembatani jurang kemandekan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam
harus disenambungkan dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus membuat batas
ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-
disiplin moderen.
11. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam.
Keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin, ilmu moderen dan harus ditulis
untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam cetakan Islam.
12. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diIslamkan. Selain langkah tersebut di
atas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat Islamisasi pengetahuan adalah dengan
mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibat berbagai ahli di
bidang-bidang ilmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang
menguasai pengkotakan antar disiplin.

Sedangkan menurut al-Attas Islamisasi ilmu pengetahuan saat ini melibatkan dua
proses yang saling terkait:
1. Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan
peradaban Barat, dan setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya
dalam bidang ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun ilmu-ilmu alam, fisika
dan aplikasi harus diIslamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan
fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Menurut al-Attas jika tidak sesuai dengan
pandangan hidup Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern
harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol dan ilmu
modern beserta aspek-aspek empiris dan rasional yang berdampak kepada nilai dan
etika.
2. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang
dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Jika kedua proses tersebut selesai
dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dan magic, mitologi,
animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam. Islamisasi akan
membebaskan manusia dan keraguan (syakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong
(mira`) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan
materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan
kontemporer dan ideologi, makna dan ungkapan sekuler.
Itulah pendapat al-Attas tentang langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan,
dimana menurut beliau Islamisasi itu harus mengisolir konsep-konsep kunci yang membentuk
budaya Barat serta harus memasukkan unsur-unsur Islam kedalam konsep-konsep itu. Al-
Attas mengatakan demikian karena menurut beliau bahwa ilmu itu bukan bebas nilai, tapi
ilmu itu syarat nilai. Selain yang disebutkan diatas, ada beberapa langkah-langkah Islamisasi
yang lain yang dapat pula memperlancar proses Islamisasi ilmu pengetahuan, diantaranya:
1. Menguasai ilmu dasar Islam.
2. Menganalisa bahasa/ terma yang digunakan sekaligus menguasai cabang ilmu yang
akan di-Islamkan.
3. Mengeluarkan unsur-unsur yang tidak Islami (mitologis/ sekuler), dewesternisasi,
yang bertentangan dengan Islam dari konsep kunci, asumsi dasar, dan keyakinan non
Islami.
4. Memasukkan unsur Islam berupa konsep/ bahasa, aturan syariah dan etika; aksiologis
dan instrumentalis.

2.5. Pro-Kontra Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Gencarnya wacana Islamisasi ilmu pengetahuan ternyata tidak semudah yang
dibayangkan. Faktanya, terjadi pro dan kontra dalam kubu internal ilmuwan Muslim.
Diantara tokoh yang mendukung terhadap proyek Islamisasi ini antara lain adalah Seyyed
Hossein Nasr (1933), Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya
westernisasi ilmu (Hossein Nasr, 1998). Sedangkan pihak yang menentang terhadap gagasan
Islamisasi ini yaitu beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin
Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak
akan tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan (Armas, 2007).
Kritik yang dilontarkan pihak kontra cenderung mengarah pada aspek metodologi
dalam merealisasikan Islamisasi itu sendiri, karena langkah-langkah yang digagas oleh
beberapa ilmuwan dinilai kurang “ampuh” untuk mewujudkan islamisasi ilmu pengetahuan,
bahkan sebagian menganggap itu semua sebagai langkah yang sia-sia. Sementara pihak pro
menilai adanya perbedaan mencolok antara epistemologi Islam dan Barat dalam
memproduksi ilmu pengetahuan, sehingga Islamisasi harus dilakukan untuk menangkal
dampak dari pemikiran barat tersebut.
1. Golongan Pro Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam pandangan Syed Hossein Nasr, integrasi yang diinginkan al-Faruqi,
“ingin penyelidikan dilakukan terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya
melalui subjek yang terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkinkan.”
Bukan saja sesuatu yang mungkin tetapi juga perlu untuk dilakukan. Menurut beliau,
para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka
pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik dan menolak
struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan Islam dan
kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah dilakukan
Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun di masa lalu.
Di Indonesia sendiri ada beberapa tokoh yang mendukung Islamisasi ilmu
pengetahuan, seperti AM. Saifuddin. Menurutnya, Islamisasi adalah suatu keharusan
bagi kebangkitan Islam, karena sentral kemunduran umat dewasa ini adalah keringnya
ilmu pengetahuan dan tersingkirnya pada posisi yang rendah. Hal senada diungkapkan
Hanna Djumhana Bastaman, dosen psikologi UI Jakarta. Hanya saja beliau
memperingatkan bahwa gagasan ini merupakan proyek besar sehingga perlu
kerjasama yang baik dan terbuka di antara para pakar dari berbagai disiplin ilmu agar
terwujud sebuah sains yang berwajah Islami.
2. Golongan Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Maraknya perkembangan pemikiran seiring dengan lahirnya gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan ini, bukan berarti semua umat Islam sepakat terhadap ide
tersebut. Mereka percaya bahwa semua ilmu itu sudah Islami, sebab yang menjadi
sumber utamanya adalah Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi dengan
pelabelan Islam atau bukan Islam pada segala ilmu. Sebut saja dalam hal ini Fazlur
Rahman, Muhsin Mahdi, Abdul Karim Soroush, Bassan Tibi, Hoodbhoy dan Abdul
Salam.
Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak
ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam
menyalahgunakannya. Dan bahkan beliau berkesimpulan bahwa "kita tidak perlu
bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu
pengetahuan Islami. Lebih baik kita manfaatkan waktu, energi dan uang untuk
berkreasi” (Shophan, 2005). Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan itu memiliki dua
kualitas, “seperti senjata dua sisi yang harus dipegang dengan hati-hati dan penuh
tanggung jawab, ia sangat penting digunakan dan didapatkan secara benar.” Baik dan
buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya.
Abdul Salam, pemenang anugerah Nobel fisika berpandangan bahwa “hanya
ada satu ilmu universal yang problem-problem dan modalitasnya adalah internasional
dan tidak ada sesuatu yang dinamakan ilmu Islam, seperti juga tidak ada ilmu Hindu,
ilmu Yahudi, atau ilmu Kristen. Abdul Salam menceraikan pandangan hidup Islam
menjadi dasar metafisis kepada sains (Armas, 2005)
Senada dengan Abdul Salam, Pervez Hoodbhoy, yang juga pernah meraih
penghargaan Nobel, menyangsikan keberadaan sains Barat, sains Islam, sains Yunani
atau peradaban lain dan berpandangan bahwa sains itu bersifat universal dan lintas
bangsa, agama atau peradaban. Menurutnya "tidak ada sains Islam tentang dunia fisik,
dan usaha untuk menciptakan sains Islam merupakan pekerjaan sia-sia."
Sedangkan kontroversi yang terjadi dikalangan ilmuwan muslim merupakan
tantangan tersendiri bagi realisasi islamisasi ini. Pendapat yang diberikan para
ilmuwan berkisar tentang metodologi dalam islamisasi. Dalam pertentangan tersebut
terdapat psimisme dan juga optimisme terhadap islamisasi. Namun semua pernyataan
tersebut perlu dilihat siapa yang berpendapat dan bagaimana corak pemikirannya.
Sehingga tidak menerimanya begitu saja.

2.6. Perbedaan Islamisasi Sains Teknologi Dengan Sains Sosial


1. Islamisasi Sains Teknologi
Pergerakan Islamisasi dalam sains ini jika tidak bertentangan dengan syariah Islam,
dapat dinyatakan sebuah gerakan yang Islami, karena hal-hal di alam tidak tercampur tangan
manusia, maka sudah sesuai dengan Sunnatullah yang baik. Hanya perlu menambahkan
aturan syariah, akhlak, aksiologis, dan instrumentalis.
2. Islamisasi Sains Sosial
Gagasan Islamisasi sains sosial dapat berupa Islamisasi worldview yang mencakup
konsep dan asumsi dasar tentang Tuhan, manusia, agama, kebahagiaan (pemenuhan
kebutuhan jasmani dan rohani), hari akhir, akal, ilmu, dan kebebasan manusia.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan
merupakah sebuah aksi umat manusia untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang Islami
dengan berpegang teguh pada nilai-nilai wahyu dan syariat Islam. Gagasan Islamisasi ini
mulai muncul karena adanya westernisasi ilmu sehingga terjadi sekularisasi, tersebarnya hal-
hal yang berbau ilmu namun ternyata membawa kerancuan berfikir dan kerusakan. Adapun
model-model Islamisasi ada 5 model yaitu, model instrumentalistik, justifikasi, sakralisasi,
integrasi, dan model epistemologi (paradigma). Berbagai model-model tersebut merupakan
sebuah pondasi untuk mewujudkan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, gagasan Islamisasi ilmu ini perlu diimplementasikan oleh para
cendikia Muslim yang memiliki keluasan ilmu dan keahlian mampu mengintegrasikan ilmu-
ilmu keIslaman dan ilmu pengetahuan yang non Islam. Diawali dengan pendekatan-
pendekatan ilmu sains teknologi dan sains sosial yang ditambahkan point keIslaman dalam
ilmu tersebut. Namun gagasan ini dapat berjalan dengan baik, jika kita punya bekal
menguasai ilmu dasar Islam, dapat menganalisa bahasa yang digunakan sekaligus menguasai
cabang ilmu yang akan di-Islamkan.
DAFTAR PUSTAKA

Armas, Adnin. 2007. Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu. ISID Gontor: Center for
Islamic & Occidental Studis.
Handrianto, Budi. 2010. Islamisasi Sains Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modern.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Hakim, Lukman. 2013. Urgensi Islamisasi Ilmu. http://asosiasipenulisislam-
sby.blogspot.com/2013/01/urgensi-islamisasi-ilmu.html diakses pada tanggal 11
September 2018
Romdhon, Ismail Fajar. 2011. Islamisasi Ilmu Pengetahuan (teori evolusi dan atheisme
bagian 6). http://filsafatus.blogspot.com/2011/05/islamisasi-ilmu-pengetahuan.html
diakses pada tanggal 17 September 2018
Shopan, Mohammad. 2005. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan
Humaniora, Vol.4 No.1.
Siregar, Abu Bakar Adenan. 2015. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. UIN Sumatera Utara.
Medan.

Anda mungkin juga menyukai