Anda di halaman 1dari 4

SIRAMAN GONG KYAI PRADAH.

Kegiatan ini digelar tiap 12 Rabiul Awal atau bertepatan dengan Maulid Nabi Besar
Muhammad SAW. Tradisi ini tak pernah luntur dan selalu menjadi daya tarik utama
masyarakat dalam dan luar Blitar. Begitu pula yang terjadi pada Jumat (25/12).

Acara siraman yang rutin dilaksanakan di Pendopo Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar,
ini dipenuhi ribuan manusia yang tumpah ruah dari berbagai daerah dan memiliki banyak
tujuan. Ada yang meminta doa, ngalap berkah, dan ada pula yang murni berwisata.

Sekitar pukul 10.00 WIB upacara siraman Gong Kyai Pradah dilakukan para tokoh dan
jajaran Pemerintah Kabupaten Blitar. Satu per satu para tokoh mulai dari Bupati Hery
Nugroho, Wakil Bupati Rijanto, Sekda Palal Ali Santoso, dan Kapolres Blitar AKBP Muji
Ediyantobergantian melakukan prosesi siraman gong Kyai Pradah dengan air kembang
setaman.

Masyarakat yang berada di lokasi berjejalan dan berebut air bekas cucian gong karena
mereka percaya bahwa air tersebut membawa berkah. Antara lain menyembuhkan penyakit,
awet muda, menenteramkan hati, hingga membawa keberuntungan.

Tidak hanya masyarakat lokal, tamu-tamu dari berbagai wilayah di luar Blitar tidak ingin
ketinggalan percikan air bekas cucian gong tersebut.

Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten Blitar, Luhur Sejati mengatakan,
Siraman Gong Kyai Pradah ini adalah peristiwa budaya yang dilakukan secara terus menerus
oleh masyarakat setempat.

“Pemkab Blitar hanya menjadi fasilitator untuk merawat tradisi ini dan melakukan ekspos
agar terus berkembang menjadi wisata budaya populer di Kabupaten Blitar,” kata Luhur.

Cerita sejarah tentang Kyai Pradah yang sebelumnya mendapat gelar Kyai Bicak adalah kisah
periodesasi sekitar abad ke 17. Sejarah Kyai Pradah bermula ketika Pangeran Puger raja
ketiga Kasunanan Kartasura yang setelah naik takhta bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana I (
1704–1719) hendak dibunuh pada saat penobatannya.

Otak rencana pembunuhan itu tak lain adalah Pangeran Prabu saudara dari istri selir ayahnya.
Rencana aksi pembunuhan itu dilakukan karena Pangeran Prabu merasa sakit hati.

Aksi makar ini ketahuan, dan akhirnya Pangeran Prabu dihukum membuka hutan di wilayah
Ludoyo Blitar. Saat itu Hutan Lodoyo dikenal sebagai hutan yang sangat wingit (angker) dan
banyak dihuni binatang buas.

Menebus kesalahan yang dilakukan, akhirnya Pangeran Prabu berangkat ke hutan Lodoyo
dan diikuti istrinya Putri Wandansari dan abdinya Ki Amat Tariman dengan membawa
pusaka bendhe yang diberi nama Kyai Bicak. Kyai Bicak adalah pusaka berwujud bendhe
(gong,red) sebagai tumbal ‘penolak bala’ di hutan Lodoyo.

Setelah melakukan perjalanan jauh dari Surakarta hingga ke Blitar dengan meninggalkan
kemegahan istana akhirnya rombongan tiba di kawasan Lodoyo yang masih merupakan hutan
belantara yang sangat angker.
Untuk menenangkan hati sangan pangeran, akhirnya Pangeran Prabu bertapa di hutan Lodoyo
didampingi istrinya Putri Wandansari. Sedangkan bendhe Kyai Bicak dan abdi setianya Ki
Amat Tariman dititipkan kepada Nyi rondho Patrasuta.

Sebelum bertapa, Pangeran Prabu menitipkan pesan salah satunya di setiap tanggal 12
Maulud dan tanggal 1 Syawal supaya bendhe Kyai Bicak disucikan dengan cara disirami atau
dijamasi air bunga setaman dan air bekas jamasan tersebut bisa untuk mengobati orang sakit
dan sebagai sarana ketentraman hidup.

Setelah bertapa cukup lama, suatu ketika abdi ndalem Ki Amat Tariman rindu kepada
Pangeran Prabu ia kemudian berjalan-jalan di hutan, tetapi ia tersesat dan kebingungan.

Karena bingung Ki Amat Tariman memukul bendhe Kyai Bicak 7 kali. Suara Kyai Bicak
menimbulkan keajaiban ketika itu yang datang bukan rombongan Pangeran Prabu tetapi
harimau besar-besar dan anehnya mereka tidak menyerang atau mengganggu tetapi justru
menjaga keberadaan Ki Amat Tariman. Dan sejak itu bendhe Kyai Bicak diberi nama Gong
Kyai Pradah yang artinya harimau.

AKOMODASI KEARIFAN LOKAL DALAM HUKUM ISLAM

1. Urf Dalam Bingkai Hukum Islam

Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan Allah swt.Di jazirah arab melalui
Nabi Muhammad SAW.Sebagai agama terakhir,Islam sengaja diperuntukkan bagi semua
umat manusia dan menjadi agama penyempurna bagi agama-agama yang telah diturunkan
Allah SWT sebelumnya.Inilah salah satu factor utama pembeda antara Islam dengan agama
samawi lainnya.Meskipun Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa misi keislaman adalah
keturunanan bangsa arab,akan tetapi Islam tidak hanya diperuntukkan kepada kaum nabi
Musa,demikian juga agama nasrani untuk kaum Nabi Isa.

Kedatangan Islam di jazirah Arab seseungguhnya bukan dating dalam ruang


hampa.Artinya,ketika Islam diturunkan,masyarakat sebagai masyarakat awal penerima
ajaran agama kala itu telah memiliki budaya dan adat istiadat (urf)sendiri. Rasulullah SAW
bersanda : “Sesungguhnya aku diutus Allah hanya untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia”

Sebagai manusia biasa,Nabi Muhammmad SAW niscaya terikat oleh aturan budaya
dan hukum kemanusiaan dimana dan kapan dia hidup,seperti cara berpakaian,jenis makanan
yang dimakan,atau yang lain.Namun sebagai pembawa wahyu ,Nabi Muhammad SAW tentu
berusaha mempengaruhi atau bila perlu merubah budaya yang tidak sejalan dengan ajaran
islam.

Berangkat dari pemikiran di atas,para ahli hukum islam membuat rumusan kaidah
hukum dengan memberikan porsi yang besar terhadap budaya atau kebiasaan-kebiasaan baik
yang dilakukan umat islam.Kebiasaan-kebiasaan baik tersebut menjadi bagian dari hukum
islam itu sendiri.Al-Adatu Mukhamah (tradisi/budaya bias menjadi dasar penetapan hukum)
demikian rumusan kaidah hukum tersebut.Namun harus diperhatikan bahwa kebiasaan yang
berlaku tidak boleh bertentangan dengan spirit (semangat) islam yang tertuang dalam al
Qur’an dan hadis.Jika bertentangan,maka dengan sendirinya kaidah ini tidak berlaku.

2. Menyandingkan hukum islam dengan tradisi local

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa islam hadir di tengah-tengah masyarakat Arab


dengan sesame kebiasaan dan tradisi yang telah berlaku sebelum datangnya islam.

Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa misi Islam pun diutus untuk memperbaiki apa yang
sudah ada menjadi lebih baik dan bukan menghapusnyang sudah ada kemudian menciptakan
semuanya menjadi baru.

Fakta sejarah inilah yang mengilhami para pejuang islam generasi awal ketika
menyebarkan Islam di Nusantara.Para Wali Songo misalnya,mereka mendakwahkan islam di
tanah jawa dengan cara-cara yang begitu akomodatif dengan budaya jawa.Mereka mampu
memadukan antara ajaran islam dengan budaya dan tradisi masyarakat Jawa yang
sebelumnya sangat kental dengan pengaruh Hindhu dan Budha.Peninggalan-peninggalan
mereka dalam bentuk karya seni,arsitekur tempat ibadah,atau upacara social keagaman adalah
bukti perpaduan tersebut.Karena itulah islam di jawa,khususnya,dan Indonesia pada
umumnya,dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Prinsip yang selalu dipegang oleh wali songo dan penyebar agama islam lainnya
bahwa agama islam tidak anti terhadap budaya local apabila budaya tersebut tidak
bertentangan dengan tuntunan al-Qur’an dan hadis.Terkait hal ini Rasul SAW memberikan
arahan : “Barang siapa menjalankan kebiasaan baik,maka baginya pahala dan pahala orang
yang mengamalkan sesudahnya serta tidak akan berkurang sedikitpun pahala tersebut
darinya.”

Dalam hadis lain diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan :
“Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh
para ahli ushul fiqh di pahami (Dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam
menetapkan hukum islam (fikih).

Apa yang disampaikan Rasul SAW dalam hadis di atas menjadi bahan pertimbangan
para ahli hukum islam membuat kaidah hukum yang akomodatif terhadap budaya dan tradisi
masyarakat.Salah satu tokoh fiqih yang menerapkan kaidah ini Imam Malik.Dia –dalam salah
satu prinsip yang dikembangkan- menjadi tradisi masyarakat Madinah menjadi kaidah
hukum.Salah satu contohnya adalah pelaksanaan shalat tarawih.Imam malik berpendapat
bahwa rakaat shalat tarawih adalah 36 rakaat.Angka ini mengaju kepada jumlah rakaat shalat
tarawih yang dilakukan masyarakat madinah yang telah menjadi tradisi mereka.

Tidak jauh berbeda dengan imam malik,imam syafi’I juga menjadika situasi dan
kondis masyarakat sebagai pertimbangan hukum.Hal ini bias dilihat dari 2 kelompok
pendapat yang pernah dirumuskan oleh Imam syafi’I,yakni qaul jadid (pendapat baru) dan
qaul qadim (pendapat lama).Qaul jadid artinya pendapat imam syafi’i ketika ia berada di
irak.Sementara qaul qadim adalah pendapat Imam syafi’i setelah berpindah ke
mesir.Perubahan pemikiran yang dialami imam syafi’I menunjukan bahwa situasi dan kondisi
berbeda yang dia alami dianggap perlu merumuskan hukum yang berbeda.

Apa yang ditunjukan oleh 2 tokoh fikih terkemuka diatas menunjukan bahwa
pemahaman terhadap ajaran agama tidak bias mengabaikan proses-proses social,politik dan
budaya yang berlaku di masyarakat .Kesimpulan ini setidaknya dapat memberikan jawaban
terhadap kelompok muslim puritan (memurnikan ajaran) yang selalu ingin mengembalikan
perilaku beragama seperti yang diperlihatkan oleh masyarakat muslim Arab pada generasi
awal,tanpa perlu memilah mana yang menjadi bagian inti Islam dan mana yang menjadi
budaya.

Kaum muslim puritan seringkali mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran


agama,seolah-olah agama adalah paket dari langit super lengkap dengan juklak dan
juknis.Padahal realitas yang terjadi tidak demikian .Ajaran agama islam yang bersumber dari
al-qur’an dan hadis sarat dengan penafsiran, dan penafsiran tidak bias terpisah dengan tempat
dan waktu.Dalam proses tersebut terdapat dialog antara penafsiran terhadap al-Qur’an dan
hadis dengan struktur budaya masyarakat di mana tafsir itu dilakukan (As’ad,2010:3).Dengan
demikian, satu hal penting yang patut dicatat adalah bahwa islam tidak selalu identik dengan
bangsa dn kebudayaan arab.Dalam redaksi lain,Islam adalah suatu hal, dan masyarakt arab
adalah hal yang lain.

Anda mungkin juga menyukai